Anda di halaman 1dari 4

Masa remaja merupakan masa dimana remaja mengalami perubahan dimulai masa anak-

anak hingga menjadi remaja dan meliputi semua tumbuh kembangnya dalam memasuki
tahapan dewasa. Pada masa ini remaja memerlukan perhatian yang khusus karena pada masa
ini pula seorang remaja akan belajar mengenai berbagai kehidupan, dan penghayatan
mengenai dirinya sendiri (Kusmiran, 2015). Pada masa remaja rasa keingintahuan sangat
tinggi sehingga dapat menyebabkan berbagai permasalahan (Gunarsa, 2015).
Remaja merupakan penduduk yang populasi paling banyak didunia, menurut World
Helath Organization (WHO) tahun 2014, sebesar seperlima dari penduduk di dunia adalah
remaja. WHO juga memperkirakan sepertiganya adalah remaja putri dengan usia 10-19
tahun, dan rata–rata telah mengalami menstruasi. Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik
(BPS) tahun 2014, di Indonesia kelompok remaja pada usia 10–19 tahun adalah sekitar 22%,
yang terdiri dari 50,9% remaja putra dan 49,1% remaja putri yang sebagiannya telah
mengalami menstruasi. Dan remaja putra sebagian besar telah mengalami mimpi basah
(Gunarsa, 2015).
Remaja memiliki beberapa tugas perkembangan yang harus dijalani dengan baik. Salah
satu tugas tersebut adalah remaja dapat menerima peran seks dewasa yang diakui masyarakat
serta remaja tidak mengalami kesulitan dalam menjalani tugas tersebut. Remaja laki-laki dan
perempuan mempunyai tugas perkembangan yang berbeda diantaranya remaja laki-laki harus
mempersiapkan diri untuk menjadi laki-laki dewasa yang bertanggung jawab, sebagai calon
suami dan calon ayah yang baik untuk keluarga. Sedangkan anak perempuan mereka
didukung untuk mempelajari peran feminim. Perkembangan remaja juga merupakan tugas
pokok yang memerlukan penyesuaian diri selama waktu bertahun-tahun. Selain menjalani
tugas dan perkembangan remaja juga dituntut untuk mampu melindungi diri sendiri dari
ancaman yang membahayakan ataupun yang dapat merugikan remaja, salah satunya adalah
sexual harassment (Kusmiran, 2015).
Sexual Harrasment dapat dilakukan oleh laki-laki ataupun perempuan. Bisa berbentuk
permintaan terang-terangan untuk berhubungan
1 seksual, atau berbentuk lebih halus, seperti
mencolek bagian tubuh pribadi, mengucapkan kata tidak sopan kepada seseorang, atau
meletakkan pornografi kepada seseorang. Permintaan untuk melakukan kegiatan seksual
biasanya juga disertai janji atau imbalan tertentu, pemaksaan disertai dengan ancaman
hukuman, dan dilakukan secara terang-terangan. Jika janji atau ajakan tidak diterima, korban
bisa terancam. Sexual harassment bersifat merendahkan, menakutkan, dan terkadang
menggunakan kekerasan fisik. Dampak bisa bertahan lama, bahkan bertahun-tahun, dan dapat
menimbulkan konsekuensi yang berkaitan dengan psikologis dan kesehatan (Sayogo, 2011).
Laporan United Nations Children’s Fund (UNICEF) (2010), tercatat 1 dari 10 anak
perempuan di dunia mengalami pelecehan seksual. Sementara, pada tahun 2011 tercatat 6
dari 10 anak di seluruh dunia, yang total jumlahnya mencapai 1 miliar, mengalami pelecehan
seksual antara usia 2-14 tahun. Berbekal data dari 190 negara, UNICEF mencatat bahwa
seluruh anak-anak di dunia secara terus menerus dilecehkan secara fisik maupun emosional
mulai dari pembunuhan, tindakan seksual, bullying, dan penegakkan disiplin yang terlalu
kasar (Kartono, 2012).
Data yang diperoleh dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) (2018), kasus
sexual harassment, mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Data menunjukkan bahwa
pihaknya menemukan 652 kasus kekerasan seksual anak pada 2015. Sementara pada 2016,
KPAI mencatat terdapat 687 kasus kekerasan seksual terha-dap anak-anak. Kemudian di
2017, tercatat sebanyak 711 kasus kekerasan seksual.
Kepolisian Daerah Provinsi Riau sepanjang Januari hingga Desember 2017 telah
menangani sebanyak 142 laporan kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur di
berbagai wilayah kabupaten/kota di Riau. Menurut hasil rekap data yang ada, terbanyak kasus
tersebut terjadi atau ditangani oleh Polresta Pekanbaru yakni mencapai 50 laporan dengan 50
korban anak di bawah umur. Berdasarkan data dari Pelayanan dan Pemberdayaan Perempuan
dan Anak (P2TP2A) tahun 2018 di kota Pekanbaru tentang Perbuatan Cabul dan
Persetubuhan pada siswi SMP tahun 2017 tercatat 8 orang dan tahun 2018 tercatat 5 orang.
Ada beberapa faktor yang berhubungan dengan kejadian sexual harasment pada remaja
yaitu, salah satunya disebabkan karena kurangnya pendidikan seks dari orang tua dan juga
teman sebaya khususnya tentang jenis atau bentuk pelecehan seksual tersebut dan bagaimana
