Anda di halaman 1dari 5

PRINSIP KE LIMA BELAS

TAWASSUL DALAM PANDANGAN ISLAM

Imam Ibnu Taimiah dalam Kitabnya Al-Fataawaa berkata: “Dinukil dari Imam Ahmad bin
Hanbal dalam Musnadnya tentang tawassul dengan Nabi dan sebagian yang lain
melarangnya. apabila maksud mereka adalah tawassul dengan dzatnya, maka inilah
tempatnya perselisihan pendapat (di antara mereka/Ulama). Dan apa-apa yang
diperselisihkan oleh mereka harus dikembalikan kepada Allah dan RasulNya.” (Al-
Fataawaa, Ibnu Taimiah 1/264)

“Do’a apabila disetai dengan bertawassul kepada Allah lewat perantara seorang makhluk
adalah khilaf far’I dalam tatacara berdo’a dan bukan merupakan masalah aqidah” (Asy-
Syahid Hasan Al-Banna)

MUKADIMAH

Setiap kali ada musibah dan ujian yang menghantui kehidupan manusia muslim, ia harus kembali kepada Allah Yang Maha
Kuasa, Rabb Semesta Alam. Karena ia meyakini bahwa Allahlah Rabb yang mampu menyingkap hijab-hijab kesulitan, kefakiran
dan kepayahan para hambaNya. Dan ia juga meyakini bahwa Dialah yang mampu memberikan pertolongan, kemudahan dan
petunjuk. Tidak ada kekuatan lain yang mampu melakukan hal ini selain Dia, Allah SWT. Hal ini didasarkan beberapa firmanNya
berikut ini;

“Atau siapakah yang memperkenankan (do'a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo'a kepada-Nya, dan yang
menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah disamping Allah ada tuhan
(yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya).” (QS 27:62)

“Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdo'a kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah
Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdo'a
kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu
memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS 10:12)

Terkadang dalam memohon dan berdo’a, manusia sering menggunakan perantara -atau yang disebut dengan tawassul dalam
terminology aqidah- antara dirinya dan Tuhannya. Karena mereka merasa tidak mampu, lemah dan tidak memiliki apa-apa di
hadapan Tuhannya. Hal ini mereka lakukan agar do’a dan permohonannya terkabulkan dengan segera.

Namun sebagai manusia muslim, ia harus selalu memperhatikan rambu-rambu Islam dalam masalah tawassul, karena tidak semua
bentuk tawassul atau perantaraan yang berkembang dalam masyarakatnya diperbolehkan dalam ajaran Islam. Boleh jadi seorang
muslim dalam berdo’a, ia bertawassul dengan kuburan-kuburan, batu-batuan dan pepohonan yang dikramatkan. Bahkan ada yang
meyakini adanya kekuatan lain atau penguasa lain selain Allah SWT yang memiliki kekuasaan atas sebagian wilayah yang ada di
bumi ini. Seperti orang yang meyakini adanya Dewa laut, Dewa angin, Dewa Fortuna dan Dewa-dewi lainnya. Dan ini
merupakan bentuk penyimpangan yang ada dalam masalah tawassul yang harus dijauhi oleh setiap manusia muslim.

Oleh karena itu, agar tidak terjebak dalam kubangan-kubangan kekufuran dan kesyirikan, setiap muslim harus kembali kepada
Allah SWT dalam seluruh bentuk ibadahnya. Berdo’a dan berharap hanya kepada Allah SWT, tawakkal dan istighosah atau
isti’anah (memohon pertolongan) hanya kepada Allah semata. Perhatikan beberapa ayat Al-Quran di bawah ini;

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku
mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS 2:186)

“Berdo'alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang melampaui batas.” (QS 7:55)

“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadat kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai(nya).” (QS 40:14)

1
“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah
orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan
terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS 7:180)

DEFINISI TAWASSUL

Secara etimologi tawassul berasal dari kata tawassala yatawassalu tawassulan yang berarti mengambil perantara (wasilah),
taqarrub atau mendekat.

