Anda di halaman 1dari 57

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Berat badan lahir berperan dalam menentukan masa depan bayi.
Berat lahir yang rendah, yaitu kurang dari 2500 gram menunjukkan
peningkatan risiko mortalitas, morbiditas dan diabilitas neonatus, bayi dan
anak serta memberikan dampak jangka panjang terhadap kehidupannya di
masa depan.1 BBLR bisa disebabkan oleh 2 hal yaitu, Prematuritas Murni
(kehamilan kurang bulan) dan Dismaturitas/KMK (Kecil Masa Kehamilan).2
Kejadian BBLR di dunia adalah sebesar 15%1. Di Asia Tenggara
angka kejadian BBLR mencapai 24% dan yang tertinggi ada pada negara India
persentase 28%.1 Sedangkan di Indonesia terdapat 9% bayi baru lahir BBLR. 3
Bayi BBLR umumnya akan mengalami kesulitan beradaptasi lingkungan yang
baru. Hal tersebut akan berakibat pada terhambatnya pertumbuhan dan
perkembangan bayi. Beberapa efek BBLR adalah menyebabkan anak pendek
3 kali lebih besar dibanding non BBLR, pertumbuhan terganggu dan risiko
malnutrisi.
Pada bayi preterm, biasanya tidak hanya muncul sebagai BBLR
tapi dapat disertai komplikasi lain salah satunya adalah hiperbilirubinemia.
Peningkatan kadar bilirubin merupakan salah satu masalah tersering pada bayi
baru lahir dan pada umumnya merupakan suatu keadaan transisi normal atau
fisiologis yang lazim terjadi pada 60-70% bayi aterm dan pada hampir semua
bayi preterm. Pada kebanyakan kasus, kadar bilirubin yang menyebabkan
ikterus fisiologik, tetapi beberapa kasus hiperbilirubinemia berhubungan
dengan beberapa penyakit.1
Penulis melaporkan sebuah kasus bayi berat lahir rendah dengan
hiperbilirubinemia di Rumah Sakit Umum Pusat dr. Mohammad Hoesin
Palembang. Dengan pembahasan kasus ini, diharapkan pengetahuan pembaca
mengenai BBLR dan hiperbilirubinemia, juga neonatologi secara umum, dapat
bertambah dan diaplikasikan ke praktik sehari-hari.

BAB II
LAPORAN KASUS
2

1. Identifikasi
Nama : By. Ny. YM
Umur : 9 hari
Jenis Kelamin : Perempuan
Berat Badan Lahir : 1500 gram
Panjang Badan Lahir : 42 cm
Agama : Islam
Alamat : Jl. Mutiara I No. 1226, Seberang Ulu I Kota
Palembang
Suku Bangsa : Sumatera
No. Med Reg : 1053312
MRS : 24 Maret 2018

2. Anamnesis (dengan ibu pasien tanggal 2 April 2018 pukul 9.15 WIB)
Keluhan Utama : Bayi berat lahir rendah
Keluhan Tambahan : Kuning

3. Riwayat Perjalanan Penyakit


Pada tanggal 24 Maret 2018, bayi perempuan, lahir di OK IGD
RSMH ditolong oleh dokter residen obgyn, lahir secara SC atas indikasi ibu
G3P2A0 hamil 32 minggu dengan PPI dan oligohidramnion, bayi lahir tidak
langsung menangis, dengan APGAR skor 5/8, tonus otot lemah, bayi
diposisikan, dihangatkan, dibersihkan jalan napas, dilakukan rangsangan
taktil, bayi menangis merintih, bayi dibersihkan kembali kemudian dinilai,
berat badan lahir 1500 gram, panjang badan lahir 42 cm, lingkar kepala 25
cm, refleks hisap baik, BAB (+) dan BAK (+). Riwayat ketuban pecah
sebelum waktunya (+) 2 hari, ketuban berwarna hijau (-) kental (-) berbau (-).
Riwayat injeksi vitamin K (+) 1 mg, riwayat ibu demam perinatal tidak ada.
Riwayat penyakit ibu (-). Setelah dilakukan pengamatan, bayi masih
menangis merintih dengan terlihat sesak nafas. Bayi kemudian langsung
3

dirawat di bagian NICU RSMH. Selama di NICU bayi mendapatkan bantuan


oksigen BCPAP-PEEP 7 FiO2 40%.
Saat perawatan di NICU hari ke-4, bayi terlihat kuning sampai
setinggi pusat. Dilakukan pemeriksaan bilirubin dengan hasil
hiperbilirubinemia, kemudian bayi di fototerapi. Setelah bayi di rawat di
NICU 8 hari dan mengalami perbaikan sehingga bayi dipindahkan ke
neonatus. BAK seperti teh tua (-), BAK merah (-) BAB sebanyak 3–4 kali
sehari. BAB dempul (-), demam (-), kejang (-), muntah (-), perut membesar
(-). Bayi mendapat ASI sejak lahir.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat ibu sering keputihan selama masa kehamilan (-)
Riwayat ibu trauma pada kehamilan (-)
Riwayat ibu sakit gigi (-)
Riwayat berhubungan intim terakhir (-)
Riwayat ibu dengan darah tinggi (-)
Riwayat ibu sakit hepatitis selama masa kehamilan (-)
Riwayat konsumsi obat-obatan dan jamu-jamuan selama kehamilan (-)
Riwayat transfusi selama kehamilan (-)

Riwayat Sosial Ekonomi


Ayah merupakan seorang pegawai swasta dan ibu merupakan seorang guru.
Kesan: Status ekonomi menengah ke atas.

Riwayat Kehamilan
GPA : G3P2A0
HPHT : 27 Juli 2017
Periksa Hamil : 3 kali (di bidan dan Puskesmas)
Kebiasaan ibu sebelum/selama kehamilan
Minum alkohol : tidak pernah
Merokok : tidak pernah
Makan obat-obatan tertentu : tidak pernah
4

Penyakit atau komplikasi kehamilan ini : tidak ada


Golongan darah ibu : A Rh +
Golongan darah ayah : A Rh +

Riwayat Persalinan
Presentasi : Kepala
Cara persalinan : SC
KPSW : Ada, 2 hari sebelum persalinan
Riwayat demam saat persalinan : tidak ada
Riwayat ketuban kental, hijau, bau : tidak ada

Kondisi Bayi Saat Lahir


Jenis Kelamin : Perempuan
Kelahiran : Tunggal
Kondisi saat lahir : Tidak langsung menangis

4. Pemeriksaan Fisik (dilakukan tanggal 2 April 2018, Pukul 09.30 WIB)


Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Kompos mentis
Berat badan : 1435 gram
Panjang badan : 42 cm
Lingkar kepala : 31 cm
Aktivitas : Sedang
Refleks hisap : Sedang
Tangis : Sedang
Anemis : Tidak ada
Sianosis : Tidak ada
Ikterus : Ada kramer III
Dispnea : Tidak ada
HR : 148 x/menit
Pernafasan : 40 x/menit
5

Suhu : 36,7oC

Keadaan Spesifik
Kepala : Normosefali (LK: 31 cm), UUB datar,
Cephalhematom (-)
Mata : pupil bulat, isokor, refleks cahaya (+/+), mata
cekung
(-), sklera ikterik (-), konjungtiva anemis (-)
Telinga : bentuk normal, mikrotia (-)
Hidung : nafas cuping hidung (-), epistaksis (-), sekret (-)
Mulut : labioskisis (-), hipersalivasi (-)
Trauma lahir : tidak ada
Toraks : bentuk simetris, retraksi (-)
Paru-paru : bunyi nafas vesikuler (+), rhonki (-), wheezing (-)
Jantung : HR: 148x/menit, BJ I-II normal, murmur (-), gallop
(-)
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat, CRT <3”
Genitalia
Jenis kelamin : Perempuan
Labia minor :+
Hernia :-

Refleks Primitif
Oral :+
Moro :+
Tonic neck :+
Withdrawal :+
Plantar graps :+
Palmar graps :+
6

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
(Tanggal 24/03/2018, pukul 13.22 WIB) NICU
Golongan Darah : A Rh+
Hemoglobin (Hb) : 10.7 g/dL
Eritrosit (RBC) : 3.20 x 106/mm3
Leukosit (WBC) : 14.4 x 103/mm3
Hematokrit : 33%
Trombosit : 183 x 103/µL
RDW-CV : 15,10%
LED : 2 mm/jam
Diff. Count : 0/0/55/28/17
IT Rasio : 0.05
CRP Kuantitatif : < 5 mg/L

(Tanggal 28/03/2018, pukul 11.41 WIB) NICU


Hemoglobin (Hb) : 10.7 g/dL
Eritrosit (RBC) : 3.32 x 106/mm3
Leukosit (WBC) : 14.1 x 103/mm3
Hematokrit : 32%
Trombosit : 316 x 103/µL
RDW-CV : 15.10%
LED : 6 mm/jam
Diff Count : 0/1/48/44/6
IT Rasio : 0.08
Bilirubin Total : 15.58 mg/dL
Bilirubin Direk : 0.74 mg/dL
Bilirubin Indirek : 14.84 mg/dL
CRP Kuantitatif : < 5 mg/dL
7

(Tanggal 31/03/2018, pukul 10.26 WIB) NICU


Hemoglobin (Hb) : 9.6 g/dL
Eritrosit (RBC) : 2.99 x 106/mm3
Leukosit (WBC) : 11.9 x 103/mm3
Hematokrit : 28%
Trombosit : 792 x 103/µL
MCV : 94.6 fl
MCH : 32 pg
MCHC : 34%
RDW-CV : 14.50%
LED : 26 mm/jam
Diff Count : 0/2/51/27/20
IT Rasio : 0.05
Bilirubin Total : 12.10 mg/dL
Bilirubin Direk : 0.81 mg/dL
Bilirubin Indirek : 11.29 mg/dL

(Tanggal 31/03/2018, pukul 23.45 WIB) NICU


Hemoglobin (Hb) : 15.6 g/dL
Eritrosit (RBC) : 5.39 x 106/mm3
Leukosit (WBC) : 13.0 x 103/mm3
Hematokrit : 46%
Trombosit : 735 x 103/µL
RDW-CV : 19.00%
LED : 7 mm/jam
Diff Count : 0/2/40/29/28
IT Rasio : 0.05
Bilirubin Total : 11.50 mg/dL
Bilirubin Direk : 0.50 mg/dL
Bilirubin Indirek : 11.00 mg/dL
8

(Tanggal 04/04/2018, Pukul 23.58) R. Neonatus


Bilirubin Total : 6.60 mg/dL
Bilirubin Direk : 0.50 mg/dL
Bilirubin Indirek : 6.10 mg/dL

Rongten Thorax AP

5. Diagnosis Kerja
Neonatus : Neonatus kurang bulan, sesuai masa kehamilan
Lahir : Lahir SC atas indikasi Oligohidramnion
Ibu : G3P2A0 hamil 32 minggu + PPI
Anak : BBLR + HMD grade II + Hiperbilirubinemia

6. Penatalaksanaan
1. IVFD D10 1/5 NS kec. 5 cc/jam
2. Ceftazidim 2 x 85 mg IV
3. Aminofilin 3 x 3 mg IV
9

4. Ferriz drop 1 x 0,5 cc PO


5. ASI/PASI 8 x 20 cc
6. Fototerapi
7. Edukasi pada ibu
8. Observasi tanda vital dan kenaikan berat badan
9. Cegah hipotermi dan hipoglikemia

7. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungsional : dubia ad bonam

8. Follow Up
Tanggal 03 April 2018
S : Bayi berat lahir rendah, Kuning (+)
O: KU= Sens: CM
Aktivitas: aktif HR : 147 x/m Anemis (-) U : 10 hari
Tangis: kuat RR : 42 x/m Ikterik (+) kramer III R : 10 hari
R. Hisap: kuat
Suhu : 36,8oC Sianosis (-) B : 1465 gram
Dyspnea (-) C : 249.05 ml
KS : Kepala : NCH (-), konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Thorax : Simetris, retraksi (-)
Cor : BJ I/II (+) normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Abdomen: Datar, lemas, BU (+) normal, hepar dan lien tidak teraba

Ekstremitas: Akral hangat, CRT < 3 detik


A: NKB-SMK + BBLR + HMD grade II + Hiperbilirubinemia
P:
 IVFD D10 1/5 NS kec. 5 cc/jam
 Ceftazidim 2 x 85 mg IV
 Cafein sitrat 1 x 28 mg PO
 Ferriz drop 1 x 0,5 cc PO
 ASI/PASI 8 x 30 cc
 Fototerapi diteruskan
10

 Cek ulang Bilirubin Direk, Bilirubin Indirek dan Bilirubin Total


Tanggal 04 April 2018
S : Kuning (+)
O: KU= Sens: CM
Aktivitas: sedang HR : 145 x/m Anemis (-) U : 11 hari
Tangis: kuat RR : 46 x/m Ikterik (+) kramer III R : 11 hari
R. Hisap: kuat
Suhu : 37,0 oC Sianosis (-) B : 1465 gram
Dyspnea (-) C : 256,375 ml
KS : Kepala : NCH (-), konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Thorax : Simetris, retraksi (-)
Cor : BJ I/II (+) normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Abdomen: Datar, lemas, BU (+) normal, hepar dan lien tidak teraba

Ekstremitas: Akral hangat, CRT < 3 detik


A: NKB-SMK + BBLR + HMD grade II + Hiperbilirubinemia
P:
 IVFD D10 1/5 NS kec 5 cc/jam
 Ceftazidim 2 x 85 mg IV
 Cafein sitrat 1 x 28 mg PO
 Ferriz drop 1 x 0,5 cc PO
 ASI on demand
 Fototerapi diteruskan

Tanggal 05 April 2018


S : Kuning berkurang
O: KU= Sens: CM
Aktifitas: aktif HR : 152 x/m Anemis (-) U : 12 hari
Tangis: Kuat RR : 50 x/m Ikterik (+) kramer II R : 12 hari
R. Hisap: Kuat
Suhu : 36,5 oC Sianosis (-) B : 1470 gram
Dyspnea (-) C : 264,6 ml
KS : Kepala : NCH (-), konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Thorax : Simetris, retraksi (-)
Cor : BJ I/II (+) normal, murmur(-), gallop(-)
Pulmo : Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Abdomen: Datar, lemas, BU (+) normal, hepar dan lien tidak teraba
11

Ekstremitas: Akral hangat, CRT <3 detik


A: NKB-SMK + BBLR + HMD grade II + Hiperbilirubinemia
P:
 IVFD D10 1/5 NS kec 5 cc/jam
 Ceftazidim 2 x 85 mg IV
 Cafein sitrat 1 x 28 mg PO
 Ferriz drop 1 x 0,5 cc PO
 ASI on demand
 Fototerapi dihentikan

Tanggal 06 April 2018


S : Kuning berkurang
O: KU= Sens: CM
Aktifitas: aktif HR : 145 x/m Anemis (-) U : 13 hari
Tangis: Kuat RR : 50 x/mnt Ikterik (+) kramer I R : 13 hari
R. Hisap: Kuat
Suhu : 36,7 oC Sianosis (-) B : 1475 gram
Dyspnea (-) C : 280,25 ml
KS : Kepala : NCH (-), konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Thorax : Simetris, retraksi (-)
Cor : BJ I/II (+) normal, murmur(-), gallop(-)
Pulmo : Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Abdomen: Datar, lemas, BU (+) normal, hepar dan lien tidak teraba

Ekstremitas: Akral hangat, CRT <3 detik


A: NKB-SMK + BBLR + HMD grade II + Hiperbilirubinemia
P:
 IVFD D10 1/5 NS kec 5 cc/jam
 Ceftazidim 2 x 85 mg IV
 Cafein sitrat 1 x 28 mg PO
 Ferriz drop 1 x 0,5 cc PO
 ASI on demand
Tanggal 07 April 2018
S : Kuning (-)
O: KU= Sens: CM
12

Aktifitas: aktif HR : 143 x/m Anemis (-) U : 14 hari


Tangis: Kuat RR : 47 x/m Ikterik (-) R : 14 hari
R. Hisap: Kuat
Suhu : 36,8 oC Sianosis (-) B : 1475 gram
Dyspnea (-) C : 295 ml
KS : Kepala : NCH (-), konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Thorax : Simetris, retraksi (-)
Cor : BJ I/II (+) normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Abdomen: Datar, lemas, BU (+) N, Hepar dan Lien tidak teraba

Ekstremitas: Akral hangat, CRT <3detik


A: NKB-SMK + BBLR + HMD grade II + Hiperbilirubinemia
P:
 IVFD D10 1/5 NS kec 5 cc/jam
 Ceftazidim 2 x 85 mg IV
 Cafein sitrat 1 x 28 mg PO
 Ferriz drop 1 x 0,5 cc PO
 ASI on demand
13

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. BBLR
3.1.1. Definisi
BBLR (bayi berat lahir rendah) adalah bayi yang lahir dengan berat
lahir kurang dari 2500 gram.3 Berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang
pada saat lahir sampai dengan 24 jam pertama setelah lahir.
BBLR dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu:4
a. Berat bayi lahir rendah, dengan berat kurang dari 2500 gram
b. Berat bayi lahir sangat rendah, dengan berat 1000-1500 gram

c. Berat bayi lahir amat sangat rendah, dengan berat kurang dari 1000
gram.
Sejak tahun 1961, WHO mengganti istilah Premature dengan Low
Birth Weights Infants (bayi dengan berat badan lahir rendah).2 Hal ini
karena tidak semua bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500
gram merupakan bayi prematur.Untuk mendapatkan keseragaman, pada
Kongres European Perinatal Medicine ke II di London (1970) telah
diusulkan definisi sebagai berikut:3
a. Bayi kurang bulan atau preterm ialah bayi dengan kehamilan kurang
dari 37 minggu (< 259 hari)
b. Bayi cukup bulan atau aterm ialah bayi dengan masa kehamilan mulai
37 minggu sampai 42 minggu (259 sampai 293 hari)
c. Bayi lebih bulan atau postterm ialah bayi dengan masa kehamilan
mulai 42 minggu atau lebih (294 hari atau lebih)
Berdasarkan alasan di atas, maka bayi dengan BBLR dapat
dikategorikan menjadi dua yaitu prematuritas murni dan
dismaturitas/Kecil Masa Kehamilan (KMK).
1. Prematuritas Murni
Prematuritas murni yaitu neonatus dengan usia kehamilan kurang
dari 37 minggu dan mempunyai berat badan sesuai untuk masa
14

kehamilannya atau biasa disebut Neonatus Kurang Bulan-Sesuai Masa


Kehamilan, NKB-SMK.4
2. Dismaturitas/Kecil Masa Kehamilan (KMK)
Yaitu berat bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari
semestinya untuk masa gestasi, dengan batasan dibawah percentil ke
10 dilihat dari kurva pertumbuhan dan perkembangan yang dapat
merupakan bayi preterm, aterm, atau postterm. Istilah lain yang
digunakan adalah Small for Gestational Age (SGA). Penyebab
dismaturitas ialah janin mengalami gangguan pertumbuhan didalam
uterus atau Intra Uterine Growth Retardation (IUGR) sehingga
pertumbuhan janin mengalami hambatan. KMK dibagi atas:
a. Simetri, adalah janin yang menderita distres yang lama, dimana
gangguan pertumbuhan terjadi berminggu-minggu sampai
berbulan-bulan sebelum lahir sehingga tampak pertumbuhan otak
dan tulang rangka terganggu dan seringkali berkaitan dengan hasil
akhir perkembangan syaraf yang buruk.
b. Asimetri, terjadi akibat distres sub-akut. Gangguan terjadi
beberapa minggu sampai beberapa hari sebelum janin lahir.
Pertumbuhan jantung, otak dan tulang rangka tampak paling
sedikit terpengaruh, sedangkan ukuran hati, limpa, timus sangat
berkurang dan berat tidak sesuai dengan masa gestasi.
Pertumbuhan alat-alat dalam tubuh bayi prematur kurang
sempurna, karena itu bayi sangat peka terhadap gangguan pernapasan,
infeksi, trauma kelahiran, hipotermi dan sebagainya. Sedangkan bayi
dismatur dapat lebih mudah hidup setelah berada di luar rahim karena
alat-alat tubuh lebih berkembang dibandingkan bayi prematur dengan
berat badan yang sama. Dalam jangka panjang bayi BBLR dapat
mengalami gangguan pertumbuhan, perkembangan, penglihatan,
pendengaran serta penyakit paru kronik.5
15

3.1.2. Faktor Risiko BBLR


a. Paritas
Paritas merupakan jumlah persalinan yang pernah dialami ibu
sebelum kehamilan/persalinan tersebut. Pengelompokan paritas terdiri
dari 4 kelompok, yaitu golongan nullipara (ibu dengan paritas 0),
primipara (ibu dengan paritas 1), multipara (ibu dengan paritas 2-3)
dan grandemultipara (ibu dengan paritas ≥ 4).Kejadian BBLR yang
tinggi pada kelompok ibu dengan paritas rendah dihubungkan dengan
faktor umur ibu yang masih terlalu muda, dimana organ-organ
reproduksi ibu belum tumbuh secara sempurna dan kondisi psikis ibu
yang belum siap.Sementara pada paritas tinggi, hal yang mungkin
terjadi adalah gangguan kesehatan seperti anemia, kurang gizi ataupun
gangguan pada rahim. Hal-hal tersebut dapat mempengaruhi
pertumbuhan janin, yang selanjutnya meningkatkan risiko terjadinya
BBLR.5
b. Umur Kehamilan
Semakin pendek umur kehamilan maka pertumbuhan janin
semakin belum sempurna, baik itu organ reproduksi dan organ
pernapasan oleh karena itu mengalami kesulitan untuk hidup diluar
uterus ibunya.Teori Beck dan Roshental menyatakan bahwa berat
badan bayi bertambah sesuai dengan masa kehamilan. Apabila bayi
lahir pada umur kehamilan yang pendek, maka berat bayi belum
mencapai berat badan normal dan pertumbuhannya belum sempurna.
c. Jarak Kehamilan
Ibu hamil dengan jarak kehamilan dari anak terkecil kurang dari 2
tahun akan meningkatkan risiko terjadinya BBLR. Jarak kehamilan
sebaiknya lebih dari 2 tahun. Jarak kehamilan yang terlalu dekat
menyebabkan ibu punya waktu yang singkat untuk memulihkan
kondisi rahimnya agar bisa kembali ke kondisi sebelumnya.4
d. Riwayat Kehamilan Terdahulu
Riwayat kehamilan dan persalinan seorang ibu memberikan
gambaran mengenai keadaan bayi yang sedang dikandungnya.Angka
16

