Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
oleh:
Yuji aditya
NIM. 1510029009
Pembimbing:
dr. Vera Madonna Sp.DV
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
alergi obat. Satu macam obat dapat menyebabkan lebih dari satu jenis erupsi, sedangkan
satu jenis erupsi dapat disebabkan oleh bermacam-macam obat.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis yang khas.
Pemeriksaan penunjang yang merupakan baku emas adalah tes provokasi oral, tes ini
bertujuan untuk mencetuskan tanda dan gejala klinis yang lebih ringan dengan pemberian
obat dosis kecil biasanya sudah cukup untuk memprovokasi reaksi dan provokasi
biasanya sudah muncul dalam beberapa jam. Penatalaksanaannya yang terutama adalah
penghentian penggunaan obat yang diduga mencetuskan FDE, pengobatan oral dengan
antihistamin dan pengobatan topikal tergantung lesi, jika basah diberikan kompres dan
jika kering dapat diberikan kortikosteroid topikal.
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan refleksi kasus ini adalah untuk mengetahui cara mengenali pasien
dengan Fixed Drug Eruption dan penanganan yang tepat bagi pasien dengan Fixed Drug
Eruption.
3
BAB II
STATUS PASIEN
2.2 Anamnesis
KU: kulit terkelupas dan gatal di seluruh badan
RPS: Seorang Laki-laki usia 42 tahun dengan keluhan kulit terkelupas di seluruh badan
disertai kemerahan, gatal, rasa panas dan perih sejak ± 1 minggu yang lalu. Keluhan ini
dirasakan di seluruh tubuh. Awalnya pasien merasakan gatal di badan, kemudian diikuti rasa
panas terus menerus dan tidak berkurang. Selain itu badan pasien menjadi merah, kemudian
muncul bintil-bintil yang berisi air di lengan dan kaki pasien, kemudian menghilang dan menjadi
hitam beberapa hari kemudian disertai dengan kulit yang mengelupas kecil-kecil. Pasien sudah
berobat ke puskesmas, namun keluhannya tidak berkurang. Sebelum keluhan muncul, pasien
mengaku mengkonsumsi obat herbal, dan keluhan gatal tersebut muncul beberapa jam kemudian.
Setelah keluhan muncul, obat herbal tersebut tidak dikonsumsi lagi.
4
RPK : - Tidak ada anggota keluarga mengalami keluhan yang sama
- Riwayat keluarga dengan gatal setiap makan makanan tertentu (-), riwayat mengi (-),
riwayat bersin2 pagi hari dan jika berada di lingkungan berdebu (+).
2. Status Dermatologi
Lokalisasi : Regio generalisata
Efloresensi : Tampak makula hipopigmentasi batas tegas, krusta halus.
5
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Skin test ( Tidak dilakukan )
Uji provokasi obat (tidak dilakukan)
Prick test (tidak dilakukan)
2.7 Tatalaksana
Non medikamentosa
Menghentikan obat penyebab keluhan secepatnya
Medikamentosa
Metilprednisolon 16 mg 1x2 tablet
6
Cetirizine 1x1 tablet
2.8 Prognosis
1. Quo ad vitam : bonam
2. Quo ad functionam : bonam
3. Quo ad sanationam : bonam
7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Fixed drug eruption (FDE) adalah reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan
yang terjadi akibat pemberian atau pemakaian jenis obat-obatan tertentu yang biasanya
dikarakteristik dengan timbulnya lesi berulang pada tempat yang sama dan tiap pemakaian
obat akan menambah jumlah dari lokasi lesi. Lesi fixed drug eruption berupa macula merah
terang atau merah gelap yang mungkin berkembang menjadi plak, bula, eritema, soliter
atau multipel. Lesi dapat dijumpai dikulit membrane mukosa yaitu bibir, badan, tungkai,
tangan dan genital. Tempat paling sering adalah bibir dan genital.
3.2 Epidemiologi
Beberapa penelitian tentang morfologi dan agen pencetus pada pasien-pasien
dengan erupsi obat di sebuah rumah sakit bagian kulit dan kelamin pada tahun 1986-1990
dilaporkan pada 135 kasus didapatkan perubahan morfologik akibat erupsi obat yang paling
sering adalah eksantematous (39%), urtikaria/angioedema (27%), FDE (16%), eritema
multiform (5,4%) dan reaksi kulit lainnya (18%). Sejak tahun 1956 proporsi dari reaksi
erupsi obat berupa urtikaria menurun dan terjadi peningkatan angka kejadian FDE.
