1.1. Pengertian
Stroke hemorrhagic adalah disfungsi neurologis fokal yang akut dan disebabkan
oleh perdarahan primer substansi otak yang terjadi secara spontan bukan karena
trauma kapitis, disebabkan oleh karena pecahnya pembuluh arteri, vena, dan kapiler
(Muttaqin, 2010). Smeltzer dan Bare (2009) menjelaskan stroke hemoragik adalah
hilangnya fungsi otak yang disebabkan oleh berhentinya aliran darah ke otak,
akibat pecahnya pembuluh darah serebral dengan perdarahan ke dalam jaringan
otak atau ruang sekitar otak yang menyebabkan kehilangan sementara atau
permanen gerakan, berpikir, memori, bicara, atau sensasi. Jadi dapat disimpulkan
stroke hemorhagik adalah hilangnya fungsi otak yang disebabkan oleh karena
berhentinya aliran darah ke otak, akibat pecahnya pembuluh darah serebral dengan
perdarahan ke dalam jaringan otak yang terjadi secara spontan bukan karena trauma
kapitis, yang dapat menyebabkan disfungsi neurologi fokal akut dapat berupa
kehingan sementara atau permanen gerakan, berpikir, memori, bicara, atau sensasi.
1.2 Etiologi
Rab (2011) menjelaskan beberapa keluhan penting pada pasien stroke hemoragik
adalah nyeri kepala, pusing, gangguan pengelihatan, kelemahan otot, gangguan
sensoris, gangguan bicara, abnormalitas alat gerak, dan kehilangan kesadaran
sampai dengan kejang.
Menurut Muttaqin (2010) perbedaan gejala antara pasien stroke nonhemoragik dan
pasien stroke hemoragik adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Perbedaan antara stroke nonhemoragik dengan stroke hemoragik:
Oftalmoskop Fenomena silang silver wire art Perdarahan retina atau corpus
vitreum
Lanjutan Tabel 1.
1 2 3
Lumbal pungsi
a. Tekanan Normal Meningkat
b. Warna Jernih Merah
c. Eritrosit < 250/mm2 > 1000/mm2
Arterigrafi Oklusi Ada pergeseran
EEG Di tengah Bergeser dari bagian tengah
1.4 Penatalaksanaan
Menurut Muttaqin (2010) untuk mengobati keadaan akut perlu diperhatikan faktor-
faktor kritis sebagai berikut:
a. Berusaha menstabilkan tanda-tanda vital dengan cara mempertahankan saluran
nafas paten dapat dilakukan melalui penghisapan lendir, oksigenasi, kalau perlu
dilakukan trakeostomi dan pemasangan alat bantu nafas mekanis. Pengontrolan
tekanan darah berdasarkan kondisi klien, termasuk usaha memperbaiki
hipertensi. Apabila sudah hipertensi sebelumnya sebaiknya dilakukan
pemeriksaan funduskopi, jika tekanan darah lebih tinggi dari biasa jangan
berikan obat anti hipertensi pada hari pertama, cukup obat antiedema otak.
Kalau tekanan darah tinggi terutama diastole lebih dari 130 mmHg dan tetap
tinggi setelah hari kelima, barulah dimulai dengan pemberian obat-obat anti
hipertensi. Tekanan darah diturunkan jangan sampai kurang dari 150-
160mmHg sistolik dan 90 mmHg diastolik. Tekanan darah yang rendah akan
mengurangi aliran darah ke otak. Mengurangi area cedera maka gangguan irama
dan infark miokard harus segera distabilkan.
b. Memberantas edema otak dengan pemberian kortikosteroid, pemberian osmotik
diuretic seperti manitol dengan dosis 1gr/kgBB.
c. Menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit. Dengan memeriksa elektrolit,
berat jenis urin dan keseimbangan cairan selama 24 jam (input-output), dan
memberikan cairan sesuai kebutuhan.
