Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Selain menjadi kawasan elit di masa lalu, ternyata Cikini mempunyai banyak
cerita sejarah yang belum banyak orang ketahui. Bila berwisata ke Cikini, semua orang
hanya mengenal Taman Ismail Marzuki. Tak hanya memanjakan dengan taman
teaternya, ternyata Cikini mempunyai cerita sejarah yang sangat kental tentang
perjalanan bangsa Indonesia. Untuk yang menyukai wisata sejarah, Cikini menjadi
salah satu alternatif untuk Anda yang ingin berwisata selain di Kota Tua, Jakarta.

Cikini merupakan salah satu lokasi sarat sejarah dan cerita. Seperti Kantor Pos
yang berdiri sejak zaman kolonial Belanda. Selang beberapa langkah, terdapat Taman
Ismail Marzuki (TIM) untuk menyaksikan ragam teater yang disajikan. Namun, tak
hanya teater, TIM juga terdapat perpustakaan daerah untuk yang ingin berwisata sambil
membaca buku. Lalu, ada Toko Laba-Laba yang merupakan toko reparasi berbagai
jenis barang, seperti sepatu, dan tas. Berdiri pada tahun 1898, toko ini menjadi toko
reparasi pertama yang berdiri di wilayah Cikini yang sangat terkenal bagus. Kemudian,
disusul dengan Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 dan Perguruan Cikini yang
terkenal dengan peristiwa pengeboman pada kala itu.

Sedangkan untuk pecinta barang antik, bisa melanjutkan perjalanan ke Jalan


Surabya yang merupakan pasar loak yang menjual barang antik. Tak heran, tempat ini
selalu diburu oleh warga lokal maupun turis asing.

I.2. Permasalahan

1. Latar belakang kawasan Cikini


2. Bagaimana sejarah Kawasan Cikini ?
3. Bangunan-bangunan bersejarah apa saja yang ada di kawasan Cikini ?
4. Bagaimana tindakan konservasi yang akan dan yang sudah diakukan ?

I.3. Tujuan

Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas kecil dari mata kuliah
Perencanaan Kawasan dimana salah satu syarat untuk penilaian akhir mata kuliah
tersebut. Selain itu penulisan makalah ini bertujuan untuk :

1
1. Mengetahui latar belakang kawasan Cikini
2. Mengetahui sejarah kawasan Cikini
3. Mengetahui bangunan-bangunan yang ada didalam kawasan Cikini
4. Mengetahui tindakan konservasi yang akan dan yang sudah dilakukan terhadap
kawasan Cikini

2
BAB II
DESKRIPSI KAWASAN

II.1. Kondisi Kawasan Cikini

Sejarah Cikini tak lepas dari sejarah perkembangan perumahan masa kolonial
Belanda di Hindia Belanda. Tahun 1920, pemerintah Hindia Belanda merasa perlu
membuat perumahan baru untuk warga Eropa dan warga pribumi kelas menengah atas.
Maka dipilihlah kawasan Menteng yang dahulu terletak di selatan benteng kota Batavia,
sebagai kawasan pemukiman elit kompeni.

Adalah P.A.J Mooijen, sang arsitek berkewarganegaraan Belanda yang bertugas


menata kawasan Menteng. Tak hanya menata kawasan pemukiman, Mooijen juga
memikirkan area fasilitas umum untuk penghuni Menteng.

Kawasan Cikini waktu itu difungsikan sebagai area fasilitas umum bagi perumahan
Menteng. Maka tak heran kawasan Cikini waktu itu tumbuh sebagai area komersial dan
bangunan publik dimana banyak terdapat rumah makan, sekolah, kantor pos, pertokoan dan
bangunan publik lainnya.

Kawasan Cikini adalah penyokong Kawasan pemukiman Menteng. Sepanjang


jalan Cikini, tak pernah sepi dari berbagai aktivitas. Mulai dari diskusi politik, pertunjukan
seni, olahraga, nonton film dan tempat hang out. Makanya tak heran kalau kawasan Cikini
dipadati oleh aneka restoran dan cafe. Gerai convenience store pun berjajar di sepanjang
jalan Cikini, berdampingan dengan para pedagang kaki lima. Kira-kira seperti itulah
gambaran kawasan Cikini tempo dulu, tak jauh beda dengan Cikini sekarang.

