Anda di halaman 1dari 32

Refleksi Kasus Oktober 2018

“MANAJEMEN JALAN NAPAS MENGGUNAKAN


LARYNGEAL MASK AIRWAY PADA PASIEN DENGAN
TINDAKAN REMOVE IMPLANT”

Disusun Oleh:
ANNISA PRISCASARI DWIYANTI BAHRUDIN
N 111 17 068

Pembimbing Klinik:
dr. Muhammad Nahir, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS TADULAKO

PALU

2018
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi umum adalah tindakan anestesi yang dilakukan dengan cara


menghilangkan nyeri secara sentral, disertai hilangnya kesadaran dan bersifat
pulih kembali atau reversibel. Pada anestesi umum harus memenuhi beberapa hal
ini yaitu hipnotik, analgesi, relaksasi otot diperlukan untuk mengurangi tegangnya
tonus otot sehingga akan mempermudah tindakan pembedahan, stabilisasi
otonom.1
Pengelolaan jalan napas (airway) menjadi salah satu bagian yang
terpenting dalam suatu tindakan anestesi. Hal ini disebabkan oleh beberapa efek
dari obat-obatan yang dipergunakan dalam anestesi dapat mempengaruhi keadaan
jalan napas untuk berjalan dengan baik.2
Penemuan dan pengembangan “Laryngeal Mask Airway” (LMA) oleh
seorang ahli anastesi berkebangsaan inggris dr. Archie Brain telah memberikan
dampak yang luas dan bermakna dalam praktek anastesi, penanganan airway yang
sulit, dan resusitasi kardiopulmonar. LMA telah mengisi kekosongan antara
penggunaan “face mask” dengan intubasi endotracheal. LMA memberikan ahli
anestesi alat baru penanganan airway yaitu jalan nafas supraglotik, sehingga saat
ini dapat digolongkan menjadi tiga golongan yaitu : (1) jalan nafas pharyngeal,
(2) jalan nafas supraglotik, dan (3) jalan nafas intratracheal. Ahli anastesi
mempunyai variasi yang lebih besar untuk penanganan jalan nafas sehingga
lebih dapat disesuaikan dengan kondisi tiap-tiap pasien, jenis anestesi, dan
prosedur pembedahan.3
LMA atau sungkup laring menjadi sangat populer dalam beberapa dekade
terakhir ini. Penggunaan sungkup laring mempunyai beberapa keuntungan
dibandingkan penggunaan intubasi endotrakeal dan sungkup muka. Salah satu
yang menjadi kelemahan penggunaan sungkup muka adalah tidak dapat
melindungi jalan napas dari kemungkinan regurgitasi isi lambung. Dalam
pemasangannya, sungkup laring tidak memerlukan laringoskop, tidak perlu
pemberian pelumpuh otot, tidak merusak pita suara, respon kardiovaskuler
sangat rendah dibanding intubasi endotrakea.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Evaluasi Jalan Napas


Tujuan evaluasi jalan napas adalah untuk menghindari gagalnya
penanganan jalan napas dengan menerapkan cara alternatif pada pasien yang
diduga akan sulit diventilasi dan/atau diintubasi. Kesulitan mask ventilation
terjadi bila terdapat penutupan yang inadekuat antara wajah pasien dan mask,
terdapat kebocoran oksigen dari face mask, atau terdapat resistensi aliran
masuk (inflow) atau aliran keluar (outflow) oksigen yang berlebihan. Kesulitan
laringoskopi terjadi bila tidak ada bagian glotis yang terlihat setelah usaha
laringoskopi dilakukan banyak kali.4
Pasien dianggap memiliki kesulitan jalan napas jika anestesiolog
mengalami kesulitan untuk memberikan ventilasi dengan facemask pada jalan
napas bagian atas, kesulitan mengintubasi trakea, atau keduanya.4
Untuk memperkirakan adanya kesulitan mask ventilation atau kesulitan
intubasi endotrakea, setiap pasien yang menerima perawatan anestesi harus
menjalani anamnesis dan pemeriksaan fisis jalan napas yang komprehensif.
Pasien harus ditanyai mengenai komplikasi jalan napas pernah terjadi sewaktu
dianestesi dulu. Riwayat trauma selama penanganan jalan napas sebelumnya
pada bibir, gigi, gusi, atau mulut pasien dapat menandakan adanya kesulitan
jalan napas. Demikian pula halnya, jika pasien memberitahukan bahwa
dilakukan usaha yang berkali-kali untuk “memasukkan selang pernapasan”
atau bahwa ia “terbangun” pada intubasi sebelumnya, maka harus
dipertimbangkan adanya kesulitan jalan napas.4
Kondisi medis yang biasanya meramalkan adanya kesulitan jalan napas
antara lain riwayat trauma atau operasi wajah baru-baru ini atau pada masa
lampau, artritis reumatoid, hamil, epiglotitis, perlengketan servikal
sebelumnya, massa leher, Down’s syndrome, dan sindrom genetik lainnya
seperti Treacher-Collins dan Pierre-Robin yang berkaitan dengan kelainan
wajah. Dengan anamnesis yang positif, maka harus ditinjau dokumentasi
mengenai penanganan jalan napas sebelumnya.4
Pemeriksaan yang paling sering dilakukan untuk mengevaluasi pasien
untuk menemukan adanya kesulitan intubasi adalah penentuan sesuatu yang
disebut Kelas Mallampati (Mallampati Class). Sistem klasifikasi ini, pertama
kali dikembangkan pada tahun 1985, digunakan untuk memprediksi kesulitan
intubasi menilai secara fungsional rasio ukuran lidah seseorang terhadap
rongga mulutnya. 5
Meningkatnya kesulitan melakukan laringoskopi direk dihubungkan
dengan hasil pemeriksaan Kelas Mallampati III dan IV. Meskipun suatu
prediktor yang mencurigai adanya kesulitan penanganan jalan napas mungkin
saja penting secara klinis, sebaiknya dilakukan pemeriksaan yang lebih banyak
dan lebih prediktif melalui skrining berbagai prediktor pada setiap pasien.5

