Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG PENGOBATAN TB PARU

Di Indonesia, penyakit Tuberculosis termasuk salah satu prioritas nasional untuk program
pengendalian penyakit karena berdampak luas terhadap kualitas hidup dan ekonomi, serta sering
mengakibatkan kematian. Sejak tahun 1993, WHO menyatakan bahwa TB merupakan
kedaruratan global bagi kemanusiaan. Walaupun strategi DOTS telah terbukti sangat efektif
untuk pengendalian TB, tetapi beban penyakit TB di masyarakat masih sangat tinggi. Dengan
berbagai kemajuan yang dicapai sejak tahun 2003, pada tahun 2013, diperkirakan 9,0 juta orang
terinfeksi TB dan 1,5 juta meninggal karena penyakit ini. 360.000 di antaranya adalah HIV
positif. (WHO, 2014)

TBC merupakan penyakit yang disebabkan oleh mikrobakterium ini adalah penyebab
utama kecacatan dan kematian hampir di sebagian besar negara diseluruh dunia. Infeksi awal
biasanya berlangsung tanpa gejala: tes tuberkulin akan memberikan hasil yang positif 2 – 10
minggu kemudian. Lesi awal pada paru umumnya akan sembuh dengan sendirinya tanpa
meninggalkan gejala sisa walaupun sangat jarang terjadi kalsifikasi pada kelenjar limfe paru dan
kelenjar limfe trakeobronkial. Hampir 90-95% mereka yang mengalami infeksi awal akan
memasuki fase laten dengan resiko terjadi reaktivitas seumur hidup mereka. Pemberian
kemoterapi preventif yang sempurna dapat mengurangi resiko terjadinya TB klinis seumur hidup
sebesar 95% dan kemoterapi preventif ini sangat efektif pada penderita HIV/AIDS. Hanya 5%
dari orang normal dan 50% penderita HIV/AIDS yang terinfeksi TB akan berkembang menjadi
TB paru klinis atau menjadi TB ekstrapulmoner. Mortalitas dan morbiditas meningkat sesuai
dengan umur, pada orang dewasa lebih tinggi pada laki-laki. Morbiditas TBC lebih tinggi
diantara penduduk miskin dan daerah perkotaan jika dibandingkan dengan pedesaan. Di AS
insiden TBC menurun sejat tahun 1994, penderita yang dilaporkan adalah 9,4/100.000 (lebih dari
24.000 kasus). Daerah dengan insidens rendah termasuk di berbagai wilayah di AS, kebanyakan
kasus TBC berasal dari reaktivasi dari fokus laten yang berasal dari infeksi primer. Di sebagian
daerah urban yang luas 1/3 kasus berasal dari infeksi baru. Walaupun TBC menempati rangking
terendah diantara penyakit menular berdasarkan lama waktu pajanan. Namun pajanan dalam
jangka waktu lama dalam lingkungan keluarga menyebabkan resiko terinfeksi sebesar 30%. Jika
infeksi terjadi pada anak maka risiko menjadi sakit selama hidupnya 10%. (Pemberantasan
Penyakit Edisi 17, 2000)

Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-
50 tahun). Diperkirakan seorang TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3-4 bulan.

1
Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%.
Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain
merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial, seperti
stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat. Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB
antara lain adalah:
1. Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara-negara yang sedang
berkembang.
2. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi dengan disparitas yang terlalu lebar,
sehingga masyarakat masih mengalami masalah dengan kondisi sanitasi, papan, sandang dan
pangan yang buruk.
3. Beban determinan sosial yang masih berat seperti angka pengangguran, tingkat
pendidikan yang rendah, pendapatan per kapita yang masih rendah yang berakibat pada
kerentanan masyarakat terhadap TB
4. Kegagalan program TB selama ini. Hal ini diakibatkan oleh:
a. Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan
b. Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh masyarakat,
penemuan kasus/diagnosis yang tidak standar, obat tidak terjamin penyediannya, tidak
dilakukan pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang standar, dan sebagainya).
c. Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang tidak standar,
gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis).
d. Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG.
e. Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami krisis ekonomi
atau pergolakan masyarakat.
f. Belum adanya sistem jaminan kesehatan yang bisa mencakup masyarakat luas secara
merata.
5. Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur
umur kependudukan
6. Besarnya masalah kesehatan lain yang bisa mempengaruhi tetap tingginya beban TB
seperti gizi buruk, merokok, diabetes
7. Dampak pandemic HIV di dunia akan menambah permasalahan TB. (Kemenkes RI, 2014)

B. KEBIJAKAN MANAJEMEN TB PARU

WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam pengendalian TB


sejak tahun 1995. Bank dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi
kesehatan yang secara ekonomis sangat efektif. Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar
sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya.
Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan
kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan rantai penularan TB dengan

