Anda di halaman 1dari 30

GAGAL NAFAS & ASMA

Diajukan sebagai tugas mata kuliah :

Kegawat Daruratan Sistem I

Disusun oleh:

Kelas Tutor B

S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

UPN “VETERAN” JAKARTA

TAHUN AJARAN 2018/2019


A. Pengertian

1. Gagal Nafas
Gagal nafas merupakan kondisi ketidakmampuan sistem respirasi untuk
memasukkan/mempertahankan kandungan oksigen yang cukup dan mengeliminasi
karbodioksida dari tubuh. (Bakhtiar, 2013).

2. Asma
Asma adalah inflamasi kronik saluran napas atas yang disebabkan oleh alergen sehingga
terjadi hiperesponsif jalan nafas yang menyebabkan obstruksi jalan napas sehingga timbul
gejala mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini
hari (GINA dan PDPI. 2016).

B. Klasifikasi

1. Gagal Nafas
a. Tipe I (hipoksemia)
• PaO2 rendah (<80mmHg),
• PaCO2 normal (35-45 mmHg) atau rendah (<35 mmHg),
• terjadi akibat kegagalan difusi oksigen dari alveolus ke sirkulasi

b. Tipe II (hiperkapnik)

• kegagalan fungsi ventilasi atau pompa udara pada saluran napas

c. peningkatan produksi CO2 (PCO2 >45mmHg).


2. Asma
C. Patofisiologi
D. Pengkajian

1. Pengkajian Primer (ABCDE)

Pada pengkajian primer sistem pernapasan pasien Asma dengan Gagal Nafas hampir sama
yaitu menggunkan pengkajian ABC, dimana pada sistem pernapasan airway (Jalan Nafas)
ditangani dan didahulukan terlebih dahulu baru setelah itu Breathing dan Circulation. Tetapi
dalam hakikatnya pengkajian ABC harus ditambahkan dengan D dan E.
a. Airway (A)
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat
kelemahan reflek batuk. Jika ada obstruksi maka lakukan :
1. Chin lift / jaw trust
2. Suction / hisap
3. Guedel airway
4. Intubasi trakhea dengan leher ditahan (imobilisasi) pada posisi netral
Contohnya :
1. Peningkatan sekresi pernapasan
2. Bunyi nafas ronki dan mengi (wheezing)
3. Dapat disertai batuk dengan spuntum kental dan sulit dikeluarkan
b. Breathing (B)
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang
sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi, whezing, sonor,
stidor/ ngorok, ekspansi dinding dada
Contohnya :
1. Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung, takipneu/bradipneu
2. Menggunakan otot aksesori pernapasan.
3. Kesulitan bernafas : lapar udara, diaforesis, sianosis
c. Circulation (C)
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi,
bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat,
dingin, sianosis pada tahap lanjut
Contohnya :
1. Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia, pulsus paradokus
2. Penurunan haluaran urine
d. Disability (D)
Menilai kesadaran dengan cepat,apakah sadar, hanya respon terhadap nyeri atau
atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur GCS. Adapun cara yang
cukup jelasa dan cepat adalah :
1. Awake :A
2. Respon bicara :V
3. Respon nyeri :P
4. Tidak ada respon :U
Contohnya : Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental,
mengantuk, perasaan takut
e. Eksposure (E)
Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua cidera yang
mungkin ada, jika ada kecurigan cedera leher atau tulang belakang, maka imobilisasi
in line harus dikerjakan
Contohnya : Tercekik kerah baju yang terlalu ketat

2. Pengkajian Sekunder
Pada pengkajian sekunder, anamnesa diperlukan untuk menegakkan masalah kesehatan
pasien secara menyeluruh dan dapat menentukan masalah apa saja yang dimiliki pasien.
Pengkajian sekunder meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis dapat
meggunakan format AMPLE (Alergi, Medikasi, Post illnes, Last meal, dan Event/
Environment yang berhubungan dengan kejadian). Pemeriksaan fisik dimulai dari kepala
hingga kaki dan dapat pula ditambahkan pemeriksaan diagnostik.
a. Anamnesa
Keluhan utama yang sering muncul adalah gejala sesak nafas atau peningkatan
frekuensi nafas. Secara umum perlu dikaji tentang gambaran secara menyeluruh
apakah klien tampak takut, mengalami sianosis, dan apakah tampak mengalami
kesukaran bernafas.

Perlu diperhatikan juga apakah klien berubah menjadi sensitif dan cepat marah
(iritability), tanpak binggung (confusion), atau mengantuk (somnolent). Yang tak kalah
penting ialah kemampuan orientasi klien terhadap tempat dan waktu. Hal ini perlu
diperhatikan karena gangguan funngsi paru akut dan berat sering direfeksikan dalam
bentuk perubahan status mental. Selain itu kaji riwayat penyakit masa lalu, riwayat
penyakit keluarga, lingkungan serta habits/ kebiasaan dapat dikaji dari keterangan
pasien.
1. Riwayat penyakit masa lalu
Apakah pasien pernah mengalami Asma sebelumnya atau apakah pasien
pernah mengalami sesak nafas sebelumnya
2. Riwayat penyakit keluarga
Adakah anggota keluarga yang memiliki penyakit Asma
3. Lingkungan dan kebiasaan
Pasien tinggal ditempat yang banyak debunya, tidak ada ventilasi udara
dirumah, dan kebiasaan pasien yang suka merokok.
Anamnesa menurut format AMPLE (Alergi, Medikasi, Post illnes, Last meal,
dan Event/ Environment yang berhubungan dengan kejadian)
1. Alergi = Apakah pasien alergi dengan obat tertentu atau suatu
objek tertentu?
2. Medikasi = Obat bantu nafas apa yang terakhir pasien pakai?
3. Post illness = Apakah penyakit pasien pernah terjadi dahulu, dan
bagaimana keparahannya?
4. Last meal = makanan yang terakhir pasien makan?
5. Event/Enviroment = Kejadian apa yang memyebabkan pasien terkena
penyakit tersebut?
b. Pemeriksaan Fisik
1. Kepala (Hidung = Cuping hidung, Bibir = Sianosis)
2. Dada (Jantung = TD meningkat, Paru-paru = Retrasi otot dada, pergerakan
dada ansimetris, pernafasan dangkal, suara wheezing, atau ronhki)
3. Abdomen (Urinaria = oliguria)
4. Ekstremitas (Kaki & Tangan = Gemetar, lemas, dan kram otot)

