Anda di halaman 1dari 39

LABORATORIUM KESEHATAN KULIT & KELAMIN REFARAT

FAKULTAS KEDOKTERAN November 2018


UNIVERSITAS PATTIMURA

PATOFISIOLOGI DAN ASPEK KLINIS DARI PRURITUS

Disusun oleh:

Saribah Latupono
NIM. 2016-84-041

Pembimbing:
dr. Fitri K Bandjar, Sp.KK, M.Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

RSUD DR. M. HAULUSSY

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2018

BAB I

1
PENDAHULUAN

Pruritus (gatal) adalah gejala utama penyakit kulit dan paling cocok
didefinisikan sebagai sensasi yang mengarah pada keinginan untuk
menggaruk.1,2,3,5 Semua manusia mengalami sensasi ini sepanjang hidup mereka;
Oleh karena itu, penting untuk membedakan antara gatal akut, yang dalam periode
terbatas berkisar antara detik hingga seminggu seperti gatal akut yang terkait
dengan reaksi gigitan serangga, dan gatal kronis yang berlangsung selama
berbulan-bulan.1,3

Gatal adalah gejala daripada identitas penyakit tertentu; Oleh karena itu,
data epidemiologis untuk gatal terbatas. Meskipun demikian, gatal telah
ditemukan sebagai keluhan kulit yang dominan di antara semua kelompok usia.
Gatal adalah gejala utama pada beragam penyakit kulit dan juga penyakit
sistemik.1,5 Insidensi dan prevalensi dari pruritus masih terbatas. Pruritus akut
3,7,9
perlangsungannya 2 minggu. Sedangkan pruritus kronik 6 minggu atau lebih.
Untuk prevalensi pruritus kronik dilaporkan sekitar 8% . 3 prevalensi pruritus
terbagi menjadi dua yaitu pada pruritus yang terjadi pada pasien dengan infeksi
dan pruritus pada pasien dengan penyakit sistemik.1,3,9

Pruritus mungkin berasal dari kulit atau SSP. International Forum for the
Study of Itch (IFSI) telah mengusulkan klasifikasi yang membedakan tiga
kelompok klinis pasien dibagi menjadi 3 kelompok besar diantaranya kelompok I
yaitu pruritus pada kulit yang sakit (infamed), kelompok II yakni pruritus pada
kulit yang tidak sakit (noninfamed) dan kelompok III yaitu pruritus yang
mengalami luka goresan sekunder kronis parah, seperti prurigo nodularis.1

Akibat dari rasa gatal atau pruritus sehingga dapat menginduksi terjadinya
proses garukan yang mengaktifkan korteks prefrontal secara khusus, yaitu sebuah
area otak yang terlibat dalam sistem yang diarahkan pada tujuan dan kebiasaan.
Menggaruk berulang pada kondisi kronis seperti dermatitis atopik dan psoriasis

2
selanjutnya merusak kulit dan menyebabkan sekresi neuropeptida dan opiat yang
selanjutnya dapat meningkatkan siklus gatal-garukan.1

Untuk menegakkan diagnosis, penting dilakukan anamnesis, pemeriksaan


fisik dan pemeriksaan penunjang untuk mengetahui penyebab pruritus yang
dialami oleh pasien. Penting untuk membedakan antara pruritus umum dan gatal
lokal. Pemeriksaan riwayat yang cermat, termasuk riwayat obat lengkap, dan
pemeriksaan fisik termasuk kelenjar getah bening, adalah titik awal. Riwayat
harus mempertimbangkan sifat gatal multidimensional dan harus mencakup
rincian kualitas, distribusi, dan waktu. 1

Pertimbangan laboratorium sekunder meliputi pemeriksaan tinja untuk


parasit, skrining untuk hepatitis B atau C, elektroforesis protein plasma, dan
immunoelektroforesis. Pemindaian tomografi pada dada dan perut mungkian bisa
dilakukan untuk membantu menyingkirkan limfoma. Biopsi kulit tidak dibenarkan
dan hanya berguna untuk menyingkirkan mastositosis kutaneus.1

Sensasi gatal meningkat jika kulit terasa hangat, oleh karena itu tindakan
harus dilakukan untuk mendinginkan kulit, termasuk mandi dengan air hangat,
pakaian ringan, dan pendingin udara jika sesuai. Losion pendingin, seperti losion
kalamin atau mentol 1%, bisa membantu. Pengobatan pruritus terbagi menjadi
antipruritus yang bersifat sistemik dan antipruritus topikal. 1

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Pruritus (gatal) adalah gejala utama penyakit kulit dan paling cocok
didefinisikan sebagai sensasi yang mengarah pada keinginan untuk
menggaruk.1,2,3,5 Semua manusia mengalami sensasi ini sepanjang hidup mereka;
Oleh karena itu, penting untuk membedakan antara gatal akut, yang dalam periode
terbatas berkisar antara detik hingga seminggu seperti gatal akut yang terkait
dengan reaksi gigitan serangga, dan gatal kronis yang berlangsung selama
berbulan-bulan.1 Gatal kronis adalah fenomena multidimensi yang terdiri dari
komponen sensorik, emosional, dan kognitif.1 Gatal kronik perlangsungannya 6
bulan atau lebih yang merupakan gejala kutaneus yang umum terjadi seperti
dermatologi, sistemik, neurologi, psikiatri, dan penyakit ginekologi serta reaksi
akibat mengkonsumsi obat.3 Pada kebanyakan kasus, gatal kronis disebabkan
akibat dari interaksi aksis kulit-otak. Meski gatal dan nyeri adalah sensasi terpisah
dan berbeda, gatal memiliki banyak kesamaan dengan rasa sakit. Gatal dan rasa
nyeri adalah pengalaman sensoris yang tidak menyenangkan, mengikuti jalur saraf
yang serupa, dan dapat sangat mengganggu kualitas hidup pasien.1

Pemahaman yang terbatas tentang hasil gatal dari sifat gatal yang
subjektif, tidak adanya metode penyelidikan spesifik dan sensitif untuk
mempelajari neuropatofisiologi dan dasar molekuler gatal pada manusia,
kurangnya model hewan yang meyakinkan dan pengetahuan farmakologis pruritus
yang tidak lengkap. Namun, kemajuan signifikan telah dicapai dalam beberapa
dekade terakhir dengan ditemukannya jalur saraf baru (baik histaminergik maupun
nonhistaminergik) serta reseptor baru pada manusia dan hewan. Konsep bahwa
gatal ditransmisikan ke sistem saraf pusat (SSP) dan diproses di otak harus
mengarah pada pendekatan baru terhadap terapi antipruritik. 1

4
2.2 Epidemiologi

Gatal adalah gejala daripada identitas penyakit tertentu; Oleh karena itu,
data epidemiologis untuk gatal masih terbatas. Meskipun demikian, gatal telah
ditemukan sebagai keluhan kulit yang dominan di antara semua kelompok usia.
Dalam sebuah penelitian cross-sectional besar di Norwegia, prevalensi pruritus
sekitar 8% di antara orang dewasa. Gatal adalah gejala utama pada beragam
penyakit kulit dan juga penyakit sistemik. Prevalensi pruritus pada penyakit
dermatologis dan sistemik yang berbeda telah diuraikan pada Tabel 103-1 dan
103-2. 1 Insidensi dan prevalensi dari pruritus masih terbatas. Setiap individu yang
mengalami pruritus akut biasanya diakibatkan oleh gigitan serangga atau urtikaria.
Pruritus akut perlangsungannya 2 minggu. Sedangkan pruritus kronik 6 minggu
atau lebih. 3,9 Prevalensi pruritus kronik sekitar 8% .3

5
Penyebab Perkiraan prevalensi dari gatal

Penyakit kulit

a. Dermatitis atopi

b. Dermatitis kontak

c.

6
2.3 Etiologi Dan Patogenesis

Pruritus mungkin berasal dari kulit atau di SSP. Tidak ada klasifikasi
pruritus tunggal dan defenitif. International Forum for the Study of Itch (IFSI)
telah mengusulkan klasifikasi yang membedakan tiga kelompok klinis pasien
sebagai berikut: 1

 Kelompok I: Pruritus pada kulit yang sakit (infamed)

 Kelompok II: Pruritus pada kulit yang tidak sakit (noninfamed)

 Kelompok III: Pruritus yang mengalami luka goresan sekunder kronis


parah, seperti prurigo nodularis.

