Anda di halaman 1dari 12

A.

Sejarah makanan dan minuman jepang


Orang Jepang mulai makan nasi sejak zaman Jomon. Lauknya berupa
bahan makanan yang direbus (nimono), dipanggang, atau dikukus. Cara
mengolah makanan dengan menggoreng mulai dikenal sejak zaman Asuka, dan
berasal dari Semenanjung Korea dan Cina. Teh dan masakan biksu
diperkenalkan di Jepang bersamaan dengan masuknya agama Buddha, namun
hanya berkembang di kalangan kuil. Makanan biksu adalah masakan
vegetarian yang disebut shōjin ryōri. Hewan peliharaan dan binatang buas
seperti monyet dilarang untuk dijadikan bahan makanan. Di dalam literatur
klasik Engishiki juga diceritakan tentang ikan hasil fermentasi yang
disebut narezushi yang dipakai sebagai persembahan di Jepang bagian barat.

1. Masakan zaman Nara

Pengaruh kuat kebudayaan Cina pada zaman Nara ikut memengaruhi


masakan Jepang pada zaman Nara. Makanan dimasak sebagai hidangan
upacara dan ketika ada perayaan yang berkaitan dengan musim. Sepanjang
tahunnya selalu ada perayaan dan pesta makan. Teknik memasak dari Cina
mulai dipakai untuk mengolah bahan makanan lokal. Penyesuaian cara
memasak dari Cina dengan keadaan alam di Jepang akhirnya melahirkan
masakan yang khas Jepang.

2. Masakan zaman Heian

Pada zaman Heian, masakan Jepang terus berkembang dengan


pengaruh dari daratan Cina. Orang Jepang waktu itu mulai mengenal makanan
seperti karaage dan kue-kue asal Dinasti Tang (tōgashi), dan natto. Aliran
memasak dan etiket makan berkembang di kalangan bangsawan. Atas
perintah kaisar Kōkō, Fujiwara no Yamakage menyunting buku memasak
aliran Shijō yang berjudul Shijōryū Hōchōshiki. Sampai saat ini, rumah makan
tradisional Jepang masih sering memiliki altar pemujaan untuk Fujiwara no
Yamakage dan Iwakamutsukari-no-mikoto.

3. Masakan zaman Kamakura

Makanan olahan dari tahu yang disebut ganmodoki mulai dikenal


bersamaan dengan makin populernya tradisi minum teh dan ajaran Zen. Pada
zaman Kamakura, makanan dalam porsi kecil untuk biksu yang menjalani
latihan disebut kaiseki. Pendeta Buddha bernama Eisai memperkenalkan teh
yang dibawanya dari Cina untuk dinikmati dengan hidangan kaiseki. Masakan
ini nantinya berkembang menjadi makanan resepsi yang juga disebut kaiseki,
tetapi ditulis dengan aksara kanji yang berbeda.

4. Masakan zaman Muromachi

Memasuki zaman Muromachi, kalangan samurai ikut dalam urusan


masak-memasak di istana kaisar. Tata krama sewaktu makan juga semakin
berkembang. Aliran etiket Ogasawara yang masih dikenal sekarang bermula
dari etiket kalangan samurai dan bangsawan zaman Muromachi.

Chūnagon bernama Yamakage no Masatomo mendirikan aliran


memasak Shijōryū. Aliran ini menerbitkan buku memasak berjudul Shijōryū
Hōchōsho (Buku Memasak Aliran Shijō). Sementara itu, klan
Ashikaga mendirikan aliran memasak Ōkusaryū. Orang mulai menjadi
cerewet soal cara memasak dan menghidangkan makanan. Makanan
gaya honzen (honzen no seishiki) dan gaya kaiseki merupakan dua aliran
utama masakan Jepang zaman Muromachi. Dalam gaya honzen, makanan
dihidangkan secara individu di atas meja pendek yang disebut ozen. Porsi yang
dihidangkan cukup untuk dimakan satu orang. Dalam gaya kaiseki, makanan
dihidangkan dalam porsi kecil seperti makanan yang dihidangkan
dalam upacara minum teh.

