Anda di halaman 1dari 37

KESEHATAN REMAJA DI

INDONESIA
10.09.2013

Objektif

1. Mengetahui masalah kesehatan remaja di Indonesia.


2. Mengetahui program-program penanganan masalah remaja di
Indonesia.

Sehat adalah keadaan sejahtera seutuhnya baik secara fisis, jiwa


maupun sosial, bukan hanya terbebas dari penyakit atau kecacatan.
Remaja merupakan kelompok masyarakat yang hampir selalu
diasumsikan dalam keadaan sehat. Padahal banyak remaja yang
meninggal sebelum waktunya akibat kecelakaan, percobaan bunuh diri,
kekerasan, kehamilan yang mengalami komplikasi dan penyakit lainnya
yang sebenarnya bisa dicegah atau diobati. Banyak juga penyakit serius
akibat perilaku yang dimulai sejak masa remaja contohnya merokok,
penyakit menular seksual, penyalahgunaan narkotika, alkohol,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA), Human Immunodeficiency
Virus - Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV-AIDS), kurang gizi,
dan kurang berolahraga. Semua ini, yang akan mencetuskan penyakit
atau kematian pada usia muda.

Pada masa remaja terjadi perubahan baik fisis maupun psikis yang
menyebabkan remaja dalam kondisi rawan pada proses pertumbuhan
dan perkembangannya. Masa ini merupakan masa terjadinya proses
awal pematangan organ reproduksi dan perubahan hormonal yang
nyata. Remaja menghadapi berbagai masalah yang kompleks terkait
dengan perubahan fisis, kecukupan gizi, perkembangan psikososial,
emosi dan kecerdasan yang akhirnya menimbulkan konflik dalam dirinya
yang kemudian memengaruhi kesehatannya. Remaja yang mengalami
gangguan kesehatan berupaya untuk melakukan reaksi menarik diri
karena alasan-alasan tersebut. Pencegahan terhadap terjadinya
gangguan kesehatan pada remaja memerlukan pengertian dan
perhatian dari lingkungan baik orangtua, guru, teman sebayanya, dan
juga pihak terkait agar mereka dapat melalui masa transisi dari kanak
menjadi dewasa dengan baik.

Siapakah yang termasuk dalam kelompok remaja?

Remaja dimengerti sebagai individu yang berada pada masa peralihan


dari masa kanak ke masa dewasa. Peralihan ini disebut sebagai fase
pematangan (pubertas), yang ditandai dengan perubahan fisis, psikis,
dan pematangan fungsi seksual. Pada masa pubertas, hormon yang
berhubungan dengan pertumbuhan aktif diproduksi, dan menjadikan
remaja memiliki kemampuan reproduksi. Perkembangan psikologis
ditunjukkan dengan kemampuan berpikir secara logis dan abstrak
sehingga mampu berpikir secara multi-dimensi. Emosi pada masa
remaja cenderung tidak stabil, sering berubah, dan tak menentu.
Remaja berupaya melepaskan ketergantungan sosial-ekonomi, menjadi
relatif lebih mandiri. Masa remaja merupakan periode krisis dalam upaya
mencari identitas dirinya.

Ditinjau dari sisi bahwa remaja belum mampu menguasai fungsi fisis
dan psikisnya secara optimal, remaja termasuk golongan anak. Untuk
hal ini, remaja dikelompokkan menurut rentang usia sesuai dengan
sasaran pelayanan kesehatan anak. Disesuaikan dengan konvensi
tentang hak-hak anak dan UU RI no. 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak, remaja berusia antara 10-18 tahun.
Mengapa perlu memperhatikan kesehatan remaja?

Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat dari aspek fisis, emosi,


intelektual, dan sosial pada masa remaja merupakan pola karakteristik
yang ditunjukkan dengan rasa keingintahuan yang besar, keinginan
untuk bereksperimen, berpetualang, dan mencoba bermacam
tantangan, selain cenderung berani mengambil risiko tanpa
pertimbangan matang terlebih dahulu. Ketersediaan akan akses
terhadap informasi yang baik dan akurat, serta pengetahuan untuk
memenuhi keingintahuan mempengaruhi keterampilan remaja dalam
mengambil keputusan untuk berperilaku. Remaja akan menjalani
perilaku berisiko, bila keputusan yang diambil dalam menghadapi konflik
tidak tepat dan selanjutnya menerima akibat yang harus ditanggung
seumur hidupnya dalam berbagai bentuk masalah kesehatan fisis dan
psikososial.

Beberapa alasan mengapa program kesehatan remaja ini perlu


diperhatikan antara lain disebabkan:

1. Jumlah remaja di Indonesia lebih kurang 20% dari populasi;


2. Remaja merupakan aset sekaligus investasi generasi mendatang;
3. Upaya pemenuhan Hak Asasi Manusia;
4. Untuk melindungi sumber daya manusia potensial.

Bagaimana keadaan kesehatan remaja di Indonesia?

Remaja menghadapi masalah kesehatan yang kompleks, walaupun


selama ini diasumsikan sebagai kelompok yang sehat. Dari beberapa
survei diketahui besaran masalah remaja, sebagaimana ditunjukkan
oleh data berikut: survei demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI)
tahun 2007 menunjukkan 17% perempuan yang saat ini berusia 45-49,
menikah pada usia 15 tahun; Sementara itu, terdapat peningkatan
secara substansial pada usia perempuan pertama kali menikah.
Perempuan usia 30-34 tahun yang menikah pada usia 15 tahun sebesar
9%, sedangkan perempuan usia 20-24 tahun yang menikah pada usia
15 tahun sebesar 4% (BPS and Macro International, 2008).

Menurut survei kesehatan reproduksi remaja Indonesia (SKRRI) tahun


2007, persentase perempuan dan lelaki yang tidak menikah, berusia 15-
19 tahun merupakan :

 Perokok aktif hingga saat ini: Perempuan: 0,7%; sedangkan lelaki:


47,0%.
 Mantan peminum alkohol: Perempuan: 1,7%; dan lelaki: 15,6%.
 Peminum alkohol aktif: perempuan: 3,7%; lelaki: 15,5 %.
 Lelaki pengguna obat dengan cara dihisap: 2,3%; dihirup: 0,3 %;
ditelan 1,3%.
 Perempuan pertama kali pacaran pada usia <12 tahun: 5,5%; pada
yusia 12-14 tahun: 22,6%; usia 15-17 tahun: 39,5%; usia 18-19
tahun: 3,2%. Melakukan petting pada saat pacaran: 6,5%.
 Lelaki pertama kali pacaran pada usia <12 tahun: 5,0%; usia 12-14
ytahun: 18,6%; usia 15-17 tahun: 36,9%; usia 18-19 tahun: 3,2%.
Melakukan petting saat pacaran: 19,2%.
 Pengalaman seksual pada perempuan: 1,3%; lelaki: 3,7%.y
 Lelaki yang memiliki pengalaman seks untuk pertama kali pada usia:
<15 tahun: 1,0%; usia 16 tahun : 0,8%; usia 17 tahun: 1,2%; usia 18
tahun: 0,5%; usia 19 tahun: 0,1%.
 Alasan melakukan hubungan seksual pertama kali sebelum menikah
ypada remaja berusia 15-24 tahun ialah: Untuk perempuan alasan
tertinggi adalah karena terjadi begitu saja (38,4%); dipaksa oleh
pasangannya (21,2%). Sedangkan pada lelaki, alasan tertinggi ialah
karena ingin tahu (51,3%); karena terjadi begitu saja (25,8%).
 Delapan puluh empat orang (1%) dari responden pernah mengalami
KTD, 60% di antaranya mengalami atau melakukan aborsi.

Kasus AIDS sampai dengan 31 Maret 2009 dilaporkan melalui laporan


triwulan Direktorat jendral pengendalian penyakit dan pengendalian
lingkungan (Ditjen P2PL), sebagai berikut:

 Persentase kumulatif kasus AIDS berdasarkan:


 Cara penularan: pengguna jarum suntik: 42%; heteroseksual: 48,4%;
yhomoseksual: 3,7%.
 Kelompok usia: 15-19 tahun: 3,08%; 20-29 tahun: 50,5%.
 Provinsi dengan jumlah pasien AIDS terbanyak pada pengguna
napza ysuntik adalah Jawa Barat, sebanyak 2.366 orang.
 Persentase kasus AIDS pada pengguna napza suntik di Indonesia
yberdasarkan jenis kelamin, yaitu: lelaki: 91,8%; perempuan: 7,5%;
tidak diketahui: 0,7%.
 Persentase kumulatif kasus AIDS pada pengguna napza suntik di
yIndonesia berdasarkan golongan usia, yaitu: 15-19 tahun: 1,7%;
dan 20-29 tahun: 64,7%.

Berdasarkan riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2007:

 Secara nasional persentase kebiasaan merokok penduduk Indonesia


berumur >10 tahun sebesar 23,7%, lelaki 46,8%; dan perempuan: 3
%. Jika kebiasaan merokok ini dibagi menurut karakteristik usia
responden, didapatkan data bahwa pada usia 10-14 tahun: 0,7%;
usia 15-24 tahun: 17,3%.
 Prevalensi penyakit asma, jantung, diabetes mellitus, dan tumor
menurut karakteristik responden yang didiagnosis oleh tenaga
kesehatan, yaitu:

1. Umur 5-14 tahun: asma: 1,2%; jantung: 0,2%; diabetes mellitus: 0%;
tumor 1,0%.
2. Umur 15-24 tahun: asma: 1,2%; jantung: 0,3%; diabetes mellitus:
0,1%; tumor: 2,4%.
3. Prevalensi penyakit asma, jantung, diabetes mellitus, dan tumor
menurut karakteristik responden yang didiagnosis oleh tenaga
kesehatan atau dengan gejala:
4. Umur 5-14 tahun: asma: 2%, jantung: 2,2%, diabetes mellitus: 0%.
5. Umur 15-24 tahun: asma 2,2%, jantung: 4,8%, diabetes mellitus:
0,4%.

 Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk berumur 15


tahun ke atas (berdasarkan self reporting questionnaire-20) menurut
karakteristik responden 15-24 tahun adalah: 8,7%
 Prevalensi anemi menurut kelompok umur 5-14 tahun: 9,4%; 15-24
tahun: 6,9%.
 Prevalensi cedera dan penyebab cedera menurut karakteristik
yresponden usia 5-14 tahun: cedera akibat terjatuh: 78,4%; usia 15-
24 tahun: cedera akibat terjatuh 47,9%.
 Prevalensi jenis cedera menurut karakteristik responden berusia 5-
14 tahun: luka lecet 62,5%; usia 15-24 tahun: luka lecet 57,8%.
 Prevalensi kurang aktivitas fisik penduduk berusia ‰¥ 10 tahun
ymenurut karakteristik usia: 10-14 tahun: 66,9%; 15-24 tahun: 52%.
Sedangkan jika dilihat berdasarkan jenis kelamin lelaki: 41,4%; dan
perempuan: 54,5%.

