Anda di halaman 1dari 13

 facebook

 twitter
 Google+
 Linkedin
 Pinterest
 Dribble
 Vimeo
 RSS

Text to sea

Media Pendidikan

 Home
 Tentang Kami
 Archive
 News
 Pendidikan
 Akademik

Home » Akademik » Makalah Psikologi Perkembangan Anak

Makalah Psikologi Perkembangan Anak


Kutipan Indahku

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang psikologi perkembangan usia pre
school,anak. Seorang ahli psikologi, Elizabeth B. Hurlock mengatakan bahwa kurun usia pra
sekolah disebut sebagai masa keemasan (the golden age). Karenanya di usia ini anak
mengalami banyak perubahan baik fisik dan mental, dengan berbagai karakteristik.
Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita. Karena pada masa
ini pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak
selanjutnya. Pada masa ini perkembangan kemampuan berbahasa, kreativitas, kesadaran sosial,
kesadaran emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat. Perkembangan psiko-sosial sangat
dipengaruhi lingkungan dan interaksi antara anak dengan orang tuanya. Perkembangan anak
anak optimal bila interaksi sosial diusahakan sesuai dengan kebutuhan anak pada berbagai
tahap perkembangan.
1.2. Rumusan Masalah
 Apakah yang dimaksud dengan perkembangan?
 Bagaimana teori/pendekatan tentang perkembangan anak usia pra sekolah, anak?
 Bagaimana karakteristik fase perkembangan anak?

1.3. Tujuan Penulisan


Makalah ini membahas tentang bagaimana perkembangan anak pada usia pra sekolah.
Dengan makalah ini diharapkan pendidik dapat memahami dan mengaplikasikan beberapa dari
teori/pendekatan perkembangan anak pada usia pra sekolah.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN PSIKOLOGI PERKEMBANGAN


Berdasarkan beberapa pendapat para ahli, psikologi perkembangan itu dapat diartikan
sebagai berikut.
 “….. that branch of psychology which studies processes of pra and post natal growth and the
maturation of behavior”. Maksudnya adalah “ Psikologi perkembangan merupakan cabang
dari psikologi yang mempelajari proses perkembangan individu, baik sebelum maupun setelah
kelahiran berikut kematangan perilaku”(J.P. Chaplin, 1979).
 Psikologi perkembangan merupakan “cabang psikologi yang mempelajari perubahan tingkah laku
dan kemampuan sepanjang proses perkembangan individu dari mulai masa konsepsi sampai
mati”(Rosta Vasta, dkk., 1992).
Kedua pendapat di atas menunjukan bahwa psikologi perkembangan merupakan salah satu
bidang psikologi yang memfokuskan kajian atau pembahasannya mengenai perubahan tingkah
laku dan proses perkembangan dari masa konsepsi (pra natal) sampai mati.
2.2 BEBERAPA TEORI PERKEMBANGAN ANAK
Dewasa ini ada dua teori atau pendekatan mengenai perkembangan, yaitu pendekatan-
pendekatan perkembangan kognitif, dan belajar atau lingkungan. Disamping itu, dikemukakan
juga pendekatan dari Imam Al-Ghazali.
1. PENDEKATAN PERKEMBANGAN KOGNITIF
a. Model dari Piaget
Menurut Piaget, perkembangan kognitif (intelegensi) anak itu meliputi tiga tahap atau
periode, seperti tampak pada table di bawah ini.
PERIODE USIA DESKRIPSI PERKEMBANGAN
1. Sensorimotor 0-2 tahun Pengetahuan anak diperoleh
melalui interaksi fisik, baik dengan
orang atau objek (benda). Skema-
skemanya baru berbentuk refleks-
refleks sederhana, seperti:
menggenggam atau mengisap.
2. Praoperasional 2-6 tahun Anak mulai menggunakan simbol-
simbol untuk merepresentasi dunia
(lingkungan) secara kognitif.
simbol-simbol itu seperti: kata-kata
dan bilangan yang dapat
menggantikan objek, peristiwa dan
kegiatan (tingkah laku yang
tampak)
3. Operasi Konkret 6-12 tahun Anak sudah dapat membentuk
operasi-operasi mental atas
pengetahuan yang mereka miliki.
Mereka dapat menambah,
mengurangi dan mengubah.operasi
ini memungkinkannya untuk dapat
memecahkan masalah secara logis.

