Anda di halaman 1dari 12

Tatap muka 1

POKOK BAHASAN I

I. PENDAHULUAN

Tujuan Instruksional Umum :


1. Mengetahui gambaran umum tentang ilmu produksi ternak potong di
Indonesia.
2. Mengetahui pentingnya mempelajari Ilmu Produksi Ternak Potong.
Tujuan Instruksional Khusus :
1. Mengetahui pentingnya mempelajari Ilmu Produksi Ternak Potong
ruminansia besar (sapi, kerbau), ruminansia kecil (kambing, domba) dan
non ruminansia (babi, kelinci).
2. Mengetahui prospek berbagai komoditi ternak potong tersebut.
3. Mengetahui arti penting segitiga produksi peternakan kaitannya dengan
peningkatan produktivitas ternak potong.
4. Mengetahui pola produksi ternak potong.

Uraian Materi :
Peternakan adalah kegiatan usaha dalam meningkatkan kekayaan alam biotik
berupa ternak dengan cara produksi untuk memenuhi perkembangan kebutuhan
manusia dengan memperhatikan keseimbangan ekologi dan kelestarian alam.
Untuk mendalami produktivitas komoditas ternak potong, perlu mengetahui
penampilan maupun sejarah dan manfaat komoditi ternak tersebut. Hal ini perlu
diketahui karena peternakan merupakan sub sistem pertanian dalam artian yang luas
dan merupakan suatu proses biologis yang dikendalikan oleh manusia dan banyak
unsur yang terlibat. Juga merupakan suatu ekosistem dimana manusia sebagai
subyek, dilain pihak ternak sebagai obyek, tanah sebagai basis ekologi sumber
pakan dan teknologi sebagai alat ketrampilan untuk mencapai tujuan produksi
(daging, telur dan susu). Ketimpangan salah satu unsur dalam mata rantai sistem
tersebut akan berpengaruh terhadap produksi baik secara kualitatif maupun
kuantitatif.
2

Populasi ternak potong di Indonesia baik ternak ruminansia besar, ternak


ruminansia kecil maupun non ruminansia saat ini cukup besar. Khususnya ternak
potong ruminansia besar (sapi), hampir 99% berada di tangan petani ternak,
sehingga berkembang tidaknya ternak tersebut berada ditangan petani yang cara
pemeliharaannya masih bersifat tradisional. Selain itu tujuan pemeliharaan ternak
potong belum ditujukan sebagai ternak penghasil daging, tetapi secara umum masih
sebagai tabungan, sumber tenaga kerja ternak, penghasil pupuk kandang.
Sampai saat ini, ternak potong di Indonesia belum bisa memberikan produksi
seperti ternak di luar negeri. Hal ini bisa dimaklumi, karena :
 Sifat pemeliharaannya yang masih tradisional, pada umumnya petani
ternak memberikan pakan dalam jumlah terbatas dan mutu yang kurang,
cara usahanya masih bersifat turun-temurun tanpa sepenuhnya mengikuti
prinsip-prinsip ekonomi.
 Tidak ada / belum ada seleksi terarah, ternak yang mereka pelihara
berkembang biak secara alami tanpa ada pengawasan dan tanpa ada
recording.
 Belum ada suatu penelitian yang bisa memberikan petunjuk jenis ternak
mana yang bisa dan paling cocok digemukkan di daerah tropis.
Untuk mencapai produksi ternak yang baik, para petani harus meninggalkan
cara-cara lama, beralih ke pemeliharaan yang lebih maju. Oleh karena itu para petani
ternak harus diperkenalkan pada ilmu yang menunjang upaya pengembangan dan
mutu ternak potong seperti breeding (bibit), feeding (pakan) dan manajemen.
 Breeding, adalah hal-hal yang berkenaan dengan penggunaan bibit unggul,
cara pengembangbiakan dan pemuliabiakannya. Dalam hal ini semua
dilakukan secara terarah dan terkontrol.
 Feeding, segala usaha pemberian pakan baik kuantitatif maupun kualitatif
yang diperlukan oleh seekor ternak untuk pokok hidup, pertumbuhan dan
berproduksi.
 Manajemen, adalah hal-hal yang berkaitan dengan tatalaksana
perkandangan, perawatan, pencegahan / pemberantasan penyakit dan
pemasaran.
3

