Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan penyakit yang terjadi setelah
berbagai macam penyakit yang merusak masa nefron ginjal sampai pada titik
keduanya tidak mampu untuk menjalankan fungsi regulatorik dan
ekstetoriknya untuk mempertahankan homeostatis (Lukman et al., 2013).
Gagal gijal kronik secara progresif kehilangan fungsi ginjal nefronnya satu
persatu yang secara bertahap menurunkan keseluruhan fungsi ginjal
(Sjamsuhidajat & Jong, 2011). Setiap tahun penderita penyakit gagal ginjal
meningkat, di Amerika serikat pada tahun 2002 sebanyak 34.500 penderita,
tahun 2007 80.000 penderita, dan tahun 2010 mengalami peningkatan yaitu 2
juta orang yang menderita penyakit ginjal. Sedangkan di Indonesia menurut
Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia jumlah yang menderita penyakit
gagal ginjal kronik sekitar 50 orang per satu juta penduduk (Lukman et al.,
2013). Data Dinkes Jawa tengah (2008) bahwa angka kejadian kasus gagal
ginjal di Jawa Tengah yang paling tinggi adalah Kota Surakarta dengan 1497
kasus (25.22 %) dan di posisi kedua adalah Kabupaten Sukoharjo yaitu 742
kasus (12.50 %). Tindakan medis yang dilakukan penderita penyakit gagal
ginjal adalah dengan melakukan terapi dialisis tergantung pada keluhan pasien
dengan kondisi kormobid dan parameter laboratorium, kecuali bila sudah 2
ada donor hidup yang ditentukan, keharusan transplantasi terhambat oleh
langkanya pendonor. Pilihan terapi dialisis meliputi hemodialisis dan
peritoneal dialisis (Hartono, 2013). Hemodialisis (HD) merupakan salah satu
terapi untuk mengalirkan darah ke dalam suatu alat yang terdiri dari dua
kompartemen yaitu darah dan dialisat. Pasien hemodialisis mengalami
kecemasan karena takut dilakukan tindakan terapi hemodialisis. Menurut
Soewandi (2002) gangguan psikiatrik yang sering ditemukan pada pasien
dengan terapi hemodialisis adalah depresi, kecemasan, hubungan dalam
perkawinan dan fungsi seksual, serta ketidakpatuhan dalam diet dan obat-
obatan
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang di maksud dengan gagal ginjal kronik ?
2. Apakah etiologi dari gagal ginjal kronik ?
3. Bagaimana patofisiologi gagal ginjal kronik ?
4. Apakah komplikasi dari gagal ginjal kronik ?
5. Apakah manifestasi klinis dari gagal ginjal kronik ?
6. Apakah pemeriksaan penunjang dari gagal ginjal kronis ?
7. Bagaimana penatalaksaan dari gagal ginjal kronis ?
8. Bagaimana asuhan keperawatan dari gagal ginjal kronis ?

C. Manfaat
Informasi yang diperoleh dari penulisan makalah ini dapat bermanfaat
dan menambah pengetahuan atau informasi bagi mahasiswa/i serta penulis
sehingga menjadi lebih mengerti
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah
metabolik tubuh atau melakukan fungsi regulernya. Suatu bahan yang
biasanya di eliminasi di urine menumpuk dalam cairan tubuh akibat gangguan
ekskresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin dan metabolik,
cairan, elektrolit, serta asam basa (Toto Suharyanto, dkk., 2009: 183).
Pada tahun 2002, National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease
Outcome Quality Initiative (K/DOQI) telah menyusun pedoman praktis
penatalaksanaan klinik tentang evaluasi, klasifikasi, dan stratifikasi penyakit
ginjal kronik. Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronik
(PGK) adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan,
berdasarkan kelainan patologis. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal,
diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerolus
kurang dari 60 ml/menit/1,73 m². Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal
lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73 m², tidak
termasuk kriteria CKD. 10 Gagal ginjal kronik (chronic renal failure, CRF)
terjadi apabila kedua ginjal sudah tidak mampu mempertahankan lingkungan
dalam yang cocok untuk kelangsungan hidup, kerusakan pada kedua ginjal ini
irreversible (Mary Baradero,dkk., 2009: 124).
Gagal ginjal kronik merupakan suatu penurunan fungsi jaringan ginjal
secara progresif sehingga massa ginjal yang masih ada tidak mampu lagi
mempertahankan lingkungan internal tubuh (Black & Hawks, 2005). Adapun
batasan penyakit ginjal kronik menurut Suwitra (2006) bahwa penyakit ginjal
kronik adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam,
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya
berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan
klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel, pada
suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa
dialysis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan
laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal
pada penyakit ginjal kronik.
Menurut The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI)
of the National Kidney Foundation (NKF) pada tahun 2009, mendefenisikan
gagal ginjal kronis sebagai suatu kerusakan ginjal dimana nilai dari GFR nya
kurang dari 60 mL/min/1.73 m2 selama tiga bulan atau lebih. Dimana yang
mendasari etiologi yaitu kerusakan massa ginjal dengan sklerosa yang
irreversibel dan hilangnya nephrons ke arah suatu kemunduran nilai dari GFR.
Tahapan penyakit gagal ginjal kronis berlangsung secara terus-
menerus dari waktu ke waktu. The Kidney Disease Outcomes Quality
Initiative (K/DOQI) mengklasifikasikan gagal ginjal kronis sebagai berikut:

