BAB II Case Citra
BAB II Case Citra
TINJAUAN PUSTAKA
3
4
Fungsi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka
fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah:
1. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning),
penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan
dan mekanisme imunologik lokal
2. Fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman dan
reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu
3. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses
berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang
4. Fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas
5. Refleks nasal.10
Vaskularisasi Hidung
Bagian postero-inferior septum nasi diperdarahi oleh arteri sfenopalatina
yang merupakan cabang dari arteri maksilaris (dari arteri karotis eksterna).
Septum bagian antero-inferior diperdarahi oleh arteri palatina mayor (juga cabang
dari arteri maksilaris) yang masuk melalui kanalis insisivus. Arteri labialis
superior (cabang dari arteri fasialis) memperdarahi septum bagian anterior
mengadakan anastomose membentuk pleksus Kiesselbach yang terletak lebih
superfisial pada bagian anterior septum. Daerah ini disebut juga Little’s area yang
merupakan sumber perdarahan pada epistaksis. Arteri karotis interna
memperdarahi septum nasi bagian superior melalui arteri etmoidalis anterior dan
superior.8
Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang arteri
maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri
sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus
sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka
media. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang arteri
fasialis.9 Vena sfenopalatina mengalirkan darah balik dari bagian posterior septum
6
ke pleksus pterigoideus dan dari bagian anterior septum ke vena fasialis. Pada
bagian superior vena etmoidalis mengalirkan darah melalui vena oftalmika yang
berhubungan dengan sinus sagitalis superior.8
Persarafan Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal
dari n.oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lannya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion
sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima
serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari
n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus
profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung
posterior konka media. Nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa
dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel
reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.6
alergi mengalami gangguan aktifitas fisik, maupun sosial dan terjadi perasaan
mental tidak sehat.3
Menurut Von Pirquet, rinitis alergi merupakan Penyakit inflamasi
disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah
tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia
ketika terjadi paparan ulang dengan alergen spesifik tersebut.11
Begitu juga dengan prevalensi asma bronkial juga kurang dari 5%. Prevalensi
rinitis tertinggi di Nigeria (lebih dari 35%), Paraguay (30-35%) dan Hongkong
(25-30%).15
Di Indonesia, dikutip dari Sundaru, menyatakan bahwa rinitis alergi yang
menyertai asma atopi pada 55% kasus dan menyertai asma atopi dan non atopi
pada 30,3% kasus.16
2.4 Etiologi
Gejala rinitis alergi dapat dicetuskan oleh berbagai faktor, diantaranya
adalah pajanan udara dingin, debu, uap, bau cat, polusi udara, tinta cetak, bau
masakan, bubuk detergen, serta bau minuman beralkohol. Umumnya faktor
pencetus ini berupa iritan non spesifik.17
Alergen penyebab pada bayi dan anak sering disebabkan oleh alergen
makanan, sedangkan alergen inhalan lebih berperan pada anak yang lebih besar.
Manifestasi klinis reaksi hipersensitivitas tipe I pada telinga, hidung dan
tenggorok anak sebelum usia 4 tahun jarang ditemukan.17
2.5 Klasifikasi
The Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma (ARIA)
mengklasifikasikan rinitis alergi berdasarkan lama gejala dan beratnya gejala;18
2.6 Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase,
yaitu Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan
alergen sampai satu jam setelahnya, dan Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang
berlangsung 2 sampai 4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktiftas) setelah
pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam. Pada kontak pertama
dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan
sebagai sel penyaji akan menangkap alergen yang menempel di permukaan
mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek
peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk peptida MHC
(Mayor Histocompatibiliry Complex) kelas II, yang kemudian dipresentasikan
pada sel T-helper (Th 0).19
10
Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin I (IL-l) yang
akan mengaktifkan Th 0 untuk berproliferasi menjadi Th I dan Th 2. Kemudian
Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4,IL,5 dan IL-13. IL-4
dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di
sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan
sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif.
Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi.
Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama maka
kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya
dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang
sudah terbentuk, terutama histamin.19
Selain histamin juga dikeluarkan prostaglandin leukotrin D4, leukotrin c4,
brakinin, platelet activating factor dan berbagai sitokin' Inilah yang disebut reaksi
alergi fase cepat. Histamin akan merangsang reseptor Hl pada ujung vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabiltas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung syaraf
vidianus juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran inter-celluler adhesion molecule l (ICAM-1).19
Pada reaksi alergi fase lambat, sel mastosit akan melepaskan molekul
kemotaktik yang akan menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di
jaringan target. Respon ini tidak berhenti disini saia, tapi gejala akan berlanjut dan
mencapai puncak 6-8 jam, seterah pemaparan. Pada reaksi ini, ditandai dengan
penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil,
basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3 , IL4
dan IL5, dan granulocyte macrophag corony stimurating factor (GMCSF) dan
ICAM-1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiper-rensponsif
hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya.
pada fase ini selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor nonspesifik dapat
11
memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca
dan kerembaban udara yang tinggi.19
2.8 Diagnosis
Anamnesis dimulai dengan menanyakan riwayat penyakit secara umum
dan dilanjutkan dengan pertanyaan yang lebih spesifik meliputi gejala di hidung,
serta termasuk keterangan mengenai tempat tinggal, tempat kerja dan pekerjaan
pasien. 21
Gejala-gejala rinitis alergi yang perlu ditanyakan adalah diantaranya
adanya rinore (cairan hidung yang bening encer), bersin berulang dengan
frekuensi lebih dari 5 kali setiap kali serangan, hidung tersumbat baik menetap
atau hilang timbul, rasa gatal di hidung, telinga atau daerah langit-langit, mata
gatal, berair atau kemerahan, hiposmia atau anosmia (penurunan atau hilangnya
ketajaman penciuman) dan batuk kronik. 21
14
2.9 Penatalaksanaan
A. Farmakologi
Perlu ditekankan bahwa penderita rinitis alergi harus menggunakan obat
secara teratur dan tidak pada saat diperlukan saja , karena penggunaan yang
teratur dan konsisten dapat mengontrol inflamasi mukosa dan mengurangi
terjadinya komplikasi pada saluran napas lainnya. Hal penting lain adalah dalam
memilih terapi harus diperhatikan terapi secara individual berdasarkan berat
ringannya penyakit.22
Pengobatan medikamentosa dari rinitis alergi konik terdiri atas
antihistamin, dekongestan, steroid nasal topikal, komolin, zat antikolinergik
(antibiotika dan imunoterapi, tergantung pada diagnosisnya). Pengobatan bedah
terbaru dapat terdiri atas bedah endoskopik meliputi pembukaan meatus media
dari sinus, mengangkat polip nasal (bila ada) dan obstruksi nasal lainnya.
Antihistamin khususnya generasi baru yang non sedatif seperti loratadine,
16
B. Non - Farmakologi
Secara garis besar, penatalaksanaan rhinitis alergi ini terdiri dari 3 cara
yaitu menghindari atau eliminasi alergen dengan cara edukasi, farmakoterapi dan
imunoterapi, sedangkan tindakan operasi kadang diperlukan untuk mengatasi
komplikasi seperti sinusitis dan polip hidung. 22
Pada dasamya penyakit alergi dapat dicegah dan dibagi menjadi 3 tahap,
yaitu:
1) Pencegahan primer untuk mencegah sensitisasi atau proses pengenalan
dini terhadap allergen. Tindakan pertama adalah mengidentifikasi bayi
yang mempunyai risiko atopi. Pada ibu hamil diberikan diet retriksi
(tanpa susu, telur, ikan laut dan kacang) mulai trimester III dan selama
menyusui, dan bayi mendapat ASI eksklusif selama 5 - 6 bulan. Selain
itu kontrol lingkungan dilalarkan untuk mencegah pajanan terhadap
allergen dan polutan.