Sejumlah bangunan yang berdiri di kawasan Cikini adalah bangunan kuno yang
sudah berdiri sejak puluhan tahun lalu. Bahkan ada beberapa bangunan yang sudah eksis
sejak zaman Belanda, salah satunya adalah Rumah Sakit PGI Cikini.

Rumah sakit tersebut dahulu adalah rumah maestro lukis Indonesia, Raden Saleh.
Rumah bergaya klasik itu masih terpelihara dan kokoh berdiri hingga sekarang.

II.2. Sejarah Kawasan Cikini

Cikini

Sejarah Cikini tak lepas dari sejarah perkembangan perumahan masa kolonial
Belanda di Hindia Belanda. Tahun 1920, pemerintah Hindia Belanda merasa perlu
membuat perumahan baru untuk warga Eropa dan warga pribumi kelas menengah atas.

3
Dipilihlah kawasan menteng yang letaknya di selatan benteng kota Batavia.
Dari sinilah dimulai bahwa Batavia, cikal bakal kota Jakarta, berkembang ke arah
selatan. Karena kawasan perumahan Menteng ditujukan untuk golongan menengah
atas, maka kawasan ini dirancang dengan sebaik-baiknya menggunakan tim ahli dari
Belanda yang dipimpin oleh arsitek P.A.J. Mooijen. Untuk pertama kalinya pula
Peraturan Tata Bangunan Kota yang pertama (Bataviasche Bouwverordening,1919)
diterapkan.

Jika ada pemukiman, tentu ada fasilitas umum. Kawasan Cikini waktu itu
difungsikan sebagai area fasilitas umum bagi perumahan Menteng. Maka tak heran
kawasan Cikini waktu itu tumbuh sebagai area komersial dan bangunan publik dimana
banyak terdapat rumah makan, sekolah, kantor pos, pertokoan dan bangunan publik
lainnya.

Kawasan Cikini adalah penyokong Kawasan pemukiman Menteng. Oleh karena


itu di Cikini banyak sekali sejarah-sejarah Indonesia yang terekam.

Gedung Juang 45

Persinggahan pertama tur ini adalah gedung juang 45. Bangunan ini saat ini
difungsikan sebagai museum sejarah perjuangan Indonesia era jepang dan agresi
militer. Terlepas dari penataan interior bangunan ini yang terkesan membosankan dan
ketinggalan jaman, bangunan ini masih cukup cantik jika dilihat dari jalan. Gedung
juang dibangun tahun 1920an. Awalnya adalah sebuah hotel yang dikelola oleh
keluarga L.C. Schomper. tahun 1920, Batavia sudah berkembang ke selatan. Sebagai
salah satu kota penting di kawasan Hindia Belanda, perekonomian Batavia berkembang
dan menjadikan Batavia sebagai kota yang ramai dikunjungi pelancong, entah itu untuk
urusan bisnis atau urusan lainnya. Peluang inilah yang diambil oleh keluarga Schomper
untuk mendirikan hotel di kawasan Menteng. Maka jadilah Hotel Schomper. Tidak
begitu jelas hotel bintang berapa.

Jaman pemerintahan Jepang (1942-1945), gedung ini digunakan sebagai kantor


Ganseikanbu Sendenbu (Jawatan Propaganda Jepang). Tidak jelas pula apakah gedung
ini direbut paksa atau melalui perjanjian jual beli. Dijaman itu gedung ini mulai
digunakan sebagai tempat berlangsungnya pendidikan politik bagi rakyat. Peninggalan
jaman Jepang yang dipajang di museum Gedung Juang 45 adalah poster-poster
propaganda Jepang. Menurut saya ini adalah hal yang paling menarik di museum ini.

4
Mungkin karena saya berkecimpung di dunia desain, jadi hal-hal yang berbau
grafis langsung menarik mata. Poster propaganda Jepang ini rasanya begitu penting
dalam sejarah desain grafis di Indonesia.

