Anda di halaman 1dari 14

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian HIV/AIDS

AIDS atau Sindrom Kehilangan Kekebalan tubuh adalah sekumpulan gejala penyakit yang
menyerang tubuh manusia seesudah system kekebalannya dirusak oleh virus HIV. Akibat
kehilangan kekebalan tubuh, penderita AIDS mudah terkena bebrbagai jenis infeksi bakteri,
jamur, parasit, dan virus tertentu yang bersifat oportunistik. Selain itu penderita AIDS sering
kali menderita keganasan,khususnya sarcoma Kaposi dan imfoma yang hanya menyerang
otak. Virus HIV adalah retrovirus yang termasuk dalam family lentivirus. Retrovirus
mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA pejamu untuk membentuk virus
DNA dan dikenali selam periode inkubasi yang panjang. Seperti retrovirus yang lain, HIV
menginfeksi tubuh dengan periode imkubasi yang panjang (klinik-laten), dan utamanya
menyebabkan munculnya tanda dan gejala AIDS. HIV menyebabkan beberapa kerusakan
system imun dan menghancurkannya. Hal tersebut terjadi dengan menggunakan DNA dari
CD4+ dan limfosit untuk mereplikasi diri. Dalam prose itu, virus tersebut menghancurkan
CD4+ dan limfosit.

Secara structural morfologinya, bentuk HIV terdiri atas sebuah silinder yang dikelilingi
pembungkus lemak yang melingkar-melebar. Pada pusat lingkaran terdapat untaian RNA.
HIV mempunyai 3 gen yang merupakan komponen funsional dan structural. Tiga gen
tersebut yaitu gag, pol, dan env. Gag berarti group antigen, pol mewakili polymerase,
dan env adalah kepanjangan dari envelope (Hoffmann, Rockhstroh, Kamps,2006).
Gen gag mengode protein inti. Gen pol mengode enzim reverse transcriptase, protease,
integrase. Gen env mengode komponen structural HIV yang dikenal dengan glikoprotein.
Gen lain yang ada dan juga penting dalam replikasi virus, yaitu : rev, nef, vif, vpu, dan vpr.

B. Jenis-jenis HIV

1. TIPE
HIV dapat dibagi menjadi dua tipe, yakni tipe 1 dan tipe 2. HIV-1 dapat ditemukan di
seluruh dunia, sementara HIV-2 jarang ditemukan di tempat lain selain di Afrika Barat.
Kedua tipe virus ini ditularkan dengan cara yang sama dan sama-sama dapat menyebabkan
AIDS. Akan tetapi, tampaknya HIV-2 lebih sulit menular dan infeksi HIV-2 jauh lebih
lambat berubah menjadi AIDS dibandingkan HIV-1.Virulensi dan viral load yang rendah dari
HIV-2 menjadi penyebab keadaan tersebut. HIV-2 memiliki setidaknya delapan subtipe,
dimana subtipe A dan B adalah yang tersering ditemukan.
Diduga HIV-1 berkembang dari Simian Immunodeficiency Virus (SIV) yang menginfeksi
simpanse (SIVcpz) sementara HIV-2 berkembang dari SIV yang menginfeksi monyet sooty
mangabey (SIVsmm).

Untuk selanjutnya, akan lebih banyak dibahas mengenai HIV-1.

2. GRUP
HIV-1 dapat dibagi lagi menjadi empat grup, yakni M (main atau major), N (new), O
(outlier), dan P. Grup M adalah yang paling sering ditemukan di antara semua grup yang
tergabung dalam HIV-1. Grup O tampaknya hanya ditemukan di Afrika Tengah-Barat. Grup
N ditemukan pada tahun 1998 di Kamerun, sementara grup P baru ditemukan pada tahun
2009 pada seorang wanita Kamerun.

