Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hidung


Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi
kavum nasi kanan dan kiri. Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu
dinding medial, lateral, inferior dan superior. Bagian dari kavum nasi yang
letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut sebagai
vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang memiliki banyak kelenjar
sebasea dan rambut-rambut yang disebut dengan vibrise.5
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian
luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas ; struktur hidung luar
dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat
digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan ;
dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk
hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :
1) Pangkal hidung (bridge),
2) Batang hidung (dorsum nasi),
3) Puncak hidung (hip),
4) Ala nasi,
5) Kolumela, dan
6) Lubang hidung (nares anterior).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari :
1) Tulang hidung (os nasal),
2) Prosesus frontalis os maksila dan
3) Prosesus nasalis os frontal;

3
4

Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang


rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu;
1) Sepasang kartilago nasalis lateralis superior,
2) Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai
kartilago ala mayor dan
3) Tepi anterior kartilago septum.6
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari
os.internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan
rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral
terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka
inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara
konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media
disebut meatus superior.7

Gambar 2.1 Anatomi Hidung


5

Fungsi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka
fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah:
1. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning),
penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan
dan mekanisme imunologik lokal
2. Fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman dan
reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu
3. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses
berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang
4. Fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas
5. Refleks nasal.10

Vaskularisasi Hidung
Bagian postero-inferior septum nasi diperdarahi oleh arteri sfenopalatina
yang merupakan cabang dari arteri maksilaris (dari arteri karotis eksterna).
Septum bagian antero-inferior diperdarahi oleh arteri palatina mayor (juga cabang
dari arteri maksilaris) yang masuk melalui kanalis insisivus. Arteri labialis
superior (cabang dari arteri fasialis) memperdarahi septum bagian anterior
mengadakan anastomose membentuk pleksus Kiesselbach yang terletak lebih
superfisial pada bagian anterior septum. Daerah ini disebut juga Little’s area yang
merupakan sumber perdarahan pada epistaksis. Arteri karotis interna
memperdarahi septum nasi bagian superior melalui arteri etmoidalis anterior dan
superior.8
Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang arteri
maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri
sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus
sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka
media. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang arteri
fasialis.9 Vena sfenopalatina mengalirkan darah balik dari bagian posterior septum
6

ke pleksus pterigoideus dan dari bagian anterior septum ke vena fasialis. Pada
bagian superior vena etmoidalis mengalirkan darah melalui vena oftalmika yang
berhubungan dengan sinus sagitalis superior.8

Persarafan Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal
dari n.oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lannya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion
sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima
serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari
n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus
profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung
posterior konka media. Nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa
dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel
reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.6

2.2 Definisi Rhinitis Alergi


Rinitis adalah ‘peradangan pada membran yang melapisi hidung, dengan
ciri adanya sumbatan hidung, rinore, bersin, gatal pada hidung dan/atau postnasal
drainage.’ Sedangkan rinitis alergi secara klinis merupakan gangguan fungsi
hidung yang terjadi setelah pajanan alergen melalui inflamasi yang diperantarai
oleh Imunoglobulin E yang spesifik terhadap alergen tersebut pada mukosa
hidung.2
Rinitis adalah peradangan lapisan mukosa hidung. Gejala rinitis alergi
berupa bersin (5-10 kali berturut-turut), rasa gatal (pada mata, telinga, hidung,
tenggorok, dan palatum), hidung berair, mata berair, hidung tersumbat, post nasal
drip, tekanan pada sinus, dan rasa lelah. Rinitis alergi menjadi masalah kesehatan
global yang menyerang 5-50% penduduk. Anak dan dewasa muda dengan rinitis
7

alergi mengalami gangguan aktifitas fisik, maupun sosial dan terjadi perasaan
mental tidak sehat.3
Menurut Von Pirquet, rinitis alergi merupakan Penyakit inflamasi
disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah
tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia
ketika terjadi paparan ulang dengan alergen spesifik tersebut.11

