Anda di halaman 1dari 34

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Preeklampsia merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan
morbiditas maternal serta perinatal diseluruh dunia, dimana diperkirakan terjadi
50.000 - 60.000 kematian ibu akibat preeklampsia setiap tahunnya. Di Asia
sendiri hampir 1 dari 10 dari semua kematian maternal dihubungkan dengan
hipertensi dalam kehamilan. Namun, patogenesis dari preeklampsia hanya
sebagian dipahami dimana terkait gangguan plasentasi pada awal kehamilan, yang
diikuti oleh inflamasi generalisata dan kerusakan endolial yang progresif.
Terdapat juga ketidakpastian lainnya yaitu diagnosis, skrining dan
penatalaksanaan preeklampsia masih kontroversial, begitu juga dengan klasifikasi
tingkat keparahannya. Namun, secara umum diterima bahwa hipertensi onset baru
selama kehamilan disertai timbulnya proeinuria dapat digunakan untuk
mengidentifikasi preeklampsia. Meskipun perubahan patologis terjadi sangat
awal di kehamilan , hipertensi dan proteinuria biasanya menjadi jelas di seperdua
akhir kehamilan.1
Obesitas, hipertensi kronik dan diabetes merupakan beberapa diantara faktor
resiko preeklampsia, begitupun nuliparitas, kehamilan usia muda dan kondisi lain
yang mengakibatkan hiperplasentasi dan plasenta yang besar seperti pada
kehamilan kembar.Preeklampsia biasanya diklasifikasikan sebegai ringan dan
berat. Kematian ibu dapat terjadi pada kasus berat, tapi berkembangnya
preeklampsia dari ringan ke berat kadang berlangsung cepat, tidak terduga dan
kadang-kadang fulminant. Pencegahan utama preeklampsia masih kontroversial
dan dibutuhkan penelitian aktif khususnya penggunaan anti inflamasi dan
mikronutrien seperti kalsium, vitamin D dan suplemen antioksidan vitamin C dan
vitamin E.
Satu-satunya terapi definitif untuk preeklampsia ialah terminasi
kehamilan/persalinan janin dan plasenta, meskipun pada beberapa wanita

1
preeklampsia juga terjadi pada post partum. Penatalaksanaan terhadap wanita
preeklampsia bertujuan untuk meminimalka komplikasi terkait kehamilan lebih
lanjut, menghindari prematuritas yang tidak perlu dan memaksimalkan ketahanan
hidup ibu dan bayi.1

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PENDERITA


Nama : Ny. FI
Umur : 34 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pend. Terakhir :-
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Suku : Bugis
Status : Menikah
Alamat : Jl. Petta Odo, Pare-pare
Nama Suami : Tn.GF
Tanggal MRS : 27 Desember 2017
No.RM : 14-16-56

2.2 ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
G2P1A0, Nyeri Kepala
2. Riwayat Penyakit Sekarang
G2P1A0, dirujuk dari Puskesmas dengan tekanan darah tinggi serta
didapatkan protein dalam kencingnya. Awalnya pasien datang ke Puskesmas
dengan nyeri kepala yang dirasakan mendadak, disertai rasa sesak. Mual dan
muntah disangkal, begitupun penglihatan kabur juga disangkal. Pelepasan air,
lendir dan darah tidak ada.Gerakan janin masih dirasakan ibu. BAB normal.
BAK lancar normal.
HPHT : Tidak diketahui
3. Riwayat Menstruasi

3
Usia Menarche : 13 Tahun
Siklus Haid : 28-30 hari
Lama Haid : 7 hari
Banyak Darah Haid : 2-3 kali ganti pembalut per hari
4. Riwayat Menikah
Menikah satu kali pada tahun 2012
5. Riwayat Obstetri:
2013/L/3200 gr/Persalinan Normal
2017/Kehamilan sekarang
Tidak menggunakan kontrasepsi
6. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit Asma (-), Diabetes melitus (-), Hipertensi (-). Riwayat
perdarah di tempat lain (-). Riwayat trauma (-), alergi obat dan makanan (-),
tidak pernah menderita gangguan yang sama di kehamilan sebelumya.
7. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit Asma (-), Diabetes melitus (-), Hipertensi (-). Riwayat
perdarah di tempat lain (-), alergi obat dan makanan (-), riwayat keganasan (-).
8. Riwayat Sosioekonomi
Pasien sehari-hari bekerja sebagai pembantu rumah tangga, dengan tingkat
penghasilan menengah ke bawah. Pasien telah menikah satu kali, namun
hubungan dengan suaminya tidak begitu baik dan mereka sudah tidak tinggal
bersama. Pasien tidak memiliki jaminan sosial, bahkan pasien tidak pernah
memeriksakan kehamilannya selama hamil. Dukungan keluarga dan
sekitarnya terhadap penyakit pasien kurang suportif.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


1. Keadaan Umum
- Kesan : Tampak Sakit Sedang
- Kesadaran : E4M6V5 (composmentis)

4
- Keadaan gizi : TB : 155 cm, BB: 61 kg, IMT: 25,41 kg/m2
2. Tanda Vital
- Tekanan Darah : 160/100 mmHg
- Nadi : 88 x/m
- Respirasi :20 x/m
- Suhu Tubuh :36,8oC
3. Pemeriksaan Fisik Umum
- Mata : anemis (-/-), ikterus (-/-)
- Jantung : S1S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
- Paru : Vesikuler (-/-), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
- Ekstremis : edema (+/+) pada ekstremitas inferior, akral teraba
dingin (-)

2.4 STATUS OBSTETRIK


1. Pemeriksaan luar abdomen:
- Inspeksi : Abdomen tampak mengalami pembesaran, tidak ada
tanda-tanda peradangan, bekas operasi (-)
- Palpasi :TFU: pertengahan pusat-px, 23 cm, LP: 90 cm
Situs: Memanjang, Punggung: Kanan
Bagian terbawah janin : Kepala
His tidak ada
DJJ 148x/m
Perlimaan: 5/5
Gerakan anak dirasakan ibu
Anak Kesan Tunggal
TBJ: 2070 gr
2. Pemeriksaan Dalam Vagina:
Tidak Dilakukan

