Anda di halaman 1dari 11

FARMAKOLOGI OBAT-OBAT ANTIHISTAMIN NON SEDATIF PADA PENYAKIT

ALERGI
Dr. R. SOETIONO GAPAR
Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
Pada tahun 1940 untuk pertama kali diperkenalkan obat antihistamin. Sejak itu secara luas digunakan dalam
pengobatan simtomatik penyakit alergi. Pada umumnya antihistamin yang beredar di Indonesia mempunyai
spektrum luas artinya mempunyai efek lain seperti antikolinergik, anti serotonin, antibradikinin dan alfa
adrenoreseptor bloker. Golongan obat ini disebut antihistamin (AH1) klasik (1). Histamin adalah suatu alkoloid
yang disimpan di dalam mast sel. dan menimbulkan berbagai proses faalan dan patologik. Pelepasan histamin
terjadi akibat reaksi antitigen-antibodi atau kontak antara lain dengan obat, makanan, kemikal dan
venom. Histamin ini kemudian mengadakan reaksi dengan reseptornya (H1 dan H2)
yang tersebar di berbagai jaringan tubuh. Perangsangan reseptor H1 menyebabkan kontraksi otot polos,
peningkatan permeabilitas kapiler dan reaksi mukus.Perangsangan reseptor H2 terutama menyebabkan sekresi
asam lambung.

Penderita yang mendapat obat AH1 klasik akan menimbulkan efek samping, mengantuk, kadang-kadang
timbul rasa gelisah, gugup dan mengalami gangguan koordinasi. Efek samping ini sering menghambat aktivitas
sehari-hari, dan menimbulkan masalah bila obat antihistamin ini digunakan dalam jangka panjang (1).
Dekade ini muncul antihistamin baru yang digolongkan ke dalam kelompok AH1 sedatif yang tidak bersifat
sedasi, yang memberikan harapan cerah. Termasuk dalam AH1 non sedatif ini adalah; terfenidin, astemizol,
loratadin, mequitazin.

FARMAKOLOGI
AH1 non sedatif berbeda dengan AH1 klasik oleh sifat farmakokinetiknya.
Secara in-vitro diketahui bahwa terfenidin, astemisol terikat lebih lambat kepada
reseptor H1 daripada AH1 klasik dan jika telah terikat akan dilepaskan secara lambat
dari ikatan reseptor.
TERFENIDIN (2)
Merupakan suatu derivat piperidin, struktur kimia. Terfenidin diabsorbsi
sangat cepat dan mencapai kadar puncak setelah 1-2 jam pemberian. Mempunyai
mula kerja yang cepat dan lama kerja panjang. Obat ini cepat dimetabolisme dan
didistribusi luas ke berbagai jaringan tubuh. Terfenidin diekskresi melalui faeces
(60%) dan urine (40%). Waktu paruh 16-23 jam. Efek maksimum telah terlihat
sekitar 3-4 jam dan bertahan selama 8 jam setelah pemberian. Dosis 60 mg
diberikan 2 X sehari.
ASTEMIZOL (3)
Merupakan derivat piperidin yang dihubungkan dengan cincin benzimidazol, struktur kimia. Astemizol pada
pemberian oral kadar puncak dalam darah akan dicapai setelah 1 jam pemberian. Mula kerja lambat, lama kerja
panjang. Waktu paruh 18-20 hari. Di metabolisme di dalam hati menjadi metabolit aktif dan tidak aktif dan di
distriibusi luas keberbagai jaringan tubuh. Metabolitnya diekskresi sangat lambat, terdapat dalam faeses 54%
sampai 73% dalam waktu 14 hari. Ginjal bukan alat ekskresi utama dalam 14 hari hanya ditemukan sekitar 6%
obat ini dalam urine. Terikat dengan protein plasma sekitar 96%.
MEQUITAZIN (4)
Merupakan suatu derivat fenotiazin, struktur kimia lihat Gbr.1. Absorbsinya cepat pada pemberian oral, kadar
puncak dalam plasma dicapai setelah 6 jam pemberian. Waktu paruh 18 jam, Onset of action cepat, duration of
action lama. Dosis 5 mg 2 X sehari atau 10 mg 1 X sehari (malam hari).
LORATADIN (5,6,7)
Adalah suatu derivat azatadin, struktur kimia Gbr. 1. Penambahan atom C1 meninggikan potensi dan lama kerja
obat loratadin. Absorbsinya cepat. Kadar puncak dicapai setelah 1 jam pemberian. Waktu paruh 8-11 jam, mula
kerja sangat cepat dan lama kerja adalah panjang. Waktu paruh descarboethoxy-loratadin 18-24 jam. Pada
pemberian 40 mg satu kali sehari selama 10 hari ternyata mendapatkan kadar puncak dan waktu yang
diperlukan tidak banyak berbeda setiap harinya hal ini menunjukkan bahwa tidak ada kumulasi, obat ini di
distribusi luas ke berbagai jaringan tubuh. Matabolitnya yaitu descarboetboxy-loratadin (DCL) bersifat aktif
secara farmakologi clan juga tidak ada kumulasi. Loratadin dibiotransformasi dengan cepat di dalam hati dan di
ekskresi 40% di dalam urine dan 40% melalui empedu. Pada waktu ada gangguan fiungsi hati waktu paruh
memanjang. Dosis yang dianjurkan adalah 10 mg 1 X sehari. (Lihat tabel)

