Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

RHINITIS NON ALERGI

Penyusun :

Pembimbing :
dr. Bima Mandraguna, Sp.THT-KL
dr. Aditya Arifianto, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT THT


RUMAH SAKIT ANGKATAN RSUD KARAWANG
PERIODE 6 NOVEMBER – 9 DESEMBER 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN
RHINITIS NON ALERGI

Disusun untuk memenuhi syarat dalam mengikuti Ujian Akhir Kepanitraan Klinik
Bagian THT-KL Rumah Sakit Umum Daerah Karawang

Pada tanggal : November 2017


Tempat : Rumah Sakit Umum Daerah Karawang
Tanggal Revisi :

Telah Disetujui Oleh

Dokter Pembimbing Dokter Pembimbing

dr. Aditya Arifianto, Sp. THT-KL dr. Bima Mandraguna, Sp. THT-KL

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Rinitis Non Alergi”.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak
yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian referat ini, terutama
kepada dr. Bima Mandraguna,Sp.THT-KL dan dr.Aditya Arifianto,Sp.THT-KL
selaku pembimbing yang telah memberikan waktu dan bimbingannya sehingga
referat ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan referat ini tidak lepas dari kesalahan
dan kekurangan, maka dari itu penulis mengharapkan berbagi saran dan masukan
untuk perbaikan selanjutnya. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat
memberikan manfaat sebesar-besarnya dalam bidang kedokteran, khususnya untuk
bidang ilmu penyakit THT.

Jakarta, November 2017

Nastatia Agna
030.13.137

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.....................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN......................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................................ii
DAFTAR ISI...............................................................................................................iii
BAB I
PENDAHULUAN.............................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................. 3
2.1 Anatomi Hidung.....................................................................................................3
2.2 Fisiologi Hidung.....................................................................................................4
Rinitis Non
Alergi.........................................................................................................5
2.3

Definisi....................................................................................................................5
2.4 Klasifikasi...............................................................................................................5
2.4.1 Rhinitis
Vasomotor................................................................................................5
2.4.2 Rhinitis Karena Obat-obatan................................................................................5
2.4.3 Rhinitis Medikamentosa.......................................................................................6
2.4.4 Rhinitis non-alergika dengan sindrom eosinofilia................................................7
2.4.5 Rhinitis terkait dengan pekerjaan (Occupational Rhinitis....................................8
2.4.6 Rhinitis
Hormonal.................................................................................................8
2.4.7 Rhinitis Atrofi.......................................................................................................9
BAB III KESIMPULAN............................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................12

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

Rhinitis non-alergika merupakan rinitis yang tidak disebabkan oleh kejadian


patologis yang diperantarai IgE. Rhinitis non alergik adalah suatu sindrom dan
gabungan dari beberapa penyakit yang berkaitan dengan gejala peradangan hidung
tanpa adanya pemicu alergi yang dapat ditemukan. Pasien datang dengan keluhan
berbagai tingkatan sumbatan hidung, rhinorrhea anterior atau posterior, tekanan di
dalam sinus, hiposmia, gangguan kognitif, gangguan tidur, dan tampak kelelahan.
Gejala-gejala bersin serta terasa gatal di mata, hidung atau palatum juga bisa
menyertai tetapi tidak begitu umum daripada yang terlihat pada rhinitis alergika.
Berbagai iritan dari lingkungan, efek samping obat, disfungsi otonom, penyakit
autoimun, dan pengaruh hormonal adalah etiologi potensial dari Rhinitis non-
alergika.(1)
Rhinitis non-alergika dapat dibagi lagi menjadi rhinitis idiopatik (IR), rhinitis
non-alergika dengan sindrom eosinofilia (NARES), rhinitis otonomik, rhinitis terkait
pekerjaan, rhinitis akibat obat, rhinitis hormonal, rhinitis atropik (AR), serta berbagai
penyebab sistemik dari rhinitis. Rhinitis non alergi dapat mempengaruhi kualitas
hidup pasien secara signifikan. Kondisi ini sulit dibedakan dengan rhinitis alergi,
akan tetapi keduanya memiliki pemicu yang berbeda dan responnya terhadap
pengobatan dapat bervariasi.(2)
Saat ini rhinitis alergi mempengaruhi 30-60juta orang Amerika setiap tahunnya,
(3)
atau antara 10%-30% dari orang dewasa AS , sedangkan jumlah pasien yang
memiliki rhinitis nonalergi sulit untuk ditentukan. Dalam sebuah penelitian diklinik
alergi, 23% dari pasien dengan rhinitis memiliki tipe nonalergi, 43% memiliki tipe
alergi. Penelitian lain menunjukkan bahwa ~52% dari pasien yang datang keklinik
alergi dengan rhinitis memiliki rhinitis nonalergi (4).
Prevalensi terbanyak usia 20-an keatas. Lebih dominan pada perempuan. Pasien
cenderung memiliki peningkatan kepekaan terhadap iritan. Gejala yang muncul
bersifat menahun bukan musiman, dan tanda eosinofilia hidung 33% nampak pada

