PENDAHULUAN
Di Indonesia, penyakit Tuberculosis termasuk salah satu prioritas nasional untuk program
pengendalian penyakit karena berdampak luas terhadap kualitas hidup dan ekonomi, serta sering
mengakibatkan kematian. Sejak tahun 1993, WHO menyatakan bahwa TB merupakan
kedaruratan global bagi kemanusiaan. Walaupun strategi DOTS telah terbukti sangat efektif
untuk pengendalian TB, tetapi beban penyakit TB di masyarakat masih sangat tinggi. Dengan
berbagai kemajuan yang dicapai sejak tahun 2003, pada tahun 2013, diperkirakan 9,0 juta orang
terinfeksi TB dan 1,5 juta meninggal karena penyakit ini. 360.000 di antaranya adalah HIV
positif. (WHO, 2014)
TBC merupakan penyakit yang disebabkan oleh mikrobakterium ini adalah penyebab
utama kecacatan dan kematian hampir di sebagian besar negara diseluruh dunia. Infeksi awal
biasanya berlangsung tanpa gejala: tes tuberkulin akan memberikan hasil yang positif 2 – 10
minggu kemudian. Lesi awal pada paru umumnya akan sembuh dengan sendirinya tanpa
meninggalkan gejala sisa walaupun sangat jarang terjadi kalsifikasi pada kelenjar limfe paru dan
kelenjar limfe trakeobronkial. Hampir 90-95% mereka yang mengalami infeksi awal akan
memasuki fase laten dengan resiko terjadi reaktivitas seumur hidup mereka. Pemberian
kemoterapi preventif yang sempurna dapat mengurangi resiko terjadinya TB klinis seumur hidup
sebesar 95% dan kemoterapi preventif ini sangat efektif pada penderita HIV/AIDS. Hanya 5%
dari orang normal dan 50% penderita HIV/AIDS yang terinfeksi TB akan berkembang menjadi
TB paru klinis atau menjadi TB ekstrapulmoner. Mortalitas dan morbiditas meningkat sesuai
dengan umur, pada orang dewasa lebih tinggi pada laki-laki. Morbiditas TBC lebih tinggi
diantara penduduk miskin dan daerah perkotaan jika dibandingkan dengan pedesaan. Di AS
insiden TBC menurun sejat tahun 1994, penderita yang dilaporkan adalah 9,4/100.000 (lebih dari
24.000 kasus). Daerah dengan insidens rendah termasuk di berbagai wilayah di AS, kebanyakan
kasus TBC berasal dari reaktivasi dari fokus laten yang berasal dari infeksi primer. Di sebagian
daerah urban yang luas 1/3 kasus berasal dari infeksi baru. Walaupun TBC menempati rangking
terendah diantara penyakit menular berdasarkan lama waktu pajanan. Namun pajanan dalam
jangka waktu lama dalam lingkungan keluarga menyebabkan resiko terinfeksi sebesar 30%. Jika
infeksi terjadi pada anak maka risiko menjadi sakit selama hidupnya 10%. (Pemberantasan
Penyakit Edisi 17, 2000)
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-
50 tahun). Diperkirakan seorang TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3-4 bulan.
1
Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%.
Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain
merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial, seperti
stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat. Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB
antara lain adalah:
1. Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara-negara yang sedang
berkembang.
2. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi dengan disparitas yang terlalu lebar,
sehingga masyarakat masih mengalami masalah dengan kondisi sanitasi, papan, sandang dan
pangan yang buruk.
3. Beban determinan sosial yang masih berat seperti angka pengangguran, tingkat
pendidikan yang rendah, pendapatan per kapita yang masih rendah yang berakibat pada
kerentanan masyarakat terhadap TB
4. Kegagalan program TB selama ini. Hal ini diakibatkan oleh:
a. Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan
b. Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh masyarakat,
penemuan kasus/diagnosis yang tidak standar, obat tidak terjamin penyediannya, tidak
dilakukan pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang standar, dan sebagainya).
c. Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang tidak standar,
gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis).
d. Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG.
e. Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami krisis ekonomi
atau pergolakan masyarakat.
f. Belum adanya sistem jaminan kesehatan yang bisa mencakup masyarakat luas secara
merata.
5. Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur
umur kependudukan
6. Besarnya masalah kesehatan lain yang bisa mempengaruhi tetap tingginya beban TB
seperti gizi buruk, merokok, diabetes
7. Dampak pandemic HIV di dunia akan menambah permasalahan TB. (Kemenkes RI, 2014)
2
demikian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien
merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB.
Pada sidang WHA (World Health Assembly) ke 67 tahun 2014 ditetapkan resolusi
mengenai stratego pengendalian TB global pasca 2015 yang bertujuan untuk menghentikan
epidemic global TB pada tahun 2035 yang ditandai dengan:
1. Penurunan angka kematian akibat TB sebesar 95% dari angka tahun 2015
2. Penurunan angka insidensi TB sebesar 90% (menjadi 10/100.000 penduduk)
Kebijakan pengendalian TB di Indonesia dilaksanakan :
1. sesuai dengan azas desentralisasi dalam kerangka otonomi dengan kabupaten/kota sebagai
titik berat manajemen program, yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan
evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana).
2. Pengendalian TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS sebagai kerangka dasar
dan memperhatikan strategi global untuk mengendalikan TB (Global Stop TB Strategy).
3. Penguatan kebijakan ditujukan untuk meningkatkan komitmen daerah terhadap program
pengendalian TB
4. Penguatan pengendalian Tb dan pengembangannya ditujukan terhadap peningkatan mutu
pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan sehingga mampu
memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya TB resisten obat.
5. Penemuan dan pengobatan dalam rangka pengendalian TB dilaksanakan oleh seluruh
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat
Lanjut (FKRTL), meliputi: Puskesmas, Rumah sakit pemerintah dan Swasta, Rumah sakit
Paru (RSP), Balai Besar/Balai Kesehatan Paru Masyarakat (B/BKPM), klinik pengobatan
serta Dokter Praktek Mandiri (DPM).
6. Pengobatan untuk TB tanpa penyulit dilaksanakan di FKTP. Pengobatan TB dengan tingkat
kesulitas yang tidak dapat ditatalaksana di FKTP akan dilakukan di FKRTL dengan
mekanisme rujuk balik apabila faktor penyulit telah dapat ditangani.
7. Pengendalian TB dilaksanakan melalui penggalangan kerja sama dan kemitraan diantara
sektor pemerintah, non pemerintah, swasta dan masyarakat dalam wujud Gerakan Terpadu
Nasional Pengendalian TB (Gerdunas TB)
8. Peningkatan kemampuan laboratorium di berbagai tingkat pelayanan ditujukan untuk
peningkatan mutu dan akses layanan
9. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk pengendalian TB diberikan secara Cuma-Cuma dan
dikelola dengan manajemen logistic yang efektif demi menjalin ketersediannya.
10. Ketersediaan tenaga yang kompeten dalam jumlah yang memadai untuk meningkatkan dan
mempertahankan kinerja program
11. Pengendalian TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan kelompok rentan lainnya
terhadap TB
12. Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya
3
13. Memperhatikan komitmen terhadap pencapaian target strategi global pengendalian TB
(Kemenkes, 2014).
Strategi umum program pengendalian TB 2011-2014 adalah ekspansi. Fase ekspansi pada
periode 2011-2014 ini bertujuan untuk konsolidasi program akselerasi implementasi inisitaif-
inisiatif baru sesuai dengan strategi stop TB terbaru, yaitu “menuju akses universal” pelayanan
DOTS harus tersedia untuk seluruh pasien TB, tanpa memang latar belakang sosial ekonomi,
karakteristik demografi, wialayah geografi kondisi klinis. Pelayanan DOTS yang bermutu tnggi
bagi kelompok-kelompok yang rentan (misalnya anak, daerah kumuh perkotaan, wanita,
masyarakat miskin tidak tercakup assuransi) harus mendapat prioritas tinggi.