Gambar 1. Sistem klasifikasi Mallampati

2. Alat – Alat yang Sering Digunakan dalam Manajemen Airway


a. Oral dan Nasal Airway
Hilangnya tonus otot jalan napas bagian atas (misalnya kelemahan
dari otot genioglosus) pada pasien yang dianestesi menyebabkan lidah dan
epiglotis jatuh kebelakang kearah dinding posterior faring. Mengubah
posisi kepala atau jaw thrust merupakan teknik yang disukai untuk
membebaskan jalan napas. Untuk mempertahankan jalan napas bebas,
jalan napas buatan (artificial airway) dapat dimasukkan melalui mulut atau
hidung untuk menimbulkan adanya aliran udara antara lidah dengan
dinding faring bagian posterior.6
Pemasangan oral airway kadang-kadang difasilitasi dengan
penekanan refleks jalan napas dan kadang-kadang dengan menekan lidah
dengan spatel lidah. Oral airway dewasa umumnya berukuran kecil (80
mm/Guedel No 3), medium (90 mm/Guedel no 4), dan besar (100
mm/Guedel no 5). 6
Panjang nasal airway dapat diperkirakan sebagai jarak antara
lubang hidung ke lubang telinga, dan kira-kira 2-4 cm lebih panjang dari
oral airway. Disebabkan adanya resiko epistaksis, nasal airway tidak
boleh digunakan pada pasien yang diberi antikoagulan atau anak dengan
adenoid. Juga, nasal airway jangan digunakan pada pasien dengan fraktur
basis cranii.6

b. Face Mask
Penggunaan face mask dapat memfasilitasi pengaliran oksigen atau
gas anestesi dari sistem pernapasan ke pasien dengan pemasangan face
mask yang rapat. Lingkaran dari face mask disesuaikan dengan bentuk
muka pasien.6
Kebanyakan jalan napas pasien dapat dipertahankan dengan face
mask dan oral atau nasal airway. Ventilasi dengan face mask dalam jangka
lama dapat menimbulkan cedera akibat tekanan pada cabang saraf
trigeminal atau fasial. Bila face mask dan ikatan masker digunakan dalam
jangka lama maka posisi harus sering dirubah untuk menghindari cedera.
Hindari tekanan pada mata, dan mata harus diplester untuk menghindari
resiko aberasi kornea.6

c. Intubasi Endotrakeal
Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakeal adalah untuk
membersihkan saluran tracheobronchial, mempertahankan jalan napas
agar tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian
ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi. Intubasi endotrakeal
diindikasikan pada berbagai keadaan saat sakit ataupun pada prosedur
medis untuk mempertahankan jalan napas seseorang, pernapasan, dan
oksigenasi darah. Pada cakupan tersebut, tambahan oksigen yang
menggunakan face mask sederhana masih belum adekuat. 7

d. Laryngeal Mask Airway


Penggunaan LMA meningkat untuk menggantikan pemakaian face
mask dan ETT selama pemberian anestesi, untuk memfasilitasi ventilasi
dan pemasangan ETT pada pasien dengan jalan napas yang sulit, dan
untuk membantu ventilasi selama bronchoscopy fiberoptic, juga
pemasangan bronkoskop. 7

3. Laryngeal Mask Airway (LMA)


Hilangnya kesadaran karena induksi anestesi berhubungan dengan
hilangnya pengendalian jalan nafas dan refleks - refleks proteksi jalan napas.
LMA telah digunakan secara luas untuk mengisi celah antara intubasi ET dan
pemakaian face mask. LMA di insersi secara blind ke dalam faring dan
membentuk suatu sekat bertekanan rendah sekeliling pintu masuk laring.8
Laringeal mask airway (LMA) adalah alat supra glotis airway, didesain
untuk memberikan dan menjamin tertutupnya bagian dalam laring untuk
ventilasi spontan dan memungkinkan ventilasi kendali pada mode level
tekanan positif. Alat ini tersedia dalam 7 ukuran untuk neonatus, infant, anak
kecil,anak besar, kecil, normal dan besar.2
Tabel 1. Ukuran LMA

LMA terdiri dari pipa dengan lubang yang besar, yang di akhir bagian
proksimal dihubungkan dengan sirkuit napas dengan konektor berukuran 15
mm, dan dibagian distal terdapat balon berbentuk elips yang dapat
dikembangkan lewat pipa. Balon dikempiskan dulu, kemudian diberi pelumas
dan masukan secara membuta ke hipofaring, sekali telah dikembangkan, balon
dengan tekanan rendah ada di muara laring. Pemasangannya memerlukan
anestesi yang lebih dalam dibandingkan untuk memasukan oral airway.6

Gambar 2. Bagian – bagian LMA


LMA memberikan alternatif untuk ventilasi selain face mask atau ETT.
Kontra indikasi untuk LMA adalah pasien dengan kelainan faring (misalnya
abses), sumbatan faring, lambung yang penuh (misalnya kehamilan, hernia
hiatal), atau komplians paru rendah (misalnya penyakit restriksi jalan napas)
yang memerlukan tekanan inspirasi puncak lebih besar dari 30 cm H2O.6