Prevalensi erupsi obat dilaporkan berkisar dari 2-5% untuk pasien rawat inap dan
untuk pasien rawat jalan diatas 1%. FDE dapat terjadi sebanyak 16-21 % dari semua erupsi
obat pada kulit. Frekuensi yang sebenarnya mungkin lebih tinggi dari perkiraan saat ini.
Tidak ada kematian telah dikaitkan dengan FDE. Lesi luas pada awalnya mirip
nekrolisis epidermal toksik, tetapi mereka memiliki perjalanan klinis jinak.
Hiperpigmentasi yang terlokalisir adalah komplikasi umum, tapi rasa nyeri, infeksi, dan
hipopigmentasi, juga dapat terjadi.
Sebuah studi besar dengan 450 pasien mengungkapkan rasio laki- perempuan untuk
FDE adalah 1:1. FDE telah dilaporkan terjadi pada pasien termuda 8 bulan dan pasien
tertua 87 tahun. Usia rata-ratanya 30,4 tahun pada pria dan 31,3 tahun pada wanita.
8
3.3 Faktor Resiko
a. Sifat Obat
Obat dengan berat molekul besar (makromolekul) misalnya antiserum, streptokinase, L-
asparaginase dan insulin, merupakan antigen kompleks yang potensial untuk
menyebabkan sensitisasi pada pasien. Obat- obatan dengan berat molekul
rendah(dibawah 1000 Dalton) merupakan imunogen lemah atau tidak imunogenik.
b. Pajanan Obat
Pemberian obat secara topikal umumnya memiliki risiko terbesar untuk tersensitisasi,
sedangkan pemberian oral memiliki risiko paling kecil untuk tersensitisasi. Aplikasi
topikal menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Pemberian oral atau nasal
menstimulasi produksi imunoglobulin spesifik obat, yaitu IgA dan IgE, kadang – kadang
IgM.
Dosis dan lamanya pengobatan berperan pada perkembangan respons imunologik spesifik
obat, contohnya adalah pada lupus eritematosus yang diinduksi obat, dosis dan lamanya
pengobatan hidralazin merupakan faktor penting, demikian juga pada anemia hemolitik
yang diinduksi penisilin. Untuk beberapa reaksi yang lebih serius, resiko yang
berhubungan dengan pemberian obat lebih dari 2 bulan tampak lebih rendah
Dosis profilaksis tunggal antibiotika kurang mensensitisasi dibandingkan dengan
pengobatan parenteral lama dengan dosis tinggi. Frekuensi pemberian obat dapat
berdampak sensitisasi. Kerapnya pemberian obat lebih memicu reaksi alergi, interval
pengobatan makin lama, maka reaksi alergi lebih jarang terjadi.
c. Usia
Secara umum reaksi obat alergik dapa terjadi pada seluruh golongan, namun umumnya
anak - anak kurang tersensitisasi oleh obat dibandingkan dengan dewasa, walaupun
demikian ROA yang serius dapat juga terjadi pada anak-anak. Bayi dan usia lanjut jarang
mengalami alergi obat dan kalau pun terjadi lebih ringan, hal tersebut dikaitkan dengan
imaturitas atau involusi sistem imun.
d. Genetik
Gen HLA spesifik dihubungkan dengan risiko terjadinya alergi obat. Kemungkinan alergi
obat familial pernah dilaporkan. Di antara individu dewasa yang orang tuanya mengalami
reaksi alergi terhadap antibiotika, 25,6 % mengalami reaksi alergi terhadap agen
9
antimikroba; sedangkan individu dengan orang tua tanpa reaksi alergi, hanya 1,7%
mengalami reaksi alergi.
e. Reaksi Obat Sebelumnya
Faktor risiko terpenting adalah adanya riwayat reaksi terhadap obat sebelumnya.
Hipersensitivitas terhadap obat tidak sama dalam jangka waktu tidak terbatas. Sensitisasi
silang antara obat dapat terjadi, misalnya antara berbagai kelompok sulfonamid. Pasien
dengan riwayat hipersensitivitas memiliki peningkatan tendensi untuk terjadinya
sensitivitas terhadap obat baru, contohnya pasien dengan alergi penisilin memiliki
peningkatan risiko 10 kali untuk terjadinya alergi terhadap antimikroba non-β-laktam.