2.3 Epidemiologi Rhinitis


Bukti epidemiologis adanya hubungan antara rinitis dan asma adalah 1)
prevalensi asma meningkat pada rinitis alergi dan non alergi; 2) rinitis hampir
selalu dijumpai pada asma; 3) rinitis merupakan faktor resiko terjadinya asma;
dan, 4) pada persisten rinitis terjadi peningkatan hipereaktivitas bronkus non
spesifik. Penelitian epidemiologi menunjukkan prevalensi rinitis alergi dan asma
meningkat di seluruh dunia termasuk di AS (4). Sekitar 56 juta orang atau 20%
penduduk AS menderita rinitis alergi dan 5% menderita asma (5). Berbagai
penelitian menunjukkan 78 - 94% penderita asma pada remaja dan dewasa juga
menderita rinitis alergi, dan 38% penderita rinitis alergi juga menderita asma.12
Di Amerika Serikat rinitis alergi merupakan penyakit alergi terbanyak dan
menempati posisi ke-6 penyakit yang bersifat menahun (kronis). Rinitis alergi
juga merupakan alasan ke-2 terbanyak kunjungan masyarakat ke ahli kesehatan
profesional setelah pemeliharaan gigi. Angka kejadian rinitis alergi mencapai
20%.13
Valovirta dkk melaporkan, di AS sekitar 20-40% pasien rinitis alergi
menderita asma bronkial. Sebaliknya 30-90% pasien asma bronkial memiliki
gejala rinitis alergi sebelumnya. Dikutip dari Evans, penelitian dilakukan dari
tahun 1965 sampai tahun 1984 di AS, didapatkan hasil yang hampir sama yaitu
38% pasien rinitis alergi juga memiliki gejala asma bronkial, atau sekitar 3-5%
dari total populasi.14
Menurut International Study of Asthma and Allergies in Children (ISAAC,
2006), Indonesia bersama-sama dengan negara Albania, Rumania, Georgia dan
Yunani memiliki prevalensi rinitis alergi yang rendah yaitu kurang dari 5%.
8

Begitu juga dengan prevalensi asma bronkial juga kurang dari 5%. Prevalensi
rinitis tertinggi di Nigeria (lebih dari 35%), Paraguay (30-35%) dan Hongkong
(25-30%).15
Di Indonesia, dikutip dari Sundaru, menyatakan bahwa rinitis alergi yang
menyertai asma atopi pada 55% kasus dan menyertai asma atopi dan non atopi
pada 30,3% kasus.16

2.4 Etiologi
Gejala rinitis alergi dapat dicetuskan oleh berbagai faktor, diantaranya
adalah pajanan udara dingin, debu, uap, bau cat, polusi udara, tinta cetak, bau
masakan, bubuk detergen, serta bau minuman beralkohol. Umumnya faktor
pencetus ini berupa iritan non spesifik.17
Alergen penyebab pada bayi dan anak sering disebabkan oleh alergen
makanan, sedangkan alergen inhalan lebih berperan pada anak yang lebih besar.
Manifestasi klinis reaksi hipersensitivitas tipe I pada telinga, hidung dan
tenggorok anak sebelum usia 4 tahun jarang ditemukan.17

2.5 Klasifikasi
The Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma (ARIA)
mengklasifikasikan rinitis alergi berdasarkan lama gejala dan beratnya gejala;18

Gambar 2.2. Klasifikasi rinitis alergi menurut ARIA


9

Menurut klasifikasi tersebut, maka rinitis alergi berdasarkan lama gejala


dibagi menjadi:
1. Intermiten: gejala ≤4 hari per minggu atau lamanya ≤4 minggu
2. Persisten: gejala >4 hari per minggu dan lamanya >4 minggu

Sedangkan berdasarkan beratnya gejala, rinitis alergi dibagi menjadi:


1. Ringan:
 Tidur normal
 Aktivitas sehari-hari, saat olahraga dan santai normal
 Bekerja dan sekolah normal
 Tidak ada keluhan yang mengganggu

2. Sedang atau berat: (satu atau lebih gejala)


 Tidur terganggu (tidak normal)
 Aktivitas sehari-hari, saat olahraga dan santai terganggu
 Gangguan saat bekerja dan sekolah
 Ada keluhan yang mengganggu