PENGGUNAAN ANTIHISTAMIN (AH1) NON SEDATIF


AH1 non sedatif mempunyai efek menghambat kerja histamin terutama diperifer, sedangkan di sentral tidak
terjadi karena tidak dapat melalui sawar darah otak. Antihistanin bekerja dengan cara kompetitif dengan
histamin terbadap reseptor histamin pada sel, menyebabkan histamin tidak mencapai target organ. AH1 non
sedatif umumnya mempunyai efek antialergi yang tidak berbeda dengan AH1 klasik. Beberapa peneliti
melaporkan bahwa untuk penderita seasonal rhinitis alergika. terfenidin bekerja lebih cepat (1-3 jam) dari
astemizol 1-6 hari karena itu untuk penyakit ini astemizol dianjurkan oleh mereka untuk profilaktik.
Loratadin dan Mequitazin mempunyai mula kerja dan efektivitas yang sama dengan terfenidin. Diantara AH1
non sedatif Mequitazin yang paling tidak spesifik, karena masih mempunyai efek antikolinergik.
Efek terhadap "psyvhomotor performance" dari terfenidin, asetemizol, loratadin dari berbagai penelitian
menyatakan tidak dijumpai kelainan.
Pada reaksi wheal dan flare, pemberian per oral terfenidin 60 mg menunjukkan efek hambatan 1 jam setelah
pemberian, efek maksimum 3-4 jam dan lama kerja 8-12 jam sesudah pemberian (2). Pada loratadin respon
wheal akan ditekan pada pemberian 1-2 jam. (Batenhorst et al 1986). Untuk pemberian jangka panjang dan
untuk penderita yang pekerjannya memerlukan kewaspadaan misalnya pengemudi mobil lebih sesuai diberi
AH1 non sedatif, karena efek sedasi dan aNtikolinergik dari AH1 klasik akan mengganggu penderita. Krause
dan Shuter 1985 mendapat hasil astemizol lebih baik pada penggunaan jangka panjang terhadap urtikaria kronik
dibandingkan dengan chlorfeniramin.
Ferguson mendapatkan hasil yang bermakna dari perbandingan terfenidin dengan plasebo dalam menurunkan
skor itch dan wheal (10). Loratadin mengurangi sistem chronic idiopathic urticaria dari pada plasebo. Untuk
pengobatan seasonal allergic rhinitis (SAR) (8) telah dilakukan beberapa uji klinik antara lain Katelaris
membandingkan loratidin dengan azatadin pada 34 penderita dan mendapatkan efek kedua obat sama baiknya,
tetapi loratadin kurang efek sampingnya. Pemberian kombinasi 5 mg loratadin clan 120 mg pseudoefedri 2X
sehari untuk pengobatan SAR memberikan hasil baik (5). Pengobatan rinitis alergik prineal dengan 10 mg
loratadin 1X sehari dan terfenidin 60 mg 2X sehari, selama 4 minggu jelas lebih baik dari plasebo dalam
menurunkan total symptom scores (TSS) (5).
Berbeda dengan AH1 klasik, AH1 non sedatif dengan obat-obat diazepam dan alkohol, tidak ada interaksi
potensial efek sedasi (2,3,5). Takhipilaksis tidak dijumpai pada 3 AH1 non sedatif (1). Penggunaan yang lama
dari astemizol akan menambah nafsu makan dan berat badan (3).
Toksisitas dan efek Samping
Penyelidikan pada binatang percobaan memperlihatkan dijumpainya toksisitas yang rendah, sedang aktivitas
mutagenik dan karsinogenik tidak dijumpai pada AH1 non sedatif (80). Pemberian dosis terapi AH1 non sedatif
meskipun jarang sekali, dapat juga timbul sedasi dan efek samping lain. Pemberian astemizol lebih dari 2
minggu dapat meningkatkan nafsu makan dan menambah berat badan (3). Pada beberapa AH1 sedatif ada yang
daPat melalui ASI tepai konsentrasinya cukup kecil (5). Efek antikolinergik jarang sekali terjadi pada
penggunaan AH1 non sedatif, kecuali mequitazin (4,8).
PENUTUP
Kewaspadaan masih dituntut ketika memberikan obat AH1 non sedatif ini, karena efektivitas dan toleransi obat
ini pada setiap individu berbeda. Sebaiknya pasien masih dilarang mengendarai kendaraan sewaktu memakan
obat ini sampai jelas tidak ada efek sedasi untuk dirinya. Masih merupakan obat pilihan yang berguna untuk
pengobatan alergi seperti rinitis alergika dan urtikaria akut. Untuk penggunaan jangka panjang sebaiknya di
pilih AH1 non sedatif, karena masa kerjanya panjang dan efek sampingnya kurang dibandingkan dengan AH1
klasik.
http://66.102.7.104/search?q=cache:c2wnfLhKFiwJ:library.usu.ac.id/modules.php%3Fop%3Dmodload
%26name%3DDownloads%26file%3Dindex%26req%3Dgetit%26lid%3D431+EFEK+ANTI-
HISTAMIN&hl=id&gl=id&ct=clnk&cd=7
TINJAUAN KEPUSTAKAAN 