Dalam usaha meningkatkan produktivitas ternak potong, khususnya


penggemukan, ternyata ketiga hal tersebut di atas (breeding, feeding dan
manajemen) di Indonesia telah lama dilaksanakan dan telah masuk dalam program
pemerintah dalam rangka menjabarkan Panca Usaha Ternak Potong (PUTP), yaitu
 Penggunaan bibit unggul
 Pemberian pakan yang baik
 Penerapan cara pemeliharaan yang baik dan sehat
 Pemberantasan dan pencegahan penyakit
 Menciptakan pemasaran yang menguntungkan.
Ketiga unsur di atas masing-masing mempunyai penekanan yang sama
seperti segitiga sama sisi, satu sama lain saling menunjang karena bila salah satu
unsur ditiadakan maka unsur yang lain akan sia-sia. Sebagai contoh bibit sapi yang
unggul apabila tidak mendapat perlakuan yang memadai (misalnya pakan berkualitas
jelek) maka keunggulannya akan hilang.
Fungsi ternak potong ruminansia di Indonesia bagi petani peternak adalah
sebagai :
 Tenaga kerja : bagi masyarakat pedesaan, ternak sapi dan kerbau yang
dipelihara dimanfaatkan tenaga kerjanya untuk mengolah lahan pertaniannya
maupun untuk menarik beban.
 Penghasil daging : selain sebagai ternak kerja, saat ini fungsi ternak sapi sudah
ditujukan sebagai ternak penghasil daging. Sudah banyak petani yang
memelihara ternak sapi dengan tujuan sebagai penghasil daging, sehingga dalam
pemeliharaannya meraka tidak memanfaatkan tenaga sapi tersebut untuk
mengolah lahan. Bangsa ternak yang dipelihara pada saat ini juga lebih
bervariasi, selain sapi Peranakan Ongole juga sapi Simmental, Brahman cross,
Limousine.
 Penghasil pupuk kandang : pupuk organik yang berasal dari kotoran sapi dan
kerbau dapat dimanfaatkan sebagai pupuk kandang untuk memupuk tanaman
pertaniannya maupun untuk dijual.
4

 Tabungan : pada umumnya petani ternak memelihara ternak potong dengan


tujuan sebagai status sosial dan sebagai tabungan yang akan dijual sewaktu
mereka membutuhkan.
Kebutuhan daging sapi potong di dalam negeri masih belum dapat terpenuhi,
sehingga sampai saat ini pemerintah masih mengimpor sapi atau daging sapi dari
luar negeri. LIPI merekomendasikan bahwa masyarakat Indonesia memerlukan
protein rata-rata sebesar 50 g/hari. Dari jumlah tersebut, 20% diantaranya dari ternak
dan ikan, yaitu dari ternak sebesar 4 g/hari dan ikan 6 g/hari.

Konsep swasembada daging sapi tentu bukanlah hal yang tidak mungkin
dicapai jika ada kesungguhan dari pemerintah untuk membangun agribisnis ternak
sapi potong dalam negeri. Potensi pasar dan sumber daya yang mendukung
seharusnya menjadi peluang untuk pengembangan ternak sapi potong dengan
keunggulan komparatif dan kompetitif dipasar lokal maupun ekspor.

Menurut keterangan dari blue print program swasembada daging sapi 2014,
swasembada daging sapi merupakan suatu keadaan dimana kebutuhan akan daging
sapi dalam negeri itu dapat dipenuhi oleh produksi lokal sebesar 90%, dan sisanya
10% itu berasal dari produk impor dari luar.

Kementerian Pertanian memproyeksikan kebutuhan daging sapi tahun 2013


sebesar 549,7 ribu ton. Dari jumlah itu, 474,4 ribu ton mampu dipenuhi dari populasi
ternak sapi domestik, sedangkan sisanya sekitar 80 ribu ton (14,6 persen) harus
diimpor. Adapun rincian impor tersebut terdiri dari 32 ribu ton dalam bentuk daging
sapi beku dan 267 ribu ekor sapi bakalan yang setara dengan 48 ribu ton daging
sapi. Ketika terjadi kenaikan permintaan secara tiba-tiba, dan potensi sapi potong
dalam negeri tidak dapat digerakkan dengan segera, sehingga ketersediaan daging
di pasar terganggu. Dampaknya harga daging sapi terdongkrak naik cukup tinggi
itulah alasan utama pemerintah melakukan impor yaitu untuk menyediakan
kebutuhan dalam negeri sehingga harga daging sapi di pasaran berada dalam
kisaran normal.
5

Padahal jika dicermati dengan bijak, kebijakan impor itu hanya akan
menyelesaikan masalah sesaat saja. Namun akan menambah ketergantungan
negara terhadap negara lain dalam pemenuhan pangan nasional. Kebijakan
importasi merupakan suatu tantangan untuk negara indonesia dalam mewujudkan
swasembada daging sapi nasional tahun 2014 selama pasokan impor masih di atas
angka 10%.