2.6 Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase,
yaitu Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan
alergen sampai satu jam setelahnya, dan Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang
berlangsung 2 sampai 4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktiftas) setelah
pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam. Pada kontak pertama
dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan
sebagai sel penyaji akan menangkap alergen yang menempel di permukaan
mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek
peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk peptida MHC
(Mayor Histocompatibiliry Complex) kelas II, yang kemudian dipresentasikan
pada sel T-helper (Th 0).19
10

Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin I (IL-l) yang
akan mengaktifkan Th 0 untuk berproliferasi menjadi Th I dan Th 2. Kemudian
Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4,IL,5 dan IL-13. IL-4
dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di
sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan
sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif.
Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi.
Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama maka
kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya
dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang
sudah terbentuk, terutama histamin.19
Selain histamin juga dikeluarkan prostaglandin leukotrin D4, leukotrin c4,
brakinin, platelet activating factor dan berbagai sitokin' Inilah yang disebut reaksi
alergi fase cepat. Histamin akan merangsang reseptor Hl pada ujung vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabiltas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung syaraf
vidianus juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran inter-celluler adhesion molecule l (ICAM-1).19
Pada reaksi alergi fase lambat, sel mastosit akan melepaskan molekul
kemotaktik yang akan menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di
jaringan target. Respon ini tidak berhenti disini saia, tapi gejala akan berlanjut dan
mencapai puncak 6-8 jam, seterah pemaparan. Pada reaksi ini, ditandai dengan
penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil,
basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3 , IL4
dan IL5, dan granulocyte macrophag corony stimurating factor (GMCSF) dan
ICAM-1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiper-rensponsif
hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya.
pada fase ini selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor nonspesifik dapat
11

memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca
dan kerembaban udara yang tinggi.19

Gambar 2.3 Patoghenesis Rhinitis Allergy

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:


1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan,
misalnya: debu rumah, tungau, serpihan epitel, bulu binatang, serta
jamur.
2. Alergen ingestan, yang masuk ke saluran cerna berupa makanan,
misalnya susu, telur, coklat, ikan, udang.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin, dan sengatan lebah.
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak larlit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.19
12

Faktor non-spesifik : asap rokok, bau yang merangsang, polutan, bau


parfum, bau deodoran, perubahan pada kelembaban tinggi. Satu macam alergen
dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran sehingga memberi gejala
campuran, misalnya debu rumah yang memberi gejala asma bronkhial dan rhinitis
alergi.19
Dengan masuknya antigen asing di dalam tubuh terjadi reaksi yang secara
garis besar terdiri dari:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen. Reaksi ini bersifat
nonspesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila antigen tidak berhasil
seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan
ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan.
Bila antigen berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila
antigen masih ada atau sudah ada defek dari sistem imunologi maka
reaksi akan berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologi yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi
ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya
eliminasi antigen oleh tubuh. Gell dan Coomb mengklasifikasikan
reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe l, atau reaksi anafilaksis
(hipersensitifitas tipe cepat), tipe 2 atau reaksi sitotoksik /sitolitik, tipe 3
atau reaksi kompleks imun, dan tipe 4 atau reaksi tuberkulin
(hipersensitifitas tipe lambat).
Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai dibidang THT
adalah tipe I yaitu rhinitis alergi.19
13

2.7 Gambaran Klinis


Gejala klinis rhinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin
yang berulang. Bersin merupakan gejala normal, yang merupakan mekanisme
fisiologik, yaitu proses pembersihan diri (self cleaning process). Bersin dianggap
patologik, bila terjdinya lebih dari lima kali setiap serangan, terutama merupakan
gejala pada reaksi alergi fase cepat dan kadang-kadang pada reaksi alergi fase
lambat sebagai akibat pelepasan histamin.20
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air
mata keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama
pada anak. Kadang - kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama
atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien. 20
Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah
bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung.
Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak
menggosok-gosok hidung karena gatal dengan punggung hidung. Keadaan ini
disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan
akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga
bawah yang disebut allergic crease. 20