Tabel 2. Perbandingan LMA, Facemask, dan ETT

Jenis – Jenis LMA


a. Clasic LMA
Merupakan suatu peralatan yang digunakan pada airway
management yang dapat digunakan ulang dan digunakan sebagai
alternatif baik itu untuk ventilasi facemask maupun intubasi ET. LMA
juga memegang peranan penting dalam penatalaksanaan jalan nafas
yang sullit. Jika LMA dimasukkan dengan tepat maka tip LMA berada
diatas sfingter esofagus, cuff samping berada di fossa pyriformis, dan
cuff bagian atas berlawanan dengan dasar lidah. Dengan posisi seperti
ini akan menyebabkan ventilasi yang efektif dengan inflasi yang
minimal dari lambung.9
b. LMA Fastrach ( Intubating LMA )
ILMA tidak boleh dilakukan pada pasien-pasien dengan
patologi esofagus bagian atas karena pernah dilaporkan kejadian
perforasi esofagus. Intubasi pada ILMA bersifat ”blind intubation
technique”. Nyeri tenggorok dan suara serak biasanya ringan, namun
lebihsering terjadi pada pemakaian ILMA dibandingkan cLMA. ILMA
memegang peranan penting dalam manajemen kesulitan intubasi yang
tidak terduga. Juga cocok untuk pasien dengan cedera tulang belakang
bagian cervical. Dan dapat dipakai selamaresusitasi cardiopulmonal .9

c. LMA Proseal
LMA Proseal mempunyai 2 gambaran design yang menawarkan
keuntungan lebih dibandingkan LMA standar selama melakukan
ventilasi tekanan positif. Pertama, tekanan seal jalan nafas
yang lebih baik yang berhubungan dengan rendahnya tekanan pada
mukosa. Kedua, LMA Proseal terdapat pemisahan antara saluran
pernapasan dengan saluran gastrointestinal, dengan penyatuan drainage
tube yang dapat mengalirkan gas-gas esofagus atau memfasilitasi suatu
jalur tubeorogastric untuk dekompresi lambung.10
Terdapat suatu teori yang baik dan bukti perfoma untuk
mendukung gambaran perbandingan antara cLMA dengan PLMA,
berkurangnya kebocoran gas, berkurangnya inflasi lambung, dan
meningkatnya proteksi dari regurgitasi isi lambung. Akan tetapi, semua
ini sepenuhnya tergantung pada ketepatan posisi alat tersebut.9

d. Flexible LMA

Bentuk dan ukuran mask nya hampir menyerupai cLMA,


dengan airway tube terdapat gulungan kawat yang menyebabkan
fleksibilitasnya meningkat yang memungkinkan posisi proximal end
menjauhi lapang bedah tanpa menyebabkan pergeseran mask. Berguna
pada pembedahan kepala dan leher, maxillo facial dan THT. fLMA
memberikan perlindungan yang baik terhadap laring dari sekresi dan
darah yang ada diatas fLMA. Populer digunakan untuk pembedahan
nasal dan pembedahan intraoral, termasuk tonsilektomy. Airway tube
fLMA lebih panjang dan lebih sempit, yang akan menaikkan resistensi
tube dan work of breathing.9

4. Teknik Anastesi LMA


Indikasi10
a. Sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi ET untuk
airway management . LMA bukanlah suatu penggantian ET, ketika
pemakaian ET menjadi suatu indikasi.
b. Pada penatalaksanaan dificult airway yang diketahui atau yang tidak
diperkirakan
c. Pada airway management selama resusitasi pada pasien yang tidak
sadarkan diri.

Kontraindikasi 10
a. Pasien - pasien dengan resiko aspirasi isi lambung (penggunaan pada
emergency adalah pengecualian).
b. Pasien-pasien dengan penurunan compliance sistem pernafasan,
karena seal yang bertekanan rendah pada cuff LMA akan mengalami
kebocoran pada tekanan inspirasi tinggi dan akan terjadi
pengembangan lambung. Tekanan inspirasi puncak harus dijaga
kurang dari 20 cm H2O untuk meminimalisir kebocoron cuff
dan pengembangan lambung.
c. Pasien-pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik jangka
waktu lama.
d. Pasien-pasien dengan refleks jalan nafas atas yang intack karena
insersi dapat memicu terjadinya laryngospasm.
Efek Samping 10
Efek samping yang paling sering ditemukan adalah nyeri
tenggorok, dengan insidensi 10 % dan sering berhubungan dengan over
inflasi cuff LMA. Efek sampingyang utama adalah aspirasi.