b. Model Pemprosesan Informasi


Pendekatan ini merumuskan bahwa kognitif manusia sebagai suatu sistem yang terdiri atas
tiga bagian: (1) Input, yaitu proses informasi dari lingkungan atau stimulasi (rangsangan)yang
masuk ke dalam reseptor-reseptor pancaindera dalam bentuk penglihatan,suara, dan rasa; (2)
Proses, yaitu pekerjaan otak untuk mentransformasikan informasi atau stimulasi dalam cara
yang beragam, yang meliputi mengolah/menyusun informasi ke dalam bentuk-bentuk
simbolik,membandingkan dengan informasi sebelumnya, memasukkan ke dalam memori dan
menggunakannya apabila diperlukan; dan (3) output, yang bertingkah laku, seperti berbicara,
menulis, interaksi sosial dan sebagainya.
c. Model Kognisi Sosial
Tokoh dari pendekatan ini adalah Lev Vygotsky (1886-1934) ahli psikologi dari
Rusia.Teori ini menekankan tentang kebudayaan sebagai faktor penentu bagi perkembangan
individu. Diyakini, bahwa hanya manusia yang dapat menciptakan kebudayaan dan setiap anak
manusia berkembang dalam konteks kebudayaannya. Kebudayaan memberikan dua kontribusi
terhadap perkembangan intelektual anak. Pertama, anak memperoleh banyak sisi
pemahamannya ; dan Kedua, anak memperoleh banyak cara berpikir, atau alat-alat adaptasi
intelektual.
Singkatnya, kebudayaan telah mengajari anak tentang apa yang telah dipikirkan dan
bagaimana cara berpikir. Lev Vygotsky meyakini bahwa perkembangan kognitif menghasilkan
proses sosio instruksional, yang karenanya anak saling bertukar pengalaman dalam
memecahkan masalah dengan orang lain, seperti orang tua, guru, saudara dan teman sebaya.
Perkembangan merupakan proses internalisasi terhadap kebudayaan yang membentuk
pengetahuan dan alat adaptasi, yang wahana utamanya melalui bahasa atau komunikasi verbal.
2. PENDEKATAN BELAJAR ATAU LINGKUNGAN
Teori-teori belajar atau lingkungan berakar dari asumsi bahwa tingkah laku anak diperoleh
melalui pengkondisian (conditioning) dan prinsip-prinsip belajar. Di sini dibedakan antara
tingkah laku yang dipelajari dengan yang temporer (tidak dapat diamati atau hanya berdasarkan
proses biologis). Dalam hal ini B.F. Skinner membedakan “respondent behavior”dengan
“operant behavior”.
a. Respondent Behavior, merupakan respons yang didasarkan kepada reflex yang dikontrol oleh
stimulus. Respons ini terjadi ketika ada stimulus dan tidak terjadi apabila stimulus itu tidak
ada. Dalam kehidupan manusia, tingkah laku responden terjadi selama masa anak yang
termasuk di dalamnya refleks, seperti : mengisap dan menggenggam. Anak-anak dan juga
orang dewasa biasa menampilkan tingkah laku responden, yaitu dalam bentuk (1) respons
fisiologis (seperti bersin); dan (2) respons emosional (seperti sedih dan marah).
b. Operant Behavior, yaitu tingkah laku suka rela yang dikontrol oleh dampak atau
konsekuennya. Pada umumnya dampak tingkah laku yang menyenangkan cenderung akan
diulang kembali, sedangkan yang tidak menyenangkan cenderung ditinggalkan atau tidak
diulang kembali.
Ada empat tipe cara pengkondisian dalam kegiatan belajar.
1) Habituasi, yaitu bentuk belajar sederhana yang melibatkan tingkah laku resonden dan terjadi
ketika respons refleks menghilang karena diperolehnya stimulus yang sama secara berulang.
Contohnya jika kita bertepuk tangan di dekat anak (bayi), maka dia akan memperlihatkan
respons kekagetannya/ keterkejutannya dengan membalikkan seluruh badannya atau menoleh.
Apabila bertepuk tangan diulang-ulang dengan frekuensi yang relatif sama (seperti 15 detik
sekali) maka respons kekagetannya akan menghilang.
2) Respondent Conditioning (Classical), merupakan salah satu bentuk belajar yang netral,
melibatkan refleks dimana stimulus memperoleh kekuatan untuk mendapatkan respons relektif
(respons tak bersyarat) sebagai hasil asosiasi dengan stimulus tak bersyarat. Stimulus netral
kemudian menjadi stimulus bersyarat.
3) Operant Conditioning, bentuk belajar dimana tingkah laku operan berubah karena
dipengaruhi oleh dampak tingkah laku tersebut. Dampak yang membuat suatu respons terjadi
kembali disebut “reinforcer”. Contoh: (a) seorang anak meminjamkan boneka kepada
temannya, karena dengan melakukan perbuatan tersebut anak itu sering mendapatkan pinjaman
serupa dari anak menangis di Toko Swalayan, karena kebiasaan menangisnya itu
menyebabkan ibunya membelikan boneka atau permen.
4) Discriminating Learning, tipe belajar yang sangat erat dengan “operant conditioning”.
Kadang-kadang tingkah laku yang sama dari anak yang sama menghasilkan dampak yang
berbeda, bergantung pada keadaan; contohnya, kegiatan agresif (menyerang) mungkin akan
mendapat pujian pada saat bermain sepak bola, tetapi akan mendapat hukuman apabila
dilakukan di ruang kelas.
Teori lain dari pendekatan ini adalah model belajar sosial. Model ini sangat dipengaruhi
oleh pemikiran Albert Bandura yang lebih mengajukan peranan faktor-faktor kognitif (anak)
berubah sebagai hasil dari pandangannya terhadap tingkah laku seorang model (seperti orang
tua, guru, saudara, teman, pahlawan dan bintang film). Hal yang sangat penting dari
“modeling” adalah mencontoh tingkah laku yang diobservasi atau mengabstraksinya dalam
bentuk yang umum.
Bandura meyakini bahwa belajar melalui observasi (observasional Learning) atau
“modeling” itu melibatkan empat proses, yaitu sebagai berikut.
1) Attentional, yaitu proses dimana observer atau anak menaruh perhatian terhadap tingkah laku
atau penampilan model (orang yang diimitasi)
2) Retention, yaitu proses yang merujuk kepada upaya anak untuk memasukkan informasi
tentang model, seperti karakteristik penampilan fisiknya, mental, dan tingkah lakunya ke dalam
memori.
3) Production, yaitu proses mengontrol tentang bagaimana anak dapat mereproduksi respons
atau tingkah laku model. Kemampuan mereproduksi ini bisa berbentuk ketrampilan fisik atau
kemampuan mengidentifikasi tingkah laku model.
4) Motivational, yaitu proses pemilihan tingkah laku model yang diimitasi oleh anak. Dalam
proses ini terdapat faktor terpenting yang mempengaruhinya, yaitu “reinforcement” atau
“punishment”, apakah terhadap model atau langsung kepada anak.