5
2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hitung Darah
Hb : 13,4 g/dl
Leukosit : 15,96 x 103/mm3
Eritrosit : 5,31 x 106/mm3
HCT : 39,6 %
PLT : 375 x 103/mm3
Urinalisa
Protein : Positif (+2)
Kimia Darah
SGOT : 21 U/l
SGPT : 9 U/l
Urea : 21 mg/dl
Kreatinin : 0,8 mg/dl
Serologi Darah
HbsAg : negatif (kualitatif)
Pembekuan Darah
CT : 10’00”
BT : 2’00”
Ultrasonografi
Gravid tunggal, hidup, intruterine, letak kepala, pengukuran FL dan BPD sesuai
usia kehamilan 33-34 minggu.
2.6 RESUME
Perempuan G2P1A0 dirujuk oleh Puskesmas dengan tekanan darah tinggi
disertai proteinuria. Awalnya pasien ke Puskesmas datang dengan keluhan sesak
nafas.dengan keluhan nyeri kepala. Pada pemeriksaan didapatkan tekanan darah
160/100 mmHg, denyut nadi 88 kali/menit, laju nafas 20 kali per menit dan suhu
36,80C. Pemeriksaan fisik didapatkan ekstremitas inferior oedem bilateral. Pada
leopold didapatkan TFU pada sekitar pertengahan umbilikus ke prosesus

6
xyphoideus, situs memanjang, punggung bayi sebelah kanan, letak terbawah
kesan kepala, perlimaan 5/5, anak kesan tunggal. Pemeriksaan analisa urin
didapatkan protein urin +positif 2. Pada pemeriksaan USG didapatkan kesan
Gravid tunggal, hidup, intruterine, letak kepala, pengukuran FL dan BPD sesuai
usia kehamilan 33-34 minggu.

2.7 DIAGNOSA
G2P1A0 gravid 33-34 minggu, belum inpartu
Preeklampsia Berat

2.8 PENATALAKSANAAN
1. Prosedur Tetap Preeklampsia:
- Loading Dose MgSO4 4 gr + Ringer Laktat 100 cc, habis dalam 30
menit
- Lanjut mainteance dose MgSO4 6 gr + Ringer Laktat 500 cc, habis
dalam 6 jam (20 tetes per menit)
2. Nifedipin 10 mg/8 jam/ oral
3. Metyldopa 250 mg/ 8 jam/ oral (terapi dari dokter penyakit dalam)
4. Dexamethasone 6 mg/12 jam/ IM, 4 kali pemberian
5. Observasi keadaan umum, tekanan darah dan keadaan janin
6. Rencana pemeriksaan : EKG 12 Lead dan USG obstetri

7
2.9 FOLLOW UP
Hari/tanggal Subjek (S) ; Objektif (O) ; Assesment Planning (P)
(A)
Kamis, S : Pusing (+), sakit kepala (+) 1. IVFD RL+MgSO4 6
28/12/2017 BAB baik, BAK lancar gr 20 tetes/menit
O: 2. Nifedipin 10 mg/8
KU: Sedang/ Compos mentis jam/ oral
Tekanan darah : 140/90 mmHg 3. Metyldopa 250 mg/ 8
Nadi : 80x/ menit jam/ oral
Pernapasan : 20 x/menit 4. Dexamethasone 6 mg
Suhu : 36,7oC / 12 jam/ IM
DJJ : 148 x/menit
Ekstremitas : Edema +/+ (ex. Inferior)
EKG : Sinus Rhytm
USG : Gravid tunggal, intrauterine,
letak kepala pengukuran FL dan BPD
sesuai usia kehamilan 33-34 minggu
A : G2P1A0 + 33-34 minggu + PEB

Jumat S : Pusing (+), sakit kepala (+), sesak 1. O2 via Nasal Kanul 4
29/12/2017 (+) liter/menit
BAB baik, BAK lancar 2. IVFD RL+MgSO4 6
O: gr 20 tetes/menit
KU: Sedang/ Compos mentis 3. Nifedipin 10 mg/8
Tekanan darah : 200/170 mmHg jam/ oral
Nadi : 84 x/ menit 4. Furosemide 2 amp/IV
Pernapasan : 28 x/menit 5. Recana sectio
Suhu : 36,7oC caesarea cito

8
DJJ : 148 x/menit Instruksi Post Op:
Post op: - Observasi KU dan
Lahir Bayi: laki-laki, hidup, BB = tanda vital
1800 gr, PB= 44 cm - IVFD RL 500 cc +
MgSO4 6 gr 20
tetes/menit
- IVFD RL 500 cc +
Oksitosin 10 IU 12
tetes/menit
- Asam traneksamat 1
gr/ drips
- Ceftriaksone 1 gr/ 12
jam/ IV
- Metronidazole 500
mg/ 8 jam/ IV
- Ranitidin 50 mg/ 12
jam/ IV
- Ketorolac 30 mg/ 8
jam/ IV
- Nifedipine 10 mg/ 8
jam/ IV
- Tidak boleh duduk
1x24 jam

Sabtu S : Nyeri post op (+), nyeri kepala (-), - IVFD RL 500 cc +


30/12/2017 nyeri ulu hati (-), pandangan kabur (-), MgSO4 6 gr 20
BAB belum, BAK per kateter tetes/menit
O: - Ceftriaksone 1 gr/ 12

9
KU: Sedang, Compos Mentis jam/ IV
Tekanan darah : 140/90 mmHg - Metronidazole 500
Nadi : 84x/ menit mg/ 8 jam/ IV
Pernapasan : 20 x/i - Ketorolac 30 mg/ 8
Suhu : 36,7oC jam/ IV
Anemis: (-) - Nifedipine 10 mg/ 8
TFU : Setinggi umbilicus jam/ oral
Kontraksi : Baik - Furosmide 20 mg/24
Verband : Kering jam/IV
Lochia : Rubra - Dulcolax supp 2 tablet
ASI : (-/-)
A:
Post SC hari I + PEB
Minggu S : Nyeri post op (+), nyeri kepala (-), - IVFD RL
31/12/2017 nyeri ulu hati (-), pandangan kabur (-), - Ceftriaksone 1 gr/ 12
BAB belum, BAK lancar jam/ IV
O: - Metronidazole 500
KU: Sedang, Compos Mentis mg/ 8 jam/ IV
Tekanan darah : 170/110 mmHg - Ketorolac 30 mg/ 8
Nadi : 84x/ menit jam/ IV
Pernapasan : 20 x/i - Nifedipine 10 mg/ 8
Suhu : 36,7oC jam/ oral
Anemis: (-) - Metyldopa 250 mg/ 8
TFU : Setinggi umbilicus jam/ oral
Kontraksi : Baik - Furosmide 20 mg/24
Verband : Kering jam/IV
Lochia : Rubra
Ekstremitas: Edema +/+ (ex. Inferior)