18
2. Mencuci selimut, bed cover, sprei, sarung bantal dan guling serta
kain kordin pada suhu 600oC.
3. Melapisi kasur, bantal dan guling dari bahan yang
impermeabel/anti tembus tungau.
4. Menggunakan perabot yang mudah dibersihkan seperti dari
kayu, plastik atau logam dan hindari sofa dari kain.
5. Pembersihan yang sering dan teratur dengan penghisap debu atau
dengan lap basah.
6. Hindari binatang peliharaan. 22
2.10 Komplikasi
Inflamasi alergi telah diketahui tidak hanya terbatas pada rongga hidung.
Berbagai ko-morbiditas telah diketahui berhubungan dengan rinitis. 23
1. Konjungtivitis
Jika gejala rinitis alergi disertai oleh gejala konjungtiva, maka lebih
tepat jika menggunakan istilah rinokonjungtivitis. Sekitar 60% pasien
rinitis alergi juga mengalami konjungtivitis alergi.
2. Sinusitis
Sinusitis didefinisikan sebagai peradangan pada mukosa dari satu atau
lebih sinus paranasalis. Diagnosis sinusitis seringkali jarang
ditegakkan pada praktek dokter spesialis anak karena gejalanya
seringkali tidak jelas dan tidak spesifik atau juga akibat pendapat
bahwa sinus paranasalis belum berkembang pada anak kecil.
Berdasarkan lama gejala, sinusitis dibagi menjadi akut (kurang dari 30
hari), subakut (30-90 hari) dan kronis (lebih dari 90 hari). Peran
sensitisasi alergi pada sinusitis kronis tidak sejelas pada
rinokonjungtivitis dan asma. Rinitis alergi sering dianggap sebagai
faktor predisposisi untuk timbulnya sinusitis.
Prevalensi sinusitis pada anak bervariasi dan sulit untuk dianalisis.
Suatu studi kohort pada anak yang diikuti sejak lahir sampai berusia 8
tahun, tercatat prevalens sinusitis sebesar 13.1%, dan pada sebagian
20
besar kasus disertai oleh rinitis alergi. Lebih dari 80% anak dengan
sinusitis positif memiliki riwayat keluarga dengan rinitis alergi, dan
sebaliknya, pada anak dengan asma dan rinitis alergi memiliki
insidens sinusitis kronis yang lebih tinggi. Selain itu, perubahan pada
foto sinus ditemukan pada sekitar 80% pasien rinitis alergi persisten.
3. Asma
Mukosa nasal dan bronkus memiliki banyak kesamaan. Berbagai studi
menunjukkan bahwa asma dan rinitis sering ditemukan bersamaan
pada penderita yang sama. Untuk itu saat menentukan diagnosis rinitis
atau asma, kedua saluran napas bawah dan atas sebaiknya
dievaluasi.23
2.11 Prognosis
Rinitis alergi pada masa anak akan bertambah berat dengan bertambahnya
usia. Kadangkala rinitis alergi dapat merupakan masalah pada usia tua. Dengan
mengetahui faktor penyebab, dengan penghindaran dapat mengurangi kekerapan
timbulnya gejala. Penggunaan beberapa jenis medikamentosa profilaksis juga
dapat mengurangi gejala yang timbul.24
Rinitis Alergi adalah penyakit kronik yang gejalanya akan hilang timbul.
Komunikasi dengan pasien dan orangtua diperlukan agar pemeriksaan berkala
dilakukan dan pemberian obat dapat disesuaikan dengan fluktuasi gejala. Bila
alergen penyebab diketahui, maka penghindaran alergen pencetus perlu terus
menerus dilakukan. Pada gejala yang menetap dan berat, diperlukan penilaian
menyeluruh dan tatalaksana lanjut, antara lain imunoterapi.24