Tingginya perilaku berisiko pada remaja yang ditunjukkan oleh data di


atas merupakan hasil akhir dari sifat khas remaja, pengetahuan remaja
tentang kesehatan, nilai moral yang dianut, serta ada tidaknya kondisi
lingkungan yang turut memengaruhi. Sebagai contoh bagaimana SPN
akan menyebabkan kehamilan dan persalinan dengan komplikasi, bayi
yang dilahirkan dengan komplikasi, atau mengakibatkan KTD yang
dapat menimbulkan kejadian aborsi yang menyebabkan kematian.
Demikian halnya dengan penyalahgunaan napza yang dapat
mengakibatkan terjadinya infeksi HIV yang selanjutnya menjadi AIDS
dan akhirnya mengakibatkan kematian. Secara tidak langsung masalah
kesehatan remaja tersebut turut menghambat laju pembangunan
manusia (human development) di Indonesia, dan pencapaian
pembangunan tujuan millenium (millenium development goal).

Baca juga: Masalah Pubertas pada Anak dan Remaja

Apa yang telah dilakukan?

enanganan masalah remaja dilakukan melalui kerjasama multi-sektoral


dan multidimensional, dengan intervensi pada aspek preventif, promotif,
kuratif dan rehabilitatif yang komprehensif.

Program kesehatan remaja sudah mulai diperkenalkan di puskesmas


sejak satu dekade yang lalu. Selama lebih dari 10 tahun, program ini
lebih banyak bergerak dalam pemberian informasi, berupa penyuluhan
dan diskusi dengan remaja tentang masalah kesehatan melalui wadah
usaha kesehatan sekolah (UKS), karang taruna, atau organisasi
pemuda, dan kader remaja lainnya yang dibentuk oleh puskesmas.
Petugas puskesmas berperan sebagai fasilitator dan narasumber.
Pemberian pelayanan khusus kepada remaja yang disesuaikan dengan
keinginan, selera, dan kebutuhan remaja belum dilaksanakan. Remaja
yang berkunjung ke puskesmas masih diperlakukan selayaknya pasien
lain sesuai dengan keluhan atau penyakitnya.

Melihat kebutuhan remaja dan memperhitungkan tugas puskesmas


sebagai barisan terdepan pemberi layanan kesehatan kepada
masyarakat, puskesmas sebaiknya memberikan pelayanan langsung
kepada remaja sebagai salah satu kelompok masyarakat yang
dilayaninya. Pelayanan kesehatan remaja di puskesmas amat strategis
dan dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien mengingat
ketersediaan tenaga kesehatan dan kesanggupan jangkauan
puskesmas ke segenap penjuru Indonesia seperti halnya keberadaan
remaja sendiri, dari daerah perkotaan hingga terpencil perdesaan.
Sesuai dengan kebutuhan, puskesmas sebagai bagian dari pelayanan
klinis medis, melaksanakan rujukan kasus ke pelayanan medis yang
lebih tinggi. Rujukan sosial juga dilakukan oleh puskesmas, misalnya
penyaluran kepada lembaga keterampilan kerja untuk remaja pasca
penyalahgunaan napza, atau penyaluran kepada lembaga tertentu agar
mendapatkan program pendampingan dalam upaya rehabilitasi mental
korban perkosaan. Sedangkan rujukan pranata hukum untuk memberi
kekuatan hukum bagi kasus tertentu atau dukungan dalam
menindaklanjuti suatu kasus belum banyak dilakukan. Pelayanan
komprehensif kepada remaja ini merupakan bentuk kerjasama berbagai
sektor yang diawali dengan komitmen antar institusi terkait.
Bagaimana bentuk pelayanan kesehatan remaja?

Beberapa tahun terakhir mulai dilaksanakan beberapa model pelayanan


kesehatan remaja yang memenuhi kebutuhan, hak dan selera remaja di
beberapa propinsi, dan diperkenalkan dengan sebutan pelayanan
kesehatan peduli remaja atau disingkat PKPR. Sebutan ini merupakan
terjemahan dari istilah adolescent friendly health services (AFHS), yang
sebelumnya dikenal dengan youth friendly health services (YFHS).
Pelayanan kesehatan remaja sesuai permasalahannya, lebih intensif
kepada aspek promotif dan preventif dengan cara peduli remaja.
Memberi layanan pada remaja dengan model PKPR ini merupakan
salah satu strategi yang penting dalam mengupayakan kesehatan yang
optimal bagi remaja kita. Pelayanan kesehatan peduli remaja
diselenggarakan di puskesmas, rumah sakit, dan tempat-tempat umum
lainnya di mana remaja berkumpul.

Hingga akhir tahun 2008, sebanyak 1611 dari 8114 puskesmas di


seluruh Indonesia (22,39%) melaporkan telah melaksanakan PKPR
dengan jumlah tenaga yang dilatih untuk menangani PKPR ini sejumlah
2866 orang. Sementara itu beberapa rumah sakit seperti rumah sakit
Kariadi, Semarang, rumah sakit Fatmawati di Jakarta, dan rumah sakit
Hasan Sadikin Bandung, telah melakukan pengembangkan tim
kesehatan remaja atau poliklinik kesehatan remaja.

Selain itu, beberapa badan donor telah memberikan dukungan bagi


pendekatan pelayanan kesehatan peduli remaja. Di propinsi Jawa Barat,
remaja di sekolah dilatih dan dibina oleh puskesmas menjadi konselor
sebaya; di propinsi Papua dan Nusa Tenggara Timur (NTT) pelayanan
bagi remaja dilaksanakan di luar gedung puskesmas; Di beberapa
propinsi lainnya petugas kesehatan dilatih agar kompeten dalam
menghadapai masalah kesehatan remaja.

Jenis kegiatan dalam PKPR

Kegiatan dalam PKPR sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya, dapat


dilaksanakan di dalam atau di luar gedung. Untuk sasaran perorangan
atau kelompok, dilaksanakan oleh petugas puskesmas atau petugas lain
di institusi atau masyarakat, berdasarkan kemitraan.

Jenis kegiatan tersebut meliputi:

1. Pemberian informasi dan edukasi1.


 Dilaksanakan di dalam atau di luar gedung, baik secara perorangan
atau berkelompok.
 Dapat dilaksanakan oleh guru, pendidik sebaya yang terlatih dari
sekolah, atau dari lintas sektor terkait dengan menggunakan materi
dari (atau sepengetahuan) puskesmas.
 Menggunakan metoda ceramah tanya jawab, focus group
discussion (FGD), diskusi interaktif, yang dilengkapi dengan alat
bantu media cetak atau media elektronik (radio, email, dan
telepon/hotline, SMS).
 Menggunakan sarana komunikasi informasi edukasi (KIE) yang
lengkap, dengan bahasa yang sesuai dengan bahasa sasaran
(remaja, orangtua, guru) dan mudah dimengerti. Khusus untuk
remaja perlu diingat untuk bersikap tidak menggurui serta perlu
bersikap santai.

2. Pelayanan klinis medis termasuk pemeriksaan penunjang dan


rujukannya.

Hal yang perlu diperhatikan dalam melayani remaja yang berkunjung ke


puskesmas adalah:

 Bagi remaja yang menderita penyakit tertentu tetap dilayani dengan


mengacu pada prosedur tetap penanganan penyakit tersebut.
 Petugas dari balai pengobatan umum, balai pengobatan gigi,
kesehatan ibu dan anak (KIA) dalam menghadapi remaja
yangdatang, diharapkan dapat menggali masalah psikososial atau
yang berpotensi menjadi masalah khusus remaja, untuk kemudian
bila ada, menyalurkannya ke ruang konseling bila diperlukan.
 Petugas yang menjaring remaja dari ruangan, dan juga petugas -
loket atau petugas laboratorium, seperti halnya petugas khusus
PKPR juga harus menjaga kerahasiaan remaja tersebut, dan
memenuhi kriteria peduli remaja.
 Petugas PKPR harus menjaga kelangsungan pelayanan dan
mencatat hasil rujukan kasus per kasus.

3. Konseling

Tujuan konseling dalam PKPR yaitu:

 Membantu remaja untuk dapat mengenali masalahnya dan


membantunya agar dapat mengambil keputusan dengan mantap
tentang apa yang harus dilakukannya untuk mengatasi masalah
tersebut.
 Memberikan pengetahuan, keterampilan, penggalian potensi dan
sumber daya secara berkesinambungan hingga dapat membantu
remaja agar mampu:

1. mengatasi kecemasan, depresi, atau masalah kesehatan mental


lainnya.
2. meningkatkan kewaspadaan terhadap isu masalah yang mungkin
terjadi pada dirinya.
3. mempunyai motivasi untuk mencari bantuan bila menghadapi
masalah.

4.Pendidikan Keterampilan Hidup Sehat (PKHS)

Dalam menangani kesehatan remaja perlu tetap diingat dengan


optimisme bahwa bila remaja dibekali dengan keterampilan hidup sehat
maka remaja akan sanggup menangkal pengaruh yang merugikan bagi
kesehatannya. Pendidikan ketrampilan hidup sehat merupakan adaptasi
dari life skills education (LSE). Sedangkan life skills atau keterampilan
hidup adalah kemampuan psikososial seseorang untuk memenuhi
kebutuhan, dan mengatasi masalah dalam kehidupan sehari-hari secara
efektif. Keterampilan ini mempunyai peran penting dalam promosi
kesehatan dalam lingkup yang luas, yaitu: kesehatan fisis, mental, dan
sosial.

Contoh yang jelas bahwa peningkatan keterampilan psikososial ini dapat


memberi kontribusi yang berarti dalam kehidupan keseharian adalah
keterampilan mengatasi masalah perilaku yang berkaitan dengan
ketidak sanggupan mengatasi stres dan tekanan dalam hidup dengan
baik. Keterampilan psikososial di bidang kesehatan dikenal dengan
istilah PKHS. Pendidikan ketrampilan hidup sehat dapat diberikan
secara berkelompok di mana saja, antara lain: di sekolah, puskesmas,
sanggar, rumah singgah, dan sebagainya.

Kompetensi psikososial tersebut meliputi 10 aspek keterampilan, yaitu:

1.Pengambilan keputusan
Pada remaja keterampilan pengambilan keputusan ini berperan
konstruktif dalam menyelesaikan masalah berkaitan dengan hidupnya.
Keputusan yang salah tak jarang mengakibatkan masa depan menjadi
suram.

2.Pemecahan masalah
Masalah yang tak terselesaikan yang terjadi karena kurangnya
keterampilan pengambilan keputusan akan menyebabkan stres dan
ketegangan fisis.

3. Berpikir kreatif
Berfikir kreatif akan membantu pengambilan keputusan dan pemecahan
masalah. Berpikir kreatif terealisasi karena adanya kesanggupan untuk
menggali alternatif yang ada dan mempertimbangkan sisi baik dan buruk
dari tindakan yang akan diambil. Meski tak menghasilkan suatu
keputusan, berpikir kreatif akan membantu remaja merespons secara
fleksibel segala situasi dalam keseharian hidup.