Toko dan Pabrik Roti Tan Ek Tjoan

Bermula dari tahun 1921, seorang Cina di Bogor merintis usaha roti yang kini
melegenda di Jakarta. Tan Ek Tjoan melihat pasar bahwa kebiasaan orang Eropa yang
mengkonsumsi roti dalam kehidupan sehari-hari, maka ia membuat roti untuk kalangan
eropa. Resep dan rasanya tentu saja disesuaikan dengan lidah Eropa. Roti buatan Tan
Ek Tjoan pun laris dikalangan warga Eropa di Hindia Belanda. Kemudian Tan Ek Tjoan
membuka pabrik dan tokonya di kawasan cikini untuk mendekatkan diri dengan
pemukiman Eropa di Menteng. Toko dan pabrik roti ini masih bisa dikunjungi hingga
saat ini. Walau kini usaha roti Tan Ek Tjoan sudah diturunkan ke generasi ketiga dan
Belanda sudah tidak lagi menguasai berkoloni di Hindia Belanda/Indonesia, tetapi roti
ini tetap memiliki penggemarnya sendiri. Ditengah persaingan usaha roti yang semakin
menjamur, roti Tan Ek Tjoan tetap mempertahankan orisinalitasnya. Beruntung saya
bisa mengunjungi toko dan pabriknya yang legendaris. Sayang waktu itu kegiatan
produksi di pabriknya sedang tidak ada. Jadi saya hanya melihat mesin-mesinnya saja.

Menurut karyawan Tan Ek Tjoan, masih banyak pelanggan yang memilih


membeli langsung ke sini walau roti Tan Ek Tjoan sekarang bisa didapatkan di mana-
mana. Ada yang ingin bernostalgia.

Rumah Raden Saleh

Dari sekian tempat yang kami kunjungi, menurut saya rumah raden saleh yang
paling saya tunggu. Raden Saleh adalah pelukis Indonesia yang paling fenomenal. Dia
pelukis langganan kaum kerajaan dan ningrat Eropa.

Raden saleh lahir dan dibesarkan di jawa, Hindia Belanda, tetapi kemudian
hijrah ke Jerman dan Belanda untuk melanjutkan pendidikan melukisnya. Lama hidup
di Eropa dan bergaul dengan orang-orang Eropa membuat gaya hidup dan selera Raden
Saleh yang kebarat-baratan. Hal ini bisa dilihat dari rumah yang ia bangun di Batavia
sekembalinya dari berkelana di Eropa sekian tahun. Karena memiliki langganan kaum
atas, tak heran Raden Saleh memiliki kekayaan yang berlimpah.

Kembali ke Batavia, diapun membeli tanah yang luas di kawasan Cikini. Dia
membangun rumah bergaya Eropa yang ia desain sendiri. Saya selalu membayangkan
5
bahwa kehidupan sosial Raden Saleh itu seperti tokoh Minke di buku Anak Semua
Bangsa karya Pramudya Ananta Toer. Seorang manusia pribumi yang modern, jauh
dari gaya tradisional. Pertama memasuki rumah Raden Saleh, kami disambut oleh ruang
tengah yang luas dan tinggi. Lengkap dengan pintu-pintu dan tangga di sekeliling
ruangan. Saya merasakan suasana film The Sound of Music, ruang tengah tempat anak-
anak keluarga Trapp bernyanyi.

II.3. Masalah yang dihadapi

2.3.1.

II.4. Reservasi Kawasan Cikini

2.3.1. Metropole

Bioskop Metropole, yang kini bernama Metropole XXI adalah bioskop


tertua di Jakarta. Berusia lebih dari lima puluh tahun, peninggalan arsitektur ini
ditetapkan sebagai Cagar Budaya Kelas A berdasarkan SK Gubernur DKI
Jakarta no. 475 Tahun 1993. Lokasinya strategis, tepat di sudut Jalan
Pegangsaan dan Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, pertemuan dari arah Bundaran
Hotel Indonesia, Cikini, Matraman, dan Manggarai.

Bioskop Metropole dibangun pada 11 Agustus 1949 dan selesai pada


1951. Peresmian bioskop ditandai dengan pemutaran film Annie Get Your
Gun (1950) karya George Sidney. Sejumlah tamu ternama yang hadir antara
lain Rahmi Rachim, istri Wakil Presiden Mohammad Hatta; Sultan
Hamengkubuwono IX; dan Haji Agus Salim.