3. SUBTIPE (“clades”)
Hingga saat ini dalam grup M telah ditemukan beberapa subtipe, yakni subtipe A, B, C, D, F,
G, H, J, dan K. Berikut adalah persebaran utama berbagai subtipe tersebut:

o Subtipe A: Afrika Tengah dan Timur serta negara-negara Eropa Timur


yang dulunya bagian dari Uni Soviet.
o Subtipe B: Eropa Tengah dan Barat, Amerika Utara, Australia, Amerika Selatan,
Karibia, dan beberapa negara Asia tenggara (Thailand dan Jepang), serta Afrika Utara dan
Timur Tengah.
o Subtipe C: merupakan subtipe yang paling banyak menyebabkan infeksi di seluruh dunia.
Subtipe ini adalah yang paling dominan di negara-negara Afrika Sub–Sahara, India,
Nepal, dan Brazil.
o Subtipe D: Afrika Utara dan Timur Tengah.
o Subtipe E*: Thailand dan Afrika Tengah.
o Subtipe F: Asia Tenggara dan Selatan, Brazil, dan Romania.
o Subtipe G: Afrika Tengah dan Barat, Rusia, dan Gabon.
o Subtipe H: Afrika Tengah.
o Subtipe J: Amerika Tengah.
o Subtipe K: Kongo dan Kamerun.
Setiap subtipe memiliki kecenderungan metode penularan masing-masing. Sebagai contoh,
subtipe B lebih mudah menular melalui hubungan homoseksual dan darah,
sedangkan penularan HIV-1 subtipe C dan E* lebih cenderung melalui
hubungan heteroseksual. Penularan virus dari ibu ke anak tampaknya lebih efektif terjadi
pada subtipe D dan C dibandingkan subtipe A.
Dua virus dari subtipe yang berbeda dapat bertemu dalam satu sel dan mengadakan
rekombinasi, suatu proses yang menyebabkan terjadinya percampuran materi genetik kedua
virus untuk menghasilkan suatu virus hybrid. Biasanya virus hybrid ini tidak bertahan lama,
tetapi virus yang berhasil bertahan dan menginfeksi lebih dari satu orang digolongkan sebagai
CRF (Circulating Recombinant Forms). Setidaknya ada dua puluh CRF berhasil
teridentifikasi.
*Satu CRF diberi nama CRF A/E karena dikatakan CRF tersebut berasal dari rekombinan
virus subtipe A dan E. Meski begitu, virus subtipe E sesungguhnya belum pernah ditemukan
dalam bentuk murni. Sekarang, orang-orang lebih senang menyatakan CRF A/E sebagai
“subtipe E” meskipun penggunaan istilah ini juga kurang tepat.

Mengapa tidak ada subtipe I? Awalnya peneliti mengisolasi virus subtipe I di daerah Cyprus,
akan tetapi kemudian diketahui bahwa subtipe I sesungguhnya adalah CRF yang terbentuk
dari subtipe A, G, H, K, dan region tak terklasifikasi. Sekarang istilah subtipe I tidak lagi
digunakan.

C. EPIDEMIOLOGI HIV/AIDS

Triad Epidemiologi meliputi

Agent ,Host dan environment :

I.1 AGENT

Virus HIV termasuk Netrovirus yang sangat mudah mengalami mutasi sehingga sulit untuk
menemukan obat yang dapat membunuh, virus tersebut. Daya penularan pengidap HIV tergantung
pada sejumlah virus yang ada didalam darahnya, semakin tinggi/semakin banyak virus dalam
darahnya semakin tinggi daya penularannya sehingga penyakitnya juga semakin parah. Virus HIV
atau virus AIDS, sebagaimana Virus lainnya sebenarnya sangat lemah dan mudah mati di luar tubuh.
Virus akan mati bila dipanaskan sampai temperatur 60° selama 30 menit, dan lebih cepat dengan
mendidihkan air. Seperti kebanyakan virus lain, virus AIDS ini dapat dihancurkan dengan detergen
yang dikonsentrasikan dan dapat dinonaktifkan dengan radiasi yang digunakan untuk mensterilkan
peralatan medis atau peralatan lain.

I.2. HOST
Distribusi penderita AIDS di Amerika Serikat Eropa dan Afrika tidak jauh berbeda kelompok terbesar
berada pada umur 30 -39 tahun. Hal ini membuktikan bahwa transmisi seksual baik homoseksual
mapupun heteroseksual merupakan pola transmisi utama. Mengingat masa inkubasi AIDS yang
berkisar dari 5 tahun ke atas maka infeksi terbesar terjadi pada kelompok umur muda/seksual paling
aktif yaitu 20-30 tahun. Pada tahun 2000 diperkirakan Virus AIDS menular pada 110 juta orang
dewasa dan 110 juta anak-anak. Hampir 50% dari 110 juta orang itu adalah remaja dan dewasa
muda usia 13 -25 tahun. Informasi yang diperoleh dari Pusat AIDS International fakultas Kesehatan
Masyarakatat Universitas Harvard, Amerika Serikat sejumlah orang yang terinfeksi virus AIDS yang
telah berkembang secara penuh akan meningkat 10 kali lipat.