10
ASI : (-/-)
A : Post SC hari II + PEB
Senin S : Nyeri post op (+), Demam (-), nyeri - Cefadroxil 500 mg/12
1/1/2018 kepala (-), nyeri ulu hati (-), pandangan jam/ oral
kabur (-), BAB belum, BAK lancar - Metronidazole 500
O: mg/8 jam/ oral
KU: Sedang, Compos Mentis - Asam mefenamat 500
Tekanan darah : 160/100 mmHg mg/8 jam/ oral
Nadi : 84x/ menit - Sulfat ferous 1 tab/ 24
Pernapasan : 20 x/i jam/ oral
Suhu : 36,7oC - Nifedipine 10 mg/ 8
Anemis: (-) jam/ oral
TFU : Setinggi umbilicus - Metyl dopa 250 mg/
Kontraksi : Baik 24 jam/ oral
Verband : Kering - Furosemide 20 mg/ 24
Lochia : Rubra jam/ oral
Ekstremitas: Edema +/+ (ex. Inferior)
ASI : (-/-)
A : Post SC hari III + PEB

11
2.10 DISKUSI
Pasien adalah seorang wanita berusia 34 tahun yang sedang hamil
untuk kedua kalinya tanpa riwayat keguguran. Riwayat hari pertama
haid terakhir tidak diketahui. Awalnya pasien datang ke puskesmas
dengan keluhan nyeri kepala disertai sesak yang dirasakan secara
mendadak. Kemudian berdasarkan pemeriksaan di puskesmas
didapatkan bahwa pasien memiliki tekanan darah tinggi dan
proteinuria, sehingga pasien dirujuk dengan diagnosa preklampsia ke
rumah sakit. Tindakan ini sudah tepat dikarenakan preeklamsia
merupakan kompetensi 3B dimana setelah ditegakkan diagnosis maka
sebaiknya penanganan hingga tuntas tidak dilaksanakan di fasilitas
kesehatan tingkat pertama melainkan dirujuk ke fasilitas kesehatan
yang lebih lengkap serta preeklampsia merupakan keadaan gawat
darurat dimana dibutuhkan penanganan awal sebelum dilakukan
perujukan.
Saat sampai di rumah sakit, pasien diperiksa lengkap, dan
didapatkan keluhan yang sama yaitu nyeri kepala disertai sesak,
tekanan darah 160/100 mm Hg, edema tungkai bilateral, Pada
pemeriksaan fisik obstetri didapatkan TFU pada sekitar pertengahan
umbilikus ke prosesus xyphoideus, situs memanjang, punggung bayi
sebelah kanan, letak terbawah kesan kepala, perlimaan 5/5, anak kesan
tunggal. Jika melihat dari informasi tersebut maka pasien dapat
dipastikan mengalami hipertensi dalam kehamilan dan masih
dibutuhkan pemeriksaan lebih jauh apakah pasien menderita
preeklampsia atau penyakit lain yang merupakan spektrum gangguan
hipertensi dalam kehamilan. Setelah dilakukan pemeriksaan
proteinuria didapatakan protein urin +2. Sehingga pasien didiagnosa
preeklampsia berat dengan dasar hipertensi berat dimana tekanan
darah sistolik mencapai 160 mm Hg dan didapatkan proteinuria +2.

12
Dalam penatalaksanaan preeklampsia maka perlu diketahui
usia kehamilan dan berat penyakit untuk menentukan terapi yang
tepat, baik apakah dilakukan terapi aktif ataupun ekspektatif. Pada
kasus ini, pasien tidak mengingat kapan hari pertama haid terakhir
sehingga penentuan umur kehamilan dapat diperkirakan berdasarkan
pemriksaan tinggi fundus serta pemeriksaan USG. Sebagaimana
dikatakan sebelumnya, pemeriksaan tinggi fundus didapatkan antara
pertengahan umbilikus ke processus xiphoideus sehingga
kemungkinan usia kehamilan pasien sekitar 30-32 minggu. Setelah itu
ultrasonografi dilakukan dan menunjukkan bahwa usia kehamilan
ialah sekitar 33-34 minggu. Dalam hal ini penentuan usia kehamilan
sebaiknya didasarkan pada keputusan pemberi terapi berdasarkan
manfaat yang diinginkan dikarenakan terdapat perbedaan antara hasil
perkiraan USG dan pemeriksaan fisik. Namun, penentuan usia
kehamilan dengan menggunakan USG pada trimester akhir kehamilan
kurang tepat jika dijadikan sebagai dasar utama. Sehingga diputuskan
usia kehamilan pasien ialah sekitar 33-34 minggu, dengan harapan
agar setidaknya pemberian pematangan paru tetap sesuai indikasi usia
kehamilan, terlebih lagi usia kehamilan tersebut merupakan batas
antara dibutuhkannya terapi pematangan paru atau tidak. Maka, pada
pasien ini diberikan pematagan paru untuk mengantisipasi
kemungkinan dilakukannya tindakan aktif yaitu terminasi jika terdapat
indikasi.
Berdasarkan keadaan klinis dan tekanan darah pasien dapat
dikategorikan mengalami preeklampsia berat, dimana berdasarkan
beberapa literatur ialah bahwa salah satu ukuran preeklampsia
dikatakan berat jika tekanan darah mencapai nilai untuk dikatakan
hipertensi berat, yaitu tekanan darah sistolik lebih dari sama dengan
160 mm Hg dan atau tekanan darah diastolik lebih dari sama dengan