4
C. DATA KESEHATAN DAN PENANGGULANGAN TB PARU (NASIONAL)
Pada tahun 2014 ditemukan jumlah kasus baru BTA+ sebanyak 176.677 kasus. Menurut
jenis kelamin, kasus BTA+ pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan yaitu 1,5 kali
dibandingkan kasus BTA+ pada perempuan. Pada masing-masing provinsi di seluruh
Indonesia kasus BTA+ lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Menurut
kelompok umur, kasus baru paling banyak ditemukan pada kelompok umur 25-34 tahun yaitu
sebesar 20,76% diikuti kelompok umur 45-54 tahun sebesar 19,57% dan pada kelompok umur
35-44 tahun sebesar 19,24%. Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif
secara ekonomis (15-50 tahun).
Angka notifikasi kasus adalah angka yang menunjukkan jumlah pasien baru yang
ditemukan dan tercatat diantara 100.000 penduduk di suatu wilayah tertentu. Angka ini apabila
dikumpulkan serial akan menggambarkan kecenderungan penemuan kasus dari tahun ke tahun di
wilayah tersebut. Angka ini berguna untuk menunjukkan kecenderungan (trend) meningkat atau
menurunnya penemuan pasien pada wilayah tersebut. Angka notifikasi kasus BTA+ pada tahun
2014 di Indonesia sebesar 70 per 100.000 penduduk dan angka notifikasi seluruh kasus TB di
Indonesia sebesar 113 per 100.000 penduduk. Angka notifikasi kasus ini mengalami penurunan
dibandingkan dengan tahun 2013.
5
4. Angka Keberhasilan Pengobatan
Salah satu upaya untuk mengendalikan TB yaitu dengan pengobatan. Indikator yang
digunakan sebagai evaluasi pengobatan yaitu angka keberhasilan pengobatan (success rate).
Angka keberhasilan pengobatan ini dibentuk dari angka kesembuhan (cure rate) dan angka
pengobatan lengkap. Pada tahun 2014 angka keberhasilan pengobatan sebesar 81,3%. WHO
menetapkan standar angka keberhasilan pengobatan sebesar 85%. Dengan demikian pada tahun
2014, Indonesia tidak mencapai standar tersebut.
Sementara Kementerian Kesehatan menetapkan target Renstra minimal 88% untuk angka
keberhasilan pengobatan pada tahun 2014. Berdasarkan hal tersebut, capaian angka keberhasilan
pengobatan tahun 2014 yang sebesar 81,3% juga tidak memenuhi target Renstra tahun 2014.
(Kemenkes, 2014)
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tuberculosis
TUBERKULOSIS PRIMER
Tuberkulosis primer adalah bentuk penyakit yang terjadi pada orang yang belum pernah
terpajan (sehingga tidak pernah tersensitisasi). Pasien berusia lanjut dan pengidap imunosupresi
berat mungkin kehilangan sensivitas mereka terhadap basil tuberkel sehingga dapat menderita
tuberkolusis primer lebih dari sekali. Pada tuverkulosis primer, sumber organisasi adalah
eksogen. Sekitar 5% dari mereka yang baru terinfeksi kemudian memperlihatkan gejala penyakit.
TUBERKULOSIS SEKUNDER
Tuberkulosis sekunder (pascaprimer) merupakan pola penyakit yang terjadi pada pejamu
yang tersensitasi. Penyakit ini mungkin terjadi segera setelah tuberculosis primer, tetapi umunya
muncul karena reaktivasi lesi primer dorman beberapa decade setelah infeksi awal, terutama jika
resistensi pejamu melemah.
Manajemen TB paru
7
B. Penyebab dan penularan TB Paru
Penyebab
Penularan
a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik dahak yang
dikeluarkan. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil pemeriksaan BTA
negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal tersebut bisa saja terjadi oleh
karena jumlah kuman yang terkandung dalam contoh uji ≤ 5000 kuman/cc dahak
sehingga sulit dideteksi melalui pemeriksaan mikroskop langsung.
b. Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit
TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien BTA negatif dengan
hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto
toraks positif adalah 17%
c. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung percik renik
dahak yang infeksius tersebut
d. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei/percik renik). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar
3000 percikan dahak (Kemenkes RI, 2014).
C. Pemeriksaan TB Paru
1. Pemeriksaan dahak
a. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3
contoh uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahal
Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):
8
S (sewaktu) : dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang berkunjung
pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang terduga pasien membawa sebuah pot
dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua.