Dan secara terminology, tawassul adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan menggunakan wasilah (perantara).
Wasilah sendiri berarti kedudukan di sisi Raja, jabatan, kedekatan dan setiap sesuatu yang dijadikan perantara pendekatan dalam
berdo’a. Imam An-Nasafi berkata: “Wasilah adalah semua bentuk di mana seseorang bertawassul atau mendekatkan dirinya
dengannya.”

Arti ini bisa kita temukan dalam beberapa firman Allah berikut ini;

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan
berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS 5:35)

Imam At-Thabari berkata: “Wabtaghuu ilaihi al-wasiilata, berarti carilah kedekatan (jalan apapun atau bentuk kedekatan
apapun) yang mampu mendekatkan diri kepada Allah SWT). (juz 10/ 290)

“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih
dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang
(harus) ditakuti.” (QS 17:57)

MACAM-MACAM TAWASSUL

Dari definisi di atas bisa kita konklusikan bahwa tawassul terbagi menjaid dua macam;

Pertama, Tawassul Masyru’


Tawassul Masyru’ adalah taqarrub kepada Allah dengan cara yang dicintai dan diridloi Allah SWT seperti taqarrub dengan ibadah
wajib atau sunnah dan amal-amal saleh yang lain. Dan tawassul masyru’ ini ada tiga jenis yang telah disepakati oleh Ulama.
Yaitu;

1.Tawassul kepada Allah SWT dengan nama-namaNya yang baik dan atau sifat-sifatNya yang mulya. Sebagaiman
FirmanNya;

“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah
orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan
terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS 7:180)

Ayat ini secara eksplisit memerintahkan hamba-hamba Allah untuk berdo’a kepadanya dengan menggunakan nama-namaNya.
Karena do’a yang menggunakan nama-nama dan sifat-sifatNya mudah dan lebih dekat dikabulkan. Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah swt memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu, siapa saja yang menjaganya
(menghafalnya) niscaya ia kan masuk surga. Dan Dia adalah witir (ganjil) mencintai yang witir.” (HR Al-Bukhari Muslim)

Dalam hadits shahih yang lain Beliau bersabda: “Ya Allah, sesungguhnya aku memhon kepadaMu dengan semua nama yang
Engkau miliki. Engkau telah menamakan Dirimu dengannya atau Engkau telah menurunkannya dalam Kitabmu atau engkau
telah mengajarkannya kepada seseorang dari makhlukmu atau Engkau simpan sendiri dalam ilmulghaib (rahasia ilmu) yang ada
di sisiMu, semoga Engkau menjadikan Al-Quran al-Adziim kebahagian hati-hati kami….”

2. Twassul kepada Allah dengan amal saleh, di mana seorang hamba memohon kepada Allah dengan amalnya yang palik baik
seperti shalat, puasa, keimanan, ketauhidan, kecintaan, meninggalkan kemaksiatan dan semacamnya. Sebagaiman yang
pernah dilakukan oleh Ashhabul ghaar (Orang-orang yang masuk gua) yang terperangkap dalam gua. Lalu setiap mereka
berdo’a kepada Allah dengan amal-amal mereka agar Allah membukakan pintu gua yang tertutup dengan batu besar. Satu di
anatara mereka bertawassul dengan iffahnya (penjagaannya) dari zina, yang kedua dengan birrul walidain dan yang ketiga
dengan amanah atas upah pegawainya. (HR Al-Bukhari Muslim)
Perhatikan beberapa ayat di bawah ini;

2
“Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukanlah
kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah)".(QS 3:53)

3. Tawassul kepada Allah dengan do’a orang-orang yang saleh. Apabila seorang muslim mendapatkan musibah, kepayahan
dan ujian yang berat dalam hidupnya ia boleh minta tolong kepada orang yang lebih saleh untuk mendo’akannya agar Allah
memudahkan dan menyingkap tabir-tabir ujian tersebut. Karena merupakan bentuk pertolongan antara mukmin dalam
kebaikan dan ketakwaan. Allah berfirman;

“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS 5:2)

Rasulullah bersabda: “Allah SWT senantiasa membantu hambaNya selama hamba itu membantu saudaranya.”