lahir mati atau kejadian BBLR cenderung meningkat pada ibu-ibu


yang mempunyai riwayat kehamilan buruk. Ibu dengan riwayat
obstetrik yang buruk (BBLR, abortus, kelainan genetik, lahir mati)
sebelumnya cenderung akan berulang pada kehamilan berikutnya.3
e. Komplikasi Kehamilan
Beberapa komplikasi dari kehamilan yaitu hiperemis gravidarum,
preeklamsi dan eklamsi, kehamilan ektopik, kelainan plasenta previa,
solusio plasenta, oligohidromnion, perdarahan antepartum, ketuban
pecah dini, anemia. Komplikasi pada kehamilan ini dapat mengganggu
kesehatan ibu dan pertumbuhan janin dalam kandungan, hal ini
meningkatkan risiko bayi dengan BBLR.
f. Rokok6
Merokok meningkatkan faktor risiko aborsi spontan, placental
disorders, kelainan kongenital, kematian janin dan BBLR. Karbon
monoksida dan nikotin adalah dua bahan kimia yang paling
berpengaruh terhadap janin dan terdapat pada rokok. CO menurunkan
kemampuan membawa oksigen yang cukup pada jaringan janin.
Nikotin meningkatkan tekanan darah janin dan menurunkan angka
pernapasan, Nikotin berefek pada sistem saraf pusat, genitalia, saluran
cerna, dan sistem urinari janin.Dampak rokok bukan hanya dirasakan
pada perokok aktif tetapi juga pada perokok pasif. Orang yang tidak
merokok atau perokok pasif yang terpapar asap rokok akan mengirup
dua kali lipat racun yang dihembuskan oleh perokok aktif.
g. Alkohol6
Konsumsi kronis alkohol dalam jumlah besar oleh ibu pada waktu
hamil menyebabkan hambatan pertumbuhan janin dan seringkali
disertai malformasi fisik dan gangguan intelektual di kemudian hari.

3.1.3. Diagnosis
Menegakkan diagnosis BBLR adalah dengan melakukan
anamnesis untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
terjadinya BBLR, melakukan pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.
17

1. Anamnesis
Riwayat yang perlu ditanyakan pada ibu dalam anamesis untuk
menegakkan mencari etiologi dan faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap terjadinya BBLR:3
Umur ibu
Riwayat hari pertama haid terakir
Riwayat persalinan sebelumnya
Paritas, jarak kelahiran sebelumnya
Kenaikan berat badan selama hamil
Aktivitas
Penyakit yang diderita selama hamil
Obat-obatan yang diminum selama hamil

2. Pemeriksaan Fisik5
Melakukan pemeriksaan APGAR untuk menilai kondisi umum
bayi sesaat setelah kelahiran yang dilakukan pada menit pertama dan
kelima pasca kelahiran dan untuk mengetahui apakah bayi menderita
asfiksia atau tidak. Hal yang dinilai pada skor APGAR adalah usaha
napas, warna kulit, denyut jantung, tonus otot dan reaksi terhadap
rangsang. Setiap penilaian diberi angka 0,1,2.
18

Tabel 1. Perhitungan Nilai APGAR

Pada pemeriksaan fisik, diketahui dari berat badan bayi < 2500
gram. Serta dijumpai tanda-tanda prematuritas seperti tulang rawan
telinga belum terbentuk, refleks lemah, jaringan lemak bawah kulit
sedikit, kulit tipis, merah dan transparan atau terdapatnya tanda-tanda
bayi KMK seperti tengkorak kepala keras, gerakan cukup aktif dan
tangisan cukup kuat, daya mengisap cukup kuat, kulit keriput, lemak
bawah kulit tipis.

3. Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan skor ballard untuk menentukan usia gestasi bayi baru
lahir melalui penilaian neuromuskular dan fisik
- Tes kocok (shake test), dianjurkan untuk bayi kurang bulan untuk
melihat ada tidaknya sindrom gawat napas
- Foto toraks/baby gram pada bayi baru lahir dengan kehamilan
kurang bulan dimulai pada umur 8 jam atau didapat/diperkirakan
terjadi sindrom gawat napas
19

- USG kepala terutama pada bayi dengan kehamilan kurang bulan


dimulai pada umur 2 hari unutk mengetahui adanya hidrosefalus
atau perdarahan intrakranial

Tabel 2. Skor Ballard7

3.1.4. Komplikasi BBLR


Masalah yang terjadi pada bayi dengan berat lahir rendah (BBLR)
terutama yang prematur terjadi karena ketidakmatangan sistem organ pada
bayi tersebut. Masalah pada BBLR yang sering terjadi adalah gangguan
20

pada sistem pernapasan, susunan saraf pusat, kardiovaskuler,


gastrointestinal, hematologi, penglihatan, perkemihan.8
a. Sistem Pernapasan8
Bayi dengan BBLR umumnya mengalami kesulitan untuk bernapas
segera setelah lahir disebabkan oleh jumlah alveoli yang berfungsi
masih sedikit, kekurangan surfaktan (zat di dalam paru yang melapisi
bagian dalam alveoli, sehingga alveoli tidak kolaps pada saat
respirasi), lumen sistem pernapasan yang kecil, kolaps atau obstruksi
jalan napas, insufisiensi kalsifikasi dari tulang thoraks.Hal-hal inilah
yang menganggu usaha bayi untuk bernapas dan sering mengakibatkan
gawat napas (distres pernapasan).Gangguan napas yang sering terjadi
adalahSindrom Gangguang Napas (SGN) dikenal juga sebagai
penyakit Membran Hialin dan Asfiksia.Membran Hialin dapat
mengenai bayi dismatur yang preterm, terutama bila masa gestasinya
kurang dari 35 minggu.
b. Sistem Neurologi (Susunan Saraf Pusat)8
Bayi dengan BBLR umumnya mudah sekali terjadi trauma susunan
syaraf pusat yang disebabkan antara lain; perdarahan intracranial
karena pembuluh darah yang rapuh, trauma lahir, perubahan proses
koagulasi, hipoksia dan hipoglikemia. Sementara itu asfiksia berat
yang terjadi pada BBLR juga sangat berpengaruh pada sistem susunan
syaraf pusat yang diakibatkan karena kekurangan oksigen dan
kekurangan perfusi/iskemia.
c. Sistem Kardiovaskuler8
Patent Ductus Arteriosus (PDA) adalah masalah yang sering terjadi
pada bayi prematur.Sebelum lahir, arteri besar yang disebut ductus
arteriosus memungkinkan darah tidak mengaliri paru-paru bayi.Ductus
biasanya menutup setelah lahir sehingga darah dapat mengalir ke paru-
paru dan mengambil oksigen.Ketika ductus tidak menutup dengan
benar dapat menyebabkan gagal jantung.
d. Sistem Gastrointestinal8
21

Bayi dengan BBLR terutama yang kurang bulan umumnya saluran


pencernaannya belum berfungsi seperti bayi yang cukup bulan. Hal ini
diakibatkan antara lain karena tidak adanya koordinasi mengisap dan
menelan sampai usia gestasi 33-34 minggu, kurangnya cadangan
beberapa nutrisi seperti kurang dapat menyerap lemak dan mencerna
protein, jumlah enzim yang belum mencukupi, waktu pengosongan
lambung yang lambat dan penurunan/tidak adanya motilitas dan
meningkatkan risiko EKN (Enterokolitis Nekrotikans).
e. Sistem Hematologi
Bayi dengan BBLR lebih cenderung mengalami masalah
hematologi yaitu gangguan pada sistem pembentukan darah.
Penyebabnya terutama pada bayi prematur adalah usia sel darah
merahnya lebih pendek, pembentukan sel darah merah yang lambat,
pembuluh darah kapiler mudah rapuh yang dapat menyebabkan
terjadinya anemia, hiperbilirubinemia, Hemmoragic Disease of the
Newborn (HDN).
f. Sistem Penglihatan8
Sistem penglihatan bayi BBLR dapat terganggu karena
ketidakmatangan retina yang dapat menyebabkan Retinopathy Of
Prematurity (ROP). ROP disebabkan karena adanya pertumbuhan
pembuluh darah retina abnormal yang dapat menyebabkan perlukaan
atau lepasnya retina.ROP dapat berlangsung ringan dan membaik
dengan sendirinya, tetapi bisa juga menjadi serius dan mengakibatkan
kebutaan. Semua bayi dengan berat lahir kurang dari 1500 gram atau
usia kehamilan kurang dari 32 minggu berisiko mengalami ROP.
Semakin rendah berat lahir atau usia kehamilan maka semakin tinggi
pula risiko terjadinya ROP. Bayi dengan ROP berisiko besar terjadi
strabismus (juling), katarak, kelainan refraksi (rabun jauh) sampai
kebutaan.
g. Sistem Perkemihan8
Terdapatnya masalah pada sistem perkemihan, dimana ginjal bayi
tersebut belum matang sehingga tidak mampu mengelola air, elektrolit
22

dan asam-basa, tidak mampu mengeluarkan hasil metabolisme dan


obat-obatan dengan memadai serta tidak mampu memekatkan urin.

3.1.5. Penatalaksanaan BBLR


1. Pengaturan suhu tubuh/Termoregulasi9
Bayi BBLR akan cepat mengalami kehilangan panas badan atau
suhu tubuh dan dapat menjadi hipotermia atau hipertermia. Hal ini
disebabkan oleh pusat pengaturan suhu tubuh belum berfungsi dengan
baik atau sistem metabolisme yang rendah. Hipotermia adalah
penurunan suhu di bawah 36,55̊C sedangkan hipertermia adalah
peningkatan suhu tubuh > 37,50C. Suhu tubuh normal terjadi jika ada
keseimbangan antara produksi panas dan hilangnya panas. Suhu tubuh
dijaga pada suhu 36,5 – 37,55̊C.
Diperlukannya penanganan yang tepat untuk mencegah terjadinya
hipotermia atau hipertermia serta menjaga suhu tubuh tetap berada
dalam keadaan normal, yaitu dengan cara proteksi termal/warm chain.
Jika sudah terjadi perubahan suhu badan bayi, dilakukan penangan
yang lebih khusus yakni dengan cara penggunaan inkubator, radiant
warmer atau dengan cara metode kangguru.1

Tabel 3. Pengaturan suhu tubuh


Cara Petunjuk penggunaan
Kontak  Untuk semua bayi
kulit  Untuk menghangatkan bayi dalam waktu singkat atau
menghangatkan bayi hipotermi (32-36,4 C) apabila cara lain
tidak mungkin dilakukan.
Pemanca  Untuk bayi sakit atau bayi dengan berat 1.500 g atau lebih.
r panas  Untuk pemeriksaan awal bayi, selama dilakukan tindakan, atau
menghangatkan kembali bayi hipotermi.
Inkubator Penghangatan berkelanjutan bayi dengan berat <1.500 g yang tidak
dapat dilakukan KMC.
Ruangan  Untuk merawat bayi dengan berat <2.500 g yang tidak
hangat memerlukan tindakan diagnostik atau prosedur pengobatan.
 Tidak untuk bayi sakit berat.
23

2. Pengaturan makanan/nutrisi1,2
Pemberian makanan terbaik bagi bayi adalah ASI (Air Susu Ibu).
Pemberian makanan secara dini akan mengurangi risiko hipoglikemia,
dehidrasi dan hiperbilirubinemia. Pada bayi dengan masa gestasi 32
minggu atau kurang atau berat badan kurang dari 1500 gram terlalu
lemah untuk bisa mengisap secara efektif atau tidak mempunyai
refleks menelan yang memadai, ASI dapat diberikan dengan
menggunakan sonde lambung.
3. Mencegah infeksi1,2
Bayi BBLR mempunyai daya tahan tubuh yang rendah dan sistem
imun yang belum matang menyebabkan bayi BBLR sangat rentan
dengan infeksi.Hal ini dapat dicegah dengan memperhatikan prinsip-
prinsip pencegahan infeksi pada bayi seperti mencuci tangan sebelum
memegang bayi, membersihkan tempat tidur bayi, membersihkan kulit
dan tali pusat bayi.