Reaksinya tidak terbatas pada hipersensitivitas tipe cepat.
f. Penyakit medis yang menyertai
Pasien dengan penyakit medis yang menyertai yang mempengaruhi sistem imun seperti
HIV-AIDS meningkatkan resiko dan frekuensi terjadinya ROA. Hal tersebut terjadi
akibat tertekannya sistem imun sehingga tubuh mengalami defisiensi limfosit T supresor
yang mengatur sintesis antibodi IgE. Contoh lain adalah ruam makulopapular setelah
pemberian ampisilin yang lebih sering terjadi selama infeksi virus Epstein-Barr dan di
antara pasien dengan leukemia limfatik.
3.4 Etiopatogenesis
Banyak obat yang dilaporkan dapat menyebabkan FDE. Yang paling sering
dilaporkan adalah phenolpthalein, barbiturate, sulfonamide, tetrasiklin, antipiretik
pyrazolone dan obat anti inflamasi non steroid.
10
Eritomisin Benzodiazepine Symaphatolitic
Trimethoprim Chlordiazepoxide Parasymphatolitic
Nistatin Antikonvulsan Hyoscine butylbromid
Griseofulvin Dextromethophan Magnesium hydroxide
Dapson Obat anti inflamasi non steroid Magnesium trisilicate
Arsen Aspirin Anthralin
Garam Merkuri Oxyphenbutazone Chlorthiazone
P amino salicylic acid Phenazone Chlorphenesin carbamat
e
Thiacetazone Metimazole Berbagai penambah ras
a makanan
Quinine Paracetamol
Reaksi kulit terhadap obat dapat terjadi melalui mekanisme imunologik atau non
imunologik. Yang dimaksud dengan erupsi obat adalah alergi terhadap obat yang terjadi
melalui mekanisme imunologik. Hal ini terjadi pada pemberian obat kepada pasien yang
sudah mempunyai hipersensitivitas terhadap obat tersebut. Disebabkan oleh berat
molekulnya yang rendah, biasanya obat itu berperan pada mulanya sebagai antigen yang
tidak lengkap atau hapten. Obat atau metaboliknya yang berupa hapten, harus
berkombinasi terlebih dahulu dengan protein, misalnya jaringan, serum atau protein dari
membran sel untuk membentuk kompleks antigen yaitu kompleks hapten protein.
Kekecualiannya ialah obat-obat dengan berat molekul yang tinggi yang dapat berfungsi
langsung sebagai antigen yang lengkap.
Meskipun mekanisme yang tepat tidak diketahui, penelitian terbaru menunjukkan
proses mediasi sel yang memulai lesi baik aktif dan pasif. Proses ini mungkin melibatkan
antibodi dependen. Sel CD8 + efektor / memori T memainkan peran penting dalam
reaktivasi lesi dengan paparan ulang obat yang bereaksi.
Secara umum terdapat 4 tipe reaksi imunologi yang dikemukakan oleh Coomb &
Gell, suatu reaksi alergi terhadap obat dapat mengikuti salah satu dari ke empat jalur
berikut ini:
a. Tipe I Reaksi Anafilaktik
11
Reaksi obat yang diperantarai IgE biasanya terjadi karena penisilin atau
golongannya. Reaksi dapat terjadi dalam beberapa menit setelah pemakaian obat.
Gejala biasanya bervariasi seperti pruritus, urtikaria, spasme bronkus, dan edema
laring bahkan dapat menyebabkan terjadinya syok anafilaktik dengan hipotensi dan
kematian. Sel mast dan basofil yang tersentisisasi akan melepaskan mediator-mediator
kimia (histamin) atau lemak (leukotriens / prostaglandin) yang akan menimbulkan
gejala klinik yang berbeda-beda tergantung dari interaksi organ target (kulit, sistim
respirasi, GIT atau sistim kardiovaskuler) dengan mediator kimia tersebut. Penelitian
terbaru mengatakan reaksi obat perantaraan IgE lebih diakibatkan peran basofil
daripada sel mast. Pelepasannya dipicu ketika terjadi konjugasi protein obat polifalen
yang terbentuk secara in vivo dan behubungan dengan molekul IgE yang
mensensitisasi sel-sel.