4. Berpikir kritis
Merupakan kesanggupan untuk menganalisa informasi dan pengalaman
secara objektif. Hal ini akan membantu mengenali dan menilai faktor
yang memengaruhi sikap dan perilaku, misalnya: tata-nilai, tekanan
teman sebaya, dan media.

5. Komunikasi efektif
Komunikasi ini akan membuat remaja dapat mengekspresikan dirinya
baik secara verbal maupun non-verbal. Harus disesuaikan antara
budaya dan situasi, dengan cara menyampaikan keinginan, pendapat,
kebutuhan dan kekhawatirannya. Hal ini akan mempermudah remaja
untuk meminta nasihat atau pertolongan bilamana mereka
membutuhkan.

6. Hubungan interpersonal
Membantu menjalin hubungan dengan cara positif dengan orang lain,
sehingga mereka dapat meciptakan persahabatan, meningkatkan
hubungan baik sesama anggota keluarga, untuk mendapatkan
dukungan sosial, dan yang terpenting adalah mereka dapat
mempertahankan hubungan tersebut; Hubungan interpersonal ini sangat
penting untuk kesejahteraan mental remaja itu sendiri. Keahlian ini
diperlukan juga agar terampil dalam mengakhiri hubungan yang tidak
sehat dengan cara yang positif.

7. Kesadaran diri
Merupakan keterampilan pengenalan terhadap diri, sifat, kekuatan dan
kelemahan, serta pengenalan akan hal yang disukai dan dibenci.
Kesadaran diri akan mengembangkan kepekaan pengenalan dini akan
adanya stres dan tekanan yang harus dihadapi. Kesadaran diri ini harus
dimiliki untuk menciptakan komunikasi yang efektif dan hubungan
interpersonal yang baik, serta mengembangkan empati terhadap orang
lain.
8. Empati
Dengan empati, meskipun dalam situasi yang tidak di kenal dengan
baik, remaja mampu membayangkan bagaimana kehidupan orang lain.
Empati melatih remaja untuk mengerti dan menerima orang lain yang
mungkin berbeda dengan dirinya, dan juga membantu menimbulkan
perilaku positif terhadap sesama yang mengalaminya.

9. Mengendalikan emosi
Keterampilan mengenali emosi diri dan orang lain, serta mengetahui
bagaimana emosi dapat memengaruhi perilaku, memudahkan menggali
kemampuan merespons emosi dengan benar. Mengendalikan dan
mengatasi emosi diperlukan karena luapan emosi kemarahan atau
kesedihan dapat merugikan kesehatan bila tidak disikapi secara benar.

10. Mengatasi stres


Pengenalan stres dan mengetahui bagaimana pengaruhnya terhadap
tubuh, membantu mengontrol stres, dan mengurangi sumber
penyebabnya. Misalnya membuat perubahan di lingkungan sekitar atau
merubah cara hidup (lifestyle). Diajarkan pula bagaimana bersikap
santai sehingga tekanan yang terjadi oleh stres yang tak terhindarkan
tidak berkembang menjadi masalah kesehatan yang serius.

Dengan menerapkan ajaran PKHS, remaja dapat mengambil keputusan


segera untuk menolak ajakan tersebut, merasa yakin akan
kemampuannya menolak ajakan tersebut, berpikir kreatif untuk mencari
cara penolakan agar tidak menyakiti hati temannya dan mengerahkan
kemampuan berkomunikasi secara efektif dan mengendalikan emosi,
sehingga penolakan akan berhasil dilaksanakan dengan mulus.

Dalam menghindari diri dari tindak kekerasan baik fisis ataupun mental,
beberapa kompetensi dari life skills ini dapat membantu remaja
mengambil keputusan agar dapat merespons ancaman atau tindak
kekerasan tersebut. Kekerasan fisis termasuk kekerasan seksual dapat
dihindari dengan berpikir kritis dan kreatif serta menggunakan
komunikasi efektif untuk menghindari dan menyelamatkan diri dari
ancaman tersebut. Kekerasan mental (tekanan, pelecehan, penghinaan)
tidak menimbulkan akibat psikis apabila kompetensi life skills diterapkan
seperti berpikir kreatif, pengendalian emosi dan komunikasi efektif.

Pelaksanaan PKHS di puskesmas di samping meningkatkan


pengetahuan dan keterampilan hidup sehat dapat juga menimbulkan
rasa gembira bagi remaja sehingga dapat menjadi daya tarik untuk
berkunjung kali berikut, serta mendorong melakukan promosi tentang
adanya PKPR di puskesmas kepada temannya dan menjadi sumber
penular pengetahuan dan keterampilan hidup sehat kepada teman-
temannya.

5. Pelatihan pendidik sebaya dan konselor sebaya

Pelatihan ini merupakan salah satu upaya nyata mengikut sertakan


remaja sebagai salah satu syarat keberhasilan PKPR. Dengan melatih
remaja menjadi kader kesehatan remaja atau konselor sebaya dan
pendidik sebaya, beberapa keuntungan diperoleh, yaitu kelompok ini
berperan sebagai agen perubahan di antara kelompok sebayanya agar
berperilaku sehat. Lebih dari itu, kelompok ini terlibat dan siap
membantu dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi PKPR. Kader
yang berminat, berbakat, dan sering menjadi tempat curhat bagi teman
yang membutuhkannya dapat diberikan pelatihan tambahan untuk
memperdalam keterampilan interpersonal relationship dan konseling.

Baca juga: Peran Pendidikan dalam Mengatasi Masalah Kesehatan


Remaja

Kesimpulan

Remaja bukanlah kelompok masyarakat yang tidak menghadapi


masalah kesehatan. Perilaku berisiko yang dijalani akibat tidak tepatnya
keputusan yang diambil pada masa remaja yang labil menghadapkan
remaja kepada masalah kesehatan. Di Indonesia, laju masalah
kesehatan pada remaja sebagai akibat perilaku berisiko jauh lebih cepat
daripada penanganan yang dilakukan oleh banyak pihak. Koordinasi,
integrasi dan sinkronisasi menjadi esensial bagi upaya penanganan
masalah kesehatan pada remaja untuk menekan laju tersebut. Remaja
dengan sifat khasnya dilibatkan secara aktif dalam tiap upaya, selain
dididik sejak dini dan dibekali dengan pendidikan ketrampilan hidup
sehat hingga terampil dalam mengembangkan potensi dirinya untuk
hidup secara kreatif dan produktif. Remaja diberi kesempatan dan akses
seluas-luasnya agar berperilaku positif dan sanggup menangkal
pengaruh yang merugikan bagi dirinya sendiri maupun orang lain serta
mampu menghadapi tantangan secara efektif dalam kehidupannya,
sehingga pembangunan manusia dan tujuan pembangunan milenium
dapat tercapai.

Penulis : Rinni Yudhi Pratiwi

Sumber : Buku The2nd Adolescent Health National Symposia: Current


Challenges in Management
MASALAH PUBERTAS PADA
ANAK DAN REMAJA
10.09.2013

Objektif:

1. Memahami masalah pubertas yang sering dijumpai dalam praktek


sehari-hari.
2. Mengetahui etiologi, klasifikasi, pendekatan diagnosis, dan
penatalaksanaan masalah pubertas.

Pubertas merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak dan


dewasa yang berlangsung dalam tahapan-tahapan dan dipengaruhi oleh
sejumlah faktor neuroendokrin yang kompleks. Faktor tersebut
bertanggung jawab terhadap awitan dan perkembangan menuju
maturitas seksual yang sempurna.1,2 Walaupun umur awitan pubertas
sangatlah bervariasi, sebagian besar anak akan mengawali pubertas
pada umur 8-13 tahun untuk anak perempuan, dan 9-14 tahun untuk
anak laki-laki.2-5 Banyak faktor yang dapat mempengaruhi awitan
pubertas antara lain etnis, sosial, psikologis, nutrisi, fisis dan penyakit
kronis.3,6-,8

Perkembangan pubertas dianggap abnormal bila awal pubertas


terlampau dini atau terlambat. Pubertas prekoks ialah perkembangan
ciri-ciri seks sekunder yang terjadi sebelum usia 8 tahun pada seorang
anak perempuan atau sebelum umur 9 tahun pada seorang anak laki-
laki.3,4,6,9,10

Dalam praktek sehari-hari selain pubertas prekoks dan pubertas


terlambat sering dijumpai masalah pubertas lainnya seperti telars
prematur, pubarke prematur, ginekomastia dan constitutional delay of
growth and puberty. Dalam makalah ini yang akan dibahas adalah
masalah pubertas yang sering dijumpai dalam praktek sehari-hari.

Telars Prematur

Istilah telars prematur pertama kali digunakan oleh Wilkins untuk


menyatakan payudara tanpa disertai tanda-tanda seks sekunder lainnya
(isolated=tersendiri) pada anak perempuan berusia kurang dari 8
tahun.11,12 Pada telars prematur perkembangan payudara dapat terjadi
pada salah satu atau kedua payudara. Prevalensi telars prematur
tertinggi terjadi pada umur dua tahun pertama kehidupan.

Antara tahun 1945-1975 di Amerika Utara dilaporkan 205 kasus telars


prematur. Setelah tahun 1971 jumlah kasus yang dilaporkan cenderung
menurun, kemungkinan disebabkan oleh timbulnya pengetahuan dan
kesadaran bahwa kondisi ini secara klinis lazim dijumpai dan
jinak. Rogdriguez19 dkk (1981), melaporkan 482 kasus telars prematur
pada suatu epidemi di Puer to Rico akibat mengkonsumsi makanan dan
minuman berupa daging ayam, sapi, babi dan susu yang mengandung
preparat estrogen. Pasquino17 dkk, (1990) melaporkan 48 kasus telars
prematur di Minnesota dari tahun 1940 sampai 1984 dengan angka
kejadian 21,2/100.000 orang per tahun. Dari 48 kasus telars prematur
tersebut, 29 orang anak di antaranya berumur kurang dari 2 tahun. Di
Subbagian Endokrinologi Anak dan Remaja FKUI/RSCM dari tahun
1987-1991 tercatat dari 682 kasus baru endokrin, ditemukan 53 (7,8%)
kasus kasus telars prematur.17

Klasifikasi

Dalam klasifikasi pubertas prekoks oleh Styne3 telars prematur


digolongkan sebagai variasi perkembangan pubertas.
Sedangkan Sizonenko, menggolongkannya sebagai pubertas prekoks
10

parsial (inkomplet) yang harus dibedakan dengan pubertas prekoks


sentral dan pubertas prekoks semu (pseudopubertas prekoks).

Etiologi

Studi hormonal belum banyak membantu menentukan etiologi telars


prematur. Beberapa penulis menemukan bukti adanya pengaruh
estrogen sedangkan yang lain tidak menemukannya. Kadar hormon
gonadotropin yang normal maupun meningkat telah dilaporkan.
Estrogen eksogen juga telah dilaporkan sebagai penyebab timbulnya
perkembangan seksual baik melalui ingesti, absorpsi melalui kulit atau
kontak dengan lingkungan.14-16

Patogenesis

Patogenesis telars prematur masih kontroversial. Menurut beberapa


penulis telars prematur disebabkan oleh meningkatnya sensitivitas
secara abnormal jaringan mamae (lokal) terhadap peningkatan sekresi
estrogen fisiologis. Pada beberapa anak perempuan hormonal
spurt cukup untuk menginduksi perkembangan kelenjar payudara parsial
dan juga maturasi derajat tertentu sel epitel vagina.