2
demikian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien
merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB.
Pada sidang WHA (World Health Assembly) ke 67 tahun 2014 ditetapkan resolusi
mengenai stratego pengendalian TB global pasca 2015 yang bertujuan untuk menghentikan
epidemic global TB pada tahun 2035 yang ditandai dengan:
1. Penurunan angka kematian akibat TB sebesar 95% dari angka tahun 2015
2. Penurunan angka insidensi TB sebesar 90% (menjadi 10/100.000 penduduk)
Kebijakan pengendalian TB di Indonesia dilaksanakan :
1. sesuai dengan azas desentralisasi dalam kerangka otonomi dengan kabupaten/kota sebagai
titik berat manajemen program, yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan
evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana).
2. Pengendalian TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS sebagai kerangka dasar
dan memperhatikan strategi global untuk mengendalikan TB (Global Stop TB Strategy).
3. Penguatan kebijakan ditujukan untuk meningkatkan komitmen daerah terhadap program
pengendalian TB
4. Penguatan pengendalian Tb dan pengembangannya ditujukan terhadap peningkatan mutu
pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan sehingga mampu
memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya TB resisten obat.
5. Penemuan dan pengobatan dalam rangka pengendalian TB dilaksanakan oleh seluruh
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat
Lanjut (FKRTL), meliputi: Puskesmas, Rumah sakit pemerintah dan Swasta, Rumah sakit
Paru (RSP), Balai Besar/Balai Kesehatan Paru Masyarakat (B/BKPM), klinik pengobatan
serta Dokter Praktek Mandiri (DPM).
6. Pengobatan untuk TB tanpa penyulit dilaksanakan di FKTP. Pengobatan TB dengan tingkat
kesulitas yang tidak dapat ditatalaksana di FKTP akan dilakukan di FKRTL dengan
mekanisme rujuk balik apabila faktor penyulit telah dapat ditangani.
7. Pengendalian TB dilaksanakan melalui penggalangan kerja sama dan kemitraan diantara
sektor pemerintah, non pemerintah, swasta dan masyarakat dalam wujud Gerakan Terpadu
Nasional Pengendalian TB (Gerdunas TB)
8. Peningkatan kemampuan laboratorium di berbagai tingkat pelayanan ditujukan untuk
peningkatan mutu dan akses layanan
9. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk pengendalian TB diberikan secara Cuma-Cuma dan
dikelola dengan manajemen logistic yang efektif demi menjalin ketersediannya.
10. Ketersediaan tenaga yang kompeten dalam jumlah yang memadai untuk meningkatkan dan
mempertahankan kinerja program
11. Pengendalian TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan kelompok rentan lainnya
terhadap TB
12. Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya

3
13. Memperhatikan komitmen terhadap pencapaian target strategi global pengendalian TB
(Kemenkes, 2014).

Pengendalian penyakit TB PARU

Strategi umum program pengendalian TB 2011-2014 adalah ekspansi. Fase ekspansi pada
periode 2011-2014 ini bertujuan untuk konsolidasi program akselerasi implementasi inisitaif-
inisiatif baru sesuai dengan strategi stop TB terbaru, yaitu “menuju akses universal” pelayanan
DOTS harus tersedia untuk seluruh pasien TB, tanpa memang latar belakang sosial ekonomi,
karakteristik demografi, wialayah geografi kondisi klinis. Pelayanan DOTS yang bermutu tnggi
bagi kelompok-kelompok yang rentan (misalnya anak, daerah kumuh perkotaan, wanita,
masyarakat miskin tidak tercakup assuransi) harus mendapat prioritas tinggi.

Angka prevaalensi, insidensi mortalitas


Kasus TB Tahun 1990 Tahun 2012 Tahun 2013
Insiden Tuberkulosis 343 185 183
Prevalensi Tuberkulosis 423 297 272
Mortalitas 51 27 25

Tabel diatas memperlihatkan estimasi prevalensi insidensi, mortilitas TB yang dinyatakan


dalam 100.000 penduduk tahun 1990-2013 berdasarkan hasil perhitungan WHO dalam who
report 2014 global tuberculosis control. Angka insidens semua tipe TB tahun 2013 sebesar 183
per 100.000 penduduk mengalami penurunan dibanding tahun 1990 (343 per 100. 000
penduduk), angka prevalensi berhasil diturunkan hampir setengahnya pada tahun 2013 (423 per
100. 000 penduduk) dibandingkan dengan tahun 1990 (272 per 100.000 penduduk). Sama halnya
dengan angka Mortalitas yang berhasil diturunkan lebih dari separuhnya pada tahun 2013 (25 per
100.000 penduduk) dibandingkan tahun 1990 (51 per 100.000 penduduk). Hal tersebut
membuktikan bahwa Program pengendalian TB berhasil menurunkan insidens, prevalensi
mortalitas akibat penyakit TB. Estimasi prevalens TB pada tahun 2012 didapatkan berdasarkan
perhitungan Pemodelan Matematika untuk estimasi epidemi TB di Indonesia, sebesar 213 per
100.000 penduduk. Untuk estimasi insidens mortalitas Tuberkulosis tahun 2014 belum dapat
disajikan karena kedua perhitungan tersebut masih berdasarkan perhitungan WHO yang
dikeluarkan Global Tuberculosis Control 2012.

4
C. DATA KESEHATAN DAN PENANGGULANGAN TB PARU (NASIONAL)

1. Kasus Baru BTA Positif (BTA+)

Pada tahun 2014 ditemukan jumlah kasus baru BTA+ sebanyak 176.677 kasus. Menurut
jenis kelamin, kasus BTA+ pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan yaitu 1,5 kali
dibandingkan kasus BTA+ pada perempuan. Pada masing-masing provinsi di seluruh
Indonesia kasus BTA+ lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Menurut
kelompok umur, kasus baru paling banyak ditemukan pada kelompok umur 25-34 tahun yaitu
sebesar 20,76% diikuti kelompok umur 45-54 tahun sebesar 19,57% dan pada kelompok umur
35-44 tahun sebesar 19,24%. Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif
secara ekonomis (15-50 tahun).