Teknik Induksi dan Insersi


Untuk melakukan insersi cLMA membutuhkan kedalaman anestesi
yang lebih besar. Kedalaman anestesi merupakan suatu hal yang penting
untuk keberhasilan selama pergerakan insersi cLMA dimana jika kurang
dalam sering membuat posisi mask yang tidak sempurna.9
Sebelum insersi, kondisi pasien harus sudah tidak respon dengan
mandibula yang relaksasi dan tidak respon terhadap tindakan jaw thrust .
Tetapi, insersi cLMA tidak membutuhkan pelumpuh otot. Hal lain yang
dapat mengurangi tahanan yaitu pemakaian pelumpuh otot. Meskipun
pemakaian pelumpuh otot bukan standar praktek di klinik, dan pemakaian
pelumpuh otot akan mengurangi trauma oleh karena refleks proteksi yang
ditumpulkan, atau mungkin malah akan meningkatkan trauma yang
berhubungan dengan jalan nafas yang rileks/menyempit jika manuver jaw
thrust tidak dilakukan.3
Propofol merupakan agen induksi yang paling tepat karena
propofol dapat menekan refleks jalan napas dan mampu melakukan insersi
cLMA tanpa batuk atau terjadinya gerakan. Introduksi LMA ke supraglotis
dan inflasi cuff akan menstimulasi dinding faring dan akan menyebabkan
peningkatan tekanan darah dan nadi. Perubahan kardiovaskuler setelah
insersi LMA dapat ditumpulkan dengan menggunakan dosis besar
propofol yang berpengaruh pada tonus simpatis jantung.3
Jika propofol tidak tersedia, insersi dapat dilakukan setelah
pemberian induksi thiopental yang ditambahkan agen volatil untuk
mendalamkan anestesi atau dengan penambahan anestesi lokal bersifat
topikal ke oropharing. Untuk memperbaiki insersi mask, sebelum induksi
dapat diberikan opioid beronset cepat (seperti fentanyl atau alfentanyl).
Jika diperlukan, cLMA dapat di insersi dibawah anestesi topikal. Insersi
dilakukan dengan posisi seperti akan dilakukan laryngoscopy
(Sniffing Position) dan akan lebih mudah jika dilakukan jaw thrust oleh
asisten selama dilakukan insersi. Cuff cLMA harus secara penuh di deflasi
dan permukaan posterior diberikan lubrikasi dengan lubrikasi berbasis
air sebelum dilakukan insersi.Meskipun metode standar meliputi deflasi
total cuff, beberapa klinisi lebih menyukai insersi LMA dengan cuff
setengah mengembang. Tehnik ini akan menurunkan resiko terjadinya
nyeri tenggorokan dan perdarahan mukosa faring.3
Dokter anestesi berdiri dibelakang pasien yang berbaring
supine dengan satu tangan menstabilisasi kepala dan leher pasien,
sementara tangan yang lain memegang cLMA. Tindakan ini terbaik
dilakukan dengan cara menaruh tangan dibawah occiput pasien
dan dilakukan ekstensi ringan pada tulang belakang leher bagian atas.
cLMA dipegang seperti memegang pensil pada perbatasan mask dan tube.
Rute insersi cLMA harus menyerupai rute masuknya makanan. Selama
insersi, cLMA dimajukan ke arah posterior sepanjang palatum durum
kemudian dilanjutkan mengikuti aspek posterior-superior dari jalan nafas.
Saat cLMA ”berhenti” selama insersi, ujungnya telah mencapai
cricopharyngeus (sfingter esofagus bagian atas) dan harusnya
sudah berada pada posisi yang tepat. Insersi harus dilakukan dengan satu
gerakan yang lembut untuk meyakinkan ”titik akhir” teridentifikasi.9
Gambar 2. Pemasangan LMP

Cuff harus di inflasi sebelum dilakukan koneksi dengan sirkuit


pernafasan. Lima tes sederhana dapat dilakukan untuk meyakinkan
ketepatan posisi cLMA9:
1. End point yang jelas dirasakan selama insersi.
2. Posisi cLMA menjadi naik keluar sedikit dari mulut saat cuff di
inflasi.
3. Leher bagian depan tampak mengelembung sedikit selama cuff di
inflasi.
4. Garis hitam di belakang cLMA tetap digaris tengah.
5. Cuff cLMA tidak tampak dimulut.

Jumlah udara yang direkomendasikan untuk inflasi cuff tergantung


dari pembuat LMA yang bervariasi sesuai dengan ukuran cLMA. Penting
untuk dicatat bahwa volume yang direkomendasikan adalah volume yang
maksimum. Biasanya tidak lebih dari setengah volume ini yang
dibutuhkan. Volume ini dibutuhkan untuk mencapai sekat bertekanan
rendah dengan jalan nafas. Tekanan didalam cuff tidak boleh melebihi 60
cmH2O. Inflasi yang berlebihan akan meningkatkan resiko komplikasi
pharyngolaryngeal, termasuk cedera syaraf (glossopharyngeal,
hypoglossal, lingual dan laryngeal recuren) dan biasanya menyebabkan
obstruksi jalan nafas.9
Setelah cLMA di insersikan, pergerakan kepala dan leher akan
membuat perbedaan kecil terhadap posisi cLMA dan dapat menyebabkan
perubahan pada tekanan intra cuff dan sekat jalan nafas. N2O jika
digunakan akan berdifusi kedalam cuff cLMA sampai tekanan partial
intracuff sama dengan tekanan campuran gas anestesi. Hal ini akan
menyebabkan peningkatan tekanan didalam cuff pada 30 menit pertama
sejak pemberian N2O. Tekanan cuff yang berlebihan dapat dihindari
dengan mempalpasi secara intermiten pada pilot ballon.9
Setelah insersi, patensi jalan nafas harus di test dengan cara mem-
bagging dengan lembut. Perlu diingat, cuff cLMA menghasilkan sekat
bertekanan rendah sekitar laryng dan tekanan jalan nafas diatas sekat ini
akan menyebabkan kebocoran gas anestesi dari jalan nafas. Dengan
lembut, ventilasi tangan akan menyebabkan naiknya dinding dada tanpa
adanya suara ribut pada jalan napas atau kebocoran udara yang dapat
terdengar. Saturasi oksigen harus stabil. Jika kantung reservoir tidak terisi
ulang kembali seperti normalnya, ini mengindikasikan adanya kebocoran
yang besar atau obstruksi jalan nafas yang partial, jika kedua hal tadi
terjadi maka cLMA harus dipindahkan dan di insersi ulang.9
Teknik Ekstubasi
Pada akhir pembedahan, cLMA tetap pada posisinya sampai pasien
bangun dan mampu untuk membuka mulut sesuai perintah, dimana refleks
proteksi jalan napas telah normal pulih kembali. Melakukan penghisapan
pada faring secara umum tidak diperlukan dan malah dapat menstimuli
dan meningkatkan komplikasi jalan nafas seperti laryngospasm. Saat
pasien dapat membuka mulut mereka, cLMA dapat ditarik. Kebanyakan
sekresi akan terjadi pada saat–saat ini dan adanya sekresi tambahan atau
darah dapat dihisap saat cLMA ditarik jika pasien tidak dapat menelan
sekret tersebut.9

