Anda di halaman 1dari 11

EMPIRICAL TREATMENT FOR PATIENTS WITH

IMMUNOCOMPROMISE

A.GUNTUR H.
Department of Internal Medicine Dr. Moewardi Hospital - Medical Faculty UNS Surakarta

PENDAHULUAN

Penyakit infeksi yang masih merupakan penyebab kesakitan dan kematian


yang tinggi di seluruh dunia, khususnya di negara sedang berkembang seperti
Indonesia sangat berkaitan dengan timbulnya mikroorganisme yang resisten atau
malah resisten terhadap banyak antibiotika yang sebelumnya masih sensitif.
Untuk terjadinya penyakit infeksi tergantung dari interaksi antara
microorganism lingkungan, host (penjamu). Pada penderita dengan imonu
compermise sangat rentan terhadap infeksi nosokomial, yang termasuk dalam
imuno compermise adalah :
- Defek sistem imun humoral yang menyebabkan defisiensi komplemen
dan antibodi yang mengakibatkan gangguan opsonisasi dan
bakterisidal.
- Defek sistimun seluler yaitu sistem fagositosit (netropil, makrofag)
dan sistem imun seluler spesifik.
- Penggunaan obat - obatan imunosupresan dan sitotastika.
- Penyakit - penyakit kanker , otoimun, diabetes mellitus, serosis hati,
gagal ginjal kronik, luka bakar.
Menurut Dale DC penderita imuno compermise yang termasuk juga
manusia usia lanjut bila terkena I.N. mudah terjadi sepsis dan sering mengalami
komplikasi yang mematikan yaitu syok septik (Cowley , 2002; Anonim, 2002;
Sneller and Lane , 1996).
Pada umumnya infeksi dibedakan secara garis besar menjadi 2 golongan
menuruit asal kuman penyebab yaitu infeksi komunitas bila sumber infeksi
didapatkan di masyarakat dan infeksi nosokomial bila sumber infeksinya
didapatkan di rumah sakit.
INFEKSI NOSOKOMIAL
Pada penderita immunocompromise dapat sering mendapatkan infeksi
selama di masyarakat dan juga bila dirawat di rumah sakit.

1
Infeksi Nosokomial adalah : infeksi yang didapatkan setelah penderita
dirawat di rumah sakit baik tumbuh pada saat dirawat di rumah sakit juga pada
penderita yang pulang dari rumah sakit (Heratige, 2001; Anonim, 2005).
Infeksi Nosokomial ( IN ) sangat nyata merupakan penyebab kesakitan dan
kematian. Infeksi nosokomial dapat terjadi oleh karena tindakan iatrogenik
terutama yang mengalami tindakan - tindakan instrumenisasi ataupun intervensi
pada saat drawat di rumah sakit, misalnya pemasangan kateter, infus, tindakan -
tindakan operatif lainnya (Duffi , 2002).
Infeksi Oportunistik terjadi pada penderita yang mengalami
Immunocompromised yang dirawat di rumah sakit , infeksi bisa berasal dari luar
dan dari dalam penderita sendiri yang (AUTOCHTHOUS INFECTION)
yang disebabkan oleh karena kerusakan barier mukosa.
Infeksi Nosokomial Transmisi berasal dari dokter, perawat dan pelayan
medik yang lain bisa berasal dari tangan yang tidak steril, infeksi dari makanan,
minuman atau ventilasi , kateter dan alat endoscopi ataupun tindakan invasif yang
lain (Liu, 2001; CDC, 2002; Anonim, 2002).
Infeksi nosokomial yang sering dijumpai adalah Infeksi luka, Infeksi
saluran pernapasan, Infeksi saluran kencing dan Infeksi saluran cerna ( BUPA's
Health information team, 2005 ).