b. Tipe II Reaksi Sitotoksik
Reaksi tipe II hipersensitivitas Gell-Coombs dicirikan oleh interaksi antigen-
antibodi, mengakibatkan produksi lokal anafilotoksin (C5a), leukosit polimorfonuklear
(PMN) dan cedera jaringan akibat pelepasan hidrolitik neutrofil enzim setelah
autolisis. Reaksi tipe ini dapat disebabkan oleh obat (antigen) dan memerlukan
penggabungan antara IgE dan IgM dengan antigen yang melekat pada sel. Hal ini
menyebabkan efek sitolitik atau sitotoksik oleh sel efektor yang diperantai
komplemen.
Gabungan obat-antibodi-komplemen terfiksasi pada sel sasaran. Sebagai sel
sasaran ialah berbagai macam sel biasanya eritrosit, leukosit, trombosit yang
mengakibatkan lisis sel, sehingga reaksi tipe II disebut juga reaksi sitolisis atau
sitotoksik.
Erupsi obat alergik yang berhubugan dengan tipe ini ialah purpura, bila sel
sasarannya trombosit. Obat lain yang menyebabkan alergik tipe ini ialah penisilin,
sefalosporin, streptomisin, klorpromazin, sulfonamida, analgesik, dan antipiretik.
c. Tipe III Reaksi Kompleks Imun
Reaksi ini ditandai oleh pembentukan kompleks antigen, antibodi (IgG dan IgM)
dalam sirkulasi darah atau jaringan dan mengaktifkan komplemen. Komplemen yang
diaktifkan kemudian melepaskan berbagai mediator di antaranya enzim-enzim yang
12
dapat merusak jaringan. Kompleks imun akan beredar dalam sirkulasi dan kemudian
dideposit pada sel sasaran.
d. Tipe IV Reaksi Alergi Selular Tipe Lambat
Reaksi ini melibatkan limfosit, Antigen Presenting Cell (APC), dan sel
Langerhan yang mempresentasi antigen kepada limfosit T. Limfosit T yang
tersentisisasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini di sebut reaksi tipe lambat
karena baru timbul 12 - 48 jam setelah pajanan dengan antigen menyebabkan
pelepasan serangkaian limfokin.
Fixed drug eruption termasuk dalam reaksi tipe III dengan adanya reaksi kompleks
antigen antibodi.
13
Gambar 1. Gambaran FDE Pada Bibir
Ukuran lesi bervariasi mulai dari lentikuler sampai plakat. Lesi awal biasanya
soliter, tapi jika penderita meminum obat yang sama maka lesi yang lama akan timbul
kembali disertai dengan lesi yang baru. Namun jumlah lesi biasanya sedikit. Timbulnya
kembali lesi ditempat yang sama menjelaskan arti kata “fixed” pada nama penyakit
tersebut.
Lesi dapat dijumpai di kulit dan membran mukosa yaitu di bibir, badan, tungkai,
tangan dan genital. Tempat paling sering adalah ekstremitas dan genital. Lesi FDE pada
penis sering disangka sebagai penyakit kelamin karena berupa erosi yang kadang-kadang
cukup luas disertai eritema dan rasa panas setempat.
14
Gambar 2. Hiperpigmentasi Akibat FDE
Gejala lokal meliputi gatal dan rasa terbakar, dapat juga timbul demam dan malaise.
Tidak dijumpai pembesaran kelenjar getah bening regional. Lesi pada FDE jika
menyembuh akan meninggalkan bekas radang dengan hiperpigmentasi.
3.6 Diagnosis
a. Anamnesis
Keluhan pasien berupa kemerahan atau luka pada sekitar bibir, atau di kelamin, yang
terasa panas. Keluhan timbul setelah mengkonsumsi obat-obat yang sering menjadi
penyebab seperti Sulfonamid, barbiturat, trimetoprim, dan analgetik. Anamnesis yang
dilakukan harus mencakup riwayat penggunaan obat-obatan atau jamu. Kelainan timbul
secara akut atau dapat juga beberapa hari setelah mengkonsumsi obat. Keluhan lain
adalah rasa gatal yang dapat disertai dengan demam yang subfebris.