Stadium 1: kerusakan masih normal (GFR >90 mL/min/1.73 m²)


Stadium 2: ringan (GFR 60-89 mL/min/1.73 m²)
Stadium 3: sedang (GFR 30-59 mL/min/1.73 m²)
Stadium 4: gagal berat (GFR 15-29 mL/min/1.73 m²)
Stadium 5: gagal ginjal terminal (GFR <15 Ml/min/1.73 m²)
Pada gagal ginjal kronis tahap 1 dan 2 tidak enunjukkan tanda-tanda
kerusakn ginjal termasuk komposisi darah yang abnormal atau urin
abnormal (Arora, 2009).

B. Patofisiologi
Berdasarkan proses perjalanan penyakit dari berbagai penyebab pada
akhirnya akan terjadi kerusakan nefron. Bila nefron rusak maka akan terjadi
penurunan laju filtrasi glomerolus dan terjadilah penyakit gagal ginjal kronik
yang mana ginjal mengalami gangguan dalam fungsi eksresi dan dan fungsi
non-eksresi. Gangguan fungsi non-eksresi diantaranya adalah gangguan
metabolism vitamin D yaitu tubuh mengalami defisiensi vitamin D yang mana
vitamin D bergunan untuk menstimulasi usus dalam mengabsorpsi kalsium,
maka absorbs kalsium di usus menjadi berkurang akibatnya terjadi
hipokalsemia dan menimbulkan demineralisasi ulang yang akhirnya tulang
menjadi rusak. Penurunan sekresi eritropoetin sebagai factor penting dalam
stimulasi produksi sel darah merah oleh sumsum tulang menyebabkan produk
hemoglobin berkurang dan terjadi anemia sehingga peningkatan oksigen oleh
hemoglobin (oksihemoglobin) berkurang maka tubuh akan mengalami
keadaan lemas dan tidak bertenaga. Gangguan clerence renal terjadi akibat
penurunan jumlah glomerulus yang berfungsi.penurunan laju filtrasi
glomerulus di deteksi dengan memeriksa clerence kretinin urine tamping 24
jam yang menunjukkan penurunan clerence kreatinin dan peningkatan kadar
kreatinin serum. Retensi cairan dan natrium dapat megakibatkan edema, CHF
dan hipertensi. Hipotensi dapat terjadi karena aktivitasbaksis rennin
angiostenin dan kerjasama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron.
Kehilangan garam mengakibatkan resiko hipotensi dan hipovolemia. Muntah
dan diare 20 menyebabkan perpisahan air dan natrium sehingga status uremik
memburuk. Asidosis metabolic akibat ginjal tidak mampu menyekresi asam
(H+ ) yang berlebihan. Penurunan sekrsi asam akibat tubulus ginjal tidak
mampu menyekresi ammonia (NH3 - ) dan megapsorbsi natrium bikarbonat
(HCO3 - ). Penurunan eksresi fosfat dan asam organic yang terjadi. Anemia
terjadi akibat produksi eritropoietin yang tidak memadai, memendeknya usia
sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk mengalami
perdarahan akibat status uremik pasien terutama dari saluran pencernaan.
Eritropoietin yang dipreduksi oleh ginjal menstimulasi sumsum tulang untuk
menghasilkan sel darah merah dan produksi eritropoitein menurun sehingga
mengakibatkan anemia berat yang disertai dengan keletihan, angina dan sesak
nafas. Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat merupakan gangguan
metabolism. Kadar kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan timbal balik.
Jika salah satunya meningkat maka fungsi yang lain akan menurun. Dengan
menurunnya filtrasi melaui glomerulus ginjal maka meningkatkan kadar fosfat
serum, dan sebaliknya, kadar serum kalsium menurun. Penurunan kadar
kalsium serum menyebabkan sekresi parahhormon dari kelenjar paratiroid,
tetapi gagal ginjal tubuh tidak dapat merspons normal terhadap peningkatan
sekresi parathormon sehingga kalsium ditulang menurun, menyebabkan
terjadinya perubahan tulang dan penyakit tulang. (Nursalam, 2007).