7
Kelompok utama mencakup penyakit dermatologis yang mendasarinya,
sedangkan kelompok kedua dan ketiga mencakup pasien dengan penyakit sistemik
termasuk penyakit pada kehamilan dan pruritus akibat obat serta penyakit
neuropati dan psikiatri. Pada beberapa pasien, lebih dari satu penyebab dapat
menyebabkan pruritus (kategori "campuran") sedangkan pada penyakit lainnya
tidak ada penyakit yang dapat diidentifikasi (kategori "orang lain"). Juga penting
untuk membedakan antara gatal akut dari gatal kronis karena terapi yang
memberikan kelegaan gatal sementara seringkali tidak membahas proses patologis
yang mendasari gatal kronis. Selain itu, fungsi biologis serabut saraf sangat
mungkin berbeda dengan gatal kronis daripada gatal akut. 1

SIKLUS GATAL-GARUKAN

Gatal dan garukan/goresan terjalin bersama dalam kondisi gatal akut dan
kronis. Secara filogenetis, gatal mungkin merupakan mekanisme bagi hewan
untuk menghilangkan parasit yang berada di kulit mereka yang berbulu.
Menggaruk juga merupakan respon perilaku. Sebuah studi pada manusia telah
menunjukkan bahwa goresan berulang-ulang mengaktifkan korteks prefrontal
secara khusus, yaitu sebuah area otak yang terlibat dalam sistem yang diarahkan
pada tujuan dan kebiasaan belajar. Dengan demikian, kemungkinan aktivitas yang
disebabkan oleh garukan/goresan di korteks prefrontal dapat mendorong untuk
terus menggaruk dan juga dapat menjelaskan aspek goresan yang sangat
bermanfaat. Selanjutnya, pengalaman menggaruk hedonik dapat dikaitkan dengan
pelepasan opioid endogen. Menggaruk berulang pada kondisi kronis seperti
dermatitis atopik dan psoriasis selanjutnya merusak kulit dan menyebabkan
sekresi neuropeptida dan opiat yang selanjutnya dapat meningkatkan siklus gatal-
garukan (Gambar 103-1). 1

8
ALLOKNESIS: "KULIT GATAL"

Alloknesis adalah fenomena di mana rangsangan yang biasanya tidak


berbahaya menyebabkan gatal.1,3 Misalnya, pengaplikasian sikat ke tempat yang
gatal menginduksi gatal. Alloknesis analog dengan allodynia (didefinisikan
sebagai nyeri akibat rangsangan, yang biasanya tidak menimbulkan rasa sakit).
Jenis gatal ini dimediasi oleh unit mekanik mekanoreseptor dan juga aktivitas
serabut saraf aferen C yang sedang berlangsung dan dianggap sebagai respons
sensitisasi saraf pusat. Alloknesis sering terjadi pada dermatitis atopik kronis;
Berkeringat atau sedikit rangsangan mekanis yang terkait dengan pemakaian wol
memperburuk gatal. Peran sebenarnya dari sensitisasi sentral pada pruritus yang
terkait dengan penyakit yang spesifik tidak diketahui. 1

TRANSMISI GATAL PADA KULIT

Satu-satunya jaringan perifer yang gatalnya bisa ditimbulkan adalah kulit,


selaput lendir, dan kornea. Menariknya, saraf di lapisan dermis retikuler yang
lebih dalam dan lemak subkutan tidak menularkan penyakit gatal dan infeksi pada
lingkungan yang mempengaruhi area ini, seperti pannikulitis, menyebabkan rasa
sakit tapi tidak gatal. Nyeri pada daerah epidermis menghapus persepsi pruritus,

9
menunjukkan bahwa unit reseptor pruritus terletak terutama di lapisan ini. Kami
menduga bahwa epidermis bertindak sebagai reseptor gatal, namun reseptor
spesifik belum diidentifikasi. Mikroskop cahaya dan studi ultrastruktural kulit
manusia telah menunjukkan adanya saraf intraepidermal dengan ujung saraf
nonspesialisasi "bebas" yang berlanjut ke stratum granulosum. Banyak saraf
epidermal bernoda positif untuk neuropeptida yang terlibat dalam transmisi gatal.
Baru-baru ini ditunjukkan bahwa Mrgprs, keluarga reseptor protein G yang
digabungkan secara eksklusif di neuron sensorik perifer, berfungsi sebagai
reseptor gatal. 1,9

Keratinosit mengekspresikan berbagai mediator dan reseptor saraf, yang


kesemuanya tampak terlibat dalam sensasi gatal. Mediator meliputi opioid,
protease, zat P (SP), faktor pertumbuhan saraf (NGF), dan neurotrophin 4
sedangkan reseptor termasuk reseptor μ dan reseptor κ-opioid, reseptor aktif
proteinase-2 (PAR-2), reseptor vanilin, terkait tropomiosin kinase A (TRKA),
saluran ion potensial reseptor potensial vanilloid (TRPV), reseptor gastrin
melepaskan peptida, dan reseptor cannabinoid 1 dan 2. Keratinosit juga memiliki
saluran adenosin trifosfat voltase dan reseptor adenosin yang serupa dengan
serabut saraf C. Karena saluran ini memiliki peran dalam rasa sakit, temuan ini
menunjukkan bahwa keratinosit dapat bertindak sebagai reseptor gatal. 1,9

2.4 DEDICATED ITCH-TRANSMITTING C NERVE FIBERS

Kemajuan signifikan dalam pemahaman kita tentang neurofisiologi gatal


telah dicapai dalam beberapa dekade terakhir. Hidroneurografi telah membantu
menyangkal konsep bersejarah bahwa pruritus dan nyeri hanyalah respons dari
neuron yang sama terhadap rangsangan ringan dan intens. Studi menggunakan
stimulasi listrik ditambah dengan mikroneurografi telah mengidentifikasi serabut
saraf C histamin-sensitif individual yang mentransmisikan gatal. Serabut saraf
memiliki kecepatan konduksi yang sangat lambat, wilayah persarafan yang tidak
luas, dan mewakili tidak lebih dari 5% dari total serabut C. Neuron ini sensitif
terhadap rangsangan pruritogenik dan termal serta capsaicin, tetapi bukan

10
rangsangan mekanis. Ko-responsivitas subkumpulan neuron C terhadap
perubahan suhu dan juga rangsangan pruritus menarik karena dengan menaikkan
suhu kulit maka menurunkan ambang reseptor terhadap rangsangan pruritus dan
kebanyakan pasien pruritus mengeluhkan bertambahnya gangguan pruritus di
lingkungan yang hangat. Pada gatal kronis, aktivitas spontan pada serabut C ini
terjadi. Sebaliknya, sebagian besar serabut C sensitif terhadap rangsangan
mekanik dan panas dan sama sekali tidak sensitif terhadap histamin. 1,9

Adanya subset dari neuron C transmisi gatal terdedikasi menerima


dukungan lebih lanjut dari penelitian jalur tulang belakang. Sinaps neuron C
aferen utama transmisi-gatal dengan neuron transmisi sekunder yang melintasi ke
saluran spinotalamik kontralateral dan naik ke talamus. Pada kucing,
mikroneurografi mengidentifikasi lamina 1 neuron di saluran spinotalamik lateral
yang secara selektif merespons histamin, menunjukkan jalur saraf pusat yang
didedikasikan untuk gatal. Serabut saraf C lainnya juga mentransmisikan gatal. 9
Gatal yang diinduksi secara mekanis biasanya diamati secara klinis; Misalnya,
gatal yang berhubungan dengan kontak dengan wol tidak dapat dijelaskan oleh
serabut saraf yang histamin-sensitif. Selain itu, pada pasien dengan pruritus
kronis, rangsangan listrik atau nyeri juga dapat menyebabkan gatal. Antihistamin
oral tidak efektif dalam pengobatan sebagian besar jenis gatal, menunjukkan
bahwa serabut saraf nonhistamin-dimediasi juga berperan penting. Jalur
pengolahan gatal nonhistaminergik yang terpisah yang diaktifkan oleh cowhage
(Mucuna pruriens) ditemukan pada serabut saraf perifer manusia dan juga pada
saluran spinotalamik pada primata. Bahan aktif yang menginduksi gatal oleh
kolagen telah ditemukan sebagai protease sistin yang bekerja melalui PAR-2 dan
PAR-4. Oleh karena itu, dua subpopulasi paralel dari serabut saraf C aferen primer
dan neuron saluran spinotalamik menularkan gatal pada manusia. Kedua jalur ini
kemungkinan besar bukan spesimen gatal karena mereka juga mengirimkan
sensasi terbakar dan merespons algogen, capsaicin. Sebagai tambahan, neuron
reseptor positif gastrin-releasing peptide (GRP) baru-baru ini ditemukan untuk
membentuk jalur neuron yang didedikasikan untuk gatal pada sumsum tulang

11
belakang tikus. Peran neuron ini dan interaksinya dengan jalur histaminergik dan
nonhistaminergik pada manusia tetap harus dijelaskan. 1,9

Sensasi pruritus yang dirasakan dapat sangat bervariasi dalam kualitas.


