Anda di halaman 1dari 3

Aceh dan Masalah Lingkungan Hidup

Keberadaan PT Asd di Aceh Selatan, misalnya, menyebabkan perkara hukum hingga terjadi diskriminalisasi terhadap warga. Begitu

pula juga halnya sengketa lahan yang terjadi di Krueng Simpo, Bireuen, hingga PT BG di Aceh Tamiang. Pada dasarnya semua

kasus tanah atau dikenal sebagai konflik agraria memiliki karakteristik yang sama. Persoalan pertama terkait bukti legalitas formal,

sehingga mengeyampingkan hak atas penguasaan tanah dan membuang secara pelan-pelan pengakuan tanah melalui hukum adat,

harta warisan dsb.

Semangat Presiden membagi lahan kepada warga miskin mencapai 10,2 juta Hektare (Ha) yang tersebar di 25.863 desa di Indonesia

merupakan angka yang sangat kecil dan terlalu mengada-ngada. Padahal, ketika presiden mengakui wilayah adat sebagai wilayah

bersama masyarakat hukum adat, tidak perlu negara harus capek membagi-bagikan lahan. Justeru yang membuat masyarakat

terganggu dari akses lahan dan hutan disebabkan adanya reformasi agraria, menjadi bukti pemerintah mengabaikan hak-hak

masyarakat miskin untuk mendapatkan tanahnya sendiri melalui pola adat.

Sektorpertambangan maupun perkebunan kelapa sawit merupakan bentuk usaha yang


dibutuhkan negara, demi memastikan penyediaan bahan baku dalam rangka memenuhi
kebutuhan warga. Sayangnya, kegiatan pertambangan sudah memberikan bukti nyata
terhadap daya rusak dan daya keruk yang cukup massif. Artinya, kegiatan pertambangan
maupun perkebunan tidak dikenal sebagai kegiatan yang ramah lingkungan, semua orang
mengamini daya rusak itu benar adanya. Sehingga dibutuhkan komitmen pengelola untuk
memperbaiki diri secara sistematis atau menutup selamanya, karena tidak sanggup memenuhi
kaidah pengelolaan lingkungan hidup.
Lahan kritis

Begitu pula halnya terkait laju deforestasi akibat adanya kebijakan yang lebih mementingkan aspek ekonomi dari pada aspek

lingkungan, guna mengejar target pertumbuhan ekonomi. Faktor perilaku manusia juga menjadi permasalahan utama dalam

kerusakan lingkungan. Berdasarkan data 2007, luas lahan kritis di Aceh seluas 459.469,28 Ha dengan kategori kritis seluas
393.025,63 Ha dan sangat kritis 66.443,65 Ha. Pada 2011 luas lahan kritis di Aceh mengalami peningkatan mencapai 460.099,76

Ha, dengan kategori kritis seluas 393.397,03 Ha dan sangat kritis 66.702,73 Ha.

Baca: Seleksi Fellowship Investigator Walhi Aceh

Upaya yang telah dilakukan untuk mengurangi lahan kritis yaitu melalui penanaman satu miliar pohon (OMOT). Pada 2011, melalui

penanaman pada kegiatan penghijauan sebanyak 24.886.789 batang dan penanaman reboisasi sebanyak 3.808.598 batang.

Pembangunan yang tidak terpadu (fragmented) selama ini telah berakibat perubahan drastis negatif terhadap kondisi sumber daya

alam.

Eksploitasi sumber daya alam tidak terbarukan (pertambangan mineral, batubara, migas, dan galian C) telah mengubah bentang

alam tanpa terkendali. Terlebih lagi sumber daya alam terbarukan oleh deforestasi intensif (legal and illegal logging) untuk

pembangunan infrastruktur, transportasi, industri, perkebunan, pertanian, telah mengakibatkan penyusutan drastis tutupan vegetasi

hutan, terutama di daerah sliran sungai (DAS) dan punahnya keanekaragaman hayati.

Aceh merupakan wilayah dengan kondisi alam yang kompleks, sehingga menjadikannya sebagai satu daerah berpotensi tinggi

terhadap bencana alam. Tingkat risiko bencana alam yang terjadi setiap tahunnya sangat tinggi, terutama banjir dan kekeringan.

Sangat terbatasnya investasi infrastruktur tampungan penyimpanan air, telah berdampak pada keseimbangan hidrologi DAS.

Fluktuasi debit air di sungai menjadi sangat besar, terutama pada musim hujan terjadi bencana banjir dan tanah longsor. Sedangkan

pada musim kemarau terjadi kekeringan dan kebakaran hutan.

Kecenderungan penurunan produksi kayu bulat dari hutan alam telah memacu peningkatan pengelolaan hutan tanaman dan hutan

rakyat. Hal ini ditandai dengan semakin meningkatnya produksi kayu dari hutan tanaman dan hutan rakyat. Hutan rakyat

di Aceh seluas 11.632 Ha, yang tersebar di 23 kabupaten/kota. Potensi kayu jenis perdagangan di Aceh baik di Cagar Alam, Suaka

Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Taman Wisata Alam, Taman Buru, Hutan Lindung, Hutan Produksi Tetap dan

Hutan Produksi mencapai 59,19 juta m3.

Baca: Reclaiming Pilihan Terakhir Petani Aceh, Mungkinkah?