TERAPI ANTIBIOTIKA
Terapi antibiotika dapat dilakukan secara empiris atau definitif. Terapi secara
empiris pada suatu daerah, dimana antibiotika diberikan atas dugaan kuman
penyebab dari keadaan infeksi tersebut. Maka dugaan tersebut harus berdasarkan
pada pola kuman yang ada di daerah atau Rumah Sakit yang bersangkutan. Bila
identifikasi kuman dan uji kepekaan telah diketahui, maka dilakukan terapi
definitif sesuai kuman yang didapat.
Antibiotika berdasarkan cara kerjanya :
1. Zat-zat bakteriosid yaitu antibiotik yang ada pada dosis biasa
berkhasiat membunuh kuman. Obat-obat golongan ini dapat dibagi
pula dalam dua kelompok yaitu :
– Zat-zat yang bekerja pada fase pertumbuhan kuman : penisilin
dan sefalosporin, polipeptida (polimiksin, basitrasin, dan lain-
lain), rifampisin, asam nalidiksat, dan quinolon. Obat golongan
ini kurang efektif terhadap kuman dalam fase istirahat.
– Zat-zat yang bekerja pada fase istirahat : aminoglikosida,
nitrofurantin, INH, kotrimoksasol.

2
2. Zat-zat bakteriostatik yaitu antibiotik yang pada dosis biasa berkhasiat
menghentikan pertumbuhan dan perbanyakan kuman. Pemusnahan
kuman harus dilakukan oleh sistem imun tubuh itu sendiri dengan jalan
fagositosis.

TERAPI EMPIRIC
Antibiotik merupakan terapi utama pada sepsis. Apabila fasilitas kurang
memungkinkan, dapat diberikan antibiotik secara empirik disertai dengan
penatalaksanaan penyakit dasar seoptimal mungkin. Terapi secara empirik
pada suatu daerah, dilakukan berdasarkan pada pola kuman yang didapatkan
pada rumah sakit setempat dan uji kepekaan. Terapi empirik berdasarkan pada
cakupan langsung antibiotik melawan lebih banyak kuman pathogen dan
perlu mempertimbangkan riwayat alergi obat, gangguan fungsi hepar / ginjal,
efek samping antibiotik, resistensi dan beaya . Jika pasien dalam kondisi
sakit berat terapi empirik diberikan secara intravena. Terapi empirik
menggunakan antibiotik yang lebih dari 90% potent terhadap kuman patogen,
kemudian bila respon klinik dalam 48-72 jam dinilai memadai dan tes
pembiakan serta uji sensitivitas telah jadi hasilnya, maka bisa dilakukan de-
eskalasi dengan penggantian antibiotik yang lebih terfokus untuk mengurangi
timbulnya resistensi, toksisitas dan biaya yang mahal ( rasional treatment).
Pemberian antibiotik satu jenis saja tidak dibenarkan dalam keadaan sepsis.
Dianjurkan kombinasi antibiotik yang rasional sesuai dengan kultur dan uji
sensitivitas. Pemberian antibiotik kombinasi secara penelitian lebih bermakna
dan diberikan :
1. Antibiotik spektrum luas untuk gram positif / negatif pada kasus –
kasus yang secara klinik sulit untuk dibedakan.
2. Pada keadaan infeksi polimicrobial
3. Untuk mencegah resistensi kuman yang tidak bisa diatasi dengan satu
macam antibiotik
4. Untuk mendapatkan efek sinergi.
- Antibiotik yang biasa diberikan secara empirik adalah cephalosporin
generasi III atau IV karena mempunyai efek terhadap bakteri gram (+)
dan gram (-), karbapenem, b- laktamase inhibitor dengan fluorokuinolon
/ aminoglikoside ditambah linesolid / vancomycin. Juga dapat diberikan
cephalosporin dengan kombinasi b laktam. Pada penurunan status imun (
imunocompermise ) hendaknya digunakan antibiotik yang bersifat

3
bakteriosid, karena pada antibiotik yang bersifat bakteriostatik,
pemusnahan kuman masih tergantung pada daya tahan tubuh hospes,
tidak demikian halnya dengan antibiotik yang bersifat bakteriosid yang
dapat lebih pasti menghasilkan efek terapi.
Dalam pemberiannya jangan dilupakan terhadap adanya mikroorganisme lain
sebagai penyebab sepsis, misalnya : parasit, jamur, virus dsb. ( Guntur, 2006,
Kollef Marin H. 2001, Hoffhen Gert et al, 2002, Mandell L,2000).

POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN di RSUD Dr. Moewardi

Dilakukan penelitian pola kuman dan uji kepekaan di RSUD Dr.


Moewardi, dengan besarnya sampel dalam penelitian pola kuman yang berada di
RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang berasal dari spesimen darah (n=78) kuman
yang tumbuh 58%, sedangkan dari spesimen sputum (n=133) kuman yang tumbuh
45% dan dari spesimen urin (n=73) yang tumbuh 44% (Tabel 1).

Tabel 1. Pola Kuman Darah, Sputum dan Urin di RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Tahun 2004.

JENIS KUMAN DARAH SPUTUM URIN

Citrobacter sp 6
E. Coli sp 4
Enterobacter sp 9 10 8
Klebsiella sp 1 15 7
Gram - 25 31 22
Proteus sp 3 1
Pseudomonas sp 4 3 2
Salmonella sp 4
Serratia sp 1
Staphylococcus sp 7 7 8
Gram + 20 30 10
Streptococcus sp 13 23 2
JUMLAH TUMBUH 45 61 32
JUMLAH PASIEN 78 133 73

Dari hasil kultur kuman yang tumbuh yang didapat dari spesimen darah,
kuman gram negatif : Enterobacter sp (12%), Citobacter sp (8%), Pseudomonas
sp (5%) dan Salmonella sp (5%). Sedangkan kuman gram positif: Streptococcus
sp (17%). Untuk spesimen yang berasal dari sputum, kuman gram negatif :

4
Klebsiella sp (11%) dan Enterobacter sp (8%) ; kuman gram positif:
Streptococcus sp (17%). Dan dari hasil kultur kuman yang tumbuh yang didapat
dari spesimen urin, kuman gram negatif : Enterobacter sp (11%), Klebsiella sp
(10%) dan E. coli sp (5%); kuman gram positif: Staphylococcus sp (11%) (Guntur,
2005).
Besar sampel dari spesimen pus (n=103) kuman yang tumbuh 77%, sedangkan
dari spesimen THT (n=32) kuman yang tumbuh 65% dan dari spesimen LCS
(n=36) yang tumbuh 17% (Tabel 2).

Tabel 2. Pola Kuman Pus, THT dan LCS di RSUD Dr. Moewardi Surakarta Tahun
2004.

JENIS KUMAN PUS THT LCS


Citrobacter sp
E. Coli sp 4 1
Enterobacter sp 25 2
Klebsiella sp 5
Gram - 59 12 4
Proteus sp 9 2
Pseudomonas sp 16 8 3
Salmonella sp
Serratia sp
Staphylococcus sp 16 2 1
Gram + 20 9 2
Streptococcus sp 4 7 1
JUMLAH TUMBUH 79 21 6
JUMLAH PASIEN 103 32 36

Dari hasil kultur kuman yang tumbuh yang didapat dari spesimen pus, kuman
gram negatif : Enterobacter sp (23%), Pseudomonas sp (16%) dan Proteus sp
(9%). Sedangkan kuman gram positif: Staphylococcus sp (16%). Untuk spesimen
yang berasal dari THT, kuman gram negatif : Pseudomonas sp (25%),
Enterobacter sp (6%) dan Proteus sp (6%) ; kuman gram positif: Streptococcus sp
(22%). Dan dari hasil kultur kuman yang tumbuh yang didapat dari spesimen
LCS, kuman gram negatif : Pseudomonas sp (8%) dan E. coli sp (3%); kuman
gram positif: Streptococcus sp (3%) dan Staphylococcus sp (3%) (Guntur, 2005).
Kuman yang resisten terhadap antibiotika merupakan masalah global, oleh
karena itu penggunaan antibiotika yang sangat tepat merupakan bagian dari
pencegahan resistensi antibiotika. Untuk itu penulis melakukan uji kepekaan
kuman di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dari kuman-kuman yang tumbuh pada

5
kultur kuman yang berasal dari berbagai spesimen terhadap berbagai jenis
antibiotika (Tabel 3 dan 4).