13
110 mm Hg, dimana pada pasien ini tekanan darah sistoliknya ialah
160 mm Hg.Hasil ini membawa konsekuensi antara lain ialah
diperlukanya terapi yang ditujukan untuk menurunkan tekanan darah
serta terapi yang ditujukan terhadap preeklampsia berat khususnya
mencegah eklampsia yang dapat terjadi kapan saja. Berdasarkan
beberapa literatur maka pasien telah sesuai mendapatkan
antihipertensi nifedipine 10 mg dua kali sehari, serta mendapatkan
pemberian MgSO4 sebagai pencegahan eklampsia.Selain itu MgSO4
juga dapat membantu menurunkan tekanan darah pasien. MgSO4 pada
pasien ini diberikan dalam dua dosis, yaitu loading dose sebanyak 4 gr
dan maintenance dose sebanyak 6 gr.
Sebagaimana telah diketahui sebelumnya, dikarenakan usia
kehamilan tidak dapat ditetukan secara akurat serta kemungkinan usia
kehamilan masih di bawah 34 minggu maka pasien diberikan terapi
pematangan paru, dalam hal ini dexamethasone 6 mg per 12 jam
selama 2 hari sambil menilai apakah ada perbaikan gejala atau
diperlukannya penanganan aktif jika terdapat indikasi.
Pada hari ke-2 perawatan pasien mengalami perburukan gejala
dimana sesak bertmbah berat dan tekanan darah meningkat menjadi
200/110 mm Hg bahkan dengan pengobatan dua antihiperensi disertai
pemberian MgSO4. Pada keadaan ini resiko terjadinya komplikasi
yang lebih berat dari preeklampsia berat sangat besar, sehingga
diputuskan dilakukan penanganan aktif berupa tindakan terminasi
kehamilan melalui Sectio Caesarea.
Bayi pasien yang berhasil dilahirkan dengan usia kehamilan
yang belum aterm memiliki berat badan sekitar 1800 gram dan
panjang badan 44 cm. Tidak ada komplikasi yang signifikan yang
terjadi selama operasi.

14
Setelah operasi dilakukan pemantauan terhadap gejala klinis
dan secara khsuus terhadap tekanan darah pasien.Sebagaimana
diketahui resiko perburukan penyakit masih tetap ada bahkan setelah
dilakukannya persalinan untuk mengeluarkan janin dan plasenta, maka
pemantaua pasca salin tentu saja penting dilaakukan dengan seksama.
Selain itu berdasarkan alasan resiko tersebut maka tindakan
pencegahan komplikasi penyakit khususnya resiko terjadinya
eklampsia maka pasien tetap diberikan MgSO4 24 jam pasca salin
dengan maintenance dose 6 gr yang habis dalam 6 jam.
Dada hari pertama setelah operasi tidak terdpat perburukan
gejala serta tekanan darah pasien menunrun menjdi 140/90 mm Hg,
dimana ini merupakan tanda yang baik. Pada hari kedua tekanan darah
sistolik pasien meningkat ke 170 mm Hg, yang hal ini dapat
merupakan akibat dari dihentikannya pemberian MgSO4. Namun,
bukan berarti pemberian MgSO4 harus dilanjutkan, akan teapi
penurunn tekanan darah di harapkan menjadi tugas utama obat-obatan
antihipertensi yang diberikan ke pasien yaitu Nifedipine dan metyl
dopa. Pada hari ketiga pasca operasi tekanan darah mulai turun
kembali menjadi 160/100 mm Hg, serta gejala juga terjadi perbaikan.
Sebagai tambahan, dikarenakan keterbelakangan keadaan
sosioekonomi pasien, selama masa kehamilannya pasien tidak pernah
memeriksakan kehamilan ke petugas kesehatan, sehingga besar
kemungkinannya pasien telah lama menderita tekanan darah tinggi
namun belum menunjukkan gejala. Selama masa perawatan pasien
juga tidak menginginkan untuk merawat anaknya. Hal ini tentunya
membawa resiko kesakitan yang besar bagi anak pasien, dikarenakan
selain lahir dari persalinan preterm, anak juga tidak mendapatkan ASI
dan secara sosioekonomi kurang mendapatkan dukungan. Pasien juga
melarikan diri dari rumah sakit sebelum diijinkan pulang, dengan

15
kondisi tekanan daah yang masih tinggi tanpa membawa bekal obat
untuk mengontrol tekanan darah. Hal ini tentunya dapat
mengakibatkan komplikasi pada pasien jika terus berlanjut.

16
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Preeklampsia adalah sebuah sindrom yang yang mencakup timbulnya
hipertensi onset baru pada seperdua akhir kehamilan. Meskipun seringkali
disertai proteinuria, preeklampsia dapat juga disertai banyak tanda dan
gejala, mencakup gangguan visual, sakit kepala, nyeri epigastrium, dan
timbulnya edema secara cepat.2
Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik lebih dari sama
dengan 140 mm Hg dan atau tekanan darah diastolik lebih dari sama
dengan 90 mm Hg. Hipertensi dianggap ringan sampai tekanan darah
sistolik lebih dari sama dengan 160 mm Hg atau tekanan darah diastolik
lebih dari sama dengan 110 mm Hg.Sebaiknya diagnosis hipertensi
dilakukan setelah pengukuran dua kali dengan jarak setidaknya empat
jam, namun pada kasus dimana terdapat hipertensi berat maka diagnosis
dapat ditegakkan dengan interval yang lebih singkat bahkan dalam
hitungan beberapa menit saja.2
Proteinuria didiagnosis ketika ekskresi protein dalam urin selama 24
jam lebih dari sama dengan 300 mg atau rasio protein terhadap kreatinin
(rasio protein/kreatinin) dalam sekali berkemih melebihi 3,0. Pengukuran
secara kualitatif dengan menggunakan dipstik dimana didapatkan +1
dianggap sebagai proteinuria tapi memiliki nilai positif palsu dan negatif
palsu yang besar, namun dapat digunakan ketika metode kuantitatif tidak
dapat digunakan dan dibutuhkan keputusan yang segera.2
Eklampsia adalah fase konfulsif dari gangguan hipertensi dalam
kehamilan dan merupakan manifestasi berat dari penyakit. Sering kali
didahului oleh keadaan seperti nyeri kepala dan hiperlefleksia, namun
dapat juga timbul tanpa disertai tanda dan gejala.2

17
Penting untuk diketahui bahwa preeklampsia termasuk preeklampsia
yang disertai keterlibatan organ sistemik berat bahkan kejang juga dapat
2
terjadi pada periode postpartum.