4
d. Miksi dan defikasi, pada hari pertama sebaiknya dipasang indwelling catheter
untuk menghitung output dan mencegah dekubitus akibat ngompol. Defikasi
diatur dengan pemberian laxantia atau pemberian gliserin perektum dua sampai
tiga hari sekali.
e. Pemberian makanan pada 24 jam pertama tidak diberi makanan dan hanya
dipasang Intra Venous Fluid Drip (IVFD). Cairan yang diberikan glukosa 5 %
sebanyak 1500 cc dalam 24 jam. Bila ternyata ada edema paru sebaiknya
diberikan cairan kristaloid Ringer Laktat. Pada hari kedua atau ketiga dapat
dipikirkan dimulai dengan makanan personde.
f. Menempatkan klien dalam posisi yang tepat, harus dilakukan secepat mungkin.
Posisi harus dirubah setiap dua jam dan dilakukan latihan-latihan gerak pasif,
pasien ditempatkan pada posisi lateral atau semi telungkup dengan kepala
tempat tidur agak ditinggikan sampai dengan vena serebral berkurang.
g. Pencegahan kemungkinan timbulnya pneumonia hipostatik dengan pemberian
antibiotika.
h. Bila demam tinggi lakukan kompres. Pada kasus perdarahan otak dianjurkan
memberikan obat-obatan memperkuat dinding pembuluh darah dan
memperbaiki metabolisme otak misalnya citicolin, vitamin C dan terapi
koagulan
Menurut Smeltzer dan Bare (2009) pengobatan konservatif untuk pasien stroke
adalah:
a. Pemberian oksigen untuk untuk memaksimalkan oksigenasi darah adekuat ke
otak, dapat dilakukan intubasi endotrakhea dan ventilasi mekanis pada pasien
stroke masif.
b. Pemberian cairan intravena untuk penurunan viskositas darah dan memperbaiki
aliran darah serebral. Hipertensi atau hipotensi ekstrem perlu dihindari untuk
mencegah perubahan aliran darah
c. Pemberian terapi diuretik untuk menurunkan edema serebral serebral dan
pemberian terapi neuro protector.
5
Rab (2011) menjelaskan tujuan utama adalah memperbaiki aliran darah serebri
dengan:
a. Endosterektomi karotis membentuk kembali arteri karotis, yaitu dengan
membuka arteri karotis di leher.
b. Revaskularisasi merupakan tindakan pembedahan dan manfaatnya paling
dirasakan oleh klien TIA (Transient Ischemic Attack).
c. Evakuasi bekuan darah dilakukan pada stroke akut.
d. Ligasi karotis komunis di leher khususnya pada pasien aneurisma.
1.5 Komplikasi
Aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan integritas
pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (cairan intravena) harus menjamin
penurunan viskositas darah dan memperbaiki aliran darah serebral. Hipertensi dan
hipotensi ekstrem perlu dihindarkan untuk mencegah perubahan aliran darah
serebral dan potensi meluasnya area cedera.
1.6 Prognosa
Menurut Junadi, Soemasto, dan Amelz (2010) menjelaskan prognosa stroke
hemoragik buruk jika pasien masuk rumah sakit sudah dalam keadaan koma,
sebaliknya pasien sadar penuh akan memiliki hasil yang baik. Pada fase akut 48
6
sampai dengan 72 dari awal serangan, prioritas tindakan pada fase akut adalah
mempertahankan jalan nafas dan ventilasi.
2. Web Of Causation (WOC)
2.1 Pathway
Produksi sekret
bertambah Kematian
Ketidakefektifan
bersihan jalan
nafas
Gambar 1. Pathway Stroke Hemoragik
Keterangan:
: Hubungan sebab akibat
aa : Masalah Keperawatan
7
2.2 Penjelasan
Penekanan jaringan otak pada stroke hemoragik pada daerah pusat nafas yaitu pada
area retikulasi medulla oblongata dan pons akan menyebabkan gangguan pola nafas
pasien, gangguan pernafasan sentral dapat menyebabkan kerja nafas menurun yang
disertai dengan periode apnea sering disebut pernafasan biot, sehingga
menimbulkan masalah keperawatan gangguan ventilasi spontan.
Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan mengakibatkan kehilangan kontrol
volunter terhadap gerakan motorik. Gangguan kontrol volunter pada salah satu sisi
tubuh dapat menunjukkan kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang
berlawanan dari otak. Dapat terjadi parese maupun plegi, sehingga menimbulkan
masalah keperawatan gangguan mobilitas fisik dan defisit perawatann diri.
Kemampuan pasien untuk batuk juga terganggu sehingga menyebabkan terjadinya
infeksi saluran nafas, dengan ketidakmampuan pasien untuk mobilisasi sehingga
menyebabkan peningkatan produksi sputum pada lapang paru sehingga
menimbulkan masalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas.
3.1 Pengkajian B6
Data yang dapat dikumpulkan pada pasien stroke hemoragik dengan pengkajian dan
pemeriksaan fisik pada B6, menurut Muttaqin (2010) sebagai berikut:
Tekanan darah biasanya terjadi peningkatan dan bisa terdapat hipertensi masif
tekanan darah sistolik > 200mmHg. Dapat terjadi cushing sindrom sebagai tanda
peningakatan TIK dimana terdapat peningkatan tekanan darah, namun terjadi
bradikardi.
Kualitas kesadaran pasien merupakan parameter yang paling mendasar dan paling
penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat kesadaran dan respon terhadap
lingkungan adalah indikator paling sensitive untukk mendeteksi disfungsi sistem
persarafan. Pada keadaan lanjut, tingkat kesadaran pasien stroke secara kualitatif
dapat pada tingkat letargi, stupor sampai dengan koma. Penilaian GCS sangat
penting untuk menilai kesadaran secara kuantitatif untuk evaluasi asuhan yang telah
diberikan.
a. Status mental: observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya
bicara klien, observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik dimana pada
pasien stroke hemoragik pada tahap lanjut biasanya status mental mengalami
perubahan.
b. Fungsi intelektual: didapatkan penurunan ingatan dan memori baik jangka
pendek maupun jangka panjang. Penurunan kemampuan berhitung dan
kalkulasi.
c. Kemampuan bahasa: lesi pada daerah hemisfer yang dominan pada bagian
posterior dari girus temporalis superior (area Wernicke) didapatkan disfasia
reseptif, yaitu klien tidak dapat memahami bahasa lisan maupun bahasa tertulis.
Lesi pada bagian posterior girus frontalis inferior (area broka) didapatkan
11
disfasia ekspresif yaitu pasien dapat mengerti, tetapi tidak dapat menjawab
dengan tepat dan bicaranya tidak lancar. Disartria (kesulitan bicara) ditunjukkan
dengan bicara yang sulit dimengerti akibat paralisis otot yang bertanggung
jawab untuk menghasilkan bicara. Apraksia adalah ketidakmapuan untuk
melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya.
d. Lobus frontalis: kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis didapatkan bila
kerusakan terjadi pada lobus frontal kapsitas, memori, atau fungsi intelektual
kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak. Disfungsi ini dapat ditunjukkan
dalam lapangan perhatian terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa, dan
kurang motivasi.
e. Hemisfer: stroke hemoragik pada hemisfer kanan menyebabkan hemiparese
sebelah kiri tubuh, penilaian buruk, dan mempunyai kerentanan terhadap sisi
kolateral. Stroke pada hemisfer kiri, mengalami hemiparese kanan, perilaku
lambat dan sangat hati-hati, kelaianan lapang pandang sebelah kanan, disfagia
global, afasia, dan mudah frustasi.
a. Saraf I: pada pasien stroke tidak terdapat kelainan pada fungsi penciuman.
b. Saraf II: disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensorik primer di
antara mata dan korteks visual. Gangguan hubungan hubungan visual-spasial
(mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering terlihat
pada pasien dengan hemiplegi kiri.