3.1.6. Pemantauan (Monitoring) BBLR

1. Pemantauan saat dirawat1,2,5:


a. Terapi
Bila diperlukan terapi untuk penyulit tetap diberikan
Preparat besi sebagai suplemen mulai diberikan pada usia 2
minggu
b. Tumbuh kembang2
Pantau berat badan bayi secara periodik
Bayi akan kehilangan berat badan selama 7-10 hari pertama
(sampai 10% untuk bayi dengan berat lahir ≥1500 gram dan
15% untuk bayi dengan berat lahir <1500>
Bila bayi sudah mendapatkan ASI secara penuh (pada semua
kategori berat lahir) dan telah berusia lebih dari 7 hari.
Tingkatkan jumlah ASI denga 20 ml/kg/hari sampai tercapai
jumlah 180 ml/kg/hari
24

Tingkatkan jumlah ASI sesuai dengan peningkatan berat badan


bayi agar jumlah pemberian ASI tetap 180 ml/kg/hari
Apabila kenaikan berat badan tidak adekuat, tingkatkan jumlah
pemberian ASI hingga 200 ml/kg/hari
Ukur berat badan setiap hari, panjang badan dan lingkar kepala
setiap minggu.
2. Pemantauan setelah pulang2,3
Diperlukan pemantauan setelah pulang untuk mengetahui
perkembangan bayi dan mencegah/ mengurangi kemungkinan untuk
terjadinya komplikasi setelah pulang sebagai berikut:
Sesudah pulang hari ke-2, ke-10, ke-20, ke-30, dilanjutkan
setiap bulan.
Hitung umur koreksi.
Pertumbuhan; berat badan, panjang badan dan lingkar kepala.
Tes perkembangan, Denver development screening test
(DDST).
Awasi adanya kelainan bawaan.

3.1.7. Prognosis BBLR


Kematian perinatal pada bayi BBLR 8 kali lebih besar dari bayi
normal. Prognosis akan lebih buruk bila BB makin rendah, angka
kematian sering disebabkan karena komplikasi neonatal seperti asfiksia,
aspirasi, pneumonia, perdarahan intrakranial, hipoglikemia. Bila hidup
akan dijumpai kerusakan saraf, gangguan bicara, IQ rendah.

3.1.8. Pencegahan BBLR


Pada kasus bayi berat lahir rendah (BBLR) pencegahan/ preventif
adalah langkah yang penting. Hal-hal yang dapat dilakukan:9
Meningkatkan pemeriksaan kehamilan secara berkala minimal 4 kali
selama kurun kehamilan dan dimulai sejak umur kehamilan muda. Ibu
hamil yang diduga berisiko, terutama faktor risiko yang mengarah
melahirkan bayi BBLR harus cepat dilaporkan, dipantau dan dirujuk
pada institusi pelayanan kesehatan yang lebih mampu
25

Penyuluhan kesehatan tentang pertumbuhan dan perkembangan janin


dalam rahim, tanda tanda bahaya selama kehamilan dan perawatan diri
selama kehamilan agar mereka dapat menjaga kesehatannya dan janin
yang dikandung dengan baik
Hendaknya ibu dapat merencanakan persalinannya pada kurun umur
reproduksi sehat (20-34 tahun)
Perlu dukungan sektor lain yang terkait untuk turut berperan dalam
meningkatkan pendidikan ibu dan status ekonomi keluarga agar
mereka dapat meningkatkan akses terhadap pemanfaatan pelayanan
antenatal dan status gizi ibu selama hamil.

Tanda kecukupan pemberian ASI:

BAK minimal 6 kali/ 24 jam


Bayi tidur lelap setelah pemberian ASI.
BB naik pd 7 hari pertama sbyk 20 gram/ hari.
Cek saat menyusui, apabila satu payudara dihisap à ASI akan menetes
dari payudara yg lain.

Indikasi bayi BBLR pulang:


Suhu bayi stabil.
Toleransi minum oral baik à terutama ASI.
Ibu sanggup merawat BBLR di rumah.

3.2. HIPERBILIRUBINEMIA PADA NEONATUS


3.2.1. Definisi Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin
serum yang menjurus ke arah terjadinya kern ikterus atau ensefalopati
bilirubin bila kadar bilirubin tidak dikendalikan. Hiperbilirubinemia
fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non patologis dan
disebut ‘Excess Physiological Jaundice’. Digolongkan sebagai
hiperbilirubinemia patologis (Non Physiological Jaundice) apabila kadar
serum bilirubin terhadap usia neonatus > 95% menurut Normogram
Bhutani.1,8
26

Ikterus pada bayi atau yang dikenal dengan istilah ikterus


neonatarum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan
ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi
yang berlebih. Pada orang dewasa, ikterus akan tampak apabila serum
bilirubin >2 mg/dl (>17µmol/L) sedangkan pada neonatus baru tampak
apabila serum bilirubin >5mg/dl (86µmol/L). Ikterus lebih mengacu pada
gambaran klinis berupa pewaranaan kuning pada kulit, sedangkan
hiperbilirubinemia lebih mengacu pada gambaran kadar bilirubin serum
total.1,2
3.2.2. Klasifikasi
Terdapat 2 jenis ikterus yaitu yang fisiologik dan patologik.5
Ikterus fisiologik
Ikterus fisiologik adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan
hari ketiga serta tidak mempunyai dasar patologi. Karakteristik ikterus
fisiologik adalah:8,9
Timbul pada hari kedua dan ketiga
Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonatus cukup
bulan.
Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5% per hari.
Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg%.
Ikterus menghilang pada 10 hari pertama.
Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologik.

Ikterus Patologik
Ikterus patologik adalah ikterus yang mempunyai dasar patologi
atau kadar bilirubin mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia.
Adapun tanda-tandanya sebagai berikut:1,2,9
Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.
Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau
melebihi 12,5% pada neonatus kurang bulan.
Pengangkatan bilirubin lebih dari 5 mg% per hari.
Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.
27

Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.


Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik.

3.2.3. Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun
dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar, ikterus
neonatorum dapat dibagi:2
Produksi yang berlebihan, yang melebihi kemampuan bayi untuk
mengeluarkan bilirubin, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada
inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi G6PD,
piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar. Gangguan ini
dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk
konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia
dan infeksi atau defisiensi glukoronyl transferase (Sindrom Criggler-
Najjar). Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang
berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
Gangguan transportasi. Bilirubin dalam darah terikat pada albumin
kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat
dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfarazole.Defisiensi
albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang
bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
Gangguan dalam eksresi. Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi
dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya
diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya
akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.

3.2.4. Patofisiologi10
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-
90%) terjadi dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari
senyawa lain seperti mioglobin. Sel retikuloendotel menyerap kompleks
haptoglobin dengan hemoglobin yang telah dibebaskan dari sel darah
28

merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme sebagai


cadangan untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk
menghasilkan tertapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang
tidak larut dalam air(bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena
ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma terikat ke albumin untuk
diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh dan
melewati lobulus hati ,hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan
menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam
glukoronat(bilirubin terkonjugasi, direk).
Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut
tersebut masuk ke sistem empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke
dalam usus ,bilirubin diuraikan oleh bakteri kolon menjadi urobilinogen.
Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan diekskresikan sebagai
feses.Sebagian urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur
enterohepatik, dan darah porta membawanya kembali ke hati.
Urobilinogen daur ulang ini umumnya diekskresikan ke dalam empedu
untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian dibawa oleh sirkulasi
sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai senyawa larut air
bersama urin.
Pada dewasa normal level serum bilirubin 2mg/dl dan pada bayi
yang baru lahir akan muncul ikterus bila kadarnya > 7mg/dl.1,2,10
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin
yang melebihi kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau
disebabkan oleh kegagalan hati(karena rusak) untuk mengekskresikan
bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan
hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga akan menyebabkan
hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin tertimbun di dalam
darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai tertentu(sekitar 2- 2,5mg/dl),
senyawa ini akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian menjadi
kuning. Keadaan ini disebut ikterus atau jaundice.

3.2.5. Manifestasi klinis


29

Neonatus tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-kira


6mg/dL. Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin indirek pada kulit
mempunyai kecenderungan menimbulkan warna kuning muda atau jingga.
Sedangkan ikterus obstruksi (bilirubin direk) memperlihatkan warna
kuningkehijauan atau kuning kotor. Perbedaan ini hanya dapat ditemukan
pada ikterus yang berat.
Ikterus fisiologik memiliki gambaran klinik sebagai berikut:1,2
a) Tampak pada hari 3,4
b) Bayi tampak sehat (normal)
c) Kadar bilirubin total <12 mg%
d) Menghilang paling lambat 10-14 hari
e) Tak ada faktor risiko
Sementara itu, gambaran klinik ikterus patologik adalah:1,2
a) Timbul pada umur <36 jam
b) Cepat berkembang
c) Bisa disertai anemia
d) Menghilang lebih dari 2 minggu
e) Ada faktor risiko

Anamnesis
a) Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM, gawat
janin, malnutrisi intrauterine, infeksi intranatal)
b) Riwayat persalinan dengan tindakan/komplikasi
c) Riwayat ikterus/terapi sinar/transfusi tukar pada bayi sebelumnya
d) Riwayat inkompatibilitas darah
e) Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan
limpa.

Pemeriksaan fisik
Secara klinis, ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir
atau setelah beberapa hari.Amati ikterus pada siang hari dengan lampu
sinar yang cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan
30

bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama pada


neonatus yang berkulit gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila
penderita sedang mendapatkan terapi sinar.
Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara
klinis, mudah dan sederhana adalah dengan penilaian menurut Kramer. 1,2
Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang
tulangnya menonjol seperti tulang hidung,dada,lutut dan lain-lain. Tempat
yang ditekan akan tampak pucat ataukuning. Penilaian kadar bilirubin
pada masing-masing tempat tersebut disesuaikan dengan tabel yang telah
diperkirakan kadar bilirubinnya.
Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula dalam
diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus
mempunyai kaitan erat dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut.