Penggunaan dan Efek Samping Steroid
Iris Rengganis 
Subbagian Alergi­Imunologi Klinik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / 
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN 
Sejak penggunaannya pada tahun 1949 sampai sekarang, 
hidrokortison atau kortisol yang merupakan glukokortikoid 
atau kortikosteroid (KS) utama korteks adrenal merupakan obat 
anti­inflamasi dan imunosupresan yang sangat efektif. Istilah 
KS berasal dari hasil penelitian awal yang menunjukkan 
adanya efek poten ekstrak korteks adrenal terhadap 
metabolisme glukosa dan glikogen. Dewasa ini telah tersedia 
berbagai preparat KS yang dapat diberikan melalui berbagai 
cara
(1­6)

BIOKIMIA/FARMAKOLOGI 
Orang dewasa mensekresi sekitar 20­30 mg kortisol per 
hari. Lebih dari 90% KS dalam plasma diikat protein 
transkortin (corticosteroid binding globulinCBG) dengan 
afinitas kuat dan sekitar 5%­8% oleh albumin dengan afinitas 
rendah. Steroid yang diikat tidak aktif dan hanya sekitar 5% KS 
endogen dan 35% KS sintetik eksogen bebas dalam sirkulasi. 
Kemampuan transkortin untuk mengikat KS berubah bila KS 
diberikan untuk jangka waktu lama. Hal tersebut akan 
berpengaruh terhadap sekresi KS endogen. KS adalah hormon 
steroid dengan 21­carbon yang aktivitasnya tergantung dari 
grup hidroksil pada rantai C­11. Dua KS terpoten yang banyak 
digunakan dalam praktek sehari­hari adalah kortison dan 
prednison yang mempunyai grup keto pada rantai C­11. Untuk 
menjadi aktif, keto rantai C­11 tersebut perlu dikonversikan 
terlebih dahulu in vivo (dalam hati) ke dalam bentuk hidroksil 
C­11 (kortisol/hidrokortison atau metilprednisolon). Pada 
pasien dengan penyakit hati, konversi prednison ke prednisolon 
terganggu, jumlah KS yang diikat protein plasma menurun dan 
akan meningkatkan kadar KS dalam darah. KS dimetabolisir di 
hati, ginjal mensekresi 95% metabolitnya dan sisanya 
dikeluarkan melalui saluran cerna. Berbagai preparat sintetis 
KS mempunyai masa paruh yang berbeda. KS dengan klirens 
yang lebih panjang akan cenderung lebih menimbulkan efek 
samping
(1,3,4,7­9)

SINTESIS DAN SEKRESI KS 
Sekresi KS endogen ada di bawah pengaruh sumbu 
hipotalamus­pituitari­adrenal (HPA). Hipotalamus mensekresi 
corticotropin­releasing hormone (CRH) yang merupakan 
regulator utama dari sekresi kortisol. Sekresi CRH terjadi 
dalam waktu yang pendek, puncaknya sekitar pukul 8.00 pagi 
dan terendah pada malam hari. CRH merangsang pituitari/ 
hipofisis anterior untuk mensekresi ACTH yang selanjutnya 
merangsang produksi adrenal untuk membentuk kortisol. 
Sistem ini merupakan mekanisme umpan balik. KS yang 
diberikan sinkron dengan puncak ACTH (pagi) tidak 
menunjukkan efek supresi sumbu HPA dibanding dengan 
pemberian sewaktu kadarnya terendah (malam). Dosis 
prednison >15 mg/hari akan menunjukkan efek supresi dalam 
seminggu. Dosis 7,5­15 mg/hari untuk 1 bulan biasanya tidak 
menurunkan produksi ACTH. Efek supresinya akan kurang lagi 
bila KS diberikan satu kali pada pagi hari. Lama supresi 
tergantung dari dosis dan lama pemberian
(1,3,7,9)