P (Pagi) : dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun
tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas fasyankes.
S (sewaktu) : dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi.
b. Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis (M.tb) dimaksudkan
untuk menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu, misal:
Pasien TB ekstra paru
Pasien TB anak
Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung BTA negatif.
Pemeriksaan tersebut dilakukan disarana laboratorium yang terpantau mutunya. Apabila
dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan tes cepat yang direkomendasikan WHO maka
untuk memastikan diagnosis dianjurkan untuk memanfaatkan tes cepat tersebut.
9
3. Pada sarana terbatas penegakkan diagnosis secara klinis dilakukan setelah pemberian terapi
antibiotika spektrum luas (Non OAT dan non kuinolon) yang tidak memberikan perbaikan
klinis
4. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis
5. Tidak dibernarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto
thorax tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik pada TB Paru, sehingga dapat
menyebabkan terjadinnya overdiagnosis ataupun underdiagnosis.
6. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya dengan pemeriksaan uji tuberkulin.
7. Untuk kepentingan 9diagnosis dengan cara pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung,
terduga pasien TB diperiksa contoh uji dahak SPS.
Ditetapkan sebagai pasien TB apabila minimal 1 (satu) dari pemeriksaan contoh uji
dahak SPS hasilnya BTA positif. (Kemenkes RI, 2014)
D. Pengobatan TB Paru
2. Prinsip pengobatan TB
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam pengobatan TB.
Pengobatan TB adalah merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah
penyebaran lebih lanjut dari kuman TB.
Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip:
Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung minimal 4
macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi
Diberikan dalam dosis yang tepat
Ditelan secara terartur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas Menelan
Obat) sampai selesai pengobatan
Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal serta
tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan
10
3. Tahapan pengobatan TB
Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan dengan
maksud:
Tahap awal: Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini
adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam
tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin
sedah resisten sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal
pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan
pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat
menurun setelah pengobatan selama 2 minggu.
Tahap Lanjutan: Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting untuk
membunuh sisa-sisa kuman yag masih ada dalam tubuh khususnya kuman persister
sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan.
5. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia (sesuai rekomendasi WHO dan ISTC) paduan
OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia
adalah
Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3
Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
Kategori anak : 2(HRZ)/4(HR)
11
Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resisten obat di Indonesia terdiri dari
OAT lini ke-2 yaitu kanamisin, kapreomisin, Levofloxacin, Ethionamide, Sikloserin,
Moksifloksasin dan PAS, serta OAT lini-1 yaitu pirazinamid dan etambutol. (Kemenkes
RI, 2014)
12
BAB III
Angka penemuan kasus merupakan presentase jumlah pasien baru TB Paru BTA(+) yang
ditemukan dibanding jumlah pasien baru TB Paru BTA(+) yang diperkirakan ada dalam wilayah
tersebut. Case Detection Rate cakupan penemuan pasien baru TB Paru BTA(+) secara Nasioanal.
Indikator ini masih digunakan untuk evaluasi pencapaian MDGs 2015 untuk program
pengendalian TB. Setelah tahun 2015, indikator ini tidak akan diguanakan lagi dan akan diganti
dengan Case Notification Rate (CNR) sebagai indikator yang menggambarkan cakupan
penemuan pasien TB.
Perkiraan jumlah pasien baru TB Paru BTA(+) diperoleh berdasarkan perhitungan angka
insiden kasus baru TB paru BTA(+) dikali dengan jumlah penduduk. Target Case Detection Rate
program pengendalian Tuberculosis Nasional minimal 90% dinyatakan pada tahun 2015.
13
Hasil Angka Penemuan Kasus (CDR) untuk wilayah Puskesmas Piloloda’a pada tahun
2016, yakni :
Jadi, untuk wilayah puskesmas pilolodaa memiliki angka CDR (Case Detection Rate)
yang tinggi dan melebihi angka target Case Detection Rate program pengendalian Tuberculosis
Nasional yang harusnya hanya mencapai 90%. Hal ini terjadi dikarenakan rendahnya status
ekonomi serta kepadatan penduduk di wilayah Puskesmas Pilolodaa
Angka notifikasi kasus adalah angka yang menunujukan jumlah seluruh pasien TB yang
ditemukan dan tercatat diantara seratus ribu penduduk diwilayah tertentu. Angka ini apabila
dikumpulkan serial, akan menggambarkan kecenderungan penemuan kasus dari tahun ketahun
diwilayah tersebut.