Bidlingmaier dkk (dikutip dari Ducharme)8 melaporkan bahwa telars


prematur mungkin disebabkan oleh sedikit peningkatan estrogen
ovarium sebagai respons terhadap peningkatan kadar gonadotropin
transien. Penulis lain menduga telars prematur disebabkan oleh
produksi estrogen yang berlebihan secara autonom dari folikel ovarium
yang mengalami transformasi kistik dan luteinisasi pada tahun pertama
hingga ke-empat kehidupan. Selain itu telars prematur juga diduga
dapat disebabkan oleh peningkatan produksi estrogen dari prekursor
adrenal. Berdasarkan studi fungsi Hipotlamaus-Hipofise-Gonad
belakangan ini, diduga bahwa pada pasien telars prematur mungkin
terjadi peningkatan sekresi gonadotropin yang pada akhirnya akan
meningkatkan produksi estrogen. Namun temuan ini belum dikonfirmasi
oleh para ahli lain.1,6,11,12

Perjalanan alamiah

Perjalanan alamiah telars prematur bervariasi dari regresi, persisten,


progresif tanpa disertai gejala lain hingga pasien memasuki usia
pubertas, ataupun berkembang menjadi pubertas prekoks sentral.
Beberapa studi tentang perjalanan alamiah telars prematur di luar negeri
dan tentang konklusinya masih bervariasi.

Mills dkk (dikutip dari Pescovtz)18, melaporkan perjalanan alamiah


selama 7 tahun 46 kasus telars prematur. Dari 46 kasus telars prematur
didapatkan 57% di antaranya menetap selama pengamatan 3-5 tahun,
sebanyak 11% bersifat progresif walaupun tanpa disertai gejala lain, dan
32% mengalami regresi. Suatu studi retrospektif longitudinal lainnya
memperlihatkan sebagian besar telars prematur akan mengalami regresi
dalam jangka waktu 6 bulan hingga 6 tahun setelah diagnosis
ditegakkan. Pada 10% kasus, telars prematur akan menetap hingga
memasuki usia pubertas. Illicki dkk. (dikutip dari Pucarelli)15 dalam
pengamatan jangka panjangnya terhadap 68 kasus telars prematur
mendapatkan regresi payudara terjadi pada 44% kasus dalam jangka
waktu hampir 3 tahun dan pubertas berlangsung normal sesuai usia.
Hanya sebagian kecil telars prematur yang berkembang menjadi
pubertas prekoks sentral.

Pasquino16 dkk. mengamati 52 pasien telars prematur selama 10 tahun


dan mendapatkan hasil sebagai berikut: 3 orang anak berkembang
menjadi pubertas prekoks sentral, 9 orang hilang dari pengamatan, 40
orang selebihnya diikuti selama 2-8 tahun. Dari 40 anak tersebut, 20
orang di antaranya awitannya terjadi sebelum usia 2 tahun, 6 anak di
antaranya telah ada saat lahir (neonatal gynecomastia), sedangkan 14
anak, awitannya terjadi setelah usia 2 tahun. Pucarelli15 dkk.
melaporkan pengamatan 2-6 tahun 100 kasus telars prematur antara
tahun 1975-1990. Ternyata 14 anak (14%) di antaranya berkembang
menjadi pubertas prekoks sentral. Menurut Suranto20, dari 60 kasus
telars prematur yang ditelitinya, sebagian besar pasien (31/60)
mengalami regresi, sebagian kecil (4/60) berkembang menjadi pubertas
prekoks dan sisanya menetap

Selanjutnya keluaran telars prematur dari berbagai penulis dapat dilihat


pada gambar di bawah ini :

Diagnosis

Tujuan diagnostik telars prematur adalah untuk membedakannya


dengan pubertas prekoks sentral sedini mungkin karena tata laksananya
yang sangat jauh berbeda.

Sebagaimana telah dijelaskan, efek peningkatan estrogen pada telars


prematur bersifat lokal sehingga pada telars prematur umumnya tidak
akan terlihat efek sistemik estrogen. Secara klinis akan tampak pola
pertumbuhan linear masih normal tanpa adanya akselerasi, usia tulang
masih sesuai dengan usia kronologis.10,12 Pada pemeriksaan USG pelvis
terlihat uterus berukuran prepubertal (rasio korpus banding serviks
adalah 1:2), sehingga tidak terjadi menstruasi.2

Pemeriksaan hormonal pada telars prematur memperlihatkan pola


prepubertal. Kadar estradiol berada dalam tingkat prepubertal sesuai
dengan usia pasien, namun kadang-kadang sedikit meningkat. Kadar
FSH (Follicle stimulating hormone) basal dan LH (luteinizing hormone)
biasanya normal, namun FSH mungkin agak meningkat. Demikian pula
terhadap uji stimulasi LHRH menunjukkan pola prepubertal (FSH
dominan).16,10,12

Tata laksana

Telars prematur merupakan suatu keadaan yang self limited dan jarang
sekali menjadi pubertas prekoks sentral.10,15,16 Kebanyakan peneliti
berpendapat bahwa telars prematur yang terjadi pada usia kurang dari 3
tahun mempunyai prognosis yang baik, karena payudara umumnya
akan mengalami regresi spontan, sehingga disarankan untuk tidak
melakukan pemeriksaan dan pengobatan yang tidak perlu..
Penjelasan terhadap orangtua merupakan kunci, bertujuan memberikan
keyakinan bahwa sebagian besar telars prematur bersifat jinak dan tidak
perlu khawatir terhadap perkembangan dan pertumbuhan anak
selanjutnya. Yang lebih penting pada kasus telars prematur adalah
pemantauan sedini mungkin kemungkinan terjadinya pubertas prekoks
senrtal yang dapat dilakukan baik secara klinis, laboratoris, maupun
dengan pemeriksaan penunjang radiologis. Hal ini sangat penting agar
terapi sedini mungkin dapat segera dilakukan pada pasien telars
prematur yang berkembang menjadi pubertas prekoks sentral.1,10,18

Walaupun angka kejadian telars prematur yang berkembang menjadi


pubertas prekoks sangat kecil, namun dampak yang ditimbulkan oleh
pubertas prekoks sentral sangat besar, meliputi aspek fisis, sosial,
psikologis baik pada pasien maupun pada orangtua. Oleh sebab itu
setiap pasien telars prematur perlu diamati secara berkala dan teratur
kemungkinan berkembang menjadi pubertas prekoks sentral, sehingga
deteksi dini dan terapi cepat dan adekuat dapat dilakukan.

Pubarke (adrenarke) premature

Pubarke prematur secara klinis didefinisikan sebagai munculnya rambut


pubis sebelum usia 8 tahun pada anak perempuan dan 9 tahun pada
anak laki-laki tanpa disertai tanda-tanda seks sekunder
lainnya. 1,5,9,13 Keadaan ini 3 kali lebih sering dijumpai pada anak
perempuan ketimbang anak laki-laki.21 Dalam praktek sehari-hari hal ini
bisa dijumpai sebagai hal yang fisiologis, naumun ada beberapa
keadaan yang harus disingkirkan seperti tumor atau hiperplasia adrenal.
Anak dengan awitan virilisasi hiperplasia adrenal kongenital dapat
menunjukkan gambaran klinis yang serupa.1,3,21

Mekanisme yang mendasari terjadinya pubarke prematur adalah


terjadinya maturasi dini dari zona retikularis adrenal korteks yang
menyebabkan peningkatan produksi androgen.3,6,21 Pada pubarke
prematur, kadar dihidroepiandrosteronesulfas (DHEAS) meningkat,
sedangkan testosteron masih berada dalam kisaran prepubertas.

Umur saat dijumpainya pubarke prematur sangatlah penting. Munculnya


rambut pubis tersendiri atau bersamaan dengan rambut aksila terutama
dapat terjadi pada usia sedini 5 tahun. Jika dijumpai pada masa bayi,
selalu merupakan kelainan endokrin yang harus segera ditindak lanjuti
yang sebaiknya langsung dirujuk ke spesialis anak konsultan endokrin.
Kasus yang tanpa disertai tanda-tanda virilisasi ataupun
gambaran cushingoid, hasil DHEAS sesuai kisaran nilai pubertas dan
umur tulang tidak lebih dari 1 tahun dari umur kronologis bisa dianggap
sebagai pubarke prematur idiopatik. Kasus seperti ini tidak memerlukan
pengobatan, namun monitoring pertumbuhan, status pubertas, virilisasi
dan gambaran cushingoid setiap 3-4 bulan harus dilakukan.5,21,22

Ginekomastia

Ginekomastia (gyneco=wanita; mastia=payudara) merupakan


pembesaran kelenjar mamae yang terjadi pada laki-laki. Hal ini terjadi
5

karena adanya gangguan fisiologi hormon steroid yang bersifat


sementara (reversibel) maupun menetap.24 Ginekomastia terjadi karena
berbagai macam perubahan dalam payudara termasuk jaringan
penunjang, proliferasi duktus kelenjar mamae, penambahan
vaskularisasi, dan infiltrasi sel-sel radang kronik. Pembesaran seringkali
terjadi pada regio tepat di bawah papila dan areola mamae,24,26 dan
dapat disertai atau tanpa sekresi menyerupai kolostrum, teraba lunak,
dan pembesaran papila dan areola mamae.26 Ginekomastia jangan
dikacaukan dengan lipomastia yaitu lemak subkutan, teraba lunak yang
seringkali tampak seolah-olah mempunyai payudara pada laki-laki
gemuk.

