Disusun Oleh :
Kelompok 7
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga Makalah
kelompok kami dapat terselesaikan. Pokok bahasan makalah ini disesuaikan dengan materi dan
kompetensi yang diajarkan pada Pendidikan Tinggi Keperawatan. Makalah ini berisi tentang
materi yang telah diberikan kepada kelompok kami yaitu mencakup materi Asuhan Keperawatan
Penyakit Typhoid.
Atas terselesaikannya makalah ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-
teman dari kelompok kami yang telah terlibat, baik secara langsung maupun tidak dalam
penyusunan makalah ini. Dan semua pihak yang telah mendukung terselesaikannya penyusunan
makalah ini.
Kami menyadari masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan dalam makalah ini.
Kami mengharapkan masukan yang membangun dari pembaca agar makalah ini terus menjadi
lebih baik. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa keperawatan.
Wassalam
Penyusun
Kelompok 7
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demam tifoid (selanjutnya disebut tifoid) merupakan penyakit infeksi akut usus halus
yang disebabkan oleh Salmonella typhi.1 Penyakit menular ini masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat dengan jumlah kasus sebanyak 22 juta per tahun di dunia dan
menyebabkan 216.000– 600.000 kematian. Terjadi 300 kasus demam tifoid terjadi di Amerika
Serikat tiap tahun (Newton, Routh, & Mahon, 2017). 2 Studi yang dilakukan di daerah urban
di beberapa negara Asia pada anak usia 5–15 tahun menunjukkan bahwa insidensi dengan
biakan darah positif mencapai 180–194 per 100.000 anak, di Asia Selatan pada usia 5–15
tahun sebesar 400–500 per 100.000 penduduk, di Asia Tenggara 100–200 per 100.000
penduduk, dan di Asia Timur Laut kurang dari 100 kasus per 100.000 penduduk.3 Komplikasi
serius dapat terjadi hingga 10%, khususnya pada individu yang menderita tifoid lebih dari 2
minggu dan tidak mendapat pengobatan yang adekuat. Case Fatality Rate (CFR) diperkirakan
1–4% dengan rasio 10 kali lebih tinggi pada anak usia lebih tua (4%) dibandingkan anak usia
≤4 tahun (0,4%). Pada kasus yang tidak mendapatkan pengobatan, CFR dapat meningkat
hingga 20% (Purba & etc, 2016).
Demam tifoid merupakan penyakit yang rawan terjadi di Indonesia, karena karakteristik
iklim yang sangat rawan dengan penyakit yang berhubungan dengan musim. Terjadinya
penyakit yang berkaitan dengan musim yang ada di Indonesia dapat dilihat meningkatnya
kejadian penyakit pada musim hujan. Penyakit yang harus diwaspadai pada saat musim hujan
adalah ISPA, leptosiposis, penyakit kulit, diare, demam berdarah dan demam tifoid
(Kementerian Kesehatan RI, 2012).
Di Indonesia, tifoid harus mendapat perhatian serius dari berbagai pihak, karena penyakit
ini bersifat endemis dan mengancam kesehatan masyarakat. Permasalahannya semakin
kompleks dengan meningkatnya kasus-kasus karier (carrier) atau relaps dan resistensi
terhadap obat-obat yang dipakai, sehingga menyulitkan upaya pengobatan dan pencegahan.4
Pada tahun 2008, angka kesakitan tifoid di Indonesia dilaporkan sebesar 81,7 per 100.000
penduduk, dengan sebaran menurut kelompok umur 0,0/100.000 penduduk (0–1 tahun),
148,7/100.000 penduduk (2–4 tahun), 180,3/100.000 (5-15 tahun), dan 51,2/100.000 (≥16
tahun). Angka ini menunjukkan bahwa penderita terbanyak adalah pada kelompok usia 2-15
tahun.5 Hasil telaahan kasus di rumah sakit besar di Indonesia menunjukkan adanya
kecenderungan peningkatan jumlah kasus tifoid dari tahun ke tahun dengan rata-rata kesakitan
500/100.000 penduduk dan kematian diperkirakan sekitar 0,6–5%.4 Berdasarkan hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi demam tifoid di Indonesia mencapai
1,7%. Distribusi prevalensi tertinggi adalah pada usia 5–14 tahun (1,9%), usia 1–4 tahun
(1,6%), usia 15–24 tahun (1,5%) dan usia <1 tahun (0,8%).