C. Etiologi
Menurut Price dan Wilson (2005) klasifikasi penyebab gagal ginjal
kronik adalah sebagai berikut :
1. Penyakit infeksi tubulointerstitial
2. Penyakit peradangan
3. Penyakit vaskuler hipertensif
4. Gangguan jaringan ikat
5. Gangguan congenital dan herediter
6. Penyakit metabolic
7. Nefropati toksik
8. Nefropati obstruktif

D. Manifestasi Klinis
a. Perubahan frekuensi kencing
b. Sering ingin berkemih pada malam hari
c. Pembengkakan pada bagian pergelangan kaki
d. Kram otot pada malama hari
e. Lemah dan lesu, kurang berenergi, Nafsu makan turun, mual, dan muntah
f. Sulit tidur, bengkak seputar mata pada pagi waktu bangun pagi hari atau
mata merah dan berair (uremic red eyes) karena deposit garam kalsium
fosfat yang dapat menyebabkan iritasi hebat pada selaput lendir mata
g. Kulit gatal dan kering
(Anggota IKAPI,2008)

E. Komplikasi
Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut O’Callaghan (2006) yaitu:
1. Komplikasi Hematologis
Anemia pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh produksi
eritropoietin yang tidak adekuat oleh ginjal dan diobati dengan pemberian
eritropoietin subkutan atau intravena. Hal ini hanya bekerja bila kadar
besi, folat, dan vitamin B12 adekuat dan pasien dalam keadaan baik.
Sangat jarang terjadi, antibodi dapat terbentuk melawan eritropoietin yang
diberikan sehingga terjadi anemia aplastik.
2. Penyakit vascular dan hipertensi
Penyakit vascular merupakan penyebab utama kematian pada gagal
ginjal kronik. Pada pasien yang tidak menyandang diabetes, hipertensi
mungkin merupakan faktor risiko yang paling penting. Sebagaian besar
hipertensi pada penyakit ginjal kronik disebabkan hipervolemia akibat
retensi natrium dan air. Keadaan ini biasanya tidak cukup parah untuk bisa
menimbulkan edema, namun mungkin terdapat ritme jantung tripel.
Hipertensi seperti itu biasanya memberikan respons terhadap restriksi
natrium dan pengendalian volume tubuh melalui dialysis. Jika fungsi
ginjal memadai, pemberian furosemid dapat bermanfaat.
3. Dehidrasi
Hilangnya fungsi ginjal biasanya menyebabkan retensi natrium dan
air akibat hilangnya nefron. Namun beberapa pasien tetap
mempertahankan sebagian filtrasi, namun kehilangan fungsi tubulus,
sehingga mengekskresi urin yang sangat encer, yang dapat menyebabkan
dehidrsi.
4. Kulit
Gatal merupakan keluhan keluhan kulit yang paling sering terjadi.
Keluhan ini sering timbul pada hiperparatiroidime sekunder atau tersier
serta dapat disebabkab oleh deposit kalsium fosfat apda jaringan. Gatal
dapat dikurangi dengan mengontrol kadar fosfat dan dengan krim yang
mencegah kulit kering. Bekuan uremik merupakan presipitat kristal ureum
pada kulit dan timbul hanya pada uremia berat. Pigmentasi kulit dapat
timbul dan anemia dapat menyebabkan pucat.
5. Gastrointestinal
Walaupun kadar gastrin meningkat, ulkus peptikum tidak lebih
sering terjadi pada pasien gagal ginjal kronik dibandingkan populasi
normal. Namun gejala mual, muntah, anoreksia, dan dada terbakar sering
terjadi. Insidensi esofagitis serta angiodisplasia lebih tinggi, keduanya
dapat menyebabkan perdarahan. Insidensi pankreatitis juga lebih tinggi.
Gangguan pengecap dapat berkaitan dengan bau napas yang menyerupai
urin.
6. Endokrin
Pada pria, gagal ginjal kronik dapat menyebabkan kehilangan
libido, impotensi, dan penurunan jumlah serta motilitas sperma. Pada
wanita, sering terjadi kehilangan libido, berkurangnya ovulasi, dan
infertilitas. Siklus hormon pertumbuhan yang abnormal dapat turut
berkontribusi dalam menyebabkan retardasi pertumbuhan pada anak dan
kehilangan massa otot pada orang dewasa.
7. Neurologis dan psikiatrik
Gagal ginjal yang tidak diobati dapat menyebabkan kelelahan,
kehilangan kesadaran, dan bahkan koma, sering kali dengan tanda iritasi
neurologis (mencakup tremor, asteriksis, agitasi, meningismus,
peningkatan tonus otot dengan mioklonus, klonus pergelangan kaki,
hiperefleksia, plantar ekstensor, dan yang paling berat kejang). Aktifitas
Na+/K+ ATPase terganggu pada uremia dan terjadi perubahan yang
tergantung hormon paratiroid (parathyroid hormone, PTH) pada transpor
kalsium membran yang dapat berkontribusi dalam menyebabkan
neurotransmisi yang abnormal. Gangguan tidur seringterjadi. Kaki yang
tidak biasa diam (restless leg) atau kram otot dapat juga terjadi dan kadang
merespons terhadap pemberian kuinin sulfat. Gangguan psikiatrik seperti
depresi dan ansietas sering terjadi dan terdapat peningkatan risiko bunuh
diri.
8. Imunologis
Fungsi imunologis terganggu pada gagal ginjal kronik dan infeksi
sering terjadi. Uremia menekan fungsi sebagaian besar sel imun dan
dialisis dapat mengaktivasi efektor imun, seperti komplemen, dengan tidak
tepat.
9. Lipid
Hiperlipidemia sering terjadi, terutama hipertrigliseridemia akibat
penurunan katabolisme trigliserida. Kadar lipid lebih tinggi pada pasien
yang menjalani dialisis peritoneal daripada pasien yang menjalani
hemodialisis, mungkin akibat hilangnya protein plasma regulator seperti
apolipoprotein A-1 di sepanjang membran peritoneal.
10. Penyakit jantung
Perikarditis dapat terjadi dan lebih besar kemungkinan terjadinya
jika kadar ureum atau fosfat tinggi atau terdapat hiperparatiroidisme
sekunder yang berat. Kelebihan cairan dan hipertensi dapat menyebabkan
hipertrofi ventrikel kiri atau kardiomiopati dilatasi. Fistula dialisis
arteriovena yang besara dapat menggunakan proporsi curah jantung dalam
jumlah besar sehingga mengurangi curah jantung yang dapat digunakan
oleh bagian tubuh yang tersisa.