1
pasien.(2,4)

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Hidung
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri.
Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang
belakang disebut nares posterior (koana) yang mengubungkan kavum nasi dengan
nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di
belakang nares anterior, disebut vestibulum.(5)
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka (konka inferior, konka media, konka
superior dan konka suprema. Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung
terdapat rongga sempit yang disebut meatus (meatus inferior, meatus medius dan
meatus superior).(5)

Gambar 1. Dinding lateral hidung

Bagian atas ronga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior. Bagian
bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari ujung a. palatina mayor an a.
sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina. Bagian depan hidung mendapat
pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis. Pada bagian depan septum terdapat
anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmoid posterior, a. labialis
superior dan a. palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area) (5)

3
Gambar 2. Perdarahan hidung

Bagian depan dari atas rongga hidung mendapat persafaran sensoris dari n.
etmoidalis anterior. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan
sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion sfenopalatina juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini
menerima serabut saraf dari n. maksila (N. V-2), serabut parasimpatis dari n. petrosus
superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari n. petrosus profundus. Fungsi
penghidu berasal dari n. olfaktorius.(5)

2.2 Fisiologi Hidung


Fungsi fisiologi hidung adalah 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi surara
(air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran
teekanan dan mekanisme imonologik lokal; 2) fungsi penghidu karena terdapatnya
mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu; 3)
fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan
mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang; 4) Refleks nasal, iritasi
pada mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti.(5)

4
Rinitis Non Alergi
2.3 Definisi
Rhinitis non alergik adalah suatu sindrom dan gabungan dari beberapa penyakit
yang berkaitan dengan gejala peradangan hidung tanpa adanya pemicu alergi yang
dapat ditemukan. Pasien datang dengan keluhan berbagai tingkatan sumbatan hidung,
rhinorrhea anterior atau posterior, tekanan di dalam sinus, hiposmia, gangguan
kognitif, gangguan tidur, dan tampak kelelahan. Gejala-gejala bersin serta terasa gatal
di mata, hidung atau palatum juga bisa menyertai tetapi tidak begitu umum daripada
yang terlihat pada rhinitis alergika.(1)

2.4 Klasifikasi
2.4.1 Rhinitis Vasomotor
Rhinitis Vasomotor diduga disebabkan oleh berbagai pemicu saraf dan pembuluh
darah, sering tanpa disebabkan inflamasi. Beberapa rangsangan provokatif umumnya
termasuk udara dingin, perubahan kelembaban, olahraga, gairah seksual, alkohol,
stres emosional, makanan pedas, dan paparan langsung pada mukosa hidung. Pemicu
ini menyebabkan gejala yang melibatkan hidung tersumbat dan rhinorrhea jernih
lebih dari bersin dan gatal. Gejala dapat sporadis, dengan onset akut berkaitan dengan
pemicu nonalergi yang dapat identifikasi, atau kronis, dengan tidak ada pemicu yang
jelas.
Rhinitis vasomotor termasuk unik di antara penyebab rhinitis lainnya
dikarenakan ini merespon dengan baik untuk semprotan hidung ipratropium bromida
dua sampai empat kali sehari. Kortikosteroid topikal intranasal dan antihistamin
intranasal juga ditemukan efektif untuk rhinitis vasomotor.(6,7)
2.4.2 Rhintis Karena Obat-obatan(8)
Rhinitis karena obat-obatan dibagi menjadi tiga kategori (a) neurogenik, (b)
inflamasi, dan (c) idiopatik.
Tipe neurogenik dapat terjadi dengan obat simpatolitik seperti agonis reseptor
alpha (misalnya, clonidin [Catapres]) dan antagonis (misalnya, prazosin [Minipress]).
Vasodilator, termasuk phosphodiesterase-5 inhibitors seperti sildenafil (Viagra),
dapat menyebabkan gejala rhinitis akut (“anniversary rhinitis”). Obat anti-hipertensi