3. PENDEKATAN IMAM AL GHAZALI


Al-Ghazali berpendapat bahwa anak dilahirkan dengan membawa fitrah yang seimbang dan
sehat. Kedua orangtuanyalah yang memberikan agama kepada mereka. Demikian pula anak
dapat terpengaruh oleh sifat-sifat yang buruk. Ia mempelajari sifat-sifat yang buruk dari
lingkungan yang dihidupinya, dari corak hidup yang memberikan peranan kepadanya dan dari
kebiasaan-kebiasaan yang dilakukannya. Ketika dilahirkan, keadaan tubuh anak belum
sempurna. Kekurangan ini diatasinya dengan latihan dan pendidikan yang ditunjang dengan
makanan. Demikian pula halnya dengan tabiat yang difitrahkan kepada anak, yang merupakan
kebajikan yang diberikan Al-Khalik kepadanya. Tabiat ini dalam keadaan berkekurangan
(dalam keadaan belum berkembang dengan sempurna). Dan mungkin dapat disempurnakan
serta diperindah dengan pendidikan yang baik, yang oleh Al-Ghazali dipandang sebagai salah
satu proses yang penting dan tidak mudah.
Al-Ghazali mengatakan bahwa penyembuhan badan memerlukan seorang dokter yang tahu
tentang tabiat badan serta macam-macam penyakitnya dan tentang cara-cara penyembuhannya.
Demikian pula halnya dengan penyembuhan jiwa dan pendidikan akhlak. Keduanya
membutuhkan pendidik yang tahu tentang tabiat dan kekurangan jiwa manusia serta tentang
cara memperbaiki dan mendidiknya. Kebodohan dokter akan merusak kesehatan orang sakit.
Begitu pun kebodohan guru dan pendidik akan merusak akhlak muridnya. Sesungguhnya setiap
penyakit mempunyai obat dan cara penyembuhannya. Al-Ghazali berkata :
“…. Demikianlah guru yang diikuti, yang mengobati jiwa murid-muridnya dan hati orang-
orang yang diberi petunjuk, hendaknya tidak membebani mereka dengan berbagai latihan dan
tugas dalam bidang khusus dengan beban metode yang khusus pula sebelum ia mengetahui
akhlak serta penyakit mereka. Apabila dokter mengobati seluruh pasien dengan obat yang
sama, maka ia akan membunuh banyak manusia. Demikian pula halnya dengan guru. Apabila
ia mengarahkan seluruh murid kepada satu macam pola yang sama, niscaya ia akan
menghancurkan mereka dengan mematikan hati mereka. Oleh karena itu, hendaknya guru
memperhatikan penyakit, keadaan, usia dan tabiat serta motivasi peserta didiknya. Atas dasar
itulah hendaknya ia memprogram pendidikannya”.
Al-Ghazali tidak menganjurkan penggunaan satu metode saja dalam menghadapi
permasalahan akhlak serta pelaksanaan pendidikan anak. Dia menganjurkan agar guru memilih
metode pendidikan sesuai dengan usia dan tabiat anak, daya tangkap dan daya tolaknya (daya
persepsi dan daya rejeksinya), sejalan dengan situasi kepribadiannya. Dengan ini, sekali-kali
Al-Ghazali memperhatikan masalah perbedaan individual di dalam melaksanakan pendidikan.
Dalam upaya mengembangkan akhlakul karimah (akhlak mulia)anak, ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan, yaitu:
a. Menjauhkan anak dari pergaulan yang tidak baik
b. Membiasakan anak untuk bersopan santun
c. Memberikan pujian kepada anak yang melakukan amal shaleh, misalnya berbuat sopan dan
mencela anak yang melakukan kezaliman/kelaliman
d. Membiasakannya mengenakan pakaian yang putih (bagus), bersih dan rapi
e. Mencegah anak untuk tidur di siang hari
f. Menganjurkan mereka untuk berolah raga
g. Menanamkannya sikap sederhana
h. Mengizinkannya bermain setelah belajar

2.3 KARAKTERISTIK FASE PERKEMBANGAN PADA PRASEKOLAH ( USIA TAMAN


KANAK – KANAK ) DAN ANAK

A. FASE PRA SEKOLAH


1. PERKEMBANGAN FISIK
Perkembangan fisik anak ditandai juga dengan berkembangnya kemampuan atau
keterampilan motorik, baik yang kasar maupun yang lembut. Kemampuan motorik tersebut
dapat dideskripsikan sebagai berikut.
USIA KEMAMPUAN MOTORIK KEMAMPUAN MOTORIK
KASAR LEMBUT / HALUS
3 – 4 tahun 1. Naik dan turun tangga 1. Menggunakan krayon
2. Meloncat dengan dua kaki 2. Menggunakan benda / alat
3. Melempar bola 3. Meniru bentuk ( meniru gerakan
orang lain )

4 – 6 tahun 1. Meloncat 1. Menggunakan pensil


2. Mengendarai sepeda anak 2. Menggambar
3. Menangkap bola 3. Memotong dengan gunting
4. Bermain olahraga 4. Menulis huruf cetak

2. PERKEMBANGAN INTELEKTUAL
Secara ringkas perkembangan intelektual masa prasekolah ini dapat dilihat pada tabel
berikut.
PERIODE DESKRIPSI
Praoperasional 1. Mampu berpikir dengan menggunakan simbol (symbolic function).
2. Berpikirnya masih dibatasi oleh persepsinya. Mereka meyakini apa
yang dilihatnya, dan hanya terfokus kepada satu atribut / dimensi
terhadap satu objek dalam waktu yang sama. cara berpikir mereka
bersifat memusat ( centering ).
3. Berpikirnya masih kaku tidak fleksibel. Cara berpikirnya berfokus
kepada keadaan awal atau akhir dari suatu transformasi, bukan
kepada transformasi itu sendiri yang mengantarai keadaan tersebut.
Contohnya: Anak mungkin memahami bahwa dia lebih tua dari
adiknya, tetapi mungkin tidak memahaminya, bahwa adiknya lebih
muda dari dirinya.
4. Anak sudah mulai mengerti dasar – dasar mengelompokkan
sesuatu atau dasar satu dimensi, seperti atas kesamaan warna,
bentuk dan ukuran.