Banyak orang mengira gedung Bioskop Metropole dirancang oleh


Johannes Martinus (Han) Groenewegen, seorang arsitek Belanda. Nyatanya,
menurut sejumlah catatan sejarah, perancang gedung Metropole adalah Liauw
Goan Seng yang meninggalkan Indonesia pada 1958 untuk pindah ke Belanda
ketika terjadi naturalisasi. Beliau mendesain Metropole dengan gaya arsitektur
Art Deco, yang berasal dari kata Art Decorative, sebagai bagian perkembangan
arsitektur Art Nouveau. Tidak seperti Art Nouveau yang ditandai dengan
banyaknya ornamen dekoratif seperti kaca mozaik, gambar, serta ukiran, unsur
kerumitan pada Art Deco jauh berkurang dan menjadi lebih sederhana. Sampai
saat ini Metropole merupakan satu-satunya bangunan besar bergaya arsitektur
Art Deco yang masih bertahan di ibukota.
6
Dengan menggunakan blower dan exhaust, bioskop berkapasitas 1.446
penonton ini cukup nyaman pada masanya. Ia pun tak sendirian di atas lahan
seluas 11.623m² itu. Seperti bioskop Capitol dan Menteng, area Metropole
dikelilingi oleh toko-toko dan tempat hiburan. Di lantai atas bioskop terdapat
ruang dansa. Di samping kanan bioskop ada toko-toko tekstil.

Melengkapi kemegahan arsitektur, kesejukan ruangan, dan fasilitas lain


dalam kompleks Bioskop Metropole adalah sajian filmnya. Bioskop tersebut
identik dengan film-film populer Amerika, yang menaikkan gengsi Metropole
sebagai bioskop kelas satu. Dari War and Peace (King Vidor, 1956)
sampai Gone with The Wind (Victor Fleming, 1939), dari aksi Marilyn Monroe
sampai Robert Mitchum, pernah singgah di layar perak bioskop ini.

Pada awal 1950-an, sebagai salah satu bioskop kelas satu, Bioskop
Metropole juga tergabung dalam organisasi antarbioskop kelas satu. Salah satu
yang paling terkenal adalah United Cinemas Combination, yang terdiri dari
Bioskop Menteng, Astoria, Capitol, Cinema Grand, Happy, Sin Thu, dan Globe.
Metropole sendiri bersama Bioskop Cathay, Garden Hall, Mayestic, Orion,
Roxy, dan Podium tergabung dalam Independent Cinemas. Bioskop-bioskop
kelas satu itu memutar film-film produksi Paramount, United Artists, J Arthur
Rank, maupun Metro Goldwyn Mayer (MGM). Bioskop Metropole sendiri
banyak memutar film-film produksi MGM.

Dominasi film Amerika tak menutup keterlibatan Bioskop Metropole


dalam perkembangan film Indonesia. Pada 1955, film Krisis tayang di
Metropole sebuah terobosan dalam sejarah film Indonesia. Awalnya, film karya
Usmar Ismail itu hendak diputar di Capitol Theater. Pada masa-masa itu,
setidaknya dari 1950-an sampai 1970-an, memutar film Indonesia di bioskop
kelas satu sangatlah sulit karena film Indonesia hanya diputar di bioskop-
bioskop kelas C. Keyakinan Usmar Ismail atas Krisis sayangnya ditampik
dengan hinaan oleh Weskin, manajer Capitol Theater, hingga kabarnya Usmar
Ismail tak bisa menahan diri lalu memukulnya.

Untungnya ada Lie Khik Hwie, manajer utama Bioskop Metropole,


yang menyambut baik film Krisis. Sekalipun perwakilan MGM di Indonesia
keberatan, Lie Khik Hwie tak gentar. Ia mengatakan bahwa MGM yang tak

7
memiliki saham sesenpun tak berhak mengaturnya. Ia bahkan mengancam akan
merobek kontrak dengan MGM. Pihak MGM lalu membiarkan
film Krisis menggeser jadwal film-film distribusinya, dan ternyata film itu
sukses besar. Memecahkan rekor penonton film Terang Boelan (1937) karya
Albert Balink, Krisis menjadi film Indonesia pertama yang bisa sukses di
bioskop kelas satu. Krisis tayang di Metropole selama lima minggu, melebihi
periode edar film-film Barat saat itu.

