Anda di halaman 1dari 15

BAB II

PELAKSANAAN INFORMED CONSENT

A. Pengertian Informed Consent


Informed Consent terdiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti telah
mendapat penjelasan atau keterangan (informasi), dan “consent” yang berarti
persetujuan atau memberi izin. Jadi “informed consent” mengandung pengertian suatu
persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi. Dengan demikian “informed
consent” dapat didefinisikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau
keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan
terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya.
Menurut D. Veronika Komalawati, SH , “informed consent” dirumuskan
sebagai suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan
dokter terhadap dirinya setelah memperoleh informasi dari dokter mengenai upaya
medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai
segala resiko yang mungkin terjadi.

B. Komponen-komponen Informed Consent


1. Threshold elements
Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena
sifatnya lebih ke arah syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang
kompeten (cakap). Kompeten disini diartikan sebagai kapasitas untuk membuat
keputusan medis. Kompetensi manusia untuk membuat keputusan sebenarnya
merupakan suaut kontinuum, dari sama sekali tidak memiliki kompetensi hingga
memiliki kompetensi yang penuh diantaranya terdapat berbagai tingkat kompetensi
membuat keputusan tertentu.
Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) apabila telah dewasa,
sadar dan berada dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa
diartikan sebagai usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah.
Sedangkan keadaan mental yang dianggap tidak kompeten adalah apabila
mempunyai penyakit mental sedemikian rupa sehingga kemampuan membuat
keputusan menjadi terganggu.
2. Information elements
Terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure (pengungkapan) dan understanding
(pemahaman). Elemen ini berdasarkan pemahaman yang adekuat membawa
konsekuensi kepada tenaga medis untuk memberikan informasi (disclosure)
sedemikian rupa sehingga pasien dapat mencapai pemahaman yang adekuat.
Dalam hal ini, seberapa ”baik” informasi harus diberikan kepada pasien, dapat
dilihat dari 3 standar, yaitu :
a. Standar Praktik Profesi
Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria keadekuatan informasi
ditentukan bagaimana biasanya dilakukan dalam komunitas tenaga medis.
Dalam standar ini ada kemungkinan bakebiasaan tersebut di atas tidak sesuai
dengan nilai-nilai sosial setempat, misalnya resiko yang ”tidak bermakna”
(menurut medis) tidak diinformasikan, padahal mungkin bermakna dari sisi
sosial pasien.
b. Standar Subyektif
Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien
secara pribadi, sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien
tersebut dalam membuat keputusan. Kesulitannya adalah mustahil (dalam hal
waktu/kesempatan) bagi profesional medis memahami nilai-nilai yang secara
individual dianut oleh pasien.
c. Standar pada reasonable person
Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu
dianggap cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan
umumnya orang awam.
3. Consent elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, voluntariness (kesukarelaan,
kebebasan) dan authorization (persetujuan). Kesukarelaan mengharuskan tidak ada
tipuan, misrepresentasi ataupun paksaan. Pasien juga harus bebas dari ”tekanan”
yang dilakukan tenaga medis yang bersikap seolah-olah akan ”dibiarkan” apabila
tidak menyetujui tawarannya
C. Tujuan Pelaksanaan Informed Consent
Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan
medis (pasien), maka pelaksanaan informed consent, bertujuan untuk:
1. Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala
tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan
pelaksana jasa tindakan medis yang sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang
bertentangan dengan hak asasi pasien dan standar profesi medis, serta
penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya tinggi atau “over utilization”
yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan medisnya
2. Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari
tuntutan-tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang
tak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap “risk of treatment” yang tak
mungkin dihindarkan walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan teliti serta
sesuai dengan standar profesi medik. Sepanjang hal itu terjadi dalam batas-batas
tertentu, maka tidak dapat dipersalahkan, kecuali jika melakukan kesalahan besar
karena kelalaian (negligence) atau karena ketidaktahuan (ignorancy) yang
sebenarnya tidak akan dilakukan demikian oleh teman sejawat lainnya.

D. Syarat-syarat Informed Consent


Hakim Cardozo (King, 1977) menyatakan bahwa setiap manusia dewasa dan
berpikiran sehat mempunyai hak untuk menetukan hal yang dapat dilakukan terhadap
tubuhnya. Menurut Beauchamp bahwa informed consent dilandasi oleh prinsip etik
dan moral serta otonomi pasien. Suatu informed consent baru sah diberikan oleh
pasien jika memenuhi minimal 3 (tiga) unsur sebagai berikut :
1. Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokter
2. Kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan
3. Kesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan persetujuan.