2. Proporsi pasien baru BTA positif di antara semua kasus TB

Sedangkan proporsi pasien baru BTA+ di antara semua kasus TB menggambarkan


prioritas penemuan pasien TB yang menular di antara seluruh pasien TB paru yang diobati.
Angka ini diharapkan tidak lebih rendah dari 65%. Apabila proporsi pasien baru BTA+ di
bawah 65% maka hal itu menunjukkan mutu diagnosis yang rendah dan kurang memberikan
prioritas untuk menemukan pasien yang menular (pasien BTA+. Pada tahun 2014 proporsi BTA
Positif di antara seluruh kasus TB Paru mencapai 62% memperlihatkan bahwa sampai dengan
tahun 2014 proporsi pasien baru BTA+ di antara seluruh kasus belum mencapai target yang
diharapkan. Hal itu mengindikasikan mutu diagnosis yang rendah dan kurangnya prioritas
menemukan kasus BTA+ di Indonesia.

3. Angka notifikasi kasus atau case notification rate (CNR)

Angka notifikasi kasus adalah angka yang menunjukkan jumlah pasien baru yang
ditemukan dan tercatat diantara 100.000 penduduk di suatu wilayah tertentu. Angka ini apabila
dikumpulkan serial akan menggambarkan kecenderungan penemuan kasus dari tahun ke tahun di
wilayah tersebut. Angka ini berguna untuk menunjukkan kecenderungan (trend) meningkat atau
menurunnya penemuan pasien pada wilayah tersebut. Angka notifikasi kasus BTA+ pada tahun
2014 di Indonesia sebesar 70 per 100.000 penduduk dan angka notifikasi seluruh kasus TB di
Indonesia sebesar 113 per 100.000 penduduk. Angka notifikasi kasus ini mengalami penurunan
dibandingkan dengan tahun 2013.

5
4. Angka Keberhasilan Pengobatan

Salah satu upaya untuk mengendalikan TB yaitu dengan pengobatan. Indikator yang
digunakan sebagai evaluasi pengobatan yaitu angka keberhasilan pengobatan (success rate).
Angka keberhasilan pengobatan ini dibentuk dari angka kesembuhan (cure rate) dan angka
pengobatan lengkap. Pada tahun 2014 angka keberhasilan pengobatan sebesar 81,3%. WHO
menetapkan standar angka keberhasilan pengobatan sebesar 85%. Dengan demikian pada tahun
2014, Indonesia tidak mencapai standar tersebut.

Sementara Kementerian Kesehatan menetapkan target Renstra minimal 88% untuk angka
keberhasilan pengobatan pada tahun 2014. Berdasarkan hal tersebut, capaian angka keberhasilan
pengobatan tahun 2014 yang sebesar 81,3% juga tidak memenuhi target Renstra tahun 2014.
(Kemenkes, 2014)

D. TUJUAN UMUM DAN KHUSUS

1. Tujuan Umum

Menggambarkan secara umum mengenai sistem manajemen TB Paru terutama yang


diterapkan atau diaplikasikan di Puskesmas Pilolodaa tahun 2016.

2. Tujuan Khusus

Setelah menyelesaikan kegiatan praktek manajemen TB Paru diharapkan


mampu:
a. Menggambarkan pengertian TB Paru dan Manajemen TB Paru
b. Menggambarkan penyebab dan penularan TB Paru
c. Menggambarkan pemeriksaan TB Paru
d. Menggambarkan pengobatan TB Paru
e. Menggambarkan pencegahan TB Paru dan pencegahan kontak serumah
f. Menggambarkan pencatatan dan pelaporan TB Paru
g. Menggambarkan hasil cakupan program TB paru dengan menggunakan rumus
perhitungan indikator.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian TB paru dan manajemen TB Paru

Tuberculosis

Tuberculosis Paru adalah Penyakit infeksi yang terutama disebabkan oleh


Mycobacterium Tubercolosis, penyakit ini biasanya menyerang paru-paru dan menyebar hampir
setiap bagian tubuh termasuk maningeal, ginjal, tulang, dan nodus limfe (KMB Buku Saku
Brunner dan Suddarath).

Penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang dapat


menyerang pada berbagai organ tubuh mulai dari yang paling sering adalah paru-paru dan organ
di luar paru-paru seperti kulit, tulang, persendian, usus serta ginjal yang sering disebut dengan
ekstrapulmonal TB .

TB terbagi menjadi 2 yakni primer dan sekunder :

TUBERKULOSIS PRIMER

Tuberkulosis primer adalah bentuk penyakit yang terjadi pada orang yang belum pernah
terpajan (sehingga tidak pernah tersensitisasi). Pasien berusia lanjut dan pengidap imunosupresi
berat mungkin kehilangan sensivitas mereka terhadap basil tuberkel sehingga dapat menderita
tuberkolusis primer lebih dari sekali. Pada tuverkulosis primer, sumber organisasi adalah
eksogen. Sekitar 5% dari mereka yang baru terinfeksi kemudian memperlihatkan gejala penyakit.