3. PERKEMBANGAN EMOSIONAL
Beberapa jenis emosi yang berkembang pada masa anak, yaitu sebagai berikut.
a. Takut, yaitu perasaan terancam oleh suatu objek yang dianggap membahayakan. Rasa takut
terhadap sesuatu berlangsung melalui tahapan: (1) mula – mula tidak takut, karena anak belum
sanggup melihat kemungkinan bahaya yang terdapat dalam objek, (2) timbul rasa takut setelah
mengenal adanya bahaya, dan (3) rasa takut bisa hilang kembali setelah mengetahui cara – cara
menghindar dari bahaya.
b. Cemas, yaitu perasaan takut yang bersifat khayalan, yang tidak ada objeknya. kecemasan ini
muncul mungkin dari situasi – situasi yang dikhayalkan, berdasarkan pengalaman yang
diperoleh, baik perlakuan orangtua, buku – buku bacaan/komik, radio, atau film. Contoh
perasaan cemas: anak berda di dalam kamar yang gelap, takut hantu dan sebagainya.
c. Marah, merupakan perasaan tidak senang, atau benci baik terhadap orang lain, diri sendiri,
atau objek tertentu, yang diwujudkan dalam bentuk verbal ( kata – kata kasar / makian / sumpah
serapah ), atau nonverbal ( seperti mencubit, memukul, menampar, menendang, dan merusak
). Perasaan marah ini merupakan reaksi terhadap situasi frustasi yang dialaminya, yaitu
perasaan kecewa atau perasaan tidak senang karena adanya hambatan terhadap pemenuhan
keinginannya. Pada masa ini rasa marah sering terjadi karena: (1) banyak stimulus yang
menimbulkan rasa marah, dan (2) banyak anak yang menemukan bahwa marah merupakan
cara yang baik untuk mendapatkan perhatian atau memuaskan keinginannya. Berbagai
stimulus yang menimbulkan perasaan marah, di antaranya: rintangan atas kebutuhan
jasmaniah, gangguan terhadap gerakan – gerakan anak yang ingin dilakukannya, rintangan
terhadap kegiatan yang sedang berlangsung, rintangan terhadap keinginan – keinginannya, atau
kejengkelan – kejengkelan yang menumpuk. Sumber perasaan marah bisa berasal dari diri
sendiri (seperti, ketidakmampuan dan kelemahan/kecacatan diri), atau orang lain (orangtua,
saudara, guru dan teman sebaya).
d. Cemburu, yaitu perasaan tidak senang terhadap orang lain yang dipandang telah merebut kasih
saying dari seseorang yang telah mencurahkan kasih saying kepadanya. Sumber yang
menimbulkan rasa cemburu selalu bersifat situasi sosial, hubungan dengan orang lain. Seperti
kakak cemburu kepada adiknya, karena dia telah merebut kasih saying dari orangtuanya.
Perasaan cemburu ini diikuti dengan ketegangan, yang biasanya dapat diredakan dengan reaksi
– reaksi: (1) agresif atau permusuhan terhadap saingan; (2) regresif, yaitu perilaku kekanak –
kanakan, seperti ngompol, atau mengisap jempol; (3) sikap tidak peduli; dan (4) menjauhkan
diri dari saingan.
e. kegembiraan, kesenangan, kenikmatan, yaitu perasaan yang positif, nyaman, karena terpenuhi
keinginannya. Kondisi yang melahirkan perasaan gembira pada anak, diantaranya terpenuhi
kebutuhan jasmaniah ( makan dan minum ), keadaan jasmaniah yang sehat, diperolehnya kasih
sayang, ada kesempatan untuk bergerak ( bermain secara leluasa ), dan memiliki mainan yang
disenanginya.
f. Kasih sayang, yaitu perasaan senang untuk memberikan perhatian, atau perlindungan terhadap
orang lain, hewan atau benda. Perasaan ini berkembang berdasarkan pengalamannya yang
menyenangkan dalam berhubungan dengan orang lain (orangtua, saudara, dan teman), hewan
(seperti, kucing dan burung), atau benda (seperti mainan). Kasih sayang anak kepada orangtua
atau saudaranya, amat dipengaruhi oleh iklim emosional dalam keluarganya. Apabila orangtua
dan saudaranya menaruh kasih sayang kepada anak, maka dia pun akan menaruh kasih sayang
kepada mereka.
g. Phobi, yaitu perasaan takut terhadap objek yang tidak patut ditakutinya ( takut yang abnormal
), seperti takut ulat, takut kecoa, dan takut air. Perasaan ini muncul akibat perlakuan orangtua
yang suka menakut – nakuti anak, sebagai cara orangtua untuk menghukum, atau
menghentikan perilaku anak yang tidak disenanginya.
h. Ingin tahu ( curiosity ), yaitu perasaan ingin mengenal, mengetahui segala sesuatu atau objek
– objek, baik yang bersifat fisik maupun nonfisik. Perasaan ini ditandai dengan pertanyaan –