Pasien mungkin mengalami sensasi terbakar atau menusuk tapi korelasi
neurofisiologis dan psikologis dari perbedaan ini belum dijelaskan. Informasi
yang diperoleh dari kuesioner gatal berdasarkan kuesioner nyeri yang
dikembangkan sebelumnya telah memungkinkan kita untuk lebih memahami
karakteristik gatal yang berbeda. 1,9

PROSES SENTRAL DARI GATAL

Pengolahan pusat dari gatal telah ditunjukkan dengan menggunakan teknik


pengayaan neuroimaging dari positron emission tomography dan functional
resonance imaging pada manusia sehat dan pasien dengan dematitis atopik. Dalam
penelitian ini, gatal yang diinduksi histamin mengaktifkan berbagai area otak yang
terlibat dalam fungsi sensorik dan motorik serta emosi-reflektif aspek
multidimensi dari gejala yang menyulitkan ini. Sebuah studi baru-baru ini
menunjukkan bahwa dalam pengolahan sentral gatal pada dermatitis atopik
berbeda dengan subyek sehat. Korteks cingulate anterior dan posterior serta
korteks prefrontal lateral dorsal, yang terlibat dalam emosi, rekognisi, dan memori
pengalaman negatif secara signifikan diaktivasi pada pasien dengan eksim atopik
namun tidak pada subjek yang sehat. Aktivasi precuneus, yang terletak di dekat
korteks cingulate posterior nampaknya unik pada gatal dan jarang dilaporkan
dalam pencitraan rasa sakit. Precuneus terlibat dalam pengambilan memori
episodik dan dapat dikaitkan dengan komponen afektif yang terlibat dalam
gatal.1,9

12
2.5 TEMUAN KLINIS

RIWAYAT

Hal ini sangat penting untuk menentukan apakah penyebabnya terkait


dengan penyakit kulit primer atau penyakit sistemik. Penyakit seperti kulit kering
atau skabies mungkin hanya menunjukkan beberapa luka kulit primer; Oleh
karena itu, evaluasi riwayat dan laboratorium yang cermat dapat menjadi sangat
penting. Penting untuk membedakan antara pruritus umum dan gatal lokal.
Pemeriksaan riwayat yang cermat, termasuk riwayat obat lengkap, dan
pemeriksaan fisik termasuk kelenjar getah bening, adalah titik awal. Riwayat
harus mempertimbangkan sifat gatal multidimensional dan harus mencakup
rincian kualitas, distribusi, dan waktu. Setiap pasien dirujuk dengan pruritus
generalisata dalam kondisi di mana anggota keluarga lainnya juga dengan pruritus
harus diasumsikan memiliki skabies sampai terbukti sebaliknya - tanda kulit
secara klinis tidak mungkin terjadi, mungkin terkandung beberapa nodul kecil
pada genital. Selain itu, pasien dengan pruritus lokal, terutama pada distribusi
dermatomal, yang hadir dengan keluhan sensorik lainnya seperti sensasi terbakar,
kehilangan sensasi atau nyeri yang meningkat harus dievaluasi dengan hati-hati
untuk gatal neuropatik. Gambar 103-2 adalah algoritma yang menunjukkan
pendekatan pada pasien dengan pruritus. 1,9

LESI KUTANEUS

Lesi kulit sekunder yang merupakan karakteristik pruritus meliputi


ekskoriasi, likenifikasi, dan hiper atau hipopigmentasi.1,3 Likenifikasi terjadi
akibat dari penggosokan atau goresan terus menerus dan terdiri dari plak yang
berkembang dengan baik dan menebal disertai dengan penonjolan lipatan kulit.
Hiperpigmentasi pasca-inflamasi atau hipopigmentasi biasa terjadi pada pasien
dengan fototip kulit 4 sampai 6. Plak yang terlikenifikasi paling sering disebarkan
di daerah dimana pasien dapat dengan mudah menggaruk atau menggosok (yaitu
tengkuk, di bawah siku, pergelangan kaki, pantat, dan alat kelamin). Tanda
"butterfy" terdiri dari kulit yang tampak normal di tengah punggung yang

13
digariskan oleh pola kupu-kupu hiperpigmentasi kontras di daerah yang
mengalami goresan terus-menerus, akibat ketidakmampuan pasien untuk
mencapai bagian tengah punggung.1,3 Kuku-kuku jari yang berkilau bisa terjadi
akibat menggosok yang berkepanjangan. Nodul Prurigo adalah papula
terekskoriasi yang membentuk nodul pada pasien dengan pruritus kronis. Dalam
banyak kasus, jenis gatal ini disertai sensasi rasa terbakar yang menyakitkan yang
menandakan komponen neuropati. Nodul Prurigo sering dikaitkan dengan stres
emosional dan gangguan obsesif-kompulsif; Namun, mereka juga bisa menjadi
manifestasi gatal pada pasien dengan dermatitis atopik atau gagal ginjal kronis.
Nodul semacam itu biasanya didistribusikan melalui aspek ekstensor anggota
badan. 1,9

Beberapa kondisi pruritus memiliki pola klinis yang spesifik. Meskipun


pruritus bersifat parah, urtikaria kronis biasanya tidak menunjukkan adanya lesi
kulit sekunder yang berhubungan dengan goresan. Gatal neuropatik pada entitas
penyakit, seperti neuralgia pascaherpetik, pruritus brakioradial, dan notalgia
parestetika, biasanya terkait dengan rasa sakit dan sensasi terbakar. Dermatitis
atopik mungkin juga terkait dengan sensasi terbakar setelah menggaruk. 1,7

14
2.6 UJI LABORATORIUM DAN UJI KHUSUS

Tes laboratorium yang harus dipertimbangkan dalam evaluasi pruritus


generalisata telah diuraikan dalam Kotak 103-1. Pertimbangan laboratorium
sekunder meliputi pemeriksaan tinja untuk parasit, skrining untuk hepatitis B atau
C, elektroforesis protein plasma, dan immunoelektroforesis. Pemindaian
tomografi pada dada dan perut mungkin bisa dilakukan untuk membantu
menyingkirkan limfoma. Biopsi kulit tidak dibenarkan dan hanya berguna untuk
menyingkirkan mastositosis kutaneus yang tidak terlihat secara klinis, pemfigoid
bulosa atau limfoma sel T kulit. 1

15
2.7 DIAGNOSA BANDING1,3

2.8 KOMPLIKASI

Pruritus dapat secara signifikan mengganggu kualitas hidup pasien dan


berpengaruh pada prognosis. Penderita pruritus kronis sering mengalami susah
tidur, susah berkonsentrasi, penurunan gairah seksual dan fungsi seksual, agitasi,
dan depresi. Selain itu, lesi eksim yang terjadi akibat goresan bisa menjadi infeksi
sekunder, terutama pada pasien dengan dermatitis atopik. Selain itu, dalam
penelitian multinasional besar pada pasien hemodialisis, pruritus dikaitkan dengan
risiko kematian 17% lebih tinggi. 1

16
PERJALANAN KLINIS

Pruritus generalisata bisa menjadi lilin dan menyusut. Perubahan dalam


presentasi klinis dapat dikaitkan dengan perubahan musiman, seperti eksaserbasi
dermatitis atopik di musim dingin, atau perubahan antara lingkungan kering dan
lembab. Pruritus yang terkait dengan penyakit dalam yang mendasari seringkali
bersifat multifaktorial, melibatkan faktor sistemik dan eksternal, termasuk suhu
lingkungan dan kelembaban. Gatal kronis yang terkait dengan penyakit kulit juga
bisa termasuk sensitisasi saraf pusat. 1

GATAL YANG DISEBABKAN OLEH GANGGUAN KULIT

PRURITUS PADA DERMATITIS ATOPIK.