TUBERKULOSIS SEKUNDER

Tuberkulosis sekunder (pascaprimer) merupakan pola penyakit yang terjadi pada pejamu
yang tersensitasi. Penyakit ini mungkin terjadi segera setelah tuberculosis primer, tetapi umunya
muncul karena reaktivasi lesi primer dorman beberapa decade setelah infeksi awal, terutama jika
resistensi pejamu melemah.

Manajemen TB paru

Manajemen adalah suatu proses yang terdiri dari perencanaan, pengorganisasian,


pelaksanaan dan pengawasan yang telah dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran
yang telah ditentukan melalui pemanfaatan sumber daya yang lainnya. Manajemen TB Paru
merupakan suatu proses yang meliputi manajemen terpadu pengendalian tuberkulosis resisten
obat, manajemen laboratorium tuberkulosis, dan manajemen logistik.

7
B. Penyebab dan penularan TB Paru

Penyebab

Penyebab Tuberculosis Paru adalah Mycobacterium Tuberculosis, sejenis kuman yang


berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/UM dan tebal 0,3-0,6/UM. Kuman mempunyai
kandungan lipid yang kompleks. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap
gangguan kimia dan fisik. Kuman dapat bertahan hidup pada udara kering maupun pada keadaan
dingin (dapat hidup bertahun-tahun dalam lemari es) hal ini karena kuman berada dalam sifat
dormant. Dan sifat dormant ini kuman dapat bangkit dan menjadikan tuberculosis aktif lagi
(Ilmu Penyakit Dalam jilid II 2001 : 820-821).

Penularan

a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik dahak yang
dikeluarkan. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil pemeriksaan BTA
negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal tersebut bisa saja terjadi oleh
karena jumlah kuman yang terkandung dalam contoh uji ≤ 5000 kuman/cc dahak
sehingga sulit dideteksi melalui pemeriksaan mikroskop langsung.
b. Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit
TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien BTA negatif dengan
hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto
toraks positif adalah 17%
c. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung percik renik
dahak yang infeksius tersebut
d. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei/percik renik). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar
3000 percikan dahak (Kemenkes RI, 2014).

C. Pemeriksaan TB Paru

1. Pemeriksaan dahak
a. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3
contoh uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahal
Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):

8
 S (sewaktu) : dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang berkunjung
pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang terduga pasien membawa sebuah pot
dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua.
 P (Pagi) : dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun
tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas fasyankes.
 S (sewaktu) : dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi.

b. Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis (M.tb) dimaksudkan
untuk menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu, misal:
 Pasien TB ekstra paru
 Pasien TB anak
 Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung BTA negatif.
Pemeriksaan tersebut dilakukan disarana laboratorium yang terpantau mutunya. Apabila
dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan tes cepat yang direkomendasikan WHO maka
untuk memastikan diagnosis dianjurkan untuk memanfaatkan tes cepat tersebut.

2. Pemeriksaan uji kepekaan obat


Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi M.tb terhadap
OAT. Untuk menjamin kualitas hasil pemeriksaan, uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan
oleh laboratorium yang telah tersertifikasi atau lulus uji pemantapan mutu/Quality Assurance
(QA). Hal ini dimaksudkan untuk memperkecil kesalahan dalam menetapkan jenis resistensi
OAT dan pengambilan keputusan paduan pengobatan pasien dengan resisten obat.

Untuk memperluas akses terhadap penemuan pasien TB dengan resistensi OAT,


Kemenkes RI telah menyediakan tes cepat yaitu GeneXpert ke fasilitas kesehatan (laboratorium
dan RS) di seluruh provinsi.
Dalam menentukan diagnosis TB Paru kemenkes menetapkan hal-hal berikut ini:
1. Dalam upaya pengendalian TB secara Nasional, maka diagnosis TB Paru pada orang dewasa
harus ditegakkan terlebih dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan
bakteriologis yang dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan dan tes
cepat.
2. Apabila pemeriksaan secara bakteriologis hasilnya negatif, maka penegakan diagnosis TB
dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-
tidaknya pemeriksaan foto toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter yang telah terlatih
TB.

9
3. Pada sarana terbatas penegakkan diagnosis secara klinis dilakukan setelah pemberian terapi
antibiotika spektrum luas (Non OAT dan non kuinolon) yang tidak memberikan perbaikan
klinis
4. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis
5. Tidak dibernarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto
thorax tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik pada TB Paru, sehingga dapat
menyebabkan terjadinnya overdiagnosis ataupun underdiagnosis.
6. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya dengan pemeriksaan uji tuberkulin.

7. Untuk kepentingan 9diagnosis dengan cara pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung,
terduga pasien TB diperiksa contoh uji dahak SPS.
Ditetapkan sebagai pasien TB apabila minimal 1 (satu) dari pemeriksaan contoh uji
dahak SPS hasilnya BTA positif. (Kemenkes RI, 2014)

D. Pengobatan TB Paru

1. Tujuan pengobatan TB adalah:


a. Menyembuhkan pasien dengan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup
b. Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk selanjutnya
c. Mencegah terjadinya kekambuhan TB
d. Menurunkan penularan TB
e. Mencegah terjadinya dan penularan TB resisten obat

2. Prinsip pengobatan TB
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam pengobatan TB.
Pengobatan TB adalah merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah
penyebaran lebih lanjut dari kuman TB.
Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip:
 Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung minimal 4
macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi
 Diberikan dalam dosis yang tepat
 Ditelan secara terartur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas Menelan
Obat) sampai selesai pengobatan
 Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal serta
tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan

10
3. Tahapan pengobatan TB

Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan dengan
maksud:
 Tahap awal: Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini
adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam
tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin
sedah resisten sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal
pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan
pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat
menurun setelah pengobatan selama 2 minggu.
 Tahap Lanjutan: Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting untuk
membunuh sisa-sisa kuman yag masih ada dalam tubuh khususnya kuman persister
sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan.

4. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Jenis Sifat Efek samping


Isoniazid (H) Bakterisidal Neuropati perifer, psikosis toksik, gangguan fungsi hati,
kejang
Rifampisin Bakterisidal Flu syndrome, gangguan gastrointestinal, urine berwarna
(R) merah, gangguan fungsi hati, trombositopeni, demam, skin
rash, sesak nafas, anemia hemolitik
Pirazinamid Bakterisidal Gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi hati, gout
(Z) artritis
Streptomisin Bakterisidal Nyeri ditempat suntikan, gangguan keseimbangan dan
(S) pendengaran, renjatan anafilaktik, anemia, agranulositosis,
trombositopeni
Etambutol Bakteriostatik Gangguan penglihatan, buta warna, neuritis perifer
(E)

5. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia (sesuai rekomendasi WHO dan ISTC) paduan
OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia
adalah
 Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3
 Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
 Kategori anak : 2(HRZ)/4(HR)

11
 Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resisten obat di Indonesia terdiri dari
OAT lini ke-2 yaitu kanamisin, kapreomisin, Levofloxacin, Ethionamide, Sikloserin,
Moksifloksasin dan PAS, serta OAT lini-1 yaitu pirazinamid dan etambutol. (Kemenkes
RI, 2014)

E. Pencegahan TB Paru dan Pencegahan Kontak Serumah

Banyak hal yang bisa dilakukan mencegah terjangkitnya TB paru. Pencegahan-


pencegahan berikut dapat dikerjakan oleh penderita, masyarakat, maupun petugas kesehatan:
1. Bagi penderita, pencegahan penularan dapat dilakukan dengan menutup mulut saat batuk,
dan membuang dahak tidak di sembarang tempat.
2. Bagi masyarakat, pencegahan penularan dapat dilakukan dengan meningkatkan ketahanan
terhadap bayi, yaitu dengan memberikan vaksinasi BCG.
3. Bagi petugas kesehatan, pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan penyuluhan
tentang penyakit TBC, yang meliputi gejala, bahaya, dan akibat yang ditimbulkannya
terhadap kehidupan masyarakat pada umumnya.
4. Petugas kesehatan juga harus segera melakukan pengisolasian dan pemeriksaan terhadap
orang-orang yang terinfeksi, atau dengan mem-berikan pengobatan khusus kepada penderita
TB ini. Pengobatan dengan cara menginap di rumah sakit hanya dilakukan bagi penderita
dengan kategori berat dan memerlukan pengembangan program pengobatannya, sehingga
tidak dikehendaki pengobatan jalan.
5. Pencegahan penularan juga dapat dicegah dengan melaksanakan disinfeksi, seperti cuci
tangan, kebersihan rumah yang ketat, perhatian khusus terhadap muntahan atau ludah
anggota keluarga yang terjangkit penyakit ini (piring, tempat tidur, pakaian), dan
menyediakan ventilasi rumah dan sinar matahari yang cukup.
6. Melakukan imunisasi orang-orang yang melakukan kontak langsung dengan penderita,
seperti keluarga, perawat, dokter, petugas kesehatan, dan orang lain yang terindikasi, dengan
vaksin BCG dan tindak lanjut bagi yang positif tertular.
7. Melakukan penyelidikan terhadap orang-orang kontak. Perlu dilakukan Tes Tuberculin bagi
seluruh anggota keluarga. Apabila cara ini menunjukkan hasil negatif, perlu diulang
pemeriksaan tiap bulan selama 3 bulan dan perlu penyelidikan intensif.
8. Dilakukan pengobatan khusus. Penderita dengan TBC aktif perlu pengobatan yang tepat,
yaitu obat-obat kombinasi yang telah ditetapkan oleh dokter untuk diminum dengan tekun
dan teratur, selama 6-12 bulan. Perlu diwaspadai adanya kebal terhadap obat-obat, dengan
pemeriksaan penyelidikan oleh dokter.

12
BAB III

HASIL PROGRAM PENGOBATAN TB DI PUSKESMAS PILOLODAA

GAMBARAN UMUM PUSKESMAS PILOLODAA

Pelaksanaan kegiatan di Puskesmas Pilolodaa didasarkan pada program yang telah di


tentukan oleh Dinas Kesehatan Kota Gorontalo. Penjabaran kegiatan tersebut melalui Rencana
Pelaksanaan Kegiatan yang dibuat oleh masing-masing pemegang program pada awal tahun
salah satunya program Pengobatan TB paru. Agar program pengobatan TB paru dapat terlaksana
maka perlu dilakukan perhitungan indikator, yaitu, angka penemuan kasus (Case Detection
Rate/CDR), Angka Notifikasi Kasus (Case Notification Rate/CNR), Angka Konversi
(Convertion Rate), Angka Kesembuhan (Cure Rate).