pertanyaan yang diajukan anak. Seperti anak bertanya tentang dari mana dia berasal, siapa
Tuhan, dan di mana Tuhan berada. Masa bertanya ( masa haus nama ) ini dimulai pada usia 3
tahun dan mencapai puncknya pada usia sekitar 6 tahun.
4. PERKEMBANGAN BAHASA
Perkembangan bahasa anak usia prasekolah, dapat diklasifikasikan ke dalam dua
tahap ( sebagai kelanjutan dari dua tahap sebelumnya ) yaitu sebagai berikut.
a. Masa ketiga ( 2,0 – 6,0 ) yang bercirikan
1) Anak sudah mulai bisa menyusun kalimat tunggal yang sempurna.
2) Anak sudah mampu memahami tentang perbandingan, misalnya burung pipit lebih kecil
dari burung perkutut, anjing lebih besar dari kucing.
3) Anak banyak menanyakan nama dan tempat: apa, di mana dan dari mana.
4) Anak sudah banyak menggunakan kata – kata yang berawalan dan yang berakhiran.
b. Masa keempat ( 2,6 – 6,0 ) yang bercirikan
1) Anak sudah dapat menggunakan kalimat majemuk beserta anak kalimatnya.
2) Tingkat berpikir anak sudah lebih maju, anak banyak menanyakan soal waktu – sebab akibat
melalui pertanyaan – pertanyaan: kapan, ke mana, mengapa, dan bagaimana.
5. PERKEMBANGAN SOSIAL
Tanda – tanda perkembangan sosial pada tahap ini adalah:
a. Anak mulai mengetahui aturan – aturan, baik dilingkungan keluarga maupun
dalam lingkungan bermain.
b. Sedikit demi sedikit anak sudah mulai tunduk pada peraturan.
c. Anak mulai menyadari hak atau kepentingan orang lain.
d. Anak mulai dapat bermain bersama anak – anak lain, atau teman sebaya(neer group).
Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh sosiopsikologis keluarganya. Apabila di
lingkungan keluarga tecipta suasana yang harmonis, saling memperhatikan, saling membantu
( bekerja sama ) dalam menyelesaikan tugas – tugas keluarga atau anggota keluarga, terjalin
komunikasi antar anggota keluarga, dan konsisten dalam melaksanakan aturan, maka anak akan
memiliki kemampuan, atau penyesuaian sosial dalam berhubungan dengan orang lain.
Kematangan penyesuaian sosial anak akan sangat terbantu, apabila anak dimasukkan ke
Taman Kanak – Kanak. TK sebagai “ jembatan bergaul “ merupakan tempat yang memberikan
peluang kepada anak untuk belajar memperluas pergaulan sosialnya, dan menaati peraturan (
kedisiplinan ).
6. PERKEMBANGAN BERMAIN
Usia anak pra sekolah dapat dikatakan sebagai masa bermain, karena setiap waktunya
diisi dengan kegiatan bermain. Yang dimaksud dengan kegiatan bermain disini adalah suatu
kegiatan yang dilakukan dengan kebebasan batin untuk memperoleh kesenangan. Terdapat
beberapa macam permainan anak (Abu Ahmadi, 1977), yaitu sebagai berikut.
a. Permainan Fungsi (permainan gerak), seperti meloncat-loncat, naik dan turun tangga, berlari-
larian, bermain tali dan bermain bola.
b. Permainan Fiksi , seperti menjadikan kursi sebagai kuda, main sekolah-sekolahan, dagang-
dagangan, perang-perangan dan masak-masakan.
c. Permainan Reseptif atau Apresiatif, seperti mendengarkan cerita atau dongeng, melihat
gambar dan melihat orang melukis.
d. Permainan Membentuk (konstruksi), seperti membuat kue dari tanah liat, membuat gunung
pasir, membuat kapal-kapalan dari kertas, membuat gerobak dari kulit jeruk, membentuk
bangunan rumah-rumahan dai potongan-potongan kayu (plastik) dan membuat senjata dari
pelepah daun pisang.
e. Permainan Prestasi, seperti sepak bola, bola voli, tenis meja dan bola basket.
Secara psikologis dan pedagogis, bermain mempunyai nilai-nilai yang sangat berharga bagi
anak, di antaranya :
a. Anak memperoleh perasaan senang, puas, bangga atau berkatarsis (peredaan ketegangan),
b. Anak dapat mengembangkan sikap percaya diri, tanggung jawab dan kooperatif (mau bekerja
sama),
c. Anak dapat mengembangkan daya fantasia tau kreativitas (terutama permainan fiksi dan
konstruksi).
d. Anak dapatmengenal aturan atau norma yang berlaku dalam kelompok serta belajar untuk
menaatinya,
e. Anak dapat memahami bahwa baik dirinya maupun orang lain, sama-sama mempunyai
kelebihan dan kekurangan,
f. Anak dapat mengembangkan sikap sportif, tenggang rasa atau toleran terhadap orang lain.

7. PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN
Aspek-aspek perkembangan kepribadian anak itu meliputi hal-hal berikut.
a. Dependency & Self-Image
Konsep anak pra sekolah tentang dirinya sulit dipahami dan dianalisis, karena
ketrampilan bahasanya belum jelas dan pandangannya terhadap orang lain masih egosentris.
Mereka memiliki sistempandanga dan persepsi yang kompleks, tapi belum dapat menyatakan.
Perkembangan sikap “Independensi” dan kepercayaan diri (self confidence) anak amat terkait
dengan cara perlakuan orang tuanya. Sebagai orang tua, mereka memberikan perlindungan
kepada anak dari sesuatu yang membahayakan dan dari kefrustasian. Gaya perlakuan orang tua
kepada anak, ternyata sangat beragam, ada yang terlalu memanjakan, bersikap keras,
penerimaan dan kasih sayang, dan acuh tak acuh (permisif). Masing-masing perlakukan itu
cenderung memberikan dampak yang beragam bagi kepribadian anak.
Anak yang biasa dihukum karena pelanggaran biasa dengan tidak memberikan kasih
sayang atau perhatian kepadanya, maka anak tersebut cenderung lebih dependen daripada anak
yang diikuti keinginannya dengan pengasuhan atau perhatian yang cukup dari orangtuanya
dirumah, maka ia akan menuntut perhatian dari guru pada saat dia sudah masuk TK.
Namun apabila perlindungan orang tua itu terlalu berlebihan (terlalu memanjakan)
maka anak cenderung kurang bertanggung jawab dan kurang mandiri (senantiasa meminta
bantuan kepada orang lain). Salah satu penelitian Braumbrind (Ambron, 1981) menemukan
bahwa anak yang orang tuanya memberikan pengasuhan atau perawatan yang penuh
kehangatan dan pemahaman serta memberikan arahan atau tuntunan (pemberian tugas sesuai
dengan umurnya), maka anak akan memiliki rasa percaya diri (self-confidence), bersikap
ramah, mempunyai tujuan yang jelas dan mampu mengontrol (mengendalikan) diri. Sementara
anak yang di kembangkan dalam keluarga yang memperturutkan semua keinginan anak dan
bersikap persimif, cenderung mengembangkan pribadi anak yang kurang memiliki arah hidup
yang jelas dan kurang percaya diri.
b. Initiative vs Guilt
Erik erikson mengemukakan suatu teori bahwa anak prasekolah mengalami suatu krisis
perkembangan, karena mereka menjadi kurang dependen dan mengalami konfliks antara
“Initiative dan Guilt”. Anak berkembang, baik secara fisik maupun kemampuan intelektual
serta berkembangnya rasa percaya diri untuk melakukan sesuatu. Mereka menjadi lebih mampu
mengontrol lingkungan fisik sebagaimana ia mampu mengotrol tubuhnya. Anak mulai
memahami bahwa orang lain memiliki perbedaan dengan dirinya, baik menyangkut persepsi
maupun motivasi (keinginan) dan mereka menyenangi kemampuan dirinya untuk melakukan
sesuatu.
Perkembangan ini semua mendorong lahirnya apa yang disebut Erikson
dengan initiative (inisiatif). Pada tahap ini, anak sudah siap dan berkeinginan untuk belajar dan
bekerja sama dengan orang lain untuk mencapai tujuannya. Yang berbahaya pada tahap ini,
adalah tidak tersalurkannya energi yang mendorong anak untuk aktif (dalam rangka memenuhi
keinginannya), karena mengalami hambatan atau kegagalan, sehingga anak
mengalami guilt (rasa bersalah). Perasaan bersalah ini berdampak kurang baik bagi
perkembangan kepribadian anak, dia bisa menjadi nakal atau pendiam (kurang bergairah).
Faktor eksternal yang mungkin menghambat perkembangan inisiatif anak, diantaranya
: (1) tuntutan kepada anak di luar kemampuannya, (2) sikap keras orang tua/guru dalam
memperlakukan anak, (3) terlalu banyak larangan dan (4) anak kurang mendapat dorongan
atau peluang untuk berani mengungkapkan perasaannya, pendapatnya atau keinginannya.
8. PERKEMBANGAN MORAL
Pada masa ini, anak sudah memiliki dasar tentang sikap moralitas terhadap kelompok
sosialnya (orang tua, saudara dan teman sebaya). Melalui pengalaman berinteraksi dengan
orang lain (orang tua, saudara dan teman sebaya) anak belajar memahami tentang kegiatan atau
perilaku mana yang baik/boleh/diterima/disetujui atau buruk/tidak boleh/ditolak/tidak
disetujui. Berdasarkan pemahamannya itu, maka pada masa ini anak harus dilatih atau
dibiasakan mengenai bagaimana ia harus bertingkah laku (seperti, mencuci tangan sebelum
makan, menggosok gigi sebelum tidur dan membaca basmalahsebelum makan).
Pada saat mengenalkan konsep-konsep baik-buruk, benar-salah, atau menanamkan disiplin
pada anak, orang tua atau guru hendaknya memberikan penjelasan tentang alasannya. Seperti
(1) mengapa menggosok gigi sebelum tidur itu baik, (2) mengapa sebelum makan harus
memcuci tangan; atau (3) mengapa tidak boleh membuang sampah sembarangan. Penanaman
disiplin dengan disertai alasannya ini, diharapkan akan mengembangkan self-controlatau self-
discipline (kemampuan mengendalikan diri, atau mendisplinkan diri berdasarkan kesadaran
sendiri) pada anak. Apabila penanaman disiplin ini tidak diiringi penjelasan tentang alasannya,
atau bersifat doktriner, biasanya akan melahirkan sikap disiplin buta, apalagi jika disertai
dengan perlakuan yang kasar.
Pada usia pra sekolah berkembang kesadaran sosial anak, yang meliputi sikap empati,
“generosity” (murah hati) atau sikap “altruism” yaitu kepedulian terhadap kesejahteraan orang