3.2 Epidemiologi dan Faktor Resiko


Sejumlah keadaan klinis yang meningkatkan resiko preeklampsia
dicantumkan pada tabel 1. Resiko preeklampsia meningkat dua sampai
empat kali pernah mengalami preeklampsia pada kehamilan sebelumnya
dan meninkat tujuh kali lipat jika preeklampsia mengalami komplikasi
pada kehamilan sebelumnya. Kehamilan majemuk (multiple) juga
merupakan sebuah faktor resiko, dimana kehamilan triplet resikonya lebih
tinggi dari kehamilan kembar dua. Faktor resiko kardiovaskuler klasik
seperti usia lebih dari 40 tahun, diabetes, obesitas dan hipertensi
sebelumnya juga meningkatkan kemungkinan preeklampsia. Perlu juga
diketahui bahwa kebanyakan kasus preeklampsia terjadi pada wanita
sehat nulipara yang bahkan tidak memiliki resiko resiko yang jelas.2

No Faktor Resiko
1 Primipara
2 Preeklampsia sebelumnya
3 Hipertensi kronik
4 Penyakit ginjal kronik
5 Riwayat thrombofilia
6 Kehamilan majemuk
7 Fertlisasi invitro
8 Riwayat keluarga preeklamsia
9 Diabetes melitus tipe1 dan tipe 2
10 Obesitas

18
11 Systemic Lupus Eritematosa
12 Usia lanjut, lebih dari 40 tahun
Tabel 1. Faktor Resiko Preeklampsia (Dikutip dari kepustakaan 2)
3.3 Etiopatofiologi
Beberapa tulisan yang menjelaskn eklampsia telah dilacak bahkan sampai
2200 tahun sebelum masehi. Sehingga tidak mengherankan jika sejumlah
besar teori mekanisme telah diajukan untuk menjelaskan penyebabnya.
Beberapa diantaranya yang dianggap tidak jelas dan berbahaya telah
dikesampingkn. Saat ini beberapa penyebab yang paling dapat dipahami
ialah antara lain:
1. Invasi trofoblastik abnormal dari pembuluh darah uterus.
Pada implantasi normal, arteri spiralis uterina mengalami remodelling
yang besar dimana terinvasi trofoblas endovaskuler. Namun, pada
preeklampsia, terdapat invasi trofoblastik yang inkomplit. Pada kasus
ini, pembuluhdarah desidua, menjadi sejajar dengan trofoblas
endovaskuler. Meekin dan koleganya menemukan bahwa jumlah defek
invasi trofoblas sebanding dengan tingkat keparahan gangguan
hipertensi. Dengan mnggunakan mikroskop elektron, didapatkan
perubahan-perubahan pada preeklampsia dini mencukup erusakan
endotelial, insudasi penyusun plasma ke dinding pembuluh darah,
proliferasi sel miointima dan nekrosis. Kemudian lemak berakumulasi
di sel miointima dan selanjutnya makrofag sehingga menyebabkan
aterosis. Pembuluh darah yang mengalami aterosis mengalami dilatasi
aneurismatik dan paling banyak didapatkan pada arteri spiralis yang
gagal melakukan daptasi normal. Obstruksi arterioler spiralis oleh
aterosis dapat memngganggu aliran darah plasenta. Hal ini lah yang
selanjutnya dianggap sebagai dasar patologis sindrom preeklampsia.3

19
Gambar 1. Gambaran mikroskopik (kiri) dan ilustrasi (kanan)
perubahan patologis arteri spiralis pada preeklampsia (Dikutip dari
kepustakaan 3)

Gambar 2. Bagan Ilustrasi patofisiologi preeklampsia (Dikutip dari


kepustakaan 3)
Dalam berbagai cara, perubahan inflamatik merupakan kelanjutan
dari proses yang telah dijelaskan diatas. Sebagai respon, faktor-faktor
pada plasenta dilepaskan akibat perubahan iskemik atau penyebab
pencetus lainnya, maka terjadi sebuah kaskade yang saling
mempengaruhi, termasuk timbulnya stress oksidatif dan lepasnya

20
sitokin-sitokin akibat disfungsi endotel (gambar 2).3
2. Intoleransi imunologis antara jaringan maternal dan fetoplasenta
Terdapat bukti yang mendukung teori bahwa preeklampsia dimediasi
imun, dimana perubahan mikrokopik pada pertemuan maternal-
plasental tampak seperti reaksi penolakan graft akut. Ini dapat terjadi
ketika imunisasi efektif oleh kehamilan sebelumnya kurang, secara
jelas terlihat kehamilan pertama atau pada kehamilan ganda dimana
antigen yang terdapat pada plasenta jauh lebih besar dari ketersediaan
atibodi yang terbentuk. 3
Dekker dan sibai (1998) telah menjabarkan kemungkinan
peran maladaptasi imun pada patofisiologi preeklampsia. Dimulai
pada trimester kedua, wanita yang mengalami preeklampsia memiliki
proporsi sel T helper (Th1) yang jauh lebih sedikit dibandingkan
wanita yang tekanan darahnya normal. Terjadi imbalansi antara
Th1/Th2, dimana terdapat dominansi Th2, yang mungkin dimediasi
adenosin. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya adenosin yang
lebih tinggi pada serum wanita yang mengalami preeklampsia.
Thelper limfosit ini mensekresi sitokin spesifik yang mendukung
terjadinya implantasi, dan disfungsi menyebabkan preeklampsia.3
3. Maladaptasi maternal terhadap perubahan kardiovaskuler atau
inflmatorik dari kehamilan normal
Pada banyak cara, perubahan inflamatorik merupakan kelanjutan dari
penyebab akibat plasenta yang didiskusikan diatas. Sebagai respon
terhadap faktor plasenta yang dilepaskan oleh perubahan iskemik,
atau penyebab lain. Desidua juga mengandung sejumlah sel yang
ketika teraktifasi dapat elepaskan agen-agen yang sifatnya merusak.
Ini kemudian menjadi mediator yang memprovokasi cedera sel
endotelial.3
Redman dan koleganya (1999) telah mengajukan bahwa

21
disfungsi sel endotelial yang terkait preeklampsia dapat terjadi akibat
penyimpangan adaptasi inflamatorik intravaskuler maternal
menyeluruh terhadap kehamilan. Dalam hipotesis ini, preeklampsia
dianggap akibat keadaan aktifasi leukosit secara berlebihan di
sirkulasi maternal. Secara singkat, sitokin seperti tumor necrosis alfa
dan interleukin berkontribusi terhadap stress oksidatif pada
preeklampsia, sehingga mencederai sel endotelial, memodifikasi
produksi nitrat oksida dan menggangu keseimbagan prostaglandin.3
4. Defisiensi diet
Sejumlah defisiensi atau kelebihan asupan telah dianggap
menyebabkan eklampsia sejak lama. Makanan tersebut mencakup
daging-dagingan, protein, purin, lemak, produk ternak, garam dan
elemen lain. Sebagai contoh, tekanan darah pada wanita yang tidak
hamil dipengaruhi oleh sejumlah asupan mencakup mineral dan
vitamin. Hal ini diikuti oleh studi suplementasi dengan sejumlah
elemen sperti zink, kalsium dan magnesium untuk mencegah
preeklampsia. Studi lainnya juga mengemukakan diet banyak buah
dan sayuran yang memiliki aktifitas antioksidan dihubungkan dengan
penunrunan tekanan. Sebagaimana juga obeesitas merupakan salah
satu faktor resiko terjadinya preeklampsia. Beberapa bukti
menunjukkan obesitas daat menunjukkan aktifasi endotel dan respon
inflamatorik yang dapat mengarah pada aterosklerosis, serta protein
C-reaktif, sebuah penanda inflamasi tampaknya meningkat pada
orang obesitas. 3
5. Pengaruh genetik
Predisposisi herediter terhadap hipertensi tidak dapat diragukan lagi
dan begitupun juga dengan preeklampsia, dimana terdapat tendensi
preeklampsia diwariskan. 3

