Anda di halaman 1dari 5

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kebuntingan adalah keadaan dimana anak sedang berkembang didalam uterus seekor hewan betina.
Suatu interval waktu, yang disebut periode kebuntingan (gestasi) terentang dari saat pembuahan
(fertilisasi) ovum sampai lahirnya anak. Hal ini mencakup fertilisasi atau persatuan antara ovum dan
sperma.

Terjadinya fertilisasi adalah hal yang sangat penting. Sperma haruslah berada didalam saluaran
reproduksi betina, uterus untuk suatu jangka waktu tertentu agar dapat membuahi ovum secara
efektif. Hal ini disebut kapasitasi spermatozoa. Kapasitasi mencakup pemecahan parsial akrosom
bagian luar dan membran plasma, sehoingga enzim akrosom dapat dilepaskan. Enzim-enzim
tersebut selanjutnya dapat menimbulkan zona pelusida. Kapasitasi juga mengaktfkan metabolisme
sel-sel sperma dengan menaikan laju glikolisis dalam sel dan penaikan metabolisme oksidatif.
Kapasitasi dimuali didalam uterus dan berakhir didalam oviduk.

Baik kerja silaia maupun kontraksi muskuler terlibat didalam pergerakan ovum yang telah dibuahi
melalui tuba kedalam uterus. Implantasi dari satu blastosit menyebabkan timbulnya wilayah
refraktori disekitar didalam endometrium yang menghambat terjadinya implantasi lain didaerah
yang sangat berdekatan.

Terdapat bukti-bukti bahwa embrio didekat tuba uterin perkembangannya sedikit lebih maju
dibanding yang berada didekat serviks blas tersebar secara teratur didalam uterus sampai tujuh hari
setelah perkawinan. Kontraksi uterin barangkali terlibat dalam pergerakan blastoris, karena tidak
adanya bukti bahwa pergerakan itu bersipat aktif.

Ketahanan kebuntingan pada hewan dan diakhirnya dengan kelahiran sebagian besar dipengaruhi
oleh keseimbangan laju kerja hormon. Kejadian ini dibuktikan oleh kenyataan perubahan
perbandingan kadar hormon sering mengakibatkan keguguran.

1.2. Tujuan

Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui perkembangan kebuntingan pada
sapi betina dan hormon-hrmon yang berperan saat kebuntingan.

1.3. Manfaat

Manfaat yang dapat diambil dari makalah ini dapat menjadi salah satu sumber bacaan mengenai
perkembangan kebuntingan pada sapi dan hormon-hormon apa saja yang berperan.

II. PEMBAHASAN
2.1. Kebuntingan

Satu periode kebuntingan adalah periode dari mulai terjadinya fertilisasi sampai terjadinya kelahiran
normal (Soebandi, 1981) sedangkan menurut Frandson (1992) menyatakan kebuntingan berarti
keadaan anak sedang berkembang didalam uterus seekor hewan. Dalam penghidupan
peternak,periode kebuntingan pada umumnya dihitung mulai dari perkawinan yang terakhir sampai
terjadinya kelahiran anak secara normal.

Periode kebuntingan dimulai dengan pembuahan dan berakhir dengan kelahiran anak yang hidup.
Peleburan spermatozoa dengan ovum mengawali reaksi kimia dan fisika yang majemuk, bermula
dari sebuah sel tunggal yang mengalami peristwa pembelahan diri yang berantai dan terus menerus
selama hidup individu tersebut. Tetapi berbeda dalam keadaan dan derajatnya sewaktu hewan itu
menjadi dewasa dan menjadi tua. Setelah pembuahan , yang mengembalikan jumlah kromosom
yang sempurna, pembelahan sel selanjutnya bersifat mitotik sehingga anak-anak sel hasil
pembelahannya mempunyai kromosom yang sama dengan induk selnya. Peristiwa ini berlangsung
sampai hewan menghasilkan sel kelamin (Salisbury, 1985)