5
sistemik adalah contoh obat-obatan yang menyebabkan rhinitis melalui mekanisme
neurogenik. Obat-obatan ini berada di ujung keseimbangan antara regulasi simpatis
dan parasimpatis dari mukosa hidung ke arah dominasi parasimpatis melalui
penghambatan langsung atau tidak langsung dari norepinefrin. Banyak antipsikotik
dan antidepresan yang sama juga mengubah ketersediaan norepinefrin melalui
interferensi pada reuptake norepinefrin dan dopamin di jalur sinaptik. Pengobatan
pada kasus rhinitis neurogenik dengan cara mengidentifikasi obat yang menyebabkan
dan mengganti dengan alternatif lainnya jika memungkinkan.
Tipe inflamasi terjadi pada penyakit pernafasan yang diperburuk dengan aspirin,
yang ditandai dengan polip hidung dan rhinosinusitis kronik, hiposmia, dan asma
persisten sedang-berat. Aspirin dan NSAID lainnya memicu inflamasi akut akut, yang
menyebabkan rhinitis berat dan gejal asma. Direkomendasikan untuk memghindari
semua NSAID; desensitisasi dengan aspirin dapat meningkatkan terjadinya
rhinosinusitis dan asma kontrol.
Tipe idiopatik. Banyak obat lain yang dapat menyebabkan rhinitis karena
mekanisme yang tidak diketahui, biasanya ditemukan dengan pemeriksaan fisik. Obat
yang termasuk adalah beta-blockers, angiotensin-converting enzyme inhibitors,
calsium channel blockers, estrogen dari luar, kontrasepsi oral, antipsikotik, dan
gabapentin (Neurontin).
Menghubungkan inisiasi obat denga onset timbulnya rhinitis dapat membantu
megidentifikasi obat yang mengganggu. Menghentikan obat yang diduga, jika
memungkinkan, merupakan pengobatan lini pertama.

2.4.3 Rhinitis Medikamentosa


Rhinitis medikamentosa biasanya disebabkan karena penggunaan berlebihan
dekongestan topikal pada hidung, juga diklasifikasikan dalam obat yang memicu
rhinitis. Dekongestan nasal topikal yang mengandung oxymetazoline hidroklorida
dan Phenilefrin hidroklorida sejauh ini merupakan penyebab paling sering. Rhinitis
Rebound serupa juga bisa disebabkan oleh penggunaan kokain topikal di hidung.
Keluhan utama adalah hidung tersumbat yang parah. Biasanya kurang ada tanda

6
rhinorrhea meskipun sebenarnya ada sensasi rhinorrhea dan sering mengendus dalam
waktu yang lama. Pruritus dan bersin yang paling sering terlihat. Pada pemeriksaan,
mukosa hidung biasanya digambarkan sebagai edematous, "bengkak merah," dan
kering.Pasien dengan rhinitis medikamentosa sering kesulitan menghentikan
penggunaan dekongestan topikal.
Pengobatan rhinitis medicamentosa diarahkan pada penghentian agen
penyebabnya, penggantian dengan pilihan obat dengan efek farmakologis lebih baik,
dan mengidentifikasi kemungkinan mendasari penyebab rhinitis. Pasien harus
menghentikan penggunaan obatobatan ini dalam hitungan hari dan diganti dengan
semprotan saline nasal dan steroid hidung topikal.(3)

2.4.4 Rhinitis non-alergika dengan sindrom eosinofilia


Rhinitis non-alergika dengan sindrom eosinofilia (NARES) adalah sindrom
klinis dengan gejala seperti bersin, gatal, dan rhinore berair yang banyak, tampak
seperti alergi, namun tidak ditemukan adanya atopi sistemik dan ditandai eosinofilia
pada pulasan hidung. Pulasan hidung harus ditunjukkan lebih dari 20% eosinofil
untuk bisa didiagnosa. Gejala di hidung yang tampak pada pasien NARES sering
lebih parah daripada gejala yang terlihat pada rhinitis alergika dan anosmia lebih
sering muncul. Pasien dengan nonallergic eosinophilic syndrome (NARES) biasanya
berusia paruh baya.(9)
kortikosteroid intranasal adalah pengobatan andalan untuk NARES dan
ditemukannya eosinofilia signifikan pada pulasan hidung mengisyaratkan respon
yang baik untuk obat-obat ini. steroid oral lebih efektif daripada steroid topikal dalam
mengurangi gejala anosmia pada pasien NARES. Dalam sebuah studi, Antihistamin
yang tersedia menambahkan manfaat bersama dengan steroid topikal.(10,11,12)