MEKANISME KERJA 
Setelah masuk dalam sirkulasi, KS bergerak pasif dan 
melintas membran sel sasaran. Di dalam sitoplasma sel 
tersebut, KS diikat reseptor (R) spesifik yang membentuk 
kompleks KSR yang dengan segera ditranslokasikan kenukleus 
untuk kemudian diikat oleh GRE (glucocorticoid response 
element) spesifik dalam kromatin. Kejadian ini menimbulkan 
transkripsi DNA yang membentuk transkrip messenger RNA 
spesifik (mRNA). Transkrip­transkrip tersebut mengalami 
proses postranskripsi yang kemudian diangkut ke sitoplasma 
sehingga terbentuklah protein baru. Reseptor KS ditemukan 
pada berbagai jenis sel (limfosit, monosit/makrofag, osteoblast, 
sel hati, sel otot, sel lemak dan fibroblast).Hal ini menerangkan 
me­ngapa KS memberikan efek biologik terhadap begitu 
banyak sel
(1­3)

Gambar 1. Struktur kimia dari glukokortikoid

EFEK KORTIKOSTEROID 
KS mempunyai efek metabolisme, anti­inflamasi dan 
imunosupresi. 
Efek metabolisme 
KS berperan dalam metabolisme karbohidrat, lipid, 
protein, asam nukleat, cairan, elektrolit, tulang dan kalsium. KS 
diperlukan untuk mempertahankan berbagai fungsi fisiologi 
seperti tekanan darah, volume darah, fungsi otot, gula darah 
dan glikogen hepar. KS meningkatkan degradasi dan 
penurunan sintesis protein dalam banyak jaringan, 
meningkatkan glukoneogenesis dengan mobilisasi prekursor 
glikogenesis asam amino, menurunkan transpor glukosa ke 
dalam sel (fibroblas, sel limfoid, jaringan lemak dan otot) dan 
pemakaian glukosa perifer. Hal tersebut akan meningkatkan 
kadar gula darah dan toleransi glukosa yang menurun. Sel 
pankreas memberi respons dengan mensekresi lebih banyak 
insulin. Pemberian KS dosis besar yang lama dapat 
menimbulkan diabetes melitus. Selanjutnya KS meningkatkan 
glikogen hati
(1,4,7,11)

Efek anti­inflamasi dan imunosupresi 
Untuk membedakan efek anti­inflamasi dari efek 
imunosupresi adalah sulit oleh karena banyak sel yang sama, 
jalur yang sama dan mediator yang sama berperan pada ke dua 
proses tersebut. KS bekerja terhadap berbagai kaskade dari 
proses inflamasi (produksi, pengerahan, aktivasi dan fungsi 
efektor). KS dapat mengubah jalur dan kerja sel 
imunokompeten dalam sirkulasi, memodulasi sintesis dan 
penglepasan mediator inflamasi dan sitokin, mengurangi 
ekspresi reseptor sitokin, menginduksi kematian limfosit, 
memodifikasi inter­aksi antar sel imunokompeten
(1,3,7,12,13)
.
Efek terhadap mediator inflamasi 
Produksi dan fungsi imunoglobulin: KS menekan produksi 
imunoglubulin terutama IgG, IgA, IgE yang terjadi maksimal 
2­4 minggu setelah pemberiannya, kembali ke semula setelah 
KS dihentikan. KS mengurangi produksi mediator inflamasi 
(prostaglandin. leukotrin, tromboksan dan platelet activating 
factor), mencegah produksi dan penglepasan histamin pada 
basofil dan sel mast, menghambat produksi berbagai sitokin, 
KS terlihat bekerja pada banyak tahap inflamasi dengan efek 
akhir mengurangi gejala, tanda­tanda lokal dan kerusakan oleh 
inflamasi. Produksi nitrit oksida dicegah sehingga nitrit oksida 
yang menurun akan mengurangi edema, eritema pada sendi 
dengan inflamasi
(1,3,12,13)


Efek terhadap komponen seluler 
Kebanyakan sel di tempat inflamasi terdiri atas leukosit 
asal sirkulasi. KS mampu merubah lintas sel­sel leukosit dalam 
sirkulasi. Efek yang sangat penting dari KS ialah 
kemampuannya untuk mengubah lalulintas berbagai leukosit 
dalam sirkulasi. Setelah diberikan satu kali suntikan KS IV, 
jumlah neutrofil mendadak meningkat; hal ini disebabkan oleh 
peningkatan penglepasan neutrofil yang belum matang dari 
sumsum tulang dan demarginasi dari endotel vaskuler yang 
disebabkan penurunan ekspresi molekul adhesi ICAM­1 dan 
ELAM­1. Sel­sel lainnya dalam sirkulasi seperti limfosit, 
monosit, eosinofil dan basofil justru menurun. Penurunan 
limfosit disebabkan karena redistribusi sel ke jaringan limfoid 
dan sumsum tulang. Jumlah eosinofil dalam sirkulasi berkurang 
disebabkan karena survival sel dan migrasinya ke tempat 
inflamasi menurun di­sertai redistribusi sel ke limpa, timus dan 
kelenjar limfe. Monosit dan makrofag mempunyai peranan 
sentral pada infla­masi. KS menurunkan jumlah sel dalam 
sirkulasi serta migrasi­nya ke jaringan inflamasi dan juga 
menurunkan respons sel terhadap berbagai sitokin. Supresi 
delayed hypersensitivity kulit adalah tanda dari supresi 
terhadap monosit. Jumlah dan penglepasan histamin serta 
granul spesifik sel mast dan basofil diturunkan. KS 
menghambat proliferasi dan aktivitas limfosit. Agregasi 
trombosit, metabolisme asam arakidonat, fibroblas dan endotel 
vaskuler dicegah
(1­3,12,13)