Perjalanan klinis ginekomastia seperti juga efek obat-obatan dapat


dipantau dengan mengukur diameter lempeng jaringan kelenjar mamae
setiap 3 bulan sekali. Sering terjadi asimetri pada perkembangan
ginekomastia, dan perkembangan mamae unilateral dapat selalu
dipertimbangkan sebagai stadium perkembangan ginekomastia
bilateral.27

Etiologi

Hormon stimulans pertumbuhan mamae yang dominan adalah estrogen,


sedangkan androgen mempunyai efek inhibisi yang
lemah. 24,25
Ginekomastia ini akan terjadi bila terdapat penurunan ratio
androgen terhadap estrogen.24,26 Peran prolaktin pada genesis
ginekomastia masih belum jelas. Prolaktin serum pada kebanyakan
pasien ginekomastia dalam batas normal. Prolaktin adakalanya ikut
berperan melalui efek tidak langsung pada gonad dan kemungkinan
pada fungsi adrenal yang dapat menyebabkan perubahan rasio
estrogen atau androgen dalam sirkulasi.26

Manifestasi klinis

Ginekomastia fisiologis
Ginekomastia pada neonatus

Pembesaran payudara pada neonatus diduga disebabkan oleh faktor


estrogen maternal atau plasenta atau kombinasi keduanya.
Pembengkakan ini dapat atau tidak berkaitan dengan produksi ASI dan
biasanya hilang dalam beberapa minggu, walaupun pada beberapa
kasus tertentu dapat menetap lebih lama.26,27

Tabel 2.Klasifikasi ginekomastia26

A. Ginekomastia fisiologis

Ginekomastia pada neonatus

Ginekomastia pubertas

Ginekomastia usia lanjut

B. Ginekomastia patologis

Defisiensi testosteron

 Kelainan kongenital (anorkhia kongenital, Sindrom


Klinefelter, resistensi androgen (feminisasi testis dan
sindrom Reifenstein), kelainan sintesis testosteron)
 Gagal testis sekunder (orkhitis virus, trauma, kastrasi,
penyakit neurologis dan granulomatosa, gagal ginjal)

Peningkatan produksi estrogen

 Peningkatan sekresi estrogen testis (tumor testis, karsinoma


bronkogenik dan tumor lain memproduksi hCG, true
hermaphroditism)
 Peningkatan zat untuk aromatisasi jaringan ekstra-glanduler
(penyakit adrenal, hati, kelaparan, tirotoksikosis)
 Peningkatan aromatisasi ekstraglanduler

Obat-obatan

 Estrogen atau obat yang beraksi seperti estrogen


(dietilstilbestrol, obat kosmetika yang mengandung
estrogen, pil KB, digitalis, makanan yang terkontaminasi
estrogen, fitoestrogen)
 Obat yang meningkatkan produksi estrogen endogen
(gonadotropin,klomifen)
 Obat penghambat sintesis testosteron (ketokonazol,
metronidazol, simetidin, etomi dat, alkylating agents,
cisplatin, flutamid, spironolakton)
 Obat yang mempunyai mekanisme aksi tidak diketahui
(busulfan, isoniazid, metil
 dopa, zat penghambat pompa kalsium, kaptopril,
antidepresan trisiklik, penisilamin, diazepam, marijuana,
heroin)

C. Gikenomastia idiopatik

Ginekomastia pubertas

Pada usia 10 sampai 17 tahun, kira-kira 40% anak laki-laki menderita


ginekomastia transien dengan puncak insidens ( 65%) pada 14 tahun
(gambar 2)27. Ginekomastia pubertas ini akan menghilang secara
spontan pada kira-kira 75% kasus dalam 2 tahun24,25,26 dan 90% dalam 3
tahun. Ginekomastia yang cukup besar pada anak laki-laki terdapat
kurang dari 10%.28.

Manifestasi klinis

Ginekomastia pubertas selalu diawali dengan tanda-tanda


perkembangan seks laki-laki. Perkembangan rambut pubis, pigmentasi
kulit skrotum, dan pembesaran testis (volume 8 ml) khas terdapat
sedikitnya 6 bulan sebelum onset pembesaran payudara.24,27 Pada
ginekomastia pubertas, diameter kelenjar mamae biasanya kurang dari
4 cm menyerupai breast budding. Apabila ukuran mamae pada
ginekomastia serupa dengan M4 atau M5 stadium pubertas perempuan
maka disebut makroginekomastia. Pada keadaan ini, diameter kelenjar
mamae meluas 5 cm atau lebih dan payudara berbentuk kubah. Pada
makroginekomastia regresi spontan tidak mungkin terjadi, dan terapi
tidak boleh terlambat.27

Ginekomastia patologis

Ginekomastia patologis adalah ginekomastia yang disebabkan oleh efek


samping obat atau penyakit yang mendasarinya. Diagnosis banding
ginekomastia patologis, dimulai dengan obat-obatan yang dapat
menyebabkan pembesaran payudara. Pembesaran payudara dapat
terjadi pada kecanduan alkohol kronik walaupun tanpa disertai penyakit
hati.26,27
Hiperplasia mamae sering terjadi pada pemakaian obat-obat penyakit
kronik. Kecurigaan yang tinggi terjadinya ginekomastia karena obat
harus ada untuk anak laki-laki yang memerlukan obat untuk kelainan
psikiatrik, leukemia, limfoma, tuberkulosis, dan penyakit-penyakit
kardiovaskuler.27

Kelainan endokrin

Kelainan endokrin pada ginekomastia patologis umumnya kelainan


endokrin yang secara potensial menyebabkan penurunan konsentrasi
androgen (hipogonadism) atau peningkatan sekresi estrogen. Androgen
dihasilkan testis dan adrenal sehingga baik kelainan pada adrenal
maupun testes dapat menyebabkan ginekomastia. Androgen akan
mengalamai aromatisasi perifer di jaringan menjadi estrogen. Rasio
androgen dan estrogen ini yang berperan pada ginekomastia.

Pada sindrom Klinefelter terjadi hipergonadotropik hipogonadism


seringkali dijumpai ginekomastia. Pada sindrom Kloinefelter gonad
mengalami disgenesis sehingga ukurannya kecil dan lembut. Pada
sindrom Klinefelter resiko terjadinya kanker payudara meningkat sampai
20 kali.26-29 Pada 30% penderita hipertiroid dapat dijumpai ginekomastia.
Pada hipertiroid terjadi peningkatan produksi androstenedion, sehingga
aromatisasi androgen perifer meningkatkan pembentukan.26-28

Ginekomastia yang timbul sebelum usia 10 tahun memerlukan perhatian


khusus karena kemungkinan adanya tumor di hipofisis, adrenal atau
testis. Kebanyakan ginekomastia yang disebabkan tumor hipofisis
merupakan tumor yang mensekresi LH,26,29 Tumor adrenal biasanya
mensekresi androstenedion dalam jumlah besar, yang akan diubah oleh
aromatase jaringan perifer menjadi estron. Tumor sel stroma testis (sel
leydig atau sertoli) dapat mensekresikan estrogen atau hCG. Tumor
germinal testis (choriocarcinoma Ca embional, teratoma) dapat
mensekresikan hCG atau mengambil prekursor hormon steroid sirkulasi
dan mengubahnya menjadi estrogen.

Tumor mamae. kista dermoid, lipoma, limfangioma, dan


rabdomiosarkoma menimbulkan massa pada payudara. Apakah
ginekomastia sendiri merupakan predisposisi terjadinya kanker sampai
sekarang belum ada kesepakatan.

Ginekomastia yang tampak pada malnutrisi, biasanya timbul setelah


peningkatan masukan kalori, mungkin berhubungan dengan disfungsi
hati. Selama kelaparan, produksi hormon-hormon seks turun. Ketika
masukan makanan menjadi normal, baik produksi estrogen maupun
androgen meningkat. Kerusakan hati bersama-sama dengan malnutrisi
mencegah hati mendegradasi estrogen dan terjadi rasio estrogen
terhadap androgen yang tinggi. Pembesaran payudara biasanya akan
menghilang sesuai dengan perbaikan fungsi hati.25,26,28

Ginekomastia idiopatik

Pada keadaan ini penyebabnya setelah dicari tetap tidak diketahui, dan
ginekomastia idiopatik tidak menyebabkan gangguan kesehatan yang
berarti.26

Pendekatan Diagnosis

Tujuan utama pendekatan diagnosis adalah membedakan ginekomastia


fisiologis (pubertas) atau patologis. Gambaran khas kedua keadaan ini
tertera pada tabel 3. Pada anamnesis riwayat pemakaian obat-obatan
sangat penting selain adanya riwayat keluarga dengan prolonged
gynecomastia atau menetap. Pada tahap lanjut harus diidentifikasi ada
tidaknya gagal ginjal, sirosis, hipertiroid, hipogonadisme, malnutrisi,
maupun trauma lokal dinding dada. Ginekomastia pra pubertas atau
yang berhubungan dengan pubertas prekoks memerlukan konsultasi
ahli endokrin.24,27

Kegunaan pemeriksaan fisis adalah untuk memeriksa pembesaran


payudara tersebut mempunyai konsistensi khas ginekomastia dan
mencari tanda-tanda dari penyakit yang mendasarinya. Pada anak laki-
laki yang kurang gizi dan kakheksia mungkin dapat ditemukan penyakit
kronis atau keganasan. Adanya goiter pada pasien yang gelisah atau
gugup memberi kesan hipertiroid. Kurangnya maskulinisasi pada anak
laki-laki dengan testis kecil atau asimetris kemungkinan menderita
hipogonadisme atau tumor feminisasi.27

Tabel 3. Perbedaan gambaran ginekomastia pubertas dan


patologis27

Parameter Ginekomastia pubertas Ginekomastia


patologis

Awitan Usia 10-18 tahun Sebelum usia 10


tahun

Obat penyebab Tidak ada Riwayat positif

Riwayat keluarga Ginekomastia transien Ginekomastia


permanen
Penyakit kronis (-) Hati, ginjal, fibrosis
kistik, hipertiroid,
kolitis ulseratif,
trauma dinding dada

Penyakit genital (-) Orkitis, trauma testis,


kriptorkismus,
hipospadia

Awitan pubertas Normal dan sebelum Prekoks atau setelah


terjadi ginekomastia terjadi ginekomastia

Pemeriksaan fisis Gizi baik, testis Kurang gizi, goiter,


membesar, pubertas testis kecil atau
stadium II-IV asimetris,

under masculinized

Massa mamae Pusat cakram di bawahKeras, massa


papila asimetris tidak di
bawah papila,
limfadenopati
regional

Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sesuai dengan gambaran


klinis. Uji faal ginjal, hati, dan tiroid diindikasikan pada penyakit kronik.
Pemeriksaan karyotipe diperlukan bila ukuran testis remaja kurang dari
3 cm (panjang) dan 8 ml (volume). Anak laki-laki dengan tanda
hipogonadisme, pubertas prekoks, atau makroginekomasti harus
ditentukan kadar LH, FSH, estradiol, testosteron, dehidroepiandrosteron
sulfat (DHAS), dan HCG darah. Kadar prolaktin darah harus diukur bila
terdapat galaktorea. Bila kadar DHAS darah tinggi diperlukan
pemeriksaan lanjut dengan sonografi adrenal, dan bila kadar estradiol
darah tinggi diperlukan sonografi hati, ginjal dan testis. Adanya kadar
hCG yang tinggi merupakan indikasi untuk magneting resonance
imaging (MRI) otak, dada, abdomen, dan testis untuk mencari tumor
yang mensekresi hCG.27,29 Kadangkala diperlukan pemeriksaan
mammografi/USG untuk membedakan ginekomastia dan adipomastia
pada anak laki-laki obese.28

Terapi
Terapi ginekomastia tergantung pada penyebab dan lamanya menderita
ginekomastia. Pada ginekomastia pubertas biasanya hanya memerlukan
penentraman hati.24,25,29 dan dukungan psikososial 24,25 Pada 90% kasus
ginekomastia pubertas regresi spontan terjadi dalam 3 tahun dan dalam
6 bulan dengan terapi medis.27

