Anda di halaman 1dari 26

1

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS


PADA PASIEN STROKE HEMORAGIK

1. Konsep Dasar Stroke Hemoragik

1.1. Pengertian

Stroke hemorrhagic adalah disfungsi neurologis fokal yang akut dan disebabkan
oleh perdarahan primer substansi otak yang terjadi secara spontan bukan karena
trauma kapitis, disebabkan oleh karena pecahnya pembuluh arteri, vena, dan kapiler
(Muttaqin, 2010). Smeltzer dan Bare (2009) menjelaskan stroke hemoragik adalah
hilangnya fungsi otak yang disebabkan oleh berhentinya aliran darah ke otak,
akibat pecahnya pembuluh darah serebral dengan perdarahan ke dalam jaringan
otak atau ruang sekitar otak yang menyebabkan kehilangan sementara atau
permanen gerakan, berpikir, memori, bicara, atau sensasi. Jadi dapat disimpulkan
stroke hemorhagik adalah hilangnya fungsi otak yang disebabkan oleh karena
berhentinya aliran darah ke otak, akibat pecahnya pembuluh darah serebral dengan
perdarahan ke dalam jaringan otak yang terjadi secara spontan bukan karena trauma
kapitis, yang dapat menyebabkan disfungsi neurologi fokal akut dapat berupa
kehingan sementara atau permanen gerakan, berpikir, memori, bicara, atau sensasi.

1.2 Etiologi

Muttqin (2010) menjelaskan stroke hemorhagik dapat disebakan oleh karena


hipertensi, perdarahan sub araknoid oleh karena pecahnya aneurisme, perdarahan
intraserebral, kelainan pembuluh darah (vascular malformation) yang disebabkan
oleh angioma vena, angioma kavernosa, telangiktasi kapiler, varises, dan
malformasi arteriovenosa.

Menurut Rab (2011) berdasarkan lokasi perdarahan intrakranial maka perdarahan


pada area epidural dapat disebabkan kebocoran arteri meningeal, perdarahan
subdural disebabkan kebocoran dari vena, perdarahan subarachnoid oleh karena
2

aneurisma atau malformasi arteri vena, perdarahan intraserebral disebabkan karena


hipertensi, malformasi arterivenosus, aneurisma, angiopati amiloid, neoplasma,
infeksi, kelainan hematologi, penggunaan antikoagulan, dan jika lokasi perdarahan
intrakranal pad area intraventrikular dapat disebabakan oleh karena hipertensi,
aneurisma, malformasi arterivena, kelainan hematologi, penggunaan antikoagulan
atau trombolitik.

1.3 Gambaran Klinis Pasien Dengan Stroke Hemoragik

Rab (2011) menjelaskan beberapa keluhan penting pada pasien stroke hemoragik
adalah nyeri kepala, pusing, gangguan pengelihatan, kelemahan otot, gangguan
sensoris, gangguan bicara, abnormalitas alat gerak, dan kehilangan kesadaran
sampai dengan kejang.

Menurut Muttaqin (2010) perbedaan gejala antara pasien stroke nonhemoragik dan
pasien stroke hemoragik adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Perbedaan antara stroke nonhemoragik dengan stroke hemoragik:

Gejala (Anamnesa) Stroke Nonhemoragik Stroke Hemoragik


1 2 3
Awitan (onset) Sub akut Sangat akut atau mendadak
Waktu (saat terjadi awitan) Mendadak Saat aktivitas
Peringatan Bangun pagi/istirahat Tidak ada
Nyeri kepala Teradapat 50 % terutama pada TIA Pasti terdapat nyeri kepala
Kejang Bisa terjadi kejang Terdapat kejang
Kesadaran menurun sampai Kadang Selalu terjadi
dengan koma
Kaku kuduk Tidak ada Ada
Tanda kernig Tidak ada Ada
Edema pupil Tidak ada Ada
Perdarahan retina Tidak ada Ada
Bradikardi Hari ke empat Sejak awal
Penyakit lain Tanda adanya aterosklerosis di Hampir selalu hipertensi,
retina, koroner, perifer. Emboli arterosklerosis, penyakit
pada kelainan katub, fibrilasi., jantung hemolisis (HHD)
bising karotis
Pemeriksaan darah pada LP - +
Rontgen + Kemungkinan pergeseran
glandula pineal
Angiografi Oklusi, stenosis Aneurisma, AVM, masa
intrahemisfer/vasospasme
CT Scan Densitas berkurang Masa intrakranial densitas
(Lesi hipodens) bertambah (lesi hiperdens)
3

Oftalmoskop Fenomena silang silver wire art Perdarahan retina atau corpus
vitreum

Lanjutan Tabel 1.

1 2 3
Lumbal pungsi
a. Tekanan Normal Meningkat
b. Warna Jernih Merah
c. Eritrosit < 250/mm2 > 1000/mm2
Arterigrafi Oklusi Ada pergeseran
EEG Di tengah Bergeser dari bagian tengah

1.4 Penatalaksanaan

1.4.1 Penatalaksanaan Medis

Menurut Muttaqin (2010) untuk mengobati keadaan akut perlu diperhatikan faktor-
faktor kritis sebagai berikut:
a. Berusaha menstabilkan tanda-tanda vital dengan cara mempertahankan saluran
nafas paten dapat dilakukan melalui penghisapan lendir, oksigenasi, kalau perlu
dilakukan trakeostomi dan pemasangan alat bantu nafas mekanis. Pengontrolan
tekanan darah berdasarkan kondisi klien, termasuk usaha memperbaiki
hipertensi. Apabila sudah hipertensi sebelumnya sebaiknya dilakukan
pemeriksaan funduskopi, jika tekanan darah lebih tinggi dari biasa jangan
berikan obat anti hipertensi pada hari pertama, cukup obat antiedema otak.
Kalau tekanan darah tinggi terutama diastole lebih dari 130 mmHg dan tetap
tinggi setelah hari kelima, barulah dimulai dengan pemberian obat-obat anti
hipertensi. Tekanan darah diturunkan jangan sampai kurang dari 150-
160mmHg sistolik dan 90 mmHg diastolik. Tekanan darah yang rendah akan
mengurangi aliran darah ke otak. Mengurangi area cedera maka gangguan irama
dan infark miokard harus segera distabilkan.
b. Memberantas edema otak dengan pemberian kortikosteroid, pemberian osmotik
diuretic seperti manitol dengan dosis 1gr/kgBB.
c. Menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit. Dengan memeriksa elektrolit,
berat jenis urin dan keseimbangan cairan selama 24 jam (input-output), dan
memberikan cairan sesuai kebutuhan.
4

d. Miksi dan defikasi, pada hari pertama sebaiknya dipasang indwelling catheter
untuk menghitung output dan mencegah dekubitus akibat ngompol. Defikasi
diatur dengan pemberian laxantia atau pemberian gliserin perektum dua sampai
tiga hari sekali.
e. Pemberian makanan pada 24 jam pertama tidak diberi makanan dan hanya
dipasang Intra Venous Fluid Drip (IVFD). Cairan yang diberikan glukosa 5 %
sebanyak 1500 cc dalam 24 jam. Bila ternyata ada edema paru sebaiknya
diberikan cairan kristaloid Ringer Laktat. Pada hari kedua atau ketiga dapat
dipikirkan dimulai dengan makanan personde.
f. Menempatkan klien dalam posisi yang tepat, harus dilakukan secepat mungkin.
Posisi harus dirubah setiap dua jam dan dilakukan latihan-latihan gerak pasif,
pasien ditempatkan pada posisi lateral atau semi telungkup dengan kepala
tempat tidur agak ditinggikan sampai dengan vena serebral berkurang.
g. Pencegahan kemungkinan timbulnya pneumonia hipostatik dengan pemberian
antibiotika.
h. Bila demam tinggi lakukan kompres. Pada kasus perdarahan otak dianjurkan
memberikan obat-obatan memperkuat dinding pembuluh darah dan
memperbaiki metabolisme otak misalnya citicolin, vitamin C dan terapi
koagulan