Namban adalah istilah orang Jepang zaman dulu untuk "luar negeri",
khususnya Portugal dan Asia Tenggara. Dari kata namban dikenal
istilah nambansen (kapal dari luar negeri). Kedatangan kapal-kapal dari luar
negeri dari zaman Muromachi hingga zaman Sengoku membawa serta
berbagai jenis masakan yang disebut namban ryōri(masakan luar negeri)
dan nambangashi (kue luar negeri). Kue kastela yang menggunakan resep dari
Portugal adalah salah satu contoh dari nambangashi.

5. Masakan zaman Edo

Kebudayaan orang kota berkembang pesat pada zaman Edo. Makanan


penduduk kota seperti tempura dan teh gandum (mugicha) banyak dijual di
kios-kios pasar kaget. Pada masa itu, di Edo mulai banyak dijumpai rumah
makan khusus soba dan nigirizushi. Ōrusuichaya adalah sebutan untuk rumah
makan tradisional (ryōtei) yang digunakan samurai sewaktu menjamu tamu
dengan pesta makan. Makanan dinikmati secara santai sambil meminum sake,
dan tidak mengikuti tata cara makan formal seperti masakan kaiseki atau
masakan Honzen. Masakan Ōrusuichaya disebut masakan kaiseki ( 会 席 料
理 kaiseki ryōri, masakan jamuan makan), dan ditulis dengan
aksara kanji yang berbeda dari "kaiseki" untuk upacara minum teh.

Teknik pembuatan kue-kue tradisional Jepang (wagashi) berkembang


pesat berkat tersedianya gula yang sudah menjadi barang yang lumrah. Alat
makan dari keramik dan porselen mulai banyak digunakan dan diberi hiasan
berupa gambar-gambar artistik yang dikerjakan secara serius. Daging ternak
mulai dikonsumsi orang Jepang dan daging sapi dimakan sebagai obat. Sejak
pertengahan zaman Edo mulai dikenalnya teknik seni ukir sayur, dan makanan
mulai dihias dengan hiasan dari lobak (wachigai daikon). Pada waktu itu juga
mulai dikenal telur rebus aneh dengan kuning telur berada di luar dan putih
telur di dalam (kimigaeshi tamago).

6. Masakan Kanto

Masakan Jepang zaman modern adalah hasil penyempurnaan


masakan zaman Edo. Daimyo dari seluruh penjuru Jepang mengenal
kewajiban sankin kōtai. Mereka wajib datang ke Edo untuk menjalankan tugas
pemerintahan bersama shogun. Kedatangan daimyo dari seluruh pelosok
negeri membawa serta cara memasak dan bahan makanan khas dari daerah
masing-masing. Bahan makanan yang dibawa rombongan daimyo dari seluruh
pelosok Jepang menambah keanekaragaman masakan Jepang di Edo.
Semuanya ditambah dengan makanan laut segar dan enak dari Teluk Edo yang
disebut Edomae. Hasil laut dari Samudera Pasifik seperti ikan tongkol sudah
dijadikan menu tetap sewaktu membuat sashimi.

Ikan dari familia Sparidae yang dikenal di Jepang sebagai ikan tai
merupakan lambang kemakmuran di Jepang. Ikan tai yang dipanggang utuh
tanpa dipotong-potong merupakan hidangan istimewa pada kesempatan
khusus. Makanan yang dihidangkan pada pesta makan terdiri dari dua jenis:
makanan untuk dimakan di tempat pesta, dan makanan yang berfungsi sebagai
hiasan. Panggang ikan tai termasuk dalam makanan hiasan yang boleh saja
dimakan di tempat pesta. Namun, ikan panggang di pesta sebenarnya lebih
merupakan hiasan karena dimaksudkan untuk dibawa pulang oleh para tamu
sebagai oleh-oleh. Tradisi membawa pulang makanan pesta sebagai oleh-oleh
untuk keluarga di rumah berasal dari zaman Edo dan terus berlanjut hingga
sekarang. Selain ikan panggang, tamu biasanya dipersilakan membawa
pulang kinton (biji berangan dan ubi jalar yang dihaluskan) dan kamaboko.

