Anda di halaman 1dari 62

I.

Pendahuluan
A. Latar Belakang

Kehidupan manusia pada umumnya tidak dapat terlepas dari tempatnya berpijak
untuk melangsungkan kehidupan yakni tanah. Tanah merupakan sumber daya alam yang
sangat penting, bukan hanya untuk kelangsungan hidup manusia saat ini, tetapi juga
termasuk makhluk hidup lainnya untuk masa depan yang akan datang. Tanah merupakan
karunia Tuhan Yang Maha Esa yang jumlahnya terbatas dan disediakan untuk manusia
serta makhluk ciptaan Tuhan lainnya sebagai tempat kehidupan dan sumber kehidupan.
Tanah mempunyai fungsi yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat. Tanah sebagai
ruang merupakan wahana yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat Tanah mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat
Indonesia, karena digunakan oleh manusia untuk bercocok tanam, berternak,
berkebun, tempat tinggal dan melakukan usaha lainnya. Oleh karena pentingnya
peranan tanah dalam kehidupan manusia, maka pemerintah mengatur tentang bumi, air,
ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, menentukan bahwa:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”
Dari tanahlah juga aspek ekonomi dapat berjalan. Banyak orang yang ingin membuka
usaha tapi memiliki modal yang terbatas oleh karena diperlukan modal yang besar
banyak pemilik tanah yang menjaminkan tanahnya kepada bank untuk mendapat uang
pinjaman sehingga timbulah perjanjian jaminan antara bank sebagai kreditur dan pemilik
tanah sebagai debitur.
Hak kebendaan yang bersifat sebagai pelunasan hutang (hak jaminan) adalah hak jaminan
yang melekat pada kreditor yang memberikan kewenangan untuk melakukan eksekusi
kepada benda yang dijadikan jaminan jika debitur melakukan wansprestasi terhadap suatu
prestasi (perjanjian).Sedangkan jaminan yang lahir karena perjanjian adalah jaminan

1
yang harus diperjanjikan terlebih dahulu diantara para pihak. Perjanjian penjaminan ini
merupakan perjanjian accessoir, yaitu perjanjian yang mengikuti dan melekat pada
perjanjian dasar atau perjanjian pokok yang menerbitkan utang atau kewajiban atau
prestasi bagi debitur terhadap kreditur.
Dengan demikian hak jaminan tidak dapat berdiri karena hak jaminan merupakan
perjanjian yang bersifat tambahan (accessoir) dari perjanjian pokoknya, yakni perjanjian
hutang piutang (perjanjian kredit).Pada asasnya kedudukan para kreditur atas tagihan
mereka terhadap seorang debitur adalah sama tinggi, oleh karenanya mereka disebut
kreditur konkuren. Hal itu berarti, bahwa pada asasnya mereka mempunyai hak yang
sama atas jaminan umum, yang diberikan oleh pasal 1131, yaitu atas seluruh harta
debitur, kesempatan para kreditur untuk mendapat pelunasan atas tagihan mereka, pada
asasnya adalah sama, sebab kalau kekayaan debitur tidak cukup menjamin seluruh
hutangnya[1]
Dengan berlakunya UUPA, (UU Nomor 5 Tahun 1960) maka dalam rangka mengadakan
unifikasi hukum tanah, dibentuklah hak jaminan atas tanah baru yang diberi nama Hak
Tanggungan, sebagai pengganti lembaga Hipotik dan Credietverband dengan Hak milik,
Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan sebagai obyek yang dapat dibebaninya
Hak-hak barat sebagai obyek Hipotik dan Hak Milik dapat sebagai obyek Credietverband
tidak ada lagi, karena hak-hak tersebut telah dikonversi menjadi salah satu hak baru yang
diatur dalam UUPA. Munculnya istilah Hak Tanggungan itu lebih jelas setelah
Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1996 telah diundangkan pada Tanggal 9 April 1996
yang berlaku sejak diundangkannya Undang-Undang tersebutPelaksanaan Pasal 33 ayat
(3) Undang-undang dasar 1945 yang berkenaan dengan tanah diatur dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria
pemerintah Republik Indonesia memandang perlu membentuk Undang-undang yang
mengatur Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah,
sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, sekaligus mewujudkan unifikasi hukum tanah nasional. Pada
tanggal 9 April 1996, dengan persetujuan DPR, Presiden Republik Indonesia telah

2
mengesahkan Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah. Undang-undang ini diundangkan
dalam Lembaran Negara RI No. 3632[2]
UUPA juga mengatur tentang pendaftaran tanah yang bertujuan untuk memberikan
jaminan kepastian hukum. Pendaftaran tanah ini menjadi kewajiban bagi pemerintah
maupun pemegang hak atas tanah. Ketentuan tentang kewajinban bagi pemerintah untuk
menyelenggarakan pendaftaraftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia, yang
diatur dalam Pasal 19 Ayat (1) UUPA, yaitu:
“Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah
diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur
dengan Peraturan Pemerintah.”
UUPA juga mengatur kewajiban bagi pemegang Hak Milik, pemegang Hak Guna Usaha,
dan pemegang Hak Guna Bangunan untuk mendaftarkan hak atas tanahnya. Kewajiban
bagi pemegang Hak Milik atas tanah untuk mendaftarkan tanahnya diatur dalam Pasal 23
UUPA,
yaitu;
(1). Hak Milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan
hak -hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal
19.
(2). Pendaftaran termasud dalam Ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai
hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.Mengenai
peralihan hak atas tanah, dalam pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang pendaftaran tanah menyebutkan bahwa:“Peralihan hak atas tanah dan hak
milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam
peusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak
melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat
oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.”Dengan berlakunya UUPA dan PP Nomor 27Tahun 1997 maka setiap peralihan
hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar,

3
hibah, pemasukan dan perbuatan hukum lainnya harus dibuktikan dengan suatu akta
yang dibuat oleh pejabat yang berwenang dalam hal ini adalah Pejabat Pembuat Akta
Tanah. Dengan dilakukannya peralihan hak dihadapan PPAT, dipenuhinya syarat
terang (bukan perbuatan hukum yang gelap, yang dilakukan secara
sembunyi-sembunyi)[3] Untuk dibuatkan akta jual beli tanah tersebut, pihak yang
memindahkan hak, harus memenuhi syarat yaitu berwenang memindahkan hak tersebut.
Sedangkan pihak yang menerima harus memenuhi syarat subyek dari tanah yang akan
dibelinya itu. Serta harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi. Pada
tahap ini peranan PPAT sebagai pencatat perbuatanhukum untuk melakukan
pembuatanakta jual beli, harus dipenuhi, sehingga pengalihan ini menjadi sah adanya
dan dan dapat didaftarkan balik namanya. Dengan adanya akta PPAT inilah nanti akan
kembali diberikan status baru dari permohonan balik nama yang dimohon oleh pihak
yang menerima pengalihan haknya[4]
Tata cara dan formalitas pembuatan akta otentik adalah merupakan ketentuan
hukum yang memaksa, artinya tata cara dan prosedur pembuatan itu harus diikuti dengan
setepat-tepatnya tanpa boleh disimpangi sedikitpun. Penyimpangan dari tatacara dan
prosedurpembuatan akta otentik akan membawa akibat hukum kepada kekuatan
pembuktian akta itu.Meskipun prosedur untuk melaksanakan peralihan (Peralihan hak
atas tanah bisa terjadi karena pewarisan tanpa wasiat dan perbuatan hukum pemindahan
hak)
Tata cara dan formalitas pembuatan akta otentik adalah merupakan ketentuan hukum
yang memaksa, artinya tata cara dan prosedur pembuatan itu harus diikuti dengan
setepat-tepatnya tanpa boleh disimpangi sedikitpun. Penyimpangan dari tatacara dan
prosedur pembuatan akta otentik akan membawa akibat hukum kepada kekuatan
pembuktian akta itu.Meskipun prosedur untuk melaksanakan peralihan (Peralihan hak
atas tanah bisa terjadi karena pewarisan tanpa wasiat dan perbuatan hukum pemindahan
hak[5]
Jual beli yang dimana surat-suratnya tidak diperiksa oleh notaris dan aktanya tidak
dibacakan oleh notaris menimbulkan adanya sengketa. Dalam kasus putusan Nomor

4
2926K/PDt/2014 akan dibahas sengketa jual beli yang berhungan dengan notaris
sebagai tergugat karena tidak membacakan akta. Penggugat mengalami kerugian telah
ditipu oleh tergugat bahwa tergugat akan meminta tergugat untuk menandatangani
dokumen pengajuan pijaman ke bank tapi setelah menandatangani. Malah tanah milik
penggugat dijual oleh tergugat padahal pengguata tidak pernah menjual tanah nya.
sehingga adanya dugaan bahwa tergugat I dan tergugat II telah bekerjasama untuk
menipu penggugat selaku pemilik tanah

[1]​ J.Satrio,S.H.,Hukum Jaminan,Hak Jaminan Kebendaan,Hak Tanggungan Buku


I.,Bandung : PT.Citra Aditya Bakti 2002hal68-69
[2]​ Rachmadi Usman, 1999, Pasal-pasal Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah,
Djambatan, Jakarta, hal. 42
[3]​ Andrian sutedi, 2009, Peralihan hak atas tanah dan pendaftarannya,Sinar Grafika.
Jakarta, hlm 77
[4]​ Mhd.Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Bandung,
Mandar Maju,
2008, hal. 121.
[5]​ Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta, Djambatan, 2007, hal. 507.

B. Pokok permasalahan
1. Bagaimana prosedur jual beli tanah serta pembebanan hak tanggungan?
2. Bagaimana analisis atas Putusan Nomor 206/Pdt.G/2012/PN.Slmn.
dikaitkan dengan landasan teoritis dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui prosedur jual beli tanah serta pembebanan hak
tanggungan.
2. Mengetahui analisis Putusan Nomor 206/Pdt.G/2012/PN.Slmn. terhadap
landasan teoritis dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

5
D. Manfaat Penelitian
Diharapkan dengan adanya penulisan ini, dapat menambah wawasan penulis maupun
pembaca serta berguna dalam perkembangan ilmu hukum, khususnya dalam Hukum
Tanah / Hukum Agraria, tentang prosedur jual beli tanah serta pembebanan hak
tanggungan.

E. Kerangka Konsep
Untuk membahas permasalahan dalam skripsi ini, penulis akan menggunakan kerangka
teori sebagai berikut:
Hak Atas Tanah adalah ​hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang
mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut.

Jual Beli

Hak Tanggungan ialah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah ini, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan
yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.1 Dari rumusan
diatas, dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu hak tanggungan adalah suatu bentuk
jaminan pelunasan hutang, dengan hak mendahulu, dengan objeknya berupa Hak-hak
Atas Tanah yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria.2

Akta Otentik

1
​Indonesia, ​Undang-Undang Hak Tanggungan​, UU No. 4 Tahun 1996, LN No. 42 Tahun 1996, TLN No. 3632,
Penjelasan Ps. 1 angka 1.

2
​Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, ​Hak Tanggungan​ (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 13.

6
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam makalah ini yakni menggunakan pendekatan yang
bersifat yuridis normatif yang artinya adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data sekunder serta peraturan perundang-undangan.3 Tipologi penulisan
makalah ini bersifat deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat suatu
individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi suatu gejala.4
Jenis data yang digunakan dalam penulisan makalah ini ialah jenis data sekunder. Data sekunder
yang digunakan tersebut mencakup buku-buku, hasil-hasil penelitian, dokumen resmi, yang pada
intinya peneliti memperoleh data melalui bahan-bahan kepustakaan.5
Jenis bahan hukum yang digunakan oleh penulis dalam penyusunan penelitian ini mencakup;
1. Bahan Hukum Primer
Merupakan bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat pada masyarakat seperti
peraturan perundang-undangan.6 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan peraturan
perundang-undangan, antara lain:
a. Kitab Undang Undang Hukum Perdata;
b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
c. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan;
d. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
Bahan hukum sekunder itu diartikan sebagai bahan hukum yang tidak mengikat tetapi
menjelaskan mengenai bahan hukum primer yang merupakan hasil olahan pendapat atau pikiran
para pakar atau ahli yang mempelajari suatu bidang tertentu secara khusus yang akan
memberikan petunjuk ke mana peneliti akan mengarah.7 Bahan hukum sekunder yang penulis
gunakan adalah dari literatur-literatur atau Pendapat ahli atau pakar, jurnal, maupun makalah
yang berhubungan dengan prosedur jual beli tanah serta pembebanan hak tanggungan.