c. Saraf III, IV, dan VI: paralisis sesisi otot-otot okularis didapatkan penurunan
kemampuan gerakan konjugat unilateral di sisi yang sakit.
d. Saraf V: paralisis saraf trigeminus, didapatkan penurunan kemampuan
koordinasi gerakan mengunyah. Penyimpangan rahang bawah ke sisi ipsilateral
dan kelumpuhan sesisi otot-otot pterigoideus internus dan eksternus.
e. Saraf VII: persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris, otot wajah
tertarik ke bagian sisi yang sehat.
f. Saraf VIII: tidak ditemukannya tuli konduktif dan tuli persepsi.
g. Saraf IX dan X: kemampuan menelan kurnag baik, kesukaran membuka mulut.
h. Saraf XI: Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius
12
i. Saraf XII: lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan fasikulasi. Indera
pengecapan normal.
dengan hemiplegi kiri tidak dapat memakai pakaian tanpa bantuan karena
ketidakmapuan untuk mencocokkan pakaian ke bagian tubuh. Dapat terjadi
kehilangan sensorik, dengan proprioseptif (kemampuan merasakan posisi dan
gerakan bagian tubuh) serta kesulitan dalam menginterpretasikan stimuli visual,
taktil, dan auditorius.
Didapatkan adanya keluhan menelan, nafsu makan menurun, mual, dan muntah
pada fase akut. Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi
asam lambung sehingga menimbulkan masalah pemenuhan kebutuhan nutrisi. Pola
defikasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus. Adanya
inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
Disfungsi motor yang paling umum pada pasien stroke adalah hemiplegi (paralisis
pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparese atau
kelemahan salah satu sisi tubuh adalah tanda yang lain. Pada kulit, jika pasien
kekurangan oksigen kulit akan tampak pucat dan jika kekurangan cairan maka
turgor kulit akan buruk. Disamping itu perlu juga dikaji tanda-tanda dekubitus.
Adanya kesukaran untuk beraktifitas karena kelemahan, kehilangan sensorik, atau
paralisis/hemiplegi, mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan
istirahat.
14
Menurut Thompson (1997) tanda dan gejala fisik pasien dengan perdarahan
intrakranial spontan adalah biasanya tidak disertai tanda dan gejala awal.
Terjadinya penurunan kesadaran secara tiba-tiba sampai dengan koma atau stupor
dan terdapat defisit neurologi. Nyeri kepala dan nuchal rigidity akan ditemui pada
perdarahan kortikal atau peradarahan di dalam ventrikel. Perdarahan sub arachnoid
yang disebabkan pecahnya intrakranial aneurisma dan atau arteriovenous
malaformation (AVM) memberikan tanda dan gejala nyeri kepala hebat dengan
awitan tiba-tiba, kelelahan yang sangat, dan nyeri pada mata. Penurunan kesadaran
akan mengikuti awaitan nyeri kepala. Penurunan kesadaran dapat sampai dengan
koma tergatung letak dan luasnya perdarahan. Rangsangan meningen seperti kaku
kuduk, photophobia, vomiting, dan kernig’sign. Defisit neurologi sesuai dengan
lokasi dan ukuran perdarahan. Defisit neurologi merupakan tanda perburukan dari
serbral iskemik atau hematom intra serebral.
3.2.1 Laboratorium
a. Faktor pembekuan darah (Angka platelet, PT, PTT, INR): untuk mengetahui
keadekuatan pembekuan darah.
b. CBC (Complete Blood Count) atau hematologi rutin untuk mengetahui indikasi
dari penyebab stroke hemoragik apakah berhubungan dengan infeksi, inflamasi,
atau keganansan.
c. Serum glukosa dan kadar elektrolit.
d. Pemantauan bahan-bahan kimia atau obat-obatan yang dapat mencetuskan
terjadinya stroke hemoragik (toxicology screen)
b. MRI: akan menggambarkan apakah perdarahan dan area serebral yang edema,
juga dapat menggambarkan penyebab dari stroke hemoragik.
c. Untuk mengetahui penyebab dari kerusakan pemuluh darah otak dapat
dilakukan CT angiography, MRA, angiogravi serebral (berguna untuk
mengetahui intrakranial aneurisma, arteriovenous malformations).