HASIL CAKUPAN PROGRAM TB PARU DENGAN MENGGUNAKAN RUMUS


PERHITUNGAN INDIKATOR

A. Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate/CDR)

Angka penemuan kasus merupakan presentase jumlah pasien baru TB Paru BTA(+) yang
ditemukan dibanding jumlah pasien baru TB Paru BTA(+) yang diperkirakan ada dalam wilayah
tersebut. Case Detection Rate cakupan penemuan pasien baru TB Paru BTA(+) secara Nasioanal.
Indikator ini masih digunakan untuk evaluasi pencapaian MDGs 2015 untuk program
pengendalian TB. Setelah tahun 2015, indikator ini tidak akan diguanakan lagi dan akan diganti
dengan Case Notification Rate (CNR) sebagai indikator yang menggambarkan cakupan
penemuan pasien TB.

Dengan menggunakan rumus, sebagai berikut :

𝐣𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐚𝐬𝐢𝐞𝐧 𝐓𝐁 𝐁𝐓𝐀 𝐩𝐨𝐬𝐢𝐭𝐢𝐟 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢𝐥𝐚𝐩𝐨𝐫𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐓𝐁. 𝟎𝟕


𝐱𝟏𝟎𝟎%
𝐩𝐞𝐫𝐤𝐢𝐫𝐚𝐚𝐧 𝐣𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐚𝐬𝐢𝐞𝐧 𝐛𝐚𝐫𝐮 𝐓𝐁 𝐩𝐚𝐫𝐮 𝐁𝐓𝐀 𝐩𝐨𝐬𝐢𝐭𝐢𝐟

Perkiraan jumlah pasien baru TB Paru BTA(+) diperoleh berdasarkan perhitungan angka
insiden kasus baru TB paru BTA(+) dikali dengan jumlah penduduk. Target Case Detection Rate
program pengendalian Tuberculosis Nasional minimal 90% dinyatakan pada tahun 2015.

13
Hasil Angka Penemuan Kasus (CDR) untuk wilayah Puskesmas Piloloda’a pada tahun
2016, yakni :

NO. Bulan Estimasi Suspek Estimasi BTA CDR


suspek yang BTA positif (%)
yang diperiksa positif yang
diperiksa diperiksa
1 Januari 20 50 2 11 550
2 Februari 10 30 1 2 200
3 Maret 20 50 2 3 150
4 April 20 30 2 6 300
5 Mey 10 18 1 1 100
6 Juni 10 38 1 4 200
7 Juli 10 19 1 2 200
8 Agustus 20 21 2 2 100
9 September 20 38 2 3 150
10 Okober 20 28 2 3 150
11 November 20 31 2 3 150
12 Desember 20 25 2 3 150
Total 200 378 20 43 215 %

Jadi, untuk wilayah puskesmas pilolodaa memiliki angka CDR (Case Detection Rate)
yang tinggi dan melebihi angka target Case Detection Rate program pengendalian Tuberculosis
Nasional yang harusnya hanya mencapai 90%. Hal ini terjadi dikarenakan rendahnya status
ekonomi serta kepadatan penduduk di wilayah Puskesmas Pilolodaa

B. Angka Notifikasi Kasus (Case Notification Rate/CNR)

Angka notifikasi kasus adalah angka yang menunujukan jumlah seluruh pasien TB yang
ditemukan dan tercatat diantara seratus ribu penduduk diwilayah tertentu. Angka ini apabila
dikumpulkan serial, akan menggambarkan kecenderungan penemuan kasus dari tahun ketahun
diwilayah tersebut.

14
Dengan menggunakan rumus, sebagai berikut :

𝐣𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐚𝐬𝐢𝐞𝐧 𝐓𝐁 (𝐬𝐞𝐦𝐮𝐚 𝐤𝐚𝐬𝐮𝐬)𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢𝐥𝐚𝐩𝐨𝐫𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐥𝐦 𝐓𝐁. 𝟎𝟕


𝐬𝐞𝐥𝐚𝐦𝐚 𝐬𝐞𝐭𝐚𝐡𝐮𝐧 𝐱𝟏𝟎𝟎. 𝟎𝟎𝟎
𝐣𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐞𝐧𝐝𝐮𝐝𝐮𝐤

Tujuan menentukan CNR (Case Notification Rate) yakni untuk melihat adanya
peningkatan kasus dari tahun sebelumnya. Berikut adalah perbandingan CNR 1 tahun sebelum
yakni tahun 2015 dan dibandingkan dengan CNR pada tahun 2016 :

1. Jumlah pasien TB (semua kasus) wilayah puskesmas Pilolodaa pada tahun 2015 yang
dilaporkan dalam TB.07 yakni 33 kasus dengan jumlah penduduk sekitar 9.718.
CNR 2015 :

𝟑𝟑
𝐱𝟏𝟎𝟎. 𝟎𝟎𝟎 = 𝟑𝟑𝟗 𝐤𝐚𝐬𝐮𝐬
𝟗. 𝟕𝟏𝟖

2. Jumlah pasien TB (semua kasus) wilayah puskesmas Pilolodaa pada tahun 2016 yang
dilaporkan dalam TB.07 yakni 42 kasus dengan jumlah penduduk sekitar 9.718.
CNR 2016 :

𝟒𝟐
𝐱𝟏𝟎𝟎. 𝟎𝟎𝟎 = 𝟒𝟑𝟐 𝐤𝐚𝐬𝐮𝐬
𝟗. 𝟕𝟏𝟖

Dari perbandingan CNR tahun 2015 ke Tahun 2016 dapat dilihat bahwa adanya
peningkatan penemuan kasus TB pada wilayah puskesmas pilolodaa. Hal ini juga disebabkan
oleh rendahnya ekonomi serta kepadatan penduduk yang juga otomatis dapat mempermudah
penularan melalui kontak langsung pasien terinfeksi ke penduduk yang tidak terinfeksi.