3
​Sri Mamudji, et al., ​Metode Penelitian Dan Penulisan Hukum​ (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2005), hlm. 9 – 10.
4
​Ibid.​, hlm. 4.
5
​Ibid.​, hlm. 6.
6
​Ibid.​, hlm. 52.
7
​Ibid.
7
G. Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang mana masing-masing babnya
terdiri dari sub bab, sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan
Bab ini terdiri dari beberapa sub bab dan sub sub bab yang diantaranya
ialah, latar belakang permasalahan, pokok permasalahan, tujuan dan
manfaat penelitian, kerangka konsep, metode penelitian, sistematika
penulisan.
Bab II : Landasan Teori
Dalam bab ini akan dibahas teori-teori terkait kasus dalam Putusan
Nomor 206/Pdt.G/2012/PN.Slmn. seperti Aspek Kepemilikan Tanah,
Peralihan Hak atas Tanah, Sistem Publikasi Tanah, Hak Tanggungan
serta Perbuatan Melawan Hukum yang nantinya akan menjadi landasan
teori untuk menganalisis kasus.
Bab III : Analisis Kasus
Dalam bab ini akan dipaparkan kasus posisi dalam Putusan Nomor
206/Pdt.G/2012/PN.Slmn. dan analisis pertimbangan hakim dalam
memutus perkara tersebut​, ​didasarkan pada landasan teoritis,
prinsip-prinsip / asas-asas hukum dan peraturan perundang-undangan
terkait.
Bab IV : Kesimpulan dan Saran

8
II. Landasan Teori
A. Hak-Hak atas Tanah

Pada dasarnya objek pemindahan hak melalui jual beli adalah hak atas tanah, objek
pemindahan hak melalui jual beli dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Hak milik

Dasar hukum yang menetapkan bahwa hak milik dapat diperjual belikan secara implisit
dimuat dalam pasal 20 ayat (2) UUPA yaitu ​“Hak milik dapat beralih dan dialihkan
kepada pihak lain”
Secara eksplisit diatur dalam pasal 26 UUPA:
(1) Jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut
adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta
pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan
perbuatanperbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung
memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warganegara yang
disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau
kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam
pasal 21 ayat (2) adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan
ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua
pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.

b. Hak Guna Usaha

Dasar hukum yang menetapkan bahwa Hak Guna Usaha dapat diperjual belikan secara
implisit dimuat dalam Pasal 28 ayat (2) UUPA yaitu “​Hak Guna Usaha dapat beralih
dan dialihkan kepada pihak lain”

9
Secara eksplisitHak Guna Usaha dapat diperjual belikan diatur dalam pasal 16 ayat (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, yaitu “: peralihan Hak Guna Usaha terjadi
dengan Cara jual beli”

c. Hak Guna Bangunan

Dasar hukum yang menetapkan bahwa Hak Guna Bangunandapat diperjual belikan
secara implisit dimuat dalam pasal 35 ayat (3) UUPAyaitu “​Hak Guna Bangunan dapat
beralih dan dialihkan kepada pihak lain”​
Secara eksplisit Hak Guna Bangunan dapat diperjual belikan diatur dalam pasal 34 ayat
(2) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, yaitu “Peralihan Hak Guna
Bangunan terjadi dengan Cara jual beli”. Pasal 34 ayat (7) menyatakan bahwa “Peralihan
Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengalolaan harus dengan persetujuan tertulis dari
pemegang Hak Pengelolaan” dan ayat (8) menyatakan bahwa “Peralihan Hak Guna
Bangunan atas tanah Hak Milik harus dengan persetujuan tertulis dari pemegang Hak
Milik yang bersangkutan”.
d. Hak Pakai

Dasar hukum yang menetapkan bahwa hak pakai dapat diperjual belikan secara implisit
dimuat dalam pasal Pasal 43 UUPA yaitu:
(1) Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, maka Hak Pakai
hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang

(2) Hak Pakai atas tanah milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, jika hal itu
dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan

Jual Beli Melalui Notaris/ PPAT

10
B. Peralihan Hak atas Tanah
1. Tinjauan Umum Peralihan Hak atas Tanah
Dalam UUPA telah diatur mengenai peralihan baik atas Tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan,
Hak Guna Usaha, dan Hak Pakai. Bila merujuk pada ketentuan pada UUPA
Peralihan hak adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan untuk memindahkan hak dari suatu
pihak ke pihak lain. Berbeda dengan dialihkannya suatu hak, maka dengan dialihkannya suatu
hak menunjukkan adanya suatu perbuatan hukum yang disengaja dilakukan oleh satu pihak
dengan maksud memindahkan hak miliknya kepada orang lain. Dengan demikian
pemindahannya hak milik tersebut diketahui atau diinginkan oleh pihak yang melakukan
perjanjian peralihan hak atas tanah.
Secara umum terjadinya peralihan hak atas tanah itu dapat disebabkan oleh berbagai perbuatan
hukum antara lain:
a. Jual beli
b. Tukar menukar
c. Hibah
d. Penyertaan dalam modal
e. Pembagian hak bersama
f. Pemberian hak guna bangunan/hak pakai atas tanah hak milik
g. Pemberian hak tanggungan
h. Pemberian kuasa pembebanan hak tanggungan

Salah satu cara perpindahan hak atas tanah adalah dengan cara jual beli. Perjanjian jual beli
adalah suatu perjanjian pada mana satu pihak mengikatkan diri untuk menyerahkan (leveren)
suatu barang (benda) dan pihak lain mengikatkan diri untuk membayar harga yang disetujui
bersama. Perjanjian jual beli adalah pada mana salah satu prestasinya terdiri dari sejumlah uang
dalam arti alat pembayaran yang sah.Pada perjanjian jual beli maka barang berhadapan dengan
uang.8 Untuk mengadakan suatu perjanjian itu selalu diperlukan suatu perbuatan hukum yang

8
Hartono Soerjopratiknjo, Aneka Perjanjian Jual Beli, Yogyakarta : Seksi Notariat Fakultas Hukum Universitas
Gajah Mada, 1982, halaman 1.
11
timbal balik atau bersegi banyak. Sebab dalam mengadakan perjanjian diperlukan dua atau lebih
pernyataan kehendak yang sama, yaitu kehendak yang satu sama lainnya cocok.9

2. Jual Beli Hak atas Tanah


Pasal 1457 KUHPerdata, merumuskan pengertian jual beli, sebagai berikut :

“​Jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya
untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang
telah dijanjikan.”
Sedangkan menurut Prof. Subekti, jual beli adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam
mana pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu
barang, sedang pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang
terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.10

Menurut pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, untuk sahnya suatu
perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu :11
a. syarat sepakat

syarat sepakat yang mengikat dirinya dalam syarat ini berarti kedua pihak sama-sama
sepakat untuk mengadakan suatu perjanjian jual beli yang mutlak dibuatkan sustu
perjanjian tertulis berupa akta yang harus dibuat dan dihadapan Pejabat khusus yaitu
PPAT
b. syarat cakap
Untuk mengadakan suatu perjanjian perbuatan hukum dalam hal ini perjanjian jual beli
hak atas tanah, maka yang berhak adalah para pihak yang sudah memenuhi syarat dewasa
menurut hukum, sehat pikiran dan tidak berada dibawah pengampuan.
c. syarat hal tertentu

9
Hartono Soerjopratiknjo, Aneka Perjanjian Jual Beli, Yogyakarta : Seksi Notariat Fakultas Hukum Universitas
Gajah Mada, 1982, halaman 1
10
​Subekti, Aneka Perjanjian, hlm. 1
11
​ Subekti, Hukum Perjanjian, hlm. 17
12
Apa yang diperjanjikan harus dicantumkan dengan jelas dalam akta jual beli, baik itu
mengenai luas tanah, letaknya, sertipikat, hak yang melekat demi mengelakkan kemulut
hukum dan hak-hak serta kewajiban kedua pihak harus terulan dengan jelas.
d. syarat sebab yang hal

Didalam pengadaan suatu perjanjian, isi dan tujuan dalam perjanjian itu harus jelas dan
berdasarkan atas keinginan kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian. Dengan
adanya perpindahan hak milik atas tanah, maka pemilik yang baru akan mendapatkan
tanah hak miliknya dan wajib mendaftarkannya pada Kantor Pertanahan setempat, yang
sebelumnya dibuat dahulu aktanya dihadapan PPAT.

Dalam pasal selanjutnya, yaitu pasal 1330 KUHPerdata disebut sebagai orang-orang yang
tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian :12

· Orang-orang yang belum dewasa

· Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan

· Orang perempuan dalam hal-hal ditetapkan oleh undang-undang, dan semua


orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian- perjanjian
tertentu

Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat subjektif karena kedua syarat tersebut
mengenai subjek perjanjian. Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat
objektif karena mengenai objek perjanjian. Apabila tidak dipenuhinya syarat pertama dan
kedua maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya. Sedangkan apabila
tidak dipenuhinya syarat ketiga dan keempat maka perjanjian tersebut batal demi hukum.
Mengenai suatu hal tertentu, yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian, haruslah
suatu hal atau barang yang cukup jelas dan tertentu. Syarat ini perlu, untuk dapat

12
​Subekti, Hukum Perjanjian, hlm. 17
13
menetapkan kewajiban si berhutang jika terjadi perselisihan. Barang yang dimaksudkan
dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang itu harus ada
atau sudah ada di tangan si berhutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh
undang-undang. Juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat
dihitung atau ditetapkan.

Selanjutnya undang-undang menghendaki untuk sahnya suatu perjanjian harus


ada kausa yang diperbolehkan. Secara letterlijk kata kausa berarti sebab, tapi menurut
riwayatnya, yang dimaksudkan dengan kata itu ialah tujuan, yaitu apa yang dikehendaki
oleh kedua pihak dengan mengadakan perjanjian itu. Misalnya dalam suatu perjanjian
jual beli satu pihak akan menerima sejumlah uang tunai dan pihak lain akan menerima
barang. Dengan kata lain, kausa berarti isi perjanjian itu sendiri.

Mengenai kesepakatan, terdapat berbagai teori mengenai kapan saat terjadinya


kesepakatan, yaitu:13

a. Teori pernyataan (uitingstheorie) Mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada


saat kehendak pihak yang menerima penawaran menyatakan bahwa ia menerima
penawaran tersebut.

b. Teori pengiriman (verzendtheorie) Mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada


saat pihak yang menerima itu mengirimkan penerimaannya.

c. Teori pengetahuan (vernemingstheorie) Mengajarkan bahwa kesepakatan lahir


apabila pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui adanya penerimaan

d. Teori penerimaan (ontvangstheorie) Kesepakatan terjadi pada saat pihak yang


menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan

13
​Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1987),hlm . 15
14
Asas umum perjanjian adalah pedoman atau patokan serta menjadi batas atau rambu
dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat hingga pada akhirnya
menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak, yang dapat dipaksakan pelaksanaan
dan pemenuhannya. Dalam KUHPerdata terdapat beberapa asas umum tentang
perjanjian, asas-asas tersebut antara lain : 14

a. Asas Personalia

Asas ini diatur dalam pasal 1315 KUHPerdata. Dalam pasal tersebut

disebutkan bahwa :

“Pada umumnya tak seorang pun dapat mengaitkan diri atas nama sendiri dan meminta
ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri.”

Ketentuan ini menunjuk pada kewenangan bertindak sebagai individu pribadi sebagai
subjek hukum pribadi yang mandiri, yang memiliki kewenangan bertindak untuk dan
atas nama dirinya sendiri. Dengan kapasitas kewenangan tersebut, sebagai seorang
yang cakap bertindak dalam hukum, maka setiap tindakan dan perbuatan yang
dilakukan oleh orang perorangan, sebagai subjek hukum pribadi yang mandiri, akan
mengikat diri pribadi tersebut, dan dalam lapangan perikatan, mengikat seluruh harta
kekayaan yang dimiliki olehnya secara pribadi.

b. Asas Konsensualitas

Ketentuan yang mengatur mengenai konsensualitas ini dapat kita temui dalam rumusan
pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat sah perjanjian. Pada

dasarnya suatu perjanjian yang dibuat secara lisan antara dua orang atau lebih telah
mengikat, dan karenanya telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak
dalam perjanjian tersebut, segera setelah orang-orang yang tersebut mencapai suatu

14
​Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, hlm. 14
15
kesepakatan atau konsensus, meskipun kesepakatan tersebut telah dicapai secara
lisan semata-mata. Ini berarti pada prinsipnya perjanjian yang mengikat dan berlaku
sebagai perikatan bagi para pihak yang berjanji tidak memerlukan formalitas, walau
demikian, untuk menjaga kepentingan pihak debitor (atau yang berkewajiban untuk
memenuhi prestasi) diadakanlah bentuk-bentuk formalitas, atau dipersyaratkan
adanya suatu tindakan nyata tertentu.

c. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak mendapatkan dasar eksistensinya dalam rumusan angka 4


pasal 1320 KUHPerdata. Dengan asas kebebasan berkontrak ini, para pihak yang
membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan membuat
kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja, selama dan
sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang terlarang.
Ketentuan pasal 1337 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang,
apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan
baik atau ketertiban umum. Sehingga pada dasarnya semua perjanjian dapat dibuat
dan diselenggarakan oleh setiap orang. Hanya perjanjian yang mengandung prestasi
atau kewajiban pada salah satu pihak yang melanggar undang-undang kesusilan dan
ketertiban umum saja yang dilarang.

d. Perjanjian berlaku sebagai Undang-Undang (Pacta Sunt Servanda)

Asas yang diatur dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa :

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi mereka
yang membuatnya.”

16
Jadi perjanjian adalah sumber dari perikatan. Sebagai perikatan yang dibuat dengan
sengaja, atas kehendak para pihak secara sukarela, maka segala sesuatu yang telah
disepakati, disetujui oleh para pihak harus dilaksanakan oleh para pihak sebagaimana
telah dikehendaki oleh mereka. Dalam hal salah satu pihak dalam perjanjian tidak
melaksanakannya, maka pihak lain dalam perjanjian berhak untuk memaksakan
pelaksanaannya melalui mekanisme dan jalur hukum yang berlaku.

e. Asas Iktikad Baik

Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian- perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik. Rumusan tersebut memberikan arti pada kita semua
bahwa sebagai sesuatu yang disepakati dan disetujui oleh para pihak, pelaksanaan
prestasi dalam tiap-tiap perjanjian harus dihormati sepenuhnya, sesuai dengan
kehendak para pihak pada saat perjanjian ditutup.

Hendaknya dari sejak perjanjian ditutup, perjanjian tersebut sama sekali tidak
dimaksudkan untuk merugikan kepentingan debitor maupun kreditor, maupun pihak
lain atau pihak ketiga lainnya di luar perjanjian.

f. Asas Kebiasaan

Dalam pasal 1339 KUHPerdata, ditetapkan bahwa suatu perjanjian tidak saja mengikat
pada apa yang dicantumkan semata-mata dalam perjanjian, tetapi juga pada apa yang
menurut sifatnya perjanjian itu dikehendaki oleh keadilan, kebiasaan, atau

17
undang-undang. Memang sudah semestinya, hakim harus memperhatikan pertama
sekali apa yang diperjanjikan oleh para pihak yang berkontrak.