Untuk sangkaan kondisi klinis SAH tanpa adanya penampakan perdarahan pada CT
Scan Kepala maupun tidak adanya peningkatan tekanan intrakranial. Jika stroke
hemoragik perdarahannya meluas sampai dengan ventrikel atau adanya SAH maka
cairan serebrospinal (CSF) mengandung sel darah merah dan warna likuor masih
kelihatan normal (xanthocromic). Peningkatan jumlah protein dan sel darah putih
pada CSF. Tekanan CSF juga kadang meningkat.
Menurut Herdman dan Kamitsuru (2016), serta berdasarkan WOC pada pasien
stroke hemoragik yang telah disusun maka diagnosa keperawatan yang mungkin
pada pasien stroke hemoragik yang dirawat di ruang ICU adalah:
Pasca operasi kraniotomi pasca evakuasi cerebral bleeding atau cerebral blood
clote maka diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah:
a. Disfungsi respon penyapihan ventilator berhubungan dengan ketidakefektifan
bersihan jalan nafas, ketergantungan ventilator lebih dari empat hari ditandai
dengan terdapat tanda-tanda distress nafas saat proses penyapihan ventilator:
kardiovaskular tidak stabil (tekanan darah tinggi, takikardi), penyimpangan
hasil AGD
b. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurangnya pajanan informasi
tentang stroke hemoragik dan tatalaksannya ditandai dengan pengungkapan
ketidaktahuan pasien dan atau keluarga penanggung jawab pasien tentang
tatalaksana stroke hemoragik, tidak dapat mengambil keputusan segera
terhadap informed concern yang diberikan.
1 2 3 4
c. Kerja nafas maksimal: head up 30-450, jaga posisi
dinding dada kuat angkat kepala agar tetap ekstensi
saat inspirasi 5) Lakukan pemasangan OPA
d. Dapat dilakukannya atau NPA
persihan jalan nafas: 6) Lakukan bersihan jalan
mandiri (batuk efektif), nafas dengan batuk efektif
e. Tidak terdapatnya suara atau suction
nafas tambahan (ronchi) 7) Lakukan chest fisiotherapy
f. Tidak terdapatnya 8) Kolaborasi :
penggunaan otot-otot Dokter: dalam pemberian
bantu nafas terapi bronkodilator
2 Gangguan ventilasi spontan Respiratory Status Air Way Management:
berhubungan dengan penekanan Setelah diberikan tindakan 1) Monitor respirasi dan status
pada pusat kerja nafas ditandai tindakan keperawatan 1x24 oksigenasi
dengan dispnea, adanya tanda- jam ancaman gagal nafas 2) Dengarkan suara nafas: kaji
tanda distress nafas: pola nafas tidak terjadi dengan kriteria distribusi nafas pada
biot, asidosis respiratorik, hasil: seluruh lapang paru, suara
penurunan kesadaran. a. Respiratory rate 10- nafas tambahan
35x/menit 3) Buka jalan nafas dengan
b. Irama nafas teratur tehnik chinlift atau jaw
c. Jalan nafas paten thrust
d. Tidak terdapat suara nafas 4) Lakukan pemasangan OPA
tambahan (ronchi, atau NPA
wheezing) 5) Identifikasi apakah pasien
e. TV: 8-10ml/kgBB memerlukan pemasangan
f. SaO2: >90% alat bantu nafas definitive:
g. Tidak terdapat tanda- ETT
tanda distress nafas: 6) Lakukan tehnik suction
dispnea, cyanosis, yang efektif jika diperlukan
diaphoresis, pernafasan Mechanical Ventilation:
cuping hidung, nafas Invasive:
agonal, penurunan 1) Monitor kondisi yang
kesadaran memerlukan ventilasi
support: (kelelahan otot
nafas, penurunan status
neurologi, asidosis
respiratory berat
2) Monitor tanda ancaman
gagal nafas
3) Kolaborasi
a) Dokter: Pemasangan dan
mode ventilator yang
sesuai.