Terbukanya kesempatan bagi film Indonesia bisa diputar di Bioskop


Metropole pada akhirnya memang tak berimbas ke semua film Indonesia.
Manajemen bioskop tetap memperhitungkan larisnya penjualan tiket dalam
menentukan film-film yang ditayangkan. Meski begitu, pada 1955, Metropole
bersama sejumlah bioskop lain turut menayangkan film-film peserta Festival
Film Indonesia I yang berlangsung pada 30 Maret hingga 5 April, beberapa
bulan sebelum Pemilu pertama di Indonesia. Sementara pada 1970, Metropole,
yang kala itu sudah berganti nama menjadi Megaria, juga menjadi salah satu
bioskop penunjang pelaksanaan Festival Film Asia ke-16 pada April sampai
Mei 1970. Selain Metropole, bioskop lain yang ikut serta adalah Apollo, Star,
City, Gelora, Menteng, Royal, Krekot, Satria, dan Orient.

Pasang Surut

Sepanjang sejarahnya, Bioskop Metropole hadir dengan sejumlah nama.


Pada 1960, mengikuti perintah Presiden Sukarno, Metropole mengganti
namanya yang berbau asing menjadi Megaria. Kemudian sepanjang Orde Baru
sempat berganti nama menjadi Megaria Theatre. Pada 1989, ketika gedung
bioskop ini disewakan pada jaringan 21 Cineplex, namanya berubah menjadi
Metropole 21, dan sempat berganti kembali menjadi Megaria 21, sebelum
kemudian pada 2008—usai berita penjualan bioskop yang menggemparkan
kembali dipugar oleh 21 Cineplex dan berganti nama menjadi Metropole XXI
hingga kini. Namun, sampai sekarang, orang-orang tetap akrab memanggilnya
sebagai Bioskop Megaria.

Pada awal masa kejayaannya, Bioskop Megaria menjadi bagian dari


gaya hidup masyarakat Jakarta. Warga ibukota dapat menonton film-film
Amerika terbaru di sana. Dari artis seperti Citra Dewi dan Rima Melati, para

8
menteri, politisi, mahasiswa, pekerja kantoran, semua pernah menonton di
Metropole. “Dan yang paling membanggakan adalah membawa pasangan
nonton film di kelas loge,” kata Suditomo, mantan pegawai Sekretariat Negara
yang pada pertengahan 1950-an masih berstatus mahasiswa di Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia. Loge adalah kelas satu, dengan harga karcis
saat matinee show pertunjukan murah Sabtu siang Rp 4 per orang atau setara
dengan Rp 26 ribuan pada 2018. Masa kejayaan ini terus berlanjut sampai 1970-
an.

Pada awal 1980-an, suasana perbioskopan berubah. Tibalah masa bagi


bioskop-bioskop yang dulunya kelas satu itu untuk menggulung layar. Berbagai
hal dituding sebagai penyebab, dari maraknya acara televisi, penyewaan video
baik asli maupun bajakan semakin macetnya jalanan, jumlah bioskop yang
mencapai 162 dan sudah dianggap berlebihan, hingga terlalu banyaknya
pembagian kelas dan terlalu lebarnya selisih harga tiket. Film-film yang beredar
pada masa itu, khususnya film nasional yang hanya berkisar pada “paha” dan
“parang”, kurang menerbitkan selera, sementara film-film impor semakin
terbatas. Pada 1984 cuma ada 180 judul film impor, dibandingkan 600 judul
film setahun pada dekade sebelumnya. Sebagian film itu pun bisa dinikmati
melalui kaset video bajakan.

Saat itu, Megaria termasuk bioskop yang masih bisa menahan


penggulungan layar. Nasibnya masih lebih baik daripada bioskop-bioskop lain,
walau jumlah penonton masih 30 persen dari kapasitas kursi. Sekalipun
kabarnya, lokasi strategis dan lahannya yang luas sudah diincar banyak
pengusaha untuk pertokoan dan perkantoran.

Masa menurunnya penonton dan ambruknya bisnis bioskop di Jakarta


dan kota-kota besar lainnya, bertepatan dengan ditemukannya konsep sinepleks
yang berasal dari Amerika. Bioskop yang semula berkapasitas besar, seperti
gedung teater dengan ribuan kursi, dipecah-pecah menjadi beberapa ruang,
sehingga bisa menayangkan lebih banyak film. Bioskop tak lagi memerlukan
penonton melimpah-ruah pada setiap pemutaran untuk bisa meraup untung.