Dan kisah istisqo’ yang terjadi pada masa Rasulullah saw ketika seorang sahabat yang datang pada hari Jum’at meminta
Beliau berdo’a agar Allah menurunkan hujan kepadanya. Lalu Rasul berdo’a di atas mimbar dan selanjutnya hujan turun
dengan deras. (HR Ahmad dan Al-Bukhari)
Rasulullah saw juga mencontohkan kepada kita tentang hal ini, ketika Beliau berkata kepada Umar di saat minta izin umrah:
“Jangan lupakan kami wahai saudaraku dalam do’amu.”

Kedua, Tawassul Mamnu’

Tawassul Mamnu’ adalah taqarrub kepada Allah dengan cara yang tidak dicintai dan diridloi, baik dengan perbuatan, perkataan
maupun keyakinan. Tawassul semacam ini tidak diperbolehkan oleh Islam karena mengandung kesyirikan, bidah dan sumpah
dengan makhluk. Dan tawassul ini memiliki beberapa jenis berikut ini;

1. Tawassul kepada Allah dengan berdo’a dan memohon pertolongan kepada orang yang telah mati atau ghaib dan
semacamnya. Hal ini digolongkan sebagai syirik besar yang bertentang dengan tauhid. Karena mayit tidak akan
memberikan manfaat dan madharat dalam tawassul.

“Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan menundukkan matahari dan bulan,
masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Yang (berbuat) demikian itulah Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nyalah
kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.”
(QS 35:13)

2. Tawassul kepada Allah dengan melakukan berbagai bentuk ketatan dan kebaikan yang dilarang Islam, seperti makan-
makan di atas kuburan wali atau orang yang saleh lainnya, membuang sesajen ke tengah lautan, mandi di sumur yang di
keramatkan dan semacamnya. Hal ini bertentangan dengan tauhid dan kesempurnaan tauhid. Bahkan ini bentuk neo-
paganisme yang muncul pada zaman sekarang. Mereka meyakini adanya kekuatan lain yang mampu memberikan
pertolongan selain Allah SWT. Sebagian ada yang percaya dengan adanya Dewa-dewi dan Jin-jin yang menguasai lautan
dan daratan sehingga mereka melakukan perayaan dan sesajen sebagi bentuk tawassul atau bahkan memohon langsung
pada berhala-berhala yang mereka tuhankan ini. Allah berfirman;

“Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhada-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatupun? Sedangkan
berhala-berhala itu sendiri buatan orang. Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-
penyembahnya dan kepada dirinya sendiripun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan.” (QS 7:191-192)

Begitu juga Islam tidak membenarkan bertawassul dengan barang-barang atau tempat peninggalan para Nabi dan para
Wali. Karena barang-barang ini tidak memliki kemulyaan, keutamaan dan kelebihan sama sekali. Imam Abu Hanifah
tidak membenarkan orang yang bersumpah dengan Ka’bah dan Masy’aril Haram. Bagitu juga yang dilakukan Umar bin
Khattab ra. Diirwayatkan bahwa Umar setelah menunaikan salat shubuh berjalan-jalan ke suatu tempat di mana banyak
manusia datang ke sana. Lalu orang-orang itu berkata kepada Umar: “Rasulullah saw mengerjakan shalat si tempat ini.”
Kemudian Umar berkata: “Sungguh telah binasa orang-orang ahlul Kitab kerena mereka menjadikan bekas-bekas para
Nabi mereka sebagai sinagog dan tempat ibadah. (HR Syu’bah)