Faktor Risiko:
1. Riwayat konsumsi obat (jumlah, jenis, dosis, cara pemberian)
2. Riwayat alergi obat sebelumnya
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik tanda patognomonis lesi khas berupa vesikel, bercak eritema, lesi
target berbentuk bulat lonjong atau numular,kadang-kadang disertai erosi, bercak
hiperpigmentasi dengan kemerahan di tepinya, terutama pada lesi berulang.
c. Pemeriksaan Penunjang
Diperlukan untuk membuktikan jenis obat yang diduga sebagai penyebab yaitu:
a. Uji tempel tertutup dengan uji kulit yang digunakan untuk memastikan penyebab/
alergen yang diduga menjadi penyebab. Dilakukan dengan menempelkan alergen
penyebab di kulit.
b. Uji tusuk merupakan salah satu jenis tes kulit untuk menegakkan diagnosis alergi
dan memastikan penyebabnya. Alergen disuntikkan ke kulit disuntikkan ke kulit
15
akan berinteraksi dengan IgE sehingga vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah sehingga eritem/ bentol pada kulit tersebut .
c. Uji provokasi obat merupakan metode pemberian obat terkontrol untuk
menegakkan diagnosis reaksi hipersensitivitas terhadap obat pada pasien dengan
riwayat dugaan alergi obat.
Penegakkan diagnosis harus dimulai dari pendeskripsian yang akurat dari jenis lesi
dan distribusinya serta tanda ataupun gejala lain yang menyertainya. Data mengenai
semua jenis obat yang pernah dimakan pasien, dosisnya, data kronologis mengenai cara
pemberian obat serta jangka waktu antara pemakaian obat dengan onset timbulnya erupsi
harus ikut dikumpulkan. Tetapi ada kalanya hal ini sulit untuk dievaluasi, terutama pada
penderita yang mengkonsumsi obat yang mempunyai waktu paruh yang lama atau
mengalami erupsi reaksi obat yang bersifat persisten.
16
Lesi patognomonik adalah lesi target pada kulit yang terdiri dari bula dikelilingi
oleh edema dan eritema. Lesi pada eritema multiforme lebih besar, tidak teratur, lebih
dalam, biasanya berdarah, dan dapat terjadi pada semua mukosa mulut. Lesi pada bibir
khas berbentuk lesi yang ditutupi krusta merah kehitaman.
b. Post-Inflammatory Hiperpigmentasi (PIH) adalah masalah yang sering dihadapi dan
merupakan gejala sisa dari gangguan kulit serta berbagai intervensi terapeutik.
3.9 Penatalaksanaan
Seperti pada penyakit immunologis lainnya, pengobatan alergi obat adalah dengan
menetralkan atau mengeluarkan obat tersebut dari dalam tubuh., epinephrine adalah drug
of choice pada reaksi anafilaksis. Untuk alergi obat jenis lainnya, dapat digunakan
pengobatan simptomatik dengan antihistamin dan kortikosteroid. Penghentian obat yang
dicurigai menjadi penyebab harus dihentikan secepat mungkin. Tetapi, pada beberapa
kasus adakalanya pemeriksa dihadapkan dua pilihan antara risiko erupsi obat dengan
manfaat dari obat tersebut.
a. Penatalaksanaan Umum
Melindungi kulit. Pemberian obat yang diduga menjadi penyebab erupsi kulit
harus dihentikan segera.
Menjaga kondisi pasien dengan selalu melakukan pengawasan untuk mendeteksi
kemungkinan timbulnya erupsi yang lebih parah atau relaps setelah berada pada
fase pemulihan.
b. Penatalaksanaan Khusus
1. Sistemik
Kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik.
Dengan dosis 1-4 mg/kgbb/hari pada keluhan berat dan 0,5mg/kgbb/hari pada
keluhan ringan.
Antihistamin. Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika
terdapat rasa gatal. Dapat diberikan tabet hiroksisin 10 mg/hari 2 kali sehari
selama7 hari atau tablet loratadine 1x10 mg/hari selama 7 hari.
18
2. Topikal
Pemberian topical tidak spesifik, tergantung dari keadaan lesi dan luas lesi.
Terapi sistemik lain yang pernah dilaporkan adalah penggunaan siklosporin,
plasmafaresis, dan imunoglobulin intravena.