Tabel 4. Derajat Ikterus pada Neonatus menurut Kramer

3.2.6. Pemeriksaan laboratorium 1,10


Pemeriksaan serum bilirubin(direk dan indirek) harus dilakukan
pada neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak
sakit atau bayibayi yang tergolong risiko tingggi terserang
hiperbilirubinemia berat. Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan
untuk evaluasi menentukan penyebab ikterus antara lain adalah golongan
darah dan ‘Coombs test’, darah lengkap dan hapusan darah, hitung
retikulosit, skrining G6PD dan bilirubin direk. Pemeriksaan serum
bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan
31

tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga harus diukur untuk
menentukan pilihan terapi sinar atau transfusi tukar.

3.2.7. Penatalaksanaan 1,2,10


a) Stimulasi proses konjugasi bilirubin menggunakan fenobarbital. Obat
ini kerjanya lambat, oleh karena itu efektif diberikan pada bayi dengan
bilirubin rendah dan ikterus yang terjadi bukan disebabkan oleh proses
hemolitik. Obat ini sudah jarang dipakai lagi.
b) Menambahkan bahan yang kurang pada proses metabolisme bilirubin
(misalnya menambahkan glukosa pada hipoglikemi) atau
(menambahkan albumin untuk memperbaiki transportasi bilirubin).
Penambahan albumin bisa dilakukan tanpa hipoalbuminemia.
Penambahan albumin juga dapat mempermudah proses ekstraksi
bilirubin jaringan ke dalam plasma. Hal ini menyebabkan kadar
bilirubin plasma meningkat, tetapi tidak berbahaya karena bilirubin
tersebut ada dalam ikatan dengan albumin. Albumin diberikan dengan
dosis tidak melebihi 1g/kgBB, sebelum maupun sesudah terapi tukar.
c) Mengurangi peredaran enterohepatik dengan pemberian makanan oral
dini
d) Memberi terapi sinar hingga bilirubin diubah menjadi isomer foto yang
tidak toksik dan mudah dikeluarkan dari tubuh karena mudah larut
dalam air.
e) Mengeluarkan bilirubin secara mekanik melalui transfusi tukar

Pada umunya, transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut:10


a) Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek ≤20mg%
b) Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat yaitu 0,3-1mg%/jam
c) Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung
d) Bayi dengan kadar hemoglobin tali pusat<14mg% dan uji Coombs
direct positif.
32

e) Menghambat produksi bilirubin. Metalloprotoporfirin merupakan


kompetitor inhibitif terhadap heme oksigenase.Ini masih dalam
penelitian dan belum digunakan secara rutin.
f) Menghambat hemolisis. Immunoglobulin dosis tinggi secara intravena
(500- 1000mg/Kg IV>2) sampai 2 hingga 4 jam telah digunakan untuk
mengurangi level bilirubin pada janin dengan penyakit hemolitik
isoimun. Mekanismenya belum diketahui tetapi secara teori
immunoglobulin menempati sel Fc reseptor pada sel retikuloendotel
dengan demikian dapat mencegah lisisnya sel darah merah yang
dilapisi oleh antibodi.
1) Terapi sinar pada ikterus bayi baru lahir yang di rawat di rumah
sakit. Dalam perawatan bayi dengan terapi sinar,yang perlu
diperhatikan sebagai berikut: Diusahakan bagian tubuh bayi yang
terkena sinar dapat seluas mungkin dengan membuka pakaian bayi.
2) Kedua mata dan kemaluan harus ditutup dengan penutup yang
dapat memantulkan cahaya agar tidak membahayakan retina mata
dan sel reproduksi bayi.
3) Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap
jarak yang terbaik untuk mendapatkan energi yang optimal.
4) Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh
bayi yang terkena cahaya dapat menyeluruh.
5) Suhu bayi diukur secara berkala setiap 4-6 jam.
6) Kadar bilirubin bayi diukur sekurang-kurangnya tiap 24 jam.
7) Hemoglobin harus diperiksa secara berkala terutama pada bayi
dengan hemolisis

3.2.8. Komplikasi
Terjadi kern ikterus yaitu kerusakan otak akibat perlengketan
bilirubin indirek pada otak. Pada kern ikterus, gejala klinis pada permulaan
tidak jelas antara lain: bayi tidak mau menghisap, letargi, mata berputar-
putar, gerakan tidak menentu, kejang tonus otot meninggi, leher kaku dan
akhirnya opistotonus. Bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa
33

berupa paralysis serebral dengan atetosis, gangguan pendengaran,


paralysis sebagian otot mata dan dysplasia dentalis.

3.3. RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (RDS)10


3.3.1. Definisi
RDS adalah gangguan napas pada bayi baru lahir yang terjadi
segera atau beberapa saat setelah lahir dan menetap atau menjadi progresif
dalam 48-96 jam pertama kehidupan. RDS ini hampir sebagian besar
terjadi pada Bayi Kurang Bulan, yang masa gestasinya kurang dari 37
minggu dan berat kurang dari 2500 gram. Pada pemeriksaan radiologik
ditemukan adanya gambaran retikulogranular yang uniform dengan air
bronchogram.

3.3.2. Etiologi
Penyebab kelainan ini secara garis besar adalah kekurangan
surfaktan, suatu zat aktif pada alveoli yang mencegah kolaps paru. RDS
seringkali terjadi pada bayi prematur, karena produksi surfaktan yang
dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, baru mencapai jumlah cukup
menjelang cukup bulan. Makin muda usia kehamilan, makin besar pula
kemungkinan terjadinya RDS.4

3.3.3. Patofisiologi
Perkembangan paru norma
Paru berasal dari pengembangan “embryonic foregut” dimulai
dengan perkembangan bronkhi utama pada usia 3 minggu kehamilan.
Pertumbuhan paru kearah kaudal ke mesenkhim sekitar dan pembuluh
darah, otot halus, tulang rawan dan komponen fibroblast berasal dari
jaringan ini. Secara endodermal epitelium mulai membentuk alveoli dan
saluran pernapasan. Di luar periode embrionik ini, ada 4 stadium
perkembangan paru yang telah dikenal. Pada seluruh stadium ini,
perkembangan saluran pernapasan, pembuluh darah dan proses
diferensiasi berlangsung secara bersamaan.1
 Pseudoglandular (5-17 minggu)
Terjadi perkembangan percabangan bronkhius dan tubulus asiner
34

 Kanalikuler (16-26 minggu)Terjadi proliferasi kapiler dan penipisan


mesenkhim
 Diferensiasi pneumosit alveollar tipe II sekitar 20 minggu
 Sakuler (24-38 minggu)Terjadi perkembangan dan ekspansi rongga
udaraAwal pembentukan septum alveolar
 Alveolar (36 minggu – lebih 2 tahun setelah lahir)

Penipisan septum alveolar dan pembentukan kapiler baru.


Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur
disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga kesulitan berkembang,
pengembangan kurang sempurna kerana dinding thorax masih lemah,
produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan
mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku.
Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya
pengembangan paru (compliance) menurun 25% dari normal, pernafasan
menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia
berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik.5
Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan
10% protein , lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan
dan menjaga agar alveoli tetap mengembang. Secara makroskopik, paru-
paru nampak tidak berisi udara dan berwarna kemerahan seperti hati. Oleh
sebab itu paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi untuk
mengembang. Secara histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga
udara bahagian distal menyebabkan edema interstisial dan kongesti
dinding alveoli sehingga menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli
type II. Dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena
adanya defisiensi surfaktan ini.5
Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau
volutrauma dan keracunan oksigen, menyebabkan kerosakan pada
endothelial dan epithelial sel jalan pernafasan bagian distal sehingga
menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang berasal dari darah. Membran
hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah jam setelah
lahir. Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada 36-
72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek; pada bayi
yang immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan
35

dari ibu dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi


Bronchopulmonal Displasia (BPD). 5

Gambar 1 .Pathway RDS6


36

3.3.4. Manifestasi Klinik


Tanda dari RDS biasanya muncul beberapa menit sesudah lahir,
namun biasanya baru diketahui beberapa jam kemudian di mana
pernafasan menjadi cepat dan dangkal (60 x/menit). Bila didapatkan onset
takipnea yang terlambat harus dipikirkan penyakit lain. Beberapa pasien
membutuhkan resusitasi saat lahir akibat asfiksia intrapartum atau distres
pernafasan awal yang berat.
Biasanya ditemukan takipnea, grunting, retraksi intercostal dan
subcostal, dan pernafasan cuping hidung. Sianosis meningkat, yang
biasanya tidak responsif terhadap oksigen. Suara nafas dapat normal atau
hilang dengan kualitas tubular yang kasar, dan pada inspirasi dalam dapat
terdengar ronkhi basah halus, terutama pada basis paru posterior. Terjadi
perburukan yang progresif dari sianosis dan dyspnea.
Bila tidak diterapi dengan baik, tekanan darah dan suhu tubuh akan
turun, terjadi peningkatan sianosis, lemah dan pucat, grunting berkurang
atau hilang seiring memburuknya penyakit. Apneu dan pernafasan iregular
muncul saat bayi lelah, dan merupakan tanda perlunya intervensi segera.
Dapat juga ditemukan gabungan dengan asidosis metabolik,
edema, ileus, dan oliguria.Tanda asfiksia sekunder dari apnea atau
kegagalan respirasi muncul bila ada progresi yang cepat dari penyakit.
Kondisi ini jarang menyebakan kematian pada bayi dengan kasus
berat.Tapi pada kasus ringan, tanda dan gejala mencapai puncak dalam 3
hari. Setelah periodeinisial tersebut, bila tidak timbul komplikasi, keadaan
respirasi mulai membaik. Bayi yanglahir pada 32 – 33 minggu kehamilan,
fungsi paru akan kembali normal dalam 1 minggukehidupan. Pada bayi
lebih kecil (usia kehamilan 26 – 28 minggu) biasanya
memerlukanventilasi mekanik.
Perbaikan ditandai dengan diuresis spontan, dan kemampuan
oksigenasi pada kadar oksigen lebih rendah. Kematian jarang terjadi pada
1 hari pertama, biasanya terjadi pada harikedua sampai ketujuh,
sehubungan dengan adanya kebocoran udara alveoli (emfisemainterstitial,
pneumothorax) perdarahan paru atau intraventrikular. Kematian dapat
terjadi setelah beberapa minggu atau bulan bila terjadi bronchopulmonary
displasia (BPD) pada penderita dengan ventilasi mekanik (RDS berat).
37

3.3.5. Klasifikasi1

Klasifikasi Frekuensi Gejala tambahan


Nafas gangguan napas
Gangguan nafas 60 kali/menit DENGAN Sianosis sentral DAN
berat tarikan dinding dada atau
merintih saat ekspirasi
ATAU > 90 DENGAN Sianosis sentral ATAU
kali/menit tarikan dinding dada ATAU
merintih saat ekspirasi
ATAU < 30 DENGAN Gejala lain dari gangguan
kali/menit atau napas
TANPA
Gangguan nafas 60 – 90 DENGAN Tarikan dinding dada ATAU
sedang kali/menit tetapi merintih saat ekspirasi.
Sianosis sentral

TANPA
ATAU > 90 TANPA Tarikan dinding dada atau
kali/menit merintih saat ekspirasi atau
sianosis sentral
Gangguan napas 60 – 90 TANPA Tarikan dinding dada atau
ringan kali/menit merintih saat ekspirasi atau
sianosis sentral
Kelainan 60 – 90 DENGAN Sianosis sentral
jantung kali/menit Tetapi
kongenital TANPA Tarikan dinding dada atau
merintih