Imam Malik juga melarang orang yang datang ke makam Rasulullah saw untuk tujuan tawassul. Ketika ditanya
seseorang yang mendatangi kuburan Nabi, ia berkata: “Jika bermaksud ke kuburan janganlah dan jika bermaksud ke
masjid maka lakukanlah.” (Al-Mabsuth, Isma’il bin Ishaq)

3. Tawassul kepada Allah dengan kedudukan dan dzat orang-orang yang saleh.

3
Tawassul dengan kedudukan dan dzat orang-orang yang saleh adalah merupakan khilaf fiqhy yang menjadi perdebatan para
Ulama. Oleh karena itu, Imam Hasan Al-Banna dalam Ushul Al-‘Isyriin berkata: “Dan berdo’a apabila disertai dengan
tawassul kepada Allah dengan seseorang dari makhlukNya adalah khilaf far’I (fiqhy) dalam cara berdo’a dan bukan
merupakan masalah-masalah aqidah.”

Begitu juga Imam Ibnu Taimiah dalam Kitabnya Al-Fataawaa berkata: “Dinukil dari Imam Ahmad bin Hanbal dalam
Musnadnya tentang tawassul dengan Nabi dan sebagian yang lain melarangnya. apabila maksud mereka adalah tawassul
dengan dzatnya, maka inilah tempatnya perselisihan pendapat (di antara mereka/Ulama). Dan apa-apa yang diperselisihkan
oleh mereka harus dikembalikan kepada Allah dan RasulNya.” (Al-Fataawaa, Ibnu Taimiah 1/264)
Ia juga berkata: “Bahkan maksudnya adalah menjadi muara ijtihad dan apa-apa yang diperselisihkan Ummat ini harus
dikembalikan kepada Allah dan RasulNya.” (Al-Fataawaa 1/179)
Hal ini juga diungkapkan oleh Syekh Nashiruddin Al-Albaany (At-Tawassul wa Anwa’uhu wa Ahkamuhu), Syekh Ibnu Baaz
(Muhadlorat, DR ‘Ishaam Al-Basyiir) dan Syekh Muhammad Najib Al-Muthi’I (Minhaj Al-Quran Fii ‘Ardhi Aqiidatil Islam)
Meskipun demikian sebagai muslim harus mengambil pendapat yang rajih setelah melihat dalil-dalil dari setiap pendapat
para Ulama. Inilah beberapa pendapat para Ulama tentang tawassul dengan kedudukan dan dzat orang-orang yang saleh;

Pertama, Ibnu Taimiah dan Ibnu Qoyyim berpendapat bahwa tawassul ini tidak dibenarkan dalam Islam. Karena perbuatan
manusia hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri di sisi Allah SWT. Sebgaimana firman Allah di bawah ini;

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS 53:39)

Jadi kedudukan mulia seseorang yang saleh di sisi Allah hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri, tidak bagi orang lain. Adalah
suatu kesalahan besar orang yang menganalogikan Allah dengan manusia. Jika dalam hubungan sesama manusia kita sering
menggunakan perantara karena adanya manfaat tertentu yang diperolehnya, maka kepada Allah hal itu tidak dibutuhkan.
Untuk memperoleh keridloan Allah seorang hamba tidak perlu menggunakan perntara. Itulah sebabnya para sahabat tidak
melakukan hal dengan kedudukan Rasulullah saw di sisiNya. Mereka setelah wafatnya Rasul justru memohon kepada Abbas
untuk mendo’akan mereka. Hal ini yang pernah dilakukan Umar bin Khattab ra. Dalam shahih Al-Bukhari disebutkan bahwa
Umar meminta hujan (kepada Allah) bertawassul dengan (do’a) Al-Abbas –Paman Rasul- dan ia berkata: “Ya Allah,
sesungguhnya kami apabila tertimpa kepayahan/kekringan, kami bertawassul kepada Engkau dengan Nabi kami, kemudian
Engkau menghujani kami. Dan apabila kami bertawassul kepada Engkau dengan paman Nabi kami, hendaklah Engkau
menghujani kami, akhirnya mereka diberikan hujan.”
Di sini Imam Ibnu Taimaih berkata: “Do’a Umar dalam istisqo ini……. Menunjukan bahwa tawassul merupakan bentuk
tawassul yang dibenarkan. Itulah tawassul dengan do’a dan syafaatnya bukan meminta dengan dzatnya. Karena seandainya
hal ini (meminta dengan dzatnya) diperbolehkan maka Umar, sahabat Muhajirin dan Anshar niscaya bertawassul dengan dzat
Nabi, tidak bertawassul dengan Al-Abbas.” (Qoidah Jaliah fii at-Tawassul, Ibnu Taimiah, 58)