Bioskop pertama yang menerapkan konsep sinepleks, yang diistilahkan


saat itu sebagai “bioskop kembar-dempet”, adalah bioskop Kartika Chandra di

9
Jakarta Pusat. Pada 1984, bioskop itu membelah dirinya menjadi tiga layar
dalam tiga ruangan. Bioskop Megaria mengikuti jejaknya pada akhir 1986.
Tetapi hanya dalam memperbanyak layar, tidak memenggal ruangan, karena
yang digunakan adalah gedung lain yang ada di belakang bioskop, sehingga
bioskop Megaria memiliki dua studio: Megaria I dan II.

Nasib Bioskop Megaria sayangnya tak sebaik Kartika Chandra.


Kapasitas Megaria I tetap saja terhitung besar, sehingga menuntut jumlah
minimum penonton yang besar pula. Hanya 300–400 penonton yang
berkunjung dari 1000-an lebih kursi yang tersedia. Penonton di Megaria II pun
tak melebihi 150 orang untuk empat kali pertunjukan. Supaya balik modal,
Megaria I harus bisa mendatangkan 500 penonton, sementara Megaria II
memerlukan 200 penonton.

Ramainya bioskop bangkrut tak lantas membuat pebisnis bioskop ciut.


Apalagi bagi perusahaan yang bermodal besar dan memiliki akses birokrasi
ampuh. Pada 1987, Subentra, sebagai perusahaan patungan Sudwikatmono dan
Benny Suherman, membuka bioskop baru bernama Studio 21 di Jalan Thamrin,
Jakarta Pusat. Sejak dibukanya Studio 21 yang turut menerapkan konsep
sinepleks itu, Subentra dengan jaringan 21 Sinepleksnya, makin gesit menggaet
bioskop-bioskop “usang” ke dalam grupnya. Dalam waktu singkat, sejumlah
bioskop berubah paras dan sapaan, terutama angka di belakangnya. Tamara
Theatre menjadi Amigo 21. Rawamangun Theatre jadi Astor 21. Tak terkecuali,
Megaria Theatre berubah menjadi Metropole 21.

Gaya rangkulan 21 Sinepleks adalah dengan menyewa bioskop sehingga


pemilik lama tak punya hak mengelola lagi. Sejak April 1989, pemilik
Metropole 21 tinggal menikmati uang sewa Rp 7,5 juta per bulan selama lima
tahun (uang sewa itu naik 5% setiap tahun). Oleh 21 Sinepleks, Bioskop
Metropole 21 dipecah menjadi enam studio. Empat studio menempati gedung
depan dan dua studio di gedung belakang yang masih satu gedung dengan Hero
Supermarket saat itu. Bioskop Metropole 21 kemudian sempat berubah nama
menjadi Megaria 21.

Tugu Proklamasi

10
Tugu Proklamasi atau Tugu petir adalah tugu peringatan proklamasi
kemerdekaan RI. Pada kompleks juga terdapat monumen dua patung Soekarno-
Hatta berukuran besar yang berdiri berdampingan, mirip dengan dokumentasi
foto ketika naskah proklamasi pertama kali dibacakan. Di tengah-tengah dua
patung proklamator terdapat patung naskah proklamasi terbuat dari lempengan
batu marmer hitam, dengan susunan dan bentuk tulisan mirip dengan naskah
ketikan aslinya.

Setelah era reformasi, selain menjadi tempat yang spesial untuk acara
peringatan Hari Kemerdekaan RI tiap tahunnya, lokasi ini pun menjadi tempat
pilihan bagi berkumpulnya para demonstran untuk menyuarakan pendapat-
pendapatnya.

Lain halnya ketika sore menjelang. Pada hari-hari yang biasa, para
penduduk yang tinggal tak jauh dari lingkungan taman ini kerap berkunjung
ke Tugu Proklamasi untuk berbagai aktivitas. Tempat ini menjadi tempat favorit
anak-anak bermain, arena berolahraga, tempat berkumpul dan bertemu, atau hanya
untuk duduk-duduk saja menghabiskan sore hingga senja datang.

Sejarah Tugu Proklamasi Jakarta

Naskah Proklamasi kemerdekaan RI dibacakan untuk pertama kalinya oleh


Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945 di halaman kediaman Soekarno
Jalan Pegangsaan Timur No. 56. Rumah bersejarah ini, yang dulu disebut “Gedung
Proklamasi”, sudah tidak ada lagi sejak tahun 1960, Bung Karno menyetujui usul
Wakil Gubernur Daerah Chusus Jakarta (DCI) Henk Ngantung agar rumah tersebut
direnovasi. Waktu itu Presiden Soekarno sudah bermukim di Istana Negara.
Ternyata, renovasi tidak terealisasi.