C. Angka Konversi (Convertion Rate)

Angka koversi adalah presentase pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis yang
mengalami perubahan menjadi BTA(-) setelah menjalani masa pengobatan tahap awal. Program
pengendalian TB di Indonesia masih menggunakan indikator ini karena berguna untuk
mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan untuk mengetahui apakah pengawasan langsung
menelan obat dilakukan dengan benar.

15
Dengan menggunakan rumus, sebagai berikut :

𝐣𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐚𝐬𝐢𝐞𝐧 𝐛𝐚𝐫𝐮 𝐓𝐁 𝐩𝐚𝐫𝐮 𝐭𝐞𝐫𝐤𝐨𝐧𝐟𝐢𝐫𝐦𝐚𝐬𝐢 𝐛𝐚𝐤𝐭𝐞𝐫𝐢𝐨𝐥𝐨𝐠𝐢𝐬 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐡𝐚𝐬𝐢𝐥


𝐩𝐞𝐦𝐞𝐫𝐢𝐤𝐬𝐚𝐚𝐧
𝐁𝐓𝐀 𝐚𝐤𝐡𝐢𝐫 𝐭𝐚𝐡𝐚𝐩 𝐚𝐰𝐚𝐥 𝐧𝐞𝐠𝐚𝐭𝐢𝐟
𝐱 𝟏𝟎𝟎%
𝐣𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐚𝐬𝐢𝐞𝐧 𝐛𝐚𝐫𝐮 𝐓𝐁 𝐩𝐚𝐫𝐮 𝐭𝐞𝐫𝐤𝐨𝐧𝐟𝐢𝐫𝐦𝐚𝐬𝐢 𝐛𝐚𝐤𝐭𝐞𝐫𝐢𝐨𝐥𝐨𝐠𝐢𝐬 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢𝐨𝐛𝐚𝐭𝐢

Jumlah pasien baru TB Paru terkonfirmasi bakteriologis dengan hasil BTA akhir tahap
awal negatif pada puskesmas pilolodaa berjumlah 24 pasien. Jumlah pasien baru TB paru yang
diobati juga berjumlah 24 pasien.

Hasil Angka Konversi (CR) untuk wilayah Puskesmas Piloloda’a tahun 2016, yakni :

𝟐𝟒
𝐱𝟏𝟎𝟎% = 𝟏𝟎𝟎%
𝟐𝟒

Untuk angka konversi ini hanya menggunakan data pasien yang berobat dari bulan
januari hingga juni karena pada dasarnya difasilitas pelayanan kesehatan, indikator ini dapat
dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara mereview seluruh kartu pasien baru TB paru
terkonfirmasi bakteriologis yang mulai berobat dalam 3-6 bulan sebelumnya, kemudian dihitung
berapa diantaranya yang hasil pemeriksaan dahaknya (-), angka minimal yang harus dicapai
adalah 80%.

Jadi, untuk Puskesmas Pilolodaa angka konversi sudah mencapai 100%.

D. Angka Kesembuhan (Cure Rate)

Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan presentase pasien baru TB paru
terkonfirmasi bakteriologis yang sembuh setelah selesai masa pengobatan. Diantara pasien baru
TB paru terkonfirmasi bakteriologis yang tercatat. Untuk kepentingan khusus (survailans), angka
kesembuhan dihitung juga untuk pasien paru terkonfirmasi bakteriologis pengobatan ulang
(kambuh dan dengan riwayat pengobatan TB sebelumnya) dengan tujuan:
1. Untuk mengetahui seberapa besar kemungkinan kekebalan terhadap obat terjadi
dikomunitas, hal ini harus dipastikan dengan survailans kekebalan obat.
2. Untuk mengambil keputusan program pada pengobatan menggunakan obat baris kedua
(second line drugs).
3. Menunjukan prevalensi HIV, karena biasanya kasus pengobatan ulang terjadi pada pasien
dengan HIV.
4. Untuk perhitungan, digunakan rumus yang sama dengan cara mengganti sebutan numerator
dan denominator jumlah pasien TB paru pengobatan ulang.

16
Dengan menggungakan rumus, sebagai berikut :

𝐣𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐚𝐬𝐢𝐞𝐧 𝐛𝐚𝐫𝐮 𝐓𝐁 𝐩𝐚𝐫𝐮 𝐓𝐞𝐫𝐤𝐨𝐧𝐟𝐢𝐫𝐦𝐚𝐬𝐢 𝐁𝐚𝐤𝐭𝐞𝐫𝐢𝐨𝐥𝐨𝐠𝐢𝐬


𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐬𝐞𝐦𝐛𝐮𝐡
𝐱 𝟏𝟎𝟎%
𝐣𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐚𝐬𝐢𝐞𝐧 𝐛𝐚𝐫𝐮 𝐓𝐁 𝐩𝐚𝐫𝐮 𝐓𝐞𝐫𝐤𝐨𝐧𝐟𝐢𝐫𝐦𝐚𝐬𝐢
𝐁𝐚𝐤𝐭𝐞𝐫𝐢𝐨𝐥𝐨𝐠𝐢𝐬 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢𝐨𝐛𝐚𝐭𝐢

Jumlah pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis yg sembuh dan jumlah pasien
baru TB paru yang diobati di puskesmas pilolodaa berjumlah 22 pasien.