3 Risiko cedera berhubungan Physical Injury Severity Fall Prevention
dengan disfungsi integritas Setelah diberikan tindakan 1) Identifikasi tingkat
sensori, gangguan orientasi keparawatan 7x24 jam kesadaran dan fisik pasien
afektif (penurunan kesadaran, cedera fisik akibat perawatan yang meningkatkan resiko
sindrom cushing), kejang, tirah tidak ditemui dengan kriteria jatuh
baring lama. hasil: 2) Lakukan pemantauan risiko
a. Tidak terdapatnya jatuh secara berkala sesuai
decubitus protokol
b. Tidak terdapatnya 3) Pasang bedrail (pengaman
kontraktur pada tempat tidur)
ekstermitas 4) Lakukan latihan fisik
secara berkala
19
c. Tidak terjadinya
perburukan tingkat
1 2 3 4
kesadaran Pressure Ulcer Prevention
d. Tidak terdapatnya luka 1) Kaji kulit terhadap risiko
pada kulit akibat kejang luka tekan: kemerahan
maupun restain fisik 2) Lakukan perubahan posisi
satu sampai dua jam
setelah fase akut
3) Lakukan perawatan kulit
agar tetap lembut: massage
dan beri pelembab kulit
yang aman
4) Gunakan kasur anti
decubitus (kasur air/angin
dengan pengaturan
tekanan)
Seizure Management
1) Jaga airway
2) Berada disisi pasien saat
kejang
3) Atur posisi pasien untuk
mencegah cedera saat
kejang
4) Berikan oksigen sesuai
indikasi
5) Lakukan
pendokumentasian dan
pemantauan kejang
6) Kolaborasi: Dokter ;
pemberian anti konvulsi
4 Risiko ketidakefektifan perfusi Tissue Perfusion: Cerebral Subarachnoid Hemorrhage
jaringan otak berhubungan dengan Setelah diberikan tindakan Precautions:
hipertensi, masa protrombin keperawatan 3x24 jam tidak 1) Kaji perkembangan tingkat
abnormal, tromboplastin parsial terjadinya perburukan fungsi kesadaran
abnormal, gangguan otak dengan kriteria hasil: 2) Monitor tekanan darah,
serebrovaskular (stroke a. ICP rentang nilai 7-15 nadi, ICP
hemoragik). mmHg 3) Lakukan pemantauan hasil
b. Sytolik < 200 mmHg cairan likuor
c. Distolik < 100 mmHg 4) Catat adanya perburukan
d. MAP : 70-105 mmHg fisik dan kesadaran
tidak melebihi 120 5) Batasi stimulasi dari
mmHg lingkungan: suara,
e. Tidak adanya nyeri pengunjung
kepala 6) Beri posisi head up 30-450
f. Tidak adanya muntah 7) Jelaskan untuk
g. Tidak adanya cegukan mengihndari rangsangan
h. Tidak adanya rectal, tidak melakukan
perburukan kesadaran valsafa manuver
secara kuantitatif 8) Lakukan pencegahan
maupun kualitatif kejang
9) Delegatif:
Dokter: pelunak kotoran,
obat anti nyeri P.IV, obat
anti konculsan
20
Lanjutan Tabel 2.