2.8 Diagnosis
Anamnesis dimulai dengan menanyakan riwayat penyakit secara umum
dan dilanjutkan dengan pertanyaan yang lebih spesifik meliputi gejala di hidung,
serta termasuk keterangan mengenai tempat tinggal, tempat kerja dan pekerjaan
pasien. 21
Gejala-gejala rinitis alergi yang perlu ditanyakan adalah diantaranya
adanya rinore (cairan hidung yang bening encer), bersin berulang dengan
frekuensi lebih dari 5 kali setiap kali serangan, hidung tersumbat baik menetap
atau hilang timbul, rasa gatal di hidung, telinga atau daerah langit-langit, mata
gatal, berair atau kemerahan, hiposmia atau anosmia (penurunan atau hilangnya
ketajaman penciuman) dan batuk kronik. 21
14

Ditanyakan juga apakah ada variasi diurnal (serangan yang memburuk


pada pagi hari sampai siang hari dan membaik saat malam hari). Frekuensi
serangan dan pengaruh terhadap kualitas hidup perlu ditanyakan.21
Manifestasi penyakit alergi lain sebelum atau bersamaan dengan rinitis,
riwayat atopi di keluarga, faktor pemicu timbulnya gejala, riwayat pengobatan dan
hasilnya adalah faktor-faktor yang tidak boleh terlupakan. 21
Pada pemeriksaan hidung (rinoskopi anterior) diperhatikan adanya edema
dari konka media atau inferior yang diliputi sekret encer bening, mukosa pucat
dan edema. Perhatikan juga keadaan anatomi hidung lainnya seperti septum nasi
dan kemungkinan adanya polip nasi. 21
Pemeriksaan penunjang diagnosis dipertimbangkan sesuai dengan fasilitas
yang ada. 21
1. Uji kulit cukit (Skin Prick Test).
Tes ini mudah dilakukan untuk mengetahui jenis alergen penyebab
alergi. Pemeriksaan ini dapat ditoleransi oleh sebagian penderita
termasuk anak-anak. Tes ini mempunyai sensitifitas dan spesifisitas
tinggi terhadap hasil pemeriksaan IgE spesifik. Akan lebih ideal jika
bisa dilakukan Intradermal Test atau Skin End Point Titration Test
bila fasilitas tersedia.
2. IgE serum total.
Kadar meningkat hanya didapati pada 60% penderita rinitis alergi dan
75% penderita asma. Kadar IgE normal tidak menyingkirkan rinitis
alergi. Kadar dapat meningkat pada infeksi parasit, penyakit kulit dan
menurun pada imunodefisiensi. Pemeriksaan ini masih dipakai sebagai
pemeriksaan penyaring tetapi tidak untuk diagnostik.
3. IgE serum spesifik.
Pemeriksaan ini dilakukan apabila pemeriksaan penunjang diagnosis
rinitis alergi seperti tes kulit cukit selalu menghasilkan hasil negatif
tapi dengan gejala klinis yang positif. Sejak ditemukan teknik RAST
(Radioallergosorbent test) pada tahun 1967, teknik pemeriksaan IgE
serum spesifik disempurnakan dan komputerisasi sehingga
15

pemeriksaan menjadi lebih efektif dan sensitif tanpa kehilangan


spesifisitasnya, seperti Phadebas RAST, Modified RAST, Pharmacia
CAP system dan lain-lain. Waktu pemeriksaan lebih singkat dari 2-3
hari menjadi kurang dari 3 jam saja.
4. Pemeriksaan sitologis atau histologis, bila diperlukan untuk
menindaklanjuti respon terhadap terapi atau melihat perubahan
morfologik dari mukosa hidung.
5. Tes provokasi hidung (Nasal Challenge Test).
Dilakukan bila ada keraguan dan kesulitan dalam mendiagnosis rinitis
alergi, dimana riwayat rinitis alergi positif, tetapi hasil tes alergi selalu
negatif.
6. Foto polos sinus paranasal/CT Scan/MRi.
Dilakukan bila ada indikasi keterlibatan sinus paranasal, seperti
adakah komplikasi rinosinusitis, menilai respon terhadap terapi dan
jika direncanakan tindakan operasi. 21