Pruritus pada dermatitis atopik tetap merupakan daerah yang kontroversial


dan dasar molekuler pruritus pada dermatitis atopik sebagian besar tidak dapat
dijelaskan. Apakah gatal mendahului lesi kulit atau sebaliknya juga merupakan
masalah yang belum terselesaikan. Yang pasti adalah siklus gatal-garukan (lihat
Gambar 103-1) ada pada pasien atopik, di mana kerusakan goresan meningkatkan
pruritus. Rasa gatal sangat akut sebagai respons terhadap rangsangan punctata
seperti wol. Allokinesis adalah ciri menonjol dari gatal pada dermatitis atopik dan
menjelaskan goresan/garukan intens yang terkait dengan berkeringat, perubahan
suhu secara tiba-tiba, memakai pakaian, melepas pakaian, dan kontak langsung
dengan wol secara mendadak. 1

Komponen sentral (neurogenik) pada gatal di dermatitis atopik dicurigai


sebagai akibat dari respon yang buruk terhadap antihistamin H1 sedasi rendah.
Intensitas gatal pada dermatitis atopik telah dikaitkan dengan faktor mental, dan
gatal dapat diinduksi oleh stres kognitif, seperti kecemasan, dan juga depresi. Dari
catatan, intensitas gatal dan tingkat keparahan penyakit secara signifikan
berkorelasi dengan aktivitas otak di korteks cingulate anterior serta insula pada
pasien dermatitis atopik. Peptida opioid dapat berfungsi sebagai mediator sentral
dan perifer karena antagonis opioid yang bekerja pada tingkat ini efektif pada

17
beberapa pasien. Menariknya, terdapat penurunan regulasi ekspresi reseptor μ-
opioid di epidermis pada pasien dermatitis atopik. Goresan nokturnal adalah
masalah utama pada dermatitis atopik, terjadi saat tidur superfisial dan menempati
10% -20% dari total waktu tidur, yang menyebabkan kelelahan dan iritabilitas. 1

PSORIAS.

Gatal pada psoriasis adalah masalah yang penting namun tidak dikenali
dalam dermatologi. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa gatal adalah
gejala utama psoriasis. Di antara pasien psoriasis, 77% mengalami pruritus setiap
hari. Dermatologis menekankan kriteria psoriasis yang dapat diamati, seperti lesi
yang terlihat; Namun, gatal sering terjadi di area tubuh dimana tidak ada plak
psoriasis yang terlihat. Gatal pada kulit kepala, khususnya, adalah spesifik untuk
psoriasis dan mungkin memerlukan terapi berbeda daripada pruritus di area lain
pada tubuh. 1

2.9 PEMBAGIAN GATAL

GATAL NEUROPATI

Di bawah ini merupakan pembagian gatal neuropati yaitu : 1

1. NEURALGIA PASCAHERPETIK.

Neuralgia pascaherpetik umumnya memiliki nyeri neuropatik; dan


biasanya, gatal neuropatik terkait pada 30% -58% pasien tersebut. Pruritus
biasanya menyertai neuralgia akut dan neuralgia pascaherpetik, terutama lesi
yang menyerang kepala, wajah, dan leher. 1

2. PRURITUS BRAKHIORADIAL.

Pruritus brakhioradial, sebuah pruritus terlokalisasi, menjadi semakin


umum terjadi. Penderita, biasanya berkulit putih dan setengah baya, biasa
memanjakan diri dalam golf, tenis, berlayar, atau kegiatan rekreasi di luar
ruangan lain di iklim yang cerah. Mereka mengembangkan pruritus persisten

18
pada permukaan luar lengan atas, siku, dan lengan bawah, terkait dengan bukti
klinis kerusakan dan xerosis kronis. Rasa gatal sering disertai sensasi terbakar.
Rasa gatal secara bertahap bisa menjadi lebih luas. Patofisiologi diyakini
melibatkan kompresi akar saraf tulang belakang pada C4-C6 dan dalam kasus
yang jarang terjadi, hal itu terkait dengan tumor saraf tulang belakang. Dari
catatan, paparan sinar UV telah menjadi faktor pemicu. 1

3. NOTALGIA PARESTETIKA.

Notalgia parestetika adalah gatal lokal yang kronis, terutama


mempengaruhi daerah interskapular, terutama dermatom T2-T6, namun
terkadang dengan distribusi yang lebih luas, ia melibatkan bahu, punggung,
dan dada bagian atas. Sensasi yang dirasakan oleh pasien adalah sebagian
gatal, sebagian parestesia. Tidak ada tanda kutaneus spesifik, terlepas dari
yang dikaitkan dengan goresan dan penggosokan. Endapan Amyloid pada
biopsi kulit adalah peristiwa sekunder. Pandangan etiologi saat ini adalah
bahwa ia adalah gatal neuropatik karena terjepit saraf rami posterior saraf
tulang belakang yang timbul pada T2-T6. 1

GATAL SISTEMIK

a) Pruritus Pada Penyakit Ginjal Kronis

Pruritus adalah salah satu gejala penyakit ginjal kronis yang paling
menyulitkan (CKD). Ia mempengaruhi 42% pasien hemodialisis seperti
dilaporkan oleh Dialysis Outcomes and Practice Pattern Study (DOPPS).
Laporan DOPPS dan sebuah studi besar di Jepang menunjukkan bahwa
gatal terkait CKD menyebabkan depresi, gangguan tidur dan peningkatan
angka kematian. Goresan biasa terjadi dan pasien mungkin mengalami
gangguan yang parah atau kulit mungkin tampak mengalami likenifikasi
atau hadir dengan nodul prurigo. Bagian belakang selalu terpengaruh, dan
lengan yang menahan fistula arteriovenosa juga merupakan situs umum
pada pasien dialisis. Pasien dengan CKD terkait pruritus sering memiliki

19
kulit kering, namun koreksi hal ini dengan emolien biasanya memberikan
kelegaan yang minimal. 1

Patofisiologi pruritus terkait CKD masih kurang dipahami. Titik


pemahaman saat ini terhadap peran sentral untuk sistem kekebalan dan
opioiderik. Hal ini mendalilkan bahwa gatal yang terkait dengan CKD
adalah manifestasi dari gangguan sistem kekebalan tubuh yang berakibat
pada keadaan proinflamasi. Sejalan dengan teori ini, imunomodulator
seperti sinar ultraviolet B, tacrolimus dan thalidomide telah ditunjukkan
dapat mengurangi pruritus CKD. Ketidakseimbangan sistem opioidergik
endogen juga mendapat perhatian baru-baru ini dalam kaitannya dengan
patofisiologi pruritus terkait CKD. Peningkatan rasio endotphin serum β
terhadap dynorphin A telah dilaporkan pada pasien HD dibandingkan
dengan kontrol sehat, dan rasio meningkat dengan meningkatnya intensitas
gatal. Selain itu, agonis kappa-reseptor, nalfurafne, terbukti mengurangi
intensitas gatal dan ekskresi pada pasien HD secara signifikan. Faktor
etiologi lain yang diusulkan dapat mencakup peningkatan kadar kalsium,
pelepasan sitokin pruritogenik selama hemodialisis, kerusakan pada
serabut saraf C, proliferasi ujung saraf sensorik pada kulit, peningkatan
jumlah sel mukosa kulit, peningkatan kadar histamin plasma,
hiperparatiroidisme sekunder dan tingkat abnormal divalen kation.
Hiperparatiroidisme sekunder, meskipun umum pada pasien dengan gagal
ginjal, adalah penyebab langka pruritus ginjal. Proliferasi ujung saraf pada
kulit kemungkinan besar merupakan respons terhadap goresan dan
gesekan yang terus-menerus, dan bukan penyebab utama pruritus. Elevasi
kadar histamin, dengan atau tanpa kepadatan populasi sel dermal yang
meningkat, juga tidak penting karena antihistamin jarang efektif. 1,9