22
3.4 Diagnosis
a. Anamnesis
Preeklampsia biasanya asimtomatik, tapi nyeri kepala, penurunan
kesadaran (somnolen), gangguan visal, nausea, muntah, atau nyeri
epigastrium timbul pada stadium akhir penyakit. 5
b. Pemeriksaan
Hipertensi biasanya merupakan tanda pertama. Edema didapatkan
pada sebagian besar kehamilan, namun pada pre eklampsia dapat
terjadi secara masif, tidak dipengaruhi oleh postur dan terjadi secara
tiba-tiba. Selain itu bisa juga didapatkan nyeri tekan epigastrium.5

Gambar 3. Ilustrasi gambaran klinis preeklampsia (Dikutip dari


kepustakaan 5)

23
Diagnostik kriteria dari preeklampsia mencakup timbulnya hipertensi,
yang idefinisikan sebagai tekanan darah sistolik yang persiten lebih
dari sama dengan 140 mm Hg, dan atau tekanan darah diastolik lebih
dari sama dengan 90 mm Hg setelah usia kehamilan 20 minggu pada
wanita yang sebelumnya memiliki tekanan darah yang normal.2
Pengukuran tekanan darah yang optimal dilakukan dengan
pasien duduk nyaman, tungkai tidak saling menyilang serta punggung
dan lengan tersanggah, sehingga bagian tengah manset pada lengan
atas berada pada setinggi atrium kanan (bagian tengah sternum).
Pasien sebaiknya diinstruksikan tidak bicara dan santai selama
pengukuran dilakukan.2
Sebagaimana diketahui sebelumnya, hipertensi tidak mejadi
ukuran bahwa pasien menderita preeklampsia; kriteria lain
dibutuhkan. Pada kebanyakan kasus, ialah roteinuria. Namun dalam
keadaan tidak didapatkannya proteinuria yang mencapai atau
melebihi ambang batas diagnostik, beberapa hal berikut dapat diambil
untuk membuat diagnosis, yaitu, onset baru trombositopenia,
gangguan fungsi hati, insufisiensi ginjal, edema pulmoner, atau
gangguan visual dan serebral.2
Proteinuria didefinisikan sebagai ekskresi setidaknya 300 mg
protein pada pengumpulan urin 24 jam. Sbagai alternatif, rasio
protein/kreatinin ssetidaknya 0,3. Tes dipstik +1 juga dianggap
sebagai proteinuria, namun dikarenakan ini merupakan metode
kualitatif sehingga memiliki nilai positif palsu dan negatif palsu yang
besar, maka sebaiknya hanya digunakan jika tidak tersedia metode
pengukuran kuantitatif atau dibutuhkan hasil pengukuran segera.2
Alteratif lain dalam keadaan tidak terdapatnya proteinuria yang
menyertai hipertensi, maka dapat digunakan parameter lain untuk
menegakkan diagnosis anatara lain; Trombositopenia dalam hal ini

24
didefinisikan sebagai hitung trombosit darah kurang dari 100.000/
mikroliter, gangguan fungsi hati dalam hal ini didefinisikan
sebagaipeningkatan konsentrasi darah enzim transaminase dua kali
konsentrasi normal, insufisiensi ginjal ialah ketika konsentrasi
kreatinin serum lebih dari 1,1 mg/dl, edema pulmoner, atau onset
baru gangguan serebral atau visual. Oleh karena itu, proteinuria
bukan merupakan penentu absolut yang dibtuhkan untuk diagnosis
preeklampsia.2
Temuan Kriteria
Tekanan darah Sistolik > 140 mm Hg dan atau Diastolik > 90
mm Hg
Ditambah
Proteinuria - > 300 mg/24 jam
- Rasio protein/kreatinin > 0,3
- Tes Dipstick +1, jika metode diatas tidak
tersedia
Jika tidak ditemukan proteinuria
Trombositopenia Hitung trombosit < 100.000/ mikroliter
Insufisiensi ginjal Konsentrasi kreatinin serum > 1,1 mg/dl
Gangguan fungsi Konsentrasi serum enzim transaminasi lebih
hati dari dua kali nilai normal
Edema Pulmoner
Gangguan visual
dan serebral
Tabel 2. Kriteria diagnostik preeklampsia (Dikutip dari
kepustakaan 2)
Preeklampsia tanpa disertai dengan manifestasi berat seringkali
dicirikan sebagai ringan. Harus dicatat bahwa hal ini dapat disalah

25
artikan dimana bahkan dalam keadaan tidak terdapatnya manifestsi
berat dari penyakit, tingkat morbiditas dan mortalitas tetap tinggi. 2
Manifestasi berat bentuk preeklampsia yang dicirikan dengan
beberapa temuan tertentu pada wanita yang memenuhi kriteria dasar
untuk diagnosis preeklampsia. Sebagai tambahan, wanita yang
memenuhi kriteria dasar untuk preeklampsia dengan tekanan darah
sistolik lebih dari sama dengan 160 atau tekanan darah diastolik lebih
dari sama dengan 110 mm Hg, disertai bukti adanya trombositopenia,
disfungsi hati, insufisiensi ginjal, edema pulmoner, atau gangguan
visual dan serebral juga dianggap memiliki manifestasi penyakit yang
berat.2
Beberapa penelitian terbaru telah mengeksklusi proteinuria
masive (lebih 5 g) sebagai pertimbangan penentuan preeklampsia
berat. Begitu pun dengan pertumbuhan janin terhambat, dikarenakan
penanganan nya sama anatar wanita tanpa atau disertai preeklampsia.2
3.5 Penatalaksanaan
Prinsip dasar penanganan preeklampsia terhadap ibu ialah untuk
mengontrol tekanan darah dan mencegah kejang. Untuk janin tujuannya
ialah untuk memberikan kelanjutan pertumbuhan sampai cukup matur
untuk bertahan di luar uterus atau sampai resiko kematian janin dalam
rahim lebih tinggi dibandingkan kematian diluar rahim. Terapi tersebut
bergantung pada keparahan preeklampsia, usia kehamilan dan respon
terhadap terapi.4
Tidak ada pengobatan yang dapat dilakukan untuk preeklampsia
kecuali terminasi kehamilan dan melahirkan janin dan plasenta.
Peenanganan seutuhnya untuk memberi waktu sehingga janin menjadi
lebih matur di dalam rahim. 4
a. Preeklampsia ringan
Ibu hamil dengan preeklampsia ringan dapat dirawat secara rawat