Selanjutnya pasal 1347 KUHPerdata menetapkan bahwa hak-hak atau


kewajiban-kewajiban yang sudah diperjanjikan dalam suatu perjanjian (gebruikelijk
beding), meskipun pada suatu waktu tidak dimasukkan dalam surat perjanjian, harus
juga dianggap tercantum dalam perjanjian. Oleh karena itu hal ini (gebruikelijk
beding) menurut undang-undang harus dianggap sebagai dicantumkan dalam
perjanjian, akibatnya ia dapat menyingkirkan suatu pasal yang tergolong hukum
pelengkap sebagaimana halnya dengan kebanyakan pasal-pasal dalam buku III
KUHPerdata.15

Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Pembedaan tersebut adalah sebagai
berikut:16

a. Perjanjian timbal balik

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua
belah pihak. Misalnya perjanjian jual beli.

b. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban

Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah
satu pihak saja, misalnya hibah. Sedangkan perjanjian atas beban adalah perjanjian di
mana terhadap prestasi dari pihak yang satu telah terdapat kontra prestais dari
pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.

c. Perjanjian khusus (benoemd) dan perjanjian umum (onbenoemd)

15
​Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, hlm. 140
16
​ ​Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang
Hukum Perikatan dengan Penjelasan, (Bandung: Penerbit Alumni, 1983), hlm 90-94
18
Perjanjian khusus adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya adalah
bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembetuk
undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian
bernama terdapat dalam Bab V sampai dengan XVIII KUH Perdata. Sedangkan
perjanjian umum adalah perjanjian- perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata,
tetapi terdapat di dalam masyarakat.

d. Perjanjian kebendaan (zakelijk) dan perjanjian obligatoir

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian di mana seseorang menyerahkan haknya atas


sesuatu kepada pihak lain. Sedangkan perjanjian obligatoir adalah perjanjian di mana
pihak-pihak mengikatkan diri utnuk melakukan penyerahan kepada pihak lain.

e. Perjanjian konsensuil dan perjanjian riil

Perjanjian konsensuil adalah perjanjian di mana di antara kedua belah pihak telah tecapai
persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Sedangkan perjanjian riil adalah
perjanjian yang lahir dan mengikat setelah terjadi penyerahan.

Jual Beli Melalui Notaris/ PPAT

Istilah jual beli hak atas tanah hanya disebutkan dalam Pasal 26 UUPA yaitu yang
menyangkut jual beli hak milik atas tanah. Ketentuan yang terdapat dalam
pasal-pasal lainnya tidak ada kata yang menyebutkan jual beli, tetapi disebutkan
sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan suatu perbuatan hukum yang
disengaja untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain melalui jual beli,
hibah, tukar menukar dan hibah wasiat. Jadi, meskipun dalam pasal hanya disebutkan
dialihkan, termasuk salah satunya adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas

19
tanah karena jual beli.17 Lembaga jual beli hak atas tanah yang merupakan perbuatan
hukum yang bersifat tunai, sehingga jual beli hak atas tanah yang terpenting adalah
kepentingan pihak pembeli dalam hubungannya dengan pihak penjual. Hak atas
tanah yang bersangkutan sudah berpindah kepada pembeli pada waktu perbuatan
hukum jual belinya selesai dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT). Akta PPAT merupakan alat bukti bahwa pembeli sudah menjadi pemegang
haknya yang baru. Kepentingan pihak ketiga tidak selalu tersangkut pada
pemindahan hak tersebut, maka dari itu pendaftaran pemindahan haknya hanya
berfungsi untuk memperkuat kedudukan pembeli dalam hubungannya dengan pihak
ketiga, yang kepentingannya mungkin tersangkut dan bukan merupakan syarat bagi
berpindahnya hak yang bersangkutan kepadanya.18

Peralihan hak atas tanah yang dilakukan dengan cara jual beli tanah harus
dilakukan dihadapan pejabat umum yang berwenang. Dalam keterangannya
peralihan hak atas tanah tersebut hanya dapat dibuktikan melalui
akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah sehingga bisa didaftarkan
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal jual
beli tanah, jual beli telah dianggap terjadi walaupun tanah belum diserahkan
atau harganya belum dibayar. Untuk pemindahan hak itu masih diperlukan suatu
perbuatan hukum lain berupa penyerahan yang caranya ditetapkan dengan suatu
peraturan lain yaitu seperti menggunakan akta Pejabat Pembuat Akta tanah.19 Pasal
19 Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1961 menyebut : Perjanjian yang
bermaksud memindahkan hak atas tanah harus dibuktikan dengan akta. Maka
dapat kita simpulkan bahwa persetujuan jual beli tanah merupakan persetujuan
yang konsensuil, karena dipisahkan secara tegas antara persetujuannya sendiri

17
​Adrian Sutedi, ​Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftaranya,​ (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),
hlm. 11.
18
​Boedi Harsono, ​Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok
Agraria Isi dan Pelaksanaannya,​ (Jakarta: Djambatan, 2003), hlm. 205.
19
​Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, ​Jual Beli,​ (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003),
hlm. 48.
20
dengan penyerahannya (levering) sedangkan dalam hukum adat konstruksi
kalimat demikian adalah tidak cocok dengan sistem hukum adat yang kontan
ini. Pihak pembeli dalam perbuatan jual-beli tanah harus memenuhi syarat subyek
dari tanah yang akan dibelinya itu. Demikian pula pihak penjual, harus pula
memenuhi syarat yaitu berwenang memindahkan hak atas tanah tersebut. Pembuatan
akta jual beli hak atas tanah harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan
hukum yang bersangkutan dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi
yang memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam perbuatan hukum itu.20

Menurut Pasal 1868 KUH Perdata disebutkan:

“Suatu akta autentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan
undang-undang oleh atau dihadapan Pejabat Umum yang berwenang untuk itu di
tempat akta itu dibuat”.

Undang-undang dengan tegas menyebutkan bahwa suatu akta dinyatakan sebagai akta
otentik apabila 3 (tiga) unsur yang bersifat kumulatif. Unsur-unsur tersebut, yaitu :

1.Bentuk akta ditentukan oleh undang-undang;

2.Akta dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum yang diberi kewenangan untuk
membuat akta;

3.Akta dibuat oleh pejabat umum dalam daerah (wilayah) kerjanya

Mengenai akta autentik juga diatur dalam Pasal 165 HIR, yang bunyinya sama dengan
Pasal 285 Rbg, yang berbunyi :“Akta autentik adalah suatu akta yang dibuat oleh
atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang
lengkap antara para pihak dari para ahli warisnya dari mereka yang mendapat
hak dari padanya tentang yang tercantum di dalamnya dan bahkan sebagai

20
​Adrian Sutedi, ​Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftaranya, h​ lm. 80-81
21
pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanya diberitahukan itu
berhubungan langsung dengan perihal pada akta itu” .

Menurut G.H.S. Lumban Tobing, S.H. apabila suatu akta hendak memperoleh stempel
otentisitas, hal mana terdapat pada akta notaris, maka menurut ketentuan dalam
Pasal 1868 KUH Perdata, akta yang bersangkutan harus memenuhi
persyaratan-persyaratan berikut :Akta itu harus dibuat “oleh” (door) atau “di
hadapan” (tenoverstaan) seorang pejabat umum.21 Apabila peralihan hak atas tanah
karena jual beli dilakukan dihadapan PPAT, maka akan mempunyai alat bukti yang
kuat atas peralihan hak atas tanah yang bersangkutan, karena akta PPAT adalah
merupakan akta otentik. Meskipun administrasi PPAT sifatnya tertutup, tetapi PPAT
wajib menyampaikan akta yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan setempat
untuk didaftar. Hal ini bertujuan agar diketahui oleh umum, sehingga setiap orang
dianggap mengetahuinya.22 ​Untuk menjadi sebuah akta otentik, akta notaris haruslah
mengikuti syarat-syarat yang mengikat pembuatan akta tersebut. Syarat-syarat dalam
akta notaris tersebut adalah sebagai berikut:

a. ​Adanya identitas pihak-pihak yang terkait dengan akta notaris.

Pada bagian ini, notaris menerangkan apakah penghadap/ para penghadap telah dikenal oleh
notaris atau diperkenalkan kepada notaris oleh 2 (dua) orang saksi pengenal (saksi
attesterend). Identitas para penghadap tercantum di bagian komparisi akta. Pada
bagian komparisi tersebut, termuat:

- Nama lengkap

21
​Ictor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, ​Grosse Akta,​ (Jakarta: Rineka Cipta),
hlm. 29.
22
​ lm. 53
​Adrian Sutedi, ​Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftaranya, h
22
- Tempat dan tanggal lahir

- Kewarganegaraan

- Pekerjaan/ jabatan/ kedudukannya

- Tempat tinggal

- Identitas diri (KTP dengan menyebutkan NIK-nya).

1. Adanya saksi dengan jumlah dua orang yang menyaksikan pembuatan akta notaris.
Dalam membuat akta diperlukan adanya saksi akta/ saksi instrumenter. Saksi diperlukan
untuk otentiknya suatu akta, minimal terdapat dua orang saksi. Akta dibacakan harus
dihadapan dihadapan dua orang saksi tersebut. Saksi harus dikenal oleh Notaris. Oleh
karena itu, di dalam akta identitas saksi mutlak harus ditulis, dahulu dalam PJN tidak
mutlak ditulis bisa langsung tanda tangan. Sekarang jika tidak ditulis maka fungsi akta
tersebut berubah menjadi akta di bawah tangan.Biasanya yang menjadi saksi adalah
karyawan Notaris. Tugas saksi yaitu hanya menyaksikan berjalannya prosedur formal
suatu akta yaitu terpenuhinya unsur verleden disusun, dibaca dan ditandatangani. Jika
tidak sesuai dengan prosedur, maka fungsi aktanya berubah menjadi akta di bawah
tangan. Saksi tidak perlu tahu isi akta, saksi tidak bisa dimintakan keterangan mengenai
isi/materi akta oleh penyidik.

Untuk mengenal para penghadap, Notaris juga dapat dikenalkan oleh saksi pengenal/
saksi esteteren yaitu orang yang mengenalkan penghadap yaitu dua orang teman
penghadap lainnya dan/atau orang lain yang harus dikenal dengan identitas KTP-nya juga
(identitas dan kewenangannya) harus dinyatakan di dalam akta.

23
1. Mencantumkan tanda tangan pihak-pihak yang terkait.
Setelah Notaris membacakan akta tersebut di hadapan para penghadap dan para
saksi, akta tersebut ditanda-tangani oleh para penghadap, para saksi, dan Notaris juga,
kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan dengan
menyebutkan alasannya
2. Mencantumkan tempat dan tanggal dibuatnya akta notaris.
Tempat dan tanggal yang dicantumkan di dalam akta harus sesuai dengan
pembuatan akta tersebut
3. Mengikuti aturan pembuatan akta notaris yang berlaku.
Akta Notaris sudah diatur bentuknya oleh Undang-Undang, dan apabila tidak
mengikuti ketentuan tersebut maka, akta tersebut akan kehilangan otensitasnya. Bentuk
dan sifat akta Notaris diatur dalam Pasal 38 UUJN yaitu:

1. Setiap akta terdiri dari: awal akta atau kepala akta; badan akta; dan
akhir atau penutup akta.

2. Awal akta atau kepala akta memuat: judul akta; nomor akta; jam,
hari, tanggal, bulan, dan tahun; dan nama lengkap dan tempat
kedudukan Notaris.

3. Badan akta memuat: nama lengkap, tempat dan tanggal lahir,


kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para
penghadap dan/atau orang yang mereka wakili; keterangan mengenai
kedudukan bertindak penghadap; isi akta yang merupakan kehendak
dan keinginan dari pihak yang berkepentingan; dan nama lengkap,
tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan
tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.

24
4. Akhir atau penutup akta memuat: uraian tentang pembacaan akta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN atau
Pasal 16 ayat (7) UUJN; uraian tentang penandatanganan dan tempat
penandatanganan atau penerjemahan akta jika ada; nama lengkap,
tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat
tinggal dari tiap-tiap saksi Akta; dan uraian tentang tidak adanya
perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau uraian tentang
adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan, atau
penggantian serta jumlah perubahannya.

5. Akta Notaris Pengganti dan Pejabat Sementara Notaris, selain


memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4), juga memuat nomor dan tanggal penetapan pengangkatan,
serta pejabat yang mengangkatnya.

Dengan adanya ketentuan tersebut, maka dalam setiap pembuatan akta, Notaris harus
memenuhi ketentuan mengenai bentuk akta yang telah ditetapkan dalam Pasal 38
UUJN tersebut. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut mengakibatkan akta
tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian seperti akta yang dibuat di bawah
tangan (Pasal 41 UUJN).

Bagaimana apabila masyarakat melakukan perbuatan hukum berupa jual beli hak atas
tanah yang hanya dibuktikan dengan selembar kwitansi saja atas transaksi jual beli
hak atas tanah dari penjual kepada pembeli, tanpa adanya akta jual beli yang dibuat
di hadapan PPAT. Tentunya perbuatan hukum ini akan sangat merugikan bagi pihak
pembeli, karena pihak pembeli tidak ada kepastian hukum terhadap peralihan hak
atas tanah yang dibelinya, yang notabene telah membayar sejumlah uang kepada
pihak pembeli. Secara normatif sertipikat yang sudah dibelinya belum ada bukti
peralihan hak atas tanah yang bersangkutan dan sertipikat masih atas nama pihak

25
penjual, meskipun telah diserahkan kepada pihak pembeli. Mungkin dengan bukti
pembelian berupa selembar kwitansi ini dalam jangka waktu pendek masih belum
mempunyai dampak hukum bagi pembeli, karena apabila pembeli ingin melakukan
perbuatan hukum terhadap hak atas tanahnya masih bisa menghubungi pihak penjual,
tetapi dalam jangka waktu panjang akan berpotensi menimbulkan sengketa di
kemudian hari.

Prosedur Pendaftaran Akta Jual Beli ke Kantor Badan Pertanahan Nasional

Setelah pembuatan Akta Jual Beli (AJB) yang dibuat oleh PPAT telah selesai, maka
selanjutnya adalah menyerahkan berkas-berkas AJB tersebut ke Kantor Pertanahan
(BPN) untuk keperluan balik nama sertifikat menjadi nama pembeli selaku pemilik
baru atas tanah tersebut.

Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1


Tahun 2010, proses perubahan hak atas tanah/proses balik nama sertifikat hak atas
tanah akan diuraikan sebagaimana berikut:

Setelah membuat AJB, PPAT kemudian menyerahkan berkas ke Kantor Pertanahan, untuk
keperluan balik nama sertifikat, selambat lambatnya dalam 7 (tujuh) hari kerja sejak
ditandatanganinya akta jual-beli tanah tersebut. Adapun berkas-berkas yang harus
diserahkan ke Kantor Pertanahan (BPN) untuk melakukan proses balik nama, antara
lain sebagai berikut:

1. Surat Pengantar dari PPAT yang dibuat rangkap 2 (dua).

2. Surat permohonan balik nama yang ditandatangani oleh pembeli atau Kuasanya jika
dikuasakan.

26
3. Asli dan Fotokopi Sertifikat Hak atas tanah.

4. Akta Jual Beli (AJB) PPAT yang sudah lengkap.

5. Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP) pembeli dan penjualyang masih berlaku dan di
ligalisir pihak yang berwenang.

6. Bukti pelunasan pembayaran Pajak Penghasilan (PPh).

7. Bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

8. Bukti pelunasan pembayaraan Pajak Bumi dan Bangunan tahun Terakhir jika ada.

Proses pengurusan balik nama sertifikat di Kantor Pertanahan, akan diuraikan sebagai
berikut:

a) Setelah berkas disampaikan ke Kantor Pertanahan, Kantor Pertanahan memberikan tanda


bukti penerimaan permohonan balik nama kepada PPAT, selanjutnya oleh PPAT tanda bukti
penerimaan ini diserahkan kepada 10 Pembeli.

b) Nama pemegang hak lama (penjual) di dalam buku tanah dan sertifikat dicoret dengan tinta
hitam dan diparaf oleh Kepala Kantor Pertanahan atau Pejabat yang ditunjuk.

c) Nama pemegang hak yang baru (pembeli) ditulis pada halaman dan kolom yang ada pada
buku tanah dan sertifikat dengan dibubuhi tanggal pencatatan dan ditandatangani oleh Kepala
Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk.

27
d) Dalam waktu 14 (empat belas hari) sampai maksimal 20 (dua puluh hari) pembeli sudah
dapat mengambil sertifikat yang sudah beralih menjadi atas nama pembeli di Kantor
Pertanahan.

C. Sistem Publikasi Tanah

Pendaftaran tanah untuk pertama kalinya dilakukan untuk tanah-tanah yang belum didaftarkan
atau belum pernah disertifikatkan, hal ini sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor
10 Tahun 1961 dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Maka untuk menjamin kepastian hukum, pendaftaran hak atas tanah merupakan hal yang penting
untuk dilakukan. Hal ini dilakukan untuk menjamin kepastian hukum bagi pemegang hak atas
tanah serta pihak lain yang berkepentingan dengan tanah tersebut. Pendaftaran tanah dilakukan
di kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) serta dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) yang berada di wilayah kabupaten/kota.
1. Pengertian Pendaftaran Tanah
Pengertian pendaftaran tanah Menurut ketentuan Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus
berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian
serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang –
bidang tanah dan satuan – satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya
bagi bidang – bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta
hak – hak tertentu yang membebaninya.23
Pendaftaran tanah dilakukan dalam bentuk peta dan daftar. Demikian pula dapat kita ketahui
bahwa salah satu rangkaian kegiatan pendaftaran tanah adalah pemeliharaan data fisik dan data
yuridis yang juga dilakukan dalam bentuk peta dan daftar yang memuat data fisik dan data
yuridis dari bidang – bidang tanah dan satuan rumah susun.
a. Data Fisik
Data fisik sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan pasal 1 ayat 6 Peraturan Pemerintahan
Nomor 24 Tahun 1997 adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang – bidang tanah

23
​Boedi Harsono, ​Hukum Agraria Indonesia​ ( Jakarta: Djambatan, 2002 ), hlm. 520.
28
dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau
bangunan lain di atasnya. Dari definisi diatas dapat diketahui bahwa yang menjadi
objek–objeknya adalah bidang tanah dan satuan rumah susun mengenai letak batas luas serta
bangunan yang ada di atasnya.
b. Data Yuridis
Data yuridis sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 ayat 7 Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan
rumah susun yang di daftar, pemegang hak nya dan hak pihak lain serta beban lain yang
membebaninya.24
2. Asas – Asas Pendaftaran Tanah
Asas–asas penyelenggaraan Pendaftaran Tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah sebagai berikut:
a. Asas Sederhana, bahwa dalam pendaftaran tanah dimaksudkan agar ketentuan –
ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak –
pihak yang berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah.
b. Asas Aman, bahwa dalam pendaftaran tanah dimaksudkan agar diselenggarakan secara
teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan kepastian hukum sesuai dengan
tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.
c. Asas Terjangkau, bahwa dalam pendaftaran tanah dimaksudkan agar terjangkau bagi
pihak pihak yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan
kemampuan golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka
penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh para pihak yang
memerlukan.
d. Asas Mutakhir, bahwa dalam pelaksanaan pendaftaran tanah adanya kelengkapan yang
memadai dalam pemeliharaan datanya. Data yang tersedia harus menunjukkan keadaan
yang mutakhir. Untuk itu perlu diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan –
perubahan yang terjadi di kemudian hari. Asas ini menuntut dipeliharanya data
pendaftaran tanah secara terus menerus dan berkesinambungan, sehingga data yang

24
​Harsono, Hukum Agraria Indonesia, hlm. 520
29
tersimpan di Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata di lapangan dan
masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data yang benar setiap saat.
e. Asas Terbuka, bahwa dalam pendaftaran tanah hendaknya selalu bersifat terbuka bagi
semua pihak, sehingga bagi yang yang membutuhkan informasi tentang suatu tanah akan
mudah untuk memperoleh keterangan – keterangan yang diperlukan.
3. Sistem Publikasi Pendaftaran tanah
Sistem pendaftaran tanah yang diterapkan di suatu negara didasarkan pada asas hukum yang
dianut oleh negara tersebut dalam mengalihkan hak atas tanah. Ada
dua macam asas hukum, yaitu asas itikad baik dan asas nemo plus yuris.25 Asas itikad baik
berarti orang yang memperoleh suatu hak dengan itikad baik akan tetap menjadi pemegang hak
yang sah menurut hukum26, sedangkan asas nemo plus yuris berarti orang tidak dapat
mengalihkan hak melebihi hak yang ada padanya.27 Sistem publikasi yang digunakan untuk Asas
itikad baik adalah sistem publikasi positif, sedangkan sistem asas nemo plus yuris menggunakan
sistem publikasi positif. Di dunia ini tidak ada satu negara yang menganut salah satu asas
tersebut secara murni, karena masing-masing asas ini memiliki kelebihan dan kekurangan.28

A. Sistem Publikasi Positif


Sistem publikasi positif digunakan untuk melindungi orang yang memperoleh suatu hak dengan
itikad baik. Menurut Efendi Perangin, sistem publikasi positif mengandung pengertian apa yang
terkandung dalam buku tanah dan surat-surat tanda bukti hak yang dikeluarkan merupakan alat
pembuktian yang mutlak, sehingga pihak ketiga yang bertindak atas bukti-bukti tersebut
mendapatkan perlindungan yang mutlak, meskipun di kemudian hari terbukti bahwa keterangan
yang terdapat di dalamnya tidak benar. Mereka yang dirugikan akan mendapat kompensasi
dalam bentuk lain.29 Menurut Arie S. Hutagalung sebagaimana dikutip oleh Urip Santoso, orang

25
​Adrian Sutedi, ​Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Cet. 4,​ (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 117.
26
​Ibid
27
​Ibid hlm. 118
28
​Ibid.hlm 117
29
​Urip Santoso, ​Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Cet. 2,​ (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 263.
30
yang mendaftar sebagai pemegang hak atas tanah tidak dapat diganggu gugat lagi haknya dan
negara sebagai pendaftar menjamin bahwa pendaftaran yang dilakukan adalah benar.30
Ciri-ciri pendaftaran tanah yang menggunakan sistem publikasi positif adalah31:
1. Sistem pendaftaran tanah menggunakan sistem pendaftaran hak (registration of titles).
2. Sertifikat yang diterbitkan sebagai tanda bukti hak bersifat mutlak, yaitu data fisik dan data
yuridis yang tercantum dalam sertipikat tidak dapat diganggu gugat dan memberikan
kepercayaan yang mutlak pada buku tanah.
3. Negara sebagai pendaftar menjamin bahwa data fisik dan data yuridis dalam pendaftaran
tanah adalah benar.
4. Pihak ketiga yang memperoleh tanah dengan itikad baik mendapatkan perlindungan hukum
yang mutlak.
5. Pihak lain yang dirugikan atas diterbitkannya sertifikat tanah mendapatkan kompensasi
dalam bentuk yang lain.
6. Dalam pelaksanaan pendaftaran tanah membutuhkan waktu yang lama, petugas pendaftaran
tanah melaksanakan tugasnya dengan sangat teliti, dan biaya yang relatif tinggi
Sistem publikasi positif memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Menurut Sudikno
Mertokusumo, kelebihan dari sistem publikasi positif adalah32:
1. Adanya kepastian dari buku tanah yang bersifat mutlak.
2. Pelaksana pendaftaran tanah bersifat aktif dan teliti.
3. Mekanisme kerja dalam penerbitan sertipikat hak atas tanah mudah dimengerti orang lain.

Menurut Prof. Arie S. Hutagalung, kelebihan dari sistem publikasi positif adalah:
1. Adanya kepastian hukum bagi pemegang sertipikat.
2. Adanya peranan aktif pejabat kadaster.
3. Mekanisme penerbitan sertipikat dapat dengan mudah diketahui publik.33
Sedangkan kekurangan dari sistem publikasi positif menurut Sudikno Mertokusumo adalah:

30
​Ibid​​., hlm. 263-264.
31
​Ibid.
32
​Ibid
33
​Ibid., hlm. 264-265
31
1. Akibat dari pelaksana pendaftaran tanah bersifat aktif, waktu yang digunakan sangat lama.
2. Pemilik hak atas tanah yang sebenarnya berhak akan kehilangan haknya.
3. Wewenang pengadilan diletakkan dalam wewenang administrasi, yaitu dengan
diterbitkannya sertifikat tidak dapat diganggu gugat.34
Hal yang serupa dikemukakan oleh Arie S. Hutagalung yang mengemukakan beberapa
kekurangan sistem pendaftaran positif:
1. Pemilik tanah yang sesungguhnya akan kehilangan haknya karena tanah tersebut telah ada
sertifikat atas nama pihak lain yang tidak dapat diubah lagi.
2. Peranan aktif pejabat kadaster memerlukan waktu dan prasarana yang mahal.
3. Wewenang pengadilan diletakkan dalam wewenang pengadilan administrasi.35

B. Sistem Publikasi Negatif


Sistem publikasi negatif digunakan untuk melindungi pemegang hak yang sebenarnya, sehingga
pemegang hak yang sebenarnya akan selalu dapat menuntut kembali haknya yang terdaftar atas
nama siapapun.36 Pada sistem publikasi negatif sertipikat yang dikeluarkan merupakan tanda
bukti hak atas tanah yang kuat. Ini berarti semua keterangan yang terdapat di dalamnya
mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima sebagai keterangan yang benar oleh hakim,
selama tidak dibuktikan sebaliknya dengan menggunakan alat pembuktian yang lain.37 Dalam
sistem publikasi negatif negara hanya secara pasif menerima apa yang dinyatakan oleh pihak
yang meminta pendaftaran, sehingga setiap saat dapat digugat oleh orang yang merasa lebih
berhak atas tanah tersebut.38
Berikut ini ciri-ciri sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah39:
1. Sistem pendaftaran tanah menggunakan sistem pendaftaran akta (registration of deed).

34
I​ bid
35
Ibid
36
​Adrian Sutedi, ​Peralihan Hak, ​hlm. 118
37
​Urip Santoso, ​Pendaftaran dan Peralihan, h​ lm. 263.

38
​Ibid hlm. 266.
39
​Ibid hlm. 266-267.
32
2. Sertipikat yang diterbitkan sebagai tanda bukti hak bersifat kuat, yaitu data fisik dan data
yuridis yang tercantum dalam sertipikat dianggap benar sepanjang tidak dibuktikan
sebaliknya oleh alat bukti yang lain. Sertipikat bukan satu-satunya tanda bukti hak.
3. Negara sebagai pendaftar tidak menjamin bahwa data fisik dan data yuridis dalam
pendaftaran tanah adalah benar.
4. Dalam sistem publikasi ini menggunakan lembaga kedaluwarsa (aqquisitive verjaring atau
adverse possessive).
5. Pihak lain yang dirugikan atas diterbitkannya sertipikat dapat mengajukan keberatan kepada
penyelenggara pendaftaran tanah untuk membatalkan sertipikat ataupun gugatan
kepengadilan untuk meminta agar sertipikat dinyatakan tidak sah.
6. Petugas pendaftaran tanah bersifat pasif, yaitu hanya menerima apa yang dinyatakan oleh
pihak yang meminta pendaftaran tanah.

Kelebihan dari sistem publikasi negatif menurut Arie S. Hutagalung adalah40:


1. Pemegang hak yang sesungguhnya terlindungi daripihak lain yang tidak berhak atas
tanahnya.
2. Adanya penyelidikan riwayat tanah sebelum penerbitan sertipikat.
3. Tidak adanya batas waktu bagi pemilik tanah yang sesungguhnya untuk menuntut
haknya yang telah disertifikatkan oleh pihak lain.
Sedangkan kekurangan dari sistem publikasi negatif menurut Arie S. Hutagalung adalah:41
1. Tidak ada kepastian atas keabsahan sertipikat karena setiap saat dapat atau mungkin saja
digugat dan dibatalkan jika terbukti tidak sah penerbitannya.
2. Peranan pejabat pendaftaran tanah/adaster yang pasif tidak mendukung ke arah akurasi dan
kebenaran data yang tercantum dalam sertipikat.
3. Mekanisme kerja pejabat kadaster yang kurang transparan kurang dapat dipahami masyarakat
awam.