Masakan yang lahir dari berbagai keanekaragaman di


daerah Kanto disebut masakan Edo atau masakan Kanto. Sebutan masakan
Kanto digunakan untuk membedakannya dari masakan Kansai yang sudah
dikenal orang lebih dulu. Ciri khas masakan Kanto adalah penggunaan kecap
asin (shōyu) sebagai penentu rasa, termasuk untuk makanan berkuah
(shirumono) dan nimono. Tradisi membawa pulang makanan pesta merupakan
alasan penggunaan kecap asin dalam jumlah banyak dalam masakan Kanto,
maksudnya agar rasa tetap enak walaupun sudah dingin. Berbeda dengan
masakan Kanto, masakan Kansai justru tidak terlalu asin walaupun
mengandalkan garam dapursebagai penentu rasa.

7. Masakan Kansai

Masakan Kansai adalah sebutan untuk masakan Osaka dan


masakan Kyoto. Berbeda dari budaya Edo yang gemerlap, masakan Kyoto
mencerminkan budaya Kyoto yang elegan. Masakan Kyoto dipengaruhi
masakan kuil Buddha. Ciri khasnya adalah penggunaan banyak sayur-
sayuran, tahu, kembang tahu, namun sedikit makanan laut karena letak
geografis Kyoto yang jauh dari laut. Masakan Kyoto melahirkan cara
memasak dengan bumbu seminimal mungkin agar rasa asli tahu atau kembang
tahu (yang memang sudah "tipis") tidak hilang. Kepandaian mengolah ikan
kering seperti bodara (ikan cod kering) dan migakinishin (ikan hering kering)
menjadi hidangan yang enak merupakan keistimewaan masakan Kyoto.

Osaka adalah kota tepi laut dengan hasil laut yang melimpah. Oleh
karena itu, masakan Osaka mengenal berbagai cara pengolahan hasil laut.
Makanan laut diolah agar enak untuk langsung dimakan di tempat dan tidak
untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Masakan Osaka tidak mementingkan
rasa makanan kalau sudah dingin karena pada prinsipnya "makanan yang
habis dimakan". Prinsip masakan Osaka bertolak belakang dengan prinsip
masakan Kanto yang memikirkan rasa makanan kalau sudah dingin.

8. Pengaruh masakan Barat

Pada awal zaman Meiji, masakan Eropa mulai dikenal orang Jepang
yang melakukan kontak sehari-hari dengan orang asing. Di kalangan rakyat
tercipta makanan gaya Barat (yōshoku) yang merupakan adaptasi masakan
Eropa. Berbagai aliran memasak mengalami kemunduran, dan aliran
Hōchōshiki merupakan satu-satunya aliran yang terus bertahan. Pelarangan
makan daging dihapus sesuai kebijakan Pemerintah Meiji tentang Haibutsu
Kishaku dan Shinbutsu Bunri sehingga tercipta sukiyaki. Sementara
itu, honzen ryōri yang merupakan aliran utama masakan Jepang mulai
ditinggalkan orang. Hidangan kaiseki telah menjadi makanan standar di rumah
makan tradisional (ryōtei) dan penginapan tradisional (ryokan).

Masakan vegetarian (shōjinryōri) berlanjut sebagai tradisi kuil agama


Buddha. Hidangan porsi kecil yang disebut kaiseki ryōri (懐石料理) bertahan
hingga kini sebagai hidangan upacara minum teh. Di bidang
pertanian, sawi dan spinacia mulai ditanam secara besar-besaran. Di kota-kota
mulai banyak dijumpai rumah yang memiliki meja pendek yang
disebut chabudai sebagai pengganti nampan berkaki yang disebut ozen.
Keberadaan chabudai yang bisa dipakai sebagai meja makan untuk empat
orang mengubah acara makan yang dulunya dilakukan sendiri-sendiri
dengan ozen pribadi menjadi acara berkumpul keluarga.

Akibat gempa bumi besar Kanto yang memakan korban jiwa besar-
besaran, juru masak pewaris tradisi masakan Edo ikut menjadi berkurang, dan
tradisi masakan honzenmulai memudar. Etiket makan mulai longgar, dan
orang Jepang semakin menyukai suasana santai sewaktu makan.
Setelah Perang Dunia II, kemudahan transportasi dan kemajuan bidang
komunikasi menyebabkan tipisnya perbedaan antardaerah soal bahan makanan
dan cara memasak untuk makanan yang sama. Walaupun demikian, perbedaan
mendasar dalam soal bumbu dan selera masih tersisa.