E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Spirometri
Merupakan cara yang paling cepat dan sederhana untuk menegakkan diagnosis asma
dengan melihat respon respon pengobatan menggunakan bronkodilator. Pemeriksaan
dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator hirup golongan adrenergik beta.
Dinyatakan asma bila didapat peningkatan Volume ekspirasi paksa detik pertama / VEP1
sebanyak ≥ 12% atau ( ≥ 200ml ). Bila respon yang didapat ≤ 12% atau ( ≤ 200ml ) belum
pasti menunjukkan bahwa pasien tersebut tidak menderita asma, hal tersebut dapat dijumpai
pada pasien yang sudah dalam keadaan normal atau mendekati normal.

2. Peak flow meter/ PFM

Merupakan alat penunjang diagnosis dan monitoring asma. Alat ini relatif murah, praktis,
dan ideal digunakan pasien untuk menilai obstruksi jalan napas di rumah. Pemeriksaan
spirometri tetap lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu sensitif
dibanding spirometer untuk diagnosis obstruksi saluran napas. PFM mengukur terutama
saluran napas besar, PFM dibuat sebagai alat monitoring asma bukan sebagai alat diagnostik
utama.

3. Uji Provokasi Bronkus

Untuk menunjukkan adanya hipereaktivitas bronkus dapat dilakukan jika pemeriksaan


spirometri normal. Beberapa cara melakukan uji provokasi ini diantaranya dengan histamin,
metakolin, kegiatan jasmani, larutan garam hipertonik, dan bahkan dengan aqua destilata.
Dianggap bermakna bila didapat penurunan VEP1 sebesar 20% atau lebih. Uji kegiatan
jasmani, dilakukan dengan meminta pasien berlari cepat selama 6 menit sehingga mencapai
denyut jantung 80-90% dari maksimum. Dianggap bermakna bila menunjukkan penurunan
APE (Arus Puncak Respirasi) paling sedikit 10%. APE dapat digunakan untuk diagnosis
penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan VEP1

4. Foto dada / X-ray thorax

Dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi saluran napas dan adanya
kecurigaan terhadap proses patologis di paru atau komplikasi asma seperti pneumotoraks,
pneumomediastinum, atelektasis, dan lain-lain.

F. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaa Farmakologi
a. Salbutamol
Salbutamol (Salbuterol) merupakan fast-acting bronchodilator golongan agonis
β2 yang banyak digunakan sebagai medikasi asma. Salbutamol tersedia dalam bentuk
sediaan oral, inhalasi, maupun injeksi. Bentuk inhalasi merupakan sediaan yang
paling sering digunakan karena obat dapat langsung bekerja dan masuk ke saluran
pernafasan. (DepKes RI, 2009)
Salbutamol diberikan kepada pasien tersebut dengan indikasi :
1. Pasien memiliki riwayat asma dengan pemakaian bronkodilatator yang jarang
2. Salbutamol berfunsi sebagai bronkodilatator sehingga dapat melebarkan
saluran pernafasan
b. Metilprednisolon (IV) Pengontrol
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas akibat penyempitan
saluran pernapasan. Metilprednisolon adalah obat jenis kortikosteroid yang
digunakan untuk mengurangi gejala inflamasi / peradangan.
Pasien yang memerlukan stabilisasi di UGD sebaiknya diberikan kortikosteroid IV.
Pemberian kortikosteroid IV digunakan pada ekserbasi asma yang berat yang, atau
akan, mengalami henti napas, pada pasien yang dirawat di ICU, ketika terapi oral tidak
dapat dimulai atau ditoleransi, atau absorpsi oral terganggu (DepKes RI, 2009).
c. Aminophiline

Aminofilin adalah obat untuk mengobati dan mencegah batuk dan kesulitan
bernapas karena penyakit paru-paru berkepanjangan (contohnya asma,
emphysema, bronkitis kronis). Obat ini bekerja dengan cara merelaksasi otot polos
dan menekan stimulan yang terdapat pada jalan nafas. Aminophiline IV diberikan
pada pasien tsb karena:Pasien mengalamai distress pernapasan yang mengakibatkan
kesulitan bernafas. (DepKes RI, 2009)

d. Epinephrin (IM)

Epinephrine (adrenalin) adalah obat yang biasa digunakan untuk menangani


reaksi alergi akut yang bisa menyebabkan pembengkakan di mulut dan lidah,
gangguan pernapasan, kolaps dan hilang kesadaran.

Jika tidak ada perbaikan setelah 20 menit, ulangi dosis dua kali lagi dengan
interval dan dosis yang sama. Bila gagal, dirawat sebagai serangan berat dan
diberikan steroid dan aminofilin (DepKes RI, 2009).