b) Pruritus Kolestasis

20
Pruritus kolestasis sangat menyusahkan. Keunikan pruritus
kolestatik adalah gatal awalnya dimulai dan paling kuat di telapak tangan
dan telapak kaki, yang biasanya tidak dilaporkan pada penyakit lain dan
kemudian menjadi lebih umum. Dari catatan, gatal yang sulit diobati pada
penyakit hati kronis mungkin merupakan indikasi untuk transplantasi hati
meskipun tidak adanya gagal hati fulminan. Mekanisme perifer dan pusat
sangat penting. Pruritus kolestasis dikaitkan dengan kadar garam empedu
dalam plasma yang tinggi; Namun, hanya terdapat sedikit atau tidak ada
bukti korelasi antara konsentrasi garam empedu atau serum kulit walaupun
pemberian cholestyramine, yang menurunkan kadar garam empedu,
memberi sedikit kelegaan. Pasien juga memiliki peningkatan kadar opioid
plasma, dan pruritus telah terbukti membaik dengan pengobatan dengan
antagonis opioid termasuk nalokson, naltrexone, dan butorphanol. Selain
itu, cholestasis model hewan dikaitkan dengan peningkatan kadar peptida
opioid dan goresan, dikurangi dengan nalokson. Dengan demikian,
kombinasi antara kedua penurun garam empedu dan strategi opioid yang
diarahkan tampak masuk akal dalam pengelolaan pruritus kolestasis. 1

Selanjutnya, penelitian terbaru menunjukkan bahwa pasien dengan


pruritus kolestatik memiliki kadar autotoxin serum dan substrat asam
lisofosfatidik (LPA) yang menunjukkan fosfolipid. Aktivitas autotimin
pada sera pasien kolestatik berkorelasi dengan intensitas pruritus. LPA dan
autotaxin dapat menjadi target potensial dalam pengobatan pruritus
kolestatik. 1

c) Pruritus Pada Penyakit Endokrin

Rasa gatal yang tersumbat secara umum adalah ciri tirotoksikosis


yang diketahui dan mungkin merupakan gejala yang tampak. Hal ini
mungkin disebabkan oleh peningkatan aliran darah, yang meningkatkan
suhu kulit, yang pada gilirannya mengurangi ambang batas menjadi gatal.
Hipotiroidisme kurang sering dikaitkan dengan gatal. Rasa gatal yang

21
umum bukan ciri diabetes melitus. Namun, gatal anogenitalis adalah fitur
klinis yang umum, dan terjadi akibat kandidiasis mukokutan. Gatal lokal
pada kulit kepala dan ekstremitas bawah berupa lichen simpleks chronicus
juga bisa menjadi manifestasi neuropati diabetes, yang mungkin
merespons pengobatan capsaicin topikal. Selain itu, pruritus truncal dari
asal yang tidak diketahui baru-baru ini dilaporkan terkait dengan diabetes
dan neuropati diabetes. 1

d) Pruris Dalam Penyakit Keganasan Hematologi Dan Limphoretikuler

Gatal generalisata terjadi pada gangguan hematologi. Pada


limfoma sel T yang menyebar luas, dan bentuk eritrodermik limfoma sel T
kulit termasuk sindrom Sézary (leukemia sel T), gatal yang sulit diatasi
adalah sulit ditangani. Pada polisitemia vera, terjadi pada sekitar 50%
pasien, sering diendapkan dengan kontak dengan air ("bath itch"), dan
dikaitkan dengan peningkatan kadar histamin darah. Pada penyakit
limfoproliferatif lainnya, gatal juga bisa diendapkan dengan kontak
dengan air.1 Pada penyakit Hodgkin, hal ini mungkin merupakan gejala
yang muncul dan terjadi di antara 15% -19% pasien. Ini bisa menjadi
tanda penyajian limfoma non Hodgkins juga. Dari catatan, data terakhir
menunjukkan kelainan fungsi sel mast pada pasien dengan penyakit
mieloproliferatif dengan peningkatan pelepasan faktor pruritogenik,
seperti histamin, leukotrien, dan IL-31,9 bila dibandingkan dengan sel mast
normal. Pada mastositosis kutaneus, gatal terjadi secara lokal setelah
menggosok kulit, meskipun dapat menyebar luas pada pasien yang sangat
parah, biasanya dikaitkan dengan gejala sistemik. Rasa gatal dapat terjadi
pada pasien leukemia myeloid dan limfatik dan myelodysplasia. 1

e) Pruritus Paraneoplastik

22
Gatal kronis bisa menjadi tanda penentu baik keganasan
hematologis maupun tumor padat. Kadang mungkin terdapat beberapa
tahun sebelum tumor tersebut terdeteksi secara klinis. Ini juga bisa hadir
sebagai bagian dari penyakit kulit primer atau kulit yang terkait dengan
keganasan seperti keratosis seboroik eruptif, acanthosis nigricans ganas,
eritroderma, dermatosis akantoksi sementara (penyakit Grover) dan
dermatomiositis. Secara tradisional, awitan pruritus pada pasien paruh
baya atau lansia dengan kulit yang terlihat normal meminta penyelidikan
menyeluruh untuk penyebab sistemik yang mendasarinya, termasuk
neoplasia internal, walaupun yang terakhir adalah penyebab yang jarang
terjadi. Penyelidikan penuh untuk tumor padat kausatif mungkin tidak
bermanfaat bila tidak ada kulit atau sistemik lainnya yang menunjukkan
keganasan meskipun sumber daya tersedia. 1

f) Pruritus pada infeksi human immunodeficiency virus

Gatal adalah gejala awal penyakit human immunodefciency virus


(HIV) dan dapat dikaitkan dengan penyakit kulit atau akibat penyakit
sistemik (misalnya, hati, ginjal, reaksi obat yang merugikan, limfoma,
serta infeksi sistemik dan kulit. termasuk Staphylococcus aureus dan
Pityrosporum). Namun, hal itu mungkin terjadi sebagai gejala utama HIV.
Contoh yang paling umum adalah folikulitis eosinofilik. Jenis gatal
lainnya pada HIV adalah reaksi hipersensitivitas gigitan serangga, papula
pruritus selain folikulitis eosinofilik, dan gatal yang berhubungan dengan
xerosis kulit dan dermatitis lichenoid, serta eksaserbasi daripada dermatitis
seboroik dan psoriasis. 1

GATAL PSIKOGENIK

Prevalensi pruritus di antara rawat inap psikiatri adalah sebesar 42% dan
terlihat terkait dengan stres psikososial. Pasien dengan depresi, fibromialgia, dan

23
gangguan somatoform lainnya dapat mengalami gatal parah yang merespon
dengan baik terhadap serotonin selektif reuptake inhibitor (SSRI). Yang penting,
delusi parasitosis adalah salah satu jenis gatal yang lebih menantang yang
ditemukan oleh para ahli kulit. Pasien memiliki keyakinan yang salah bahwa
mereka dipenuhi parasit, walaupun pemeriksaan secara hati-hati tidak
menunjukkan gejala klinis yang mendukung. Pasien sering membawa "bukti"
dalam bentuk fragmen yang terkumpul, walaupun pada pemeriksaan bahan
tersebut terbukti merupakan debris nonspesifik. Pasien sering menolak menemui
psikiater. Delusi parasitosis ditangani secara klasik dengan agen antipsikotik khas;
pimozide paling sering digunakan oleh dermatologis. Olanzapine (5 mg/hari)
adalah pilihan lain untuk mengobati gatal psikogenik tipe parah ini. 1 Pruritus lokal
dalam bentuk prurigo nodularis atau pruritus anogenital bisa menjadi manifestasi
gangguan obsesif-kompulsif dan kecemasan. 1,6, 7