2.9 Penatalaksanaan
A. Farmakologi
Perlu ditekankan bahwa penderita rinitis alergi harus menggunakan obat
secara teratur dan tidak pada saat diperlukan saja , karena penggunaan yang
teratur dan konsisten dapat mengontrol inflamasi mukosa dan mengurangi
terjadinya komplikasi pada saluran napas lainnya. Hal penting lain adalah dalam
memilih terapi harus diperhatikan terapi secara individual berdasarkan berat
ringannya penyakit.22
Pengobatan medikamentosa dari rinitis alergi konik terdiri atas
antihistamin, dekongestan, steroid nasal topikal, komolin, zat antikolinergik
(antibiotika dan imunoterapi, tergantung pada diagnosisnya). Pengobatan bedah
terbaru dapat terdiri atas bedah endoskopik meliputi pembukaan meatus media
dari sinus, mengangkat polip nasal (bila ada) dan obstruksi nasal lainnya.
Antihistamin khususnya generasi baru yang non sedatif seperti loratadine,
16

terfenadine, astemizole, cetirizine, levocabastine, ketotifen dan azelastine


memiliki efek farmakokinetik farmakodinamik dan potensi yang berbeda-beda.22
Saat ini terdapat 2 sediaan antihistamin topikal untuk rinitis alergi yaitu
azelastin dan levocabastin. Kedua jenis obat ini secara efektif dan spesifik bekerja
sebagai H1 reseptor antagonis untuk mengatasi gejala bersin dan gatal pada
hidung dan mata (rinokonjungtivitis alergi). Bila digunakan 2 kali sehari dapat
mencegah timbulnya gejala.22
Preparat dekongestan topikal seperti oxymetazolin, fenilefrin,
xylometazolin, nafazolin dapat mengatasi gejala sumbatan hidung lebih cepat
dibandingkan preparat oral karena efek vasokontriksi dapat menurunkan aliran
darah ke sinusoid dan dapat mengurangi edema mukosa hidung. Namun
pemberian secara topikal hanya beberapa hari saja ( 3 - 5 hari ) untuk mencegah
terjadinya rebound fenomena ( sumbatan hidung tetap terjadi ) setelah
penghentian obat dan rinitis medikamentosa. Penggunaan obat ini tidak
dianjurkan untuk mengatasi gejala sumbatan hidung yang timbul pada fase lambat
rinitis alergi.22
Berbagai jenis obat α adrenergik agonis dapat diberikan secara per oral
seperti pseudoefedrin, fenilpropanolamin dan fenilefrin. Obat ini secara primer
dapat mengurangi sumbatan hidung dan efek minimal dalam mengatasi rinore dan
tidak mempunyai efek terhadap bersin, gatal di hidung maupun di mata.
Pseudoefedrin merupakan stereoisomer efedrin dan mempunyai kerja yang sama
dengan efedrin, tetapi memiliki efek minimal terhadap tekanan darah atau jantung
dan SSP. Pemberian pseudoefedrin dapat mengatasi hiperemi jaringan, edema
mukosa dan meningkatkan patensi jalan napas hidung. Obat ini berguna untuk
mengatasi rinitis alergi bila dikombinasikan dengan antihistamin. Efek samping
dekongestan oral terhadap SSP yaitu gelisah, insomnia, iritabel, sakit kepala dan
terhadap kardiovaskuler seperti palpitasi, takikardi, meningkatkan tekanan darah,
dapat menghambat aliran air seni. Penggunaan obat ini harus hati-hati pada orang
tua karena dapat meningkatkan tekanan darah dan jangan diberikan pada pasien
rinitis alergi dengan kelainan jantung koroner dan glaukoma.22
17

