Anda di halaman 1dari 3

Soekarno Kecil dan Sekolah Politik Pertama Di Rumah

H O S Tjokro Aminoto

Sukarno lahir di Surabaya, 6 Juni 1901 dari pasangan Raden Sukemi Sosrodihardjo,
seorang priyayi rendahan sebagai guru SD, dengan Nyoman Rai, yang merupakan golongan
darah biru dari Bali yang beragama Hindu. Awalnya ia diberi nama Kusno, tetapi karena
sering sakit, ayahnya mengubah namanya menjadi Sukarno ketika berumur lima tahun. Nama
itu diambil dari kisah ksatria “Karna” seorang panglima perang dalam kisah Bharata
Yudhayang berpihak pada Kurawa ketika melawan Pandawa. Meski Karna sadar bahwa ia
ada di pihak yang salah, tetapi ia rela berkorban demi kesetiaannya terhadap Kurawa.
Sukarno pertama kali masuk sekolah, di Tulung Agung. Tidak lama kemudian
ayahnya dipindahkerjakan ke Mojokerto, sehingga Sukarno pun ikut pindah. Di sini, Sukarno
mulai terlihat kepandaiannya. Ia disuruh ayahnya selama berjam-jam untuk belajar membaca
dan menulis. Kemudian Ayahnya berhasil memasukkan Sukarno ke Europeesche Lagaere
School (ELS). Namun, ia merasakan adanya diskriminisasi yang diberlakukan pada
kaumnya. Hanya Bumiputra tertentu yang mendapat kesempatan mengecap hak istimewa
itu.
Setelah menyelesaikan ELS pada 1915, Sukarno ingin melanjutkan di Hogere Burger
School (HBS) di Surabaya. Kemudian melalui jasa baik H.O.S Tjokroaminoto, Sukarno pun
diterima. Bahkan, ia juga mempersilahkan Sukarno untuk tinggal di pondokannya. Ayah
Sukarno senang anaknya bisa tinggal satu atap dengan “Raja Jawa” yang tak bermahkota. Di
Surabaya, Sukarno mendapat suasana yang berbeda. Dalam otobiografinya, Sukarno
menyebutkan “…Surabaya merupakan kota pelabuhan yang sangat sibuk dan rebut… Kota
itu bergolak dengan ketidakpuasan dari orang-orang revolusioner…”. Suasana itu menjadi
lebih panas dengan tinggalnya Tjokroaminoto, seorang pemimpin Sarekat Islam, yang di
mata penguasa kolonial Belanda termasuk tokoh yang dianggap sangat berbahaya. Maklum,
kota Surabaya pada waktu itu merupakan kota perjuangan, dan Sarekat Islam berpusat di kota
ini.
Di tempat ini lah Sukarno belajar cara berorasi dengan baik dari Tjokroaminoto. Ia
mengajarkan kepada Sukarno nilai nasionalisme dan religious yang sesuai dengan tujuan
kebebasan dan sederajatan manusia. Di sini jugalah Sukarno mendapat pengaruh pemikiran
Barat yang modern. Ia berkenalan dengan orang-orang beraliran sosialis kiri, yang juga
memiliki kedudukan penting dalam kepengurusan Sarekat Islam maupun Indische School
Democratische Vereeniging (ISDV). Selain itu, Sukarno juga berkenalan dengan tokoh
militan Islam, H. Agus Salim dan tokoh-tokoh Marxis, salah satunya C. Hartogh. Tokoh
inilah yang pertama kali mengenalkan Marxisme pada Sukarno. Melalui tokoh-tokoh itulah
proses sosialisasi politik Sukarno terjadi. Selain itu, melalui buku-buku tokoh terkenal yang
ia baca, ia dapat berkenalan dengan buah pemikiran tokoh-tokoh tersebut, seakan-akan
sedang berhadapan langsung.
Diskusi - diskusi yang terjadi bersama teman kenalannya dan lingkungan tersebut
mengantarkan Sukarno setapak demi satapak untuk menyadari bahwa tidak sepantasnya
remaja seusianya menikmati kesenangan atau melarikan diri ke dalam dunia khayalan. Ia
melihat bangsanya dihadapkan pada diskriminasi. Sebagai remaja yang gelisah, ia
menyalurkan aspirasinya melalui surat kabar milik Sarekat Islam, Oetoesan Hindia. Ia
menuangkan pemikirannya dengan menggunakan nama samaran Bima. Disamping itu,
Sukarno juga aktif dalam organisasi Tri Koro Darmo (1915) cabang Surabaya sebagai
organisasi dari Budi Utomo, yang kemudian diganti namanya menjadi Jong Java (1918).
Setelah menyelesaikan pendidikannya di HBS pada 1921, Sukarno bersama Istrinya,
Siti Oetari Tjokroaminoto, putri Tjokroaminoto, meninggalkan Surabaya dan pindah ke
Bandung. Di sana ia tinggal di kediaman Haji Sanusi, anggota Sarekat Islam yang juga
kawan akrab Tjokroaminoto. Kota Bandung memiliki warna ideology yang khas. Jika
Sarekat Islam berpusat di Surabaya dan Marxisme berpusaat di Semarang, maka Bandung
menampilkan diri sebagai pusat pemikiran nasionalis sekuler. Di kota ini, Sukarno
berkenalan dengan tokoh-tokoh nasionalis sekuler, seperti Douwes Dekker, Tjipto
Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara. Sukarno memperoleh pandangan baru dari
pemikiran Douwes Dekker, yang menyatakan bahwa yang penting bagi Indonesia saat ini
adalah memperoleh kemerdekaan penuh untuk tanah air Indonesia, dimana bangsa merdeka
itu terdiri dari masyarakat yang multirasial dan yang penting adalah menunjukkan
kesetiaannya pada tanah air dan bersedia berjuang untuk memperoleh kemerdekaannya.
Intinya, yang penting adalah mendirikan suatu bangsa lebih dulu, masalah-masalah struktur
dibicarakan kemudian hari, bilamana Indonesia sudah merdeka. Pemikiran semacam ini
kemudian berkembang menjadi aliran utama dalam pemikiran nasionalisme Indonesia. Di
sisi lain, muncul pertentangan antara golongan kanan (Tjokroaminoto) dengan golongan kiri
(Semaoen-Darsono) dalam sentral SI. Sehingga, terpecahlah SI menjadi SI Putih dan Merah,
yang kemudian mengubah namanya menjadi Sarekat Rakyat.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di HBS pada 1921, Sukarno bersama Istrinya,
Siti Oetari Tjokroaminoto, putri Tjokroaminoto, meninggalkan Surabaya dan pindah ke
Bandung. Di sana ia tinggal di kediaman Haji Sanusi, anggota Sarekat Islam yang juga
kawan akrab Tjokroaminoto.

Anda mungkin juga menyukai