F. Pemeriksaan Penunjang
Untuk mengidentifikasinya terjadinya gagal ginjal perlu dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut untuk menentukan sejauh mana perjalanan penyakit
ini. Identifikasi yang dilakukan antara lain yaitu urinalisis, untuk melihat
kualitas dan karakteristik kimia urin, pemeriksaan urin 24 jam untuk melihat
apakah ada peningkatan kadar ureum dan kadar kreatinin serum, renal imaging
yaitu ultrasound scanning dengan tindakan noninvasif untuk melihat bentuk,
ukuran ginjal, posisi, adanya massa pada ginjal, dan renal biopsy yaitu
tindakan invasif dengan mengambil sedikit jaringan ginjal yang akan diperiksa
lebih lanjut di laboratorium (Redmond A & McClelland H, 2006).

G. Penatalaksanaan
1) Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal
ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi
toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan
memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk
mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama
dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus
adekuat dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan
positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat
supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral Kebutuhan jumlah mineral dan
elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan penyakit ginjal
dasar (underlying renal disease).
2) Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum
kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis
metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium
bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum
bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
b. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu
pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi
darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan
utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain
adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang
harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan
simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis
reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal
paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang
diderita.
3) Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5,
yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala
toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh
terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan
memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu
indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam
indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik,
bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan
diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic
Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif,
yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah,
dan astenia berat (Sukandar, 2006).
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai
sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya
dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah
kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas
hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi
sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal
(Rahardjo, 2006).
b. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal
Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia.
Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur
lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit
sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami
perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV
shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal)
dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik
disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu
keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan
sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar,
2006).
c. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan
faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
1) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh
(100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih
70-80% faal ginjal alamiah
2) Kualitas hidup normal kembali
3) Masa hidup (survival rate) lebih lama
4) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan
dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
5) Biaya lebih murah
ASUHAN KEPERAWATAN GAGAL GINJAL KRONIS