EFEK SAMPING KS DAN PRINSIP UMUM PENG­
GUNAAN KS 
(1,4,8,12)

KS dapat menimbulkan banyak sekali efek samping yang 
kompleks (Tabel 2 dan 3) sehingga banyak dokter yang takut 
untuk memberikan dosis KS besar yang sebenarnya sering 
diperlukan pada berbagai pengobatan penyakit inflamasi. Pada 
pemberian KS sistemik, perlu diperhatikan beberapa fase 
pengobatan. 
Induksi: Usaha yang cukup untuk menghentikan inflamasi 
harus dilakukan pada dosis awal 1mg/kg/hari dengan dosis 
terbagi 3 kali/hari. Janganlah memulai dengan dosis kecil lalu 
mencari dosis yang cocok dan lebih besar. 
Konsolidasi: Bila penyakit sudah menunjukkan perbaikan, 
dosis terbagi dapat dijadikan dosis tunggal pagi hari. Bila 
perbaikan menetap atau gejala menghilang, dosis selanjutnya 
dikurangi. 
Tapering off: Dosis diturunkan, bila mungkin sampai 
dihentikan. Banyak dokter yang menurunkan terlalu cepat lalu 
perlahan. Beberapa dokter tidak melakukan tapering off tetapi 
menghentikan dengan mendadak yang dapat menimbulkan 
kembalinya inflamasi dan fenomena rebound sehingga dosis 
harus dimulai lagi seperti semula. Pemakaian kurang dari satu 
minggu tidak memerlukan tapering off, yang kurang dari satu 
bulan diturunkan 2,5­5mg/hari, sedangkan pemakaian lebih 
dari satu bulan diturunkan lebih perlahan misalnya 2,5 mg setiap 2­3 minggu. Bila sudah mencapai 7 mg penurunan lebih 
kecil lagi misalnya 1 mg setiap 2­4 minggu.

Dosis perawatan: Pada beberapa kondisi, KS tidak 
mungkin dihentikan karena akan menimbulkan kekambuhan. 
Maka dianjurkan untuk memberikan dosis sekecil mungkin 
yang efektif sekali pada pagi hari. Hal tersebut akan 
mempertahankan ritme diurnal dan meminimalkan supresi 
sumbu HPA. 
Efek samping kortisol terutama tampak pada penggunaan 
lama dengan dosis tinggi, yakni lebih dari 50 mg sehari atau 
dosis setara dari derivat sintesisnya. Ada tiga kelompok efek 
samping, berdasarkan khasiat faali pokoknya, yakni efek 
glukokortikoid, mineralokortikoid serta efek umum
(1,4,8)