2.4.5 Rhinitis terkait dengan pekerjaan (Occupational Rhinitis)


Rhinitis yang berhubungan dengan pekerjaan atau rhinitis kerja (OR) adalah
iritasi hidung dan peradangan karena eksposur di tempat kerja. Selain gejala hidung

7
primer, iritasi mata, pruritus okular, dan batuk adalah gejala dari OR. OR adalah
penyakit radang hidung, yang ditandai dengan gejala intermiten atau persisten (yaitu,
hidung tersumbat, bersin-bersin, rhinorea, gatal), dan/atau pembatasan aliran udara
hidung dan/atau hipersekresi karena sebab dan kondisi lingkungan kerja tertentu dan
tidak disebabkan oleh stimuli di luar tempat kerja. Penyebab rhinitis di tempat kerja
dapat berupa paparan terhadap bahan kimia, aerosol biologis, bulu binatang, lateks,
debu gandum, tepung, tungau debu, dan enzim biologis.
Ada tiga prinsip utama untuk pengobatan individu dengan OR (a) membatasi
dampak dari penyakit pada kesejahteraan individu, (b) membatasi efek tak diinginkan
pada produktivitas kerja, dan (c) mencegah tambahan gejala sisa yang merugikan
kesehatan (misalnya, asma terkait pekerjaan) dari paparan di tempat kerja terus. Jika
tidak bisa menghindari paparan di tempat kerja, barulah obat-obatan untuk
mengontrol paparan secara terbatas dapat digunakan. Pengobatan dapat dengan irigasi
garam, semprotan hidung steroid, dekongestan, dan antihistamin.(13)

2.4.6 Rhinitis Hormonal(14,15,16)


Rhinitis hormonal, yaitu rhinitis yang terkait dengan kondisi metabolik dan
endokrin, sering dihubungkan dengan negara-negara dengan estrogen tinggi.
Sumbatan hidung telah dilaporkan dengan kehamilan, menstruasi, menarche, dan
penggunaan kontrasepsi oral. Mekanisme dari sumbatan pada kondisi ini masih perlu
diklarifikasi.
Ketika mempertimbangkan terapi obat, hanya intranasal budesonide (Rhinocort)
yang memiliki peringkat kategori B untuk kehamilan.
Sementara hipotiroidisme dan akromegali telah disebutkan pada review rhinitis
non-alergi, bukti bahwa gangguan ini dapat menyebabkan rhinitis non-alergi tidak
kuat.

2.4.7 Rhinitis atrofi


Rhinitis Atropi (AR) adalah penyakit hidung tersumbat yang paradoks dan

8
stasis mukosiliar. Pasien muncul dengan gejala utama sumbatan hidung parah yang
kronis dan pada pemeriksaan rongga hidung sering sangat paten atau bahkan melebar.
Ada bentuk primer dan sekunder dari AR yang membedakan dalam epidemiologi dan
etiologinya.
Rhinitis atrofi primer (idiopatik) ditandai dengan atrofi pada mukosa nasal
dan kolonisasi Klebsiella ozaenae pada mukosa dengan ciri khas discharge nasal
berbau busuk. Rhinitis atrofi sekunder dapat disebabkan karena komplikasi dari
operasi nasal atau sinus, trauma, penyakit granulomatosa, maupun paparan terhadap
radiasi.Kelainan ini biasanya didiagnosis dengan nasoendoskopi dan diterapi dengan
pembilasan dengan saline setiap hari dengan atau tanpa antibiotik topikal. Pengobatan
andalan untuk AR adalah melembabkan dan debridement. Debridement awalnya
harus dilakukan di klinik pada interval 4 sampai 6 minggu diikuti dengan irigasi
isotonik saline minimal 200 mL selama 2 sampai 4 kali sehari.(17,18)

9
Tabel 1. Pedoman tatalaksana rhintis non alergi

10
BAB III
KESIMPULAN

Rhinitis non alergi dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien secara signifikan.
Kondisi ini sulit dibedakan dengan rhinitis alergi, akan tetapi keduanya memiliki
pemicu yang berbeda dan responnya terhadap pengobatan dapat bervariasi.
Rhinitis non-alergika merupakan rinitis yang tidak disebabkan oleh kejadian
patologis yang diperantarai IgE. Rhinitis non alergik adalah suatu sindrom dan
gabungan dari beberapa penyakit yang berkaitan dengan gejala peradangan hidung
tanpa adanya pemicu alergi yang dapat ditemukan.
Rhinitis non-alergika adalah masalah umum yang masih belum begitu diketahui,
belum ada tes definitif untuk rhinitis non-alergika (dan sub kategorinya). Diagnosis
rhinitis non alergika ditegakkan melalui riwayat menyeluruh, hal-hal yang berkaitan
dengan gejala pasien, dan mengecualikan diagnosa lain yang mungkin. Rhinitis dapat
diringankan dengan terapi non-farmakologi dan non-bedah, termasuk edukasi pasien,
kontrol lingkungan, dan irigasi saline hidung. Antihistamin topikal menunjukkan efek
antihistamin dan anti-inflamasi serta efektif sebagai terapi lini pertama pada pasien
rhinitis idiopatik. Kortikosteroid hidung topikal efektif terutama pada pasien rhinitis
non-alergika dengan sindrom eosinofil hidung