Pertumbuhan makhluk baru terbentuk sebagai hasil pembuahan ovum oleh spermatozoa dapat
dibagi menjadi 3 periode, yaitu: periode ovum,periode embrio dan periode fetus. Periode ovum
dimulai dari terjadinya fertilisasi sampai terjadinya implantasi,sedang periode embrio dimulai dari
implantasi sampai saat dimulainya pembentukan alat alat tubuh bagian dalam. Periode ini
disambung oleh periode fetus. Lamanya periode kebuntingan untuk tiap spesies berbeda-beda
perbedaan tersebut disebabkan faktor genetik

Menurut Frandsion (1992) menyatakan bahwa Periode kebuntingan pada pada kuda 336 hari atau
sekitar sebelas bulan; sapi 282 hari atau sembilan bulan lebih sedikit; domba 150 hari atau 5 bulan;
babi 114 hari atau 3 bulan 3 minggu dan 3 hari dan anjing 63 hari atau sekitar 2 bulan.

Menurut Salisbury (1985) periode kebuntingan pada semua bangsa sapi perah berlangsung 278-284
hari kecuali brown swiss rata-rata 190 hari.

Perubahan alat kelamin betina selama kebuntingan berlangsung

Menurut Partodiharjo (1982) hewan yang mengalami masa kebuntingan akan menunjukan
perubahan bagian-bagian tertentu sebagai berikut:

1. Vulva dan vagina

Setelah kebuntingan berumur 6 sampai 7 bualan pada sapi dara akan terlihat adanya edema pada
vulvanya. Semakin tua buntingnya semakin jelas edema vulva ini. Pada sapi yang telah beranak,
edema vulva baru akan terlihat setelah kebuntingan mencapai 8,5 sampai 9 bulan.

2. Serviks

Segera setelah terjadi fertilisasi perubahan terjadi pada kelenjar-kelenjar serviks. Kripta-kripta
menghasilkan lendir yang kental semalin tua umur kebuntingan maka semakin kental lendir
tersebut.

3. Uterus

Perubahan pada uterus yang pertama terjadinya vaskularisasi pada endomertium, terbentuk lebih
banyak kelenjar endometrium, sedangkan kelenjar yang telah ada tumbuh lebih panjang dan
berkelok-kelok seperti spiral.
4. Cairan Amnion dan Allantois

Volume cairan amnion dan allantois selama kebuntingan juga mengalami perubahan. Perubahan
yang pertama adalah volumenya, dari sedikit menjadi banyak; kedua dari perbandingannya. Hampir
semua spesies, cairan amnion menjadi lebih banyak dari pada volume cairan allantois, tetapi pada
akhir kebuntinan cairan allantois menjadi lebih banyak.

5. Perubahan pada ovarium

Setelah ovulasi, terjadilah kawah bekas folikel. Kawah ini segera dipenuhi oleh darah yang dengan
cepat membeku yang disebut corpus hemorrhagicum. Pada hari ke 5 sampai ke-6 korpus luteum
telah terbentuk.

2.2. Pemeriksaan kebuntingan pada ternak

Setelah kita mengawinkan ternak harapan kita adalah terjadinya kebuntingan. Pada umumnya
peternak kurang mengindahkan harapan ini. Mereka mengetahui ternaknya tidak bunting setelah
ternak mereka minta kawin lagi dalam istilah inseminasi buatan disebut non-return. Karena hasrat
manusia untuk mengetahui kebuntingan hewannya secepat mungkin setelah perkawinan
Partodihardjo (1982) telah mengadakan uji kebuntingan pada berbagai ternak antara lain:

1. Pemeriksaan kebuntingan pada sapi dan kerbau

Kebuntingan pada sapi dan kerbau dapat diketahui dengan melatih diri meraba alat reproduksi
hewan betina melalui rektumnya. Pada saat ini pemeriksaan kebuntingan yang terbaik adalah
palpasi per rektum.