2. Penatalaksanaan Non-Farmakologi
a. Asma
Edukasi, yang mencakup :
1. Kapan pasien berobat/mencari pertolongan
2. Mengenali gejala serangan asma secara dini dan mencegah eksaserbasi akut
3. Mengetahui obat-obat pelega dan pengontrol serta cara dan waktu
penggunaannya
4. Menghindari efek samping obat
5. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
7. Kontrol teratur
8. Mencegah kematian karena Asma
9. Fisioterapi pernapasan ( termasuk Body Exercise Training (ET), Inspiratory
Muscle Training (IMT) )
10. Pengukuran sendiri PEFR/Peak Flow Meter
11. Menganjurkan untuk mengikuti senam asma
(Bruurs,etc.2013.)
(Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan Asma di Indonesia)

Catatan :

IMT (Inspiratory Muscle Training)


1. Untuk meningkatkan toleransi terhadap peningkatan beban kerja yang terjadi
selama serangan asma
2. Diresepkan 2x/hari atau 5x/minggu untuk durasi bervariasi dari miggu ke
bulan.
ET (Exercise Training)
Dilakukan sesuai kapasitas latihan melalui tes latihan klinis, berupa Shuttle
walk test, Six minute walk test (6MWT) atau tes tekanan inspirasi maksimal
(untuk menilai kapasitas otot pernapasan).

Dapat dilakukan di RS atau rajal dengan frekuensi 2x untuk 3x/minggu.


Durasi 6minggu (program pendek) dan 20bulan (program panjang) pada
frekuensi 1-7sesi/minggu. (santos, et al., 2015)

b. Gagal Nafas
Tujuan terapi gagal napas adalah memaksimalkan pengangkutan oksigen
dan membuang CO2. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan kandungan
oksigen arteri dan menyokong curah jantung serta ventilasi. Karena itu, dalam
tatalaksana terhadap gagal nafas, yang perlu segera dilakukan adalah: perbaikan
ventilasi dan pemberian oksigen, terapi terhadap penyakit primer penyebab gagal
nafas, tatalaksana terhadap komplikasi yang terjadi, dan terapi suportif.

Prinsip tatalaksana darurat gagal nafas adalah mempertahankan jalan


nafas tetap terbuka, baik dengan pengaturan posisi kepala anak (sniffing
position), pembersihan lendir atau kotoran dari jalan nafas atau pemasangan
pipa endotracheal tube, penggunaan alat penyangga oropharingeal airway
(gueded), penyangga nasopharingeal airway, pipa endotrakhea, trakheostomi.
Jika saluran benar-benar terjamin terbuka, maka selanjutnya dilakukan pemberian
oksigen untuk meniadakan hipoksemia. Bila pasien tidak sadar, buka jalan napas
(manuver tengadah kepala, angkat dagu, mengedepankan rahang) dan letakkan
dalam posisi pemulihan. Isap lendir (10 detik), ventilasi tekanan positif dengan O2
100%. Lakukan intubasi endotrakea dan pijat jantung luar bila diperlukan
1. Pemberian Oksigen
Dalam tatalaksana lanjutan, oksigen harus tetap diberikan untuk
mempertahankan saturasi oksigen arteri diatas 95%. Walaupun pemberian O2
mempunyai risiko menurunkan upaya bernapas pada beberapa pasien yang
mengalami hipoventilasi kronis, keadaan ini bukan kontraindikasi untuk terapi
O2 bila pasien diobservasi ketat. Bila ventilasi tidak adekuat, maka harus segera
diberikan bantuan ventilasi dengan balon ke masker dan O2. Hipoksemia diatasi
dengan pemberian O2 hangat dan lembab melalui kanul nasal, masker
sederhana, masker dengan penyimpanan (reservoir) oksigen, kotak penutup
kepala (oxyhood), dan alat bantu napas orofaring atau nasofaring.
2. Bantuan Pernafasan (Ventilasi)
Bantuan pernafasan dapat dilakukan untuk memperbaiki oksigenasi. Bantuan
pernafasan tersebut meliputi Continius Positive Airway Pressure (CPAP) dan
Bilevel Positive Airway Pressure (BiPAP). CPAP akan membuka alveoli yang
kolaps, sehingga mengurangi ketidakpadanan ventilasi-perfusi, mengurangi
gradien oksigen arteri-alveolus dan memperbaiki PaO2. Ventilasi tekanan positif
non invasif, Bilevel Positive Airway Pressure (BiPAP) memberikan bantuan
ventilasi tekanan positif dan tekanan saluran napas positif kontinyu melalui
masker nasal, bantalan nasal, atau masker muka. Bantuan ventilasi ini tidak
memerlukan intubasi trakhea.

3. Pemasangan Pipa Endotrakheal.


Intubasi endotrakhea dapat dilakukan pada beberapa pasien tertentu. Indikasi
melakukan intubasi endotrakhea adalah keadaan berikut ini:
a. Gagal kardiopulmonal/henti kardiopulmonal
b. Distres pernapasan berat/kelelahan otot pernapasan
c. Refleks batuk/gag reflkes hilang
d. Memerlukan bantuan napas lama karena apnea atau hipoventilasi
e. Transpor antar rumah sakit untuk pasien yang berpotensi gagal napas

4. Pengobatan Terhadap Penyebab Gagal Nafas

Penyebab gagal nafas sangat banyak dan sering merupakan stadium akhir dari
suatu penyakit. Penyebab tersering adalah penyakit paru-paru, terutama
bronkhopneumonia dan bronkhiolitis, kemudian gangguan neurologis, penyakit
jantung dan neuromuskuler. Dalam tatalaksana gagal nafas, maka terapi
terhadap penyebab (penyakit primer) harus dilakukan, misalnya: pemberian
antibiotika, bronkhodilator dan mukolitik.