Terapi medis

Hasil terapi dengan raloksifen30, klomifen sitrat, tamoksifen, testolakton,


danazol dan testosteron atau dihidrotestosteron heptanoat dilaporkan
dengan hasil yang tidak konsisten.24,25,26,30

Tamoksifen dan raloksifen merupkan anti-estrogen. Tamoksifen bekerja


dengan cara berkompetisi dengan estrogen binding site jaringan
mamae. Obat ini cukup aman dan efektif bila diberikan dengan dosis 10-
20 mg 2 kali sehari pada remaja. Selama ini efek samping yang ada
hanya nausea atau abdominal discomfort yang terjadi pada 5% laki-laki
yang diobati dan tidak memerlukan penghentian
pengobatan. 25,26
Lawrence dkk.membandingkan efek terapi raloksifen
dan tamoksifen untuk pengobatan ginekomastia pubertas. Terbukti dari
penelitian tersebut kedua obat cukup efektif menekan reseptor estrogen,
mengurangi ukuran payudara dan cukup aman untuk ginekomastia
pubertas yang persisten. Dari kedua obat tersebut raloksifen memerikan
respons terapi yang lebih baik dibanding tamoksifen.30

Testolakton adalah suatu aromatase inhibitor. Dosis 150 mg 3 kali


sehari, merupakan dosis aman yang tidak menghambat sekresi
gonadotropin atau memperlambat pubertas. 26,27

Dihidrotestosteron heptanoat diberikan secara intra muskuler tapi belum


tersedia secara komersial.. Tidak seperti testosteron, dihidrotestosteron
tidak dapat diaromatisasi (in vivo) menjadi estrogen, oleh karena itu obat
ini tetap mempunyai kemampuan menghambat pembentukan
mamae.25,27

Terapi bedah

Inidikasi bedah pada ginekomastia adalah apabila ukuran melebihi 6 cm


atau jaringan mamae menetap lebih dari 4 tahun dan sudah terjadi
fibrosis luas, dan adanya stres psikologis berat. 26,27,30

Constitutional Delay of Growth and Puberty


Dalam praktek sehari-hari masalah pubertas terlambat yang paling
sering dijumpai adalah Constitutional Delay of Growth and Puberty
(CDGP). Penderita CDGP lebih sering mengeluhkan perawakan pendek
daripada pubertas terlambat.31,32,33,34

CDGP lebih sering dijumpai pada anak laki-lak (90%)i.37,38 Pediatric


Endocrine Ambulatory Center at North Shore University
Hospital melaporkan jumlah anak yang didiagnosis sebagai CDGP
sebanyak 15% dari anak berperawakan pendek.33

Gambaran Klinis

Anak dengan CDGP mempunyai riwayat kelahiran yang normal, dengan


berat lahir yang normal. Sampai kira-kira usia 2-3 tahun pertumbuhan
tampak normal. Selanjutnya setelah umur 2-3 tahun pertumbuhan anak
akan berat badan maupun tinggi badan menurun sehingga menyilang ke
bawah garis persentil-3. Setelah itu kecepatan tumbuh akan normal
kembali yaitu sebesar 5 cm/tahun atau lebih sehingga pertumbuhan
liniernya akan paralel dengan kurva pertumbuhan normal.33,36-39 Pada
anak CDGP dengan riwayat pendek dalam keluarga, manifestasi
gangguan pertumbuhan akan lebih berat.

Dari riwayat keluarga, salah satu atau kedua orangtua mempunyai


riwayat pertumbuhan yang sama dan mengalami pubertas yang
terlambat.31,33,36-39

Pada pemeriksaan fisis didapatkan anak dengan pubertas terlambat


yang disertai perawakan pendek proporsional. 31,34,36-39 Kecepatan tumbuh
pada periode prapubertas sesuai dengan umurnya, dan tinggi badan
akhir akan mencapai batas-batas normal.33-35

Diagnosis

Diagnosis CDGP kadang sulit ditegakan terutama bila datang seblum


usia pubertas dan beberapa ahli masih berbeda pendapat dalam
pengertian CDGP, 38,40 namun ada beberapa keadaan yang dapat
dipertimbangkan sebagai CDGP antara lain40

1. Tidak ditemukan kelainan endokrin, metabolik, kongenital atau


penyakit kronik.
2. Status nutrisi baik
3. Tidak ditemukan kelainan fisik, dismorfik maupun proporsi tubuh
4. Perawakan pendek
5. Pubertas terlambat
6. Usia tulang lebih muda 2 tahun atau lebih dibanding usia kronologis.
7. Prediksi tinggi akhir normal.
8. Dalam keluarga ibu atau kedua orangtuanya, atau salah satu
saudara kandung pernah mengalami pubertas terlambat

Diagnosis Banding

Diagnosis banding pada pubertas terlambat yang disertai perawakan


pendek cukup banyak. Selain beberapa penyakit kronis (misal
talasemia), sindrom Turner merupakan diagnosis banding yang perlu
dipikirkan bila ditemukan pada seorang anak perempuan.

Terapi

CDGP sebenarnya tidak perlu diterapi karena merupakan keadan yang


fisiologis. Namun karena perawakan pendek dapat mengakibatkan
masalah psikososial, sehingga anak akan merasa rendah diri dan
akhirnya orang tua akan membawa anaknya untuk diobati pada saat
masa prepubertas.31,33,35 Perawakan pendek pada CDGP tidak patologis,
sehingga tidak diperlukan pengobatan.36,38,39,40

Crowne dkk dan Bramswig dkk mengobservasi anak laki-laki dengan


CDGP tanpa pengobatan sampai anak tersebut mencapai tinggi dewasa
akhir (usia 21tahun).32 Crowne dkk mendapatkan tinggi akhir rata-rata
adalah 164,1 cm, sedangkan Bramswig dkk sekitar 170 cm, yang
ternyata lebih rendah dari potensi tinggi gentik mereka.42

Masalah yang sering dikeluhkan anak-anak dengan CDGP adalah


mereka merasa kurang percaya diri, mengalami tekanan psikososial,
merasakan bahwa keterlambatan pertumbuhan dan pubertas yang
terjadi pada diri mereka akan berpengaruh terhadap prestasi sekolah,
pekerjaan nantinya ataupun kegiatan sosial.32,36,41 Tekanan psikososial ini
dapat mengganggu perkembangan anak, sehingga banyak orang tua
minta agar anak mereka diberikan pengobatan. Peran ahli jiwa anak
atau psikolog penting untuk menangani masalah ini.

Dari semua opsi pengobatan banyak sentra sekarang menggunakan


oksandrolon atau testosterone untuk induksi pubertas pada CDGP. Ada
juga sentra yang mengkonbinasikan testosterone dengan letrozol, suatu
inhibitor aromatase generasi ke-4 yang sangat potensial.38 Untuk
memulai pengobatan sebaiknya pasien dikonsultasikan ke konsultan
endokrin anak Sebelum pengobatan ada beberapa kriteria yang harus
dipenuhi yaitu:35,36,38,40,42,43
1. Umur minimal 12 tahun untuk oksandrolon dan 14 tahun untuk
testosterone
2. Umur tulang minimal 10 tahun
3. Tinggi di bawah persentil-3
4. Status pubertas masih prepubertal atau Tanner G2 dan kadar
testosterone di bawah 100 ng/dL
5. Pasien terbukti ada gangguan self-image (jaga-imej) dan tidak
berhasil dengan konseling.

Oksandrolone adalah hormon anabolik sintetik suatu derivat testosteron


yang dapat diberikan secara oral dengan dosis 1.25 mg/hari atau 2.5
mg/hari selama 3 sampai 4 bulan. Terapi dihentikan bila volume testis
telah mencapai 10 ml atau tinggi badan yang diinginkan asien
tercapai.35,38,40,42,43 Walaupun oksandrolon ini banyak dipergunakan di
banyak sentra, namun obat ini sulit didapat dan tidak tersedia di
Indonesia.

Testosteron diberikan secara parentral dengan dosis enanthate sebesar


50-200 mg setiap 3 sampai 4 minggu. Biasanya di bulan keempat akan
mulai terlihat tanda seks sekunder. Kecepatan pertumbuhan tinggi
badan yang terjadi 10-12,6 cm/tahun.44 Dengan cara pemberian seperti
yang dianjurkan tidak terjadi percepatan maturasi tulang ataupun
gangguan proses pubertas.40,44 Crowne dkk membandingkan hasil terapi
oxandrolone dan testosteron depo pada CDGP. Penelitiannya
menyimpulkan keduanya memberikan hasil yang sama terhadap
kecepatan pertumbuhan dan pubertas.35

Induksi pubertas pada anak perempuan dengan CDGP adalah estradiol.


Dosis estradiol cypionate yang dianjurkan adalah 0,5 mg intra-muscular
atau ethinyl estradiol 5 μg/hari per oral dapat merangsang tumbuhnya
payudara dan pertumbuhan fisik.39

Walaupun anak dengan CDGP dapat dipercepat pertumbuhannya


dengan berbagai macam hormon, namun pemakaiannya hendaknya
harus dipertimbangkan baik-baik.33,3.9 Pemberian terapi hendaknya baru
diberikan bila memang terjadi kecemasan yang amat berlebihan pada
orang tua atau terjadi tekanan psikososial pada anak. Orang tua harus
diberi pengertian bahwa pemberian terapi tidak merubah tinggi akhir
anak, namun hanya mempercepat pertumbuhan. Terapi tidak
dibenarkan diberikan bila usia kronologis anak kurang dari 12 tahun atau
usia tulang kurang dari 10 tahun.33

Kesimpulan
1. Pubertas adalah bagian dari proses pertumbuhan anak dan remaja
2. Status pubertas termasuk bagian pemeriksaan fisik yang harus
diperiksa pada anak dan remaja
3. Selain tanda seks sekunder, urutan timbulnya tanda seks sekunder
harus diperhatikan
4. Penyimpangan dari proses pubertas dapat terjadi pada semua umur
dari neonatus sampai remaja
5. Masalah pubertas sehari-hari yang sering dijumpai yaitu telars
prematur, telars pubarke, ginekomastia dan CDGP
6. Masalah sehari-hari tersebut harus bisa dikenali dan diketahui yang
mana yang fisiologis atau patologis
7. Untuk masalah yang patologis atau yang memerlukan terapi
hormonal dikonsultasikan ke konsultan endokrin anak