Jika berbicara mengenai kebutuhan, mengacu kepada data Sensus Penduduk


tahun 2010, jumlah penduduk di Jawa dan Sumatera sebanyak 186,7 juta orang atau
78,8 persen dari total seluruh penduduk Indonesia. Dengan asumsi konsumsi daging
sapi 2,2 kg per kapita (Kementerian Perdagangan), maka kebutuhan konsumsi
daging sapi di Pulau Jawa dan Sumatera diperkirakan sebanyak 410 juta kg per
tahun atau setara dengan 2,98 juta ekor sapi potong lokal (asumsi rata-rata berat
sapi potong lokal 350 kg dengan berat karkas 54 persen).

Bila disandingkan dengan data populasi sapi potong di Jawa dan Sumatera
yang diperkirakan berjumlah 8,6 juta ekor (69,09 persen dari total populasi sapi
potong), mestinya kebutuhan konsumsi daging sapi di kedua lokasi tersebut dapat
dipenuhi sendiri.

Umumnya pemeliharaan ternak di Jawa sebagian besar bersifat tabungan


keluarga dengan jumlah kepemilikan sapi rata-rata 1-2 ekor per KK, maka
ketersediaannya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi khususnya di Jawa tidak
dapat dipastikan dan oleh karenanya harus didatangkan dari kawasan sentra sapi
potong, seperti Bali dan Nusa Tenggara. Pulau Bali dan Nusa Tenggara yang dihuni
5,5 persen penduduk Indonesia memiliki 14,18 persen dari populasi sapi potong
nasional. Pasokan daging sapi di Pulau Jawa, terutama di wilayah Jabodetabek tidak
akan menjadi masalah apabila distribusi sapi dari daerah sentra dapat dilakukan
dengan mudah dan biaya murah.

Kelebihan potensi populasi sapi potong di Bali dan Nusa Tenggara yang cukup
besar sulit untuk disalurkan ke Jawa dan Sumatera akibat sistem logistik yang belum
cukup baik. Tata niaga daging sapi domestik masih mengandalkan pada pengiriman
6

sapi hidup dan masih memiliki hambatan yang cukup banyak sehingga belum efisien.
Penyebab inefisiensi itu utamanya adalah karena belum memadainya jumlah dan
kapasitas alat angkut (truk dan kapal) dan minimnya kualitas sarana angkutan baik
truk maupun kapal yang digunakan.

Pemerintah melalui Kementerian pertanian sedang berusaha menyukseskan


program swa sembada daging yang harus dicapai pada tahun 2014. Oleh karena itu
ketersediaan daging sapi diharapkan seluruhnya dapat berasal dari dalam negeri.
Jika diasumsikan jumlah penduduk seperti pada tahun 2010 dengan peningkatan
konsumsi daging sapi 10 kg/kapita/tahun, paling tidak perlu tersedia 10 juta ekor sapi
setiap tahun.
Kendala dan solusi
a. Sulitnya memperoleh bakalan sapi.
 Banyak peternak enggan terjun ke bisnis pembibitan
 Rentang segmen menghasilkan bakalan cukup lama
 Modal yang dibutuhkan relatif besar
 Pola pembibitan sapi di Indonesia kurang intensif, hanya sebagai usaha
sampingan bagi peternak
 Pengetahuan peternak tentang cara membibitkan sapi dengan baik masih
rendah, sehingga tingkat keberhasilan pembibitan juga rendah
 Pemberian pakan sering berganti dan jumlah nutrisi tidak sesuai kebutuhan
menyebabkan penurunan kualitas reproduksi
 Kebanyakan sapi betina yang beredar di pasaran berasal dari keturunan ke 3
atau ke 4 dari kawin suntik yang memiliki fertilita rendah, sehingga sapi betina
tersebut sulit untuk bunting
 Pemotongan sapi betina produktif (sekitar 20%) dari total sapi lokal yang
dipotong, sehingga mengurangi potensi untuk dapat memproduksi bakalan.
b. Rendahnya kualitas bakalan
 Pedet yang dihasilkan merupakan hasil sampingan dari usaha penggemukan
 Jumlah pedet yang dihasilkan sangat sedikit
c. Masuknya sapi impor
7