Tabel 5. Evaluasi gawat napas dengan skor Downes


38

Evaluasi
Total Diagnosis
1-3 Sesak nafas ringan
4-5 Sesak nafas sedang
≥6 Sesak nafas berat

3.3.6. Faktor Risiko


1. Bayi kurang bulan (BKB). Pada bayi kurang bulan, paru bayi secara
biokimiawi masih imatur dengan kekurangan surfaktan yang melapisi
ronggaparu.
2. Kegawatan neonatal seperti kehilangan darah dalam periode perinatal,
aspirasi mekonium, pneumotoraks akibat tindakan resusitasi,dan hipertensi
pulmonal dengan pirau kanan ke kiri yang membawa darah keluar dari
paru.
3. Bayi dari ibu diabetes mellitus. Pada bayi dari ibu dengan diabetes terjadi
keterlambatn pematangan paru sehingga terjadi distress respirasi
4. Bayi lahir dengan operasi sesar. Bayi yang lahir dengan operasi sesar,
berapapun usia gestasinya dapat mengakibatkan terlambatnya absorpsi
cairan paru (Transient Tachypnea of Newborn).
5. Bayi yang lahir dari ibu yang menderita demam, ketuban pecah dini dapat
terjadi pneumonia bakterialis atau sepsis.
6. Bayi dengan kulit berwarna seperti mekonium, mungkin mengalami
aspirasi mekonium.
39

3.3.7. Diagnosis
Anamnesis7
o Riwayat kelahiran kurang bulan. Riwayat ibu dengan diabetes melitus.
o Riwayat persalinan yang mengalami asfiksia perinatal (gawat janin),
atau partus tindakan dengan bedah sesar.
o Riwayat kelahiran saudara kandung dengan penyakit RDS.

Pemeriksaan Fisik7
o Gejala biasanya dijumpai dalam 24 jam pertama kehidupan.
o Dijumpai sindroma klinis yang terdiri dari kumpulan gejala
- Sesak napas, dengan frekuensi napas >60 kali/menit atau <30
kali/menit
- Grunting atau merintih
- Retraksi dinding dada
- Kadang dijumpai sianosis pada suhu kamar
o Manifestasi klinis berupa distress pernafasan dapat dinilai dengan
APGAR score (derajat asfiksia) dan Silverman Score. Bila nilai
Silverman score > 7 berarti ada distress nafas, namun ada juga yang
menyatakan bila nilainya > 2selama > 24 jam.
o Perhatikan tanda prematuritas.
o Kadang ditemukan hipotensi, hipotermia, edema perifer, edema paru-
paru.
o Perjalanan klinis bervariasi sesuai dengan beratnya penyakit, besarnya
bayi,adanya infeksi dan derajat dari pirau PDA.

Tabel 6. Silverman Score


40

Pemeriksaan Penunjang
Foto toraks8
Posisi AP dan lateral, bila diperlukan serial. Gambaran radiologi dapat
memberi gambaran penyakit membran hialin yang menunjukkan gambaran
retikulogranular yangdifus bilateral atau gambaran bronkhogram udara (air
bronchogram) dan paru yang tidak berkembang.

Terdapat 4 Derajat :
Derajat 1 (ringan): kadang normal atau gambaran retikulogranuler,
homogen,tidak ada air bronchogram.
Derajat 2 (ringan-sedang): 1 + air bronchogram. Gambaran air bronchogram
(gambaran bronko yang seharusnya terisi udara) yang menonjol menunjukkan
bronkiolus yang menutup latar belakang alveoli yang kolaps.
Derajat 3 (sedang-berat) : 2 + batas jantung-paru kabur
Derajat 4 (berat): 3 + white lung

Laboratorium 1
Darah : Hb, Ht, dan gambaran darah tepi tidak menunjukkan tanda infeksi.
Menunjukkan pada kecurigaan pneumonia. Kultur streptokokus (-).
Analisis gas biasanya memberikan hasil : hipoksemia, asidemia yang berupa
metabolik, respiratorik atau kombinasi, dan saturasi oksigen yang tidak
normal (PaO2 kurang dari 50 mmHg, PaCO2 kurang dari 60 mmHg, saturasi
oksigen 92% – 94%, pH 7,31 – 7,45)
Rasio lesitin/sfingomielin (L/S ratio <2:1).
41

Shake test (tes kocok), jika tidak ada gelembung, resiko tinggi untuk
terjadinya PMH 60%.

3.3.8. Tatalaksana
Manajemen Spesifik Untuk Gangguan Nafas11
Gangguan Napas Sedang
1. Memberian O2 2-3 liter/menit dengan kateter nasal, bila masih sesak
dapat diberikan O2 4-5 liter/menit dengan sungkup
2. Bayi jangan diberikan minum (di puasakan).
3. Berikan antibiotika (ampisilin dan gentamisin) untuk terapi
kemungkinan besar sepsis

Gangguan Napas Ringan


Transient Tachypnea of the Newborn (TTN), Terutama terjadi pada
bayi aterm setelah bedah sesar. Biasanya kondisi tersebut akan membaik
dan sembuh sendiri tanpa pengobatan. Langkah – langkah pengobatan :

1. Amati pernapasan bayi setiap 2 jam selama 6 jam. Bila dalam


pengamatan gangguan napas memburuk atau timbul gejala sepsis
lainnya, terapi untuk kemungkinan besar sepsis.
2. Berikan ASI bila bayi mampu mengisap. Bila tidak, berikan ASI peras
dengan menggunakan salah satu cara alternatif pemberian minum.
3. Kurangi pemberian O2 secara bertahap bila ada perbaikan gangguan
napas. Hentikan pemberian O2 jika frekuensi napas antara 30 – 60
kali/menit.
4. Amati bayi selama 24 jam berikutnya, jika frekuensi napas menetap
antara 30-60 kali/menit, tidak ada tanda-tanda sepsis, dan tidak ada
masalah lain yang memerlukan perawatan, bayi dapat dipulangkan.

Gangguan Napas Berat :


1. Siapkan rujukan ke RS Rujukan
2. Stabilisasi sebelum merujuk
3. Rujukan disertai petugas yg mahir resusitasi
4. Perhatikan Jalan napas dan Oksigenasi selama transportasi

3.3.8. Terapi 10
1. Ventilasi
Manajemen ventilator mekanik
Pemberian continuous positive airway pressure (CPAP) akan
meningkatkan oksigenasi dan survival. CPAP mulai dipasang pada
42

tekanan sekitar 5-7 cm H2O melalui prong nasal, pipa nasofaringeal


atau pipa endotrakheal. Pada beberapa bayi dengan derajat sakit
sedang, CPAP mungkin dapat mencegah kebutuhan untuk pemakaian
ventilator mekanik (VM).
CPAP memperbaiki oksigenasi dengan meningkatkan functional
residual capacity (FRC) melalui perbaikan alveoli yang kolaps,
menstabilkan rongga udara, mencegahnya kolaps selama ekspirasi.
CPAP diindikasikan untuk bayi dengan RDS PaO2 > 50%. Pemakaian
secara nasopharyngeal atau endotracheal saja tidak cukup untuk bayi
kecil, harus diberikan ventilasi mekanik bila oksigenasi tidak dapat
dipertahankan. Pada bayi dengan berat lahir di atas 2000 gr atau usia
kehamilan 32 minggu, CPAP nasopharyngeal selama beberapa waktu
dapat menghindari pemakaian ventilator. Meski demikian observasi
harus tetap dilakukan dan CPAP hanya bisa diteruskan bila bayi
menunjukan usaha bernafas yangadekuat, disertai analisa gas darah
yang memuaskan.11,12
CPAP diberikan pada tekanan 6-10 cm H2O melalui nasal prongs.
Hal ini menyebabkan tekanan oksigen arteri meningkat dengan cepat.
Meski penyebabnya belum hilang, jumlah tekanan yang dibutuhkan
biasanya berkurang sekitar usia 72 jam, dan penggunaan CPAP pada
bayi dapat dikurangi secara bertahap segera sesudahnya. Bila
denganCPAP tekanan oksigen arteri tak dapat dipertahankan di atas 50
mmHg (sudah menghirupoksigen 100 %), diperlukan ventilasi buatan.

Ventilasi Mekanik
Bayi dengan RDS berat atau disertai komplikasi, yang berakibat
timbulnya apnea persisten membutuhkan ventilasi mekanik buatan.
Indikasi penggunaannya antara lain:
1. Analisa gas darah menunjukan hasil buruk
 pH darah arteri <>
 pCO2 arteri > 60 mmHg
 pO2 arteri < 50 mmHg pada konsentrasi oksigen 70 – 100 %
2. Kolaps kardiorespirasi
3. Apnea persisten dan bradikardi
43

Memilih ventilator mekanik


Ventilasi tekanan positif pada bayi baru lahir dapat diberikan
berupa ventilator konvensional atau ventilator berfrekuensi tinggi (150 x /
menit). Ventilator konvensional dapat berupa tipe “volume” atau
“tekanan”, dan dapat diklasifikasikan lebih lanjut dengan dasar cycling
mode – biasanya siklus inspirasi diterminasi. Pada modus pressure limited
timecycled ventilation, tekanan puncak inspirasi diatur dan selama
inspirasi udara dihantarkanuntuk mencapai tekanan yang ditargetkan.
Setelah target tercapai, volume gas yang tersisadilepaskan ke atmosfer.
Hasilnya, penghantaran volume tidal setiap kali nafas bervariabelmeski
tekanan puncak yang dicatat konstan. Pada modus volume limited, pre-set
volume dihantarkan oleh setiap nafas tanpa memperhatikan tekanan yang
dibutuhkan. Beberapaventilator menggunakan aliran udara sebagai dasar
dari cycling mode di mana inspirasi berakhir bila aliran telah mencapai
level pre-set atau sangat rendah (flow ventilators). Ada juga ventilator
yang mampu menggunakan baik volume atau pressure controlled
ventilation bergantung pada keinginan operator.11,12

Ventilasi dengan fekuensi tinggi biasanya diberikan dengan high


frequency oscillatory ventilators (HFOV). Terdapat piston pump atau
vibrating diaphragm yang beroperasi pada frekuensi sekitar that 10 Hz (1
Hz = 1 cycle per second, 60 cycles per minute). Selama HFOV, baik
inspirasi maupun ekspirasi sama-sama aktif. Tekanan oscillator pada jalan
udara memproduksi volume tidal sekitar 2-3 ml dengan tekanan rata-rata
jalan udara dipertahankan konstan, mempertahankan volume paru ekivalen
untuk menggunakan CPAP dengan level sangat tinggi. Volume gas yang
dipindahkan pada volume tidal ditentukan oleh ampiltudo tekanan jalan
udara oscillator (P).