cara mencegahnya. Pendidikan seksual merupakan suatu upaya pengajaran, penyadaran, dan
pemberian informasi tentang masalah seksual yang sangat penting dan baik jika diberikan
pada usia remaja, dengan adanya pemahaman tentang pendidikan seksual pada remaja, hal ini
akan membuat mereka lebih peka pada berbagai kondisi mengenai seks terutama terhadap
dirinya sendiri dan individu lain disekitarnya. Selain itu pendidikan seksual dapat membuka
wawasan positif remaja dan menghindarkan diri mereka dari berbagai ancaman kejahatan
seksualitas termasuk salah satunya kekerasan seksual pada remaja (Kartono, 2012).
Pendekatan teman sebaya merupakan suatu bimbingan yang dilakukan oleh siswa
terhadap siswa yang lainnya. Siswa yang ditunjuk menjadi pembimbing akan diberikan
pelatihan atau pembinaan sebelumnya oleh konselor. Siswa tersebut berfungsi sebagai mentor
yang bertugas untuk membantu siswa lain dalam memecahkan perosoalan yang dihadapinya,
baik akademik maupun non-akademik. Di samping itu siswa tersebut memiliki fungsi
menjadi mediator untuk membantu para konselor dengan memberikan informasi tentang
keadaan masalah pada siswa yang bermasalah dan dianggap perlu mendapat layanan bantuan
bimbingan atau konseling (Willis, 2016).
Sexual harasment pada remaja dapat dicegah dengan cara memberikan pendidikan
kesehatan kepada remaja putri mengenai bentuk dan cara agar terhidar dari sexual harasment.
Salah satunya dengan melakukan pendidik sebaya (Peer education) yang merupakan suatu
prinsip yang bekerja dari remaja, untuk remaja, dan oleh remaja sehingga program peer
education dengan peer educator sebagai aktornya sangat efektif untuk mendorong
keterlibatan remaja dalam kerja-kerja untuk remaja sendiri. Dengan demikian dorongan
sesama remaja sangat dominan dalam pola-pola perilaku diantara remaja sendiri, disamping
itu remaja menganggap teman sebaya yang mampu menjadi tempat berlabuh dari berbagai
macam persoalan. Pada awalnya Peer Educator dibentuk dan dilatih untuk kegiatan
pemberian informasi dan bantuan konseling bagi remaja sebayanya. Maka untuk kepentingan
itu dibutuhkan potensi remaja yang memiliki latar dan kemampuan komunikasi, ketertarikan,
pengetahuan tentang kesehatan reproduksi (Lestari, 2015)
Menurut penelitian Dewi (2008), tentang pengaruh pendidikan kesehatan terhadap
perubahan pengetahuan dan sikap dalam pencegahan HIV/AIDS pada pekerja seks komersial,
diperoleh hasil penelitian bahwa pendidikan kesehatan dengan metode PE (peer education)
sangat efektif untuk meningkatkan pengetahuan tentang HIV/AIDS (p-value= 0,000).
Menurut penelitian Amelia (2014), diperoleh hasil bahwa ada pengaruh pendidikan kesehatan
dengan metode pendidik sebaya (peer education) terhadap tingkat pengetahuan responden.
Sebelum responden diberi pendidikan kesehatan rata-rata tingkat pengetahuan responden
adalah cukup (67.7%) dan sesudah diberi pendidikan kesehatan sebagian besar memiliki
tingkat pengetahuan baik (77.4%).
Berdasarkan data dari dinas pendidikan diketahui SMPN 9 merupakan salah satu sekolah
dengan jumlah siswi terbanyak. Hasil survei awal yang dilakukan peneliti terhadap 10 orang
siswi disekolah tersebut, diperoleh informasi bahwa 8 orang diantaranya pernah mengalami
sexsual harassment seperti dicolek, disiul, digoda dan lainnya, sedangkan 2 orang lainnya
menyatakan tidak pernah. Selain itu dari 10 orang tersebut 7 orang tidak mengetahui tentang
seksual harassment. Kemudian menurut pengakuan dari guru BK (Bimbingan Konseling)
diperoleh informasi bahwa pernah terjadi kasus pelecehan seksual di Sekolah tersebut,
terdapatnya beberapa remaja putri yang hamil diluar nikah.
Penelitian terkait pendidikan seks dengan pendekatan teman sebaya di SMPN 9
Pekanbaru, belum pernah dilakukan dan memiliki manfaat seperti dalam mencegah sexual
harrament. Sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Efektifitas
Pendidikan Seks dengan Peer Education terhadap Pengetahuan Remaja Putri tentang
Sexual Harrasment Di SMPN 9 Pekanbaru”.

3.1 Jenis dan Desain Penelitian


Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan desain penelitian quasi
experiment dengan rancangan one group with pretest-posttest. Rancangan penelitian ini
dilakukan pada satu kelompok saja tanpa kelompok pembanding, pengukuran dilakukan
sebelum dan sesudah intervensi (Notoatmodjo, 2010). Dalam penelitian ini peneliti ingin
menilai bagaimana efektifitas pendidikan seks dengan pendekatan teman sebaya terhadap
sexual harrasment pada remaja putri di SMPN 9 Pekanbaru. Rancangan penelitian secara
ringkas dapat dilihat pada skema 3.

Anda mungkin juga menyukai