C. Sistem Publikasi Yang Digunakan Di Indonesia

40
​Ibid hlm. 267.
41
​Ibid hlm. 267-268.
33
Mengacu kepada Penjelasan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah (PP Pendaftaran Tanah), sistem publikasi yang digunakan di
Indonesia adalah sistem publikasi negatif yang mengandung unsur positif.42 Hal ini dapat
dibuktikan dari hal-hal berikut43:
1. Pendaftaran tanah menghasilkan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat, bukan sebagai alat pembuktian yang mutlak (sistem publikasi negatif).
2. Sistem pendaftaran tanah menggunakan sistem pendaftaran hak (registration of titles), bukan
sistem pendaftaran akta (registration of deed) (sistem publikasi positif).
3. Negara tidak menjamin kebenaran data fisik dan data yuridis yang tercantumalam sertipikat
(sistem publikasi negatif).
4. Petugas pendaftaran tanah bersifat aktif meneliti kebenaran data fisik dan yuridis (sistem
publikasi positif).
5. Tujuan pendaftaran tanah adalah untuk memberikan jaminan kepastian hukum (sistem
publikasi positif).
6. Pihak lain yang dirugikan atas diterbitkannya sertipikat dapat mengajukan keberatan kepada
penyelenggara pendaftaran tanah untuk membatalkan sertipikat atau mengajukan gugatan ke
pengadilan agar sertipikat dinyatakan tidak sah (sistem publikasi negat

D. Hak Tanggungan

1. Tinjauan Umum Hak Tanggungan


Pada awalnya pembebanan hak atas tanah diatur dalam Buku ke II KUHPerdata, Stb. 1937-190
dan Pasal 57 UUPA. Namun ketentuan tersebut telah dicabut setelah dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan.
a. Pengertian Hak Tanggungan
Hak Tanggungan sebagaimana yang didefinisikan oleh Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Hak
Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud
dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
berikut atau tidak berikut benda- benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu,

42
​Boedi Harsono, ​Hukum Agraria , h​ lm. 477.
43
Santoso,Pendaftaran dan Peralihan, hlm. 271-272.
34
untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor
tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Dari definisi di atas, terdapat beberapa unsur pokok dari
Hak Tanggungan yang termuat di dalam definisi tersebut, unsur-unsur yang dimaksud antara lain
ialah:
1) Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang.
2) Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA.
3) Hak Tanggungan dapat dibebankan tidak terbatas terhadap hak atas tanah saja, tetapi
dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan
tanah itu.
4) Utang yang dijaminkan harus sesuatu utang tertentu.
5) Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap
kreditor-kreditor lain.

b. Ruang Lingkup
Tanah dilekatkan dengan Hak Tanggungan, Hak Tanggungan menyangkut tiga aspek, yaitu :44
1) Berkaitan erat dengan jaminan atas tanah
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Hak Tanggungan, yang disebut dengan Hak Tanggungan
adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah berikut atau tidak berikut pada
benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang
tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap
kreditur-kreditur lain. Hak tanggungan jika dikaitkan dengan Pasal 4 Undang-Undang Hak
Tanggungan maka berakibat sebagai berikut;
a) Hak tanggungan sebagai hak jaminan atas tanah tidak hanya menyangkut benda-benda yang
telah ada saja, tetapi juga benda-benda yang akan ada.
b) Dimungkinkan pula pembebanan hak tanggungan atas bangunan, tanaman dan hasil karya
yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut
2) Berkaitan dengan Kegiatan Perkreditan

44
​Frieda Husni Hasbullah, ​Hukum Kebendaan Perdata Hak Hak Yang Memberi Jaminan​ (Jakarta: IND HILL CO,
2009), hlm. 142 – 144.
35
Sehubungan dengan kegiatan perkreditan, Hak Tanggungan menjadi salah satu hak jaminan di
bidang hukum yang dapat memberi perlindungan khusus kepada kreditur dalam kegiatan
perkreditan. Oleh karena itu, jika dikaitkan dengan sifatnya, Hak Tanggungan sebagai hak
jaminan atas tanah sebagai agunan memberikan kedudukan diutamakan (​preference)​ kepada
kreditur. Dengan kedudukan yang preference itu maka kreditur yang bersangkutan dapat
memperoleh pelunasan atas piutangnya terlebih dahulu dari kredit-kredit lainnya, karena objek
Hak Tanggungan tersebut disediakan khusus untuk pelunasan kreditur tertentu.
3) Berkaitan dengan Perlindungan Hukum
Berbicara mengenai perkreditan tentunya tidak akan terlepas dari bidang hukum yang mengatur
masalah perjanjian, hubungan utang-piutang antara debitur dan kreditur, dan bagaimana
perlindungan terhadap kreditur bilamana debitur tidak dapat memenuhi apa yang diperjanjikan
atau wanprestasi. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, hukum bukan saja memperhatikan
kepentingan kreditur sebagai pihak yang memberikan kredit, tetapi perlindungan juga diberikan
secara seimbang kepada debitur yang pada tahap permohonan kredit belum disetujui, yang dalam
hubungannya dengan kreditur kedudukannya masih lemah. Bahkan perlindungan juga diberikan
kepada pihak ketiga yang kepentingannya bisa terpengaruh oleh hubungan utang-piutang antara
kreditur dan debitur serta penyelesaian apabila debitur wanprestasi.

2. Objek Hak Tanggungan


Sebelum membahas lebih lanjut mengenai jenis-jenis Objek Hak Tanggungan, perlu diketahui
terlebih dahulu bahwa terdapat kriteria atau syarat-syarat agar suatu objek dapat dibebani dengan
Hak Tanggungan. Berdasarkan Penjelasan Umum angka 5 dan Penjelasan atas Pasal 4 ayat (1)
serta penjelasan dari Boedi Harsono, maka objek tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:45
a. Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin adalah berupa uang.
b. Termasuk hak yang wajib didaftar dalam Daftar Umum karena harus memenuhi syarat
spesialitas dan publisitas.

45
​Boedi Harsono, 1996 dalam Frieda Husni Hasbullah, ​Hukum Kebendaan Perdata Hak Hak Yang Memberi
Jaminan,​ hlm.
36
c. Mempunyai sifat yang dapat dipindahtangankan karena apabila debitur cidera janji,
benda yang dijadikan jaminan akan dijual dimuka umum.
d. Memerlukan penunjukkan oleh undang-undang
Berangkat dari pengertian Hak Tanggungan sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 1 ayat
(1) Undang-Undang Hak Tanggungan, dapat diperoleh suatu gambaran bahwa yang menjadi
objek dalam Hak Tanggungan dapat berupa hak atas tanah dan benda-benda yang berkaitan
dengan tanah.
a. Hak-Hak Atas Tanah
Untuk mengetahui apa yang dapat dijadikan objek dari Hak Tanggungan, kita dapat melihat
ketentuan dalam UUPA dan Undang-Undang Hak Tanggungan. Dari ketentuan-ketentuan
yang ada dalam kedua peraturan perundang-undangan tersebut dapat diketahui bahwa yang
dapat dijadikan sebagai objek dari Hak Tanggungan antara lain ialah:
1) Hak Milik (HM)
Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 25 UUPA & Pasal 4 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Hak Tanggungan, dapat diketahui bahwa Hak Milik dapat dibebankan
dengan Hak Tanggungan. Hak milik ialah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh
yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6
UUPA.46 Yang dimaksud dengan hak yang terkuat dan terpenuh bukan berarti hak milik
tersebut bersifat mutlak, tidak dapat diganggu gugat, tidak terbatas sebagaimana sifat
hak eigendom, namun yang dimaksud dengan hak yang terkuat dan terpenuh ialah hak
milik merupakan hak yang paling kuat dan paling penuh di antara hak-hak atas tanah
lainnya, ‘terkuat’ juga memiliki bahwa hak milik tersebut tidak mudah hapus dan
mudah dipertahankan terhadap pihak lain,47 sedangkan ‘terpenuh’ dapat diartikan bahwa
hak milik memberikan wewenang yang paling luas dapat dikatakan bahwa hak milik
memberikan kewengan yang tidak terbatas kepada pemegangnya untuk melakukan
perbuatan apa saja di atas tanahnya tersebut.48 Selanjutnya yang dimaksud dengan

46
​Indonesia, ​Undang-Undang Pokok Agraria,​ UU Nomor 5 Tahun 1960, LN Nomor 104 Tahun 1960, TLN Nomor
2043, Ps. 20 ayat (1).
47
​Adrian Sutedi, Peralihan ​Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya​, cet. 4 (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 60 – 61.
48
​Ibid.
37
turun-menurun ialah bahwa hak milik ini dapat diwariskan dari pemegang hak kepada
ahli warisnya.
2) Hak Guna Usaha (HGU)
Ketentuan yang menyatakan bahwa Hak Guna Usaha dapat dibebankan dengan Hak
Tanggungan ialah Pasal 33 UUPA & Pasal 4 ayat (1) huruf b Undang-Undang Hak
Tanggungan. Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29
UUPA, guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan.49
3) Hak Guna Bangunan (HGB)
Ketentuan dalam Pasal 39 UUPA dan Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Hak
Tanggungan menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan dapat dibebankan dengan Hak
Tanggungan. Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu
paling lama 30 tahun.50
4) Hak Pakai atas Tanah Negara
Sebagai jawaban atas amanat dari UUPA, Undang-Undang Hak Tanggungan
mengamini apa yang diatur dalam UUPA dimana ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang Hak Tanggungan selaras dengan ketentuan dalam UUPA terkait
dengan objek Hak Tanggungan. Namun, Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Hak
Tanggungan memperluas objek Hak Tanggungan yang diatur dalam UUPA, dalam
ketentuan pasal ini, Hak Tanggungan dapat pula dibebankan terhadap tanah dengan
status Hak Pakai atas Tanah Negara dengan syarat bahwa Hak Pakai tersebut wajib
didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. Syarat “wajib didaftarkan”
ialah untuk memenuhi asas publisitas, sedangkan syarat “dapat dipindahtangankan”
untuk memudahkan penjualan tanah tersebut manakala debitur tidak sanggup untuk
membayar utangnya.

b. Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah

49
​Indonesia, ​Undang-Undang Pokok Agraria,​ Ps. 28 ayat (1).
50
​Ibid.​ , Ps. 35 ayat (1).
38
Selain dari hak-hak atas tanah yang disebutkan di atas, dimungkinkan juga benda-benda
yang berkaitan dengan tanah menjadi objek Hak Tanggungan, ketentuan terkait pembebanan
terhadap benda-benda yang berkaitan dengan tanah ini dapat ditemukan dalam Pasal 4 ayat
(4) Undang-Undang Hak Tanggungan, yang menyatakan bahwa Hak Tanggungan dapat juga
dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada
atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan
milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam
Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut, Hak
Tanggungan tidak hanya dapat dibebankan pada hak atas tanahnya saja, tetapi dapat pula
berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah
tersebut, atau yang dalam UUHT ini disebut sebagai “benda-benda yang berkaitan dengan
tanah”. Bahkan bukan hanya bangunan, tanaman dan hasil karya yang telah ada saja tetapi
juga yang baru akan ada di kemudian hari. Pembebanan Hak Tanggungan atas benda-benda
yang berkaitan dengan tanah itu hanya terjadi apabila dengan tegas dinyatakan dalam Akta
Pembebanan Hak Tanggungan yang bersangkutan, mengingat Indonesia menganut asas
pemisahan horizontal dalam hukum tanah Nasional sehingga benda-benda yang melekat
dengan tanah tidak secara otomatis terbebani oleh Hak Tanggungan, apabila benda-benda
yang berkaitan dengan tanah tersebut tidak disebutkan secara eksplisit dalam Akta
Pembebanan Hak Tanggungan maka Hak Tanggungan hanya terjadi atas hak atas tanah saja.
Peristilahan “bangunan yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut” dimaksudkan
agar yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan tidak terbatas pada bangunan yang
berada di atas tanah tersebut namun juga bangunan-bangunan yang berada di bawah
permukaan tanah yang pada saat ini telah banyak dilakukan pembangunannya di Indonesia
seperti ​basement​, yaitu lantai di bawah tanah dari gedung-gedung bertingkat.

3. Asas-Asas Hak Tanggungan


a. Hak Tanggungan Memberikan Kedudukan Yang Diutamakan

39
Dari definisi Hak Tanggungan dalam Undang - Undang Hak Tanggungan, dapat
diketahui bahwa Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor
tertentu terhadap kreditor - kreditor lain. Terkait dengan apa yang dimaksud dengan
“kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor - kreditor lain”
berdasarkan Angka 4 Penjelasan Umum Undang - Undang Hak Tanggungan ialah “bahwa
jika debitor cidera janji, kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui
pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditor - kreditor
yang lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi
piutang - piutang Negara menurut ketentuan - ketentuan hukum yang berlaku.” Selanjut asas
ini juga tercermin dari ketentuan dalam Pasal 6 Undang - Undang Hak Tanggungan yang
mana menyebutkan bahwa “apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan Pertama
mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri…” dalam ilmu
hukum asas ini dikenal sebagai ​droit de preference dimana memberikan suatu hak istimewa
kepada kreditor sehingga kedudukannya lebih tinggi daripada kreditor lainnya.

b. Hak Tanggungan Tidak Dapat Dibagi-Bagi


Asas ini ditentukan dalam Pasal 2 Undang-Undang Hak Tanggungan, yang dimaksud
dengan tidak dapat dibagi-bagi ialah bahwa Hak Tanggungan membebani secara utuh objek
Hak Tanggungan dan setiap bagian daripadanya. Telah dilunasinya sebagian dari utang yang
dijamin tidak berarti terbebasnya sebagian objek Hak Tanggungan dari beban Hak
Tanggungan, melainkan Hak Tanggungan tetap membebani seluruh objek Hak Tanggungan
untuk sisa utang yang belum dilunasi.51

c. Hak Tanggungan Hanya Dapat Dibebankan Pada Hak Atas Tanah Yang Telah Ada
Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan menentukan bahwa kewenangan
untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan harus ada pada pemberi
Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan. Berkaitan dengan

​Indonesia, ​Undang-Undang Hak Tanggungan,​ UU Nomor 4 Tahun 1996, LN Nomor 42 Tahun 1996, TLN
51

Nomor 3632, Penjelasan Ps. 2 ayat (1).