1.4.2 Pengobatan Konservatif

Menurut Smeltzer dan Bare (2009) pengobatan konservatif untuk pasien stroke
adalah:
a. Pemberian oksigen untuk untuk memaksimalkan oksigenasi darah adekuat ke
otak, dapat dilakukan intubasi endotrakhea dan ventilasi mekanis pada pasien
stroke masif.
b. Pemberian cairan intravena untuk penurunan viskositas darah dan memperbaiki
aliran darah serebral. Hipertensi atau hipotensi ekstrem perlu dihindari untuk
mencegah perubahan aliran darah
c. Pemberian terapi diuretik untuk menurunkan edema serebral serebral dan
pemberian terapi neuro protector.
5

1.4.3 Pengobatan Pembedahan

Rab (2011) menjelaskan tujuan utama adalah memperbaiki aliran darah serebri
dengan:
a. Endosterektomi karotis membentuk kembali arteri karotis, yaitu dengan
membuka arteri karotis di leher.
b. Revaskularisasi merupakan tindakan pembedahan dan manfaatnya paling
dirasakan oleh klien TIA (Transient Ischemic Attack).
c. Evakuasi bekuan darah dilakukan pada stroke akut.
d. Ligasi karotis komunis di leher khususnya pada pasien aneurisma.

1.5 Komplikasi

Smeltzer dan Bare (2009) menjelaskan komplikasi stroke hemoragik adalah


hipoksia serebral, penurunan aliran darah serebral dan luasnya area cedera.

Hipoksia serebral diminimalkan dengan memberi oksigenasi darah adekuat ke otak.


Fungsi otak bergantung pada ketersediaan oksigen yang dikirimkan ke jaringan.
Pemberian oksigenasi suplemen dan mempertahankan hemoglobin serta hematokrit
pada tingkat dapat diterima akan membantu mempertahankan oksigenasi jaringan.

Aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan integritas
pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (cairan intravena) harus menjamin
penurunan viskositas darah dan memperbaiki aliran darah serebral. Hipertensi dan
hipotensi ekstrem perlu dihindarkan untuk mencegah perubahan aliran darah
serebral dan potensi meluasnya area cedera.

1.6 Prognosa
Menurut Junadi, Soemasto, dan Amelz (2010) menjelaskan prognosa stroke
hemoragik buruk jika pasien masuk rumah sakit sudah dalam keadaan koma,
sebaliknya pasien sadar penuh akan memiliki hasil yang baik. Pada fase akut 48
6

sampai dengan 72 dari awal serangan, prioritas tindakan pada fase akut adalah
mempertahankan jalan nafas dan ventilasi.
2. Web Of Causation (WOC)

2.1 Pathway

Etiologi Stroke Hemoragik:


1. Perdarahan epidural: kebocoran arteri meningeal
2. Perdarahan Subdural: kebocoran vena cerebral
3. Perdarahan sub arachnoid: aneurisma,
malformasi arterivena.
4. Perdarahan intraserebral: hipertensi, malformasi
arterivena, angiopati amiloid, neoplasma, infeksi,
kelainan hematologi, penggunaan antikoagulan

Retikularis Medulla Perembesan darah ke dalam parenkim otak


Oblongata dan Pons Koservatif Pembedahan:
Craniotomi, Boorhole
Work Of Breathing Penekanan jaringan otak
Situasi Baru,
Menurun Resusitasi
perlu pajanan
Infark otak, edema dan herniasi otak informasi Otak
Pola nafas biot
Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak Ventilasi Mekanis
Defesiensi
Gangguan pengetahuan
ventilasi spontan Disfungsi respon
Defisit neurologis penyapihan
ventilator

Reflek menelan Kehilangan kontrol Disfungsi bahasa Disfungsi Peningkatan TIK


menurun volunter dan komunikasi kandung kemih
dan saluran
Plegi, parese pencernaaan Penurunan
Disfagia Disartia, distasia, Kejang
apraksia kesadaran

Intake nutrisi tidak Hambatan mobilitas Gangguan


adekuat fisik Hambatan eleminasi urine Cushing Sindrom
Defisit perawatan komunikasi
diri verbal
Ketidakseimbangan Inkonstenensia Risiko Cidera
nutrisi: kurang dari Kemampuan batuk Defikasi
kebutuhan menurun Nyeri kepala
Kegagalan
Kurang mobilitas Kardiovaskular dan
respirasi Nyeri akut

Produksi sekret
bertambah Kematian

Ketidakefektifan
bersihan jalan
nafas
Gambar 1. Pathway Stroke Hemoragik
Keterangan:
: Hubungan sebab akibat
aa : Masalah Keperawatan
7

2.2 Penjelasan

Stroke hemorhagik dapat berupa perdarahan epidural yang disebabkan oleh


kebocoran arteri meningeal, perdarahan subdural disebabkan oleh kebocoran vena
cerebral, perdarahan sub arachnoid dapat disebabkan oleh aneurisma, malformasi
arterivena, perdarahan intraserebral dapat disebabkan karena hipertensi, malformasi
arterivena, angiopati amiloid, neoplasma, infeksi, kelainan hematologi, penggunaan
antikoagulan. Perdarahan yang sangat luas akan menyebabkan penekanan jaringan
otak yang dapat mengakibatkan iskemia jaringan otak pada area yang disuplai oleh
pembuluh darah yang bersangkutan, edema dan kongesti jaringan sekitar, herniasi
otak pada falks serebri atau lewat foramen magnum. Jika sirkulasi serebri terhambat
dapat menimbulkan masalah keperawatan risiko ketidakefektifan perfusi jaringan
serebral.

Penekanan jaringan otak pada stroke hemoragik pada daerah pusat nafas yaitu pada
area retikulasi medulla oblongata dan pons akan menyebabkan gangguan pola nafas
pasien, gangguan pernafasan sentral dapat menyebabkan kerja nafas menurun yang
disertai dengan periode apnea sering disebut pernafasan biot, sehingga
menimbulkan masalah keperawatan gangguan ventilasi spontan.

Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat


menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron yang terkena darah dan
sekitarnya tertekan lagi, anoksia serebri akan mengakibatkan terjadinya tanda dan
gejala defisit neurologi. Penurunan kemampuan bahasa tergantung dari daerah lesi
yang memengaruhi fungsi dari serebri, dapat berupa disfasia yaitu pasien tidak
dapat memahami bahasa lisan maupun tulisan, disartia kesulitan bicara, dan
apraksia ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya.
Penurunan kemampuan bahasa akan menimbulkan masalah keperawatan hambatan
komunikasi verbal. Paralisis saraf kranial IX dan X menyebabkan kemampuan
menelan menurun, pasien mengalami kesukran membuka mulut, produksi saliva
bertambah akibat gamgguan reflek menelan. Gangguan terhadap reflek menelan
8

akan mengakibatkan menurunya asupan nutrisi enteral sehingga menimbulkan


masalah keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.

Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan mengakibatkan kehilangan kontrol
volunter terhadap gerakan motorik. Gangguan kontrol volunter pada salah satu sisi
tubuh dapat menunjukkan kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang
berlawanan dari otak. Dapat terjadi parese maupun plegi, sehingga menimbulkan
masalah keperawatan gangguan mobilitas fisik dan defisit perawatann diri.
Kemampuan pasien untuk batuk juga terganggu sehingga menyebabkan terjadinya
infeksi saluran nafas, dengan ketidakmampuan pasien untuk mobilisasi sehingga
menyebabkan peningkatan produksi sputum pada lapang paru sehingga
menimbulkan masalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas.

Pasien stroke akan mengalami inkontinensia urine sementara, akibat konfusi,


ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan dan ketidakmampuan
menggunakan urinal akibat kerusakan kontrol motorik dan postural. Inkontonensia
urine yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas, menimbulkan
masalah keperawatan gangguan eleminasi urine. Pola defikasi biasanya terjadi
akibat penurunan peristaltik usus, dapat terjadi inkontinensia defikasi yang
menunjukkan kerusakan neurologis luas.

Peningkatan tekanan intrakranial dapat menimbulkan sindroma cushing yaitu


tekanan darah meningkat disertai dengan denyut nadi menurun. Kerusakan
parenkim otak akibat volume darah perdarahan yang relatif banyak akan
mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial, menurunnya tekanan perfusi otak
serta terganggunya drainage otak dan terjadinya konvulsi, sehingga menimbulkan
masalah risiko cedera. Kematian pada pasien stroke hemoragik dapat disebabkan
kompresi batang otak, hemisfer otak, dan perdarahan batang otak. Kegagalan
kardiovaskular dan respirasi akibat perembesan darah ke ventrikel otak dinukleus
kaudatus, talamus, dan pons. Nyeri kepala sering dikeluhkan pada sebagai gejala
penyerta perdarahan kortikal atau perdarahan di ventrikel seiring dengan tanda
peningkatan TIK, menimbulkan masalah keperawatan nyeri akut.
9

Tatalaksana medis untuk stroke hemoragik dapat berupa pengobatan konservatif


dan pembedahan. Pada pengobatan konservatif karena pasien harus menjalani rawat
inap, perawat perlu mengkaji respon psikologi, sosial dan kemampuan pasien dalam
mengalami krisis baru dalam kehidupannya, perlunya pajanan informasi yang
adekuat sehingga pasien dan keluarga pasien mempunyai koping yang positif dalam
penentuan rencana keperawatan. Kemajuan teknologi dan adanya perbaikan
prosedur pencitraan dan teknik pembedahan memungkinkan pembedahan untuk
melokalisasi dan mengatasi lesi intrakranial dengan ketepatan yang lebih besar.
Mengkaji fungsi pernafasan adalah esensial karena hipoksia ringan dapat
meningkatkan iskemia serebral dan peningkatan tekanan intrakranial (TIK)
sehingga pasca evakuasi clote srebral baik dengan metoda boorhole atau kraniotomi
pasien dilakukan resusitasi otak dengan pemberian perawatan di ruang ICU
(intensive care unit) dengan menggunakan ventilasi mekanis dalam 24 jam pertama
pasca bedah, dapat menimbulkan masalah keperawatan disfungsi respon
penyapihan ventilator.

3. Pengkajian Pada Pasien Stroke Hemorhagik

3.1 Pengkajian B6

Data yang dapat dikumpulkan pada pasien stroke hemoragik dengan pengkajian dan
pemeriksaan fisik pada B6, menurut Muttaqin (2010) sebagai berikut:

3.1.1 Breathing (B1)

Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak nafas,


peningkatan penggunaan otot-otot bantu nafas, dan peningkatan frekuensi
pernafasan. Auskultasi bunyi nafas tambahan seperti ronkhi pada pasien dengan
peningkatan produksi sputum dan kemampuan batuk yang menurun yang sering
ditemui pada pasien stroke dengan penurunan tingkat kesadaran.

3.1.2 Blood (B2)


10

Tekanan darah biasanya terjadi peningkatan dan bisa terdapat hipertensi masif
tekanan darah sistolik > 200mmHg. Dapat terjadi cushing sindrom sebagai tanda
peningakatan TIK dimana terdapat peningkatan tekanan darah, namun terjadi
bradikardi.

3.1.3 Brain (B3)

Stroke menyebabakan berbagai defisit neurologis bergantung pada lokasi lesi,


ukuran area yang perfusinya tidak adekuat, dan aliran darah kolateral (sekunder
atau aksesori.

3.1.3.1 Tingkat Kesadaran

Kualitas kesadaran pasien merupakan parameter yang paling mendasar dan paling
penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat kesadaran dan respon terhadap
lingkungan adalah indikator paling sensitive untukk mendeteksi disfungsi sistem
persarafan. Pada keadaan lanjut, tingkat kesadaran pasien stroke secara kualitatif
dapat pada tingkat letargi, stupor sampai dengan koma. Penilaian GCS sangat
penting untuk menilai kesadaran secara kuantitatif untuk evaluasi asuhan yang telah
diberikan.

3.1.3.2 Fungsi Serebri

a. Status mental: observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya
bicara klien, observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik dimana pada
pasien stroke hemoragik pada tahap lanjut biasanya status mental mengalami
perubahan.
b. Fungsi intelektual: didapatkan penurunan ingatan dan memori baik jangka
pendek maupun jangka panjang. Penurunan kemampuan berhitung dan
kalkulasi.
c. Kemampuan bahasa: lesi pada daerah hemisfer yang dominan pada bagian
posterior dari girus temporalis superior (area Wernicke) didapatkan disfasia
reseptif, yaitu klien tidak dapat memahami bahasa lisan maupun bahasa tertulis.
Lesi pada bagian posterior girus frontalis inferior (area broka) didapatkan
11

disfasia ekspresif yaitu pasien dapat mengerti, tetapi tidak dapat menjawab
dengan tepat dan bicaranya tidak lancar. Disartria (kesulitan bicara) ditunjukkan
dengan bicara yang sulit dimengerti akibat paralisis otot yang bertanggung
jawab untuk menghasilkan bicara. Apraksia adalah ketidakmapuan untuk
melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya.
d. Lobus frontalis: kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis didapatkan bila
kerusakan terjadi pada lobus frontal kapsitas, memori, atau fungsi intelektual
kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak. Disfungsi ini dapat ditunjukkan
dalam lapangan perhatian terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa, dan
kurang motivasi.
e. Hemisfer: stroke hemoragik pada hemisfer kanan menyebabkan hemiparese
sebelah kiri tubuh, penilaian buruk, dan mempunyai kerentanan terhadap sisi
kolateral. Stroke pada hemisfer kiri, mengalami hemiparese kanan, perilaku
lambat dan sangat hati-hati, kelaianan lapang pandang sebelah kanan, disfagia
global, afasia, dan mudah frustasi.