Menurut Dinkes (2009) dalam (Nasrah, Intang, & Bahar, 2015) Sulawesi Selatan
melaporkan demam typhoid melebihi 2500/100.000 penduduk. Dinas Kesehatan Provinsi
Sulawesi Selatan tahun 2007 melaporkan bahwa proporsi demam tifoid dari 10 penyakit
terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit yaitu 7,3 % (1.451 kasus) dari 19.856 kasus.
Menurut laporan surveilans terpadu penyakit berbasis rumah sakit tahun 2008, jumlah kasus
demam tifoid rawat inap yaitu 1.354 kasus dan pada tahun 2009 jumlah kasus demam tifoid
rawat inap yaitu 1.321 kasus
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi penyakit typhoid?
2. Apa etiologi dari penyakit typhoid?
3. Apa manifestasi klinis dari penyakit typhoid?
4. Jelaskan patofisiologi dari penyakit typhoid!
5. Apa klasifikasi atau jenis dari penyaki typhoid?
6. Bagaimana penatalaksanaan medis dari penyakit typhoid?
7. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari penyakit typhoid?
8. Bagaimana cara pencegahan agar tidak terserang penyakit typhoid?
9. Apa komplikasi dari penyakit typhoid?
10. Bagaimana asuhan keperawatan dari penyakit typhoid?
C. Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui definisi penyakit typhoid
2. Mahasiswa dapat mengetahui etiologi dari penyakit typhoid
3. Mahasiswa dapat mengetahui manifestasi klinis dari penyakit typhoid
4. Mahasiswa dapat mengetahui patofisiologi dari penyakit typhoid
5. Mahasiswa dapat mengetahui klasifikasi atau jenis dari penyaki typhoid
6. Mahasiswa dapat mengetahui penatalaksanaan medis dari penyakit typhoid
7. Mahasiswa dapat mengetahui pemeriksaan penunjang dari penyakit typhoid
8. Mahasiswa dapat mengetahui cara pencegahan agar tidak terserang penyakit typhoid
9. Mahasiswa dapat mengetahui komplikasi dari penyakit typhoid
10. Mahasiswa dapat mengetahui asuhan keperawatan dari penyakit typhoid
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Typhoid
Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella enterica
serovar typhi (S typhi).1-3 Salmonella enterica serovar paratyphi A, B, dan C juga dapat
menyebabkan infeksi yang disebut demam paratifoid.3 Demam tifoid dan paratifoid termasuk
ke dalam demam enterik. Pada daerah endemik, sekitar 90% dari demam enterik adalah
demam tifoid (Nelwan, 2012).
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan, ditopang
dengan bacteremia tanpa keterlibatan struktur endothelia atau endokardial dan incasi bakteri
sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit monocular dari hati, limpa, limfe usus dan peyer’s
patch dan dapat mneular pada orang lain melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi
(Nurarif & Kusuma, 2015).
Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella enterica
serovar typhi (S.typhi). Penyakit ini ditularkan melalui makanan atau air yang terkontaminasi
dengan feses penderita. Salah satu tanda dari penyakit ini adalah demam yang bekerpanjangan
dan bakterimia (Sumarmo, 2002). Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang biasanya
terdapat pada saluran cerna dengan gejala demam dan disertai dengan gangguan pencernaan.
B. Etiologi Typhoid
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella typhi yang merupakan bakteri
Gram negatif yang mempunyai flagella, bergerak, tidak berkapsul dan tidak membentuk spora
Depkes (2006).S. Typhi memiliki ukuran berkisar 0,7-1,5 x 2,5 µm, memiliki antigen somatic
(O), antigen flagel (H) dengan 2 fase dan antigen kapsul (Vi). Kuman ini tahan terhadao
selenit dan natrium deoksikolat yang dapat menmbunuh bakteri enteric lain, menghasilkan
endotoksin, protein invasin dan MRHA (Mannosa Resistant Haemaglutinin).