B. LOKASI
Jepang merupakan Negara yang berbentuk kepulauan yang dinamakan oleh
orang Jepang sendiri adalah Nippon dan mempunyai julukan Negara Matahari
Terbit dan negeri Sakura. Jepang yang beribukota di Tokyo merupakan Negara
Industri terbesar ke-2 setelah Amerika Serikat.
1. Luas wilayah : 370.370 KM2;
2. Letak Astronomis : 30º LU-47º LU dan 128º BT-146º BT;
3. Letak Geografis : Di kawasan Asia timur yang terpisah dari benua Asia, di
sebelah timur benua Asia dan sebelah barat Samudera Pasifik;
4. Batas-batas : utara adalah Laut Okhstosk, Timur adalah Samudera Pasifik,
Selatan adalah L. Cina timur dan L. Filipina, dan barat adalah Laut Jepang dan
Selat Korea;
5. Bentang alam : Terdiri dari pulau-pulau, empat pulau utama Jepang yaitu
Hokkaido, Honsu, Sikoku, dan Khyushu. Pada umumnya adalah daerah
bergunung-gunung yang titik tertingginya adalah G. Fuji atau Fujiyama
(3778M). Pegunungan di Jepang merupakan masih termasuk rangkaian
pegunungan Sirkum Pasifik, sehingga banyak gunung apinya. Sungai di Jepang
pendek-pendek serta deras sehingga baik untuk pembangkit tenaga listrik. Danau
di Jepang kecil-kecil yang terbesar adalah D. Biwa;

Gambar : Peta Jepang

C. Ciri khas dan Karakteristik Masakan jepang

1. Bahan makanan

Pada umumnya, bahan-bahan masakan Jepang berupa: beras, hasil pertanian


(sayuran dan kacang-kacangan), dan makanan laut. Bumbu berupa dashi yang dibuat
dari konbu, ikan dan shiitake, ditambah miso dan shōyu. Berbeda dengan masakan
negara-negara lain, makanan Jepang sama sekali tidak menggunakan bumbu berupa
rempah-rempah dari biji-bijian (merica) atau penyedap yanng mengandung biji
(seperti cabai) yang harus ditumbuk atau dihaluskan. Masakan Jepang juga tidak
menggunakan bumbu yang berbau tajam seperti bawang putih.
Kacang kedelai merupakan bahan utama makanan olahan. Penyedap biasanya berupa
sayur-sayuran beraroma harum yang dipotong-potong halus atau diparut. Masakan
Jepang umumnya rendah lemak, tetapi mengandung kadar garam yang tinggi.

2. Bumbu
Masakan Jepang mengenal 5 bumbu utama yang harus dimasukkan
secara berturutan sesuai urutan sa-shi-su-se-so yang merupakan singkatan dari:
gula pasir (satō)garam (shio)cuka (su)shōyu (seuyu: ejaan zaman dulu
untuk shōyu)miso (miso).Sesuai dengan peraturan sa-shi-su-se-so, gula pasir
adalah bumbu yang dimasukkan pertama kali, diikuti garam, cuka, kecap asin,
dan miso.

3. Penyajian makanan

Makanan utama di Jepang terdiri dari nasi (kadang-kadang


dicampur palawija), sup dan lauk. Lain halnya dari masakan Cina atau masakan
Eropa, masakan Jepang tidak mengenal tahapan (course) dalam penyajian.
Dalam budaya makan Eropa atau Cina, makanan disajikan secara bertahap,
mulai dari hidangan pembuka, sup, hidangan utama, dan diakhiri
dengan hidangan penutup. Masakan Jepang dihidangkan semuanya secara
sekaligus. Dalam hal penyajian hidangan, dalam masakan Jepang tidak dikenal
perbedaan antara tata cara penyajian di rumah dengan tata cara penyajian di
restoran. Jamuan makan dan kaiseki merupakan pengecualian karena makanan
disajikan secara bertahap.