3.1.3.3 Pemeriksaan Saraf Kranial

a. Saraf I: pada pasien stroke tidak terdapat kelainan pada fungsi penciuman.
b. Saraf II: disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensorik primer di
antara mata dan korteks visual. Gangguan hubungan hubungan visual-spasial
(mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering terlihat
pada pasien dengan hemiplegi kiri.
c. Saraf III, IV, dan VI: paralisis sesisi otot-otot okularis didapatkan penurunan
kemampuan gerakan konjugat unilateral di sisi yang sakit.
d. Saraf V: paralisis saraf trigeminus, didapatkan penurunan kemampuan
koordinasi gerakan mengunyah. Penyimpangan rahang bawah ke sisi ipsilateral
dan kelumpuhan sesisi otot-otot pterigoideus internus dan eksternus.
e. Saraf VII: persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris, otot wajah
tertarik ke bagian sisi yang sehat.
f. Saraf VIII: tidak ditemukannya tuli konduktif dan tuli persepsi.
g. Saraf IX dan X: kemampuan menelan kurnag baik, kesukaran membuka mulut.
h. Saraf XI: Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius
12

i. Saraf XII: lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan fasikulasi. Indera
pengecapan normal.

3.1.3.4 Sistem Motorik

Stroke hemoragik merupakan penyakit neuron atas dan mengakibatkan kehilangan


kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Gangguan kontrol volunter pada salah
satu sisi tubuh dapat menunjukkan kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang
berlawanan dari otak.
a. Inspeksi umum, didapatkan hemiplegi (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi
pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparese atau kelemahan salah satu sisi
tubuh.
b. Fasikulasi didapatkan pada otot-otot ektremitas.
c. Tonus otot didapatkan meningkat.
d. Kekuatan otot, pada penilaian dengan menggunakan nilai kekuatan otot pada
sisi yang sakit didapatkan nilai 0.
e. Keseimbangan dan koordinasi, mengalami gangguan karena hemiparese dan
hemiplegia.
f. Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau
periosteum derajat refleks pada respon normal. Pemeriksaan refleks patologis,
pada fase akut refleks fisiologis pada sisi yang lumpuh akan menghilang.
Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali didahului dengan
refleks patologis.
g. Gerakan involunter: tidak ditemukan adanya tremor, Tic (kontraksi saraf
berulang), pasien biasanya mengalami kejang umum, terutama pada stroke
disertai suhu tubuh yang tinggi. Kejang berhubungan dengan area fokal kortikal
yang peka.

3.1.3.5 Sistem Sensorik

Dapat terjadi hemihipestesi. disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras


sensorik primer. Gangguan hubungan visual spasial, sering terlihat pada pasien
13

dengan hemiplegi kiri tidak dapat memakai pakaian tanpa bantuan karena
ketidakmapuan untuk mencocokkan pakaian ke bagian tubuh. Dapat terjadi
kehilangan sensorik, dengan proprioseptif (kemampuan merasakan posisi dan
gerakan bagian tubuh) serta kesulitan dalam menginterpretasikan stimuli visual,
taktil, dan auditorius.

3.1.4 Bladder (B4)

Setelah stroke pasien mungkin mengalami inkontinensia urine sementara karena


konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan
untuk menggunakan urinal karena kerusakan motorik dan postural. Kadang kontrol
sfingter urinarius eksternal hilang atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan
kateterisasi intermitten dengan tehnik steril. Inkontinensia urine yang berlanjut
menunjukkan kerusakan neurologis luas.

3.1.5 Bowel (B5)

Didapatkan adanya keluhan menelan, nafsu makan menurun, mual, dan muntah
pada fase akut. Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi
asam lambung sehingga menimbulkan masalah pemenuhan kebutuhan nutrisi. Pola
defikasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus. Adanya
inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.

3.1.6 Bone (B6)

Disfungsi motor yang paling umum pada pasien stroke adalah hemiplegi (paralisis
pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparese atau
kelemahan salah satu sisi tubuh adalah tanda yang lain. Pada kulit, jika pasien
kekurangan oksigen kulit akan tampak pucat dan jika kekurangan cairan maka
turgor kulit akan buruk. Disamping itu perlu juga dikaji tanda-tanda dekubitus.
Adanya kesukaran untuk beraktifitas karena kelemahan, kehilangan sensorik, atau
paralisis/hemiplegi, mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan
istirahat.
14

Menurut Thompson (1997) tanda dan gejala fisik pasien dengan perdarahan
intrakranial spontan adalah biasanya tidak disertai tanda dan gejala awal.
Terjadinya penurunan kesadaran secara tiba-tiba sampai dengan koma atau stupor
dan terdapat defisit neurologi. Nyeri kepala dan nuchal rigidity akan ditemui pada
perdarahan kortikal atau peradarahan di dalam ventrikel. Perdarahan sub arachnoid
yang disebabkan pecahnya intrakranial aneurisma dan atau arteriovenous
malaformation (AVM) memberikan tanda dan gejala nyeri kepala hebat dengan
awitan tiba-tiba, kelelahan yang sangat, dan nyeri pada mata. Penurunan kesadaran
akan mengikuti awaitan nyeri kepala. Penurunan kesadaran dapat sampai dengan
koma tergatung letak dan luasnya perdarahan. Rangsangan meningen seperti kaku
kuduk, photophobia, vomiting, dan kernig’sign. Defisit neurologi sesuai dengan
lokasi dan ukuran perdarahan. Defisit neurologi merupakan tanda perburukan dari
serbral iskemik atau hematom intra serebral.

3.2 Pemeriksaan Diagnostik


Menurut McQuillan (2006) pemeriksaan dignostik yang dilakukan pada pasien
stroke hemoragik adalah:

3.2.1 Laboratorium
a. Faktor pembekuan darah (Angka platelet, PT, PTT, INR): untuk mengetahui
keadekuatan pembekuan darah.
b. CBC (Complete Blood Count) atau hematologi rutin untuk mengetahui indikasi
dari penyebab stroke hemoragik apakah berhubungan dengan infeksi, inflamasi,
atau keganansan.
c. Serum glukosa dan kadar elektrolit.
d. Pemantauan bahan-bahan kimia atau obat-obatan yang dapat mencetuskan
terjadinya stroke hemoragik (toxicology screen)

3.2.2 Pemeriksaan Radiologi


a. CT Scan: pada hemoragik akut dapat menggambarkan ukuran, lokasi,
kumungkinan penyebab seperti tumor, dan komplikasi dari stroke hemoragik
seperti heriniasi dan hydrocephalus.
15

b. MRI: akan menggambarkan apakah perdarahan dan area serebral yang edema,
juga dapat menggambarkan penyebab dari stroke hemoragik.
c. Untuk mengetahui penyebab dari kerusakan pemuluh darah otak dapat
dilakukan CT angiography, MRA, angiogravi serebral (berguna untuk
mengetahui intrakranial aneurisma, arteriovenous malformations).