2. Pemeriksaan kebuntingan pada kuda

Pemeriksaan kebuntingan pada kuda hingga kini telah diketahui metode palpasi per rektum, metode
biologik dan metode immunologik. Metode biologik diciptakan oleh ascheim dan zondek yang
menggunakan mencit betina sedang metode biologik yang lainnya diciptakan friedman yang
menggunakan kelinci betina. Metode immunologik ada 2 macam, yaitu metode yang mengandung
radio-aktif dan metode tanpa radio-aktif.

Metode Biologik untuk pemeriksaan kebuntingan pada kuda

Pada dasarnya, dengan metode biologik ini yang diperiksa adalah adanya hormon PMS. Hormon ini
mencapai puncak kadar dalam darah pada hari yang ke 50 setelah fertilisasi dan mulai menurun
setelah kebuntingan pada hari ke 120. pemeriksaan dilakukan sebelum hari ke 50 atau sesudah 120
hasilnya diragukan.menurut Frandson (1992) menyatakan metode ini dapat dilakukan pada
kebuntingan 50 sampai 84 hari.

Metode Imunologik untuk pemeriksaan kebuntingan pada kuda

Pada dasarnya digunakan serum (anti bodi) untuk mendeteksi adanya PMS yang ada dalam darah
kuda tersangka. Anti bodi ini berasal dari kelinci yang telah berkali-kali disuntik dengan hormon PMS
yang telah dicampur dengan zat pelambat absorpsi, dengan interval 1 minggu. Pada umumnya
sistem yang dipakai adalah Complement Fixation Test (CP test) atau Hemoagulation Inhibition Test
(HI).

2.3. Hormone yang berperan saat kebuntingan.


2.3.1. Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH)

Kadar hormone ini menurut para peneliti lebih tinggi pada saat sapi bunting daripada saat tidak
bunting. Lebih tepatnya saat awal kebuntingan kadar hormone ini meningkat. Hormone ini
mengalami penurunan dari kelenjar hipofisa disebabkan naiknya kadar esterogen yang menghambat
pembentukan hormone tersebut.

GnRH merupakan suatu dekadeptida (10 asam amino) dengan berat molekul 1183 dalton. Hormon
ini menstimulasi sekresi follicle stimulating hormon (FSH) dan Lutinizing Hormone (LH) dari hipofisis
anterior (Salisbury dan vandemark, 1985). Pemberian GnRH meningkatkan FSH dan LH dalam
sirkulasi darah selama 2 sampai 4 jam (Chenault dkk., 1990).

Secara alamiah, terjadinya level tertinggi (surge) LH yang menyebabkan ovulasi merupakan hasil
kontrol umpan balik positif dari sekresi estrogen dari folikel yang sedang berkembang. Berikut ini
adalah mekanisme kerja GnRH. Hipotalamus akan mensekresi GnRH, kemudian GnRH akan
menstimulasi hipofisis anterior untuk mensekresi FSH dan LH. FSH bekerja pada tahap awal
perkembangan folikel dan dibutuhkan untuk pembentukan folikel antrum.

FSH dan LH merangsang folikel ovarium untuk mensekresikan estrogen. Menjelang waktu ovulasi
konsentrasi hormon estrohen mencapai suatu tingkatan yang cukup tinggi untuk menekan produksi
FSH dan dengan pelepasan LH menyebabkan terjadinya ovulasi dengan menggertak pemecahan
dinding folikel dan pelepasan ovum. Setelah ovulasi maka akan terbentuk korpus luteum dan ketika
tidak bunting maka PGF2α dari uterus akan melisiskan korpus luteum. Tetapi jika terjadi kebuntingan
maka korpus luteum akan terus dipertahankan supaya konsentrasi progesteron tetap tinggi untuk
menjaga kebuntingan (Adnan dan Ramdja, 1986).

2.3.2. Esterogen.

Pada awal kebuntingan hormone ini sedikit kemudian kadarnya mulai naik pada saat umur
kebuntintingan mulai tua. Pada usia kebuntingan 4 bulan akhir sapi akan mengekskresikan 10 X lipat
hormone esterogon didalam air seninya dibanding sesudah melahirkan.