G. Triage
Triage adalah suatu cara untuk menseleksi atau memilah korban berdasarkan tingkat
kegawatan. Tujuannya untuk mempercepat dalam memberikan pertolongan terutama pada
para korban yang dalam kondisi kritis atau emergensi sehingga nyawa korban dapat
diselamatkan

Prinsip Triage
1. Penanganan yang segera dan tepat waktu
2. Pengkajian yang adekuat dan akurat
3. Keputusan didasarkan dari pengkajian
4. Intervensi dilakukan sesuai kondisi korban
5. Kepuasan korban harus dicapai
6. Dokumentasi dengan benar

Alasan pasien diberkan label merah


1. Pasien sesak napas berat
2. Riwayat asma dengan pemakaian bronkodilator yang jarang
3. Distress pernapasan dengan pemakaian otot bantu pernapasan
4. Tidak mampu untuk berboicara
5. Bunyi napas menurun
6. Bilateral wheezing
7. Spo2 70 %
Label merah  penanganan dan pemindahan bersifat segera yaitu gangguan jalan napas,
pernapasan dan sirkulasi.

H. Alasan Pasien Ditempatkan di Ruang Resusitasi


Karena pasien mengalami hambatan jalan dengan menggunakan otot bantu napas, pasien
nampak gelisah. Hasil auskultasi napas bunyi napas menurun dan bilateral, wheezing pada
kedua lapang paru, hasil tanda-tanda vital; TD 145/80 mmHg, Nadi 140/menit, SpO2 70%
dengan oksigen atmosphere dan laju pernapasan 40/menit.
Dari tanda diatas ditakutkan pasien akan mengalami henti napas dan mengancam nyawa
maka pasien dimasukan kedalam ruang resusitasi. karena ruang resusitasi terdapat tindakan
resusitasi dan stabilisasi dilakukan oleh dokter anestesi dari Departemen Anestesiologi dan
Reanimasi, dokter intensifis dari masing-masing departemen sesuai dengan penyakit dasar
yang diderita pasien, perawat resusitasi, serta didukung peralatan emergency sebagai berikut:
1. electric bed
2. monitor patient
3. ventilator
4. trolley emergency
5. Defibrillator
6. resusitation bag
7. syring pump
8. infusion pump
9. laryngoscope adult & pediatric
10. air splint
11. sthetoscope adult & pediatric
12. sphygmomanometer
13. thermometer digital ear
14. suction pump & portable
15. tourniquet
16. instrument tray
17. tongue depressor
18. kidney disk

I. Urutan tindakan yang dilakukan di ruang resusitasi


1. Gagal Nafas
a. Mempertahankan Jalan Napas yang Adekuat
1. Intubasi trakea mungkin diperlukan untuk mencegah aspirasi
2. Mempertahankan kepatenan jalan napas
b. Sambil melakukan terapi, ambil sampel analisis gas darah, sebaiknya sebelum
terapi oksigen diberikan bila kondisi memungkinkan.

c. Koreksi hipoksemia dengan terapi oksigen

d. Lakukan pemeriksaan menyeluruh untuk mencari penyebab gagal napas dan


penyakit penyerta lain yang dapat memperberat keadaan pasien

e. Oksigenasi, Indikasi Terapi Oksigen:


1. Hipoksemia yang nyata
2. Distress napas
3. Hipotensi
4. Trauma
5. Infark miokard dengan hipoksemia
6. Sesak tanpa hipoksemia (masih kontroversial)
Cara Pemberian

1. Pertimbangkan beratnya hipoksemia dan pernapasan pasien


2. Pada distres napas ringan atau sedang, dapat memulai terapi oksigen
dengan aliran rendah (menggunakan nasal cannula atau simple mask)
3. Pada distres napas berat, boleh langsung memberikan aliran oksigen yang
banyak dengan nonrebreathing mask, pertimbangkan intubasi
endotrakeal
4. Umumnya target minimal terapi adalah tekanan parsial oksigen di atas 60
mmHg atau saturasi di atas 90%
5. Bila belum mencapai target tersebut, boleh mengganti terapi oksigen ke
fraksi yang lebih tinggi secara perlahan hingga target tercapai

6. Pada pasien gagal napas kronis, berikan terapi oksigen dengan sangat hati
hati
a. Umumnya pasien telah mengalami hipoksia dan hiperkapnia kronis
b. Pada keadaan ini, hipoksia menjadi respiratory drive pasien
c. Apabila memberikan oksigen dengan dosis tinggi secara tiba tiba,
pasien berisiko mengalami depresi napas dengan gejala hipoventilasi
alveolar sehingga memperparah retensi karbon dioksida.

f. Koreksi Gangguan Asam Basa


1. Koreksi gangguan pH : pada hiperkapnia akut dengan asidosis, perbaiki
ventilasi alveolar dengan memberikan bantuan ventilasi mekanis
2. Pertahankan jalan napas yang adekuat
3. Pertimbangkan pemberian bikarbonat pada asidosis respiratorik akut atau
metabolik
g. Optimisasi Fungsi Jantung
h. Identifikasi dan Terapi Kondisi Mendasar yang Dapat Dikoreksi dan Penyebab
Presipitasi. Cegah atau atasi infeksi saluran napas ( virus, bakteri, atau jamur)
i. Kenali dan atasi bronkospasme dengan bronkodilator dan kortrikosteroid,
Pemberian aminofilin