3.2.3 Lumbal Pungsi

Untuk sangkaan kondisi klinis SAH tanpa adanya penampakan perdarahan pada CT
Scan Kepala maupun tidak adanya peningkatan tekanan intrakranial. Jika stroke
hemoragik perdarahannya meluas sampai dengan ventrikel atau adanya SAH maka
cairan serebrospinal (CSF) mengandung sel darah merah dan warna likuor masih
kelihatan normal (xanthocromic). Peningkatan jumlah protein dan sel darah putih
pada CSF. Tekanan CSF juga kadang meningkat.

4. Diagnosa Keperawatan Pada Pasien Stroke Yang Menjalani Rawat Inap


di Ruang ICU

Menurut Herdman dan Kamitsuru (2016), serta berdasarkan WOC pada pasien
stroke hemoragik yang telah disusun maka diagnosa keperawatan yang mungkin
pada pasien stroke hemoragik yang dirawat di ruang ICU adalah:

4.1 Breathing (B1)


a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan disfungsi
neuromuskular ditandai dengan batuk yang tidak efektif, tachypnea, produksi
sputum dan saliva dalam jumlah yang berlebihan, adanya suara nafas tamabah
(ronchi +/+) pada seluruh lapang pandang.
b. Gangguan ventilasi spontan berhubungan dengan penekanan pada pusat kerja
nafas ditandai dengan dispnea, adanya tanda-tanda distress nafas: pola nafas
biot, asidosis respiratorik, penurunan kesadaran.
4.2. Blood (B2)
a. Risiko cedera berhubungan dengan disfungsi integritas sensori, gangguan
orientasi afektif (penurunan kesadaran, sindrom cushing), kejang, tirah baring
lama.
16

4.3 Brain (B3)


a. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan hipertensi,
masa protrombin abnormal, tromboplastin parsial abnormal, gangguan
serebrovaskular (stroke hemoragik).

4.4 Bladder (B4)


a. Gangguan eleminasi berhubungan dengan gangguan sensasi motorik ditandai
dengan ikontinensia urine, retensio urine.

4.5 Bowel (B5)


a. Inkontinensia defikasi berhubungan dengan penurunan tonus otot, kesulitan
perawatan diri toileting, imobilisasi, kerusakan saraf motorik ditandai dengan
dorongan defikasi, ketidakmampuan mengeluarkan feses padat bahkan
mengetahui rektum penuh, ketidakmampuan mengenali dorongan defikasi.
b. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan makan ditandai dengan terjadi penurunan berat badan 20%
atau di bawah rentang ideal, bising usus hiperaktif, gangguan sensasi rasa,
kelemahan otot untuk mengunyah dan menelan, ketidakmampuan memakan
makanan.

4.6 Bone (B6)


a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi: peradarahan intracranial
yang luas, tekanan intrakranial yang meningkat ditandai dengan: dilatasi pupil
kontralateral, bukti nyeri dengan simbul (VAS, FLACC)
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskular
(hemiplegi, hemiparese) ditandai dengan kesulitan membolak-balik tubuh,
keterbatasan rentang gerak.
c. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan sirkulasi ke otak
(kerudakan pada area bicara pada hemisper otak), kelemahan secara umum,
kehilangan kontrol tonus otot facial atau oral ditandai dengan kesulitan
mengekspresikan perilaku secara verbal (afasia, disfasia, apraksia), pelo.
17

Pasca operasi kraniotomi pasca evakuasi cerebral bleeding atau cerebral blood
clote maka diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah:
a. Disfungsi respon penyapihan ventilator berhubungan dengan ketidakefektifan
bersihan jalan nafas, ketergantungan ventilator lebih dari empat hari ditandai
dengan terdapat tanda-tanda distress nafas saat proses penyapihan ventilator:
kardiovaskular tidak stabil (tekanan darah tinggi, takikardi), penyimpangan
hasil AGD
b. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurangnya pajanan informasi
tentang stroke hemoragik dan tatalaksannya ditandai dengan pengungkapan
ketidaktahuan pasien dan atau keluarga penanggung jawab pasien tentang
tatalaksana stroke hemoragik, tidak dapat mengambil keputusan segera
terhadap informed concern yang diberikan.

5. Intervensi Keperawatan Pada Pasien Stroke Di Ruang ICU


Tabel 2. Intervensi keperawatan pada pasien stroke hemoragik di ruang ICU
RENCANA KEPERAWATAN
NO DIAGNOSA KEPERAWATAN NURSING OUTCOME NURSING INTERVENTIONS
CLASSIFICATION (NOC) CLASSIFICATION (NIC)
1 2 3 4
1 Ketidakefektifan bersihan jalan Respiratory Status: Airway AirWay Management:
nafas berhubungan dengan Patency 1) Lakukan auskultasi suara
disfungsi neuromuskular ditandai Setelah diberikan tindakan nafas: suara nafas yang
dengan batuk yang tidak efektif, keperawatan 3 x 24 jam mengindikasikan lendir
tachypnea, produksi sputum dan diharapakan dapat adalah ronchi
saliva dalam jumlah yang dilakukannya bersihan jalan 2) Identifikasi kemungkinan
berlebihan, adanya suara nafas nafas secara adekuat dengan kebutuhan pasien untuk
tambahan (ronchi +/+) pada kriteria hasil: pemasangan alat bantu
seluruh lapang paru. a. Pernafasan dewasa: 10- nafas definitive
35x/menit 3) Monitor respirasi dan status
b. Irama nafas teratur , tidak oksigen
terdapat pernafasan 4) Posisikan pasien untuk
agonal memaksimalkan ventilasi:
Lanjutan Tabel 2.
18