I.3 ENVIRONMENT

Lingkungan biologis sosial, ekonomi, budaya dan agama sangat menentukan penyebaran
AIDS. Lingkungan biologis adanya riwata ulkus genitalis, Herpes Simpleks dan STS (Serum
Test for Sypphilis) yang positip akan meningkatkan prevalensi HIV karena luka-luka ini
menjadi tempat masuknya HIV. Faktor biologis lainnya adalah penggunaan obat KB. Pada
para WTS di Nairobi terbukti bahwa kelompok yang menggunakan obat KB mempunyai
prevalensi HIV lebih tinggi. Faktor sosial, ekonomi, budaya dan agama secara bersama-sama
atau sendiri-sendiri sangat berpengaruh terhadap perilaku seksual masyarakat. Bila semua
faktor ini menimbulkan permissiveness di kalangan kelompok seksual aktif, maka mereka
sudah ke dalam keadaan promiskuitas.

D. FAKTOR RESIKO PENULARAN

Cara penularan HIV/AIDS

Virus HIV menular melalui enam cara penularan, yaitu :

1. Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS

Hubungan seksual secara vaginal, anal, dan oral dengan penderita HIV tanpa perlindungan
bisa menularkan HIV. Selama hubungan seksual berlangsung, air mani, cairan vagina, dan
darah dapat mengenai selaput lender vagina, penis, dubur, atau mulut sehingga HIV yang
terdapat dalam cairan tersebut masuk ke aliran darah (PELKESI, 1995). Selama berhubungan
juga bisa terjadi lesi mikro pada dinding vagina, dubur, dan mulut yang bisa menjadi jalan
HIV untuk masuk ke aliran darah pasangan seksual (Syaiful, 2000).

2. Ibu pada bayinya

Penularan HIV dari ibu pada saat kehamilan (in utero). Berdasarkan laporan CDC Amerika,
prevalensi HIV dari ibu ke bayi adalah 0,01% sampai 0,7%. Bila ibu baru terinfeksi HIV dan
belum ada gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20% sampai 35%, sedangkan
kalau gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinannya mencapai 50% (PELKESI, 1995).
Penularan juga terjadi selama proses persalinan melalui transfuse fetomaternal atau kontak
antara kulit atau membrane mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat melahirkan
(Lily V, 2004).

3. Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS

Sangat cepat menularkan HIV karena virus langsung masuk ke pembuluh darah dan
menyebar ke seluruh tubuh.

4. Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril

Alat pemeriksaan kandungan seperti speculum,tenakulum, dan alat-alat lain yang


darah,cairan vagina atau air mani yang terinfeksi HIV,dan langsung di gunakan untuk orang
lain yang tidak terinfeksi bisa menularkan HIV.(PELKESI,1995).

5. Alat-alat untuk menoleh kulit

Alat tajam dan runcing seperti jarum,pisau,silet,menyunat seseorang, membuat


tato,memotong rambut,dan sebagainya bisa menularkan HIV sebab alat tersebut mungkin di
pakai tampa disterilkan terlebih dahulu.

6. Menggunakan jarum suntik secara bergantian

Jarum suntik yang di gunakan di fasilitas kesehatan,maupun yang di gunakan oleh parah
pengguna narkoba (injecting drug user-IDU) sangat berpotensi menularkan HIV. Selain
jarum suntik, pada para pemakai IDU secara bersama-sama juga mengguna tempat
penyampur, pengaduk,dan gelas pengoplos obat,sehingga berpotensi tinggi untuk menularkan

HIV tidak menular melalui peralatan makan,pakaian,handuk,sapu tangan,toilet yang di pakai


secara bersama-sama,berpelukan di pipi,berjabat tangan,hidup serumah dengan penderita
HIV/AIDS, gigitan nyamuk,dan hubungan social yang lain.