E. Fungsi Pemberian Informed Consent


1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia
2. Penghormatan terhadap hak otonomi perorangan yaitu hak untuk menentukan
nasibnya sendiri
3. Proteksi terhadap pasien sebagai subjek penerima pelayanan kesehatan (health care
receiver = HCR)
4. Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien
5. Menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
6. Mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
7. Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan
8. Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan
9. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk melakukan introspeksi
terhadap diri sendiri.

F. Bentuk Persetujuan Informed Consent


Ada 2 bentuk Persetujuan Tindakan Medis, yaitu :
1. Implied Consent (dianggap diberikan)
Umumnya implied consent diberikan dalam keadaan normal, artinya dokter
dapat menangkap persetujuan tindakan medis tersebut dari isyarat yang
diberikan/dilakukan pasien. Demikian pula pada kasus emergency sedangkan
dokter memerlukan tindakan segera sementara pasien dalam keadaan tidak bisa
memberikan persetujuan dan keluarganya tidak ada ditempat, maka dokter dapat
melakukan tindakan medik terbaik menurut dokter.
2. Expressed Consent (dinyatakan)
Dapat dinyatakan secara lisan maupun tertulis. Dalam tindakan medis yang
bersifat invasive dan mengandung resiko, dokter sebaiknya mendapatkan
persetujuan secara tertulis, atau yang secara umum dikenal di rumah sakit sebagai
surat izin operasi.
Persetujuan tertulis dalam suatu tindakan medis dibutuhkan saat :
a. Bila tindakan terapeutik bersifat kompleks atau menyangkut resiko atau efek
samping yang bermakna.
b. Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka terapi.
c. Bila tindakan kedokteran tersebut memiliki dampak yang bermakna bagi
kedudukan kepegawaian atau kehidupan pribadi dan sosial pasien.
d. Bila tindakan yang dilakukan adalah bagian dari suatu penelitian.

G. Ruang Lingkup Informed Consent


Ruang lingkup dan materi informasi yang diberikan tergantung pada
pengetahuan medis pasien saat itu. Jika memungkinkan, pasien juga diberitahu
mengenai tanggung jawab orang lain yang berperan serta dalam pengobatan pasien.
Di Florida dinyatakan bahwa setiap orang dewasa yang kompeten memiliki
hak dasar menentukan tindakan medis atas dirinya termasuk pelaksanaan dan
penghentian pengobatan yang bersifat memperpanjang nyawa. Beberapa pengadilan
membolehkan dokter untuk tidak memberitahukan diagnosis pada beberapa keadaan.
Dalam mempertimbangkan perlu tidaknya mengungkapkan diagnosis penyakit yang
berat, faktor emosional pasien harus dipertimbangkan terutama kemungkinan bahwa
pengungkapan tersebut dapat mengancam kemungkinan pulihnya pasien.
Pasien memiliki hak atas informasi tentang kecurigaan dokter akan adanya
penyakit tertentu walaupun hasil pemeriksaan yang telah dilakukan inkonklusif. Hak-
hak pasien dalam pemberian inform consent adalah:
1. Hak atas informasi
Informasi yang diberikan meliputi diagnosis penyakit yang diderita, tindakan
medik apa yang hendak dilakukan, kemungkinan penyulit sebagai akibat tindakan
tersebut dan tindakan untuk mengatasinya, alternatif terapi lainnya, prognosanya,
perkiraan biaya pengobatan.
2. Hak atas persetujuan (Consent)
Consent merupakan suatu tindakan atau aksi beralasan yg diberikan tanpa
paksaan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan cukup tentang keputusan yang
ia berikan ,dimana orang tersebut secara hukum mampu memberikan consent.
Kriteria consent yang syah yaitu tertulis, ditandatangani oleh klien atau orang yang
betanggung jawab, hanya ada salah satu prosedur yang tepat dilakukan, memenuhi
beberapa elemen penting, penjelasan tentang kondisi, prosedur dan
konsekuensinya. Hak persetujuan atas dasar informasi (Informed Consent).
3. Hak atas rahasia medis
4. Hak atas pendapat kedua (Second opinion)
5. Hak untuk melihat rekam medik
6. Hak perlindungan bagi orang yg tidak berdaya (lansia, gangguann mental, anak dan
remaja di bawah umur)
7. Hak pasien dalam penelitian
Hak pasien membuat keputusan sendiri untuk berpartisipasi, mendapatkan
informasi yang lengkap, menghentikan partisipasi dalam penelitian tanpa sangsi,
bebas bahaya, percakapan tentang sumber pribadi dan hak terhindar dari pelayanan
orang yang tidak kompeten.
8. Hak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di
rumah sakit
9. Hak memperoleh pelayanan yg adil dan manusiawi
10. Hak memperoleh pelayanan keperawatan dan asuhan yang bermutu sesuai dengan
standar profesi keperawatan tanpa diskriminasi
11. Hak memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan sesuai
dengan peraturan yg berlaku di rumah sakit
12. Hak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri
pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh
informasi yg jelas tentang penyakitnya
13. Hak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis
14. Hak menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama
hal itu tidak mengganggu pasien lainnya
15. Hak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah
sakit
16. Hak mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan rumah sakit terhadap
dirinya
17. Hak menerima atau menolak bimbingan moral maupun spiritual
18. Hak didampingi perawat atau keluarga pada saat diperiksa dokter