14
Dengan menggunakan rumus, sebagai berikut :
Tujuan menentukan CNR (Case Notification Rate) yakni untuk melihat adanya
peningkatan kasus dari tahun sebelumnya. Berikut adalah perbandingan CNR 1 tahun sebelum
yakni tahun 2015 dan dibandingkan dengan CNR pada tahun 2016 :
1. Jumlah pasien TB (semua kasus) wilayah puskesmas Pilolodaa pada tahun 2015 yang
dilaporkan dalam TB.07 yakni 33 kasus dengan jumlah penduduk sekitar 9.718.
CNR 2015 :
𝟑𝟑
𝐱𝟏𝟎𝟎. 𝟎𝟎𝟎 = 𝟑𝟑𝟗 𝐤𝐚𝐬𝐮𝐬
𝟗. 𝟕𝟏𝟖
2. Jumlah pasien TB (semua kasus) wilayah puskesmas Pilolodaa pada tahun 2016 yang
dilaporkan dalam TB.07 yakni 42 kasus dengan jumlah penduduk sekitar 9.718.
CNR 2016 :
𝟒𝟐
𝐱𝟏𝟎𝟎. 𝟎𝟎𝟎 = 𝟒𝟑𝟐 𝐤𝐚𝐬𝐮𝐬
𝟗. 𝟕𝟏𝟖
Dari perbandingan CNR tahun 2015 ke Tahun 2016 dapat dilihat bahwa adanya
peningkatan penemuan kasus TB pada wilayah puskesmas pilolodaa. Hal ini juga disebabkan
oleh rendahnya ekonomi serta kepadatan penduduk yang juga otomatis dapat mempermudah
penularan melalui kontak langsung pasien terinfeksi ke penduduk yang tidak terinfeksi.
Angka koversi adalah presentase pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis yang
mengalami perubahan menjadi BTA(-) setelah menjalani masa pengobatan tahap awal. Program
pengendalian TB di Indonesia masih menggunakan indikator ini karena berguna untuk
mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan untuk mengetahui apakah pengawasan langsung
menelan obat dilakukan dengan benar.
15
Dengan menggunakan rumus, sebagai berikut :
Jumlah pasien baru TB Paru terkonfirmasi bakteriologis dengan hasil BTA akhir tahap
awal negatif pada puskesmas pilolodaa berjumlah 24 pasien. Jumlah pasien baru TB paru yang
diobati juga berjumlah 24 pasien.
Hasil Angka Konversi (CR) untuk wilayah Puskesmas Piloloda’a tahun 2016, yakni :
𝟐𝟒
𝐱𝟏𝟎𝟎% = 𝟏𝟎𝟎%
𝟐𝟒
Untuk angka konversi ini hanya menggunakan data pasien yang berobat dari bulan
januari hingga juni karena pada dasarnya difasilitas pelayanan kesehatan, indikator ini dapat
dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara mereview seluruh kartu pasien baru TB paru
terkonfirmasi bakteriologis yang mulai berobat dalam 3-6 bulan sebelumnya, kemudian dihitung
berapa diantaranya yang hasil pemeriksaan dahaknya (-), angka minimal yang harus dicapai
adalah 80%.
Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan presentase pasien baru TB paru
terkonfirmasi bakteriologis yang sembuh setelah selesai masa pengobatan. Diantara pasien baru
TB paru terkonfirmasi bakteriologis yang tercatat. Untuk kepentingan khusus (survailans), angka
kesembuhan dihitung juga untuk pasien paru terkonfirmasi bakteriologis pengobatan ulang
(kambuh dan dengan riwayat pengobatan TB sebelumnya) dengan tujuan:
1. Untuk mengetahui seberapa besar kemungkinan kekebalan terhadap obat terjadi
dikomunitas, hal ini harus dipastikan dengan survailans kekebalan obat.
2. Untuk mengambil keputusan program pada pengobatan menggunakan obat baris kedua
(second line drugs).