11
DATAR PUSTAKA

1. DiLorenzo G, Paoor ML. Amodio E, et al. Differences and similarities


between allergic and nonallergic rhinitis in a large sample of adult Patients
with rhinitis symptoms. Int Arch Allergy Immunol 2011; 155: 263-2 70.
2. Togias A. Age relationships and clinical features of nonallergic rhinitis. J
Allergy Clin Immunol 1990; 85: 182
3. Wallace DV, Dykewicz MS, Bernstein DI, et al. The diagnosis and
management of rhinitis: an updated practice parameter. J Allergy Clin
Immunol 2008; 122(suppl 2):S1– S84.
4. Settipane RA, Lieberman P. Update on nonallergic rhinitis. Ann Allergy
Asthma Immunol 2001; 86:494–507.
5. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi Ketujuh. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI; 2012
6. Jacobs R, Lieberman P, Kent E, Silvey M, Locantore N, Philpot EE.
Weather/temperature-sensitive vasomotor rhinitis may be refractory to
intranasal corticosteroid treatment. Allergy Asthma Proc 2009; 30:120–127.
7. Monteseirin J, Camacho MJ, Bonilla I, Sanchez-Hernandez C, Hernandez M,
Conde J. Honeymoon rhinitis. Allergy 2001; 56:353–354.
8. Varghese M, Glaum MC, Lockey RF. Drug-induced rhinitis. Clin Exp Allergy
2010; 40:381–384.
9. 39. Moneret-Vautrin DA, Hsieh V. Wayoff M, et al. Nonallergic rhinitis with
eosinophilia syndrome, a precursor of the triad: nasal polyposis, intrinsic
asthma, and intolerance to aspirin. Ann Allergy 1990; 64: 513-518.
10. DR Webb, Meltzer EO, AF Finn Jr. et al. Intranasal fluticasone propionate is
effective for perennial nonallergic rhinitis with or without eosinophilia. Ann
Allergy Asthma Immunol 2002; 88: 385-390.
11. Mygind N. Effects of corticosteroid therapy in non-allergic rhinosinusitis.

12
Acta Otolaryngol 1996; 116 (2): 164-166.
12. Purello-D'Ambrosio F, Isola S, Ricciardi r .. et al. A controlled study on the
effectiveness of loratadine in rombination with flunisolide in the treatment of
nonallergic rhinitis with eosinophilia (nares). Clin Exp Allergy 1999; 29 (8):
1143-1147.
13. Siracusa A. Desrosiers M, Marabini A Epidemiology of occupational rhinitis:
prevalence. etiology and determinants. Clin Exp Allergy 2000; 30: 1519-1534.
14. Philpott CM, Robinson AM, Murty GE. Nasal pathophysiology and its
relationship to the female ovarian hormones. J Otolaryngol Head Neck Surg
2008; 37:540–546.
15. Dykewicz MS, Fineman S, Skoner DP, et al. Diagnosis and management of
rhinitis: complete guidelines of the Joint Task Force on Practice Parameters in
Allergy, Asthma and Immunology. American Academy of Allergy, Asthma,
and Immunology. Ann Allergy Asthma Immunol 1998; 81:478–518.
16. Ellegård EK, Karlsson NG, Ellegård LH. Rhinitis in the menstrual cycle,
pregnancy, and some endocrine disorders. Clin Allergy Immunol 2007;
19:305–321.
17. Bunnag C, Jareoncharsri P, Tansuriyawong P, Bhothisuwan W, Chantarakul N.
Characteristics of atrophic rhinitis in Thai patients at the Siriraj Hospital.
Rhinology 1999; 37:125–130.
18. deShazo RD, Stringer SP. Atrophic rhinosinusitis: progress toward
explanation of an unsolved medical mystery. Curr Opin Allergy Clin Immunol
2011; 11:1–7

13

Anda mungkin juga menyukai