Obat semprot hidung natrium komoglikat sebagai stabilisator mastosit


dapat pula diberikan tanpa efek samping yang berarti. Pemberian steroid topikal
hidung dilaporkan tidak dijumpai efek samping, obat ini khususnya diberikan
pada pasien dengan keluhan hidung tersumbat yang menonjol. Pemberian
kortikosteroid secara sistemik tidak dianjurkan untuk jangka lama mengingat efek
samping yang mungkin terjadi. Dekongestan oral dapat diberikan tetapi perlu
perhatian terhadap efek sentral. Ipratropium bromida sebagai obat antikolinergik
diberikan pada mereka dengan keluhan hidung beringus yang menonjol.22
Kombinasi antihistarnin dengan dekongestan banyak digunakan. Tujuan
pemberian ke dua obat ini dalam satu sediaan seperti loratadin, feksofenadin dan
cetirizin dengan pseudoefedrin 120 mg. Obat ini dapat mengatasi semua gejala
rinitis alergi termasuk sumbatan hidung yang tidak dapat diatasi bila hanya
menggunakan antihistamin saja. Pada penderita rinitis alergi yang disertai asma
bronkhial, kombinasi loratadin dengan pseudoefedrin lebih efektif untuk
mengatasi gejala hidung dan asma, fungsi paru dan kualitas hidup dibandingkan
hanya dengan antihistamin saja.22

B. Non - Farmakologi
Secara garis besar, penatalaksanaan rhinitis alergi ini terdiri dari 3 cara
yaitu menghindari atau eliminasi alergen dengan cara edukasi, farmakoterapi dan
imunoterapi, sedangkan tindakan operasi kadang diperlukan untuk mengatasi
komplikasi seperti sinusitis dan polip hidung. 22
Pada dasamya penyakit alergi dapat dicegah dan dibagi menjadi 3 tahap,
yaitu:
1) Pencegahan primer untuk mencegah sensitisasi atau proses pengenalan
dini terhadap allergen. Tindakan pertama adalah mengidentifikasi bayi
yang mempunyai risiko atopi. Pada ibu hamil diberikan diet retriksi
(tanpa susu, telur, ikan laut dan kacang) mulai trimester III dan selama
menyusui, dan bayi mendapat ASI eksklusif selama 5 - 6 bulan. Selain
itu kontrol lingkungan dilalarkan untuk mencegah pajanan terhadap
allergen dan polutan.
18

2) Pencegahan sekunder untuk meneegah manifestasi klinis alergi pada


anak berupa asma dan pilek alergi yang sudah tersensitisasi dengan
gejala alergi tahap awal berupa alergi makanan dan kulit. Tindakan
yang dilakukan dengan penghindaran terhadap pajanan allergen inhalan
dan makanan yangdapat diketahui dengan uji kulit.
3) Pencegahan tersier untuk mengurangi gejala klinis dan derajat beratnya
penyakit alergi dengan penghindaran allergen dan pengobatan. 22
Penghindaran alergen.
Cara ini bertujuan mencegah terjadinya kontak antara alergen
dengan IgE spesifik yang terdapat dipermukaan sel mast atau basofil
sehingga degranulasi tidak terjadi dan gejala dapat dihindarkan. Perjalanan
dan beratnya penyakit berhubungan dengan konsentrasi alergen di
lingkungan.s walaupun konsep pengobatan ini sangat rasional, namun
dalam praktek adalah sangat sulit dilakukan. Di negara tropis, alergen
utamanya adalah debu rumah dan serpihan kulit serangga/ tungau antara
lain. Dermatophagoides pteronysinus dan farinae yang hidup pada debu
rumah, karpet, kasur, kapuk, selimut, tumpukan pakaian dan buku lama.
Disamping itu terdapat partikel alergen lain yang menempel pada debu
rumah misalnya kotoran kecoa, serpihan bulu kucing dan anjing yang juga
berperan aktif. Jamur yang terdapat dalam rumah seperti jenis Aspergillus
dan Penicillium seing ditemukan pada daerah yang lembab seperti kamar
mandi, dapur, gudang, serta atap yang bocor. 22
Pencegahan kontak dengan alergen dapat dilakukan dengan
menjaga kebersihan rumah, menghindari penggunaan karpet, memperbaiki
ventilasi dan kelembaban udara. Edukasi terhadap penderita perlu
diberikan secara teratur mengenai penyakit, penatalaksanaan, kepatuhan
dalam berobat baik secara lisan maupun pertanyaan. 22
Untuk mengurangi populasi tungau dan paparan terhadap alergen,
terdapat beberapa cara yang harus dilakukan yaitu;
1. Tidak menggunakan karpet kapuk dan menyingkirkan mainan
berbulu dari kamar tidur.
19