40
ketentuan tersebut, Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yang sudah
dimiliki oleh pemberi Hak Tanggungan, hak atas tanah yang baru akan dimiliki seseorang di
kemudian hari tidak dapat dijaminkan dengan Hak Tanggungan. begitu juga tidak mungkin
untuk membebankan Hak Tanggungan pada suatu hak atas tanah yang baru akan ada di
kemudian hari.52

d. Hak Tanggungan Dapat Dibebankan Selain Atas Tanahnya Juga Berikut Benda-Benda
Yang Berkaitan Dengan Tanah Tersebut
Pasal 4 ayat (4) Undang - Undang Hak Tanggungan menyatakan bahwa Hak
Tanggungan dapat dibebankan tidak hanya pada hak atas tanah yang menjadi objek Hak
Tanggungan, tetapi juga berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah tersebut. Benda - benda tersebut dalam Undang - Undang Hak
Tanggungan di definisikan sebagai “benda - benda yang berkaitan dengan tanah”. Benda -
benda yang berkaitan dengan tanah tersebut tidak terbatas kepada benda - benda milik
pemegang hak atas tanah yang dibebani dengan Hak Tanggungan, tetapi juga benda - benda
yang bukan menjadi milik pemegang hak atas tanah.53

e. Hak Tanggungan Dapat Dibebankan Juga Atas Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan
Tanah Yang Baru Akan Ada Di Kemudian Hari
Benda-benda yang berkaitan dengan tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4
ayat (4) Undang-Undang Hak Tanggungan tidak terbatas pada benda-benda yang sudah ada
di atas tanah tersebut, melainkan dapat juga berupa benda-benda yang baru akan ada di
kemudian hari. Dalam pengertian “yang baru akan ada” ialah benda-benda yang pada saat
pembebanan Hak Tanggungan belum ada sebagai bagian dari tanah tersebut, sebagai contoh
tanaman yang baru ditanam, bagunan yang sedang dibangun.

f. Perjanjian Hak Tanggungan Adalah Perjanjian ​Accesoir

52
​Sutan Remy Sjahdeini, ​Hak Tanggungan: Asas-Asas Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan Masalah-Masalah Yang
Dihadapi Oleh Perbankan​ (Surabaya: Airlangga University Press, 1996), hlm. 18.
53
​Indonesia, ​Undang-Undang Hak Tanggungan,​ Ps. 4 ayat (5).

41
Perjanjian Hak Tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri,
melainkan keberadaannya adalah karena adanya perjanjian lain yang disebut dengan
perjanjian induk.54 Yang dimaksud perjanjian induk dari perjanjian Hak Tanggungan ialah
perjanjian utang-piutang yang menimbulkan utang yang dijamin itu. Sebagaimana yang
disebutkan dalam butir 8 Penjelasan Umun Undang-Undang Hak Tanggungan, “Oleh karena
Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutan atau accessoir pada suatu piutang
tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain, maka
kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya.”
Maka dengan demikian Hak Tanggungan hapus apabila utang yang dijamin dengan Hak
Tanggungan tersebut hapus.

g. Hak Tanggungan Dapat Dijadikan Jaminan Untuk Utang Yang Baru Akan Ada
Ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan memungkinkan
bahwa utang yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan dapat berupa utang yang sudah ada
maupun belum ada. Yang dimaksud dengan utang yang baru akan ada ialah utang yang baru
akan ada di kemudian hari namun harus sudah diperjanjikan sebelumnya. Dapat dijadikannya
Hak Tanggungan untuk menjamin utang yang baru akan ada di kemudian hari adalah untuk
menampung kebutuhan dalam dunia perbankan yang berkenaan dengan timbulnya utang dari
nasabah bank sebagai akibat dilakukannya pencairan atas suatu garansi bank, juga untuk
menampung timbulnya utang sebagai akibat pembebanan bunga atas pinjaman pokok dan
pembebanan ongkos-ongkos lain yang jumlahnya baru dapat ditentukan di kemudian hari.

h. Hak Tanggungan Dapat Menjamin Lebih Dari Satu Utang


Ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2) Undang - Undang Hak Tanggungan memungkinkan
pemberian Hak Tanggungan untuk;
1) Beberapa kreditor yang memberikan utang kepada satu debitor berdasarkan satu
perjanjian utang piutang.

54
​Sutan Remy Sjahdeini, ​Hak Tanggungan: Asas-Asas Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan Masalah-Masalah Yang
Dihadapi Oleh Perbankan,​ hlm. 20.
42
2) Beberapa kreditor yang memberikan utang kepada satu debitor berdasarkan
beberapa perjanjian utang piutang bilateral antara masing-masing kreditor dengan
debitor yang bersangkutan.
Dengan adanya ketentuan tersebut, maka tertampung sudah kebutuhan pemberian Hak
Tanggungan bagi kredit sindikasi, dimana seorang debitor memperoleh kredit lebih dari satu
kreditor, namun berdasarkan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang sama yang
dituangkan hanya dalam perjanjian utang piutang saja.

i. Hak Tanggungan Mengikuti Objeknya Dalam Tangan Siapapun Objek Hak Tanggungan
Itu Berada
Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 7 Undang-Undang Hak Tanggungan,
diketahui bahwa Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek
tersebut berada. Dengan demikian maka Hak Tanggungan tidak akan berakhir sekalipun
objek Hak Tanggungan itu beralih kepada pihak lain oleh sebab apapun juga. Ketentuan
pasal 7 Undang-Undang Hak Tanggungan ini merupakan matrealisasi dari asas “​droit de
suite”​ . Asas ini memberikan sifat kepada Hak Tanggungan sebagai hak kebendaan,
sebagaimana yang diketahui bahwa hak kebendaan ialah hak yang mutlak, dengan demikian
hak ini dapat dipertahankan terhadap siapapun.55 Sifat Hak Tanggungan yang demikian
memberikan kepastian kepada kreditor mengenai haknya untuk memperoleh pelunasan dari
hasil penjualan atas tanah atau hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan apabila
debitor wanprestasi, sekalipun tanah atau hak atas tanah tersebut telah beralih kepada pihak
ketiga.

j. Di Atas Hak Tanggungan Tidak Dapat Diletakkan Sita Oleh Pengadilan


Tujuan dari Hak Tanggungan itu sendiri ialah memberikan jaminan yang kuat bagi
para kreditor yang menjadi pemegang Hak Tanggungan. Sebagaimana yang sudah dijelaskan
sebelumnya bahwa salah satu sifat Hak Tanggungan ialah memberikan kedudukan yang
diutamakan pada kreditor pertama, sehingga apabila terhadap Hak Tanggungan itu

55
​Frieda Husni Hasbullah, ​Hukum Kebendaan Perdata Hak Hak Yang Memberi Jaminan,​ hlm. 19.
43
dimungkinkan sita oleh pengadilan, maka berarti pengadilan mengabaikan kedudukan dari
kreditor yang diutamakan tersebut yang mana bertentangan dengan maksud dari diadakannya
Hak Tanggungan ini sendiri.56

k. Hak Tanggungan Hanya Dapat Dibebankan Atas Tanah yang Tertentu


Asas ini disebut juga dengan Asas Spesialitas, yang dimaksud dengan asas spesialitas
yaitu asas yang menghendaki bahwa Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah
yang ditentukan secara khusus.57 Dianutnya asas spesialitas tercantum dalam Pasal 8 dan
Pasal 11 ayat (1) huruf e Undang-Undang Hak Tanggungan dimana pemberi Hak
Tanggungan harus mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap
objek Hak Tanggungan yang bersangkutan, dan wajib mencantumkan uraian yang jelas
mengenai objek Hak Tanggungan, tidaklah mungkin untuk memberikan uraian yang jelas
sebagaimana yang dimaksud itu apabila objek Hak Tanggungan belum ada dan belum
diketahui ciri-cirinya.

l. Hak Tanggungan Wajib Didaftarkan


Dari ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan diketahui bahwa terhadap
Hak Tanggungan berlaku asas publisitas, dimana pemberian Hak Tanggungan wajib
didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Pendaftaran pemberian Hak Tanggungan merupakan
syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan terhadap pihak ketiga. Dari asas publisitas ini
membuka kemungkinan untuk pihak ketiga untuk mengetahui adanya pembebanan Hak
Tanggungan atas suatu hak atas tanah dan mengajukan keberatan apabila ada hak-haknya
yang dilanggar.

m. Hak Tanggungan Dapat Diberikan Dengan Disertai Janji-Janji Tertentu


Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan membuka kemungkinan bahwa
pemberian Hak Tanggungan dapat disertai dengan janji-janji tertentu. Janji-janji sebagaimana

56
​Sutan Remy Sjahdeini, ​Hak Tanggungan: Asas-Asas Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan Masalah-Masalah Yang
Dihadapi Oleh Perbankan, h​ lm. 29.
57
​Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, ​Hak Jaminan atas Tanah​ (Yogyakarta: Liberty, 1981), hlm. 11.
44
yang dicantumkan dalam pasal ini bersifat fakultatif dan tidak limitatif.58 Bersifat fakultatif
karena janji-janji tersebut boleh dicantumkan atau tidak dicantumkan baik sebagian maupun
seluruhnya, bersifat tidak limitatif karena dapat juga diperjanjikan janji-janji lain diluar dari
janji-janji yang disebutkan pada pasal ini.

n. Objek Hak Tanggungan Tidak Boleh Diperjanjikan Untuk Dimiliki Sendiri Oleh Pemegang
Hak Tanggungan Bila Debitor Cidera Janji
Tidak dapat diperjanjikan apabila debitor wanprestasi, kreditor dapat memiliki tanah
yang dibebankan dengan Hak Tanggungan tersebut, sesuai dengan ketentuan pada Pasal 12
Undang-Undang Hak Tanggungan janji yang memberikan kewenangan bagi kreditor untuk
memiliki objek Hak Tanggungan apabila debitor wanprestasi ialah batal demi hukum. Asas
ini diadopsi dari ketentuan dalam Pasal 1178 ayat (1) KUHPer yang berlaku pada hipotik.
Janji yang demikian dikenal dengan sebutan ​vervalbeding.​ Larangan pencantuman janji
tersebut bertujuan untuk melindungi debitor, agar kreditor-kreditor besar seperti bank tidak
dapat berlaku sewenang-wenang karena debitor sangat membutuhkan kredit.

o. Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan Mudah Dan Pasti


Apabila debitor wanprestasi, pemegang Hak Tanggungan pertama memiliki
kewenangan untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui
pelelangan umum, yang mana hasil dari penjualan atas objek Hak Tanggungan tersebut
setelah dikurangi utang debitor yang belum dilunasi akan dikembalikan kepada debitor. Pasal
6 Undang-Undang Hak Tanggungan memberikan kewenangan bagi kreditor untuk
melakukan parate eksekusi, dimana eksekusi tersebut dapat dilakukan tanpa meminta
persetujuan terlebih dahulu kepada pemberi Hak Tanggungan, dan juga tidak memerlukan
penetapan pengadilan. Hak ini merupakan perwujudan dari kedudukan yang diutamakan
yang dipegang oleh pemegang Hak Tanggungan atau pemegang Hak Tanggungan pertama
apabila pemegang Hak Tanggungan lebih dari satu pihak. Selain daripada itu, sertifikat Hak
Tanggungan berkekuatan eksekutorial, yang mana memuat irah-irah “DEMI KEADILAN

58
​Sutan Remy Sjahdeini, ​Hak Tanggungan: Asas-Asas Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan Masalah-Masalah Yang
Dihadapi Oleh Perbankan,​ hlm. 32.
45
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, maka sertifikat Hak Tanggungan
ini memiliki kekuatan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.

E. Perbuatan Melawan Hukum

Perbuatan melawan hukum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat di dalam
Buku III tentang Perikatan yaitu pada Pasal 1365 sampai dengan Pasal 1380. Oleh karena itu,
suatu perbuatan melawan hukum adalah salah satu bentuk perikatan. Perbuatan Melawan Hukum
(​onrechtmatige daad​) dalam konteks perdata diatur dalam Pasal 1365 sampai dengan pasal 1380
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau ​Burgerlijk Wetboek (“BW”). Pengertian Perbuatan
Melawan Hukum terdapat dalam buku III tentang Perikatan, yaitu Pasal 1365 KUH Perdata yang
berbunyi :
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut.”
Lebih lanjut, ketentuan ini diatur dalam Pasal 1366 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata sebagai berikut :

“Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan
karenaperbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau
kurang hati-hatinya.”

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, terdapat kriteria untuk dapat mengatakan bahwa
suatu perbuatan adalah perbuatan melawan hukum yaitu sebagai berikut:59

1. Harus ada perbuatan, yang dimaksud dengan perbuatan ini baik yang bersifat positif
maupun yang bersifat negatif, artinya setiap tingkah laku berbuat atau tidak berbuat.
2. Perbuatan itu harus melawan hukum.
3. Ada kerugian.

59
​Rosa Agustina, ​Perbuatan Melawan Hukum, (​ Jakarta: Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia, 2013) hlm. 36
46
4. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian.
5. Ada kesalahan (schuld).”