1 2 3 4
5 Gangguan eleminasi urin Urinary elimination Urinary elimination
berhubungan dengan gangguan Setelah diberikan tindakan management:
sensasi motorik ditandai dengan keperawatan 3x24 jam 1) Monitor eleminasi urine:
ikontinensia urine, retensio urine. kebutuhan berkemih pasien frekuensi, bau, volume, dan
terpenuhi dengan kriteria warana
hasil: 2) Kaji tanda dan gejala
a. Tidak terdapatnya retensio urine
perubahan dalam pola Urinary Catheterization
berkemih 1) Informedconcern
b. Dapatnya pengosongan pemasangan kateter
kandung kemih secara 2) Lakukan pemasangan
utuh kateter sesuai SPO
c. Tidak adanya 3) Letakkan urine bag
inkontinensia urine dibawah kandung kemih
d. Tidak adanya retensio gantungkan pada tempat
urine tidur
4) Lakukan fiksasi kateter
dengan benar
5) Monitor intake dan output
6) Lakukan perawatan kateter
dan sistem drainage
tertutup
Urinary Incontinence Care
1) Kaji penyebab
inkontinensia (gangguan
kesadaran, gangguan
fisiologis pengosongan
kandung kemih, adanya
residu, obat-obatan)
2) Berikan lingkungan yang
nyaman untuk berkemih
3) Lakukan perawatan vulva
hygine
4) Berikan cairan enteral 1500
cc/hari
5) Bila pasien sadar usahakan
minum dua atau tiga jam
sebelum tidur
6 Inkontinensia defikasi Bowel Continence Bowel Incontinence Care:
berhubungan dengan penurunan Setelah diberikan tindakan 1) Kaji penyebab
tonus otot, kesulitan perawatan keperawatan 3x24 jam incontinensia defikasi:
diri toileting, imobilisasi, adanya pengeluaran feses fisik, psikologis, yakinkan
kerusakan saraf motorik ditandai secara teratur dengan kriteria bukan karena obat, infeksi,
dengan dorongan defikasi, evaluasi: fecal impaction
ketidakmampuan mengeluarkan a. Tidak adanya diare 2) Monitor BAB pasien sudah
feses padat bahkan mengetahui b. Tidak adanya adekuat, tidak terdapat
rektum penuh, ketidakmampuan konstipasi masalah penegluaran feses
mengenali dorongan defikasi. c. Tidak adanya 3) Monitor asupan diet dan
penggunaann laxanantia cairan pasien
atau enema secara 4) Hindari makanan yang
berlebihan menyebabkan diare
d. Pasien mendapatakan 5) Lakukan bowel training
asupan cairan dan serat program
21
6.1 Bila tekanan intrakrianial (ICP) terkontrol kurang dari 20 mmHg, tekanan
perfusi otak (CPP) adekuat lebih dari 60 mmHg, dan pemberian konsentrasi
oksigen maintenance dengan aliran rendah untuk meminimalkan iskemik
otak.
6.2 Adanya pengembalian fungsi neurologi secara optimal
6.3 Sudah dilakukan pencegahan atau deteksi dini, dan tatalaksana yang tepat
terhadap potensial komplikasi sistemik dan neurologi.
6.4 Keluarga dan pasien sudah memiliki perencanaan dan memilih untuk
tatalaksana stroke hemoragik fase akut dan perawatan jangka panjang,
mengetahui kemungkinan komplikasi, dan memahami keberhasilan
perawatan pasien dengan stroke hemoragik.
Misal: pasien lanjut usia dengan perdarahan intraserebral pada ruang ventrikel,
dilakukan ataupun tidak tindakan operative tetap prognosa pasien buruk.
c. Pasien atau keluarga menolak untuk dirawat lebih lanjut di ICU (keluar atas
permintaan sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Bai, Y., Hu, Y. S., Wu, Y., Zhu, Y., He, Q., Jiang, C. Y., Sun, L. M., & Fan, W.
K. (2012). A prospective, randomized, single-blinded trial on the effect
of early rehabilitation on daily activities and motor function of patients
with hemorrhagic stroke. Journal of Clinical Neuroscience, 19, 1376-1379
Mcquillan, K. A. (2006). Core curiculum for critical care nursing. (6th ed.).
United States of America: Saunders Elseiver
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2013). Nursing
Outcomes Classification. (5th ed.). United States of America: Elseiver
Mosby
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2009). Keperawatan medikal bedah. (Edisi 8).
Volume 2. Jakarta : EGC