S. Typhimampu bertahan hidup selama beberapa bulan hingga setahun jika melekat dalam
tinja, mentega, susu, kejudan air beku. S. Typhi merupakan parasit intraseluler falkutatif, yang
dpat hidup dalam makrofag dan menyebabkan gejala-gejala gastrointestinal hanya pada akhir
perjalanan penyakit, biasanya setelah demam yang lama, bacteremia dan akhirnya lokalisasi
infeksi dalam jaringan limfoid submukosa usus kecil. S. Typhimerupakan kuman pathogen
penyebab demam tifoid, yaitu penyakit infeksi sistemik dengan gambaran demam yang
berlangsung lama, adanya bacteremia disertai inflamasi yang dapat merusak usus, dan organ-
organ hati (Cita, 2011).
C. Manifestasi Klinis Typhoid
Menurut Menteri Kesehatan RI dalam Pedoman Pengendalian Demam Tifoid (2006):
1. Demam tinggi yang merupakan gejala utama. Pada pagi hari suhunya lebih rendah atau
normal, pada sore dan malam hari suhunya cenderung lebih tinggi.
2. Nyeri kepala, nyeri perut
3. Anoreksia
4. Gangguan saluran pencernaan meliputi: bibir pecah-pecah, lidah kotor, nyeri perut,
disertai nausea dan vomiting, kadang-kadang diare.
5. Gangguan kesadaran (penurunan kesadaran ringan).
6. Hepatomegali, splenomegali
D. Patofisiologi Typhoid
Bakteri salmonella
typhi
Masuk ke lambung
Sebagian dimusnahkan
Usus halus
oleh asam lambung
Inflamasi
Melekat pada sel mukosa
Peningkatan produksi
asam lambung Merangsang pelepasan
zat pirogen oleh leukosit Menginvasi dan menembus
dinding usus tepatnya ileum
Mual dan muntah dan jejenum
Zat pirogen beredar
dalam darah
Penurunan nafsu Menuju Payer’s Patch
makan
Hipotalamus merespon dengan
meningkatkan suhu tubuh Bertahan hidup dan
Berat badan bermultiplikasi di sel M
menurun
Ketidakefektifan
termoregulasi Bakteri mencapai
Ketidakseimbangan nutrisi: folikel limfe usus
kurang dari kebutuhan tubuh halus
Penumpukan Bising usus Peristaltic usus Tukak pada
tinja menurun, hilang menurun mukosa usus
Melewati sirkulasi
sistemik(bakteremia primer)
Defenisi : Sejauh mana nutrisi dicerna dan diserap untuk memenuhi kebutuhan metabolic
Skala outcome 1 2 3 4 5
keseluruhan
Indikator:
100402 Asupan 1 2 3 4 5 NA
makanan
100403 Energy 1 2 3 4 5 NA
2. Status nutrisi: Asupan Nutrisi
Setelah dilakukan intervensi selama 1 x 24 jam diharapkan asupan nutrisi menjadi
adekuat dengan indikator sebagai berikut:
Status Nutrisi: Asupan Nutrisi
Skala outcome 1 2 3 4 5
keseluruhan
Indikator:
100904 Asupan 1 2 3 4 5 NA
karbohidrat
100906 Asupan 1 2 3 4 5 NA
mineral
NIC
Diagnosa: Ketidaksimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b/d faktor biologis:
infeksi bakteri S. thypi
Definisi: Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolic
1. Monitor nutrisi
Definisi: pengumpulan dan analisa data pasien yang berkaitan dengan asupan nutrisi
Aktivitas-aktivitas
a. Timbang berat badan pasien
b. Monitor pertumbuhan dan perkembangan
c. Lakukan pengukuran antropometrik pada komposisi tubuh (misalnya, indeks massa
tubuh, pengukuran pinggang dan lipatan kecil)
d. Monitor kecenderungan turun dan naiknya berat badan (misalnya, pada pasien
anak-anak)
e. Identifikasi perubahan berat badan terakhir
f. Monitor turgor kulit dan mobilitas
g. Monitor adanya mual dan muntah
h. Identifikasi abnormalitas eliminasi bowel (misalnya, diare, darah, mucus, dan
eliminasi yang nyeri dan tidak teratur)
i. Monitor diet dan asupan kalori
j. Identifikasi perubahan nafsu makan dan aktivitas akhir-akhir ini
k. Monitor adanya warna pucat, kemerahan dan jaringan konjungtiva yang kering
l. Tentukan faktor-faktor yang mempengaruhi asupan nutrisi misalnya, ketersediaan
dan kemudahan memperoleh produk-produk makanan yang berkualitas,
pengetahuan, kemampuan manyiapkan makanan.