2. Asma
a. jauhkan pasien dari kerumunan orang
b. Berikan posisi semifowler
c. Tenangkan pasien dan hindarkan dari allergen (dingin, debu, bulu kucing dll)
d. Ajararkan Batuk efektif
e. Kolaborasi dengan dokter pemberian obat bronchodilator

Penatalaksanaan ssesuai derajat asma

a. Asthma Serangan Ringan


Asthma serangan ringan diberikan salbutamol 4-10 puff dengan
menggunakan spacer, diberikan sekali dan keadaan pasien dinilai ulang
setelah 20 menit.
Prednison diberikan pada pasien yang tidak respon hanya dengan
bronkodilator
1. Dosis dewasa 1 mg/kg maksimal 50 mg
2. Dosis anak 1-2 mg/kg maksimal 40 mg
Pemberian prednisolon dilanjutkan bila pasien membutuhkan
salbutamol reguler dan sebaiknya diberikan hanya untuk 1-2 hari saja.
Terapi oksigen terkontrol dengan target saturasi 93-95% atau pada anak-anak
94-98%. Pantau dan bila membaik dipersiapkan untuk pulang dan diberikan
obat pulang sesuai langkah terapi kontrol.
Bila respon baik, pasien dapat dipulangkan dengan pemberian short
acting beta agonis (SABA) bila diperlukan. Bila respon tidak baik setelah
tatalaksana adekuat, lajutkan tatalaksana sebagai asthma serangan berat.
b. Asma Serangan Berat
Pada serangan berat diberikan salbutamol 4-10 puff dengan
menggunakan spacer diberikan setiap 20 menit dalam 1 jam dan pada
pemberian yang ketiga kalinya dilakukan penilaian ulang. Bila membaik,
kurangi frekuensi pemberian salbutamol, bila memburuk lanjutkan 20 menit
berikutnya.
Bila keadaan makin memburuk, berikan ipatropium bromida 4-6 puff
(20 mcg/puff) dengan menggunakan spacer setiap 20 menit dalam 1 jam.
Aminofilin diberikan bila asthma sangat memburuk dengan dosis
inisial 10 mg/kgBB diberikan dalam 60 menit, dosis maksimal 500 mg. Bila
membaik dengan dosis inisial, maka dosis kontinyu diberikan di ruangan
rawatan untuk 6 jam berikutnya.
Magnesium sulfat 50% (500mg/mL), diencerkan menjadi 200 mg/mL
dalam normal salin dan diberikan sebanyak 50 mg/kgBB dalam 20 menit dan
dilanjutkan 30 mg/kgBB/jam melalui infus bila pasien dirawat di ICU
Diberikan juga prednison oral 2 mg/kgBB, bila pasien muntah dapat
diberikan parenteral metilprednison 1 mg/kgBB
c. Asma Serangan Sangat Berat
Tatalaksana awal adalah pemberian oksigen disertai nebulisasi kontinyu
salbutamol 2 x 5mg/2,5mL tanpa pengenceran. Hati-hati terhadap toksisitas
salbutamol (takikardi, takipnea, asidosis metabolik). Selain itu, digunakan
juga nebulisasi ipatropium bromida 250 mcg sebanyak 3 kali setiap 20 menit
dalam 1 jam bersamaan dengan pemberian salbutamol.
Diberikan juga metilprednison 1 mg/kgBB tiap 6-8 jam. Selain itu,
pasien diberi aminofilin 10 mg/kgBB diberikan dalam 60 menit, dosis
maksimal 500 mg. Bila membaik dengan dosis inisial, maka dosis kontinyu
diberikan di ruangan rawatan untuk 6 jam berikutnya.
Apabila pasien membaik setelah 6-8 kali nebulisasi, interval dapat
dirubah menjadi setiap 4-6 jam. Jika dalam 24 jam terjadi perbaikan klinis,
pasien boleh dipulangkan. Namun apabila terjadi perburukan, pertimbangkan
pemberian ventilasi mekanik dan perawatan di ICU.
1. Auskultasi bunyi napas
2. Evaluasi tingkat kecemasan paseien
3. Evaluasi reaksi fisik non verbal
4. Tenangkan pasien

J. Analisa yang perawat bisa dapatkan dari riwayat kesehatan pasien


Tujuan terapi penyakit asma adalah mencegah terjadinya gejala asma, mengontrol
terjadinya gejala asma, mencegah dan mengurangi terjadinya bronkospasma (kejang bronki),
dan menghambat atau mengurangi peradangan saluran pernafasan.
Tujuan utama dari manajemen penyakit asma adalah dengan mengontrol gejala dan
menurunkan kerugian akibat gejala tersebut (Global Initiative for Ashma, 2015). Berdasarkan
penelitian Carima, 2016 membuktikan bahwa pasien dengan tingkat kepatuhan
medikamentosa yang tinggi lebih terkontrol dan menurunkan angka kekambuhan, namun
sebaliknya pasien dengan tingkat kepatuhan medikamentosa yang rendah menunjukkan lebih
tidak terontrol dan meningkatkan angka kekambuhan penyakit asma.
Pada kasus tersebut dijelaskan bahwa pasien memiliki riwayat asma dengan pemakaian
bronkodilator yang jarang, sedangkan fungsi dari bronkodilator itu sendiri adalah melebarkan
otot-otot pernapasan dan sifatnya melegakan, serta meghambat inflamasi pada saluran
pernapasan agar tidak terjadi penyempitan jalan nafas. Hal ini menyebabkan terjadinya
inflamasi pada bronkus sehingga mengakibatkan bronkospasme (penyempitan bronkus) dan
sulit untuk bernapas akhirnya terjadi kekambuhan asma yang nantinya akan menimbulkan
gagal nafas pada pasien asma..