lain. Sikap ini merupakan lawan dari egosentris atau “selfishness” (mementingkan diri sendiri).
Hasil pengamatan terhadap anak usia pra sekolah, membuktikan bahwa mereka tidak
hanya menyadari bahwa orang lain memiliki perasaan, tetapi juga mereka aktif mencoba untuk
memahami perasaan-perasaan orang laintersebut. Contohnya, ada seorang anak berusia 2,5
tahun memberikan boneka terhadap anak lain yang sedang menangis. Ini menunjukan
pemahaman anak, tidak hanya berkaitan dengan kasih sayang dan pemeliharaan yang mereka
terima, tetapi juga berkaitan dengan pola atau gaya kedisiplinan orang tuanya (Ambron, 1981
: 340-341).
Dalam rangka membimbing perkembangan moral anak pra sekolah ini, sebaiknya orang
tua atau guru-guru TK, melakukan upaya-upaya berikut.
a. Memberikan contoh atau teladan yang baik, dalam berperilaku atau bertutur kata.
b. Menanakan kedisiplinan kepada anak, dalam berbagai aspek kehidupan, seperti memelihara
kebersihan atau kesehatan dan tata krama atau berbudi pekerti luhur.
c. Mengembangkan wawasan tentang nilai-nilai moral kepada anak, baik melalui pemberian
informasi atau melalui cerita seperti tentang : riwayat orang-orang yang baik (para nabi dan
pahlawan) dunia bintang yang mengisahkan tentang nilai kejujuran, kedermawanan,
kesetiakawanan atau kerajinan.
9. PERKEMBANGAN KESADARAN BERAGAMA
Kesadaran beragama pada usia ini ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut.
a. Sikap keagamaannya bersifat reseptif (menerima) meskipun banyak bertanya.
b. Pandangan ketuhanannya bersifat anthropormorph(dipersonifikasikan).
c. Penghayatan secara rohaniah masih superficial (belum mendalam) meskipun mereka telah
melakukan atau berpartisipasi dalam berbagai kegiatan ritual.
d. Hal ketuhanan dipahamkan secara ideosyncritic (menurut khayalan pribadinya) sesuai dengan
taraf berpikirnya yang masih bersifat egosentrik (memandang segala sesuatu dari sudut
dirinya)(Abin Syamsuddin Makmun, 1996)
Pengetahuan anak tentang agama terus berkembang berkat : (1) mendengarkan ucapan-
ucapan orang tua, (2) melihat sikap perilaku orang tua dalam mengamalkan ibadah; dan (3)
pengalaman dan meniru ucapan atau perbuatan orang tuanya.
Sesuai dengan perkembangan intelektualnya (berpikirnya) yang terungkap dalam
kemampuan berbahasa, yaitu sudah dapat membentuk kalimat, mengajukan pertanyaan dengan
kata-kata: apa, siapa, dimana, dari mana dan kemana: maka pada usia ini kepada anak sudah
dapat diajarkan syahadat, bacaan dan gerakan solat, doa-doa dan Al Quran.
Mengajarkan salat pada usia ini dalam rangka memenuhi tuntunan Rasulullah, bahwa orang
tua harus menyuruh anaknya salat pada usia tujuh tahun, “muruu auladakum bisholaat sab’u
siniin”(suruhlah anak-anakmu salat pada usia 7 tahun).
Dengan demikian, mengajarkan bacaan dan gerakan salat pada usia ini adalah dalam rangka
mempersiapkan dia untuk dapat melaksanakan salat pada usia tujuh tahun tersebut.
Adapun doa-doa yang diajarkan : (1) doa sebelum makan dan sesudahnya, (2) doa berangkat
dari rumah, (3) doa tidur, (4) doa untuk orang tua, (5) doa keselamatan/kebahagiaan di dunia
dan di akherat.
Di samping mengajarkan hal-hal diatas, kepada anak pun diajarkan atau dilatihkan tentang
kebiasaan-kebiasaan melaksanakan akhlakul karimah, seperti (1) mengucapkan salam; (2)
membacakan basmalah pada saat akan mengerjakan sesuatu; (3) membacakan hamdalah pada
saat mendapatkan kenikmatan dan setelah mengerjakan sesuatu; (4) menghormati orang lain;
(5) memberi shodaqoh; (6) memelihara kebersihan (kesehatan) baik dari diri sendiri maupun
lingkungan (seperti mandi, menggosok gigi, dan membuang sampah pada tempatnya).
B. FASE SEKOLAH ANAK
1. PERKEMBANGAN INTELEKTUAL
Kemampuan intelektual pada masa ini sudah cukup untuk menjadai dasar diberikannya
berbagai kecakapan yang dapat mengembangkan pola pikir atau daya nalarnya. Kepada anak
sudah dapat diberikan dasar-dasar keilmuan,seperti membaca, menulis dan berhitung.
Disamping itu, kepada anak diberikan juga pengetahuan-peangetahun tentang manusia, hewan,
lingkungan alam sekitar dan sebagainya. Untuk mengembangkan daya nalarnya dengan
melatih anak untuk mengungkapkan pendapat, gagasan, atau penilaiannya terhadapa berbagai
hal, baik yang dialaminya maupun peristiwa yang terjadi dilingkungannya. Misalnya, yang
berkaitan dengan materi pelajaran, tata tertib sekolah, pergaulan yang baik dengan teman
sebaya atau orang lain dan sebagainya.
2. PERKEMBANGAN BAHASA
Terdapat dua faktor penting yang mempengaruhi perkembangan bahasa, yaitu sebagai
berikut.
a. Proses jadi matang, dengan perkataan lain anak itu menjadi matang (organ-organ suara/bicara
sudah berfungsi) untuk berkata-kata.
b. Proses belajar, yang berarti bahwa anak yang telah matang berbicara lalu mempelajari bahasa
orang lain dengan jalan mengimitasi atau meniru ucapan atau kata-kata yang didengarnya.
Kedua proses ini berlangsung sejak masa bayi dan kanak-kanak, sehingga pada usia anak
memasuki sekolah dasar, sudah sampai pada tingkat : (1) dapat membuat kalimat yang lebih
sempurna, (2) dapat membuat kalimat majemuk, (3) dapat menyusun dan mengajukan
pertanyaan.