Jadi, hasil Angka Kesembuhan (Cure Rate) untuk wilayah Puskesmas Piloloda’a , yakni :

𝟐𝟐
𝐱 𝟏𝟎𝟎% = 𝟏𝟎𝟎%
𝟐𝟐

E. Indikator Program TB
Indikator program TB untuk mempermudah analisis data diperlukan indikator sebagai
alat ukur kemajuan program (marker of progress) dalam menilai kemajuan keberhasilan
program pengendalian TB digunakan berbagai indikator. Indikator utama program pengendalian
TB secara Nasional ada dua yaitu:

1. Angka notifikasi kasus TB (Case Notifiction Rate/CNR) dan


2. Angka keberhasilan pengobatan TB ( Treatment Succes Rate/TSR).

Disamping itu ada beberapa indikator proses untuk mencapai indikator nasional
tersebut diatas, yaitu:

1. Indikator penemuan TB
a. Proporsi pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis diantara terduga TB
b. Proporsi pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis diantara semua pasien TB paru
diobati
c. Proporsi pasien TB terkonfirmasi bakteriologis yang di obati dianatara pasien TB
terkonfirmasi biologis
d. Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien TB
e. Angka penemuan kasus TB (Case Detection Rate/CDR)
f. Proporsi pasien TB yang di tes HIV
g. Proporsi pasien TB yang dites HIV dan hasil tesnya positif
h. Proporsi pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dibanding perkiraan kasus TB
RR/MDR yang ada
i. Proporsi pasien terbukti TB RR/MDR yang dilakukan konfirmasi pemeriksaan uji
kepekaan OAT lini ke dua

17
j. Proporsi pengobatan pasien TB RR/MDR diobati diantara pasien TB RR/MDR
ditemukan.

2. Indkator pengobatan Tb
a. Angka konversi (convertion rate)
b. Angka kesembuhan (cure rate)
c. Angka putus berobat
d. Angka keberhasilan pengobatan TB anak
e. Proporsi anak yang menyelesaikan PP INH diantara seluruh anak mendapatkan PP dan
INH
f. Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK
g. Proporsi pasien TB positif yang mendapatkan ART
h. Angka keberhasilan pengobatan TB MDR atau Treatmen Succes Rate

3. Indikator penunjang tb
a. Proporsi laboratorium yang mengikuti pemantapan mutu eksternal (PME) uji silang
untuk pemeriksaan mikroskopis
b. Proporsi laboratorium dengan kinerja pembacaan mikroskopis baik diantara peserta
PME uji silang
c. Proporsi laboratorium yang mengikuti kegiatan PME 4x setahun
d. Jumlah kabupaten/kota melaporkan terjadinya kekosongan OAT ini

18
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Setelah melakukan Praktek manajemen TB Paru kurang lebih Satu bulan, Mahasiswa D4
Poltekkes kemenkes Gorontalo telah melaksanakan pengkajian, dan melakukan observasi
terhadap program pengendalian TB Paru yang di laksanakan di Puskesmas Piloloda’a. Dan
menyelesaikan Target praktek menejemen TB Paru dari institusi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penyakit Tuberculosis “TBC” masih
merupakan salah satu penyebab masalah kesehatan yang besar oleh kareana angka marbiditas
dan mortalitas yang masih tinggi. Setelah dilakukan pengkajian dan observasi pada Puskesmas
Piloloda’a terhadap program pengendalian TB ditemukan bahwa indikator capaian program
sudah memenuhi capaian.

B. SARAN

1. Diharapkan bahwa puskesmas dapat lebih mengembangkan program TB paru guna


mencapai dan membantu program pemerintah Indonesia untuk meraih target Indonesia
Bebas TB.
2. Memaksimalkan penjaringan suspect dan penemuan kasus baru di wilayah setempat
sehingga dapat menurunkan resiko penularan pada pasien yang sehat.
3. Memungkinkan untuk perlu adanya tambahan tenaga kesehatan, terutama analisis
laboratorium agar pemeriksaan hingga pembacaan sampel dapat dilakukan secara
maksimal.
4. Meningkatkan pelaksaan Healt Education mengenai penyakit menular terutama TBC .
5. Untuk OAT seharunya diletakkan pada apotik puskes setempat serta untuk pemberian
paket obat setiap minggunya harus diberikan dan dijelaskan oleh apoteker.

19
DAFTAR PUSTAKA

Kemenkes RI. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: Kemenkes RI

Naga S, S. 2014. Buku Panduan Lengkap Ilmu Penyakit Dalam. Yogyakarta: Diva Press.

Kemenkes RI. 2015. Profil pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. Jakarta :
Kemenkes RI

Chandra Budiman. 2012. Kontrol Penyakit Menular pada Manusia. Jakarta: EGC.

20

Anda mungkin juga menyukai