2.3.3. Progesterone.

Hormone ini mempunyai peranan palaing penting dan dominant dalam berperan mempertahankan
kebuntingan. Kadar hormone yang meningkat menyebabkan berhentinya kerja hormone lain serta
menyebabkan berhentinya siklus estrus dengan mencegahnya hormone gonadotrophin-
gonadotrophin. Progesteron dihasilkan di corpus luteum dan plasenta. Apabila sekresi hormon ini
berhenti pada setia kebuntingan akan berakhir selama beberapa hari.

Progesteron penting selama kebuntingan terutama pada tahap-tahap awal. Apabila dalam uterus
tidak terdapat embrio pada hari ke 11 sampai 13 pada babi serta pada hari ke 15 – 17 pada domba,
maka PGF2α akan dikeluarkan dari endometrium dan disalurkan melalui pola sirkulasi ke ovarium
yang dapat menyebabkan regresinya corpus luteum (Bearden and Fuquay, 2000). Apabila PGF2α
diinjeksikan pada awal kebuntingan , maka kebuntingan tersebut akan berakhir.

Progesteron dapat digunakan sebagai test kebuntingan karena CL hadir selama awal kebuntingan
pada semua spesies ternak. Level progesteron dapat diukur dalam cairan biologis seperti darah dan
susu , kadarnya menurun pada hewan yang tidak bunting. Progesteron rendah pada saat tidak
bunting dan tinggi pada hewan yang bunting
Test pada susu lebih dianjurkan dari pada test pada darah, karena kadar

progesteron lebih tinggi dalam susu daripada dalam plasma darah. Lagi pula sample susu mudah
didapat saat memerah tanpa menimbulkan stress pada ternaknya. Sample susu ditest menggunakan
radio immuno assay (RIA). Sample ini dikoleksi pada hari ke 22 – 24 setelah inseminasi. Teknik
koleksi sample bervariasi namun lebih banyak diambil dari pemerahan sore hari. Bahan preservasi
seperti potasium dichromate atau mercuris chloride ditambahkan untuk menghindari susu menjadi
basi selama transportasi ke laboratorium.

Metoda ini cukup akurat, tetapi relatif mahal, membutuhkan fasilitas laboratorium dan hasilnya
harus menunggu beberapa hari. ”Kit” progesteron susu sudah banyak digunakan secara komersial di
peternakan-peternakan dan dapat mengatasi problem yang disebabkan oleh penggunaan RIA yaitu
antara lain karena keamanan penanganan dan disposal radioaktivnya.. Test dapat dilakukan baik
dengan enzyme-linked immuno assay (ELISA) maupun latex aggluination assay.

III. KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan

Ternak yang mengalami kebuntingan akan memperlihatkan tanda –tanda yang dapat kita lihat
secara kasat mata atau pun perubahan organ-organ reproduksi seperti adanya perubahan serviks,
uterus, cairan amnion dan allantois serta ovarium.

Metode Pemeriksaan kebuntingan pada ternak ada bermacam-macam dan spesifik bagi ternaknya
namun ada satu uji yang dapat digunakan oleh ternak secara umum.

3.2. Saran

Pemberian pakan harus benar karna karna akan meningkatkan produksi hormon, karna hormon
mengandung zat-zat makanan (karbohidrat, protein, lemak, vitamin).

DAFTAR PUSTAKA

Hardjopranjoto, S. 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Airlangga University Press. Surabaya.

Hunter, R.H.F, 1981, Fisiologi dan Teknologi Reproduksi Hewan Betina Domestik, Penerbit ITB
Bandung dan Universitas Udayana, Hal: 20, 332.

Imron, A. 2008. Biologi Reproduksi. Universitas Brawijaya. Malang.

Luqman, M., 1999. Fisiologi Reproduksi. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Surabaya.

Purwo, H. 2009. Peran Fetus dan Induk dalam Inisiasi Kelahiran. Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Airlangga. Surabaya.

Toelihere, M.R, 1981, Ilmu Kemajiran Pada Ternak Sapi, Edisi Pertama, Institut Pertanian Bogor, Hal:
52-57, 76-85.

Anda mungkin juga menyukai