3. Menunjukan prevalensi HIV, karena biasanya kasus pengobatan ulang terjadi pada pasien
dengan HIV.
4. Untuk perhitungan, digunakan rumus yang sama dengan cara mengganti sebutan numerator
dan denominator jumlah pasien TB paru pengobatan ulang.
16
Dengan menggungakan rumus, sebagai berikut :
Jumlah pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis yg sembuh dan jumlah pasien
baru TB paru yang diobati di puskesmas pilolodaa berjumlah 22 pasien.
Jadi, hasil Angka Kesembuhan (Cure Rate) untuk wilayah Puskesmas Piloloda’a , yakni :
𝟐𝟐
𝐱 𝟏𝟎𝟎% = 𝟏𝟎𝟎%
𝟐𝟐
E. Indikator Program TB
Indikator program TB untuk mempermudah analisis data diperlukan indikator sebagai
alat ukur kemajuan program (marker of progress) dalam menilai kemajuan keberhasilan
program pengendalian TB digunakan berbagai indikator. Indikator utama program pengendalian
TB secara Nasional ada dua yaitu:
Disamping itu ada beberapa indikator proses untuk mencapai indikator nasional
tersebut diatas, yaitu:
1. Indikator penemuan TB
a. Proporsi pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis diantara terduga TB
b. Proporsi pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis diantara semua pasien TB paru
diobati
c. Proporsi pasien TB terkonfirmasi bakteriologis yang di obati dianatara pasien TB
terkonfirmasi biologis
d. Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien TB
e. Angka penemuan kasus TB (Case Detection Rate/CDR)
f. Proporsi pasien TB yang di tes HIV
g. Proporsi pasien TB yang dites HIV dan hasil tesnya positif
h. Proporsi pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dibanding perkiraan kasus TB
RR/MDR yang ada
i. Proporsi pasien terbukti TB RR/MDR yang dilakukan konfirmasi pemeriksaan uji
kepekaan OAT lini ke dua
17
j. Proporsi pengobatan pasien TB RR/MDR diobati diantara pasien TB RR/MDR
ditemukan.
2. Indkator pengobatan Tb
a. Angka konversi (convertion rate)
b. Angka kesembuhan (cure rate)
c. Angka putus berobat
d. Angka keberhasilan pengobatan TB anak
e. Proporsi anak yang menyelesaikan PP INH diantara seluruh anak mendapatkan PP dan
INH
f. Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK
g. Proporsi pasien TB positif yang mendapatkan ART
h. Angka keberhasilan pengobatan TB MDR atau Treatmen Succes Rate
3. Indikator penunjang tb
a. Proporsi laboratorium yang mengikuti pemantapan mutu eksternal (PME) uji silang
untuk pemeriksaan mikroskopis
b. Proporsi laboratorium dengan kinerja pembacaan mikroskopis baik diantara peserta
PME uji silang
c. Proporsi laboratorium yang mengikuti kegiatan PME 4x setahun
d. Jumlah kabupaten/kota melaporkan terjadinya kekosongan OAT ini
18
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Setelah melakukan Praktek manajemen TB Paru kurang lebih Satu bulan, Mahasiswa D4
Poltekkes kemenkes Gorontalo telah melaksanakan pengkajian, dan melakukan observasi
terhadap program pengendalian TB Paru yang di laksanakan di Puskesmas Piloloda’a. Dan
menyelesaikan Target praktek menejemen TB Paru dari institusi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penyakit Tuberculosis “TBC” masih
merupakan salah satu penyebab masalah kesehatan yang besar oleh kareana angka marbiditas
dan mortalitas yang masih tinggi. Setelah dilakukan pengkajian dan observasi pada Puskesmas
Piloloda’a terhadap program pengendalian TB ditemukan bahwa indikator capaian program
sudah memenuhi capaian.
B. SARAN
19
DAFTAR PUSTAKA
Naga S, S. 2014. Buku Panduan Lengkap Ilmu Penyakit Dalam. Yogyakarta: Diva Press.
Kemenkes RI. 2015. Profil pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. Jakarta :
Kemenkes RI
Chandra Budiman. 2012. Kontrol Penyakit Menular pada Manusia. Jakarta: EGC.
20