m. Tinjau ulang sumber lain terkait dan status nutrisi (misalnya,diari makanan pasien
dan catatan tertulis)
n. Mulai tindakan atau berika rujukan, sesuai kebutuhan
2. Manajemen nutrisi
Definisi: Menyediakan dan meningkatkan intake nutrisi yang seimbang
Aktivitas-aktivitas:
a. Tentukan status gizi pasien dan kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan gizi
b. Berikan pilihan makanan sambil menawarkan bimbingan terhadap pilihan makanan
yang lebih sehat, jika diperlukan
c. Tawarkan makanan ringan yang padat gizi
d. Monitor kalori dan asupan makanan
e. Monitor kecenderungan terjadinya penurunan dan kenaikan berat badan
f. Anjurkan pasien untuk memantau kalori dan intake makanan (misalnya, buku
harian makanan)
g. Berikan arahan, bila diperlukan
Diagnosa: Konstipasi berhubungan dengan penurunan mortilitas gastrointestinal
Definisi: Penurunan frekuensi normal defelasi yang disertai kesulitan atau pengeluaran
feses tidak tuntas dan/atau feses yang keras, kering dan banyak.
NOC
1. Eliminasi usus
Setelah dilakukan intervensi selama 1 x 24 jam diharapkan asupan/intake dan output
eliminasi usus dapat normal dengan indikator sebagai berikut:
Eliminasi Usus
Skala outcome 1 2 3 4 5
keseluruhan
Indikator:
050102 Kontrol 1 2 3 4 5 NA
gerakan usus
Defenisi : Keseimbangan antara produksi panas, mendapatkan panas, dan kehilangan panas
Skala outcome 1 2 3 4 5
keseluruhan
Indikator:
080015 Melaporkan 1 2 3 4 5 NA
kenyamanan
suhu
080001 Peningkatan 1 2 3 4 5 NA
suhu kulit
080018 Penurunan 1 2 3 4 5 NA
suhu kulit
080019 Hipertermia 1 2 3 4 5 NA
080014 Dehidrasi 1 2 3 4 5 NA
NIC
Diagnosa: Ketidakefektifan Termoregulasi berhubungan dengan proses penyakit
Definisi: Fluktuasi suhu di antara hipotermia dan hipertermia
1. Perawatan demam
Definisi: manajemen gejala dan kondisi terkait yang berhubungaan dengan
peningkatan suhu tubuh dimediasi oleh pirogen dan endogen
Akitivitas-aktivitas:
a. Pantau suhu dan tanda-tanda vital lainnya
b. Monitor warna kulit dan suhu
c. Monitor asupan dan keluaran, sadari perubahan kehilangan cairan yang tak
dirasakan
d. Dorong komsumsi cairan
e. Fasilitasi istirahat, terapkan pembatasan aktivitas: jika diperlukan
f. Pantau komplikasi-komplikasi yang berhubungan dengan demam serta tanda dan
gejala kondisi penyebab demam (misalnya kejang, penurunan tingkat kesadaran,
status elektrolit abnormal, ketidakseimbangan asam-basa, aritmia jantung, dan
perubahan abnormalitas sel).