Komplikasi Pemakaian LMA


cLMA tidak menyediakan perlindungan terhadap aspirasi paru
karena regurgitasi isi lambung dan juga tidak bijaksana untuk
menggunakan cLMA pada pasien-pasien yang punya resiko meningkatnya
regurgitasi, seperti : pasien yang tidak puasa, emergensi, dan pada refluks
gastro-esofageal.9
BAB III
TINJAUAN KASUS

1. Identitas Penderita
 Nama : Nn. N
 Umur : 21 thn
 Alamat : Mamboro
 Agama : Islam
 Tanggal Pemeriksaan : 24 September 2018

2. Anamnesis
 Keluhan Utama : pelepasan implant
 Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke poliklinik ortopedi RSU Anutapura dengan
riwayat fraktur radius ulna pada lengan kanan dan rencana untuk
pelepasan implant. Keluhan fraktur radius ulna menimpa pasien tahun
2016 yang lalu, dan pasien sudah pernah dioperasi untuk pemasangan
plate. Keluhan mual dan muntah disangkal. Buang air kecil dan besar
pasien lancar. Demam (-), sesak (-), muntah (-), nyeri menelan (-) dan
gangguan menelan (-).
o Riwayat alergi (-)
o Riwayat asma (-)
o Riwayat penyakit jantung (-)
o Riwayat penyakit berat lainnya (-)
o Riwayat anestesi (+) sebanyak satu kali, tidak terdapat
komplikasi.
 Riwayat penyakit keluarga:
o Riwayat penyakit paru (-)
o Riwayat penyakit jantung (-)
o Riwayat penyakit diabetes melitus (-)
3. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Kesadaran : Compos mentis (GCS E4 V5 M6)
Berat Badan : 56 kg
Status Gizi : Gizi Baik
Airway : Paten
Pernafasan : Respirasi 18 kali/menit
Nadi : 81 kali/menit, regular, kuat angkat
TD :110/70mmHg
Suhu : 36,7o C
a. B1 (Breath) :
Airway : bebas, gurgling/snoring/crowing : (-/-/-), buka mulut 5 cm, gerak
leher bebas, tonsil (T1-T1), faring hiperemis (-), frekuensi pernapasan : 18
kali/menit, suara pernapasan : bronkovesikular (+/+), suara pernapasan
tambahan ronchi (-/-), wheezing (-/-), skor Mallampati : 1, massa (-), gigi
ompong (-), gigi palsu (-).
b. B2 (Blood) :
Akral hangat : ekstremitas atas (+/+) dan ekstremitas bawah (+/+), tekanan
darah : 110/70 mmHg, denyut nadi : 81 kali/menit, reguler, kuat angkat,
bunyi jantung S1/S2 murni regular.
c. B3 (Brain) :
Kesadaran : Compos mentis, pupil: isokor 2mm/2mm, defisit neurologi (-).
d. B4 (Bladder) :
Buang air kecil spontan dengan frekuensi 3-4 kali sehari berwarna
kekuningan.
e. B5 (Bowel) :
Abdomen : tampak datar, peristaltik (+) kesan normal, mual (-), muntah (-)
massa (-), jejas (-), nyeri tekan (-).
f. B6 Back & Bone :
Skoliosis (-), lordosis (-), kifosis (-), edema ekstremitas atas (-/-), edema
ekstremitas bawah (-/-).
4. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium tanggal 22-09-2018
Tabel 3. Hematologi Rutin
Parameter Hasil Satuan Range Normal
RBC 4,53 106/mm3 3,8-5,2
Hemoglobin (Hb) 12,7 gr/dl 11,7-15,5
Hematokrit 39,8 % 35,0-47,0
PLT 354 103/mm3 150-440
WBC 6,06 103/mm3 3,6-11,0
BT 2’ 00” menit 1-5
CT 6’ 00” menit 4-10

Tabel 4. Kimia Klinik

Parameter Hasil Satuan Range Normal

GDS 66,6 mg/dL 70 -140

Tabel 5. Imunoserologi

Parameter Hasil

HbsAg Negatif

5. Diagnosis Kerja : Union fraktur radius ulna (D) pro remove implant

6. Tindakan : Remove implant

7. Kesan Anestesi
Wanita 21 tahun dengan diagnosis union fraktur radius ulna (D) pro remove
implant dan PS ASA I.
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yaitu :
Rencana operasi : Remove implant
Di Ruangan :
Surat persetujuan tindakan operasi (+), surat persetujuan tindakan anestesi
(+), site mark (+).

 Puasa : 8 jam preoperasi

9. Kesimpulan
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka:
 Diagnosis Pre Operatif : Union fraktur radius ulna (D) pro remove implant
 Status Operatif : ASA I, Mallampati I
 Jenis Anastesi : General Anestesi

10. Laporan Anestesi


1) Diagnosis Pra Bedah
Union fraktur radius ulna (D) pro remove implant
2) Diagnosis Pasca Bedah
Union fraktur radius ulna (D) pro remove implant
3) Penatalaksanaan Praoperasi
RL 100 ml
4) Penatalaksanaan Anestesi
a. Jenis Pembedahan : Remove implant
b. Jenis Anestesi : General Anestesi
c. Teknik Anestesi : General Anestesi dengan teknik
LMA nomor 4
d. Mulai Anestesi : 24 September 2018, pukul 09.25 WITA
e. Mulai Operasi : 24 September 2018, pukul 09.30 WITA
f. Premedikasi : Midazolam 3 mg
g. Induksi : Fentanyl 70 µg
Propofol 100 mg
h. Medikasi tambahan : Ketorolac 30 mg
Dexamethason 5 mg
Anbacim 1 gr
i. Maintanance : Sevoflurane 3%
j. Alat bantu pernapasan : LMA nomor 4
k. Respirasi : Pernapasan spontan
l. Posisi : Supinasi
m. Cairan Durante Operasi : RL 400 ml
n. Selesai operasi : 10.30 WITA