1 2 3 4
c. Kerja nafas maksimal: head up 30-450, jaga posisi
dinding dada kuat angkat kepala agar tetap ekstensi
saat inspirasi 5) Lakukan pemasangan OPA
d. Dapat dilakukannya atau NPA
persihan jalan nafas: 6) Lakukan bersihan jalan
mandiri (batuk efektif), nafas dengan batuk efektif
e. Tidak terdapatnya suara atau suction
nafas tambahan (ronchi) 7) Lakukan chest fisiotherapy
f. Tidak terdapatnya 8) Kolaborasi :
penggunaan otot-otot Dokter: dalam pemberian
bantu nafas terapi bronkodilator
2 Gangguan ventilasi spontan Respiratory Status Air Way Management:
berhubungan dengan penekanan Setelah diberikan tindakan 1) Monitor respirasi dan status
pada pusat kerja nafas ditandai tindakan keperawatan 1x24 oksigenasi
dengan dispnea, adanya tanda- jam ancaman gagal nafas 2) Dengarkan suara nafas: kaji
tanda distress nafas: pola nafas tidak terjadi dengan kriteria distribusi nafas pada
biot, asidosis respiratorik, hasil: seluruh lapang paru, suara
penurunan kesadaran. a. Respiratory rate 10- nafas tambahan
35x/menit 3) Buka jalan nafas dengan
b. Irama nafas teratur tehnik chinlift atau jaw
c. Jalan nafas paten thrust
d. Tidak terdapat suara nafas 4) Lakukan pemasangan OPA
tambahan (ronchi, atau NPA
wheezing) 5) Identifikasi apakah pasien
e. TV: 8-10ml/kgBB memerlukan pemasangan
f. SaO2: >90% alat bantu nafas definitive:
g. Tidak terdapat tanda- ETT
tanda distress nafas: 6) Lakukan tehnik suction
dispnea, cyanosis, yang efektif jika diperlukan
diaphoresis, pernafasan Mechanical Ventilation:
cuping hidung, nafas Invasive:
agonal, penurunan 1) Monitor kondisi yang
kesadaran memerlukan ventilasi
support: (kelelahan otot
nafas, penurunan status
neurologi, asidosis
respiratory berat
2) Monitor tanda ancaman
gagal nafas
3) Kolaborasi
a) Dokter: Pemasangan dan
mode ventilator yang
sesuai.
3 Risiko cedera berhubungan Physical Injury Severity Fall Prevention
dengan disfungsi integritas Setelah diberikan tindakan 1) Identifikasi tingkat
sensori, gangguan orientasi keparawatan 7x24 jam kesadaran dan fisik pasien
afektif (penurunan kesadaran, cedera fisik akibat perawatan yang meningkatkan resiko
sindrom cushing), kejang, tirah tidak ditemui dengan kriteria jatuh
baring lama. hasil: 2) Lakukan pemantauan risiko
a. Tidak terdapatnya jatuh secara berkala sesuai
decubitus protokol
b. Tidak terdapatnya 3) Pasang bedrail (pengaman
kontraktur pada tempat tidur)
ekstermitas 4) Lakukan latihan fisik
secara berkala
19

c. Tidak terjadinya
perburukan tingkat
1 2 3 4
kesadaran Pressure Ulcer Prevention
d. Tidak terdapatnya luka 1) Kaji kulit terhadap risiko
pada kulit akibat kejang luka tekan: kemerahan
maupun restain fisik 2) Lakukan perubahan posisi
satu sampai dua jam
setelah fase akut
3) Lakukan perawatan kulit
agar tetap lembut: massage
dan beri pelembab kulit
yang aman
4) Gunakan kasur anti
decubitus (kasur air/angin
dengan pengaturan
tekanan)
Seizure Management
1) Jaga airway
2) Berada disisi pasien saat
kejang
3) Atur posisi pasien untuk
mencegah cedera saat
kejang
4) Berikan oksigen sesuai
indikasi
5) Lakukan
pendokumentasian dan
pemantauan kejang
6) Kolaborasi: Dokter ;
pemberian anti konvulsi
4 Risiko ketidakefektifan perfusi Tissue Perfusion: Cerebral Subarachnoid Hemorrhage
jaringan otak berhubungan dengan Setelah diberikan tindakan Precautions:
hipertensi, masa protrombin keperawatan 3x24 jam tidak 1) Kaji perkembangan tingkat
abnormal, tromboplastin parsial terjadinya perburukan fungsi kesadaran
abnormal, gangguan otak dengan kriteria hasil: 2) Monitor tekanan darah,
serebrovaskular (stroke a. ICP rentang nilai 7-15 nadi, ICP
hemoragik). mmHg 3) Lakukan pemantauan hasil
b. Sytolik < 200 mmHg cairan likuor
c. Distolik < 100 mmHg 4) Catat adanya perburukan
d. MAP : 70-105 mmHg fisik dan kesadaran
tidak melebihi 120 5) Batasi stimulasi dari
mmHg lingkungan: suara,
e. Tidak adanya nyeri pengunjung
kepala 6) Beri posisi head up 30-450
f. Tidak adanya muntah 7) Jelaskan untuk
g. Tidak adanya cegukan mengihndari rangsangan
h. Tidak adanya rectal, tidak melakukan
perburukan kesadaran valsafa manuver
secara kuantitatif 8) Lakukan pencegahan
maupun kualitatif kejang
9) Delegatif:
Dokter: pelunak kotoran,
obat anti nyeri P.IV, obat
anti konculsan
20

Lanjutan Tabel 2.
1 2 3 4
5 Gangguan eleminasi urin Urinary elimination Urinary elimination
berhubungan dengan gangguan Setelah diberikan tindakan management:
sensasi motorik ditandai dengan keperawatan 3x24 jam 1) Monitor eleminasi urine:
ikontinensia urine, retensio urine. kebutuhan berkemih pasien frekuensi, bau, volume, dan
terpenuhi dengan kriteria warana
hasil: 2) Kaji tanda dan gejala
a. Tidak terdapatnya retensio urine
perubahan dalam pola Urinary Catheterization
berkemih 1) Informedconcern
b. Dapatnya pengosongan pemasangan kateter
kandung kemih secara 2) Lakukan pemasangan
utuh kateter sesuai SPO
c. Tidak adanya 3) Letakkan urine bag
inkontinensia urine dibawah kandung kemih
d. Tidak adanya retensio gantungkan pada tempat
urine tidur
4) Lakukan fiksasi kateter
dengan benar
5) Monitor intake dan output
6) Lakukan perawatan kateter
dan sistem drainage
tertutup
Urinary Incontinence Care
1) Kaji penyebab
inkontinensia (gangguan
kesadaran, gangguan
fisiologis pengosongan
kandung kemih, adanya
residu, obat-obatan)
2) Berikan lingkungan yang
nyaman untuk berkemih
3) Lakukan perawatan vulva
hygine
4) Berikan cairan enteral 1500
cc/hari
5) Bila pasien sadar usahakan
minum dua atau tiga jam
sebelum tidur
6 Inkontinensia defikasi Bowel Continence Bowel Incontinence Care:
berhubungan dengan penurunan Setelah diberikan tindakan 1) Kaji penyebab
tonus otot, kesulitan perawatan keperawatan 3x24 jam incontinensia defikasi:
diri toileting, imobilisasi, adanya pengeluaran feses fisik, psikologis, yakinkan
kerusakan saraf motorik ditandai secara teratur dengan kriteria bukan karena obat, infeksi,
dengan dorongan defikasi, evaluasi: fecal impaction
ketidakmampuan mengeluarkan a. Tidak adanya diare 2) Monitor BAB pasien sudah
feses padat bahkan mengetahui b. Tidak adanya adekuat, tidak terdapat
rektum penuh, ketidakmampuan konstipasi masalah penegluaran feses
mengenali dorongan defikasi. c. Tidak adanya 3) Monitor asupan diet dan
penggunaann laxanantia cairan pasien
atau enema secara 4) Hindari makanan yang
berlebihan menyebabkan diare
d. Pasien mendapatakan 5) Lakukan bowel training
asupan cairan dan serat program
21