JENIS-JENIS GATAL LAINNYA

a. Usia Lanjut Dan Gatal

Gatal adalah gejala dermatologis yang paling umum di antara


orang berusia di atas 65 tahun. Sedikitnya 50% orang berusia 70 tahun
atau lebih menderita peradangan pruritus yang bermasalah. Gatal diopatik
pada orang tua, kadang-kadang secara tidak tepat disebut sebagai pruritus
senilis, adalah umum dan menyajikan tantangan diagnostik dan terapeutik.
Gatal pada kulit mereka bisa diakibatkan oleh berbagai penyebab termasuk
kulit kering, penyakit kulit yang tidak berbahaya seperti eksim derajat
rendah dan skabies, serta penyakit sistemik yang mendasarinya, terutama
kolestasis dan gagal ginjal. Beberapa obat dapat menyebabkan pruritus
tanpa ruam termasuk opioid dan inhibitor enzim pengubah angiotensin.
Namun, dalam banyak kasus, tidak ada penyebab yang ditemukan.
Meskipun kulit kering mungkin merupakan faktor yang paling umum yang
dikaitkan, namun mungkin hal tersebut bukan penyebab pruritus; Banyak
pasien lansia memiliki kulit tanpa xerosis. Faktor-faktor lain mungkin

24
memainkan peran penting, seperti perubahan saraf yang berhubungan
dengan usia dan hilangnya masukan dari serabut saraf nyeri yang
menyebabkan terjadinya gatal. Perubahan kulit tambahan pada pasien
lanjut usia yang dapat menyebabkan gatal meliputi penurunan lipid
permukaan kulit, penurunan pembersihan bahan penyerap pada
transepidermial dari dermis, penurunan produksi keringat dan sebum. 1

b. Gatal yang terkait dengan luka bakar dan luka gores.

Bekas luka bakar umum terjadi pada anak-anak dan orang dewasa
dan dikaitkan dengan pruritus kambuhan. Tingkat prevalensi gatal ringan
sampai berat mencapai 87%, 70% dan 67% pada 3, 12, dan 24 bulan pasca
luka bakar. Dibandingkan dengan kulit yang sehat, kulit dengan burn-graft
menunjukkan peningkatan serabut saraf SP serta peningkatan ambang
batas secara signifikan terhadap pinprick, pemanasan, sentuhan, dan
getaran. Keloid sering dikaitkan dengan gatal di pinggiran lesi keloid dan
nyeri jarang terjadi di bagian tengah keloid. Temuan ini mungkin
disebabkan oleh jebakan serabut saraf kecil. 1

c. Pruritus Aquagenik

Awalnya digambarkan oleh Shelley dan kemudian ditandai oleh


Greaves dkk, pruritus aquagenik adalah pruritus langka yang tidak dapat
diatasi dengan etiologi yang tidak diketahui, yang ditemukan terutama
pada kalangan menengah dan lanjut usia. Secara khas, gatal lokal tanpa
tanda kulit terlihat dipicu oleh kontak dengan air. Khususnya, pruritus
aquagenik dapat dikaitkan dengan kelainan limfoproliferatif seperti
polisitemia vera. 1

2.10 PENGOBATAN PRURITUS

Sayangnya, tidak ada obat antipruritus umum. Pengobatan pruritus


tergantung pada identifikasi dan menyingkirkan penyebabnya, baik itu sistemik

25
maupun kutaneus. Harapan palsu untuk pengobatan yang sangat efektif bagi
pasien yang tidak dapat ditemukan penyebabnya tidak boleh diajukan. Baru-baru
ini, agonis reseptor opioid kappa, nalfurafne, secara resmi disetujui di Jepang
untuk penggunaan klinis sebagai antipruritis untuk pruritus terkait CKD. Efek
antipruritik obat ini terhadap bentuk gatal lainnya masih perlu dijelaskan. Penting
untuk mendapatkan riwayat rinci, termasuk kualitas, waktu, dan distribusi gatal
yang tepat, sehingga terapi yang lebih terfokus dapat dilembagakan. Sensasi gatal
meningkat jika kulit terasa hangat, oleh karena itu tindakan harus dilakukan untuk
mendinginkan kulit, termasuk mandi dengan air hangat, pakaian ringan, dan
pendingin udara jika sesuai. Losion pendingin, seperti losion kalamin atau mentol
1%, bisa membantu. Dari catatan subset pasien gatal kronis melaporkan bahwa air
panas mengurangi gatal mereka selama beberapa jam. Sebuah tangga terapeutik
umum untuk pruritus umum disajikan pada Gambar 103-3.1

2.10.1 PERAWATAN ANTIPRURITIS TOPIKAL

Terdapat kurangnya penelitian terkontrol untuk perawatan antipruritik


topikal. Banyak agen topikal diklaim efektif untuk pruritus; Namun, beberapa
klaim didukung oleh lebih dari bukti anekdotal semata. Meski mampu
meringankan pruritus akibat penyakit kulit yang bersifat inflamasi, kortikosteroid
secara intrinsik bukanlah antipruritis. Antihistamin hanya antipruritik jika pruritus
disebabkan oleh histamin, seperti pada urtikaria. Namun, sejumlah mekanisme
farmakologis menawarkan jalan yang menjanjikan untuk pengobatan gatal.
Ringkasan pengobatan antipruritik topikal diberikan pada Tabel 103-3. 1,7

KRIM PELINDUNG DAN TERAPI KOMBINASI.

Emolien dan krim pelindung yang bersifat reparatif sering mengurangi


pruritus melalui fungsi pelindung yang lebih baik. Mereka membantu stratum

26
korneum untuk mempertahankan air dan memberikan penghalang eksogen untuk
mencegah kehilangan air secara transepidermal. Krim pelindung semacam itu
seringkali merupakan pengobatan yang efektif untuk gatal yang berhubungan
dengan kulit kering dan dermatitis atopik; Namun, mekanisme efek antipruritik
mereka tidak sepenuhnya dipahami. Restorasi pelindung meminimalkan fissuring
dan mengurangi eksposur serabut saraf C. Pasien dermatitis atopik yang diobati
dengan emolien yang ceramide-dominan menunjukkan peningkatan kehilangan air
secara transepidermal dan keseluruhan tingkat keparahan penyakit kulit. Lipid,
oklusi, dan humectants juga mengurangi kerusakan pada kulit dengan mengurangi
kontak antara protein kulit, lipid, dan surfaktan. Pengasaman stratum korneum
juga bisa mengurangi gatal. Larutan pH tinggi meningkatkan pembengkakan
stratum korneum, mengubah kekakuan lipid, dan meningkatkan sekresi protease
serin, menunjukkan bahwa larutan pH netral atau asam kurang bersifat merusak.1,9

SALISILAT TOPIKAL.

Percobaan klinis telah menunjukkan bahwa menerapkan larutan asam


salisilat topikal untuk mengurangi rasa gatal pada kulit. Asam salisilat topikal
adalah agen keratolitik yang umum dan juga dapat meningkatkan hidrasi dan
melembutkan stratum korneum dengan menurunkan pH. Aspirin topikal secara
signifikan mengurangi pruritus pada pasien dengan lichen simpleks chronicus-
suatu bentuk gatal terlokalisir; Namun, salisilat oral tidak meringankan pruritus
kecuali pada polisitemia vera. 1,7

IMUNIMULATOR TOPIKAL.

Meskipun imunomodulator topikal, seperti tacrolimus dan pimecrolimus,


digunakan terutama untuk dermatitis atopik, pengobatan ini menjanjikan
perawatan antipruritik pada penyakit dermatologis lainnya. Dermatosis pruritus
lainnya yang berhasil diobati dengan penghambat kalsineurin topikal meliputi
dermatitis tangan iritatif kronis, dermatitis seboroik, penyakit graft-versus-host,
lichen sklerosus, pruritus anogenital dan prurigo nodularis. Tacrolimus dan

27
pimekrolimus keduanya telah ditunjukkan untuk secara langsung mempengaruhi
serabut saraf C. 1,7

28
COOLANTS DAN COUNTER-IRRITANTS.

Bagian yang berbeda dari neuron sensorik dapat secara langsung


merasakan perubahan suhu melalui reseptor saluran ion TRP pada ujung saraf
kutaneus. Ini termasuk reseptor vanilloid, seperti TRPV1, yang merespons
kehangatan dan capsaicin. Reseptor ini bertindak secara sinergis dengan reseptor
lain yang terlibat dalam gatal, seperti PAR-2 dan SP atau (Neurokinin 1). Reseptor
ini adalah target pengobatan gatal. Reseptor lain dari famili yang sama termasuk
reseptor dingin, seperti TRPM8. Menthol telah digunakan sebagai pengobatan
topikal simtomatik untuk pruritus selama berabad-abad dan mengurangi gatal
pada beberapa pasien dengan mengaktifkan saraf yang mengirimkan sensasi
dingin. Menthol dapat mengurangi gatal melalui reseptor TRPM8 pada keratinosit
dan saraf. Krim menthol 1% sangat populer di kalangan penderita kulit pruritus;
Namun, konsentrasi yang lebih tinggi dapat menyebabkan iritasi pada kulit.
Pasien yang melaporkan bahwa mandi dengan air dingin dan bahkan es mampu
mengurangi gatal mereka, cenderung merespons pengobatan dengan mentol
dengan sangat baik. 1,7

CAPSAICIN.