Pasal 1233 Kitab Undang - Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa “sumber
perikatan adalah perjanjian dan undang - undang.” Lebih jauh, Pasal 1352 Kitab Undang -
Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa “perikatan - perikatan yang dilahirkan demi undang
- undang, timbul dari undang - undang saja, atau dari undang - undang akibat perbuatan orang.”
Selanjutnya Pasal 1353 Kitab Undang - Undang Hukum Perdata menjelaskan bahwa “perikatan -
perikatan yang dilahirkan dari undang - undang sebagai akibat perbuatan orang, terbit dari
perbuatan halal atau dari perbuatan melanggar hukum.”
Dalam menentukan suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai melawan hukum, diperlukan 4
syarat60:

1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku


2. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain
3. Bertentangan dengan kesusilaan
4. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.

Perbuatan sebagai salah satu unsur perbuatan melawan hukum di sini diartikan baik
sebagai berbuat sesuatu (dalam arti aktif) maupun tidak berbuat sesuatu (dalam arti pasif).61
Unsur kedua yaitu adanya sifat melawan hukum dari perbuatan tersebut. Sejak tahun 1919,
unsur melawan hukum ini mengalami perluasan penafsiran: bertentangan dengan hak subjektif
orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku, bertentangan dengan kaedah
kesusilaan, bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat. Unsur ketiga adalah adanya
kesalahan yang dalam arti luas meliputi kelalaian dan kesengajaan, sedangkan kesalahan dalam
arti sempit hanya berupa kesengajaan.62 Unsur keempat adalah adanya kerugian yang timbul
akibat perbuatan melawan hukum dapat berupa kerugian harta kekayaan (materiil) atau kerugian
yang bersifat idiil.63 Terakhir, adanya hubungan kausalitas antara perbuatan dan kerugian yang

60
​Agustina, ​Perbuatan Melawan Hukum, h​ lm. 117.
61
​Munir Fuady, ​Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer​,​ cet. 1​, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002)
hlm. 10-11.
62
Agustina, ​Perbuatan Melawan Hukum, h​ lm. 46.
63
​Ibid hlm. 55.
47
ditimbulkan. Salah satu bentuk tanggung jawab dalam perbuatan melawan hukum adalah secara
tanggung gugat. Teori tanggung gugat atau teori aanprakelijkheid adalah teori yang digunakan
untuk menentukan siapakah yang harus menerima gugatan (siapa yang harus digugat) karena
adanya suatu perbuatan melawan hukum.64
Pada umumnya, pihak yang menerima gugatan atas perbuatan melawan hukum adalah
pihak pelaku perbuatan melawan hukum itu sendiri. Namun, ada saatnya apabila orang lain yang
harus digugat dan mempertanggungjawabkan perbuatan itu. Terhadap tanggung gugat atas
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang lain dalam ilmu hukum dikenal dengan
teori tanggung jawab pengganti (Vicarious Liability).65

III. Analisis Kasus


A. Kasus Posisi

Dalil Penggugat Dalil Tergugat III

Januari 2011, Penggugat Bahwa terhadap dalil Penggugat


berkenalan dengan Tergugat I di angka 1 sampai dengan angka 7,
MOW-MOW PET SHOP Tergugat
III tidak mau menanggapi, karena
Selang beberapa hari, Tergugat I peristiwa yang diuraikan
mendatangi Penggugat di rumah Penggugat tersebut tidak ada
Penggugat dan menawarkan hubungan dan kaitan hukum
kerjasama bisnis perdagangan dengan Tergugat III, dan hal
makanan hewan dan klinik tersebut menurut Tergugat III
hewan. merupakan alasan yang
dibuat-buat untuk membenarkan
Penggugat sendiri, oleh karenanya
atas dalil Penggugat angka 1
sampai dengan angka 7 tersebut
Tergugat III menyatakan menolak
dengan tegas dan mohon kepada

64
​Munir Fuady, ​Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer ​ hlm. 16
65
​Ibid.,
48
Atas tawaran tersebut Penggugat Majelis Hakim Pemeriksa Perkara
menyatakan bahwa dia tidak untuk menolak dalil angka 1
memiliki dana untuk bisnis sampai dengan angka 7 tersebut
tersebut, namun Tergugat I dari Penggugat.
berusaha meyakinkan Penggugat
dan menanyakan kepada
Penggugat apakah Penggugat
memiliki sertifikat tanah.
Penggugat mengatakan bahwa ia
hanya memiliki satu sertifikat
tanah yakni rumah yang
ditempatinya saat ini. Tergugat I
kemudian meyakinkan
Penggugat untuk bekerjasama
dengan meminjamkan sertifikat
tanahnya serta menawarkan rasio
pembagian keuntungan sebesar
60% untuk Tergugat I dan 40%
untuk Penggugat. Penggugat
mempertimbangkannya.

Selang beberapa hari kemudian,


Penggugat mencari informasi
tentang bisnis yang ditawarkan
oleh Tergugat I dengan
mendatangi beberapa tempat
usaha Tergugat I

Beberapa hari kemudian


Tergugat I kembali mendatangi
Penggugat menanyakan jawaban
atas tawaran Tergugat I
sebelumnya

49
Penggugat akhirnya bersedia
dengan syarat yang mengajukan
pinjaman ke bank adalah
Penggugat dan Tergugat I
menyetujui syarat yang diajukan
Penggugat. Setelah itu Tergugat I
meminta sertifikat tanah milik
Penggugat untuk digunakan
dalam proses pengajuan
pinjaman bank

Awal bulan Mei 2011, Tergugat


I mendatangi rumah
Penggugat, dan meminta
Penggugat untuk datang ke
kantor PPAT
DR. Winahyu Erwiningsih, SH,
M.Hum (Tergugat II) pada
tanggal 23 Mei 2011 guna
menandatangani
dokumen-dokumen yang
diperlukan dalam proses
pengajuan pinjaman Bank dan
Penggugat pun
menyetujuinya.

Pada tanggal 23 Mei 2011, Terhadap dalil Penggugat angka 8


Penggugat bersama istrinya sampai dengan angka 11,
yakni Ny. Emi Murwati Tergugat III menyatakan menolak
mendatangi kantor PPAT yang dengan tegas dengan tanggapan
dimaksud oleh Penggugat dan sebagai berikut :
staf kantor yang bernama - Penggugat dan Istrinya datang
Ananingrum tanpa di hadiri oleh menghadap Tergugat II selaku
PPAT dan Tergugat III. Notaris / PPAT untuk
menandatangani Akta Jual-Beli
dimana Penggugat dan Istri sebagai
Penjual dan tergugat I sebagai
Pembeli.

50
Penggugat menanyakan - Tergugat I beserta Istrinya pada
ketidakhadiran tanggal 23 Mei 2011, hari itu juga,
Tergugat II dan Tergugat III menandatangani perjanjian kredit,
yang kemudian dijawab oleh staf dengan jenis fasilitas kredit adalah
Tergugat II bahwa Tergugat II Niaga Kredit Rumah X-Tra Dinamis,
sedang ada acara di oleh karenanya perjanjian kredit
Luar dan penandatangan dengan jaminan tersebut adalah sah
dokumen dan berkekuatan hukum
pengajuan pinjaman bank dapat - Untuk menjamin pelunasan
langsung di tanda tangani oleh Hutang Debitur /Tergugat I maka
Penggugat dan Tergugat I tanpa dibuatlah Akta Pemberian Hak
harus dihadiri Tergugat II karena Tanggungan (APHT) yang
sudah diwakilkan oleh stafnya. ditandatangani oleh Drh. Dedy
Rendrawan beserta istri selaku
Debitur / Pemberi Hak Tanggungan
dengan PT. Bank CIMB Niaga Tbk.
Tergugat I membenarkan (Tergugat III) selaku Penerima Hak
penjelasan staf tersebut.. Tanggungan.
- Berdasarkan APHT tersebut
Atas penjelasan tersebut, diterbitkan Sertifikat hak Tanggungan
akhirnya pada sore hari itu juga, oleh BPN D.I.Y.
Penggugat menandatangani - APHT dan Sertifikat Hak
dokumen-dokumen yang sudah Tanggungan adalah Sah menurut
disodorkan oleh staf Tergugat II hukum.

Semenjak itu, Tergugat I tidak Terhadap dalil Penggugat angka


dapat dihubungi maupun ditemui 12 sampai dengan angka 14,
lagi. Segala nomor kontak Tergugat III merasa itu hanyalah
Tergugat I yang diberikan alasan Penggugat saja untuk
kepada Penggugat semuanya merekayasa suatu perkara, karena
sudah tidak aktif. secara nyata Penggugat adalah
orang yang sudah dewasa dan
cakap secara hukum serta mampu
untuk melakukan perbuatan
hukum dan mengetahui akan
akibat hukumnya, sehingga sangat
naïf apabila Penggugat

51
Pada bulan Mei 2012, Penggugat menyatakan terkaget-kaget, oleh
dikagetkan dengan kedatangan karenanya maka Tergugat III
Bank CIMB Niaga (Tergugat III) memohon
dan menjelaskan bahwa Tergugat kepada Majelis Hakim pada
I pinjaman macet dan jaminan Pemeriksa Perkara ini menolak
berupa Sertifikat Hak Milik No: dengan tegas
5598 Desa Sardonoharjo telah dalil Penggugat angka 12, 13 dan
beralih nama menjadi nama 14 tersebut.
Tergugat I.

Penggugat meminta kepada


Tergugat II mengenai
dokumen-dokumen yang
ditandatangani di kantor PPAT
tersebut. Ternyata dokumen yang
ditandatangani oleh Penggugat
adalah Akta Jual Beli No.
503/2011 dan bukan berupa surat
persetujuan pemberian jaminan
untuk pinjam dana ke bank, surat
kuasa pengajuan dana ke bank
maupun formulir pengajuan dana
ke bank.

Penggugat sama sekali tidak Terhadap dalil Penggugat angka


menjual tanahnya dengan 15, 16, 17, dan 18, Tergugat III
Sertifikat Hak Milik No: 5598 menyatakan dengan tegas, bahwa
Desa Sardonoharjo, dan tidak :
pernah menerima uang transaksi - Penggugat dan Istrinya
jual beli, sedikitpun tidak adanya menandatangani AJB tersebut
penyerahan (levering) atas tanah - Pada halaman 4 AJB disebutkan :
dan rumah, dan sampai saat ini “Pihak Pertama mengaku telah
tanah dan menerima sepenuhnya uang tersebut
rumah juga masih ditempati di atas dari Pihak Kedua dan untuk
Penggugat beserta keluarga. penerimaan uang tersebut akta ini
berlaku pula sebagai Tanda
Penerimaan yang sah (KUITANSI)”
- Bahwa alangkah naifnya seorang
Penggugat yang pekerjaannya Guru

52
Tergugat I yang meminjam (Seorang yang berpendidikan)
Sertifikat Hak Milik No:5598 menyatakan terkejut tanahnya sudah
Desa Sardonoharjo untuk balik nama dan merasa tidak tahu apa
dijadikan jaminan hutang di bank yang telah ditandatanganinya, jelas
(Tergugat III) dan mengajak hal tersebut merupakan perbuatan
Penggugat ke kantor Tergugat II, Picik dan Pura-Pura.
sampai akhirnya Penggugat - Mengenai kehadiran Para Pihak
menyetujui dan melakukan dihadapan PPAT, hal tersebut telah
penandatanganan dokumen dapat dibuktikan dan telah
(yang baru diketahui belakangan ditandatangani Akta Jual dan
berupa : Akta Jual Beli No. mengenai tanda tangan tersebut tidak
503/2011) adalah pernah dibantah oleh Penggugat.
bentuk penipuan dan persetujuan - Para Pihak telah tanda tangan di
yang dibuat karena sesuatu sebab dalam Akta Jual Beli berarti PIHAK
yang tersebut hadir dan menyetujui.
palsu (tidak halal). - Akta Jual Beli tersebut adalah
tidak cacat, sah dan merupakan Akta
Penipuan yang dilakukan Otentik, maka Akta Jual Beli tersebut
Tergugat I dengan persetujuan sudah dapat diproses balik nama di
Penggugat yang dibuat karena Kantor Pertanahan kabupaten Sleman
sesuatu sebab yang palsu (tidak dari Penggugat menjadi atas nama
halal) adalah sebagai berikut : Tergugat I, dengan demikian tidak
a Tergugat I menjelaskan kepada ada Perbuatan Melawan Hukum
Penggugat untuk “pinjam
Sertifikat Hak Milik No: 5598
Desa Sardonoharjo
milik Penggugat untuk hutang di
bank
tetapi faktanya dibalik nama
dalam Akta Jual Beli Nomor
503/2011,
b Penggugat setuju
menandatangani dokumen di
kantor Tergugat II karena setahu
Penggugat untuk agunan
pinjaman di bank dan bukan akta
jual beli.

53
Penggugat mendalilkan bahwa
tindakan Tergugat I di atas
adalah merupakan perbuatan
melawan hukum
(​onrechmatigedaad)​ , sehingga
Akta Jual Beli No. 503/2011 atas
tanah
dan bangunan dengan Sertifikat
Hak Milik No: 5598 Desa
Sardonoharjo
adalah cacat hukum, tidak sah
dan selayaknya dapat dibatalkan
menurut
hukum atau batal demi hukum
atau tidak mempunyai kekuatan
hukum

Penggugat telah melakukan Terhadap dalil Penggugat angka


pengecekan di Kantor Badan 19, yang menyatakan Penggugat
Pertanahan Negara mengenai telah melakukan pengecekan di
status tanah dan rumah dengan Kantor Badan Pertanahan Negara,
Sertifikat Hak Milik No: 5598 memang benar terhadap Sertifikat
Desa Sardonoharjo, dan ternyata Hak Milik tersebut, telah beralih
sertifikat tanah telah beralih menjadi atas nama Tergugat I dan
menjadi atas nama Tergugat I benar telah dipasang Hak
dengan catatan dipasang hak Tanggungan tanggal 27 Juli 2011
tanggungan No. 4140/2011 dengan Pemegang Hak
tertanggal 27 Juli 2011 dengan Tanggungan adalah Tergugat III.
pemegang hak tanggungan
Tergugat I.