 Harga daging sapi imporlebih rendah dibandingkan sapi lokal


 Sapi lokal sulit bersaing di pasaran
 Masuknya sapi impor secara ilegal
d. Kenaikan bobot badan sapi belum optimal
 Sistem pemeliharaan belum intensif
 Jumlah pemberian pakan kurang dan tidak berkualitas
 Daya adaptasi sapi impor terhadap iklim panas masih rendah
e. Sullitnya pemasaran sapi potong

POLA PRODUKSI TERNAK

Klasifikasi ternak sapi berdasarkan jenis kelamin :


 Bull : Pejantan
 Steer : dikebiri sebelum dewasa kelamin
 Stag : dikebiri setelah dewasa kelamin
 Cow : Sapi betina sudah beranak
 Heifer : Sapi dara
Klasifikasi ternak sapi berdasarkan umur
 Vealer : Pedet umur ± 3 bulan
 Calves : Pedet umur 3 – 12 bulan
 Yearling : Sapi umur 12 – 24 bulan
 Two Year Old : Sapi Dewasa umur 24 – 36 bulan
 Older : Sapi umur > 36 bulan
Animal Unit (AU) : adalah satuan untuk ternak yang didasarkan pada jumlah pakan
yang dapat dikonsumsi oleh seekor sapi betina dewasa
Menurut Ensminger (1978) :
 Bull = 1,3 AU.
 Cow = 1 AU
 Heifer = 0,8 AU.
 Calf = 0,6 AU.
8

Menurut Lenggu (1982) :


 Pejantan dan Induk = 1 AU
 Sapi Muda < 1 tahun = 0,5 AU
 Pedet = 0,25 AU.
Di dalam Ranch :
 Pejantan = 1,25 AU.
 Induk dan Induk bunting = 1 AU.
 Steer (2 tahun) = 0,9 AU.
 Yearling (17 – 24 bulan) = 0,8 AU.
 Yearling (12 – 17 bulan) = 0,65 AU.
 Dara s/d 1 = 0,5 AU.
 Pedet 3 bulan – disapih = 0,50 AU.
 Pedet < 3 bulan = 0,25 AU.

POLA PRODUKSI
Terbentuknya pola produksi dipengaruhi:
1. Segi wilayah.
2. Skala usaha.
3. Pola usaha.
4. Tujuan usaha/cara produksi.
SEGI WILAYAH
Kondisi wilayah dibagi 2 :
 Intensif, – wilayah padat penduduk, sapi dikandangkan (Jawa, Madura, Bali
dan Lombok )
 Ekstensif, – wilayah jarang penduduk (Sumatra, NTT, Sulawesi Selatan),
digembalakan di padang rumput
SKALA USAHA
Ditinjau dari besarnya usaha :
 Skala usaha besar,- sapi > 40 AU.
 Skala usaha sedang,- sapi 10 sampai 40 AU.
 Skala usaha kecil,- sapi < 10 AU
9

POLA USAHA
Ditinjau dari pola usaha :
 Peternakan tradisional,
Tidak memperhitungkan input output usaha, ternak kerja dan penghasil pupuk.
 Peternakan semi komersial
Tambahan pendapatan dan konsumsi keluarga.
 Peternakan komersial,
Keuntungan optimal
TIPOLOGI USAHA
 Sambilan, (kontribusi < 30 %)*
 Cabang Usaha, (kontribusi 30 – 70 %)*
 Usaha Pokok, (kontribusi 70 – 100 %)*
 Industri, (kontribusi 100 % )*
*(kontribusi usaha ternak terhadap pendapatan keluarga)
TUJUAN USAHA
Ditinjau dari tujuan usaha :
 Usaha peternakan utama, menggantungkan hidupnya dari usaha .
 Usaha peternakan tambahan, usaha ternak sebagai usaha sambilan.
Pembinaan melalui 3 pola:
 Pola Unit Pelayanan Proyek (UPP) : Oleh pemerintah
 Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) : kerjasama (INTI) dengan (PLASMA)
Pada sapi potong :
 PIR Penggemukan
 PIR Pakan
 PIR bakalan
 PIR Saham
Kendala PIR:
 Penyempurnaan sistem agribisnis (bakalan, budidaya dan pemasaran)
 Penyempurnaan sarana dan prasarana (RPH, pengolahan daging, ketentuan).
 Tenaga ahli dan pengawasan mutu.
10