1.
Efek glukokortikoid yang terpenting berupa: 
a) Gejala 
Cushing. 
Sindrom Cushing sering disebabkan oleh suatu tumor di 
hipofisis dan hiperproduksi ACTH. Gejala utamanya adalah 
retensi cairan di jaringan­jaringan yang menyebabkan naiknya 
berat badan dengan pesat, wajah menjadi tembem dan bundar 
(moon face), adakalanya kaki­tangan gemuk (bagian atas). 
Selain itu, terjadi penumpukan lemak di bahu dan tengkuk. 
Kulit menjadi tipis, lebih mudah terluka dan timbul garis 
kebiru­biruan (striae). 
b) Atrofi dan kelemahan otot (myopathy steroid) 
Khususnya mengenai anggota badan dan bahu, lebih sering 
terjadi pada hidrokortison daripada derivat sintesisnya. 
c) Osteoporosis (rapuh tulang) karena menyusutnya tulang 
dan risiko besar fraktur bila terjatuh. Efek ini terutama pada 
penggunaan lama dari dosis di atas 7,5 mg prednison sehari 
(atau dosis ekivalen dari glukokortikoid lain), seperti pada 
asma berat. Prevensi efektif dapat dilakukan dengan vitamin 
D3 + kalsium, masing­masing 500 UI dan 1000 mg sehari. 
Senyawa bifosfonat (etidronat, alendronat) dapat digunakan. 
d) Menghambat pertumbuhan anak­anak, akibat dipercepat 
nya penutupan epifisis tulang pipa. 
e) Atrofi kulit dengan striae, yakni garis kebiru­biruan akibat 
perdarahan di bawah kulit, juga luka/borok sukar sembuh 
karena penghambatan pembentukan jaringan granulasi (efek 
katabolik). 
f) Diabetogen 
Penurunan toleransi glukosa dapat menimbulkan 
hiperglikemia menyebabkan munculnya atau memperhebat 
diabetes. Penyebabnya adalah stimulasi pembentukan glukosa 
berlebihan dalam hati. 
g) Imunosupresi 
Jumlah serta aktivitas limfosit B, limfosit T dan makrofag 
dikurangi, pada dosis amat tinggi juga produksi antibodi. 
Efeknya adalah turunnya sistem imun dan tubuh menjadi lebih 
peka terhadap infeksi oleh jasad­jasad renik. TBC dan infeksi 
parasit dapat diaktifkan, begitu pula tukak lambung usus 
dengan risiko meningkatnya perdarahan dan perforasi. 
2.
Efek mineralokortikoid berupa: 
a) Hipokalemi akibat kehilangan kalium melalui urin. 
b) Edema dan berat badan meningkat karena retensi garam 
dan air, juga risiko hipertensi dan gagal jantung. 
3.
Efek­efek umumnya adalah: 
a) Efek sentral (atas SSP) berupa gelisah, rasa takut, sukar 
tidur, depresi dan psikosis. Euforia dengan ketergantungan fisik 
dapat pula terjadi. b) Efek androgen, seperti akne, hirsutisme dan gangguan 
haid. 
c) Katarak dan kenaikan tekanan intraokuler, juga bila 
digunakan sebagai tetes mata, risiko glaukoma meningkat. 
d) Bertambahnya sel­sel darah: eritrositosis dan granulo­
sitosis. 
e) Bertambahnya napsu makan dan berat badan. 
f) Reaksi 
hipersensitivitas. 
STRATEGI PENGGUNAAN KS
(1,8,12)

.
Aplikasi topikal 
Terapi topikal adalah cara untuk mengantarkan dosis 
tinggi KS ke permukaan jaringan inflamasi. Telah tersedia 
berbagai preparat topikal terhadap setiap permukaan tubuh 
yang kontak dengan dunia luar seperti paru, hidung, kulit, 
mata, telinga dan saluran cerna. Pemberian topikal dapat 
menggantikan pemberian sistemik sehingga KS dalam dosis 
besar diberikan langsung ke tempat inflamasi dengan absorpsi 
minimal. 
Meskipun demikian KS topikal belum dapat mengeliminir 
keperluan KS sistemik, harganya mahal dan sebenarnya juga 
mempunyai efek samping. Berbagai usaha telah dilakukan 
untuk membuat molekul KS lebih lipofilik dan mempunyai 
afinitas besar terhadap KS­R dibanding dengan KS sistemik. 
Mekanisme unik efek anti­inflamasinya belum diteliti 
seluruhnya, tetapi dalam beberapa hal berbeda dari KS sistemik 
sebagai berikut : KS topikal yang diberikan melalui paru, 
hidung dan kulit mencegah baik fase dini maupun fase lambat 
respons alergi, sedang KS sistemik hanya mencegah respons 
fase lambat. 
Hal ini mungkin disebabkan karena redistribusi sel mast 
yang disensitisasi IgE. Pemberian topikal dapat mengurangi 
dosis sistemik atau menggantikan dosis yang tidak tinggi. Meskipun ada perbedaan, diduga mekanisme molekuler dan 
seluler yang terjadi pada KS sistemik juga terjadi pada KS 
topikal.
Tabel 2. Efek samping steroid berdasarkan kekerapannya