H. Peran Perawat dalam Pemberian Informed Consent


Peran merupakan sekumpulan harapan yang dikaitkan dengan suatu posisi
dalam masyarakat. Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang
lain terhadap seseorang, sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Berhubungan
dengan profesi keperawatan, orang lain dalam definisi ini adalah orang-orang yang
berinteraksi dengan perawat baik interaksi langsung maupun tidak langsung terutama
pasien sebagai konsumen pengguna jasa pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Peran perawat professional dalam pemberian informed consent adalah dapat
sebagai client advocate dan educator. Client advocate yaitu perawat bertanggung
jawab untuk membantu klien dan keluarga dalam menginterpretasikan informasi dari
berbagai pemberi pelayanan dan dalam memberikan informasi lain yang diperlukan
untuk mengambil persetujuan (informed consent) atas tindakan keperawatan yang
diberikan kepadanya. A client advocate is an advocate of client’s rights. Sedangkan
educator yaitu sebagai pemberi pendidikan kesehatan bagi klien dan keluarga.
I. Hal – hal yang dapat di informasikan
1. Hasil Pemeriksaan
Pasien memiliki hak untuk mengetahui hasil pemeriksaan yang telah
dilakukan. Misalnya perubahan keganasan pada hasil Pap smear. Apabila infomasi
sudah diberikan, maka keputusan selanjutnya berada di tangan pasien.
2. Risiko
Risiko yang mungkin terjadi dalam terapi harus diungkapkan disertai upaya
antisipasi yang dilakukan dokter untuk terjadinya hal tersebut. Reaksi alergi
idiosinkratik dan kematian yang tak terduga akibat pengobatan selama ini jarang
diungkapkan dokter. Sebagian kalangan berpendapat bahwa kemungkinan tersebut
juga harus diberitahu pada pasien.
Jika seorang dokter mengetahui bahwa tindakan pengobatannya berisiko dan
terdapat alternatif pengobatan lain yang lebih aman, ia harus memberitahukannya
pada pasien. Jika seorang dokter tidak yakin pada kemampuannya untuk
melakukan suatu prosedur terapi dan terdapat dokter lain yang dapat
melakukannya, ia wajib memberitahukan pada pasien.
3. Alternatif
Dokter harus mengungkapkan beberapa alternatif dalam proses diagnosis dan
terapi. Ia harus dapat menjelaskan prosedur, manfaat, kerugian dan bahaya yang
ditimbulkan dari beberapa pilihan tersebut. Sebagai contoh adalah terapi
hipertiroidisme. Terdapat tiga pilihan terapi yaitu obat, iodium radioaktif, dan
subtotal tiroidektomi. Dokter harus menjelaskan prosedur, keberhasilan dan
kerugian serta komplikasi yang mungkin timbul.
4. Rujukan atau konsultasi
Dokter berkewajiban melakukan rujukan apabila ia menyadari bahwa
kemampuan dan pengetahuan yang ia miliki kurang untuk melaksanakan terapi
pada pasien-pasien tertentu. Pengadilan menyatakan bahwa dokter harus merujuk
saat ia merasa tidak mampu melaksanakan terapi karena keterbatasan
kemampuannya dan ia mengetahui adanya dokter lain yang dapat menangani
pasien tersebut lebih baik darinya.
5. Prognosis
Pasien berhak mengetahui semua prognosis, komplikasi, sekuele,
ketidaknyamanan, biaya, kesulitan dan risiko dari setiap pilihan termasuk tidak
mendapat pengobatan atau tidak mendapat tindakan apapun. Pasien juga berhak
mengetahui apa yang diharapkan dari dan apa yang terjadi dengan mereka. Semua
ini berdasarkan atas kejadian-kejadian beralasan yang dapat diduga oleh dokter.
Kejadian yang jarang atau tidak biasa bukan merupakan bagian dari informed
consent.