11. Preinduksi
Pemeriksaan fisik preoperative
 B1 (Breath) :
Airway : bebas, gurgling/snoring/crowing : (-/-/-), potrusi mandibular
(-), buka mulut 5 cm, jarak mentohyoid 5 cm, jarak hyothyoid 6 cm,
leher pendek (-), gerak leher bebas, tonsil (T1-T1), faring hiperemis (-),
frekuensi pernapasan: 18 kali/menit, suara pernapasan :
bronkovesikular (+/+), suara pernapasan tambahan ronchi (-/-),
wheezing (-/-), skor Mallampati : 1, massa (-), gigi ompong (-), gigi
palsu (-).
 B2 (Blood) :
Akral hangat : ekstremitas atas (+/+) dan ekstremitas bawah (+/+),
tekanan darah : 110/70 mmHg, denyut nadi : 81 kali/menit, reguler,
kuat angkat, bunyi jantung S1/S2 murni regular.
 B3 (Brain) :
Kesadaran : Compos mentis, pupil : isokor 2mm/2mm, defisit
neurologi (-).
 B4 (Bladder) :
Buang air kecil spontan dengan frekuensi 3-4 kali sehari berwarna
kekuningan.
 B5 (Bowel) :
Abdomen : tampak datar, peristaltik (+) kesan normal, mual (-),
muntah (-) massa (-), jejas (-), nyeri tekan (-).
 B6 Back & Bone :
Skoliosis (-), lordosis (-), kifosis (-), edema ekstremitas atas (-/-),
edema ekstremitas bawah (-/-).

Persiapan pasien preoperatif :


IVFD RL 100 ml
Persiapan di kamar operasi :
Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah :
 Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan.
 Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya.
 Alat-alat resusitasi (STATICS).
 Obat-obat anastesia yang diperlukan.
 Obat-obat resusitasi, misalnya ; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium
bikarbonat dan lain-lainnya.
 Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
 Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG.
 Alat-alat pantau yang lain sesuai dengan indikasi, misalnya; “Pulse
Oxymeter” dan “Capnograf”.
 Kartu catatan medik anestesia

Tabel 6. Komponen STATICS

Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung.


S Scope Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai
dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien, pada kasus ini
T Tubes
digunakan laryngeal mask airway ukuran 4
A Airways Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini menahan
lidah saat pasien tidak sadar untuk mengelakkan sumbatan
jalan napas.
Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
T Tapes
tercabut.
Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel)
yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa
I Introducer
trakea mudah dimasukkan. Pada pasien ini tidak digunakan
introducel atau stilet.
C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia.
S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

12. Intra Operatif


Laporan Anestesi Durante Operatif
 Jenis anestesi : General Anestesi
 Lama anestesi : 09.25 – 10.45 (1 jam 20 menit)
 Lama operasi : 09.30 – 10.30 (1 jam)
 Anestesiologi : dr. Donny T, Sp.An
 Ahli Bedah : dr. Sri Sikspirani, Sp.OT
 Posisi : Supine
 Infus : 1 line di tangan kiri

Tabel 7. Laporan Monitoring Anestesi


Frekuensi
Tekanan Saturasi Terapi
Jam denyut
darah oksigen
nadi

09.15 130/84 70 99% Midazolam 3 mg

Fentanyl 70 µg
09.30 112/74 89 99%
Propofol 100 mg
Sevoflurane 3%

09.45 118/79 84 99%

10.00 111/75 80 99% Dexamethason 5 mg

Anbacim 1 gr
10.15 100/64 88 99% Ketorolac 30 mg

10.30 108/65 87 99%

10.45 118/76 89 99%

13. Terapi Cairan :


BB : 56 kg
EBV : 65 ml/kgBB x 56 kg = 3640 ml
Jumlah perdarahan : ± 100 ml
% perdarahan : 100/3640 x 100% = 0.03 %
𝐻𝑐𝑡 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 − 𝐻𝑐𝑡 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟
𝑀𝐴𝐵𝐿 = 𝐸𝐵𝑉 ×
(𝐻𝑐𝑡 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 + 𝐻𝑐𝑡 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 )/ 2
39,8−24 15,8
= 3640 × (39,8+24)/ 2
= 3640 × = 1802,88 𝑚𝑙
31,9

Pemberian Cairan
 Cairan masuk :
- Pre operatif : Kristaloid RL 100 ml
- Durante operatif:
o Kristaloid RL 400 ml
Total input cairan : 500 ml
 Cairan keluar :
Durante operatif
- Perdarahan ± 100 ml
- Urin (-)
Total output cairan : ± 100 ml
Perhitungan Cairan
a. Input yang diperlukan selama operasi :
1. Cairan maintanance (M) : 2 ml x 56 kg = 112 ml/jam
2. Cairan defisit pengganti puasa (P) : lama puasa x maintenance = 8
x 112 = 896 ml – 100 ml (cairan yang masuk saat puasa) = 796 ml
3. Stress Operasi Besar : 8 ml x 56 kg = 448 ml
4. Cairan defisit darah selama oprasi = 100 ml x 3 = 300 ml
Untuk mengganti kehilangan darah 100 ml diperlukan 300 ml
cairan kristaloid.
Total kebutuhan cairan selama 1 jam operasi = 112 + 796 + 448 + 300
= 1656 ml

b. Cairan masuk :
Kristaloid : 100 ml + 400 ml = 500 ml
Koloid : -
Whole blood : -
Total cairan masuk : 500 ml

c. Keseimbangan kebutuhan:
Cairan masuk – cairan dibutuhkan = 400 ml – 1656 ml = - 1256 ml