Capsaicin topikal, senyawa aktif dalam cabai, menyebabkan pelepasan


neuropeptida, termasuk SP, dari saraf saraf C. Mekanisme pastinya tidak
sepenuhnya dipahami; Namun, penggunaan capsaicin yang berkepanjangan
terhadap kulit menyebabkan berkurangnya cadangan SP, mengurangi sensitivitas
neuron, dan menghilangkan pruritus di tempat pengaplikasiannya. Capsaicin
mengaktifkan reseptor vanilloid TRPV1, yang melimpah di lapisan epidermis
pada kulit. Beberapa laporan telah mendukung kegunaan capsaicin untuk
gangguan pruritus kronis yang khas, terutama yang berasal dari neuropati,
termasuk pruritus brakioradial, notalgia parestetika, gatal pascaherpetik serta
pruritus yang terkait dengan CKD, psoriasis dan dermatitis atopik. Sayangnya,
penyesuaiinya buruk karena pengaplikasian awalnya menyebabkan sensasi rasa
terbakar yang intens dan bersifat sementara di lokasi pengaplikasiannya; Namun,

29
hal ini biasanya sembuh setelah menggunakan obat selama beberapa hari atau
dengan penerapan anestesi topikal. 1,7

ANESTESI TOPIKAL

Pramoksin. Pramoksin adalah anestesi topikal yang mengurangi gatal,


terutama bila diterapkan pada area wajah, dengan menghalangi transmisi impuls
saraf. Penelitian Doubleblind telah menunjukkan bahwa pramoksin menghambat
gatal yang disebabkan histamin pada manusia dan pruritus terkait CKD. 1

Polidokanol. Polidokanol adalah surfaktan nonionik dengan sifat anestesi


lokal dan efek pelembab. Dalam studi label-terbuka, kombinasi urea 5% dan
polidokanol 3% (Lauromacrogol) ditemukan secara signifikan mengurangi
pruritus pada pasien dengan dermatitis atopik, dermatitis kontak, dan psoriasis. 1

ANTIHISTAMIN TOPIKAL.

Doxepin adalah antidepresan trisiklik dengan khasiat H2 dan H2-


antihistamin kuat dan efek samping atropin (antikolinergik) yang signifikan. Krim
doxepin 5% telah ditunjukkan untuk meringankan pruritus pada pasien dengan
dermatitis atopik dalam penelitian double blind yang terkontrol plasebo. Namun,
penyerapan doxepin perkutaneus, menyebabkan kantuk, terjadi pada sekitar 25%
pasien, membatasi kegunaannya. Dermatitis kontak alergi juga merupakan efek
samping yang diketahui. 1,7

CANABINOID TOPIKAL.

Uji coba terkendali telah menunjukkan bahwa cannabinoid topikal yang


dikombinasikan dengan krim pelindung memiliki efek antipruritik pada pasien
dengan dermatitis atopik dan pruritus uremik. 1,7

30
TERAPI TOPIKAL DI MASA DEPAN.

Meskipun tidak ada yang tersedia saat ini, obat topikal yang menghambat
protease serin dapat menjadi mekanisme tambahan untuk terapi antipruritik di
masa depan. Obat yang bekerja dengan cara yang mirip dengan prostaglandin
(PG) D2 saat ini sedang diuji pada manusia dan mungkin juga memiliki peran
terapeutik potensial dalam gatal. 1,7

2.10.2 PERAWATAN ANTIPRURITIS SISTEMIK

a. Antihistamin

Pruritus akibat histamin dimediasi secara eksklusif melalui reseptor


H1; H2 antihistamin tidak efektif dalam mengurangi pruritus. Antihistamin
H1 generasi pertama (klasik) telah menandai tindakan sedatif dan atropin
seperti (antikolinergik). Generasi kedua (sedasi minimal atau sedasi rendah)
Antihistamin H1 memiliki lipofilisitas rendah dan akibatnya dikaitkan
dengan kurangnya gejala kantuk dan efek samping lainnya yang tidak
diinginkan. Antihistamin sedatif (generasi-pertama) berguna pada urtikaria
kronis berat dengan atau tanpa angioedema karena mereka menekan pruritus
dan mengurangi rasa kecemasan terkait. Hydroxyzine sangat berharga dalam
konteks ini bersama dengan doxepin. Antihistamin H1 generasi kedua cocok
di siang hari untuk menghilangkan pruritus karena urtikaria; Namun, peran
antihistamin nonsedatif ini terbatas pada gangguan pruritus lainnya.
Ringkasan perawatan antipruritik sistemik diberikan pada Tabel 103-4. 1,7

b. Opiat Antagonis Dan Agonis-Antagonis

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, agonis reseptor μ-


opioid dapat menyebabkan pruritus generalisata. μ-antagonis opioid, seperti
nalokson dan naltrexone, telah digunakan untuk pengobatan pruritus yang
terkait dengan kolestasis, uremia, dan penyakit dermatologis. Keefektifan
antagonis opioid ini didukung oleh data dari uji klinis terkontrol. Naltrexone

31
efektif dalam pengobatan beberapa kasus pruritus parah dan sulit diobati.
Namun, antagonis μ tersebut dikaitkan dengan efek samping yang signifikan
termasuk hepatotoksisitas, mual dan muntah, sulit tidur, dan pembalikan
analgesia. Agonis reseptor κ juga menghambat efek reseptor μ. Pada model
hewan, agonis reseptor κ-opioid menghambat pruritus dan goresan yang
disebabkan oleh SP atau histamin. Agonis baru, nalfurafne (TRK-820), telah
terbukti efektif dalam pengobatan pruritus uremik berat. Dengan demikian,
agonis κ adalah pengobatan yang menjanjikan untuk gatal yang parah.
Butorphanol adalah analgesik antagonis agonis opioid yang tersedia secara
komersil dengan aktivitas κ-agonis dan aktivitas antagonis μ. Penelitian
sebelumnya telah menemukan bahwa butorofenol epidural efektif dalam
mengurangi pruritus yang terkait dengan morfin epidural. Butorphanol
intranasal adalah pengobatan yang efektif untuk banyak pasien dengan
pruritus kronis, parah, dan sulit diobati karena penyakit sistemik dan
penyakit kulit yang tidak berbahaya. 1

32
c. Antidepresan

Antidepresan oral dan inhibitor serotonin selop noropinephrine,


mirtazapine, telah terbukti dapat mengurangi rasa gatal pada beberapa pasien.
Tidak seperti SSRI lainnya, mirtazapine adalah penghambat oradrenergik α2
presinaptik sentral dan antidepresan serotonergik spesifik. Mirtazapine adalah
obat yang aman tanpa efek samping yang serius dan mungkin merupakan
alternatif yang efektif untuk pengobatan pruritus nokturnal. Telah terbukti

33
efektif bila digunakan untuk mengobati pruritus sistemik serta pruritus
penyakit kulit inflamasi dan khususnya gatal nokturnal dengan dosis rendah
15 mg pada malam hari. Sebuah studi label terbuka baru-baru ini
menunjukkan paroxetine dan fuvoxamine, baik inhibitor reuptake selektif
serotonin, untuk menjadi efektif dalam pengobatan gatal kronis. 1,7

d. Thalidomide (Thinomide)

Menunjukkan keefektifan antipruritik dalam pengobatan penyakit


kulit inflamasi, seperti prurigo nodularis, prurigo aktinik, eksim, dan pruritus
lanjut usia idiopatik. Hal ini terutama berguna pada pruritus yang terkait
dengan multiple myeloma dan penyakit limfoproliferatif. Thalidomide telah
digunakan selama bertahun-tahun sebagai agen imunomodulator yang
spektrum aktivitasnya tidak sepenuhnya ditandai. Aktivitas antipruritis dapat
dikaitkan dengan beberapa mekanisme, termasuk penghambatan sintesis
TNF-α. Meskipun TNF-α tidak memiliki efek pruritogenik secara langsung,
hal ini meningkat pada banyak dermatosis pruritus. Thalidomide juga dapat
bertindak langsung sebagai depresan saraf perifer dan sentral. Efek samping
utama thalidomide adalah neuropati perifer dan teratogenisitas. 1,7

e. Neuroleptik

Gabapentin adalah analog struktural dari neurotransmitter γ


aminobutyric acid dan telah digunakan sebagai antikonvulsan; Namun,
mekanisme kerjanya pada SSP kurang dipahami. Penelitian telah
menunjukkan bahwa gabapentin efektif untuk pengobatan pruritus
brakioradial, gatal yang diinduksi oleh multiple sclerosis, jenis gatal
neuropatik lainnya dan juga gatal uremik. Gabapentin tampaknya mengubah
sensasi dan pruritus yang terkait dengan gatal yang berhubungan dengan
kerusakan saraf pada penyakit dermatologis dan sistemik. Gabapentin dapat
menghambat jalur gatal sentral, seperti pada rasa sakit. Pregabalin adalah
obat nyeri neuropati yang memiliki struktur dan fungsi yang serupa dengan

34
gabapentin dengan efek samping yang lebih sedikit dan dapat mengurangi
gatal neuropatik atau mengubah sensasi gatal pada penyakit sistemik. 1,7

f. Substansi P Antagonis

Aprepitant, obat oral yang berlawanan dengan efek SP terhadap


reseptor neurokinin tipe 1 baru-baru ini terbukti efektif melawan pruritus
yang terkait dengan sindrom Sézary pada rangkaian kasus 3 pasien. 1,7

2.10.3 PERAWATAN NON-FARMAKOLOGI UNTUK GATAL

Fototerapi telah digunakan selama lebih dari tiga dekade untuk mengobati
berbagai jenis gatal. Laporan menunjukkan bahwa pita UVB yang sempit
mungkin efektif untuk pengobatan pruritus seperti UVB broadband atau psoralen
dan lampu UVA. Fototerapi menurunkan kepadatan populasi sel mast dengan
menginduksi apoptosis, menyebabkan disfungsi saraf perifer, dan mengurangi
kation divalen pada kulit. Fototerapi adalah pengobatan yang efektif untuk gatal
yang berhubungan dengan dermatitis atopik, psoriasis, dan CKD. Remisi bisa
berlangsung selama 18 bulan. 1,7

CUTANEOUS FIELD STIMULATION DAN AKUPUNTUR

Cutaneous feld stimulation (CFS) adalah teknik baru yang secara elektrik
menstimulasi serabut afferent, termasuk serabut C nosiseptif. CFS memiliki
kesamaan dengan stimulasi saraf elektrik transkutaneus, yang mengaktifkan
serabut saraf myelin besar; Namun, CFS lebih spesifik menargetkan gangguan
serabut saraf C yang tidak terisi. CFS dapat bertindak melalui mekanisme
penghambatan sentral endogen yang biasanya diaktifkan dengan menggaruk. Pada
pasien dengan gatal terlokalisir, CFS secara signifikan mengurangi gatal yang
dilaporkan pasien dan menyebabkan degenerasi serabut saraf epidermal. Namun,
CFS hanya praktis untuk penyakit terlokalisir. Selain itu, akupunktur pada titik
yang benar menunjukkan penurunan signifikan pada gatal hipersensitivitas tipe I
pada relawan sehat dan pasien dengan eksema atopik. 1,7

35
TERAPI PERILAKU YANG MENARGETKAN SISTEM SARAF PUSAT

Stres dan faktor psikogenik lainnya penting dalam gatal kronis. Pasien
dermatitis atopik telah ditunjukkan untuk menunjukkan respons simpatik dan
parasimpatis yang abnormal terhadap gatal dan stres mental. Studi telah
menunjukkan bahwa terapi modifikasi perilaku mampu mengurangi gatal dan
garukan. Intervensi perilaku lain yang memungkinkan termasuk pengurangan
stres dan biofeedback. Pengurangan stres menggunakan pendekatan holistik
seperti meditasi, yoga dan perhatian penuh mungkin memiliki peran tambahan
dalam mengurangi intensitas gatal. 1,7

36
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Pruritus (gatal) merupakan salah satu dari sejumlah keluhan yang paling

sering dijumpai pada gangguan dermatologik yang menimbulkan gangguan rasa

nyaman dan perubahan integritas kulit jika pasien meresponnya dengan garukan.

Garukan akibat rasa gatal dapat menyebabkan timbul lesi pada


Untuk menegakkan diagnosis, penting dilakukan anamnesis, pemeriksaan

fisik dan pemeriksaan penunjang untuk mengetahui penyebab pruritus yang

dialami oleh pasien. Terapinya dapat diberikan antipruritus sistemik dan

antipruritus topikal. Akibat dari rasa gatal menyebabkan terjadinya aktivitas

garukan/goresan. Stimulus ini kemudian dihantarkan ke korteks prefrontal secara

khusus, yaitu sebuah area otak yang terlibat dalam sistem yang diarahkan pada

tujuan dan kebiasaan belajar. Dengan demikian, kemungkinan aktivitas yang

disebabkan oleh garukan/goresan di korteks prefrontal dapat mendorong untuk

terus menggaruk. Menggaruk berulang pada kondisi kronis seperti dermatitis

atopik dan psoriasis selanjutnya akan merusak kulit dan menyebabkan sekresi

neuropeptida.
Lesi kulit sekunder yang merupakan karakteristik pruritus meliputi

ekskoriasi, likenifikasi, dan hiper atau hipopigmentasi.1,3 Likenifikasi terjadi

akibat dari penggosokan atau goresan terus menerus dan terdiri dari plak yang

berkembang dengan baik dan menebal disertai dengan penonjolan lipatan kulit.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Yosipovitch G, Patel TS. Pathophysiology and clinical aspects of


Pruritus. In : Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell
DJ, Wolf K. Eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th
edition. New york: McGraw-Hill Medical : 2012. Page 1147-1157

2. James WD, Elstone DM, Berger TG. Pruritus and Neurocutaneus


dermatoses In : Andrews’ Disease of the skin clinical dermatology. 12 th
edition. China : Elsevier : 2016. Page 45-47

3. Stander S, Metze D. Pruritus and prurigo. In : Burgdorf W.H.C, Pewig


G, Wolf H.H, Lanthaler M. Braun-Falco’s Dermatology. 3 th edition.
Italy: Springer Medizine Verlag Heidelberg : 2009. Page 435-443

4. Boxton PK. ABC of Dermatology. 4th edition. London : BMJ Publishing


Group Ltd in 1988. Page 23-24

5. James WD, Berger TG, Elston DM. Endrew disease of the skin clinical
dermatology. 11th edition.China. Elsevier Saunders : 1950. Page 31.

6. Nowak D, Yeung J. Diagnosis and threatment of pruritus. Canadian


Family Physician Le Médecin de famille canadien.2017; 63. Page 918-
923

7. Metsz M, Stander S. Chronic pruritus – pathogenesis, clinical aspects


and treatment. Journal of the European Academy of Dermatology and
Venereology. 2010; 24 : 1249–1260

8. Song J, Xiang D, Yang L, Xiong X, Lai R, Zhong J. Pruritus: Progress


toward Pathogenesis and Treatment. BioMed Research International.
2018; page 1-8

9. Paul JC. Wound pruritus: pathophysiology and management. Chronic


Wound Care Management and Research. 2015;2: Page 120-122

38
10. Herdon JH, Dallas JR. Pathophysiology of Pruritus Associate With
Elevated Bile Acid Levels in Serum. Arch Intern Med. 2015.130; page
632-636

11. Babakinejad P, Walton S. Diabetes And Pruritus. The British Journal Of


Diabetes. 2016. 16(4); page 154-155

39

Anda mungkin juga menyukai