6
Tabel 3. Hasil Uji Kepekaan Kuman (Darah, sputum dan urin) di RSUD Dr. Moewardi
Surakarta Tahun 2004.
JENIS DARAH SPUTUM URIN
ANTIBIOTIK Gram - Gram + Gram - Gram + Gram - Gram +
Amikacin 2 2 2 1
Augmentin 1 2 1
Cefepime 4 3 8 5 12
Cefotaxime 2 2
Cefriazone
Ceftazidime 1
Cefuroxime 1
Chloramphenicol
Ciprofloxacin 4 1 1 1 1
Co-Trimoxazole 1
Debikacin
Erytromycin
Fosfomycin 3 6 3 3 2
Gatifloxacin 6 5 4 2
Gentamicin 1
Meropenem 3 1 6 3 3
Nitrofurantoin 2
Norfloxacin 1
Sam 2 1 1 1
Tetracyclin 1
Resisten semua 1 13 6

JUMLAH 25 20 31 30 22 10

7
Tabel 4. Hasil Uji Kepekaan Kuman (Pus, THT dan LCS) di RSUD Dr. Moewardi
Surakarta Tahun 2004.

JENIS PUS THT LCS


ANTIBIOTIK Gram - Gram Gram - Gram Gram - Gram +
+ +
Amikacin 2 1 1
Augmentin
Cefepime 20 5 6 2 1
Cefotaxime 1
Cefriazone 1
Ceftazidime 1
Cefuroxime
Chloramphenicol 1
Ciprofloxacin 1 2 1
Co-Trimoxazole
Debikacin
Erytromycin
Fosfomycin 7 2 1 1
Gatifloxacin 10 2 1 1
Gentamicin
Meropenem 19 5 1 1
Nitrofurantoin
Norfloxacin
Sam 1 2 1
Tetracyclin 1
Resisten semua 1 3

JUMLAH 59 20 12 9 4 2

Dari hasil penelitian tersebut dapat kita lihat bahwa penyebaran dan hasil uji
kepekaan, yang paling tinggi adalah :
1. Cefepime.
2. Meropenem.
3. Fosfomycin.
4. Gatifloxacin.
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dasar pemberian empirical treatment pada
awal pengobatan di RSUD Dr. Moewardi kita gunakan Cefepime (Guntur, 2005).

Penggunaan anti biotika pada keadaan sepsis :


1. Antibiotika segera diberikan seawal mungkin saat diagnosis ditegakkan.
2. Sebelum didapatkan hasil kultur bakteri segera diberikan antibiotika yang
sesuai berdasarkan pada pola kuman yang ada di daerah sakit setempat
sampai dengan terdapat hasil kultur yang sesuai / defenif.

8
3. Kalau perlu diberikan antibiotika kombinasi yang bermanfaat untuk : gram
(+) dan gram (-)
4. Antibiotika diberikan secara intravenus dengan dosis maksimal
5. Pemberian antibiotika yang adekuat menurunkan angka kematian 10-15%
bila dibandingkan pemberian yang tidak adekuat.

Pada 59 penderita diabetes melitus dengan ulkus pedis, laki – laki 22 penderita
(37,3%) dan wanita 37 penderita (62,7%). Penderita yang mengalami sepsis 27
penderita (45,8%) dan tidak sepsis 32 penderita (54,2%).

Hasil kultur kuman ditempat ulkus pedis.