A. Fokus Pengkajian
1. Pengkajian fokus keperawatan yang perlu diperhatikan pada penderita
gagal ginjal kronik menurut Doeges (2000), dan Smeltzer dan Bare (2002)
ada berbagai macam, meliputi :
a. Demografi
Lingkungan yang tercemar, sumber air tinggi kalsium beresiko untuk
gagal ginjal kronik, kebanyakan menyerang umur 20-50 tahun, jenis
kelamin lebih banyak perempuan, kebanyakan ras kulit hitam.
b. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat infeksi saluran kemih, penyakit peradangan, vaskuler
hipertensif, gangguan saluran penyambung, gangguan kongenital dan
herediter, penyakit metabolik, nefropati toksik dan neropati obstruktif.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat penyakit vaskuler hipertensif, penyakit metabolik, riwayat
menderita penyakit gagal ginjal kronik.
d. Pola kesehatan fungsional
1) Pemeliharaan kesehatan
Personal hygiene kurang, konsumsi toxik, konsumsi makanan
tinggi kalsium, purin, oksalat, fosfat, protein, kebiasaan minum
suplemen, kontrol tekanan darah dan gula darah tidak teratur pada
penderita tekanan darah tinggi dan diabetes mellitus.
2) Pola nutrisi dan metabolik
Perlu dikaji adanya mual, muntah, anoreksia, intake cairan
inadekuat, peningkatan berat badan cepat (edema), penurunan berat
badan (malnutrisi), nyeri ulu hati, rasa metalik tidak sedap pada
mulut (pernafasan amonia), penggunanan diuretic, demam karena
sepsis dan dehidrasi.
3) Pola eliminasi
Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut),
abdomen kembung, diare konstipasi, perubahan warna urin.
4) Pola aktivitas dan latihan
Kelemahan ekstrim, kelemahan, malaise, keterbatsan gerak sendi.
5) Pola istirahat dan tidur
Gangguan tidur (insomnia/gelisah atau somnolen)
6) Pola persepsi sensori dan kognitif
Rasa panas pada telapak kaki, perubahan tingkah laku, kedutan
otot, perubahan tingkat kesadaran, nyeri panggul, sakit kepala,
kram/nyeri kaki (memburuk pada malam hari), perilaku
berhatihati/distraksi, gelisah, penglihatan kabur, kejang, sindrom
“kaki gelisah”, rasa kebas pada telapak kaki, kelemahan
khusussnya ekstremitas bawah (neuropati perifer), gangguan status
mental, contoh penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan
berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau.
7) Persepsi diri dan konsep diri
Perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan,
menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan
kepribadian, kesulitan menentukan kondisi, contoh tak mampu
bekerja, mempertahankan fungsi peran. 8) Pola reproduksi dan
seksual Penurunan libido, amenorea, infertilitas, impotensi dan
atropi testikuler.
2. Pengkajian Fisik
a. Keluhan umum : lemas, nyeri pinggang.
b. Tingkat kesadaran komposmentis sampai koma.
c. Pengukuran antropometri : berat badan menurun, lingkar lengan atas
(LILA) menurun.
d. Tanda vital : tekanan darah meningkat, suhu meningkat, nadi lemah,
disritmia, pernapasan kusmaul, tidak teratur.
e. Kepala :
1) Mata: konjungtiva anemis, mata merah, berair, penglihatan kabur,
edema periorbital.
2) Rambut: rambut mudah rontok, tipis dan kasar.
3) Hidung : pernapasan cuping hidung
4) Mulut : ulserasi dan perdarahan, nafas berbau ammonia,
mual,muntah serta cegukan, peradangan gusi.
5) Leher : pembesaran vena leher.
6) Dada dan toraks : penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan
dangkal dan kusmaul serta krekels, nafas dangkal, pneumonitis,
edema pulmoner, friction rub pericardial.
7) Abdomen : nyeri area pinggang, asites.
8) Genital : atropi testikuler, amenore.
9) Ekstremitas : capirally refill time > 3 detik,kuku rapuh dan kusam
serta tipis, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki,
foot drop, kekuatan otot.
10) Kulit : ecimosis, kulit kering, bersisik, warnakulit abu-abu,
mengkilat atau hiperpigmentasi, gatal (pruritas), kuku tipis dan
rapuh, memar (purpura), edema.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan retensi cairan serta natrium
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan kurang asupan makan
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidak seimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen

C. Intervensi
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan retensi cairan serta natrium
NOC : keseimbangan cairan
Tujuan : kebutuhan cairan klien terpenuhi
Criteria hasil :
a. Terbebas dari edema
b. Menjelaskan indikator kelebihan cairan
NIC :
a. Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
b. Monitor indikasi retensi / kelebihan cairan (cracles, CVP , edema,
distensi vena leher, asites)
c. Monitor masukan makanan / cairan dan hitung intake kalori harian
d. Batasi masukan cairan pada keadaan hiponatrermi dilusi dengan
serum Na < 130 mEq/l
e. Monitor vital sign
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan kurang asupan makan
NOC : Status nutrisi
Tujuan : asupan nutrisi klien terpenuhi
Kriteria hasil :
a. Adanya peningkatanberat badan sesuaidengan tujuan
b. Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
c. Tidak ada tandatanda malnutrisi
NIC:
a. penahapan diet
b. manajemen elektrolit/ cairan
c. monitor cairan
d. monitor nutrisi
e. monitor TTV

3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidak seimbangan antara suplai


dan kebutuhan oksigen
NOC : toleransi terhadap aktivitas
Tujuan : klien dapat melakukan aktivitas sehari-hari
Kriteria hasil :
a. Berpartisipasi dalam aktifitas fisik tanpa diserti peningkatan tekanan
darah, nadi dan RR
b. Mampu melakukan aktifitas sehari-hari secara mandiri
NIC :
a. Peningkatan mekanika tubuh
b. Bantuan perawatan diri
c. Manejemen energy
d. Terapi oksigen
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ginjal (renal) adalah organ tubuh yang memiliki fungsi utama untuk
menyaring dan membuang zat-zat sisa metabolisme tubuh dari darah dan
menjaga keseimbangan cairan serta elektrolit (misalnya kalsium, natrium, dan
kalium) dalam darah. Gagal ginjal adalah suatu kondisi di mana ginjal tidak
dapat menjalankan fungsinya secara normal.
Gagal ginjal kronis, penurunan fungsi ginjal terjadi secara perlahan-
lahan. Proses penurunan fungsi ginjal dapat berlangsung terus selama berbulan-
bulan atau bertahun-tahun sampai ginjal tidak dapat berfungsi sama sekali (end
stage renal disease).Gangguan fungsi ginjal yang menahun bersifat progresif
dan irreversibel, dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan
uremia(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah)

B. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan yaitu :
1. Persiapan diri sebaik mungkin sebelum melaksanakan tindakan asuhan
keperawatan
2. Bagi mahasiswa diharapkan bisa melaksakan tindakan asuhan keperawatan
sesuai prosedur yang ada.
DAFTAR PUSTAKA

Arora, P (2009). Cronic renal failure. Website http://www.emedicinehealth.com.


Baradero, M., Wilfrid Dayrit, Yakobus Siswadi., 2009. Klien Gangguan
Kardiovaskular. Jakarta : EGC
Black & Hawks. (2005). Medical Surgical Nursing Clinical Management for
Positive Outcomes (Ed.7). St. Louis: Missouri Elsevier Saunders
Doenges, M. E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa: I
Made K., Nimade S. Jakarta: EGC.
Lukman. Nabila et al. 2013. Hubungan Tindakan Hemodialisa dengan Tingkat
Depresi Klien Penyakit Ginjal Kronik di BLU RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado. Ejournal Keperawatan (e-Kp). Vol 1. No.1 Agustus
2013
Madjid dan Suharyanto. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan
Gangguan Sistem Perkemihan/Toto Suharyanto, Abdul Madjid; Copy
Editor: Agung Wijaya, A.md-Jakarta : TIM
Nanda Internasional. 2015 .Diagnosis Keperawatan 2012-2014. EGC : Jakarta.
Nursalam. (2007). Manajemen Keperawatan: Aplikasi dalam Praktik Keperawatan
Profesional. Jakarta: Salemba Medika.
Sjamsuhidayat, R. dan De Jong. 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, Copy
Editor: Adinda Candralela. EGC : Jakarta
Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah. EGC : Jakarta
American College of Surgeon Committee of Trauma,2004.Advanced
Trauma Life Support Seventh Edition.Indonesia: Ikabi
Sukandar, E., 2006. Neurologi Klinik. Edisi ketiga. Bandung: Pusat Informasi
Ilmiah (PII) Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD.
Suwitra. K. (2006). Penyakit Ginjal Kronik. Dalam Sudoyo, A.W., dkk., Editor.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi keempat. Penerbit
Depertemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai