Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
DM merupakan penyakit gangguan metabolik kronis yang ditandai dengan
adanya peningkatan glukosa darah atau hiperglikemia. Salah satu penyebab terjadinya
hiperglikemia adalah ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan insulin. Untuk
memfasilitasi glukosa dalam sel dibutuhkan insulin dari dalam tubuh digunakan
sebagai metabolisme dalam pertumbuhan sel. Berkurangnya atau tidak adanya insulin
menyebabkan glukosa di dalam darah bertambah yang kemudian menyebabkan
terjadinya gula darah meningkat. Sementara di dalam sel terjadi kekurangan glukosa
yang dibutuhkan dalam kelangsungan dan fungsi sel (Tarwoto dkk., 2012 dalam
Juniarti dkk., 2014).

International Diabetes Foundation (IDF) dalam Saputra, dkk., (2015)


menyatakan bahwa pada tahun 2012, terdapat 371 juta jiwa yang menjadi prevalensi
DM di dunia. Sebanyak 95% populasi dunia yang menderita DM adalah DM tipe 2
(CDC, 2012). Negara-negara yang memiliki penyandang DM tertinggi yaitu India
dCina, AS, Indonesia, dan Jepang (Gandy, Madden, & Holdsworth, 2011 dalam
Saputra, dkk., 2015). Pada tahun 2006 , di Asia Tenggara terdapat lebih dari 50 juta
orang menderita DM dengan rentan usia 40-59 tahun (IDF, 2011 dalam Saputra, dkk.,
2015).

Indonesia merupakan negara urutan ke 4 dengan penderita DM terbanyak di


dunia setelah Cina, India dan Amerika Serikat.pada tahun 2007, sekitar 6,3 juta jiwa
penduduk Indonesia menderita DM. Kemudian pada tahun 2009jumlah penderita DM
meningkat sekitar 15,7 juta jiwa. Namun pada tahun 2010 jumlah penderita DM di
Indonesia mengalami peningkatan tajam menjadi 20,7 juta orang (Aris, 2010 dalam
Saputra 2015). Berbagai penelitian epidemiologis di Indonesia yang dilakukan oleh
pusat-pusat Diabetes, prevalensi diabetes Mellitus pada penduduk usia 15 tahun ke
atas sebesar 1,5%-2,3%, bahkan di daerah urban prevalensi DM sebesar 1,47% dan
daerah rural 7,2%. Prevalensi tersebut terus meningkat 2-3 kali dibandingkan dengan
negara maju, sehingga DM merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius
(Perkeni, 2010 dalam Ragil, 2012).
Prevalensi yang didapatkan di Bali terhadap penderita DM adalah sebesar 3%.
Pada tahun 2011, penderita DM di Bali tercatat sekitar 4023 orang dengan rincian DM
tergantung insulin 804 orang, DM tidak trgantung insulin 795 orang, DM yang
diakibatkan malnutrisi 103 orang, DM yang tidak diketahui lainnya 153 orang, dan
DM yang tidak terdeteksi 2163 orang (Bali Post, 2012 dalam Gusti & Sukmayanti,
2014). Berdasarkan hasil Riset Dasar Provinsi Bali tahun 2007, prevalensi
penyandang DM tertinggi ditemukan di Kota Denpasar (2,0%), diikuti dengan
kabupaten Bangli (1,3%), kabupaten Buleleng ( 1,0%), kabupaten Gianyar (0,9%),
kabupaten Tabanan (0,8%), kabupaten Jembrana (0,8%), kabupaten Badung (0,6%),
kabupaten Karangasem (0,4%) (Riskesdas, 2007 dalam Saputra, dkk., 2015).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada Dinas Kesehatan


Kota Denpasar tahun 2017, Puskesmas Denpasar Utara II memiliki jumlah kunjungan
Penderita DM tertinggi yaitu sebanyak 447 orang. Jmlah penderita DM di Puskesmas
Denpasar Utara II berdasarkan rentang umur yaitu 20-44 tahun sebanyak 18 orang,
45-54 tahun sebanyak 108 orang, 55-59 tahun sebanyak 85 orang, 60-69 sebanyak 176
orang dan yang berusia lebih dari 70 tahun sebanyak 60 orang. Jumlah penderita DM
tertinggi terjadi pada perempuan sebanyak 248 orang dan pada laki-laki sebanyak 199
orang.

Komplikasi pada penyakit DM dapat terjadi jika DM tidak ditangani. Salah satu
komplikasi yang sering terjadi adalah komplikasi kronik yang biasanya sulit ditangani.
Oleh sebab itu, biaya yang tinggi akan diperlukan untuk pengobatan. Seperti yang
disebabkan oleh makroangiopati yang berhubungan dengan aterosklerosis atau PJK
(penyakit jantung koroner). Untuk menghindari terjadinya komplikasi maka harus
dilakukan penatalaksanaan DM untuk menormalkan aktifitas insulin (Hoesada, 2013).

Penatalaksanaan DM dikenal 4 pilar utama pengelolaan yaitu : penyuluhan, diet,


latihan jasmani dan intervensi farmakologis. Penatalaksanaan penyuluhan di wilayah
kerja Puskesmas Kokap I tahun 2007, terbukti efektif dengan penyuluhan atau
konseling terhadap keluarga dalam 4 pilar penatalaksanaan DM. Pertama, peran
keluarga dalam perencanaan makanan pada anggota keluarga dengan DM setelah
dilakukan konseling menjadi baik yaitu 80,78%. Kedua, peran keluarga dalam latihan
jasmani pada anggota keluarga dengan DM setelah dilakukan konseling menjadi baik
yaitu 57,69%, serta peran keluarga dalam pengelolaan obat hipoglikemi pada anggota
keluarga dengan DM sudah cukup baik yaitu 100% (Muwarni & Sholehah, 2007).

Menurut Dirjen P2PL Kemenkes RI Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, Sp. P (K),
MARS, DTM&H, DTCE (2013) berbagai upaya promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif telah dilakukan untuk mengendalikan masalah DM salah satunya adalah
monitoring dan deteksi dini faktor risiko DM di Posbindu. Namun sebagian besar
penderita DM tipe 2 masih bekerja yang menyebabkan waktu yang dimilikinya lebih
banyak terfokus untuk pekerjaan sehingga penatalaksanaan DM menjadi kurang
maksimal. Setelah di bentuknya program Keselamatan & Kesehatan Kerja (K3) oleh
pemerintah seharusnya seluruh pekerja dapat merasaka suasana bekerja yang aman
dan nyaman untuk mencapai tujuan produktivitas setinggi-tinginya dengan tetap
memperhatikan 3 komponen kerja berupa kapasitas tenaga kerja, beban kerja dan
lingkungan kerja (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2013; Purwanto, 2011,
Sakinah, dkk., 2012).

Beban kerja merupakan sejumlah kegiatan yang harus diselesaikan oleh suatu
unit organisasi atau pemegang jabatan pada suatu pekerjaannya dalam jangka waktu
tertentu (Menpan, 1977:46 dalam Artadi, 2015). Sedangkan menurut Pemendagri No.
12/2008 dalam Artadi, 2015, beban kerja adalah suatu besaran pekerjaan yang harus
dilaksanakan oleh organisasi atau unit jabatan yang merupakan hasil kali volume kerja
dan norma waktu.

Menurut Sakinah, dkk (2012) beban kerja pada tenaga kerja batu bata dikenali
yaitu dari sepuluh pekerja, enam orang memiliki beban kerja berat, tiga orang
memiliki beban kerja sangat berat dan satu orang memiliki beban kerja sedang. Waktu
kerja melebihi 8 jam perhari dan ada juga yang kurang. Waktu masuk kerja rata-rata
mulai pukul delapan pagi sampai dengan pukul empat sore atau enam sore, tergantung
pada pemilik industri batu bata tersebut. Sedangkan untuk waktu istirahat bervariasi
antara 30 menit sampai dengan satu setengah jam.

Menurut Riza Triana, dkk (2016) menyatakan bahwa ada hubungan signifikan
antara beban kerja dengan penyakit DM. Orang dengan beban kerja berat memiliki
kecenderungan 1,39 kali untuk mengalami kejadian DM dibandingkan dengan orang
yang memiliki beban kerja ringan dan sedang. Penelitian ini berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Gustiana, Suratu, Heryati (2015). Menurut penelitian
yang mereka lakukan mayoritas responden masih bekerja dan patuh terhadap diet DM
, dengan demikian variabel pekerjaan terhadap beban kerja tidak ada hubungannya
dengan kepatuhan diet DM.

Menurut ahli penyakit dalam Dr. dr. Roy Panusunan Sibarani Sp. PD-KEMD
mengatak bahwa lingkungan dan pekerjaan kini menjadi pendukung terjadinya DM
pada orang muda. Para pekerja kantoran yang jarang bergerak dan lebih banyak duduk
misalnya, memiliki resiko lebih tinggi mengidap DM dari pada yang bekerja di
lapangan (Liputan 6, 2017).

Menurut ‘Arofah (2015) berdasarkan hasil pengumpulan data di dapatkan


sebagian besar responden kurang berolahraga yakni 27 orang (67,5%) pada kelompok
kasus dan 1 orang (35%) pada kelompok kontrol dengan alasan terbanyak adalah
sibuk terhadap beban kerja (51,9%), malas (11,15 %), dan lain-lain(37%). Hal ini
sesuai dengan teori Gibney (2009), bahwa kesibukan yang tinggi berakibat pada pola
hidup yang tidak teratur sehingga menyebabkan gangguan kesehatan. Penelitian ini
tidak sejalan dengan peneliatian yang dilakukan oleh Restada (2015). Menurut
Restada (2015) tidak ada hubungan signifikan antara beban pekerjaan dengan
penatalaksanaan DM. Begitu juga menurut Wen et al (2004) dalam Restada (2015)
tidak ada hubungan yang signifikan antara kualitas hidup dengan beban kerja pada
penderita DM yang masih produktif.

Menurut Ainni & Mutmainah (2017) ada hubungan signifikan antara kepatuhan
meminum obat terhadap pekerjan. Hasil penelitian ini sama dengan Adisa et al.
(2009), bahwa beban kerja dalam suatu pekerjaan mempunyai pengaruh signifikan
dengan nilai p=0,005 terhadap tingkat kepatuhan minum obat pada pasien DM tipe 2.
Hal ini dikarenakan dengan adanya jadwal kerja yang terlalu padat terutama pada
pasien yang bekerja, membuat pengambilan obat atau kontrol terapi pengobatan
terlupakan sehingga menyebabkan jadwal minum obat tidak sesuai dengan aturan
dokter. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Waluyo & Satus
(2016), menurutnya tidak ada perbedaan kepatuhan pengobatan antara pasien yang
bekerja dan tidak bekerja dikarenakan pekerjaan bukanlah halangan mengingat jadwal
melakukan pengobatan hanya 2 kali seminggu, sehingga tidak mengganggu rutinitas
pekerjan.
Berdasarkan masalah tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
tentang, Hubungan beban kerja terhadap perilaku penatalaksanaan DM Tipe 2 di
Wilayah kerja Puskesmas Denpasar Utara II.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka yang menjadi rumusan masalah


dalam penelitian ini adalah ”Apakah ada hubungan beban kerja terhadap perilaku
penatalaksanaan DM Tipe 2 di Wilayah kerja Puskesmas Denpasar Utara II ?”.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Mengetahui hubungan beban kerja dengan prilaku penatalaksanaan DM di Wilayah
kerja Puskesmas Denpasar Utara II.
2. Tujuan khusus
a) Mengidentifikasi beban kerja penderita DM tipe 2 di Wilayah Puskesmas
Denpasar Utara II.
b) Mengidentifikasi perilaku diet, olahraga, pengobatan dan edukasi DM tipe 2
di wilayah Puskesmas Denpasar Utara II.
c) Menganalisa hubungan beban kerja terhadap perilaku penatalaksanaan DM di
Puskesmas Denpasar Utara II.
D. Manfaat penelitian
1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan keperawatan medikal bedah dan mendukung teori yang sudah ada.
2. Manfaat praktis
a. Bagi pasien
Meningkatkan pengetahuan terhadap beban kerja sehingga dapat melakukan
penatalaksanaan DM dengan baik.
b. Bagi perawat
Sebagai bahan informasi dengan masukan bagi perawat untuk meningkatkan
kemampuan dan pengetahuan terhadap beban kerja pada penderita DM.
c. Bagi peneliti lain
Sebagai acuan dalam penelitian berikutnya yang berkaitan dengan beban kerja
terhadap penatalaksanaan DM.
d. Bagi instansi STIKES Bali
Menambah kepustakaan dan sebagai bahan pembelajaran mata kuliah
keperawatan medikal bedah tentang beban kerja terhadap penatalaksanaan
DM.

Anda mungkin juga menyukai