yang cukup sesuai 6) Berikan pispot atau


kebutuhan hariannnya commode secara teratur
Lanjutan Tabel 2.
1 2 3 4
e. Pasien menunjukkan 7) Lakukan perawatan
pengosongan usus secara perianal setelah bab
berkala 8) Jaga kebersihan tempat
tidur pasien
7 Ketidakseimbangan nutrisi: Nutritional status Nutrition therapy
kurang dari kebutuhan tubuh Setelah diberikan tindakan 1) Lakukan pengkajian status
berhubungan dengan keperawatan 3x24 jam nutrisi secara lengkap
ketidakmampuan makan ditandai kebutuhan nutrient dan ABCD
dengan terjadi penurunan berat metabolik pasien terpenuhi 2) Kaji kebutuhan nutrisi dan
badan 20% atau di bawah rentang dengan kriteria hasil: kebutuhan kalori harian
ideal, bising usus hiperaktif, a. Kebutuhan nutrient pasien pasien
gangguan sensasi rasa, kelemahan kritis terpenuhi: 3) Berikan makanan dalam
otot untuk mengunyah dan  Kalori 30 bentuk lembut jika jumlah
menelan, ketidakmampuan cal/kgBB/hari saliva pasien berlebih
memakan makanan.  Protein 4) Lakukan pemasangan tube
0,5gr/kgBB/hari feeding jika kondisi pasien
b. Kebutuhan cairan pasien membutuhkan
kritis terpenuhi: 30- 5) Lakukan perawatan mulut
50ml/kgBB/hari sebelum pemberian
c. Tidak terjadi penurunan makanan
BB 20% dari berat badan 6) Kolaborasi:
awal MRS Gizi klinik: enteral feeding,
d. Intake enteral dan kebutuhan nutrisi harian
parenteral dapat diberikan pasien sesuai kondisi klinis
sesuai program
8 Nyeri akut berhubungan dengan Pain Level Pain Management
agen cedera biologi berhubungan Setelah diberikan tindakan 1) Lakukan pengkajian nyeri:
dengan agen cidera biologi: keperawatan 3x24 jam P,Q,R,S,T
peradarahan intracranial yang pasien menunjukkan 2) Kaji perilaku non verbal
luas, tekanann intrakranial yang penurunan keparahan nyeri yang menggambarkan
meningkat ditandai dengan: dengan kriteria hasil: nyeri
dilatasi pupil kontralateral, bukti a. Hemodinamik: tidak 3) Lakukan pengkajian nyeri
nyeri dengan simbul (VAS, terdapat hipertensi, sesuai protokol
FLACC) tachikardi, tachypnea 4) Kaji pengaruh lingkungan
b. Pasien menyatakan tidak terhadap nyeri pasien
nyeri (suhu, cahaya, kebisingan)
c. Pasien dapat beristirahat 5) Jika pasien sadar ajarkan
d. Tidak adanya perilaku tehnik nonpharmakologi
yang menggambar nyeri: untuk penangan nyeri:
melindungi atau relaxation, hypnosis,
menggosok bagian acupressure, massage
kepala, tidak adanya 6) Kolaborasi:
diaporesis Pemberian anti nyeri
7) Lakukan evaluasi tehnik
kontrol nyeri yang
dilakukan
9 Gangguan mobilitas fisik Mobility Positioning:
berhubungan dengan gangguan Setelah dilakukan perawatan 1) Letakkan pasien pada
neuromuskular (hemiplegi, 3x24 jam diharapakan pasien therapeutic matrass (kasur
hemiparese) ditandai dengan dapat melakukan perubahan angin/kasur air)
kesulitan membolak-balik tubuh, posisi secara mandiri 2) Jelaskan pada pasien waktu
keterbatasan rentang gerak. maupun dibantu dengan untuk miring kanan-kiri
kriteria hasil: (setelah fase akut)
22

a. Adanya keseimbangan 3) Lakukan posisi miring


dan koordinasi alat gerak (sim) terapiutik: bantal
Lanjutan tabel 2.
1 2 3 4
b. Adanya kekeuatan otot penyangga pada daerah tinjolan
yang mendukung dan tertekan
mobilisasi 4) Lakukan pasif ROM
c. Pasien dapat melakukan selama fase akut
mobilisasi di atas 5) Beri posisi ekstermitas 200
tempat tidur dengan diatas jantung
mudah meningkatkan venous
return,
6) Naikan posisi kepala,
sesuai indikasi
7) Untuk pasien imobilisasi
lakukan perubahan posisi
setiap dua jam,
menggunakan jadual yang
telah ditentukan.
10 Hambatan komunikasi verbal Communication: Receptive Communication Enhancement:
berhubungan dengan penurunan Setelah diberikan tindakan Speech Defisit
sirkulasi ke otak (kerusakan pada keperawatan 7x24 jam 1) Perhatikan bicara dari :
area bicara pada hemisper otak), adanya komunikasi yang kecepatan, tekanan,
kelemahan secara umum, efektif selama pasien kuantitas, volume, ejaan
kehilangan kontrol tonus otot menjalani perawatan dengan 2) Berikan dukungan emosi
facial atau oral ditandai dengan kriteria hasil: terhadap kemampuan
kesulitan mengekspresikan a. Adanya interpretasi yang pasien berkomunikasi
perilaku secara verbal (afasia, tepat terhadap komunikasi 3) Beri alternative pilihan
disfasia, apraksia), pelo. non verbal berkomunikasi(papan tulis,
b. Adanya interpretasi yang gesture, bahasa isyarat
tepat terhadap komunikasi dengan tangan)
verbal 4) Ulangi apa yang
c. Pemahaman pesan yang dikomunikasikan dan
disampaikan antara dimaksud oleh pasien
petugas kesehatan dan 5) Kolaborasi:
pasien Rehab medik: speech
therapy
11 Disfungsi respon penyapihan Mechanical Ventilation Mechanical ventilator
ventilator berhubungan dengan Weaning Response: Adult management: invasive
ketidakefektifan bersihan jalan Setelah diberikan tindakan 1) Monitor faktor penyebab
nafas, ketergantungan ventilator keperawatan 4x24 jam pasien/ventilator work of
lebih dari empat hari ditandai penyapihan ventilasi mekanis breathing (Posisi kepala
dengan terdapat tanda-tanda dapat dilakukan dengan terlalu rendah, ETT
distress nafas saat proses kriteria hasil: tergigit, adanya air
penyapihan ventilator: a. Adanya usaha nafas condensation pada sirkuit
kardiovaskular tidak stabil spontan ventilator, plug pada ETT,
(tekanan darah tinggi, takikardi), b. Kriteria penyapihan sumbatan pada filter)
penyimpangan hasil AGD ventilator: 2) Monitor tanda peningkatan
 Usaha nafas WOB (Peningkatan RR dan
spontan HR, TD, diaphoresis,
adekuat/WOB penurunan kesadaran)
Maksimal 3) Momitor penyebab
 PaO2 80-100 kebutuhan oksigen
 PaCO2: 35-45 meningkat( kejang, panas,
 pH: 7.35-7.45 nyeri, aktivitas
 TV 8-10ml/mnt keperawatan)
 MV: <10L/mnt
23