Daftar Pustaka

1. Rosenfield RL. Puberty in the female and its disorders. Dalam:


Sperling MA, 1. penyunting. Pediatric endocrinology. Edisi ke-2.
Philadelphia: Saunders; 2002. h 455-518.
2. Ducharne JR. Forest MG. Normal pubertal development. Dalam:
Bertrand 2. J, Rappaport R, Sizonenkon PC, penyunting. Pediatric
endocrinology. Edisi ke-2. Baltimore: Williams; 1993. h 372-86.
3. Styne DM. Puberty. Dalam: Greenspan FS. Basic and clinical
endocrinology. 3. Edisi ke-3. San Fransisco: Lange; 1992. h 519-40
4. Pathomvanich A, Merke DP, Chrousos GP. Early puberty:A
cautionary tale. J 4. Pediatr 2000;105: 797-802.
5. Cavallo A. Assessment of variation of pubertal development. Dalam
Baker RC, 5. penyunting. Pediatric primary care ill- child care. Edisi
ke-2. Philadelphia: Lippincott William; 2001. h 163-175
6. Delemarre-Van de Waal HA. Central regulation of human puberty .
DeBoer-6. Nieuwkoop: vrije universiteit te Amsterdam, 1984.
Disertasi.
7. Kakarla N, Bradshaw KD. Disorders of pubertal development:
Precocious 7. Puberty. Semin Reprod Med 2003; 21:339-351 (edisi
on line) Diunduh dari: http://www.medscape.com
8. Ducharme JR, Collu R. Pubertal development: Normal precocious
and 8. delayed. Dalam: Bailey JD, penyunting. Clinics in
endocrinology and metabolism. London: Saunders; 1982. h 57-87
9. Brook CGD. Mechanism of puberty. Horm Res 1999;51(suppl3):52-
49.
10. Sizonenko PC. Precosius puberty. Dalam: Bertrand J, Rapaport R,
Sizonenko 10. PC, penyunting. Pediatric endocrinology. Edisi ke-2.
Baltimore: Williams; 1993. h 387-403.
11. Roman R, Johnson MC, Codner E, Boric MA, Avila A, Cassoria F.
Activating 11. GNAS Gene metation in patient with premature
thelarche. J Pediatr 2004;145:1-8.
12. Klein KO, Mericq V, Brown-Dawson J, Larmore KA, Cabezas P,
Cortinez A. 12. strogen level in girls with premature thelarche
compared with normal prepubertal girls as determined by an
ultrasensitive recombinat cell bioassay. J Pediatr 1999;134:1-5.
13. Bridges NA, Brook CGD. Disorders of puberty. Dalam: Brook
CGD, penyunting. 13. Clinical padiatric Endocrinology. Edisi ke-3.
Oxford: Blackwell; 1995. h 253-73.
14. Mills JL, Stolley PD, Davies J, Moshang T Jr. Premature
Thelarche; natural 14. history and etiologic investigation. Am J Dis
Child 1981;135:743-5.
15. Pasquino AM, Pucarelli I, Passeri F, dkk. Progression of premature
thelarche 15. to central precocious puberty. J Pediatr 1995;126:11-4.
16. Pasquino AM, Tebaldi L, Cioschi L, dkk. Premature thelarche: a
follow-up 16. study of 40 girls. Arch Dis Child 1985;60:1180-2.
17. Assin MS. Peranan hormon dalam proses tumbuh kembang anak
dan remaja. 17. Pidato Pengukuhan Penerimaan Jabatan Guru
Besar Tetap dalam Ilmu Kesehatan Anak pada Faklutas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta, 9 Januari 1993.
18. Pescovitz OH, Henh KD, Barnes KM, Loriaux DL, Culter GB Jr.
Premature 18. thelarche and central precocious puberty: the
relationship between clinical presentation and the gonadotropin
response to luteinizing hormone-releasing hormone. J Clin
Endocrinol Metab 1988; 67:474-9.
19. Saenz de Rodriguez Ca, Bongiovanni AM, Conde de Borrego L.
An 19. epidemic of precocious development in Puerto Rican children.
J Pediatr 1985;107:393-6.
20. Suranto A. Perjalanan alamiah telars prematur di Bagian Ilmu
Kesehatan 20. Anak RSCM. Jakarta: Universitas Indonesia, 1999.
Thesis.
21. Lee PA. Disorders of puberty. Dalam: Lifshitz F, penyunting.
Pediatric 21. endocrinology. Edisi ke-3. New York: Marcell Dekker;
1996. h175-95.
22. Klein OK. Editorial: Precocious puberty: Who has it? Who should
be treated? J Clin Endocrinol Metab 1999;84:1-6.
23. Wheeler CE, Cawley EP, Gray HT.Gynecomastia: A review and an
analysis of 160 cases. Ann Intern Med 954;40:985-1001.
24. Braunstein GD. Pubertal gynecomastia. Dalam: Lifshitz F,
penyunting. 24. Pediatric endocrinology. Edisi ke-3. New York:
Marcell Dekker; 1996. h 97-205.
25. Segu VB. Gynecomastia. eMedicine 2004;3:1-10. Diunduh dari:
25. http://emedicine.com
26. Wilson JD, Foster DW. Abnormalities in estrogen metabolism.
Dalam: Larsen: 26. Williams Textbook of Endocrinology. Edisi ke-
10;2003. h 741-7.(Edisi on line). Diunduh dari:
http://home.mdconsult.com
27. Mahoney CP. Adolescent gynecomastia: differential diagnosis and
27. management. Pediatr Clin North Am 1990;37:1389-1401.
28. Templeman C, Hertweck SP. Breast disorders in the pediatric and
adolescent 28. patient. Clin Obstet Gynecol 2000;27:1-14.
29. Styne DM. Disorders of sexual differentiation and puberty in the
male. Dalam: 29. Sperling MA, penyunting. Pediatric endocrinology.
Edisi ke-2. Philadelphia; 2002. h 565-628.
30. Lawrence SE, Faught KA, Vethamutu J, Lawson ML. Beneficial
effects of 30. raloxifene and tamoxifen in the treatment of pubertal
gynecomastia. J Pediatr 2004;145:1-8.
31. Pulungan AB, Delemarre-van de Wall HA. Management of growth
disorders. 31. Paediatr Indones 2002;42:225-38.
32. Crowne EC. Shalet SM, Wallace WHB, Eminson DM, Price D.
Final height in 32. boys with untreated constitutional delay in growth
and puberty. Arch Dis Child 1990;65:1109-12.
33. Lifshitz F, Cervantes CD. Short stature. Dalam: Lifshitz F.
penyunting. Pediatric 33. endocrinology. Edisi ke-3. New York:
Marcel Dekker Inc. 1996; h 1-15.
34. Lee Pa. Disorders of puberty. Dalam: Lifshitz F. penyunting.
Pediatric 34. endocrinology. Edisi ke-3. New York: Marcel Dekker
Inc; 1996. h 175-93.
35. Crowne EC, Wallace WHB, Moore C, Mitchel R, Robert WR,
Shalet SM. 35. Degree of activation of the pituitary-testicular axis in
early pubertal boys with constitutional delay of growth and puberty
determines the growth response to treatment with testosterone or
oxandrolone. J Clin Endocrinol Metab. 1995;80:1869-75.
36. Patel L. Delay in puberty. Dalam:Ryan S, Gregg J, Patel L,
penyunting. Core 36. pediatrics a problem-solving approach.London:
Arnold; 2003. h 324-335.
37. Argente J. Diagnosis of late puberty. Horm Res. 1999;51:95-
10037.
38. Bourguignon JP. Delayed puberty and sexual infantilism. Dalam:
Larsen: 38. Williams Textbook of Endocrinology. Edisi ke-10.
Philadelphia: Saunders WB; 2003. h 1171-1202
39. Rosenfield RL. Diagnosis and management of delayed puberty. J
Clin 39. Endocrinol Metab 1990;70:559-62.
40. Rosenfeld RG, Cohen P. Disorders of growth hormone/Insulin-like
growth 40. factor secretion and action. Dalam:Sperling MA,
penyunting. Pediatric endocrinology. Edisi ke-2. Philadelphia:
Saunders; 2002. h 211-88.
41. Bramswig JH, Fasse M, Holfhoff ML, Lengerke HJ, Petrykowski W,
Schellong G. 41. Adult height in boys and girl with untreated short
stature and constitutional delay of growth and puberty. Accuracy of
five different methods of height. J Pediatr 1990;117: 886-91.
42. Papadimitriou A, Wacharasindhu S. Pearl K, Preece MA,
Stanhope R. Treatment 42. of constitutional growth delay in
prepubertal boy with a prolonged course of low dose oxandrolone.
Arch Dis Child 1991;66:841-3.
43. Wilson DM, Mc Cauley E, Brown DR, Dudley R. Oxandrolone
therapy in 43. constitutional delay of growth and puberty. Pediatrics
1995;96:1095-100.
44. Keenan RS, Richards GE, Pondey SW. Dallas JS, Nagamami M,
Smith ER. 44. Androgen stimulated pubertal growth. The effects of
testosterone and dihydrotestosterone on growth hormone and insulin
like growth factor-1 in the treatment of short stature and delayed
puberty. J Clin Endocrinol Metab 1993;76:996-1001.
45. AlbaneseA,Kewley GD, Long A, Pearl KN. Oral treatment for
constitutional 45. delay of growth and puberty: a randomized trial of
an anabolic steroid or testosterone. Arch Dis Child 1994;71:315-7.
PERAN PENDIDIKAN DALAM
MENGATASI MASALAH
KESEHATAN REMAJA
10.09.2013

Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang


Sisten Pendidikan Nasional, pendidikan diartikan sebagai usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara. Sedangkan tujuan pendidikan adalah untuk mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk
mecapai tujuan pendidikan tersebut diperlukan Sumber Daya Manusia (SDM)
yang berkualitas yang antara lain diwujudkan dengan menciptakan lingkungan
pendidikan yang sehat bagi para peserta didik baik yang tertampung dalam
sistem pendidikan formal maupun yang mengikuti jalur pendidikan non formal.

1. Dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang sehat, kita perlu


memetakan masalah-masalah kesehatan yang terjadi pada remaja dan
lingkungan sekolah, antara lain diketahui sebagai berikut:
2. Total jumlah kasus penyalahgunaan narkoba siswa SMP dan SMA sampai
dengan tahun 2008 tercatat 110.627 kasus , sementara di tahun 2007
tercatat 110.970 dan tahun 2006 sebanyak 73.253
3. Berdasarkan usia: pada usia kurang dari 26 tahun terjadi kasus
penyalahgunaan narkoba sebanyak = 104 kasus, usia antara 16 s.d. 19
tahun = 2.361, 20 sampai 24 tahun = 33.020, 25 sampai 29 tahun =33.699,
dan lebih dari 29 tahun sebanyak =14.859 kasus.
4. Di Indonesia, mayoritas kasus HIV pada generasi muda antara 20 s.d 29
tahun.
5. Setiap tahun di dunia ini kira-kira 15 juta remaja berusia 15 - 19 tahun
melahirkan, 4 juta melakukan aborsi, dan hampir 100 juta terinfeksi Penyakit
Menular Seksual yang bisa disembuhkan. Perkiraan terakhir, setiap hari ada
7.000 remaja terinfeksi HIV.
6. Masalah kesehatan sekolah seperti masalah kesehatan gigi, nutrisi yang
tidak seimbang, masalah kecacingan, kebersihan lingkungan sekolah yang
tidak terjaga dan lain sebagainya.
7. Ancaman dan tantangan yang menanti fase kehidupan remaja antara lain
narkoba, kenakalan remaja, free sex, gaya hidup konsumtif.
8. Sekitar 50 persen remaja usia 15 tahun, dan masih duduk di tingkat
SMP/SMA sudah merokok dan berpacaran. Padahal mereka belum
mengetahui bahaya seks bebas.
9. Peredaran makanan jajanan anak sekolah tidak higienis dan memakai bahan
kimia Rhodamin B (pewarna tekstil), Methanil yellow, amaranth, boraks,
formalin, siklamat, sakarin, dan benzoat.