K. Interpretasi kesadaran dan respon pasien terkait patologis


Adanya Sesak nafas berat menandakan bahwa ada usaha dalam pemenuhan oksigen ke
dalam paru-paru. Usaha tersebut dilakukan karena adanya obstruksi akibat dari riwayat
penyakit asma pasien. Ketika ada obstruksi, terjadi penurunan suplai oksigen ke otak dan
menyebabkan penurunan kesadaran pada pasien

Di dalam kasus disebutkan pasien sadar namun gelisah, tidak mampu berbaring Ortopnea
yang terjadi karena pada paru pada posisi terlentang, menyebabkan pembuluh darah pulmonal
mengalami kongesti secara kronisd dan aliran balik vena yang meningkat tidak diejeksikan
oleh ventrikel kiri, menunjukan tanda-tanda distress pernapasan dengan penggunaan otot
bantu pernapasan, pasien tidak mampu berbicara hanya dapat mengucapkan satu kata

Pada pasien:

E: Respon terhadap suara : 3

V: suara: 2

M: menuruti dua perintah berbeda: 9

Jadi GCS pasien adalah 11 dengan kesadaran delirium

Delirium adalah keadaan akut atau subakut neuropsikiatri berupa penurunan fungsi kognitif
dengan gangguan irama sirkadian dan bersifat reversibel. Penyakit ini disebabkan oleh
disfuglngsi serebral dan bermanifestasi klinis secara klinis berupa kelaian neuropsikiatri.

Dalam kasus, pasien masuk kedalam golongan kesadaran delirium karena salah satu etiologi
delirium adalah hipoksia.
L. Intrepetasi hasil TTV dan AGD
Pada kasus pasien tampak sadar namun gelisah, menunjukan tanda distress pernapasan
dengan penggunaan otot bantu pernapasan, hasil auskultasi napas ; bunyi napas menurun dan
bilateral wheezing pada kedua lapang paru, hasil TTV tekanan arteri 145/80 mmHg, nadi
140x/menit, spO2 70%, suhu 36 C, RR 40x/menit. hasil AGD ; pH 7,14, pCO2 77 mmHg, pO2
44,2 mmHg, HCO3 28,4 mEq/L, laktat 2,8 mg/dl.

Peningkatan tekanan darah dan nadi diakibatkan gangguan difusi oksigen dan
karbondioksida karena terhambatnya jalan nafas, menyebabkan oksigen di dalam tubuh
berkurang. Sehingga tubuh mengkonpensasi dengan meningkatkan kerja jantung.(Blacks &
Hawks, 2012)

Peningkatan RR menjadi 40x/menit disebabkan kompensasi tubuh sehingga napas


menjai dangkal dan cepat, sedangkan buny wheezing yang timbul dikarenakan adanya spasme
lumen saluran nafas.(Blacks & Hawks, 2012)

Dari kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami asidosis respiratorik
ditandai dengan pH menurun, paO2 menurun, paCO2 meningkat, HCO3 meningkat, laktat
meningkat. Asidosis Respiratork yang dialami dikarenakan pasien mengalami spasme
lumen akibat asma yang dialaminya, itu menyebabkan perfusi alveoli paru menurun
sehingga proses difusi O2 dan CO2 terganggu dan mengkibatkan O2 dalam darah
berkurang sedangkan CO2 terretensi dan tidak dapat dikeluarkan dari tubuh. Saat
darah mengalami kelebihan CO2 maka tubuh mengkompensasi dengan melakukan
metabolisme anaerob, hasil sampingan dari metabolisme ini adalah asam laktat, kondisi
ini mengakibtkan pH tubuh menurun. Jika masalah Asidosis respiratorik ini tidak ditangani
akan menyebabkan kelemahan otot pernafasan secara terus menerus yang dapat mengancam
jiwa jika tidak ditangani segera.

Tabel AGD sesuai kasus


AGD Hasil AGD Kasus Nilai AGD Normal
pH 7,14 7,35-7,45
paO2 44,2 mmHg 80 – 100 mmHg
paCO2 77 mmHg 35-45 mmHg
HCO3 28,4 mEq/L 22 – 26 mEq/L
saO2 70% >95%
M. Monitoring Keberhasilan Terapi
1. Monitor bunyi napas tambahan dan kepatenan jalan napas, kerana telah diberikan obat
bronkodilator yaitu Salbutamol bunyi napas tambahan wheezing diharapkan tidak
terdengar
2. Monitor frekuensi napas, karena telah diberikan terapi oksigen NRM diharapkan
pasien tidak merasa sesak napas berat sehingga pasien tidak sianosis
3. Monitor tanda distres pernapasan setelah diberikan injeksi epinephrin, diharapkan
distres pernapasan berkurang dan tidak ada napas cepat
4. Monitor TTV, meliputi tekanan darah, respiratory rate, nadi dan suhu untuk
mengevaluasi adanya efek samping terapi yang sudah diberikan
5. Monitor AGD, diharapkan hasil AGD dapat kembali normal.
6. Monitor GCS, setelah diberikan terapi yang diberikan diharapkan tingkat kesadaran
pasien meningkat menjadi Compos Mentis
7. Monitor nilai APE pasien