3.10 Komplikasi
Hiperpigmentasi adalah komplikasi yang paling mungkin dari FDE. Potensi untuk
infeksi ada dalam kasus lesi multipel erosi.Erupsi generalisata telah dilaporkan setelah
pengujian provokasi topikal dan oral.
3.11 Prognosis
Pada dasarnya FDE akan menyembuh bila penyebabnya dapat diketahui dan segera
disingkirkan. Akan tetapi beberapa bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan-kelainan
berupa sindrom Lyell dan sindrom Steven Johnson, prognosis dapat menjadi buruk
bergantung pada luas kulit yang terkena.
19
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Anamnesis
TEORI FAKTA
TEORI FAKTA
TEORI FAKTA
20
4.4 Penatalaksanaan
TEORI FAKTA
4.5 Prognosis
1. Quo ad vitam :bonam karena penyakit FDE ini tidak mengancam nyawa.
2. Quo ad functionam: bonam karena tidak mengakibatkan gangguan fungsi organ
tubuh lainnya.
3. Quo ad sanationam: dubia ad bonam karena penyakit ini dapat sembuh dengan
pengobatan yang benar dan kepatuhan pasien dalam pengobatan.
4. Quo ad cosmetica: dubia ad bonam karena lesi dermatitis seboroik bisa
menimbulkan jaringan parut, hiperpigmentasi atau hipopigmentasi
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Partogi D. Fixed Drug Eruption. [homepage on the Internet]. 2008 [cited 2014 Feb 20].
Available from: Universitas Sumatra Utara, Web site:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3411/1/08E00858.pdf
2. Butler DF, Ilse JR, Schwartz RA. Fixed Drug Eruptions, [homepage on the Internet].
2012 [cited 2014 Feb 20]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1336702-overview
3. Retno Widowati Soebaryo, Tantien Nugrohowati, Evita Halim Effendi. Skin test in drug
eruption. Five years experience at Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta
2004; 13(2): 81-5.
4. Hamzah M. Erupsi Obat Alergik Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Edisi V. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. 2008; 154–8.
5. Zaenglein AL, Graber EM, Thiboutot DM, Strauss JS. Cutaneus Reactions To Drugs. In:
Shear NH, Knowles SR, Sullivan JR, Shapiro L, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2007.p.454-5.
6. Orcin M, Maibach H & Dahl MV Dermatology A Lange Medical Book. New York:
Appleton and Lange; 1991.
7. Mizukawa Y, Shiohara T. Trauma-Localized Fixed Drug Eruption: Involvement of Burn
Scars, Insect Bites and Venipuncture Sites. Dermatology 2002; 205:159-161.
8. Waikato H. Fixed Drug Eruption. [homepage on the Internet]. 2012 [cited 2014 Feb 22].
Available from: http://www.dermnetnz.org/reactions/fixed-drug-eruption.html
9. Rajan TV, The Gell–Coombs classification of hypersensitivity reactions: a re-
interpretation. TRENDS in Immunology 2003; 24(7):376-9.
10. Graham R, Brown TB. Lecture's Notes Dermatology. Jakarta: Erlangga EMS; 2002.
pp.56-34
11. Williams D. Fixed drug eruption. [homepage on the Internet]. 2012 [cited 2014 Feb 22].
Available from: http://www.onlinedermclinic.com/archive/fixed-drug-eruption
22
12. Malheiro D, Cadinha S, Rodrigues J, Vaz M, Castel-branco Mg. Nimesulide-induced
fixed drug eruption. Allergol et Immunopathol 2005; 33(5):285-7.
13. Lee CH, Chen YC, Cho YT, Chang CY,Chu CY. Fixed-drug eruption: A retrospective
study in a single referral center in northern Taiwan. Dermatologica Sinica 2012; 30:11-
15.
14. Shiohara T, Fixed drug eruption. Current Opinion in Allergy and Clinical Immunology.
Tokyo: Kyorin University School of Medicine; 2009. pp.316-321
15. Plaza JA, Prieto VG, James WD. Erythema Multiforme, [homepage on the Internet].
2013 [cited 2014 Mar 15]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1122915-overview
16. Schwartz RA, Kihiczak NI, Hantash BM. Postinflammatory Hyperpigmentation.
[homepage on the Internet]. 2013 [cited 2014 Mar 15]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1069191-clinical#a0217
23