Dalam hal menikmati makanan, masakan Jepang bisa dengan mudah


dibedakan dari masakan Eropa atau masakan Cina. Rasa dicampur sewaktu
makanan Jepang berada di dalam mulut. Asinan sayur-sayuran mungkin terasa
terlalu asin kalau dimakan begitu saja, namun asinan terasa lebih enak ketika
dimakan dengan nasi putih. Dalam masakan Jepang, bahan makanan tidak diolah
secara berlebihan. Makanan harus mempunyai rasa asli bahan makanan tersebut.
Cara memasak atau penyiapan makanan hanya bertujuan menampilkan rasa asli
dari bahan makanan. Makanan juga sama sekali tidak dimasak
dengan bumbu yang berbau tajam. Masakan Jepang tidak mengenal teknik
memasak yang bisa merusak penampilan bahan dan kesegaran bahan makanan.

Juru masak masakan Jepang dituntut serba bisa dalam berbagai bidang.
Mereka dituntut memiliki keahlian dalam pengolahan bahan makanan,
pengetahuan tentang alat-alat makan, serta pemilihan suasana yang tepat untuk
menikmati makanan. Masakan Jepang sangat berbeda dari masakan
Perancis yang sangat maju dalam pembagian keahlian di dapur dan pelayanan
terhadap tamu di ruang makan.

4. Peralatan Makan
masakan Jepang umumnya dibuat dari keramik, porselen, atau kayu
yang dipernis dengan urushi. Di rumah keluarga Jepang, setiap anggota
keluarga memiliki mangkuk nasi dan sumpit sendiri, dan tidak saling
dipertukarkan dengan milik anggota keluarga yang lain. Sumpit yang dipakai
bisa berupa sumpit kayu, sumpit bambu, atau sumpit sekali pakai. Sebelum
teknik pembuatan keramik dikenal di Jepang, sebagian besar alat makan
dibuat dari kayu yang dipernis. Alat makan dari porselen umumnya diberi
hiasan gambar-gambar yang berfungsi sebagai penghias hidangan.

Masakan Jepang memiliki aturan yang sangat longgar menyangkut


bentuk alat makan dari keramik. Piring bisa saja berwarna gelap atau
berbentuk persegi empat, sehingga sangat mencolok dibandingkan piring
makanan Eropa atau Amerika. Alat makan untuk makanan Jepang terlihat
sangat berbeda dengan alat makan untuk masakan Cina atau Korea. Masakan
Cina menggunakan piring bundar dari porselen dengan hiasan sederhana,
sementara masakan Korea memakai porselen putih tanpa hiasan atau alat
makan dari logam.

5. Penyajian
 Nasi diletakkan di sebelah kiri, dan sup miso di sebelah kanan.
 Ikan yang disajikan utuh: kepalanya menghadap sebelah kiri, dan
perutnya menghadap tangan.
 Sayuran yang dimakan dengan daging, seperti daikon oroshi,
diletakkan di depan tangan.
 Keratan ikan: kulitnya diletakkan di depan tangan, dan dagingnya
diletakkan di atas.
Makanan utama di Jepang terdiri dari nasi (kadang-kadang
dicampur palawija), sup dan lauk. Lain halnya dari masakan Cina atau
masakan Eropa, masakan Jepang tidak mengenal tahapan (course) dalam
penyajian. Dalam budaya makan Eropa atau Cina, makanan disajikan
secara bertahap, mulai dari hidangan pembuka, sup, hidangan utama, dan
diakhiri dengan hidangan penutup. Masakan Jepang dihidangkan
semuanya secara sekaligus. Dalam hal penyajian hidangan, dalam masakan
Jepang tidak dikenal perbedaan antara tata cara penyajian di rumah dengan
tata cara penyajian di restoran. Jamuan makan dan kaiseki merupakan
pengecualian karena makanan disajikan secara bertahap.

6. Pola menu
 Nasi putih, dicampur kocokan telur mentah dan diberi toping nato alias
fermentasi kedelai, hmm yummy!

 Vegetable soup, disantap dengan nasi putih dan nggak ketinggalan nato
sebagai penyedapnya.

 Oyakodon, menu yang lumayan lezat terbuat dari ayam yang digoreng
bersama telur dan disiram kuah miso soup.

 Sup mochi, yummy yang bernama ozoni paling pas ditemani dnegan green tea
hangat.
Tanuki udon, mi Jepang yang berukuran besar dengan taburan serpihan
adonan tempura goreng.
.

Anda mungkin juga menyukai