26
jalan. Dianjurkan ibu hamil banyak istirahat (berbaring/tidur miring),
tetapi tidak harus mutlak selalu tirah baring.Pada keadaan tertentu ibu
hamil dengan reeklampsia ringan perlu dirawat di rumah sakit jika
tidak ada perbaikan selama 2 minggu rawat jalan dan timbulnya tanda
dan gejala preeklampsia berat.8
Pada kehamilan preterm (<37 minggu), bila tekanan darah
mencapai normotensif, selama perawatan, persalinannya ditunggu
sampai aterm. Sementara itu, pada kehamilan aterm (>37 minggu),
persalinan ditunggu sampai terjadi onset persalinan atau
dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan pada taksiran
tanggal persalinan. Persalinan dapat dilakukan secara spontan, bila
perlu memperpendek kala II. 8
b. Preeklampsia berat
Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit dan
dirawat inap serta dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri).
Ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-gejala
preeklampsia berat selama perawatan; maka sikap etrhadap kehamilan
dibagi menjadi dua yaitu secara aktif berarti kehamilan diakhiri
bersamaan dengan pemberian pengobatan medika mentosa, atau
ekspektatif berarti kehamilan tetap dipertahankan bersamaan dengan
pemberian pegobatan medikamentosa.8
Indikasi perawatan aktif ialah jika didapatkan satu/lebih tanda dan
gejala berikut:8
- Umur kehamilan > 37 minggu
- Tanda-tanda impending eklampsia
- Kegagalan terapi pada perawatan konservatif (24 jam tidak ada
perbaikan)
- Diduga terjadi solusio plasenta
- Timbul onset persalinan, ketuban pecah, atau perdarahan

27
- Adanya tanda fetal distress
- Adanya tanda intra uterine growth restriction
- Terjadinya oligohidramnion
Cara terminasi kehamilan dilakukan berdasarkan keadaan obstetrik
pada waktu itu, apakah sudah inpartu atau belum

Penilaian dan manajemen awal

Ya
Indikasi Penaganan Aktif Terminasi

Tidak Evaluasi

Penaganan Ekspektatif

Bagan 1. Gambaran umum penaganan preeklampsia


c. Terapi medikamentosa
o Terapi antihipertensi
Terapi antihipertesi tidak mengehntikan peekembangan
penyakit preeklampsia, namun dapat meningkatkan tingkat
keselamatan ibu, mengurangi hospitalisasi dan memebrikan
kesempatan pemantauan secara ketat, serta dapat
memperpanjang kehamilan pada kehamilan preterm. Obat anti
hipertensi yang direkomendasikan oleh WHO ialah
hydralazine, methyldopa, beta blocker (labetalol) dan
nifedipine yang dimana telah digunakan secara luas. Selain itu
penggunaan angitensin receptor bloker (ARB) dan angiotensin
converting enzyme inhibitor (ACEI) serta thiazide

28
dikontraindikasikan untuk digunakan pada ibu hamil. (WHO).
Pilihan antihipertensi sepenuhnya didasarkan pada pengalaman
dokter dan ketersediaan obat.4 WHO merekomendasikan
pilihan antihipertensi yang dapat digunakan baik pada keadaan
tanpa manifestasi berat (tabel 3) maupun pada preeklampsia
berat (tabel 4).6
No Pilihan Obat Dosis
1 Alfa metyldopaBerikan 250 mg setiap 6 sampai 8
jam, dosis maksimal 2000 mg per 24
jam.
2 Nifedipine Berikan 10-20 mg tiap 12 jam, Dosis
maksimal 120 mg per 24 jam.
3 Labetalol Berikan 200 mg setiap 6 jam sampai
12 jam. Dosis maksimal ialah 1200
mg per 24 jam.
Tabel 3. Rekomendasi pengobatan antihipertensi pada
hipertensi ringan (Dikutip dari kepustakaan 6)
No Pilihan Obat Dosis
1 Hidralazin Berikan 5 mg IV, dengan perlahan.
Dapat diulang dengan interval 5 menit.
Dosis maksimal 20 mg per 24 jam.
2 Labetalol - Oral: 200 mg, dapat diulang tiap 1
jam, dosis maksimal 1200 mg per
24 jam
- Intravena : Berikan 10 mg IV
awalnya, dapat diulang dengan
kelipatannya setelah 10 menit
pemberian awal. Dosis maksimum
300 mg per 24 jam.
3 Nifedipine Berikan 5-10 mg oral, dapat diulangi
30 menit setelahnya. Dosis maksimal

29
30 mg sebagai pengobatan akut
4 Alfa metildopa Berikan 750 oral, ulangi setelah tiga
jam. Dosis maksimal ialah 3 g dalam
24 jam.
Tabel 4. Rekomendasi WHO pilihan obat hipertensi untuk
hipertensi berat (Dikutip dari kepustakaan 6)
o Magnesium Sulfat
Magnesium Sulfat merupakan sebuah obat yang bersifat
lifesaving dan sebaiknya ada disemua fasilitas layanan
kesehatan. Berikut ini rekomendasi WHO terkait penggunaan
magnesium sulfat pada preeklampsia:6
- Magnesium sulfat direkomendasikan sebagai pencegahan
terhadap eklampsia pada wanita yang mengalami
preeklampsia dibandingkan dengan antikonvulsan lainnya.
- Regimen pemberian magnesium sulfat terangkum pada
tabel 5, sebagai berikut
Loading Dose 4 g, larutkan dalam 10 ml
aquades, selama 20 menit
intravena atau 5 g per masing-
masing bokong
Maitenance Dose 6 g, dalam RL 500 cc, dengan
kecepatan 28 tpm selama 6 jam
Jika kejang, setelah dosis awal
Extra Dose 2 g, selama 15-20 menit
Tabel 5. Regimen pemberian MgSO4 rekomendasi (Dikutip dari
kepustakaan 7)
Meskipun intoksikasi magnesium jarang terjadi, pemantauan
terhadap tanda intoksikasi magnesium harus dilakukan, yaitu