Kuman Jumlah kuman %
Enterobacter 10 55,6
Stapylococcus Sp 3 16,7
Pseodomonas 2 11,0
E. Coli 1 5,6
Klebsiela 1 5,6
Proteus 1 5,6

Sensifitas kuman terhadap antibiotik


Jenis antibiotik Jumlah antibiotik %
Cefepime 12 66,7
Meropenem 9 50,0
Fosfomycin 7 38,9
Gatifloxacin 5 27,8
Amikacin 5 27,8
Augmentin 3 16,7
Sulbactam – Cefoperason 2 11,1
Chloramfenicol 2 11,1
Ceftazidime 2 11,1
Cefoperason 2 11,1
Ciprofloxacin 2 11,1
Norfloxacin 2 11,1
Ceftriaxin 1 5,6

PEMBAHASAN

Infeksi Nosokomial merupakan infeksi banyak terjadi pada penderita yang


di rawat di rumah sakit dan merupakan penyebab kesakitan dan kematian terutama
pada penderita dengan imuno compermise .
Infeksi Nosokomial banyak dijumpai pada infeksi trakrus urinarius, dari
luka post positif , infeksi saluran nafas dan infeksi sistem saluran cerna dan tidak
menutup kemungkinan jenis infeksi - infeksi lain yang didapatkan selama
penderita di rawat di rumah sakit.
Sepsis sering terjadi pada IN terutama pada penderita IC dan penderita
yang lama di rawat di RS.

9
Terapi secara empiris pada suatu daerah, dilakukan berdasarkan pada pola
kuman yang didapatkan pada rumah sakit setempat. Berdasarkan pola kuman dan
uji kepekaan yang dilakukan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta, didapatkan
bahwa cefepim mempunyai penyebaran paling luas dan mempunyai hasil uji
kepekaan yang cukup tinggi, serta merata pada semua media (urin, darah, sputum,
pus, LCS dan THT, Ulcus diabiticum).
Maka dapat disimpulkan bahwa Cefepim, Meropenem, Fasfomycin, dan
Gatifloxacin dapat digunakan sebagai empirical treatment pada infeksi
Nosokomial, khususnya di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

10
KEPUSTAKAAN

Anonim, 1996. The chemistry, microbiology, pharmacokinetics, and clinical


experience of a new fourth-generation cephalosporin. Bristol-Myers Squibb
Company. Italy.
Anonim, 2002. Nosocomial infection. www.person@cal fmc. flinders.edu.au
Anonim, 2005. Nosocomial infection. www.waterionisation.com.
BUPA's Health information team . 2005. Health news - MRSA - the facts.
Center for Disease Control and Prevention (CDC). 2002. Sterilization or
Disinfection of Medical Devices: General Principles. www.cdc.gov/-
ncidod/hip/Sterile/Sterilgp.htm.
Cowley R., 2002. Persistent SIRS is Predictive of Nosocomial Infection in Trauma
. J. Trauma 202; 53 (2); 24550.
Duffi J.R. 2002, Nosocomial Infection Important Acute Care Nursing-sencitive
Autcomes Indicators. AACN-CLIN Issue; 13 (3) : 358 66
Gardner P and Causey WA. 1994. Aquired Hospital Infection. Horrison' s
Principles of Internal Medicine Thirteen Edition : 855 – 859
Guntur. 2005. Pola Kuman dan Sensitivitas Tes RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Tahun 2004. (unpublished)
Heratige J. 2001. Tutorial on Nosocomial Infections.
www.bmb.leeds.ac.uk-/mbiology.
Johnson A. 2000. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) infection.
Available at http://www.netdoctor.co.uk
Jones BN. 2001. Resistance Pattern Among Nosocomial Pathogens.
Chest:119:397s-404s.
Liu H. 2001. Nosocomial Infections: A Multidisciplinary Approach to
Management. www.powerpak.com.
Sneller MC and Lane HC, 1996, Immunocompromised Host. Clinical Immunology
Principles and Practise. 579 – 593.
Sugiarto, Diding H. P, A Guntur H. 2006. Role Albumin and Sensivitas
Nicobacterium in ulcus diabiticum. 13th International Symposium on Shock
and Critical Care 2006 Bali Indonesia. 163-164.

11

Anda mungkin juga menyukai