Di lokasi ini Presiden Soekarno pada tanggal 1 Januari 1961 melakukan


pencangkulan pertama tanah untuk pembangunan tugu, “Tugu Petir“, yang
kemudian disebut tugu proklamasi. Tugu ini berbentuk bulatan tinggi berkepala
lambang petir, seperti lambang Perusahaan Listrik Negara (PLN). Tulisan yang
kemudian dicantumkan, “Disinilah Dibatjakan Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia pada Tanggal 17 Agustus 1945 djam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan
Bung Hatta“.

Sekitar 50 meter di belakang tugu ini dibangun gedung yang menandai


dimulainya pelaksanaan “Pembangunan Nasional Semesta Berencana”. Hanya

11
bangunan ini yang berdiri di lokasi tersebut. Satu dan satu-satuya gedung yang ada
sampai sekarang.

Di antara bangunan yang terdapat di lokasi ini, hanya “Tugu Peringatan


Satoe Tahoen Repoeblik Indonesia” yang langsung terkait dengan nuansa
revolusi karena diresmikan tanggal 17 Agustus 1946 pada masa Sekutu masih
berkuasa. Di atas tulisan yang dipahat di bahan marmer itu ada tulisan lain, “Atas
Oesaha Wanita Djakarta”. Di dinding sebaliknya ada kutipan naskah proklamasi
dan peta Indonesia juga dari marmer. Bentuk tugu ini mirip lambang Polda
Metropolitan Jakarta asalkan dibuang kepalanya yang bergambar api berkobar.

12
BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

III.1. Analisa Kawasan Cikini

Umumnya jalur atau lorong berbrntuk pedestrian dan jalan raya, jalur merupakan
penghubung dan jalur sirkulasi manusia serta kendaraan dari sebuah ruang ke ruang lain di
dalam kota, lokasi geografisnya, aksesbilitasnya dengan wilayah lain dan sebagainya.
Berdasarkan elemen pendukungnya, Paths dikota meliputi jaringan jalan sebagai prasarana
pergerakan dan angkutan darat, sungai, laut, udara, terminal , pelabuhan sebagai sarana
pengangkutan jaringan ini cukup penting khususnya sebagai alat peningkatan perkembangan
daerah pedesaan dan jalur penghubung baik produksi maupun komuikasinya lainya.
Bedasarkan frekuensinya, kecepatan dan kepentingannya jaringan penghubung di kota
dikelompokan menjadi :

III.2. Solusi

Umumnya jalur atau lorong berbrntuk pedestrian dan jalan raya, jalur merupakan
penghubung dan jalur sirkulasi manusia serta kendaraan dari sebuah ruang ke ruang lain di
dalam kota, lokasi geografisnya, aksesbilitasnya dengan wilayah lain dan sebagainya.
Berdasarkan elemen pendukungnya, Paths dikota meliputi jaringan jalan sebagai prasarana
pergerakan dan angkutan darat, sungai, laut, udara, terminal , pelabuhan sebagai sarana
pengangkutan jaringan ini cukup penting khususnya sebagai alat peningkatan perkembangan
daerah pedesaan dan jalur penghubung baik produksi maupun komuikasinya lainya.
Bedasarkan frekuensinya, kecepatan dan kepentingannya jaringan penghubung di kota
dikelompokan menjadi :

13
BAB IV
PENUTUP

IV.1. Simpulan

Ssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssss
ssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssss
ssssssssssssssssssssssssssssssssssss

IV.2. Saran

Ssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssss
ssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssss
ssssssssssssssssssssssssssssssssssss

14
Daftar Pustaka

 Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Cikini, Cerita Sejarah yang
Tersembunyi", https://travel.kompas.com/read/2016/01/19/114200727/Cikini.Cerita.Sejar
ah.yang.Tersembunyi.
Penulis : Ersianty Peginusa Wardhani

 http://www.academia.edu

 https://jakartakita.com

 https://situsbudaya.id/tugu-proklamasi/

15

Anda mungkin juga menyukai