Ventilator konvensional
Hipoksemia pada RDS biasanya terjadi karena ketidakseimbangan
ventilasi dan perfusi(V/Q) atau pirau dari kanan ke kiri, abnormalitas
difusi dan hipoventilasi merupakan factor tambahan. Oksigenasi terkait
44

langsung pada FiO2 dan tekanan rata-rata jalan udara (meanairway


pressure - MAP). MAP dapat ditingkatkan dengan perubahan tekanan
puncak inspirasi (peak inspiratory pressure - PIP), positive end expiratory
pressure (PEEP) atau dengan mengubah rasio inspirasi : ekspirasi (I:E)
dengan memperpanjang waktu inspirasi sementara kecepatannya tetap
konstan. MAP yang sangat tinggi dapat menyebabkan distensi berlebihan,
meski oksigenasi adekuat, transport oksigen berkurang karena penurunan
curah jantung. Pembuangan CO2 berbanding lurus dengan minute
ventilation, ditentukan oleh produk volume tidal (dikurangi ventilasi ruang
mati) dan kecepatan pernafasan. Untuk minute ventilation yang sama,
perubahan penghantaran volume tidal lebih efektif untuk merubah
eliminasi CO2 dibanding perubahan kecepatan pernafasan karena ventilasi
ruang mati tetapkonstan.

10,11
a. Peak Inspiratory Pressure (PIP)
Perubahan pada PIP mempengaruhi oksigenasi (dengan mengubah
MAP) dan CO2dengan efek pada volume tidal dan ventilasi alveolar.
Peningkatan PIP menurunkan PaCO2 dan memperbaiki oksigenasi (PaO2
meningkat). Pemakainan PIP ditentukan oleh compliance system
pernafasan dan bukan oleh ukuran atau berat bayi. Gunakan PIP terendah
yang menghasilkan ventilasi adekuat berdasarkan pemeriksaan klinik
(gerakan dada dan suaranafas) dan analisa gas darah. PIP berlebih dapat
menyebabkan paru mengalami distensi berlebihan dan meningkatkan
resiko baro/volutrauma dan menimbulkan kebocoran udara.

b. Positive End Expiratory Pressure (PEEP) 10,11


PEEP yng adekuat mencegah kolaps alveoli dan dengan
mempertahankan volume paru saat akhir respirasi, memperbaiki
keseimbangan V/Q. Peningkatan PEEP memperbesar MAPdan
memperbaiki oksigenasi. Sebaliknya, PEEP berlebih (> 8 cm H2O)
menginduksi hiperkarbia dan memperburuk compliance paru dan
mengurangi hantaran volume tidal karenaalveoli terisi berlebihan (P = PIP
- PEEP). PEEP berlebih juga dapat menimbulkan efek sampping pada
45

hemodinamik karena paru mengalami distensi berlebih, menyebabkan


penurunan venous return, yang kemudian menurunkan curah jantung.
Tekanan 3 – 6 cm H2Omemperbaiki oksigenasi pada bayi baru lahir
dengan RDS tanpa mengganggu mekanisme paru-paru, eliminasi CO2
atau stabilitas hemodinamik.

c. Frekuensi 11,12
Terdapat 2 metode dasar, frekuensi rendah dan frekuensi tinggi
Frekuensi rendah dimulai pada kecepatan 30 - 40 nafas / menit (bpm).
Metode cepat sekitar 60 bpm dan dapatditingkatkan hingga 120 bpm bila
bayi bernafas lebih cepat dari ventilator. Waktu ekspirasiharus lebih
panjang dari inspirasi untuk mencegah alveoli mengalami distensi
berlebihan,waktu inspirasi harus dibatasi maksimum 0,5 detik selama
ventilasi mekanik kecuali dalamkeadaan khusus. Pada frekuensi tinggi
terjadi penurunan insidensi pneumotoraks , mungkin karena frekuensi ini
sesuai dengan usaha nafas bayi. Waktu inspirasi memanjang akan
meningkatkan MAP dan memperbaiki oksigenasi, dan merupakan
alternative dari peningkatan PIP. Namun hal ini merupakan predisposisi
dari distensi berlebihan pada paru serta air trapping karena waktu ekspirasi
berkurang.

d. Kecepatan Aliran 12
Aliran minimum setidaknya 2 kali minute ventilation bayi
(normal : 0.2 – 1 L / menit) cukup adekuat, tapi dalam prakteknya
digunakan 4 – 10 L / menit. Bila digunakan frekuensi nafas lebih tinggi
dengan waktu inspirasi lebih pendek, kecepatan aliran di atas kisaran harus
diberikan untuk menjamin penghantaran volume tidal. Kecepatan aliran
yang tinggi memperbaiki oksigenasi karena efeknya pada MAP. Beberapa
ventilator memiliki kecepatan aliran yang tetap, yaitu sebesar 5 L / menit.

Sirkulasi
Auskultasi suara jantung, ukur tekanan darah, palpasi denyut nadi dan
periksa hematokrit10
46

Koreksi asidosis metabolik


Asidosis metabolik berat (pH < 7.2) dengan kadar bikarbonat serum (< 15-
16 mEq/L)atau defisit basa menunjukkan beratnya penyakit. Penyebab
harus segera ditentukan dan ditangani.
Jaga kehangatan suhu bayi sekitar 36,5°C – 36,8°C (suhu aksiler)
untuk mencegah vasokonstriksi perifer
Langkah selanjutnya untuk mencari penyebab distres respirasi
Terapi pemberian surfaktan

Surfaktan dapat diberikan pada 6 sampai 24 jam setelah bayi lahir


apabilabayi mengalami respiratory distress syndrome yang berat.
Selanjutnya surfaktan dapat diberikan 2 jam (umumnya 4-6 jam) setelah
dosis awal apabila sesak menetap dan bayi memerlukan tambahan oksigen
30% atau lebih.

Surfaktan dapat diberikan langsung melalui selang ETT atau dengan


menggunakan nebulizer. Pemberian langsung kedalam selang ETT
memungkinkan distribusi surfaktan yang lebih cepat sampai ke bagian
perifer paru-paru, efektivitasnya lebih baik dan efek samping yang dapat
ditimbulkan lebih sedikit. Pemberian surfaktan juga dapat dilakukan dengan
menggunakan nebulizer disertai dengan ventilasi mekanis (2-3 menit),
dilanjutkan dengan postural drainage, tetapi hasilpenelitian menunjukkan
bahwa pemberian surfaktan dengan cara ini kurang efektif karena volume
surfaktan yang sampai kedalam paru-paru lebih sedikit.
47

Komplikasi yang mungkin terjadi pada pemberian surfaktan antara


lain,bradikardi, hipoksemia, hipo atau hiperkarbia, dan apnea. Bradikardi,
hipoksemia dansumbatan pada endotracheal tube (ETT) dapat terjadi pada
saat pemberian surfaktan dilakukan. Perubahan perfusi serebral dapat terjadi
pada bayi yang sangat prematur akibat redistribusi yang mendadak dari
aliran darah paru ke dalam sirkulasi otak. Seluruh efek samping tersebut
dapat diatasi dengan menghentikan pemberian surfaktan dan meningkatkan
aliran oksigen dan ventilasi.11,12

Bila tidak tersedia fasilitas NICU segera rujuk ke rumah sakit yang tersedia
NICU Pemantauan
Dipantau efektivitas terapi dengan memperhatikan perubahan gejala
klinis yang terjadi. Setelah BKB/BBLR melewati masa kritis yaitu
kebutuhan oksigen sudah terpenuhi dengan oksigen ruangan atau atmosfer,
suhu tubuh bayi sudah stabil diluar inkubator, bayi dapat menetek, ibu bisa
merawat dan mengenali tanda-tanda sakit pada bayi dan tidak ada
komplikasi atau penyulit maka bayi dapat berobat jalan.

3.3.9. Komplikasi
Patent Ductus Arteriosus 10,11
Insidensi PDA pada bayi prematur dengan RDS sekitar 90%.
Dengan meningkatnya angka bertahan hidup bayi sangat kecil disertai
penggunaan surfaktan eksogen, PDA sebagai komplikasi RDS merupakan
masalah dari penanganan RDS pada awal kehidupan.
PDA diasosiasikan dengan pirau dari kanan ke kiri dan peningkatan
aliran darah paru dantekanan arteri pulmonal. Peningkatan aliran darah
paru menyebabkan berkurangnyacompliance paru yang akan membaik
setelah ligasi PDA. Peningkatan aliran darah paru akan menimbulkan
kegagalan ventrikel kiri dan edema paru serta mempengaruhi
keseimbangancairan paru. Kebocoran protein plasma ke rongga alveoli
menghambat fungsi surfaktan. Halini akan meningkatkan kebutuhan
oksigen serta ventilasi mekanik.
48

Hemorrhagic Pulmonary Edema11,12


Perdarahan paru seringkali terjadi sekunder akibat edema paru berat
yang merupakan komplikasi dari RDS dan PDA. Insidensinya pada bayi
prematur sekitar 1 % namun pada otopsi ditemukan sekitar 55 %. Cairan
hemoragis di rongga udara merupakan filtrat kapiler yang berasal dari
rongga interstitial atau perdarahan alveoli. Bentuk interstitial
ditandaidengan perdarahan pleura, septum interlobularis, peribronkial,
perivaskular, dan dindingaleolar. Bila perdarahan masuk ke alveoli, eritrosit
memenuhi rongga udara dan meluashingga ke bronkiolus dan bronkus.

Pulmonary Interstitial Emphysema (PIE)11,12


PIE dapat terjadi simetris, asimetris atau terlokalisasi pada satu
bagian paru. PIE yang terletak di perifer dapat menimbulkan bleb subpleura
yang bila pecar akan menimbulkan pneumotoraks. Bisa juga menyebabkan
terjadinya pneumomediastinum atau pneomopericardium. Bila alveoli
ruptur, udara dapat terlokalisasi dan bersatu di parenkim membentuk
pseudokista. Rupturnya alveoli dapat menyebabkan udara masuk ke vena
pulmonalis, menimbulkan emboli udara.

Infeksi11
Infeksi dapat manifes sebagai kegagalan untuk membaik,
perburukan mendadak, perubahan jumlah leukosit, trombositopenia.
Terdapat peningkatan insidensi septicemia sekunder terhadap staphylococcal
epidermidis dan atau Candida. Bila curiga akan adanya septikemia, lakukan
kultur darah dari 2 tempat berbeda dan berikan antibiotik

Perdarahan intracranial dan leukomalasia periventrikuler11,12


Perdarahan intrakranial didapatkan pada 20-40% bayi prematur
dengan frekuensi lebih tinggi pada bayi RDS yang membutuhkan ventilasi
mekanik. Ultrasound kepala dilakukan dalam minggu pertama. Terapi
indometasin profilaksis dan pemberian steroid antenatal menurunkan
insidensinya. Hipokarbia dan chorioamnionitis dikaitkan dengan
peningkatan periventricular leukomalacia.
49

3.3.10. Prognosis
Sangat bergantung pada berat badan lahir dan usia gestasi (berbanding
terbalik dengan kemungkinan timbulnya penyulit). Prognosis baik bila
gangguan napas akut dan tidak berhubungan dengan keadaan hipoksemi
yang lama.