J. Hal-hal yang Mempengaruhi Proses Informed Consent


1. Bagi pasien
a. Bahasa yang digunakan untuk menjelaskan terlalu teknis
b. Perilaku dokter yang terlihat terburu-buru atau tidak perhatian, atau tidak ada
waktu untuk tanya jawab
c. Pasien sedang dalam keadaan stress emosional sehingga tidak mampu mencerna
informasi
d. Pasien dalam keadaan tidak sadar atau mengantuk.
2. Bagi petugas kesehatan
a. Pasien tidak mau diberitahu.
b. Pasien tak mampu memahami.
c. Resiko terlalu umum atau terlalu jarang terjadi.
d. Situasi gawat darurat atau waktu yang sempit.

K. Pemberi Informasi dan Penerima Persetujuan


Pemberi informasi dan penerima persetujuan merupakan tanggung jawab
dokter pemberi perawatan atau pelaku pemeriksaan/ tindakan untuk memastikan
bahwa persetujuan tersebut diperoleh secara benar dan layak. Dokter memang dapat
mendelegasikan proses pemberian informasi dan penerimaan persetujuan, namun
tanggung jawab tetap berada pada dokter pemberi delegasi untuk memastikan bahwa
persetujuan diperoleh secara benar dan layak.
Seseorang dokter apabila akan memberikan informasi dan menerima
persetujuan pasien atas nama dokter lain, maka dokter tersebut harus yakin bahwa
dirinya mampu menjawab secara penuh pertanyaan apapun yang diajukan pasien
berkenaan dengan tindakan yang akan dilakukan terhadapnya untuk memastikan
bahwa persetujuan tersebut dibuat secara benar dan layak.
L. Pemberi Persetujuan
Persetujuan diberikan oleh individu yang kompeten. Ditinjau dari segi usia,
maka seseorang dianggap kompeten apabila telah berusia 18 tahun atau lebih atau
telah pernah menikah. Sedangkan anak-anak yang berusia 16 tahun atau lebih tetapi
belum berusia 18 tahun dapat membuat persetujuan tindakan kedokteran tertentu yang
tidak berrisiko tinggi apabila mereka dapat menunjukkan kompetensinya dalam
membuat keputusan. Alasan hukum yang mendasarinya adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maka seseorang yang berumur
21 tahun atau lebih atau telah menikah dianggap sebagai orang dewasa dan oleh
karenanya dapat memberikan persetujuan.
2. Berdasarkan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maka setiap orang
yang berusia 18 tahun atau lebih dianggap sebagai orang yang sudah bukan anak-
anak. Dengan demikian mereka dapat diperlakukan sebagaimana orang dewasa
yang kompeten, dan oleh karenanya dapat memberikan persetujuan.
3. Mereka yang telah berusia 16 tahun tetapi belum 18 tahun memang masih
tergolong anak menurut hukum, namun dengan menghargai hak individu untuk
berpendapat sebagaimana juga diatur dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, maka mereka dapat diperlakukan seperti orang dewasa dan
dapat memberikan persetujuan tindakan kedokteran tertentu, khususnya yang tidak
berrisiko tinggi. Untuk itu mereka harus dapat menunjukkan kompetensinya dalam
menerima informasi dan membuat keputusan dengan bebas. Selain itu, persetujuan
atau penolakan mereka dapat dibatalkan oleh orang tua atau wali atau penetapan
pengadilan.
Sebagaimana uraian di atas, setiap orang yang berusia 18 tahun atau lebih
dianggap kompeten. Seseorang pasien dengan gangguan jiwa yang berusia 18
tahun atau lebih tidak boleh dianggap tidak kompeten sampai nanti terbukti tidak
kompeten dengan pemeriksaan. Sebaliknya, seseorang yang normalnya kompeten,
dapat menjadi tidak kompeten sementara sebagai akibat dari nyeri hebat, syok,
pengaruh obat tertentu atau keadaan kesehatan fisiknya. Anak-anak berusia 16
tahun atau lebih tetapi di bawah 18 tahun harus menunjukkan kompetensinya
dalam memahami sifat dan tujuan suatu tindakan kedokteran yang diajukan. Jadi,
kompetensi anak bervariasi bergantung kepada usia dan kompleksitas tindakan.
M. Penolakan Pemeriksaan/ Tindakan
Pasien yang kompeten (dia memahami informasi, menahannya dan
mempercayainya dan mampu membuat keputusan) berhak untuk menolak suatu
pemeriksaan atau tindakan kedokteran, meskipun keputusan pasien tersebut terkesan
tidak logis. Kalau hal seperti ini terjadi dan bila konsekuensi penolakan tersebut
berakibat serius maka keputusan tersebut harus didiskusikan dengan pasien, tidak
dengan maksud untuk mengubah pendapatnya tetapi untuk mengklarifikasi situasinya.
Untuk itu perlu dicek kembali apakah pasien telah mengerti informasi tentang
keadaan pasien, tindakan atau pengobatan, serta semua kemungkinan efek
sampingnya. Kenyataan adanya penolakan pasien terhadap rencana pengobatan yang
terkesan tidak rasional bukan merupakan alasan untuk mempertanyakan kompetensi
pasien. Meskipun demikian, suatu penolakan dapat mengakibatkan dokter meneliti
kembali kapasitasnya, apabila terdapat keganjilan keputusan tersebut dibandingkan
dengan keputusan-keputusan sebelumnya. Dalam setiap masalah seperti ini rincian
setiap diskusi harus secara jelas didokumentasikan dengan baik.