g. Pastikan tanda lain dari infeksi yang terpantau pada orangtua, karena hanya
menunjukkandemam ringan atau tidak demam sama sekali selama proses infeksi
h. Lembabkan bibi dan mukosahibung yang kering
2. Manajemen lingkungan
Definisi: manipulasi lingkungan pasien untuk kepentingan terapi, daua tarik sensorik,
dan kesejahteraan psikologis
Aktivitas-aktivitas
a. Ciptakan lingkungan yang aman bagi pasien
b. Singkirkan benda-benda berbahaya dari lingkungan
c. Sediakan tempat tidur dan lingkungan yang bersih dan nyaman
d. Sediakan keluarga/orang terdekat dengan informasi mengenai membuat lingkungan
rumah yang aman bagi pasien
3. Perawatan hipertermia
Definisi: manajemen gejala dan kondisi yang berhubungan dengan peningkatan suhu
tubuh akibat disfungsi termoregulasi
Aktivitas-aktivitas
a. Monitor tanda-tanda vital
b. Hentikan aktivitas fisik
c. Pasang akses IV
d. Monitor suhu tubuh menggunakan alat yang sesuai (misalnya, pemeriksaan rectal
atau esophagus)
Diagnosa: Nyeri akut b/d agens cedera biologis (misalnya, infeksi)
Definisi: Pengalaman sensori dan emosionla tidak menyenangkan yang muncul akibat
kerusakan jaringan actual atau potensial atau yang digambarkan sebagai kerusakan;
awitan yang tiba-tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang
dapat diantisipasi atau diprediksi
NOC
1. Kontrol nyeri
Setelah dilakukan intervensi selama 1 x 24 jam diharapkan nyeri dapat berkurang dan
mengontrol nyeri dengan indikator sebagai berikut:
Kontrol nyeri
Skala Outcome 1 2 3 4 5 NA
Keseluruhan
Indikator
160502 Mengenali 1 2 3 4 5 NA
kapan nyeri
terjadi
160501 Menggambarkan 1 2 3 4 5 NA
factor penyebab
160503 Menggunakan 1 2 3 4 5 NA
tindakan
pencegahan
160504 Menggunakan 1 2 3 4 5 NA
tindakan
pengurangan
[nyeri] tanpa
analgesic
160507 Melaporkan 1 2 3 4 5 NA
gejala yang
tidak terkontrol
pada
professional
kesehatan
160511 Melaporkan 1 2 3 4 5 NA
nyeri yang
terkontrol
2. Tingkat nyeri
Setelah dilakukan intervensi selama 1 x 24 jam diharapkan nyeri dapat berkurang
dengan indikator sebagai berikut:
Tingkat Nyeri
Indicator
210227 Mual 1 2 3 4 5 NA
Indikator
301610 Pendekatan- 1 2 3 4 5 NA
pendekatan preventif
digunakan untuk
manajemen nyeri
301611 Memberikan 1 2 3 4 5 NA
informasi tentang
pembatasan aktivitas
4. Status kenyamanan
Setelah dilakukan intervensi selama 1 x 24 jam diharapkan kondisi pasien bisa
terhindar dari nyeri dengan indikator sebagai berikut:
Status Kenyamanan
Definisi: keseluruhan rasa nyaman dan keamanan individu secara fisik, psikospiritual, social budaya, dan
lingkungan
Indikator
200812 Mampu 1 2 3 4 5 NA
mengkomunikasikan
kebutuhan
NIC
1. Pemberian analgesic
Definisi: Penggunaan agen farmakologi untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri
Aktivitas- aktivitas :
a. Cek perintah pengobatan meliputi obat,dosis, dan frekuensi obat analgesic yang
diresepkan
b. Berikan kebutuhan kenyamanan dan aktivitas lain yang dapat membantu relaksasi
untuk memfasilitasi penurunan nyeri
c. Dokumentasikan respon terhadap analgesic dan adanya efek samping
d. Lakukan tindakan-tindakan untuk menurunkan efek samping analgesic (misalnya
kongstipasi dan iritasi lambung)
2. Pemberian obat
Definisi: Mempersiapkan, memberikan dan mengevaluasi efektifitas obat dengan resep
dan tanpa resep
Aktivitas-aktivitas
a. Pertahankan aturan dan prosedur yang sesuai dengan keakuratan dan keamanan
pemberian obat-obatan
b. Hindari interupsi ketika menyiapkan, mengverifikasi dan memberikan obat
c. Beritahukan klien mengenai jenis obat , alasan pemberian obat, hasil yang
diharapkan dan efek lanjutan yang akan terjadi sebelum pemberian obat
d. Catat tanggal kadaluarsa obat yang tertera pada wadah obat
3. Manajemen nyeri
Definisi: Pengurangan atau reduksi nyeri sampai pada tingkat kenyamanan yang dapat
diterima oleh pasien
Aktivitas-aktivitas
a. Pastikan perawatan analgesik bagi pasien dilakukan dengan pemantauan yang ketat
b. Gali pengetahuan dan kepercayaan pasien mengenai nyeri
c. Pertimbangkan pengaruh budaya terhadap respon nyeri
d. Berikan informasi mengenai nyeri, seperti penyebab nyeri, beberapa nyeri akan
dirasakan dan antisipasi dari ketidaknyamanan akibat prosedur
e. Ajarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri
f. Pertimbangkan tipe dan sumber nyeri ketika memilih strategi penurunan nyeri
g. Dorong pasien untuk memonitor nyeri dan menangani nyerinya dengan tepat
h. Dukung istirahat/tidur yang adekuat untuk membantu penuruna nyeri
i. Dorong pasien untuk mendiskusikan pengalaman nyerinya, sesuai kebutuhan
j. Libatkan keluarga dalam modalitas penurunan nyeri, jika memungkinkan
k. Monitor kepuasan pasien terhadap manajemen nyeri dalam interval yang spesifik
4. Manajemen energy
Definisi: Pengaturan energy yang digunakan untuk menangani atau mencegah
kelelahan dan mengoptimalkan fungsi
Aktivitas-aktivitas:
a. Monitoring intake/asupan nutrisi untuk mengetahui sumber energy yang adekuat
b. Konsulkan dengan ahli gizi mengenai cara meningkatkan asupan energy dari
makanan
c. Anjurkan pasien untuk memilih aktivitas-aktivitas yang membangun ketahanan
d. Berikan kegiatan pengalihan yang menenangkan untuk meningkatkan relaksasi
e. Bantu pasien untuk menjadwalkan periode istirahat
5. Terapi relaksasi
Definisi: Menfasilitasi terapi penggatian hormone yang aman dan efektif
Aktivitas-aktivitas :
a. Monitor efek samping
b. Fasilitasi pasien untuk memutuskan apakah ingin melanjtkan atau menghetikan
terapi
c. Atur jenis dan dosis pengobatan, jika memungkinkan
d. Monitor efek terapeutik pada pasien
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Demam tifoid masih menjadi maasalah kesehatan yang penting di negara berkembang sdi
Asia, termasuk Indonesia. Diagnosis demam tifoid dapar ditegakkan berdasarkan gambaran
klinis dan pemeriksaan tambahan dari laboratorium. Diagnosis demam tifoid yang
ditegakkan secara dini dan disertai dengan pemberian terapi yang tepat dapat mencegah
terjadinya komplikasi, kekambuhan, pembawa kuman (carrier) dan kemungkinan kematian.
Strategi pencegahan diarahkan pada ketersediaan air bersih, menghindari makanan yang
terkontaminasi, personal hygiene yang baik untuk perorangan maupun kelompok, sanitasi
yang baik dan pemberian vaksin sesuai kebutuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek Gloria M, etc. (2013). Nursing Interventions Classification Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta:
Elsevier
Cita, Y. P. (2011). Bakteri Salmonella Typhi dan Demam Tifoid. Jurnal Kesehatan Masyarakat Vol.6
No.1, 42-46.
Depkes. (2006, Mei 19). Perpustakaan Kementrian Kesehatan. Retrieved Maret 2017, 27, from
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 364/MENKES/SK/V/2006 tentang Pedoman
Pengendalian Demaam Tifoid [Peraturan]:
http://perpustakaan.depkes.go.id:8180/handle/123456789/1262
Herdman T. Heather (2014). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi Edisi 10. Jakarta:EGC
Inawati. (2009). DEMAM TIFOID. Surabaya: Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
Kementerian Kesehatan RI. 2012. Antisipasi Penyakit Menular Saat Banjir. Jakarta
Moorhead Sue, etc. (2013). Nursing Outcomes Classification Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Elsevier
Nasrah, S., Intang, A., & Bahar, B. (2015). FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
KESEMBUHAN PASIEN PENDERITA DEMAM TYPHOID DI RUANG PERAWATAN
INTERNA RSUD KOTA MAKASSAR . Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis Volume 5 Nomor 6,
673-678.
Nelwan, R. (2012). Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. Continuing Medical Education Vol.39 No.4,
247-250.
Newton, A. E., Routh, J. A., & Mahon, B. E. (2017). Typhoid & Paratyphoid Fever.
https://wwwnc.cdc.gov/travel/yellowbook/2016/infectious-diseases-related-to-travel/typhoid-
paratyphoid-fever: Centers for Disease Control and Prevention.
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdsarkan Diagnosa Medis dan
Nanda Nic-Noc Edisi Revisi Jilid 1. Jogjakarta: Mediaction Jogja.
Purba, I. E., & etc. (2016). Typhoid Fever Control Program in Indonesia: Challenges and Opportunities.
Media Litbangkes Vol.26 No.2, 99-108.
Sumarmo, H. (2002). Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis edisi kedua. Jakarta: IDAI.
WHO. (2011). Guidlines for the Management of Typhoid Fever. European: WHO.