Sangat sering dan perlu diantisipasi pada semua pasien 
Napsu makan meningkat 
Obesitas sentripetal 
Gangguan penyembuhan luka 
Risiko infeksi meningkat 
Supresi sumbu HPA 
Gangguan pertumbuhan pada anak­anak 
Osteoporosis 
Sering terlihat 
Miopati 
Nekrosis avaskuler 
Hipertensi 
Edema sekunder 
Hiperlipidemia 
Psikosis 
Diabetes melitus 
Katarak subkapsuler posterior 
Kadang­kadang, tetapi penting diantisipasi sejak awal 
Glaukoma 
Hipertensi intrakranial benigna 
Silent intestinal perforation 
Ulkus 
peptikum 
Alkalosis 
hipokalemi 
Koma nonketosis hiperosmolar 
Gastritis hemoragi 
Jarang 
Pankreatitis 
Hirsutisme 
Panikulitis 
Amenore sekunder 
Impotensi 
Lipomatosis epidural 
Alergi terhadap steroid sintetik 
PENGGUNAAN KS TOPIKAL 
KS topikal pada asma 
Di samping pengaruh terhadap redistribusi sel mast, KS 
yang diberikan per inhalasi juga efektif terhadap inflamasi pada 
asma, dapat mengurangi jumlah dan aktivasi leukosit di saluran 
napas, mencegah peningkatan eosinofil nokturnal, menurunkan 
hipereaktivitas bronkus dan memperbaiki gejala asma. Pada 
asma berat, semprotan KS dapat mengurangi dosis KS oral 
yang diperlukan dan penggunaannya yang teratur dapat 
mengurangi frekuensi dan berat serangan. 
Terapi standar asma sekarang ialah penggunaan semprotan 
KS dan semprotan 
agonis jika perlu (mungkin dengan 
tambahan KS sistemik selama serangan). Apakah penggunaan 
semprotan KS yang lama dapat mengubah riwayat asma 
alamiah penting untuk diketahui pada anak. Pada asma anak 
derajat ringan sedang, penggunaan sodium kromoglikat dan 
nedokromil masih dianggap lebih aman. Betametason 
diproprionat, budesonide dan triamsinolon asetonide semua 
efektif, dan belum ada studi untuk membandingkan efeknya. 
Pemberian 4 kali/hari diperlukan untuk mendapatkan hasil 
optimal (dosis pada asma berat atau selama eksaserbasi). Pada 
asma ringan­sedang pemberiannya 2 kali/hari memberikan 
hasil baik. Pada keadaan ideal, hanya 10% dari dosis yang 
disemprotkan mencapai paru.

Tabel 3. Efek samping steroid berdasarkan dosis yang diberikan 13 
Pada pemberian KS yang lama dan menetap 
Sindroma Cushing 
Supresi sumbu HPA 
Berat meningkat 
Gangguan emosi 
Gangguan penyembuhan luka 
Risiko infeksi meningkat 
Hiperkalsiuria 
Katabolisme protein meningkat 
Pada pemberian dosis tinggi yang kumulatif 
Osteoporosis 
Katarak kapsul posterior 
Atrofi kulit 
Gangguan pertumbuhan (pada anak) 
Aterosklerosis 
Eksaserbasi yang disebabkan terapi dengan KS (tergantung dosis) 
Hipertensi 
Intoleransi glukosa 
Tukak lambung 
Akne vulgaris 
Kadang­kadang, yang tergantung dosis 
Nekrosis avaskuler 
Miopati 
Perlemakan hati 
Hirsutisme 
Jarang terlihat, tak terduga 
Psikosis 
Lipomatosis 
Alergi steroid 
Pseudotumor serebri 
Glaukoma 
Pankreatitis 
KS topikal nasal 
Seperti halnya dengan asma, KS sistemik efektif terhadap 
inflamasi hidung. Deksametason yang pertama diberikan dalam 
bentuk semprotan telah mengecewakan karena menimbulkan 
efek samping sistemik. Obat yang baru menunjukkan afinitas 
tinggi terhadap KS­R dan tidak menunjukkan absorpsi sistemik 
pada dosis konvensional (beklometason diproprionat, 
budesonide dan flutikason). Rinitis alergi, rinitis non­alergi 
dengan eosinofil (NARES), polip nasal dan sinusitis kronik 
non­infeksi merupakan indikasi untuk penggunaan KS nasal. 
Respons terbaik ditemukan pada rinitis alergi dan NARES. 
Sebenarnya KS nasal lebih efektif dibanding dengan 
antihistamin meskipun antihistamin efeknya segera, sedang KS 
memerlukan beberapa hari sebelum perbaikan terlihat. Tidak 
seperti paru, organ sasaran dari KS nasal lebih mudah dicapai, 
sehingga teknik penggunaannya tidak sulit. 
KS topikal pada penyakit kulit. 
Preparat KS untuk kulit dapat dibagi dalam 5 kategori: 
Potensi terendah, rendah, sedang, tinggi dan superpoten. Pada 
umumnya, efikasi dan efek samping meningkat seiring dengan 
potensi. KS yang superpoten dapat menyebabkan atrofi kulit 
dan dapat menekan sumbu HPA. 
Efek seluler utama KS topikal terhadap kulit adalah 
pencegahan atau pengurangan proses inflamasi, penurunan 
derajat proliferasi epidermal dan peningkatan diferensiasi 
epidermal. Oleh karena itu KS topikal efektif terhadap penyakit 
proliferatif seperti psoriasis dan penyakit inflamasi seperti 