3. PERKEMBANGAN SOSIAL
Maksud perkembangan sosial ini adalah pencapaian kematangan dalam hubungan
sosial. Pada usisa ini, anak mulai memiliki kesanggupan menyesuaikan diri sendiri (egosentris)
kepada sikap yang kooperatif (bekerja sama) atau sosio sentries (mau memerhatikan
kepentingan orang lain). Anak dapat berminat terhadap kegiatan-kegiatan teman sebayanya,
dan bertambah kuat keinginannya untuk diterima menjadi anggota kelompok (gang), dia mera
tdak senang apabila tidak diterima dalam kelompoknya.
Berkat perkembangan sosial, anak dapat menyesuaikan dirinya dengan kelompok teman
sebaya maupun dengan lingkungan masyarakat sekitarnya.
4. PERKEMBANGAN EMOSI
Emosi merupakan faktor dominan yang mempengaruhi tingkah laku individu, dalam
hal ini termasuk pula prilaku belajar. Emosi yang positif, seperti perasaan senang, bergairah,
bersemangat atau rasa ingin tau akan mempengaruhi individu untuk mengonsentrasikan dirinya
terhadap aktifitas belajar, seperti memperhatikan penjelasan guru, membaca buku, aktif dalam
berdiskusi, mengerjakan tugas, dan disiplin dalam belajar.
Sebaliknya, apabila yang menyertai prose situ emosi negatif, seperti perasaan tidak senang,
kecewa, tidak bergairah, maka proses belajar akan mengalami hambatan, dalam arti individu
tidak dapat memusatkan perhatiaanya untuk belajar sehingga kemungkinan besar ia akan
mengalami kegagalan dalam belajarnya. Mengingat hal tersebut, maka guru seyogyanya
mempunyai kepedulian untuk memciptakan situasi belajar yang menyenangkan atau kondusif
bagi terciptanya proses belajar mengajar yang efektif.
5. PERKEMBANGAN MORAL
Anak mulai mengenal konsep moral (mengenal benar salah atau baik-buruk) pertama
kali dari lingkungan keluarga. Pada mulanya, mungkin anak tidak mengerti konsep moral ini,
tetapi lambat laun anak akan memahaminya. Usaha menanamkan konsep moral sejak usia dini
(pra sekolah) merupakan hal yang seharusnya, karena informasi yang diterima anak mengenai
benar salah atau baik buruk akan menjadi pedoman pada tingkah lakunya dikemudian hari.
Pada usia sekolah dasar, anak sudah dapat mengikuti pertautan atau tuntutan dari orang
tua atau lingkungan sosialnya. Pada akhir usia ini, anak sudah dapat memahami alasan yang
mendasari suatu peraturan. Disamping itu, anak sudah dapat mengasosiasikan setiap bentuk
perilaku dengan konsep benar salah atau baik buruk. Misalnya, dia memandang atau menilai
bahwa perbuatan nakal, berdusta, dan tidak hormat kepada orang tua merupakan suatu yang
salah atau buruk. Sedangkan perbuatan jujur, adil, dan sikap hormat kepada orang tua dan guru
merupakan suatu yang benar atau baik.
6. PERKEMBANGAN PENGHAYATAN KEAGAMAAN
Pada masa ini, perkembangan penghayatan keagamaannya ditandai dengan ciri-ciri sebagai
berikut.
a. Sikap keagamaan bersifat reseptif disertai dengan pengertian.
b. Pandangan dan paham ketuhanan diperolehnya secara rasional berdasarkan kaidah-kaidah
logika yang berpedoman pada indicator alam semesta sebagai manifestasi dari keagungannya.
c. Penghayatan secar rohaniyah semakin mendalam, pelaksanaan kegiatan ritual diterimanya
sebagai keharusannya (Abin Syamsuddin M, 1996).
7. PERKEMBANGAN MOTORIK
Seiring dengan perkembangan fisiknya yang beranjak matang, maka perkembangan
motorik anak sudah dapat terkoordinasi dengan baik. Setiap gerakannya sudah selaras dengan
kebutuhan atau minatnya. Pada masa ini ditandai dengan kelebihan gerak atau aktivitas motorik
yang lincah. Oleh karena itu, usia ini merupakan masa ideal untuk belajar keterampilan yang
berkaitan dengan mtorik ini, seperti menulis, menggambar, melukis, mengetik (komputer),
berenang, main bola dan atletik.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
 Seorang ahli psikologi, Elizabeth B. Hurlock mengatakan bahwa kurun usia pra sekolah
disebut sebagai masa keemasan (the golden age). Karenanya di usia ini anak mengalami
banyak perubahan baik fisik dan mental, dengan berbagai karakteristik.
 Ada dua teori atau pendekatan mengenai perkembangan, yaitu pendekatan-pendekatan
perkembangan kognitif, dan belajar atau lingkungan. Dikemukakan juga pendekatan dari
Imam Al-Ghazali.
 Dalam upaya mendidik atau membimbing anak agar mereka dapat mengembangkan potensi
dirinya seoptimal mungkin maka bagi para pendidik, orangtua, atau siapa saja yang
berkepentingan dalam pendidikan anak, perlu dianjurkan untuk memahami perkembangan
anak
 Ada 9 karakteristik fase pra sekolah anak:
 Perkembangan Fisik
 Perkembangan Intelektual
 Perkembangan Emosional
 Perkembangan Bahasa
 Perkembangan Sosial
 Perkembangan Bermain
 Perkembangan Kepribadian
 Perkembangan Moral
 Perkembangan Kesadaran Beragama
 Ada 7 karakteristik fase sekolah anak:
 Perkembangan Intelektual
 Perkembangan Bahasa
 Perkembangan Sosial
 Perkembangan Emosi
 Perkembangan Moral
 Perkembangan Penghayatan Keagamaan
 Perkembangan Motorik
3.2Saran
Kami menyadari akan kekurangan dalam makalah ini, maka pembaca dapat menggali
kembali sumber-sumber lainnya, untuk menyempurnakannya. Jadi kami harapkan kritik yang
membangun dari anda sekalian, untuk kami lebih bisa baik dan sempurna lagi dalam
pembuatan makalah ini selanjutnya. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi para
pembacanya

DAFTAR PUSTAKA

Nurhayati Eti. 2011. Psikologi Pendidikan Inovatif. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.


Yusuf Syamsu. 2004. Psikologi Perkembangan Anak. Bandung : PT REMAJA ROSDA KARYA.

Anda mungkin juga menyukai