N. Penundaan Persetujuan
Persetujuan suatu tindakan kedokteran dapat saja ditunda pelaksanaannya oleh
pasien atau yang memberikan persetujuan dengan berbagai alasan, misalnya terdapat
anggota keluarga yang masih belum setuju, masalah keuangan, atau masalah waktu
pelaksanaan. Dalam hal penundaan tersebut cukup lama, maka perlu di cek kembali
apakah persetujuan tersebut masih berlaku atau tidak.

O. Pembatalan Persetujuan Yang Telah Diberikan


Prinsipnya, setiap saat pasien dapat membatalkan persetujuan mereka dengan
membuat surat atau pernyataan tertulis pembatalan persetujuan tindakan kedokteran.
Pembatalan tersebut sebaiknya dilakukan sebelum tindakan dimulai. Selain itu, pasien
harus diberitahu bahwa pasien bertanggungjawab atas akibat dari pembatalan
persetujuan tindakan. Oleh karena itu, pasien harus kompeten untuk dapat
membatalkan persetujuan.
Kompetensi pasien pada situasi seperti ini seringkali sulit. Nyeri, syok atau
pengaruh obat-obatan dapat mempengaruhi kompetensi pasien dan kemampuan
dokter dalam menilai kompetensi pasien. Bila pasien dipastikan kompeten dan
memutuskan untuk membatalkan persetujuannya, maka dokter harus menghormatinya
dan membatalkan tindakan atau pengobatannya. Kadang-kadang keadaan tersebut
terjadi pada saat tindakan sedang berlangsung. Bila suatu tindakan menimbulkan
teriakan atau tangis karena nyeri, tidak perlu diartikan bahwa persetujuannya
dibatalkan. Rekonfirmasi persetujuan secara lisan yang didokumentasikan di rekam
medis sudah cukup untuk melanjutkan tindakan. Tetapi apabila pasien menolak
dilanjutkannya tindakan, apabila memungkinkan, dokter harus menghentikan
tindakannya, mencari tahu masalah yang dihadapi pasien dan menjelaskan akibatnya
apabila tindakan tidak dilanjutkan. Dalam hal tindakan sudah berlangsung
sebagaimana di atas, maka penghentian tindakan hanya bisa dilakukan apabila tidak
akan mengakibatkan hal yang membahayakan pasien.