14. Post Operatif


Pemantauan di Recovery Room :
a. Tensi, nadi, pernapasan, aktivitas motorik.
b. Berikan antibiotik profilaksis, antiemetic, H2 reseptor bloker dan
analgetik
c. Bila Aldrette Score ≥8 boleh pindah ruangan.
d. Mual (-), muntah (-), peristaltik usus (+), boleh makan dan minum
sedikit – sedikit.
Tabel 8. Skor Pemulihan Pasca Anesthesia J.A Aldrette 1970
TANDA KRITERIA SKOR
AKTIVITAS Seluruh ektrimitas dapat 2
digerakkan
Dapat menggerakkan 2 1
ekstrimitas
Tidak bergerak 0
RESPIRASI Mampu bernapas dalam dan 2
batuk
Dangkal namun pertukaran 1
udara adequate
Apnea dan Obstruksi 0
SIRKULASI TD < 20% dari nilai pre 2
anestesi
TD 20% - 50% dari nilai pre 1
anestesi
TD > 50% dari nilai pre anestesi 0
KESADARAN Sadar, siaga, dan orientasi 2
Bangun namun cepat tertidur 1
kembali
Tidak berespon 0
WARNA KULIT Merah muda 2
Pucat 1
Sianosis 0
TOTAL SKOR 9

Perintah di ruangan :
a. Awasi tanda vital (tensi, nadi, pernapasan tiap ½ jam)
b. Bila kesakitan beri analgetik.
c. Bila mual atau muntah, beri injeksi Ondansetron 4 mg iv
d. Program cairan : infus RL 20 tetes/menit
e. Program analgetik : injeksi Ketorolac 30 mg iv tiap 8 jam, mulai
pukul 20.00 WITA
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien, Nn.N, 21 tahun datang ke ruang operasi untuk menjalani operasi


remove implant pada tanggal 24 September 2018 dengan diagnosis pre operatif
union fraktur radius ulna (D) pro remove implant. Persiapan operasi dilakukan
pada tanggal 23 September 2018. Pada anamnesis didapatkan riwayat fraktur
radius ulna 2 tahun yang lalu. Pasien sudah menjalani operasi dan di anestesi
tahun 2016 untuk pemasangan implant pada frakturnya. Pasien tidak
mengeluhkan gejala fisik.
Pada pasien ini, sebelumnya telah dilakukan informed consent terkait
tindakan yang akan diberikan beserta konsekuensinya. Kemudian pemeriksaan
fisik. Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan hematologi rutin
untuk mengetahui ada tidaknya gangguan perdarahan serta dilakukan juga
pemeriksaan GDS dan uji imunoserologi HbsAg.
Pemeriksaan fisik dari tanda vital didapatkan tekanan darah 110/70
mmHg; nadi 81x/menit; respirasi 18x/menit; suhu 36,7OC. Dari pemeriksaan
laboratorium hematologi: Hb 12,7 g/dl; GDS 66,6 mg/dL dan HBsAg (-). Pasien
juga tidak memiliki riwayat penyakit berat, alergi, dan dapat berkomunikasi serta
beraktivitas dengan normal. Dengan keadaan tersebut, pasien termasuk dalam
kategori ASA I. Pada pasien ini, pemeriksaan fisik ataupun laboratorium tidak
menunjukkan adanya gangguan yang dapat menjadi kontra indikasi dilakukannya
tindakan.
Pilihan anestesi yang dilakukan adalah jenis general anestesi. Adapun
indikasi dilakukan general anestesi adalah karena pada kasus ini diperlukan
hilangnya kesadaran, rasa sakit, amnesia dan mencegah resiko aspirasi dengan
menggunakan premedikasi. Teknik anestesinya dengan pemasangan LMA nomor
4.
Sebelum dilakukan operasi pasien diberikan cairan RL 100 ml. Pemberian
maintenance cairan sesuai dengan berat badan pasien yaitu 2 ml x 56 kg sehingga
kebutuhan cairan maintenance pasien selama 1 jam operasi adalah 112 ml/jam.
Sebelum dilakukan operasi pasien dipuasakan selama 8 jam. Tujuan puasa untuk
mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau muntah pada
saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping dari obat-obat anastesi
yang diberikan. Penggantian puasa juga harus dihitung dalam terapi cairan ini
yaitu 8 x maintenance. Sehingga kebutuhan cairan yang harus dipenuhi selama 8
jam ini adalah 896 ml. Selama oprasi jumlah defisit darah adalah 100 ml sehingga
memerlukan pergantian cairan dengan kristaloid sebanyak 300 ml. Oleh karena
operasi yang dijalani tergolong besar maka stress operatif sebanyak 8 ml x 56 kg
sehingga dibutuhkan 448 ml cairan kristaloid. Total kebutuhan cairan sebanyak
1656 ml. Namun, pasien mendapatkan 500 ml cairan kristaloid sampai operatif
selesai sehingga masih membutuhkan sebanyak 1256 ml cairan pengganti.
Pasien masuk keruang OK pada pukul 09.15 dilakukan pemasangan NIBP
dan O2 dengan hasil TD 130/84 mmHg; Nadi 70x/menit, dan SpO2 99%.
Dilakukan injeksi sedacum (midazolam) 3 mg pada kasus ini sebagai premedikasi
untuk efek sedatif. Obat ini memiliki efek sedatif. Sedativa ini berfungsi
menenangkan otak dan sistem saraf kita. Karena itu, midazolam akan memicu
rasa kantuk dan rileks, sehingga dapat menurunkan tingkat kecemasan sebelum
seseorang menjalani operasi.
Induksi pada pasien ini dilakukan dengan anestesi intravena yaitu propofol
100 mg I.V karena memiliki efek induksi yang cepat, dengan distribusi dan
eliminasi yang cepat. Selain itu juga propofol dapat menghambat transmisi neuron
yang hancur oleh GABA. Obat anestesi ini mempunyai efek kerjanya yang cepat
dan dapat dicapai dalam waktu 30 detik. Pemberian fentanyl 70 µg yang
merupakan obat opioid yang bersifat analgesik dan bisa bersifat induksi.
Penggunaan premedikasi pada pasien ini betujuan untuk menimbulkan rasa
nyaman pada pasien dengan pemberian analgesia dan mempermudah induksi
dengan menghilangkan rasa khawatir. Pada kasus ini tidak diberikan pelemas otot
saat pemasangan LMA. Pasien juga diberikan dexamethasone 5 mg sebagai
adjuvant analgetik pascaoprasi dan pencegahan inflamasi (bengkak) akibat
pemasangan LMA. Sementara anbacim 1 g diberikan sebagai antibiotik
perioperatif.
Untuk menjamin jalan nafas pasien selama tidak sadar, maka dilakukan
pemasangan LMA, karena dinilai lebih aman dan lebih tidak invasive dibanding
dengan pemasangan Endotracheal Tube (ET). Dipilih manajemen jalan nafas
dengan LMA karena pertimbangan lama operasi yang tidak begitu lama. LMA
tidak dapat digunakan pada pasien yang membutuhkan bantuan ventilasi dalam
jangka waktu lama. LMA juga tidak dapat dilakukan pada pasien dengan reflek
jalan nafas yang intack, karena insersi LMA akan mengakibatkan laryngospasm.
LMA sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi ET untuk airway
management. LMA bukanlah suatu penggantian ET, ketika pemakaian ET
menjadi suatu indikasi. Keuntungan penggunaan LMA diabanding ET adalah
kurang invasif, mudah penggunaanya, minimal trauma pada gigi dan laring, efek
laryngospasm dan bronkospasme minimal, dan tidah membutuhkan agen relaksasi
otot untuk pemasangannya. LMA diekstubasikan ketika pasien sadar, pasien
bangun dan mampu untuk membuka mulut sesuai perintah. Ekstubasi LMA
dilakukan pada keadaan pasien sadar karena dimana refleks proteksi jalan nafas
telah normal pulih kembali.
Pada kasus ini obat anestesi inhalasi yang digunakan adalah sevofluran
3%. Sevofluran merupakan halogenasi eter, dikemas dalam bentuk cair, tidak
berwarna, tidak berbau dan tidak iritatif sehingga baik untuk inhalasi. Proses
induksi dan pemulihan cepat dari semua obat anestesia inhalasi yang lain.
Terhadap kardiovaskular relatif stabil dan tidak menimbulkan aritmia selama
anestesia. Tahanan vaskular dan curah jantung menurun sehingga tekanan darah
sedikit menurun.
Pada pukul 10.30 WITA, pembedahan selesai dilakukan, dengan
pemantauan akhir TD 118/76 mmHg; Nadi 89x/menit, dan SpO2 99%.
Pembedahan dilakukan selama 1 jam dengan perdarahan ±100 cc. Pasien
kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room). Selama di ruang
pemulihan, jalan napas dalam keadaan baik, pernapasan spontan dan adekuat serta
kesadaran composmentis.
BAB V
KESIMPULAN