2. Mencuci selimut, bed cover, sprei, sarung bantal dan guling serta
kain kordin pada suhu 600oC.
3. Melapisi kasur, bantal dan guling dari bahan yang
impermeabel/anti tembus tungau.
4. Menggunakan perabot yang mudah dibersihkan seperti dari
kayu, plastik atau logam dan hindari sofa dari kain.
5. Pembersihan yang sering dan teratur dengan penghisap debu atau
dengan lap basah.
6. Hindari binatang peliharaan. 22

2.10 Komplikasi
Inflamasi alergi telah diketahui tidak hanya terbatas pada rongga hidung.
Berbagai ko-morbiditas telah diketahui berhubungan dengan rinitis. 23
1. Konjungtivitis
Jika gejala rinitis alergi disertai oleh gejala konjungtiva, maka lebih
tepat jika menggunakan istilah rinokonjungtivitis. Sekitar 60% pasien
rinitis alergi juga mengalami konjungtivitis alergi.
2. Sinusitis
Sinusitis didefinisikan sebagai peradangan pada mukosa dari satu atau
lebih sinus paranasalis. Diagnosis sinusitis seringkali jarang
ditegakkan pada praktek dokter spesialis anak karena gejalanya
seringkali tidak jelas dan tidak spesifik atau juga akibat pendapat
bahwa sinus paranasalis belum berkembang pada anak kecil.
Berdasarkan lama gejala, sinusitis dibagi menjadi akut (kurang dari 30
hari), subakut (30-90 hari) dan kronis (lebih dari 90 hari). Peran
sensitisasi alergi pada sinusitis kronis tidak sejelas pada
rinokonjungtivitis dan asma. Rinitis alergi sering dianggap sebagai
faktor predisposisi untuk timbulnya sinusitis.
Prevalensi sinusitis pada anak bervariasi dan sulit untuk dianalisis.
Suatu studi kohort pada anak yang diikuti sejak lahir sampai berusia 8
tahun, tercatat prevalens sinusitis sebesar 13.1%, dan pada sebagian
20

besar kasus disertai oleh rinitis alergi. Lebih dari 80% anak dengan
sinusitis positif memiliki riwayat keluarga dengan rinitis alergi, dan
sebaliknya, pada anak dengan asma dan rinitis alergi memiliki
insidens sinusitis kronis yang lebih tinggi. Selain itu, perubahan pada
foto sinus ditemukan pada sekitar 80% pasien rinitis alergi persisten.
3. Asma
Mukosa nasal dan bronkus memiliki banyak kesamaan. Berbagai studi
menunjukkan bahwa asma dan rinitis sering ditemukan bersamaan
pada penderita yang sama. Untuk itu saat menentukan diagnosis rinitis
atau asma, kedua saluran napas bawah dan atas sebaiknya
dievaluasi.23

2.11 Prognosis
Rinitis alergi pada masa anak akan bertambah berat dengan bertambahnya
usia. Kadangkala rinitis alergi dapat merupakan masalah pada usia tua. Dengan
mengetahui faktor penyebab, dengan penghindaran dapat mengurangi kekerapan
timbulnya gejala. Penggunaan beberapa jenis medikamentosa profilaksis juga
dapat mengurangi gejala yang timbul.24
Rinitis Alergi adalah penyakit kronik yang gejalanya akan hilang timbul.
Komunikasi dengan pasien dan orangtua diperlukan agar pemeriksaan berkala
dilakukan dan pemberian obat dapat disesuaikan dengan fluktuasi gejala. Bila
alergen penyebab diketahui, maka penghindaran alergen pencetus perlu terus
menerus dilakukan. Pada gejala yang menetap dan berat, diperlukan penilaian
menyeluruh dan tatalaksana lanjut, antara lain imunoterapi.24

Anda mungkin juga menyukai