 Pola Swadana : Swadaya masyarakat


MACAM-MACAM PROGRAM PRODUKSI
A. Cow and Calf Program (Program Induk dan Anak)
 Menghasilkan pedet bakalan (feeder cattle), induk (Cow) dan anak (Calf)
dipelihara bersama sampai penyapihan, (6-7 bulan).
 Pemeliharaan ekstensif (di pastura)
B. Stocker Program (Pembesaran Pedet)
 Pemeliharaan pedet umur 6 – 12 bulan.
 Tujuan membesarkan pedet bukan menggemukan.
 Pedet dara (betina muda), jantan atau jantan kebiri
Kebaikan program ini :
 Resiko kematian lebih kecil.
 Skala usaha bisa lebih besar
 Perputaran modal lebih cepat.
 Peralatan relatif sedikit.
Kekurangannya :
 Perlu keahlian dalam harga beli dan jual
C. Finishing Program.
1. Fat Calf Program
 Menggemukan pedet jantan (sapi perah).
 Digemukan sampai umur < 1 tahun, lepas kolostrum ( 7-10 hari).
2. Baby Beef Program
 Penggemukan pedet dipotong umur 12-18 bl
Alasan :
 Tersedianya bahan pakan
 Konsumen daging sapi muda
Perlu diperhatikan :
 Perlu induk dan jantan yang baik,
 Kelahiran diatur saat pakan banyak
 Cara program Baby Beef.
11

 Pedet bersama induk tanpa bijian s/d disapih (± 6 bl). Kemudian diberi
bijian (Dry lot fattening).
 Menggunakan “creep-feed”. waktu lebih pendek. BB 650 kg umur 12-15
bulan.
 Kelahiran tepat, BB 300 – 375 kg umur 10-11 bulan.
 Baby Beef cara ini disebut Ultra Baby Beef Daging disukai konsumen
karena empuk dan sedikit lemak.
3. Yearling
 Digemukkan umur 1 th selama 4 – 6 bulan.
 Dry Lot Fattening diberi bijian (jagung, kedelai atau biji kapas).
 Dagingnya empuk, warna kemerahan dan serat daging lebih kasar.
 Lemak relatif sedikit dan flavor daging lebih terasa.
4. Two Years Old
 Digemukan umur 2 th, lama 6 – 8 bulan.
 Pasture Fattening dengan “Rotation system” di pastura.
 Serat daging diliputi jaringan lemak (marbling), lemak extra musculair (lemak
tubuh) cukup banyak.
 Daging lebih merah dan seratnya sudah kasar
VI. Pure Breed Program
 Memproduksi bangsa-bangsa sapi murni
 Membentuk bangsa baru atau meningkatkan nilai genetik
 Seleksi ketat dan individu punya catatan tersendiri,
 Tenaga khusus berpengalaman.
 Sapi yang dihasilkan nilai ekonomis tinggi (mahal)

Latihan-latihan :
1. Jelaskan fungsi ternak bagi masyarakat petani di Indonesia!
2. Jelaskan mengapa ternak sapi keberadaannya masih tetap dipertahankan oleh
masyarakat petani di pedesaan?
3. Jelaskan keterkaitan masing-masing unsur pada segitiga produksi peternakan!
12

RANGKUMAN SINGKAT :
Populasi ternak potong di Indonesia baik ternak ruminansia besar, ternak
ruminansia kecil maupun non ruminansia saat ini cukup besar. Khususnya ternak
potong ruminansia besar (sapi), hampir 99% berada di tangan petani ternak,
sehingga berkembang tidaknya ternak tersebut berada ditangan petani yang cara
pemeliharaannya masih bersifat tradisional.
Untuk mencapai produksi ternak yang baik, para petani harus meninggalkan
cara-cara lama, beralih ke pemeliharaan yang lebih maju. Oleh karena itu para petani
ternak harus diperkenalkan pada ilmu yang menunjang upaya pengembangan dan
mutu ternak potong seperti breeding (bibit), feeding (pakan) dan manajemen.
Dalam usaha meningkatkan produktivitas ternak potong, khususnya
penggemukan, ternyata ketiga hal tersebut di atas (breeding, feeding dan
manajemen) masing-masing mempunyai penekanan yang sama seperti segitiga
sama sisi, satu sama lain saling menunjang karena bila salah satu unsur ditiadakan
maka unsur yang lain akan sia-sia.

Anda mungkin juga menyukai