54
Penandatangan Akta Jual Beli Para pihak yang menandatangani
tersebut atas tanah dan bangunan Akta tersebut memang datang ke
dengan Sertifikat Hak Milik No: hadapan
5598, ditandatangani tidak Notaris/ PPAT dan dengan penuh
dihadapan Tergugat II dan kesadaran telah menadatangani
Penggugat tidak pernah bertemu Akta
dengan Tergugat II, sehingga hal tersebut, dan hal tersebut berarti
ini bertentangan dengan klausula pula bahwa para pihak telah
“hadir menyatakan
dihadapan saya Dr. WINAHYU keinginan/ kehendak kepada
ERWININGSIH, SH, M.Hum PPAT.
...............” sebagaimana tertulis
dalam note pembuka Akta Jual
Beli tersebut.

Akta Jual Beli tersebut adalah Terhadap dalil gugatan Penggugat


cacat hukum, tidak sah dan angka 21 dan 22, Tergugat III
selayaknya dapat dibatalkan menyatakan keberatan dan
menurut hukum atau batal demi menolak, karena:
hukum atau tidak mempunyai - Jual beli telah dilakukan dengan
kekuatan hukum, Tergugat I prosedur hukum yang benar oleh
melakukan perbuatan melawan Tergugat II, sehingga sah dan
hukum (​onrechmatigedaad​) dan mengikat bagi para pihak di
tindakan Tergugat II cacat dalamnya, dengan demikian jelas
hukum, maka penguasaan bahwa tidak ada Perbuatan Melawan
Sertifikat Hak Milik No: 5598 Hukum dalam Jual beli dan peralihan
Desa Sardonoharjo dan hak tersebut. Dan Tergugat III
pemegang hak tanggungan oleh (sebagai Pemegang Hak Tanggugan)
Tergugat III adalah tidak sah dan juga sah menurut hukum
menurut hukum menjadi - Tidak terbukti adanya
keharusan untuk menyerahkan persengkongkolan, kerjasama dan
kepada Penggugat penyalahgunaan keadaan terhadap
Penggugat oleh Tergugat I, Tergugat
II dan Tergugat III karena dilakukan
sesuai dengan prosedur dan ketentuan
hukum yang berlaku.

55
Penggugat mendalilkan bahwa Pembuatan Akta jual beli
perbuatan Tergugat I, Tergugat II No.503/2011,
dan Tergugat III Perjanjian Kredit dan APHT
terlihat jelas ada persekongkolan, dilakukan bersama – sama dalam
kerjasama dan penyalahgunaan waktu yang
keadaan sama (1 hari), yaitu 23 Mei 2011,
terhadap Penggugat, karena adalah merupakan suatu hal yang
berdasarkan Akta Jual Beli No. wajar
503/2011, Perjanjian Kredit No. dan diperbolehkan oleh Undang –
007-M/PK/020/2/05/11 dan Akta undang, jadi bukan bentuk
Pemberian Hak Tanggungan persengkongkolan dan lain – lain
(APHT) No. 504/2011, ketiganya sebagaimana didalilkan oleh
dilakukan dalam ketidakwajaran Penggugat.
yaitu satu hari yang sama Senin
sore hari di tanggal 23 Mei 2011.

Turut Tergugat ditarik dalam Proses balik nama yang dilakukan


gugatan ini, karena sebagai pihak oleh Turut Tergugat telah
yang telah menerbitkan Sertifikat dilakukan sesuai dengan aturan
Hak Milik No: 5598 Desa hukum yang berlaku tentang
Sardonoharjo menjadi atas nama Pendaftaran tanah, yang mana
Tergugat I, serta sebagai pihak dilengkapi dengan adanya asli
yang berwenang mengembalikan SHM dan Akta Jual Beli tanggal
Sertifikat Hak Milik No: 5598 23 Mei 2011 serta dokumen
Desa Sardonoharjo dalam pendukung lainnya, dengan
keadaan semula ke atas nama demikian
Penggugat. maka proses jual beli serta balik
nama dari Penggugat kepada
Tergugat
I adalah SAH MENURUT
HUKUM.

56
Penggugat meminta ganti rugi Tergugat III beranggapan bahwa
kepada T Tergugat I, Tergugat II justru ada rekayasa dari
dan Tergugat III secara materiil Penggugat, yang berupaya untuk
dan imateriil sebesar Rp. mendapatkan keuntungan kembali
1.515.000.000,- (satu milyar lima terhadap obyek yang telah
ratus lima belas juta rupiah), dijualnya dengan mengajukan
yang harus dibayar oleh gugatan ke PN Sleman, padahal
Tergugat I, Tergugat II, dan Penggugat mengetahui dan
Tergugat III secara tanggung mengakui bahwa obyek tersebut
renteng. sebagai jaminan pada Tergugat III

Bahwa untuk menjamin agar Tidak ada Perbuatan Melawan


Tergugat I, Tergugat II, dan Hukum yang dilakukan oleh
Tergugat III memenuhi isi Tergugat I, Tergugat II dan
putusan perkara ini, Penggugat Tergugat III, justru
memohon kepada Hakim sebaliknya Penggugat – lah yang
Pengadilan Negeri Sleman untuk telah menimbulkan kerugian bagi
mengenakan uang paksa Tergugat
(dwangsom) kepada Tergugat I, III
Tergugat II, dan Tergugat III.

B. Analisis Pertimbangan Hakim


1. PMH Jual Beli
a.

2. PMH Pembebanan Hak Tanggungan


Untuk mengetahui apakah pembebanan Hak Tanggungan sebagaimana yang
terjadi dalam kasus ini ialah suatu Perbuatan Melawan Hukum, maka perlu
diketahui bahwa prosedur pembebanan Hak Tanggungan terbagi menjadi dua
tahap, yaitu
a. Tahap Pemberian Hak Tanggungan

57
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa Pembebanan
Hak Tanggungan harus dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah
(“PPAT”), terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembebanan hak
tanggungan:
1) Kewenangan dari Pemberi Hak Tanggungan

Untuk melindungi kepentingan pihak Bank, aspek yuridis praktis lain yang harus
diperhatikan adalah kewenangan si pemberi Hak Tanggungan dalam melakukan
perbuatan hukum terhadap Objek Hak Tanggungan, berdasarkan Pasal 8
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (“UUHT”)
“Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum
yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum
terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan.”

Pasal tersebut menyebutkan bahwa yang dapat menjadi pemberi Hak Tanggungan
adalah perseorangan atau Badan Hukum yang mempunyai kewenangan untuk
melakukan Perbuatan Hukum terhadap Objek Hak Tanggungan. Berdasarkan
ketentuan tersebut, maka Bank harus memiliki keyakinan bahwa pada saat
pembuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (“APHT”) Bank berhadapan
dengan para pihak yang berwenang untuk melakukan hal tersebut. Dalam hal ini
pemilik hak atas tanah atau pihak yang dikuasakan dengan Suara Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan (“SKMHT”).
2) Ruang Lingkup Objek Pembebanan Hak Tanggungan

Undang-Undang Hak Tanggungan menganut Asas Pemisahan Horizontal


sebagaimana yang tersirat dalam Pasal 4 ayat (4)
“Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan,
tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas
tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian
Hak Tanggungan yang bersangkutan”.

58
Dalam hal ini objek hak tanggungan dipisahkan antara hak atas tanah dengan
benda yang berkaitan dengan hak atas tanah tersebut. Maka pada saat pembuatan
APHT harus disebutkan secara jelas dan rinci benda-benda apa saja yang
berkaitan dengan tanah yang ikut menjadi Objek Hak Tanggungan, misalnya di
atas tanah tersebut terdapat bangunan, tanaman, mesin-mesin, maka harus
disebutkan secara tegas bahwa Hak Tanggungan meliputi benda-benda tersebut.
Adapun tujuan dilakukannya pembebanan terhadap benda-benda yang berkaitan
dengan tanah tersebut ialah memudahkan Kreditur untuk melakukan eksekusi
terhadap Objek Hak Tanggungan jika debitur wanprestasi, apabila di atas tanah
tersebut terdapat benda-benda yang bukan milik debitur dan bukan merupakan
Objek Hak Tanggungan, hal ini akan menyulitkan Bank untuk melakukan
eksekusi terhadap tanah tersebut.

Selain dari hal-hal yang perlu diperhatikan tersebut, dalam pemberian hak
tanggungan sebagaimana yang sudah dijabarkan dalam bab sebelumnya,
berdasarkan Pasal 10 ayat (2) UUHT, Pemberian hak tanggungan wajib dilakukan
di hadapan PPAT, yang kemudian PPAT yang membuat Akta Pemberian Hak
Tanggungan tersebut mendaftarkan ke Kantor Pertanahan.

Berdasarkan dalil penggugat dalam putusan Pengadilan Negeri Sleman, ketika


dalam proses pembuatan APHT di hadapan PPAT, ia tidak bertemu secara
langsung dengan pihak bank maupun kuasanya, tetapi hanya ada Penggugat,
Tergugat I dan staff kantor PPAT. Bisa dikatakan bahwa bank atau Tergugat III
yang merupakan pemberi hak tanggungan tidak hadir secara langsung di
hadapan PPAT. Dalam prinsipnya si Penerima Hak Tanggungan dan si Pemberi
Hak Tanggungan harus berhadapan langsung di hadapan PPAT.

Dalam hal ini, majelis hakim berpendapat dengan tidak hadirnya Tergugat I dan
Tergugat II (PPAT) dalam persidangan, maka dianggap tidak memiliki itikad

59
baik, dan dianggap tidak menolak dalil-dalil yang diajukan oleh Penggugat,
sehingga majelis hakim memutus bahwa Jual Beli hak atas tanah merupakan suatu
Perbuatan Melawan Hukum yang mana hal ini berdampak pada kewenangan
Tergugat I untuk bertindak sebagai Pemberi Hak Tanggungan, karena
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 UUHT, pemberi hak tanggungan ialah
subjek yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum
terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan, dengan batalnya jual beli
tersebut maka dengan demikian Tergugat I menjadi tidak berwenang sehingga
pembebanan hak tanggungan yang dilakukannya merupakan suatu Perbuatan
Melawan Hukum karena melanggar ketentuan Undang-undang dan hak subjektif
orang lain (Penggugat sebagai pihak dinyatakan oleh Majelis Hakim PN sebagai
pihak yang berwenang atas tanah objek sengketa)
Menganalisis amar putusan hakim PN tersebut dikaitkan dengan
pertimbangan-pertimbangannya maka untuk menentukan apakah Pembebanan
Hak Tanggungan tersebut merupakan suatu Perbuatan Melawan Hukum maka
harus diketahui terlebih dahulu apakah Tergugat I sebagai debitur dari Tergugat
III memiliki wewenang untuk melakukan pembebanan tersebut. Dengan adanya
alat bukti berupa Akta Jual Beli No. 503/2011 Yang merupakan suatu Akta
Otentik walaupun dalam hal ini terdapat dalil penggugat yang menyatakan bahwa
penggugat tidak pernah berhadapan dengan PPAT yang namanya tercantum
dalam Akta Jual Beli tersebut, tetap dianggap sebagai alat bukti yang memiliki
kekuatan pembuktian sempurna selama tidak dapat dibuktikan lain dalam
pengadilan, maka apabila penggugat mendalilkan bahwa terdapat unsur penipuan
dalam pembuatan Akta tersebut maka penggugat yang memiliki kewajiban untuk
membuktikan dalilnya, menurut penulis bukti-bukti yang diajukan penggugat
tidak cukup untuk membuktikan dalilnya, ditambah ada beberapa keterangan
saksi yang seharusnya tidak dapat didengar kesaksiannya karena memiliki
hubungan keluarga dengan penggugat. Maka dengan demikian Akta Jual Beli No.
503/2011 tetap memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, dengan tetap

60
sahnya Akta Jual Beli tersebut, maka hak atas tanah sudah beralih kepada
Tergugat I, karena memenuhi syarat terang dan tunai dengan adanya AJB
tersebut. Sehingga Tergugat I berwenang atas tanah tersebut walaupun tanah
tersebut belum atas namanya, AJB tersebut cukup dijadikan sebagai alas hak bagi
Tergugat I untuk melakukan pembebanan Hak Tanggungan. Tergugat I dapat
membebankan tanah tersebut dengan Hak Tanggungan yang mana dalam hal
pembebanan ini proses pendaftaran APHT biasanya dibarengi dengan proses balik
nama sertifikat hak atas tanah tersebut.

b. Tahap Pendaftaran Oleh Kantor Pertanahan


Berangkat dari penjelasan terkait syarat sah jual beli tanah dan pembebanan Hak
Tanggungan, apabila segala sesuatu yang didalilkan Penggugat dapat dibuktikan
berkaitan dengan sah atau tidaknya suatu pembebanan Hak Tanggungan
tergantung dari sah atau tidaknya jual beli hak atas tanah sebagaimana ternyata
dalam Akta Jual Beli No. 503/2011 tanggal 23 Mei 2011, apabila dapat
dibuktikan dalil-dalil penggugat yang menyatakan :
o ​Penggugat tidak pernah menjual tanahnya dan merasa tidak pernah
menandatangani Akta Jual Beli No. 503/2011,
o ​Pembuatan dan penandatanganan Akta Jual Beli No. 503/2011 tidak
dilakukan di hadapan Tergugat II (PPAT), melainkan hanya di hadapan
staff-nya
Dari dalil penggugat yang menyatakan kekagetannya terkait dokumen yang
ditandatanganinya bersama Tergugat I bukan merupakan Surat Persetujuan
Jaminan untuk pinjam dana ke bank, Surat Kuasa Pengajuan Dana ke bank dan
formulir pengajuan dana ke bank, melainkan Akta Jual Beli No. 503/2011 yang
diasumsikan bahwa penggugat sama sekali tidak membaca dan memperhatikan isi
dari akta tersebut secara saksama dan tidak dibacakannya

61
IV. Kesimpulan

62

Anda mungkin juga menyukai