Remaja dan Permasalahannya

Remaja berasal dari kata latin adolesence yang berarti tumbuh atau tumbuh
menjadi dewasa. Istilah adolensencemempunyai arti yang lebih luas lagi yang
mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik (Hurlock, 1992).
Remaja sebenarnya tidak mempunyai tempat yang jelas karena tidak termasuk
golongan anak tetapi tidak juga golongan dewasa atau tua. Seperti yang
dikemukakan oleh Calon (dalam Monks, dkk 1994) bahwa masa remaja
menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau peralihan karena remaja belum
memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak. Ottorank (dalam
Hurlock, 1990) mengatakan bahwa masa remaja merupakan masa perubahan
yang drastis dari keadaan tergantung menjadi keadaan mandiri, bahkan Daradjat
(dalam Hurlock, 1990) mengatakan masa remaja adalah masa dimana
munculnya berbagai kebutuhan dan emosi serta tumbuhnya kekuatan dan
kemampuan fisik yang lebih jelas dan daya fikir yang matang. Erikson (dalam
Hurlock, 1990) menyatakan bahwa masa remaja adalah masa kritis identitas atau
masalah identitas-ego remaja. Identitas diri yang dicari remaja berupa usaha
menjelaskan siapa dirinya dan apa perannya dalam masyarakat, serta usaha
mencari perasaan kesinambungan dan kesamaan baru para remaja harus
memperjuangkan kembali dan seseorang akan siap menempatkan idola dan
ideal seseorang sebagai pembimbing dalam mencapai identitas akhir. Dari
pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa remaja memiliki
karakteristik sebagai berikut:

1. Secara intelektual remaja mulai dapat berpikir logis, mempunyai kemampuan


nalar secara ilmiah dan mampu menguji hipotesis.
2. Mulai menyadari proses berpikir efisien dan belajar berintrospeksi.
3. Mengalami puncak emosionalitas.
4. Remaja sudah mampu berperilaku yang tidak hanya mengejar kepuasan fisik
saja, tetapi meningkat pada tataran psikologism(rasa diterima, dihargai, dan
penilaian positif dari orang lain).
5. Sudah mampu memahami orang lain.
6. Mempunyai sikap rawan (sikap comfomity) yaitu kecenderungan untuk
menyerah dan mengikuti bagaimana teman sebayanya berbuat.
7. Masa berkembangnya identitas diri.
8. Remaja sudah mampu menyoroti nilai-nilai yang berkembang di masyarakat.

Karakter remaja yang labil dan lingkungannya menyebabkan timbulnya


penyimpangan perilaku yang juga berpengaruh terhadap kesehatan fisik dan
psikologis remaja. Penyimpangan perilaku remaja juga terjadi karena interaksi
faktor-faktor:
 Predisposisi (kepribadian, kecemasan dan depresi): Kepribadian yang tidak
mantap. Ciri kepribadian : gampang kecewa, jadi agresif dan destruktif, rasa
rendah diri, senang mencari sensasi, cepat bosan, merasa tertekan, murung
dan merasa tidak mampu menjalankan fungsinya dalam kehidupan sehari-
hari.
 Kontribusi (keluarga): Keluarga yang disfungsi sosial memungkinkan
yanggota keluarga menjadi anti-sosial. Keluarga yang disfungsi sosial
ditandai dengan: kesibukan orang tua, hubungan interpersonal yang kurang
baik, parental modeling (yang kurang baik).
 Pencetus (kelompok teman sebaya dan zat itu sendiri): Bila remaja ykhawatir
ditolak bergabung dengan kelompok, maka remaja akam berperilaku sesuai
dengan perilaku kelompoknya termasuk penggunaan narkoba.

Upaya Penanganan Masalah Remaja

Beberapa masalah remaja termasuk masalah kesehatan remaja perlu ditangani


secara khusus dengan metode yang khusus pula. Metode mendidik remaja
adalah dengan:

1. Mengembangkan potensi remaja


2. Memandirikan remaja
3. Memberikan kemampuan untuk beradaptasi dan berperilaku yang diperlukan
remaja dalam mengatasi tantangan dan kebutuhan hidup sehari-hari.

Atas dasar metode ini, dalam menangani permasalahan remaja, perlu


dikembangkan pola pendidikan yang berorientasi pada kesehatan psikososial
remaja. Kompetensi psikososial adalah seluruh kemampuan yang berorientasi
pada aspek kejiwaan seseorang terhadap diri sendiri dan interaksinya dengan
orang lain serta lingkungan sekitarnya dalam konteks kesehatan. Kompetensi
psikososial tersebut antara lain :

1. Empati, yaitu kemampuan untuk memposisikan perasaan orang lain pada diri
sendiri.
2. Kesadaran diri, adalah kemampuan untuk mengenal diri sendiri tentang
karakter, kekuatan, kelemahan, keinginan dan tidak keinginan
3. Pengambilan keputusan, adalah kemampuan yang dapat membantu kita
untuk mengambil keputusan secara konstruktif dengan membandingkan
pilihan alternatif dan efek samping yang menyertainya.
4. Pemecahan masalah, adalah kemampuan untuk memungkinkan kita dapat
menyelesaikan masalah secara konstruktif.
5. Berpikir kreatif, yaitu kemampuan unuk menggali alternatif yang ada dan
berbagai konsekuensinya dari apa yang kita lakukan.
6. Berpikir kritis, yaitu kemampuan menganalisa informasi dan pengalaman-
pengalaman secara objektif.
7. Komunikasi efektif, yaitu kemampuan untuk mengekspresikan diri secara
verbal maupun non verbal yang mengikuti budaya dan situasi
8. Hubungan interpersonal, yaitu kemampuan yang dapat menolong kita
beroteraksi dengan sesama secara positif dan harmonis.
9. Mengatasi emosi, yaitu kemampuan keterlibatan pengenalan emosi dalam
diri sendiri dan orang lain.
10. Mengatasi stres, yaitu kemampuan pengenalan sumber-sumber yang
menyebabkan stres dalam kehidupan, bagaimana efeknya dan cara
mengontrol terhadap derajat stres. keterampilan hidup sehat pada remaja
dilakukan dengan:

Penerapan kompetisi psikososial dalam memberikan pendidikan keterampilan


hidup sehat pada remaja dilakukan dengan:

Pembelajaran materi kesehatan

Pendidikan kesehatan berupa materi-materi kesehatan fisik dan psikis. Materi-


materi tersebut antara lain :

 Gizi
 Kesehatan gigi dan gusi
 Puasa dan kesehatan
 Kesehatan mata dan telinga
 Higiene fisik dan lingkungan
 Bahaya narkoba bagi fisik
 Bahaya merokok
 Kesehatan reproduksi remaja
 Penyakit menular lewat hewan
 Penyakit yang biasa dialami siswa
 Penyakit Menular Seksual (PMS)- -

Materi kesehatan Psikologis dan Sosial :

 Psikologi remaja
 Bahaya narkoba ditinjau dari aspek hukum dan psikososial
 Pemahaman diri
 Kepribadian dan konsep diri
 Permasalahan yang biasa dialami remaja
 Teknik konseling/terapi psikologis
 Mengatur waktu
 Pergaulan sehat

Penjaringan masalah

Setelah memahami berbagai pengetahuan yang diberikan, kader kesehatan


remaja dituntut untuk menjadi fasilitator pada pengentasan masalah yang dialami
teman sebayanya, baik kasus kesehaan fisik maupun psikologis, metode
penjaringan diantaranya:

 Pelaporan
 Sistem angket dan kancing

Metode yang digunakan dalam pengentasan masalah, antara lain:


 Ceramah
 Curah pendapat
 Diskusi kelompok
 Debat
 Bermain peran
 Simulasi
 Demontrasi

Referral (Rujukan)

Keterbatasan-keterbatasan yang ada di sekolah memungkinkan banyak kasus


yang terjadi tidak dapat diselesaikan melalui pendidikan keterampilan hidup
sehat disekolah, sehingga diperlukan rujukan kepada lembaga yang lebih
kompeten dalam aspek psikososial.

Upaya yang dilakukan lingkungan pendidikan dalam mengatasi permasalahan ini


adalah dengan ditetapkan dan dilaksanakannya beberapa kebijakan sebagai
berikut:

 Menetapkan sekolah sebagai Kawasan Tanpa Rokok (KTR) melalui


yInstruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 4/U/1997
 Peningkatan penanggulangan penyalahgunaan narkoba di kalangan ysiswa
dan mahasiswa dilakukan oleh kepala sekolah/rektor dengan cara mencegah
melalui berbagai aktifitas dan kreativitas siswa
 Pemberian materi bahaya penyalahgunaan narkoba pada setiap
ypenataran/pelatihan guru mata pelajaran apapun di tingkat SMA/SMK
 Mengintegrasikan pesan/informasi tentang kesehatan reproduksi ypada mata
pelajaran yang relevan
 Sekolah diharapkan dapat melakukan berbagai kegiatan ekstrakurikuler
yuntuk menghindarkan siswa dari perilaku menyimpang.
 Mengembangkan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) untuk mengatasi
ymasalah kebersihan di lingkungan sekolah.
 Mengembangkan program life skills education, atau keterampilan psikososial
untuk mencegah penyalahgunaan narkoba. Pengembangan perilaku hidup
sehat, sikap asertif, kemampuan membuat keputusan, berpikir kritis, perlu
dimiliki oleh peserta didik.
 Menghimbau kepada seluruh perguruan tinggi untuk melaksanakan yupaya-
upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba dan seks

Kesimpulan

Dari semua hal yang perlu, harus, dan telah diterapkan, semuanya bermuara
pada pentingnya penerapan pola hidup sehat baik secara fisik dan psikis.
Penerapan hidup sehat dilakukan dengan prinsip seperti di bawah ini:

Menerapkan pola hidup sehat

 Makanan yang halal dan alami


 Kebiasaan makan yang sehat
 Tegas/ disiplin
 Tidak mudah terpengaruh

Memiliki gaya hidup cermat

 Menghargai waktu
 Menjaga tujuan utama
 Sederhana
 Memiliki perencanaan
 Keseimbangan pengelolaan uang.
 Keseimbangan beraktivitas
 Menghindari hal-hal yang berlebihan
 Berpikir kritis sebelum bertindakUtamakan menjaga kehormatan dan
mematuhi etika.

Memiliki keimanan yang kuat

 Penerapan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari


 Menjadikan agama sebagai pedoman hidup
 Beribadah sesuai dengan tuntutan agama
 Keseimbangan kebutuhan jasmani dan rohani

Penulis: Mukhlis Catio

Sumber : The 2nd Adolescent Health National Symposia: Current Challenges in


Management

Anda mungkin juga menyukai