Hutan Tanaman Rakyat yang sudah mendapat IUPHHK-HTR di Aceh sebanyak 3 unit yaitu 1 unit di Kabupaten Bireuen (Kopwan

Seulanga Aneuk Nanggroe) dan 2 unit di Aceh Utara (Koperasi Tuah Nanggroe Aceh 811 Ha) melalui (SK.282/Menhut-II/2009

Tgl13 Mei 2009), Kop. Ikapeda 1.155 Ha (SK.721/Menhut-II/2009 Tgl19 Oktober 2009). Usulan pencadangan areal di Aceh seluas

3.667 Ha, sedangkan luas areal yang sudah dikeluarkan SK Pencadangan oleh Menteri Kehutanan seluas 10.884 Ha dengan jenis

tanaman Jabon, Mahoni, Sengon.

Produksi kayu bulat di Aceh pada 2012 berjumlah 185.358,48 m3, yang berasal dari 3 sumber yaitu IUPHHK pada HTI, Izin

Pemanfaatan Kayu (IPK), Hutan Rakyat, Kayu perkebunan dan hasil lelang. Masing-masing produksinya yaitu IUPHHK pada HTI

sebanyak 8.043,81 m3, IPK sebanyak 2.196,33 m3, kayu perkebunan 169.348,50 m3, dan hasil lelang 475,98 m3. HHBK yang

dikembangkan di Aceh, yaitu Rotan produksinya mencapai 90.590 Kg, Cendana 14.000 Kg, dan Arang kayu 155.000 Kg.

Perlindungan hutan

Untuk memperkuat upaya-upaya perlindungan hutan dalam priode 2007-2008 telah dilakukan rekruitmen petugas pengamanan
hutan (Pamhut) sebanyak 2.000 Orang yang mempunyai tugas pengamanan hutan dan pencegahan perambahan hutan (illegal

logging). Pemanfaatan jasa lingkungan dari kawasan hutan khususnya untuk kegiatan wisata alam sudah lama dikembangkan

di Aceh, hal ini didukung dengan keberadaan berbagai potensi yang ada antara lain: Cagar Alam Pinus Strain Aceh (16.940 Ha)

di Aceh Besar, Cagar Alam Serbajadi (300 Ha) di Aceh Tamiang, Suaka Margasatwa Rawa Singkil (102.370 Ha) di Aceh Singkil,

Taman Hutan Raya (Tahura) Po Cut Meurah Intan (6.300 Ha) di Aceh Besar, Taman Nasional Gunung Leuser (623.987 Ha)

di AcehTenggara, Taman Wisata Alam Iboih (1.200 Ha) di Sabang, Taman Wisata Alam Kepulauan Banyak (16.200 Ha)

di Aceh Singkil, Taman Wisata Alam Lhok Asan (PLG 112 Ha) di Aceh Utara, Taman Buru Lingga Isaq (86.704 Ha)

di Aceh Tengah.

Dari data Walhi Aceh (2016), sejauh ini ada empat perusahaan yang memegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada

Hutan Alam (IUPHHK-HA), dengan total luas wilayah kelola 252.550 Ha. Keempat perusahaan tersebut adalah PT Lamuri Timber,

PT Aceh Inti Timber, PT Raja Garuda Mas Unit II dan Koperasi Pondok Pesantren Najmussalam. Sedangkan pemegang Izin Usaha

Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) sebanyak delapan perusahaan dengan total wilayah

kelola 252.519 Ha. Perusahaan tersebut adalah PT Gunung Medang Raya Utama Timber, PT Tusan Hutani Lestari, PT Nusa

Indrapuri, PT Rimba Wawasan Permai, PT Rimba Penyangga Utama, PT Rimba Timur Sentosa, PT Madum Payah Tamita, PT

Rencong Pulm dan Paper Industri.

Baca: 25.000 Massa Lakukan Climate March Untuk Keadilan Iklim

Pada 2016 lalu, hutan desa di Aceh memiliki luas 47.594 Ha dengan rincian 370 Ha di Aceh Timur, 2.221 Ha di Pidie Jaya, 44.7984

Ha di Pidie, dan 200 Ha di Aceh Tamiang. Tidak ada perkembangan apapun untuk Izin Usaha pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

Hutan Tanaman Rakyat pada tahun ini. Data sebelum 2016, IUPHHK-HTR yang pernah dikeluarkan adalah untuk Aceh Utara

seluas 1.966 Ha yang dikelola oleh dua koperasi. Bireuen dengan luas 1.335 Ha yang dikelola oleh tiga koperasi. Aceh Besar

dikelola oleh satu kelompok dengan luas kawasan 244,4 Ha. Total keseluruhan 3.542 Ha.

Melihat trend tidak adanya penambahan HKm, hutan desa dan IUPHHK-HTR pada 2016, menunjukkan bahwa

Pemerintah Aceh belum mengikuti Nawacita terkait perluasan wilayah kelola masyarakat seluas 12,7 juta Ha. Alih fungsi hutan dan

lahan yang mencapai angka 62.240,59 Ha.

Oleh karenanya, penulis mendorong agar adanya perbaikan tatakelola sektor hutan dan lahan. Selain itu, harusnya pemerintah

bersama lembaga teknis untuk memperkuat kontrol terhadap industri yang sedang mencari keuntungan di Aceh dengan

mengedepankan pengakuan wilayah kelola masyarakat Aceh dari sekarang, atau menyesal selamanya karena kehilangan ruang

secara pelan namun pasti. Nah!

Opini ini telah diterbitkan di Harian Serambi Indonesia, 22 April 2017.

http://walhiaceh.or.id/aceh-dan-masalah-lingkungan-hidup/

Anda mungkin juga menyukai