 SaO2: >90% 4) Lakukan perawatan pasien


dengan ventilator: (posisi,
bronchial toilet, sedasi
Lanjutan Tabel 2.
1 2 3 4
 IPL < 10 mmHg bronchodilator therapy)
 Thorax foto: 5) Monitor dan
compliance paru dokumentasikan efektifitas
maksimal, tidak penggunaan ventilator,
ada atelektasis AGD, SaO2, kaji kesiapan
c. Tidak terdapat sekresi pasien untuk weaning
berlebih jalan nafas sampai dengan ekstubasi
d. Adanya gag reflek, batuk Mechanical Ventilation
efektif Weaning
1) Kaji kesiapan pasien untuk
dilakukan weaning
2) Lakukan suction jalan
nafas sesuai keperluan
3) Lakukan chest fisiotherapy
sesuai keperluan
4) Lakukan proses weaning,
jangan lakukan pada jam
pasien istirahat atau tidur
5) Lakukan breathing exercise
selama dilakukan weaning
6) Berada di sisi pasien ketika
proses penyapihan, dan
lakukan back up ventilator
jika pasien tidak kuat
12 Defisiensi pengetahuan Knowledge: Stroke Teaching: Disease Proses
berhubungan dengan kurangya management 1) Kaji pengetahuan pasien
pajanan informasi tentang stroke Setelah diberikan tindakan dan atau keluarga
hemoragik dan tatalaksannya keperawatan selama 15 penanggung jawab pasien
ditandai dengan pengungkapan menit dalam tiga kali terhadap stroke hemoragik
ketidaktahuan pasien dan atau pertemuan diharapkan 2) Jelaskan etologi, proses
keluarga penanggung jawab keluarga memiliki stroke hemoragik yang
pasien tentang tatalaksana stroke pengetahuan tentang stroke dialami pasien
hemoragik, tidak dapat hemoragik dengan kriteria 3) Jelaskan dan diskusikan
mengambil keputusan segera evaluasi: tentang program
terhadap informed concern yang a. Dapat menyebutkan perawatan/pengobatan pada
diberikan penyebab stroke pada pasien stroke hemoragik
keluarganya dari empat 4) Jelaskan rasionalisasi
etiologi stroke alternative tindakan
b. Dapat mengetahui konservatif atau operatif
prognosis jika stroke pada pasien stroke
hemoragik tidak 5) Berikan penjelasan sesuai
ditatalaksana dengan tepat dengan kondisi pasien
c. Dapat menentukan pilihan jangan memberikan
dari dua tatalaksana harapan yang tidak sesuai
stroke 6) Jelaskan dukungan yang
d. Dapat mengantisipasi dapat diberikan pasien dan
masalah fisik, perawatan keluarga untuk mencegah
dan pengobatan jangka komplikasi selama
panjang, ekonomi, perawatan
psikologi, rehabilitasi, 7) Susun discharge planning:
pasca stroke dalam perubahan life style;
24

penyusunan discharge support group, fasilitas


planning kesehatan rujukan

6. Kriteria Pasien Stroke Keluar Dari Ruang Intensif


Menurut Mcquillan (2006) keberhasilan perawatan (goal of care) dari perawatan
pasien dengan stroke hemoragik sehingga pasien dikategorikan tidak dalam kondisi
kritis adalah:

6.1 Bila tekanan intrakrianial (ICP) terkontrol kurang dari 20 mmHg, tekanan
perfusi otak (CPP) adekuat lebih dari 60 mmHg, dan pemberian konsentrasi
oksigen maintenance dengan aliran rendah untuk meminimalkan iskemik
otak.
6.2 Adanya pengembalian fungsi neurologi secara optimal
6.3 Sudah dilakukan pencegahan atau deteksi dini, dan tatalaksana yang tepat
terhadap potensial komplikasi sistemik dan neurologi.
6.4 Keluarga dan pasien sudah memiliki perencanaan dan memilih untuk
tatalaksana stroke hemoragik fase akut dan perawatan jangka panjang,
mengetahui kemungkinan komplikasi, dan memahami keberhasilan
perawatan pasien dengan stroke hemoragik.

Berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian


Kesehatan Republik Indonesia (2011) tentang pengelolaan ruang ICU, kriteria
pasien keluar ruang ICU adalah:
a. Penyakit atau keadaan pasien telah membaik dan cukup stabil, sehingga tidak
memerlukan terapi intensif lebih lanjut.
Misal: pasien stroke hemoragic dengan ICP dan CPP yang terkontrol dan
adekuat, tidak dalam krisis hipertensi.
b. Secara perkiraan dan perhitungan terapi atau pematauan intensif tidak
bermanfaat atau tidak memberikan hasil yang berarti bagi pasien. Apalagi pada
waktu itu pasien tidak menggunakan alat bantu mekanis (seperti: ventilasi
mekanis). Sebelum dikeluarkan dari ICU sebaiknya keluarga pasien diberikan
penjelasan alasan pasien dikeluarkan dari ICU.
25

Misal: pasien lanjut usia dengan perdarahan intraserebral pada ruang ventrikel,
dilakukan ataupun tidak tindakan operative tetap prognosa pasien buruk.
c. Pasien atau keluarga menolak untuk dirawat lebih lanjut di ICU (keluar atas
permintaan sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Bai, Y., Hu, Y. S., Wu, Y., Zhu, Y., He, Q., Jiang, C. Y., Sun, L. M., & Fan, W.
K. (2012). A prospective, randomized, single-blinded trial on the effect
of early rehabilitation on daily activities and motor function of patients
with hemorrhagic stroke. Journal of Clinical Neuroscience, 19, 1376-1379

Bulecheck, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2013).


Nursing Interventions Classifications. (6th ed.). United States of America:
Elseiver Mosby

Herdman, H. T., & Kamitsuru, S. (2016). Diagnosa keperawatan definisi dan


klasifikasi 2015-2017. (Edisi 10). Jakarta: EGC

Mcquillan, K. A. (2006). Core curiculum for critical care nursing. (6th ed.).
United States of America: Saunders Elseiver

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2013). Nursing
Outcomes Classification. (5th ed.). United States of America: Elseiver
Mosby

Muttaqin, A. (2010). Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem


persarafan. Jakarta: Salemba Medika

Rab, T. (2011). Agenda gawat darurat. Volume 2. Bandung: Alumni

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2009). Keperawatan medikal bedah. (Edisi 8).
Volume 2. Jakarta : EGC

Thompson, W. R. (1997) Intensive Care Manual. (4th ed.). London: Butterworth-


Heinemann
26

Anda mungkin juga menyukai