P. Lama Persetujuan Berlaku


Teori menyatakan bahwa suatu persetujuan akan tetap sah sampai dicabut
kembali oleh pemberi persetujuan atau pasien. Namun demikian, bila informasi baru
muncul, misalnya tentang adanya efek samping atau alternatif tindakan yang baru,
maka pasien harus diberitahu dan persetujuannya dikonfirmasikan lagi. Apabila
terdapat jedah waktu antara saat pemberian persetujuan hingga dilakukannya
tindakan, maka alangkah lebih baik apabila ditanyakan kembali apakah persetujuan
tersebut masih berlaku. Hal-hal tersebut pasti juga akan membantu pasien, terutama
bagi mereka yang sejak awal memang masih ragu-ragu atau masih memiliki
pertanyaan.
Bukti Pelaksanaan Inform Consent Rujukan

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama :

Umur :

Alamat :

Dengan ini menyatakan bahwa kami menyetujui untuk dilakukan rujukan terhadap diri saya
sendiri/orang tua/ anak/…………. Kami.

Nama :

Umur :

Alamat :

Kami telah mendapatkan penjelasan dan telah mengerti mengenai alasan melakukan rujukan,
kemungkinan yang terjadi selama rujukan dan risiko jika tidak dilakukan. Demikianlah
pernyataan ini dibuat sebenar-benarnya tanpa paksaan dari siapapun.

Cirebon,………………..2018

Petugas Yang Membuat Pernyataan

...................................... ........................................

Saksi/Keluarga

........................................
BAB III

PENDIDIKAN KESEHATAN PREOPERATIF

A. Pengertian
Membantu pasien untuk memahami dan meyiapkan mental untuk pembedahan
dan penyembuhan post operasi.

B. Tujuan
1. Mengurangi kecemasan preoperasi
2. Memberikan pemahaman tentang perawatan post operasi

C. Kebijakan
Dilakukan pada semua pasien yang akan dioperasi

D. Prosedur
1. Berikan informasi kepada pasien dan keluarga tanggal, waktu dan lokasi
pembedahan.
2. Berikan informasi kepada pasien dan orang terdekat berapa lama operasi akan
dijalani
3. Kaji pengalaman pembedahan terdahulu dan tingkat pengetahuan pasien terkait
dengan pembedahan.
4. Kaji kecemasan pasien atau keluarga terkait dengan pembedahan.
5. Berikan waktu kepada pasien untuk mengajukan pertanyaan dan mendiskusikan
hal-hal yang menjadi perhatian
6. Gambarkan rutinitas yang dilakukan sebelum operasi (anastesi, diet, dll)
7. Jelaskan medikasi pra operatif, efek yang akan terjadi dan rasionalisasi penggunaan
8. Berikan informasi kepada orang terdekat tentang tempat menunggu hasil
pembedahan dengan tepat
9. Berikan informasi yang akan didengar, dirasa, dicium dan dilihat selama kejadian
10. Diskusikan manajemen nyeri yang mungkin dilakukan
11. Jelaskan tujuan pengkajian post operatif
12. Berikan penjelasan tentang rutinitas post operatif atau peralatan yang mungkin
digunakan (penggantian balutan, pengobatan dll) dan berikan penjelasan tentang
tujuan masing-masing
13. Berikan penjelasan kepada pasien teknik mengubah posisi ditempat tidur yang tepat
14. Evaluasi kemampuan pasien untuk mendemonstrasikan cara mengubah posisi
dengan tepat
15. Berikan penjelasan pada pasien cara menggunakan insentif spirometri
16. Evaluasi kemampuan pasien dalam mendemonstrasikan kemampuan menggunakan
insentif spirometri
17. Berikan penjelasan kepada pasien cara menekan daerah pembedahan, batuk efektif
dan napas dalam
18. Evaluasi kemampuan pasien dalam mendemonstrasikan kemampuan menekan
daerah pembedahan, batuk efektif dan napas dalam
19. Berikan penjelasan kepada pasien tentang teknnik melatih kaki
20. Evaluasi kemampuan pasien untuk mengulangi latihan kaki
21. Tekankan pentingnya ambulasi dini dan perawatan pulmoner
22. Berikan informasi tentang bagaimana mereka dapat membantu dalam masa
penyembuhan
23. Dukung pemberian informasi oleh tanaga kesehatan lain dengan tepat
24. Identifikasi harapan pasien setelah pembedahan
25. Perbaiki harapan pasien yang ridak realistik
26. Berikan waktu kepada pasien untuk menjelaskan kembali peristiwa yang akan
terjadi
27. Libatkan keluarga dan orang terdekat.
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

Anda mungkin juga menyukai