30
pastikan bahwa:
- Laju nafas setidaknya 16 kali per menit
- Refleks patella ada
- Keluaran urin setidaknya 30 ml/jam selama 4 jam
Pemantauan dilakukan sebelum pemberian dan sesudah
pemberian. Jika terdapat gejala intoksikasi magnesium, maka
tunda pemberian dosis IM atau hentikan sementara pemerian
MgSO4 intravena. Kemudian berikan ventilasi bantuan (mask
and bag, perlengkepanan anestesi, intubasi), dan berikan
kalsium glukonas 1 g (10 ml konsetrasi 10 %) melalui
intravena secara perlahan selama 3 menit, sampai respirasi
mulai melawan efek magnesium sulfat.

3.6 Pencegahan
Sejumlah strategi digunakan untuk memodfikasi tingkat keprahan
preeklampsia, diantara lain manipulasi diet dengan diet rendah garam,
pemberian aspirin dosis rendah, pemberian antioksidan seperti vitamin C
dan E, serta modifikasi gaya hidup seperti tirah baring dan mengurangi
aktifitas fisik tidak memberikan efek yang signifikan dalam mencegah
pre-eklampsia maupun eklampsia, sehingga sudah mulai ditinggalkan.2,3,7
3.7 Komplikasi
Onset dini dari penyaki cenderung lebih berat. Timbulnya beberapa
komplikasi berikut ini merupakan indikasi dilakukannya persalinan
berapapun usia kehamilannya. Dapat juga terjadi pada postpartum dimana
dibutuhkan waktu sekitar 24 jam bagi persalinan untuk menyembuhkan
preeklmpsia.5

31
Gambar 4. Ilustrasi komplikasi yang dapat terjadi pada
preeklampsia (Dikutip dari kepustakaan 5)
- Eklampsia, merupakan kejang grand mal, yang kemungkinan
diakibatkan oleh vasospasme serebrovaskuler. Mortalitas dapat terjadi
akibat hipoksia dan komplikasi lain yang berjalan seiring degan
peyakit. Penanganannya ialah dengan pemberian magnesium sulfatdan
pemeriksaan lain yang intensif untuk mencari komplikasi lain.
- Perdarahan serebrovaskuler, yang diakibatkan oleh gagalnya
autoregulasi aliran darah serebral pada tekanan rerata arteri lebih dari
140 mm Hg. Penanganan terhadap hipertensi diharapkan dapat
mencegah ini terjadi.
- Sindrom HELLP, terdiri dari hemolisis (H), elevated liver enzym/
meningkatnya enzim hati (EL) dan low pletelet (LP) /atau rendahnya
hitung trombosit. Disseminated intravascular coagulation(DIC),

32
kegagalan hati dan ruptur hati juga dapat terjadi. Pasien biasanya
mengalami nyeri epigastrium berat; seringkali ini merupakan
manifestasi klinis dari preeklampsia, dan dapat timbul pasca salin.
Hemolisis menakibatkan urin menadi gelap. Penanganannnya ialah
suportif dan mencakup magnesium sulfat untuk mengatasi atau
mencegah eklampsia. Perawatan ICU dibutuhkan pada keadaan berat.
- Gagal ginjal, dimana teridentifikasi melalui pemantauan
keseimbangan cairan secara teliti dan pengukuran kreatinin.
Hemodialisa dibutuhkan pada kasus berat
- Edema pulmoner, preeklampsia berat rentan erhadap overloading
cairan. Edema pulmoner diterapi degan oksigen dan furosemide;
dimana ventilasi bantuan mungkin dibutuhkan. Adult Respiratory
distress syndrome (ARDS) dapat berkembang dan merupakan
5
penyebab mortalitas maternal terkait preeklampsia.

3.8 Prognosis
Wanita yang pernah mengalami pre-eklampsia lebih cenderung terkena
preeklampsia pada kehamilan selanjutnya. Secara umum, semakin dini
pre-eklampsia didiagnosis maka semakin besar kemungkinannya terjadi
rekurensi, dimana terjadi peningkatan resiko sebesar 40% jika pre-
eklampsia terjadi pada usia kehamilan kurang dari 30 minggu. Pada
wanita yang mengalami pre-eklampsia juga mengalami peningkatan
insidensi terjadinya persalinan preterm, pertumbuhan janin terhambat,
abrupsio plasenta dan tindakan persalinan sectio caesarea.3
Jika terjadi eklampsia, maka resiko kematian ibu meningkat hinga 3
kali lipat, begitupun dengan prognosis jangka panjang dimana wanita
yang pernah mengalami eklampsia cenderung mati karena sebab-sebab
terkait hipertensi. Oleh karena itu, preeklampsia maupun eklampsia
merupakan asebuah ancaman serius bagi wanita hamil.3

33
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization.WHO recommendations for prevention and
treatment of pre-eclampsia ad eclampsia. Geneva; 2011
2. American College of Obstetrician and Gynecologist. Hypertension in
Pregnancy. Washington DC ; 2013
3. Cunningham F. Gary, Leveno J. Kenneth, Bloom L. Steven et al, Editor.
Williams Obstetric, 22nd edition. McGraw Hills : 2007
4. Oats Jeremy, Abraham Suzanne. Llewellyn-Jones, Fundamentaks of Obstetric
and Gynecology, Tenth Edition. Elsevier ; 2017
5. Impey Lawrence, Child Tim, Editor. Obstetric and Gynecology, 4th Edition.
John Wiley & Sons, Ltd; 2012
6. World Health Organization. Managing Complications In Pregnancy and
Childbirth: A guide for doctors and midwives, Second Edition. Geneva ; 2017
7. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Buku Saku Pelayanan Kesehatan
Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Jakarta; 2017
8. Angsar M. Dikman. Hipertensi dalam kehamilan. Ilmu Kebidanan, Sarwono
Prawirhardjo. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo ; 2014

34

Anda mungkin juga menyukai