Faktor risiko terinfeksi AIDS antara lain:

 Tidak memakai pelindung ketika melakukan hubungan seksual dengan lebih dari satu
pasangan
 Tidak memakai pelindung ketika melakukan hubungan seksual dengan orang dengan
HIV positif
 Memiliki penyakit menular seksual lain seperti syphilis, herpes, chlamydia, gonorrhea
atau bacterial vaginosis.
 Bergantian dalam memakai jarum suntik
 Mendapatkan transfusi darah yang terinfeksi virus HIV
 Memiliki sedikit salinan gen CCL3L1 yang membantu melawan infeksi HIV
 Ibu yang memiliki HIV
Ada empat cara penularan HIV. Pertama, melalui hubungan seksual dengan seorang
pengidap HIV tanpa perlindungan atau menggunakan kontrasepsi (kondom). Cara kedua,
HIV dapat menular melalui transfusi dengan darah yang sudah tercemar HIV. Cara ketiga,
seorang ibu yang mengidap HIV bisa pula menularkannya kepada bayi yang dikandung, itu
tidak berarti HIV /AIDS merupakan penyakit turunan, karena penyakit turunan berada di gen-
gen manusia sedangkan HIV menular saat darah atau cairan vagina ibu membuat kontak
dengan cairan atau darah anaknya. Dan cara keempat adalah melalui pemakaian jarum suntik
akufuntur, jarum tindik dan peralatan lainnya yang sudah dipakai oleh pengidap HIV.

Kemungkinan penularan HIV melalui empat tidak sama, hal tersebut dapat dilihat pada tabel
dibawah ini

Kemungkinan
Penularan melalui terinfeksi per
kontak (%)

Tranfusi darah yang terinfeksi HIV

12 Dari ibu yang HIV + ke anak yang


89,5
3 dikandungnya
15 – 30
3.1 Jarum
0,67
3.2 Jarum suntik
0,29
3.3 Jarum tusuk
0,5 – 10
4 Jarum suntik pada pecandu narkotika
0,06 – 5,10
4.1 Hubungan seksual
0,05 – 0,23
4.2 Laki-laki ke laki-laki
0,03 – 5,60
4.3 Laki-laki ke perempuan
Belum dapat
4.4 Perempuan ke laki-laki dipastikan

4.5 Anal seks* Idem

4.5.1 Oral seks* Idem

4.5.2 Penis ke mulut* Idem


Mulut ke Vagina*

Sumber : TIME (23/6-1997) dan AIDS and Men : Taking Risk of Taking
Responsibility (Panos, London, 1999) serta sumber-sumber lain. Pengolahan data oleh
penulis.

E. LANGKAH-LANGKAH PENCEGAHAN

Ada 3 pola penyebaran virus HIV :

1. Melalui hubungan seksual

2. Melaui darah

3. Melaui ibu yang terinfeksi HIV kepada bayinya

Ad.1. Pencegahan Infeksi HIV Melalui Hubungan Seksual

HIV terdapat pada semua cairan tubuh penderita tetapi yang terbukti berperan dalam
penularan AIDS adalah mani, cairan vagina dan darah. HIV dapat menyebar melalui
hubungan seksual pria ke wanita, dari wanita ke pria dan dari pria ke pria. Setelah
mengetahui cara penyebaran HIV melaui hubungan seksual maka upaya pencegahan adalah
dengan cara :

• Tidak melakukan hubungan seksual. Walaupun cara ini sangat efektif, namun tidak
mungkin dilaksanakan sebab seks merupakan kebutuhan biologis.

• Melakukan hubungan seksual hanya dengan seorang mitra seksual yang setia dan tidak
terinfeksi HIV (homogami)

• Mengurangi jumlah mitra seksual sesedikit mungkin

• Hindari hubungan seksual dengan kelompok rediko tinggi tertular AIDS.

• Tidak melakukan hubungan anogenital.

• Gunakan kondom mulai dari awal sampai akhir hubungan seksual dengan kelompok resiko
tinggi tertular AIDS dan pengidap HIV.

Ad.2. Pencegahan Infeksi HIV Melalui Darah Darah

merupakan media yang cocok untuk hidup virus AIDS. Penularan AIDS melalui darah
terjadi dengan :

− Transfusi darah yang mengandung HIV.


− Jarum suntik atau alat tusuk lainnya (akupuntur, tato, tindik) bekas pakai orang yang
mengidap HIV tanpa disterilkan dengan baik.

− Pisau cukur, gunting kuku atau sikat gigi bekas pakai orang yang mengidap virus HIV.
Langkah-langkah untuk mencegah terjadinya penularan melalui darah adalah:

− Darah yang digunakan untuk transfusi diusahakan bebas HIV dengan jalan memeriksa
darah donor. Hal ini masih belum dapat dilaksanakan sebab memerlukan biaya yang tingi
serta peralatan canggih karena prevalensi HIV di Indonesia masih rendah, maka pemeriksaan
donor darah hanya dengan uji petik.

− Menghimbau kelompok resiko tinggi tertular AIDS untuk tidak menjadi donor darah.
Apabila terpaksa karena menolak, menjadi donor menyalahi kode etik, maka darah yang
dicurigai harus di buang.

− Jarum suntik dan alat tusuk yang lain harus disterilisasikan secara baku setiap kali habis
dipakai.

− Semua alat yang tercemar dengan cairan tubuh penderita AIDS harus disterillisasikan
secara baku.

− Kelompok penyalahgunaan narkotik harus menghentikan kebiasaan penyuntikan obat ke


dalam badannya serta menghentikan kebiasaan mengunakan jarum suntik bersama.

− Gunakan jarum suntik sekali pakai (disposable)

− Membakar semua alat bekas pakai pengidap HIV.

Ad.3. Pencegahan Infeksi HIV Melalui Ibu Ibu hamil yang mengidap HIV

dapat memindahkan virus tersebut kepada janinnya. Penularan dapat terjadi pada waktu bayi
di dalam kandungan, pada waktu persalinan dan sesudah bayi di lahirkan. Upaya untuk
mencegah agar tidak terjadi penularan hanya dengan himbauan agar ibu yang terinfeksi HIV
tidak hamil.

4. Efek dari virus HIV terhadap system imun

· Infeksi Primer atau Sindrom Retroviral Akut (Kategori Klinis A)

Infeksi primer berkaitan dengan periode waktu di mana HIV pertama kali masuk ke dalam
tubuh. Pada waktu terjadi infeksi primer, darah pasien menunjukkan jumlah virus yang sangat
tinggi, ini berarti banyak virus lain di dalam darah.

Sejumlah virus dalam darah atau plasma per millimeter mencapai 1 juta. Orang dewasa yang
baru terinfeksi sering menunjukkan sindrom retroviral akut. Tanda dan gejala dari sindrom
retrovirol akut ini meliputi : panas, nyeri otot, sakit kepala, mual, muntah, diare, berkeringat
di malam hari, kehilangan berat badan, dan timbul ruam. Tanda dan gejala tersebut biasanya
muncul dan terjadi 2-4 minggu setelah infeksi, kemudian hilang atau menurun setelah
beberapa hari dan sering salah terdeteksi sebagai influenza atau infeksi mononucleosis.

Selama imfeksi primer jumlah limfosit CD4+ dalam darah menurun dengan cepat. Target
virus ini adalah limfosit CD4+ yang ada di nodus limfa dan thymus. Keadaan tersebut
membuat individu yang terinfeksi HIV rentan terkena infeksi oportunistik dan membatasi
kemampuan thymus untuk memproduksi limfosit T. Tes antibody HIV dengan
menggunakan enzyme linked imunoabsorbent assay (EIA) akan menunjukkan hasil positif.

D. Manifestasi Klinis

Gejala dini yang sering dijumpai berupa eksantem, malaise, demam yang menyerupai flu
biasa sebelum tes serologi positif. Gejala dini lainnya berupa penurunan berat badan lebih
dari 10% dari berat badan semula, berkeringat malam, diare kronik, kelelahan, limfadenopati.
Beberapa ahli klinik telah membagi beberapa fase infeksi HIV yaitu :

1.Infeksi HIV Stadium Pertama

Pada fase pertama terjadi pembentukan antibodi dan memungkinkan juga terjadi gejala-gejala
yang mirip influenza atau terjadi pembengkakan kelenjar getah bening.

2.Persisten Generalized Limfadenopati

Terjadi pembengkakan kelenjar limfe di leher, ketiak, inguinal, keringat pada waktu malam
atau kehilangan berat badan tanpa penyebab yang jelas dan sariawan oleh jamur kandida di
mulut.

3.AIDS Relative Complex (ARC)

Virus sudah menimbulkan kemunduran pada sistem kekebalan sehingga mulai terjadi
berbagai jenis infeksi yang seharusnya dapat dicegah oleh kekebalan tubuh. Disini penderita
menunjukkan gejala lemah, lesu, demam, diare, yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya dan
berlangsung lama, kadang-kadang lebih dari satu tahun, ditambah dengan gejala yang sudah
timbul pada fase kedua.

4.Full Blown AIDS.

Pada fase ini sistem kekebalan tubuh sudah rusak, penderita sangat rentan terhadap infeksi
sehingga dapat meninggal sewaktu-waktu. Sering terjadi radang paru pneumocytik, sarcoma
kaposi, herpes yang meluas, tuberculosis oleh kuman opportunistik, gangguan pada sistem
saraf pusat, sehingga penderita pikun sebelum saatnya. Jarang penderita bertahan lebih dari 3-
4 tahun, biasanya meninggal sebelum waktunya.
E. Komplikasi

a. Oral Lesi

Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis Human
Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi,dehidrasi, penurunan berat badan,
keletihan dan cacat.

b. Neurologik

1. kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human Immunodeficiency Virus


(HIV) pada sel saraf, berefek perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan motorik,
kelemahan, disfasia, dan isolasi social.

2. Enselophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia, ketidakseimbangan


elektrolit, meningitis / ensefalitis. Dengan efek : sakit kepala, malaise, demam, paralise, total
/ parsial.

3. Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler,hipotensi sistemik, dan maranik


endokarditis.

4. Neuropati karena imflamasi demielinasi oleh serangan Human Immunodeficienci Virus


(HIV)

c. Gastrointestinal

1. Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan
sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan,anoreksia,demam,malabsorbsi, dan
dehidrasi.

2. Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal, alkoholik.
Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam atritis.

3. Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang sebagai
akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan siare.

d. Respirasi

Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus, dan


strongyloides dengan efek nafas pendek ,batuk, nyeri,hipoksia, keletihan, dan gagal nafas.

e. Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena xerosis, reaksi
otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri,gatal,rasa terbakar,infeksi skunder
dan sepsis.

f. Sensorik

· Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan

· Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan
efek nyeri.

F. Pemeriksaan Penunjang

1. Konfirmasi diagnosis dilakukan dengan uji antibody terhadap antigen virus structural.
Hasil positif palsu dan negative palsu jarang terjadi.

2. Untuk transmisi vertical (antibody HIV positif) dan serokonversi (antibody HIV
negative), serologi tidak berguna dan RNA HIV harus diperiksa. Diagnosis berdasarkan pada
amflikasi asam nukleat.

3. Untuk memantau progresi penyakit, viral load (VL) dan hitung DC4 diperiksa secara
teratur (setiap8=12 minggu). Pemeriksaan VL sebelum pengobatan menentukan kecepatan
penurunan CD4, dan pemeriksaan pascapengobatan (didefinisikan sebagai VL <50 kopi/mL).
menghitung CD4 menetukan kemungkinan komplikasi, dan menghitung CD4 >200
sel/mm3menggambarkan resiko yang terbatas. Adapun pemeriksaan penunjang dasar yang
diindikasikan adalah sebagai berikut :

Semua pasien CD4 <200 sel/mm3

Antigen permukaan HBV* Rontgen toraks

Antibody inti HBV+ RNA HCV

Antibody HCV Antigen kriptokukus

Antibody IgG HAV OCP tinja

Antibody Toxoplasma

Antibody IgG sitomegalovirus CD4 <100 sel/mm3

Serologi Treponema PCR sitomegalovirus

Rontgen toraks Funduskopi dilatasi

Skrining GUM EKG

Sitologi serviks (wanita) Kultur darah mikrobakterium

· HAV, hepatitis A, HBV, hepatitis B, HCV, hepatitis C


· *Antigen/antibody e HBV dan DNA HBV bila positif.

· + Antibodi permukaan HBV bila negative dan riwayat imunisasi

· Bila terdapat kontak/riwayat tuberculosis sebelumnya, pengguna obat suntik dan


pasien dari daerah endemic tuberculosis.

4. ELISA (Enzyme-Linked ImmunoSorbent Assay) adalah metode yang digunakan


menegakkan diagnosis HIV dengan sensitivitasnya yang tinggi yaitu sebesar 98,1-100%.
Biasanya tes ini memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi.

5. WESTERN blot adalah metode yang digunakan menegakkan diagnosis HIV dengan
sensitivitasnya yang tinggi yaitu sebesar 99,6-100%. Pemeriksaanya cukup sulit, mahal, dan
membutuhkan waktu sekitar 24 jam.

6. PCR (polymerase Chain Reaction), digunakan untuk :

a. Tes HIV pada bayi, karena zat antimaternal masih ada pada bayi yang dapat
menghambat pemeriksaan secara serologis. Seorang ibu yan menderita HIV akan membentuk
zat kekebalan untuk melawan penyakit tersebut. Zat kekbalan itulah yang diturunkan pada
bayi melalui plasenta yang akan mengaburkan hasil pemeriksaan, seolah-olah sudah ada
infeksi pada bayi tersebut. (catatan : HIV sering merupakan deteksi dari zat anti-HIV bukan
HIV-nya sendiri).

b. Menetapakan status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok berisiko tinggi.

c. Tes pada kelompok berisiko tinggi sebelum terjadi serokonversi.

d. Tes konfirmasi untuk HIV-2, sebab ELISA mempunyai sensitivitas rendah untuk HIV-
2.

7. Serosurvei, untuk mengetahui prevalensi pada kelompok berisiko, dilaksanakan 2 kali


pengujian dengan reagen yang berbeda.

8. Pemeriksaan dengan rapid test (dipstick).

G. Tata Laksana HIV

Belum ada penyembuhan untuk AIDS, jadi perlu dilakukan pencegahan Human
Immunodeficiency Virus (HIV) untuk mencegah terpajannya Human Immunodeficiency
Virus (HIV), bisa dilakukan dengan :

1. Melakukan abstinensi seks / melakukan hubungan kelamin dengan pasangan yang tidak
terinfeksi.
2. Memeriksa adanya virus paling lambat 6 bulan setelah hubungan seks terakhir yang
tidak terlindungi.

3. Menggunakan pelindung jika berhubungan dengan orang yang tidak jelas status Human
Immunodeficiency Virus (HIV) nya.

4. Tidak bertukar jarum suntik,jarum tato, dan sebagainya.

5. Mencegah infeksi kejanin / bayi baru lahir.

Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka pengendaliannya yaitu :

1. Pengendalian Infeksi Opurtunistik

Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik,nasokomial,


atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri
dan komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien dilingkungan perawatan
kritis.

1. Terapi AZT (Azidotimidin)

Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif terhadap AIDS,
obat ini menghambat replikasi antiviral Human Immunodeficiency Virus (HIV) dengan
menghambat enzim pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah sel
T4 nya <>3 . Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human Immunodeficiency Virus
(HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3

1. Terapi Antiviral Baru

Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun dengan menghambat
replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus pada prosesnya. Obat-obat ini adalah :

1. Didanosine

2. Ribavirin

3. Diedoxycytidine

4. Recombinant CD 4 dapat larut

1. Vaksin dan Rekonstruksi Virus

Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti interferon, maka perawat
unit khusus perawatan kritis dapat menggunakan keahlian dibidang proses keperawatan dan
penelitian untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.

1. Pendidikan untuk menghindari alcohol dan obat terlarang, makan-makanan


sehat,hindari stress,gizi yang kurang,alcohol dan obat-obatan yang mengganggu fungsi imun.
2. Menghindari infeksi lain, karena infeksi itu dapat mengaktifkan sel T dan mempercepat
reflikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV).

DAFTAR PUSTAKA

Widoyono. 2005. Penyakit Tropis: Epidomologi, penularan, pencegahan, dan


pemberantasannya.. Jakarta: Erlangga Medical Series

Muhajir. 2007. Pendidkan Jasmani Olahraga dan Kesehatan. Bandung: Erlangga

Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1993. Mikrobiolog Kedokteran.


Jakarta Barat: Binarupa Aksara

Djuanda, adhi. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Mandal,dkk. 2008. Penyakit Infeksi. Jakarta: Erlangga Medical Series

Anda mungkin juga menyukai