Pasien Nn. N umur 21 tahun dengan diagnosis union fraktur radius ulna
(D) pro remove implant menjalani tindakan remove implant dengan status fisik
ASA 1 dan skor mallampati 1. Teknik anestesi yang dipilih adalah anestesi
general (umum) dengan LMA, respirasi spontan.
Anestesi general tindakan anestesi yang dilakukan dengan cara
menghilangkan nyeri secara sentral, disertai hilangnya kesadaran dan bersifat
pulih kembali atau reversibel. Laryngeal Mask Airway (LMA) atau sungkup
laring adalah alat bantu pernapasan (penanganan jalan nafas) yang dimasukkan
kedalam laring.
Selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari segi
anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan juga tidak
terjadi hal yang memerlukan penanganan serius. Secara umum pelaksanaan
operasi dan penanganan anestesi berlangsung dengan baik.
Daftar Pustaka

1. Latief SA, Suryadi KA. Dahlan, M.R. Anestesiologi. Jakarta: Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.
2. Thomas J Gal. Airway Management in Miller’s Anesthesia, Chapter 42,
.Elsivier : 2005 : page 1617.
3. Turan et al.Comparison of the laryngeal mask (LMA) and laryngeal tube (LT)
with the new perilaryngeal airway (CobraPLA) in short surgical procedures.
EJA 2006 ; 23 : 234 – 238
4. ASA. 2013. Practice Guidelines for Management of the Difficult Airway. The
American Society ofAnesthesiology. V 118. No. 2. P. 1-2.
5. Gwinnutt CL. Catatan Kuliah Anestesi Klinis Edisi 3. Penerbit EGC: Jakarta.
2014.
6. Orebaugh SL. Atlas Of Airway Management Techniques and Tools.
Philadelphia: Lippincott, Williams, and Wilkins. 2007.
7. Dobson MB. 2012. Penuntun Praktis Anestesi. Penerbit EGC: Jakarta
8. Verghese C, Brimacombe JR.Survey of Laryngeal mask airway usage in
11910 patients : safety and efficacy for conventional and nonconventional
usage. Anesth Analg 1996 ; 82 : 129 – 133
9. Tim Cook, Ben Walton. The Laryngeal Mask Airway. In : Update inAnaesthe
sia : 32 – 42
10. Peter F Dunn.Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusetts
General Hospital. Lippincot Williams & Wilkins. 2007 : 213 -217

Anda mungkin juga menyukai