Adapun hadits tentang orang buta yang berkata kepada Rasulullah saw “Aku bertawassul denganmu wahai Muhammad
kepada Tuhanmu.” (HR Ibnu Majah dan At-Tirmidzi), maksudnya adalah permohonan kepada Rasulullah utnuk
mendo’akannya. Karena Rasulullah selanjutnya berkata kepada orang itu; “Ya Allah, beri syafaatlah kepadanya krenaku.”
(Imam Ahmad). Hal ini dengan mengasumsikan bahwa hadits ini adalah shahih, sebab sebenarnya sanadnya terputus. (Lihat
Almadkhal liddirasati al-aqidat al-islamiah ‘alaa madzhabi ahli as-sunnah wa al-jama’ah, DR Ibrahim Al-Buraikan)

Adapun hadits “Bertawassullah kamu dengan kedudukanku kerena kedudukanku di sisi Allah matlah besat.” Adalah maudlu’
(dipalsukan). (Lihat Silsilat al-ahaadits ad-dho’ifah wa al-maudhu’at, Al-Baany)

Dan sementara bertawassul dengan dzat orang-orang yang saleh juga mengandung banyak pengertian yang semua dilarang
dan bertentangan dengan syari’at;

a. Bertawassul dengan kedudukan seseorang di sisi Allah

b. Dengan lafadz itu ia ingin bersumpah kepada Allah. Dan bersumpah kepda Allah dengan selainnya adalah haram dan
termasuk syirik kecil.

c. Ia ingin membuat perantara antara Allah dengan hamba-hambaNya dalam mendatangkan manfaat dan menolak
madharat.

d. Dengan lafadz ini ia bermaksud memohon berkah yang tidak dibenarkan.

4
Kedua, Imam Izzuddin Abdus Salam membolehkan tawassul dengan dzat Rasulullah saw khusus dan tidak dibenarkan
dengan selainnya. Begitu juga Imam Ahmad bin Hanbal, sementara Imam As-Subki membolehkan tawassul dengan dzat
orang-orang yang saleh selain Nabi. Dalil mereka adalah istisqonya Umar yang bertawassul dengan dzat paman Nabi dan
hadits orang yang buta yang meminta dikembalikan matanya.

Dan beberpa hadits ini dijawab para Ulama yang tidak memperbolehkan bahwasanya yang dimaksud dengan tawassul di sana
adalah permohonan do’a kepada Rasulullah saw dan sebenarnya hadits yang berkaitan dengan orang buta adalah dho’if.

SIKAP SEORANG MUKMIN

Untuk menjaga tauhid dan kesempuranannya, setiap mukmin harus berupaya dan berusaha menjauhkan dirinya dari bentuk
tawassul yang mengandung bid’ah dan dilarang oleh Islam. Karena tawassul yang mengandung nilai kemungkaran ini akan
berpengaruh pada terkabulnya do’a itu sendiri.

Dan seharusnya setiap mukmin memperhatikan do’a-do’a yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah. Tentunya selain
menjaga etika-etika berdo’a yang telah ditetapkan para Ulama seperti yang paparkan Imam Ibnu Qoyyim dalam Kitab Al-Jawaab
Al-Kaafi. Hal ini dimaksudkan agar do’a cepat dan mudah dikabulkan Allah SWT.

Anda mungkin juga menyukai