dermatitis atopi, dermatitis kontak, dermatitis stasis dan 
dermatitis seboroik. 
KS topikal pada penyakit telinga dan mata 
KS topikal untuk jangka waktu pendek pada umumnya 
efektif terhadap penyakit mata seperti iritis, keratitis punktata 
superfisial, pemphygoid cicatrical dan konjungtivitis alergi 
(diberikan setelah antihistamin dan anti­inflamasi topikal 
alternatif gagal). KS topikal juga digunakan untuk membatasi 
inflamasi dari infeksi tertentu seperti blepharokonjungtivitis 
stafilokokus dan keratitis herpes, meskipun untung­ruginya 
(risiko infeksi memburuk) perlu dipertimbangkan. Otitis 
eksterna juga memberikan respons baik terhadap KS topikal 
meskipun standar regimennya juga menyertakan pemberian 
antibiotik. 
KS oral 
Pemberian KS oral dengan interval 48 jam memberikan 
keuntungan tidak menimbulkan supresi sumbu HPA. Efek 
samping seperti sindrom Cushing, supresi pertumbuhan, 
obesitas dan infeksi lebih kecil, tetapi osteoporosis dan katarak 
terjadi pada derajat yang sama dibanding dengan pemberian 
setiap hari. KS yang semula diberikan setiap hari lalu 
diturunkan selang sehari memberikan hasil baik pada 
pengobatan sindrom nefrotik, glomerulonefritis, nefritis lupus, 
kolitis ulseratif, miastenia gravis, asma, pemfigus vulgaris, 
vaskulitis sistemik dan penolakan transplan. 
Suntikan lokal 
KS dapat disuntikkan intermiten untuk mengurangi 
inflamasi pada satu atau dua sendi. Absorpsi sistemik tidak 
menjadi masalah bila suntikan diberikan 1 kali/bulan. KS 
diberikan intra­artikuler pada pasien dengan sinovitis yang 
disertai artritis reumatoid, pirai dan osteoartritis. KS dapat pula 
disuntikkan untuk mengobati bursitis, epikondilitis dan 
tenosinovitis dan lesi kulit yang refrakter seperti keloid, likhen 
planus, likhen simpleks kronis, psoriasis, lupus diskoid dan 
alopesia areata. 
KS parenteral 
Inflamasi sistemik kadang memerlukan KS intravena/iv 
misalnya bila pasien tidak dapat mentolerir KS oral. Perlu 
diperhatikan bahwa KS oral tidak mahal dan mudah diabsorpsi. 
KS iv mahal dan lebih sulit pemberiannya. Pemberian 250 mg 
metilprednisolon tiap 6 jam terbukti memberikan hasil baik. 
Regimen lainnya ialah stress dosis yang diberikan kepada 
pasien yang sudah mendapat KS yang akan menjalani operasi 
atau yang tidak dapat minum KS oral, biasanya berupa 100 mg 
hidrokortison setiap 8 jam. Pemberian KS im dalam bentuk 
lepas lambat sekali sebulan tidak dianjurkan karena dapat 
mensupresi sumbu HPA. Di samping itu meskipun jarang, 
abses lokal dan nekrosis lemak dapat terjadi. KS oral: Banyak 
pasien memilih prednison oral, selain absorpsinya baik, 
harganya murah dan masa paruhnya pendek (sekitar 90 menit) 
sehingga kadar plasmanya sudah diperoleh dalam beberapa 
jam. Metilprednisolon lebih mahal tetapi dari segi klinis, 4 mg 
metilprednisolon lebih efektif dibanding dengan 5 mg 
prednison. Hal tersebut disebabkan karena plasmalife 
metilprednisolon adalah 2 kali prednison. KS lain seperti 
triamsinolon dan deksametason memiliki masa paruh yang 
lebih panjang, juga tidak diikat globulin, sehingga cenderung 
lebih sering menimbulkan efek samping di samping miopati. 
Terapi pulse 
Terapi pulse ialah pemberian bolus 100­1000 mg 
metilprednisolon atau yang setara setiap hari sampai 3 hari. 
Tindakan tersebut biasanya langsung memberikan perbaikan 
pada berbagai penyakit autoimun (artritis reumatoid, lupus 
yang mengancam nyawa, nefritis lupus, serebral lupus dan 
vaskulitis). Perbaikan dapat dicapai untuk beberapa hari sampai 
beberapa bulan. Efek toksik KS pada pemberian tersebut 
kurang dibanding dengan pemberian KS dengan jumlah yang 
sama dalam beberapa hari minggu. 
KESIMPULAN 
KS mempunyai efek poten terhadap banyak komponen 
dari inflamasi dan respons imun. KS menghambat produksi 
mediator humoral, proliferasi dan aktivasi berbagai sel sistem 
imun. Pada banyak penyakit inflamasi akut, kronis dan 
autoimun KS dapat menyelamatkan nyawa banyak pasien. 
Sebaliknya pada individu normal atau bila penggunaannya 
berlebihan (tidak rasional), KS dapat menimbulkan berbagai 
efek samping. Strategi penggunaannya pada dosis besar dan 
jangka waktu lama perlu dikuasai dengan baik

nan rancak bnau


http://www.kalbefarma.com/files/cdk/files/16_150_Penggunaandanefeksamping.pdf/16_150_Penggunaandanef
eksamping.html

Anda mungkin juga menyukai