N. Asuhan Keperawatan

1. Data Fokus
DATA SUBJEKTIF DATA OBJEKTIF
1. Klien mengeluh sesak napas berat 1. Klien tampak sadar namun gelisah,
2. Klien mengatakan memiliki riwayat tidak mampu untuk berbaring
asma dengan pemakaian 2. Klien menunjukkan tanda-tanda
bronchodilator yang jarang distress pernapasan
3. Klien tidak mampu untuk berbicara,
hanya mampu mengeluarkan satu
kata setiap bicara
4. Hasil aukskultasi napas : Bunyi
napas menurun dan bilateral
wheezing pada kedua lapang paru
5. Hasil TTV :
- Tekanan Arteri : 145/80 mmHg
- Nadi : 140x/menit
- SpO2 70% dengan oksigen
atmosphere
- Suhu : 36C
- Laju Pernapasan : 40x/menit
6. Hasil AGD :
- pH : 7,14
- pCO2 : 77 mmHg
- pO2 : 44,2 mmHg
- HCO3 : 28,4 mEq/l
- Lactat : 2,8 mg/dl
7. Klien tampak mentoleransi baik
terapi BIPAP

2. Analisa DAta
N DATA FOKUS MASALAH ETIOLOGI
O
1 DS : Ketidakefektifan Hiperventilasi
1. Klien mengeluh sesak napas pola napas sekunder ; spasme
berat bronkus
2. Klien mengatakan memiliki
riwayat asma dengan
pemakaian bronchodilator
yang jarang

DO :
1. Klien tampak sadar namun
gelisah, tidak mampu untuk
berbaring
2. Klien menunjukkan tanda-
tanda distress pernapasan
3. Hasil aukskultasi napas :
Bunyi napas menurun dan
bilateral wheezing pada kedua
lapang paru
4. Hasil TTV :
- Tekanan Arteri : 145/80
mmHg
- Nadi : 140x/menit
- SpO2 70% dengan oksigen
atmosphere
- Suhu : 36C
- Laju Pernapasan :
40x/menit
5. Hasil AGD :
- pH : 7,14
- pCO2 : 77 mmHg
- pO2 : 44,2 mmHg
- HCO3 : 28,4 mEq/l
- Lactat : 2,8 mg/dl
6. Klien tampak mentoleransi
baik terapi BIPAP

1 DS : Ketidakefektifan Asma
1. Klien mengeluh sesak napas bersihan jalan napas
berat
2. Klien mengatakan memiliki
riwayat asma dengan
pemakaian bronchodilator
yang jarang

DO :
1. Klien tampak sadar namun
gelisah, tidak mampu untuk
berbaring
2. Klien menunjukkan tanda-
tanda distress pernapasan
3. Klien tidak mampu untuk
berbicara, hanya mampu
mengeluarkan satu kata setiap
bicara

4. Hasil aukskultasi napas :


Bunyi napas menurun dan
bilateral wheezing pada kedua
lapang paru
5. Hasil TTV :
Tekanan Arteri : 145/80 mmHg
Nadi : 140x/menit
SpO2 70% dengan oksigen
atmosphere
Suhu : 36C
Laju Pernapasan : 40x/menit
6. Klien tampak mentoleransi
baik terapi BIPAP

1 DS : Hambatan Perubahan
3. Klien mengeluh sesak napas pertukaran gas membrane alveolar
berat (00030) kapiler
4. Klien mengatakan memiliki
riwayat asma dengan
pemakaian bronchodilator
yang jarang

DO :
7. Klien tampak sadar namun
gelisah, tidak mampu untuk
berbaring
8. Klien menunjukkan tanda-
tanda distress pernapasan
9. Hasil aukskultasi napas :
Bunyi napas menurun dan
bilateral wheezing pada kedua
lapang paru
10. Hasil TTV :
- Tekanan Arteri : 145/80
mmHg
- Nadi : 140x/menit
- SpO2 70% dengan oksigen
atmosphere
- Suhu : 36C
- Laju Pernapasan :
40x/menit
11. Hasil AGD :
- pH : 7,14
- pCO2 : 77 mmHg
- pO2 : 44,2 mmHg
- HCO3 : 28,4 mEq/l
- Lactat : 2,8 mg/dl
12. Klien tampak mentoleransi
baik terapi BIPAP

3. Diagnosa Keperawatan
N DIAGNOSA KEPERAWATAN
O
1 Ketidakefektifan pola napas b.d hiperventilasi sekunder ; spasme bronkus
2 Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d obstrusi jalan napas ; benda asing dalam
jalan napas
3 Hambatan pertukaran gas b.d perubahan alveolar kapiler

4. Intervensi
DIAGNOSA TUJUAN DAN KRITERIA RENCANA TINDAKAN
KEPERAWATAN HASIL
Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan Monitor pernapasan
pola napas b.d keperawatan diharapkan masalah
1. Monitor kecepatan,
hiperventilasi ketidakefektifan pola napas dapat
irama, kedalaman, dan
sekunder ; spasme teratasi dengan kriteria hasil:
bronkus (NOC) kesulitan bernapas.
2. Catat pergerakan dada,
Status pernafasan (0415) hal 556
1. Frekuensi pernafasan ketidaksimetrisan,
skala 5 penggunaan otot-otot
2. Irama pernafasan skala 5 bantu napas, dan retraksi
3. Kedalaman inspirasi pada otot
skala 5 supraclavicular dan
4. Suara auskultasi nafas interkosta.
skala 5 3. Monitor suara napas
5. Penggunaan alat bantu tambahan (wheezing dan
nafas skala 5 ronkhi)
6. Restraksi dinding dada 4. Monitor pola napas
skala 5 (irama, frek.
7. Suara nafas tambahan Kedalaman).
5. Monitor saturasi oksigen.
skala 5
6. Palpasi kesimetrisan
8. Tanda-tanda vital skala 5
ekspansi paru.
7. Perkusi torak anterior
dan posterior dari apeks
ke basis paru kanan dan
kiri.
8. Monitor keluhan sesak
napas klien.
9. Monitor suara serak dan
perubahan suara.

Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan Manajemen jalan napas


bersihan jalan napas keperawatan diharapkan masalah 1. Posisikan klien untuk
b.d obstrusi jalan ketidakefektifan pola napas dapat memaksimalkan
napas ; benda asing teratasi dengan kriteria hasil: ventilasi: berbaring semi
dalam jalan napas (NOC) fowler.
Status pernapasan: Kepatenan 2. Auskultasi suara napas
jalan napas hal. 558 catat area yang
1. Frekuensi pernapasan. ventilasinya menurun
16-24x/mnt atau tidak ada dan
2. Irama pernapasan dalam adanya suara tambahan.
dan teratur. 3. Kelola pemberian
3. Wheezing menurun, bronkodilator.
ronkhi menurun, suara 4. Ajarkan klien
vesikuler (+) menggunakan inhaler
4. Pernapasan cuping sesuai resep.
hidung (-). 5. Kelola pengobatan
5. Penggunaan otot bantu aerosol.
napas (-) yaitu tidak ada 6. Kelola nebulizer
cekungan pada ultrasonic.
suprasternum dan 7. Kelola udara atau
supraklavikula. oksigen yang
6. Ansietas (-) dilembapkan.
8. Identifikasi kebutuhan
actual atau potensial
( potesial intubasi) dalam
10 mnt
9. Batuk efektif

Hambatan Setelah dilakukan tindakan Manajemen asam basa:


pertukaran gas b.d keperawatan diharapkan masalah Asidosis respiratorik
Ketidakseimbangan hambatan ventilasi spontan dapat 1. Berikan terapi oksigen
ventilasi-perfusi teratasi dengan kriteria hasil: yang sesuai
Pertukaran gas (0402) hal 559 2. Berikan bronkodilator
1. Saturasi oksigen skala 5 dengan tepat
2. Keseimbangan ventilasi 3. Monitor tanda dan gejala
dan perfusi skala 5 kelebihan asam karbonat
3. Tekanan parsial oksigen dan asidosis respiratorik
2
di darah arteri (pO ) skala 4. Posisikan pasien pada
5 perfusi ventilasi yang
4. Tekanan parsial optimal (posisi paru
karbondioksida di darah dibawah, tengkurap,semi
2
arteri (pCO ) skala 5 fowler) dengan tepat
5. Sianosis skala 5 5. Monitor tingkat
6. Gangguan kesadaran kesadaran
skala 5
Respon ventilasi mekanik: dewasa
hal. 521
1. PaO2 80-100

2. PaCO235-45

3. Arteri pH 7,35-7,45

4. Perfusi jaringan perifer


(CRT <2 detik akral teraba
hangat, tidak pucat)
O. Algoritma
1. Dewasa
2. Anak

Daftar Pustaka
Bakhtiar. 2013. Aspek Klinis dan Tatalaksana Gagal Nafas Akut Pada Anak. Jurnal
Kedokteran Syiah Kuala Vol 13 (3

Bruurs, M.L.J., van der Giessan, L.J, Moed, H., 2013. The Effectiveness of physiotherapy in
patients with asthma: a systematicreview of the literature. Respiratory Medicine. 107
(4), pp. 483-94.

Bulechek, Gloria M, dkk. 2016. Nursing Interventions Classification. Jakarta: Elsevier

Bulechek, Gloria M, dkk. 2016. Nursing Outcomes Classification. Jakarta: Elsevier

Carima, A. 2016. Studi Penggunaan Obat Golongan β2-Agonis Pada Pasien Asma di Instalasi
Rawat Jalan Paru Dr. Soetomo Surabaya. Skripsi: Universitas Airlangga Fakultas
Farmasi, Surabaya. Jawa Timur

DepKes RI. 2009. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia

Dewanto, George, dkk. 2009. Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC

Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management and Prevention. 2016;
Available from: www.ginasthma.org

Herdman, T. Heather. 2018. NANDA-1 Diagnosis Keperawatan; Definisi dan Klasifikasi


2018-2020. Jakarta: EGC

Lugogo N, Que LG, Gilstrap DL, Kraft M. Asthma: Clinical Diagnosis and Management. In:
Broaddus VC, Mason RJ, Ernst JD, King Jr TE, Lazarus SC, Murray JF, et al., editors.
Murray & Nadel’s Textbook of Respiratory Medicine. 6th ed. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2016. p. 731–50.

Papadopoulos NG, Arakawa H, Carlsen K-H, Custovic A, Gern J, Lemanske R, et al.


International consensus on (ICON) pediatric asthma. Allergy. 2012;67(8):976–97.
Available from: http://dx.doi.org/10.1111/j.1398-9995.2012.02865.x

Safer Care Victoria. Asthma acute [Internet]. The Royal Children’s Hospital Melbourne.
Available from: http://www.rch.org.au/clinicalguide/guideline_index/Asthma_acute/

Anda mungkin juga menyukai