BAB IV
ANALISIS KASUS

Bayi perempuan, lahir di OK IGD RSMH Palembang ditolong oleh


residen obgyn melalui SC dari ibu G3P2A0 hamil 32 minggu atas indikasi partus
prematurus imminens + oligohidramnion, didiagnosis dengan BBLR dengan berat
badan lahir 1500 gram, panjang badan lahir 42 cm dan lingkar kepala 31 cm.
Berat badan lahir 1500 gram pada usia kehamilan 32 minggu sesuai dengan masa
kehamilan menurut kurva Lubchenco. Bayi lahir tidak langsung menangis, dengan
APGAR skor 5/8, tonus otot lemah, bayi diposisikan, dihangatkan, dibersihkan
jalan napas, dilakukan rangsangan taktil, bayi menangis merintih, bayi
dibersihkan kembali kemudian dinilai. Setelah dilakukan pengamatan, bayi masih
menangis merintih dan terlihat sesak nafas sehingga langsung dirawat di bagian
NICU RSMH. Selama di NICU bayi mendapatkan bantuan oksigen BCPAP-PEEP
7 FiO2 40% dan didiagnosis HMD grade II. Pada hari ke-4 perawatan di NICU
bayi tampak kuning hingga setinggi pusat. Pada bayi, sering muncul ikterik pada
minggu-minggu pertama kelahiran, sebab sel darah merah bayi memiliki waktu
hidup yang lebih singkat dibanding dewasa. Konsentrasi eritrosit di sirkulasi juga
lebih tinggi dibanding dewasa, sehingga kadar bilirubin akan menjadi lebih tinggi.
50

Metabolisme, sirkulasi dan ekskresi bilirubin juga lebih lambat dibanding dewasa.
Oleh karena itulah kejadian hiperbilirubin pada bayi baru lahir tinggi ditambah
lagi siklus enterohepatik yang meningkat. Terdapat juga kemungkinan
hiperbilirubinemia disebabkan infeksi karena adanya dari riwayat ketuban pecah
sebelum waktu selama 2 hari. Tidak adanya BAK berwarna teh tua dan BAB yang
tidak mengalami perubahan warna menyingkirkan kemungkinan penyebab
obstruktif seperti kolestasis, atresia bilier, atau kista koledokus.
Berat badan yang berkurang lebih dari 10% saat lahir tidak ada sehingga
kemungkinan breast feeding jaundice dapat disingkirkan mengingat pasien
mendapatkan ASI sejak lahir.
Keadaan umum tampak baik dengan aktivitas yang sedang, refleks hisap
sedang dan tangisan yang sedang menandakan paru-paru belum mengembang
sempurna, tidak ada distres pernapasan, dan aspirasi. Bayi mengalami ikterus
hingga setinggi pusat dapat diinterpretasi sebagai Kramer III, dengan estimasi
bilirubin 9–18 mg/dL pada bayi prematur. Pemeriksaan neurologi menunjukkan
tidak adanya defisit. Penyebab lainnya seperti inkompatibilitas golongan darah
(ABO) dan rhesus dapat disingkirkan sebab hasil pemeriksaan laboratorium
terbukti tidak ada. Untuk kemungkinan penyebab hemolisis pada pasien juga
dapat disingkirkan dengan adanya hasil negatif pada uji Coombs Direk pada
pasien ini. Untuk mencari etiologi masih diperlukan pemeriksaan penunjang
tambahan seperti enzim G6PD, retikulosit, serta TSH dan screening TORCH
untuk menyingkirkan penyebabnya. Kompetensi dokter umum adalah mampu
mengenali ikterik fisiologis dan patologis kemudian merujuk pasien.
Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 28 Maret 2018, pukul 11.41 WIB
adalah bilirubin total 15.58 mg/dL, serta bilirubin direk 0.74 mg/dL dan bilirubin
indirek 14.84 mg/dL. Bilirubin direk yang tidak lebih dari 1 mg/dL
menyingkirkan kemungkinan penyebab kolestasis. Dilakukan pemeriksaan CRP
kuantitatif untuk menyingkirkan penyebab infeksi, didapatkan hasil CRP
kuantitatif <5 mg/L menandakan tidak adanya infeksi pada pasien. Temuan
laboratorium ini sejalan dengan ikterus neonatorum fisiologis, karena ikterus
fisiologis terjadi pada 2 minggu pertama kehidupan ekstrauterin, dan lebih sering
terjadi pada BBLR dan kurang bulan. Pada BBLR kurang bulan, cenderung lebih
51

mudah terkena komplikasi akibat fungsi organ-organ bayi prematur belum


berfungsi seperti bayi matur. Diantara komplikasi-komplikasi tersebut salah
satunya ialah kondisi ikterus neonatorum. Kondisi ikterus neonatorum dikatakan
sebagai hiperbilirubunemia apabila telah dilakukan pemeriksaan laboratorium
yang menunjukkan total serum bilirubin > 5 mg/dL. Kondisi hiperbilirubunemia
ini diakibatkan faktor kematangan hepar membuat kurangnya aktivitas enzim
glukoronil transferase sehingga konjugasi bilirubin indirek menjadi bilirubin direk
belum sempurna, di samping itu pasien dengan kondisi BBLR dan prematur juga
dapat terjadi penurunan clearance bilirubin akibat fungsi tubuh yang masih
imatur.
Dengan melakukan tatalaksana yang tepat yaitu dengan pemberian ASI
dengan frekuensi dan durasi yang tepat serta fototerapi yang adekuat akan dapat
mengurangi kadar bilirubin secara signifikan. Fototerapi memanfaatkan sinar
blue-green spectrum dengan panjang gelombang 430–490 nm dengan kekuatan
paling kurang 30 uW/cm2 yang mengonversi bilirubin tidak terkonjugasi menjadi
bentuk konjugasi. Pada pasien didapatkan adanya respon dari fototerapi intensif
yang dilakukan terlihat dari turunnya kadar bilirubin total pada 31 Maret 2018
pukul 23.45 WIB menjadi 11.50 mg/dL dan pada 4 April 2018 pukul 23.58 WIB
menjadi sebesar 6.60 mg/dL. Selain itu, hal ini juga dapat menyingkirkan
kemungkinan terjadinya proses hemolisis pada pasien.
Tatalaksana lain yang diberikan pada bayi berupa pencegahan hipotermia
yaitu bayi dirawat di dalam inkubator dengan suhu yang dipertahankan 36,5-37,5
C. Pada bayi dilakukan juga manajemen kanguru intermitten. Kebutuhan cairan
bayi dihitung dan didapat kebutuhan cairan sebanyak 237 cc/24 jam berupa ASI 8
x 20 cc, sisanya diberikan melalui IVFD D10 1/5 NS 5 cc/jam dan kebutuhan
dimonitor setiap hari berdasarkan kenikan berat badan bayi. Pada bayi juga
diberikan Aminofilin 3x3 mg IV untuk mencegah ganggguan pernapasan pada
bayi berat lahir rendah, sebab pada bayi baru lahir dengan BBLR paru-paru belum
mengebang sempurna akibat belum banyak surfaktan yang dihasilkan. Aminofilin
memiliki efek merangsang pusat nafas dengan meningkatkan kepekaan terhadap
CO2, meningkatkan frekuensi napas, menyebabkan relaksasi otot termasuk otot
polos bronkus, menurunkan hipoksia akibat depresi napas, meningkatkan aktivitas
52

diafragma. Pasien juga diberi kafein sitrat 1 x 28 mg PO untuk mencegah


terjadinya apneu, serta diberikan juga ferriz drop 1 x 0,5 cc untuk memenuhi
kebutuhan besi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Azis, Abdul Latief. 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bagian/SMF


Kesehatan Anak, edisi III. RSU Dokter Sutomo. Surabaya
2. Behrman, RE, Kliegman RM. 2008. The Fetus and the Neonatal Infant, In:
Nelson Textbook of pediatrics; 17 th ed. California: Saunders. 550-8.
3. Kosim, M,S., dkk., 2010. Buku Ajar Neonatologi, Cetakan Kedua, Badan
Penerbit IDAI, Jakarta.
4. Maryunani, Anik & Nurhayati, 2009. Asuhan Kegawatadaruratan dan
Penyulit Pada Neonatus, Trans Medika, Jakarta.
5. Prawiroharjo, sarwono. 2002. Buku Acuan Nasional .Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal,Jakarta ,Balai Pustaka Sarwono Prawiroharjo
6. Purwanto E.R., 2009. Masalah BBLR di Indonesia.
http://emedicine.medscape.com.
7. Poesponegoro, Hardiono, dr. Sp.A(K). 2005. Standar Pelayanan Medis
Kesehatan Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta.
8. Surasmi A., Handayani S., Nurkusuma H. 2003. Perawatan Bayi Berat
Badan Lahir Rendah. Dalam: Perawatan Bayi Risiko Tinggi, cet. 1.
Jakarta: EGC; 30-56
53

9. Mansjoer, A. 2008. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jilid 2. Jakarta:


Media Aesculapius.

10. Kosim MS. 2012. Gangguan Napas Pada Bayi Baru Lahir. Dalam : Kosain
MS, Yunanto Ari, Dewi Rizalya,penyunting. Buku Ajar Neonatologi IDAI
2012 Edisi Pertama. Jakarta : IDAI,.h.126-145
11. Nataprawira HM. Garna Herry Ed. 2005. Penyakit Membran Hialin
(PMH) (Hyalin Membran Disease). Dalam : Pedoman Diagnosis dan
Terapi. Bandung : IKA Universitas Padjajaran Dr. Hasan Sadikin.h.91-93
12. Pusponegoro HD, Hadinegoro SR, Firmanda D, 2004. Penyakit Membran
Hialin. penyunting. Dalam Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak
Edisi I. Badan Penerbit IDAI.
13. Etika, R. et al. 2006. Hiperbilirubinemia pada Neonatus
(hyperbilirubinemia in neonate). http://www.pediatrik.com/pkb/20060220-
js9khg-pkb.pdf.
1

Laporan Kasus

BAYI BERAT LAHIR RENDAH DENGAN HIPERBILIRUBINEMIA

Oleh:

Avyandara Janurizka 04084881618007

Haidar Adib Balma 04084821719198

Dosen Pembimbing:

dr. Herman Bermawi, Sp.A(K)

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. MOHAMMAD HOESIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2018
2

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Judul

BAYI BERAT LAHIR RENDAH DENGAN HIPERBILIRUBINEMIA

Oleh:

Avyandara Janurizka 04084881618007


Haidar Adib Balma 04084821719198

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Univesitas Sriwijaya Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang Periode 26
Maret –4 Juni 2018.

Palembang, April 2018

dr. Herman Bermawi, SpA (K)


3

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat, rahmat, dan bimbingan-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan
kasus ini.
Berat bayi lahir rendah merupakan masalah neonatologi yang sering
ditemui di klinik sehari-hari, dengan prevalensi mencapai 9%. Di samping itu,
bayi dengan berat lahir rendah juga cenderung berisiko mengalami
hiperbilirubinemia, biasanya akibat ikterus fisiologik. Penulis mencoba
memaparkan sebuah kasus BBLR dengan hiperbilirubinemia yang ditemukan di
RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang.
Penulis sangat berharap tulisan ini dapat menambah wawasan pembaca.
Penulis menginginkan agar pembaca dapat memberikan kritik membangun serta
saran agar penulis dapat membuat tulisan yang lebih baik lagi.

Palembang, April 2018

Penulis
4

DAFTAR ISI

Halaman Judul.............................................................................................. i

Lembar Pengesahan...................................................................................... ii

Kata Pengantar.............................................................................................. iii

Daftar Isi......................................................................................................... iv

BAB I. Pendahuluan........................................................................................ 1

BAB II. Laporan Kasus................................................................................... 2

BAB III. Tinjauan Pustaka.............................................................................. 13

BAB IV. Analisis Kasus.................................................................................. 50

Daftar Pustaka............................................................................................... 53

Anda mungkin juga menyukai