Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

ETIKA PROFESI DAN HUKUM PERBURUHAN

DWICKY WICAKSANA S.
D021171020

Departemen Teknik Mesin


Fakultas Teknik
Universitas Hasanuddin
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Hukum adalah alat yang digunakan untuk menegakkan keadilan di negara ini. Hukum itu
sendiri juga bertujuan sebagai pembaharu pada masyarakat agar terciptanya masyarakat yayng
dinamis dan mampu menghadapi tuntutan zaman. Hukum Perburuhan sendiri adalah bagian
yang sangat penting dalam hukum. Karena tanpa adanya hal tersebut dapat menimbulkan
kekacauan di negeri ini. Hukum perburuhan mengatur mengenai hal-hal apa saja yang terkait
oleh pemberi kerja dan penerima kerja yang ada di Indonesia. Maka dari itu dirasa sangat
penting untuk mengangkat topik hukum perburuhan agar pembaca mendapatkan edukasi
tentang pentingnya hukum perburuhan dan tenaga kerja yang ada di Indonesia.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Mengaapa Hukum Perburuhan itu penting? Apa manfaatnya?
2. Bagaimana Hukum Perburuhan di Indonesia?
2. Bagaimana hukum perburuhan tentang tenaga asing di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN

Manfaat Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan


Pada dasarnya fungsi Hukum Ketenagakerjaan yaitu mengatur hubungan yang serasi antara
semua pihak yang berhubungan dengan proses produksi barang maupun jasa, dan mengatur
perlindungan tenaga kerja yang bersifat memaksa.

Menurut Prof. Mochtar Kusumaatmadja, fungsi hukum itu adalah sebagai sarana
pembaharuan masyarakat. Dalam rangka pembangunan, yang dimaksud dengan sara
pembaharuan itu adalah sebagai penyalur arah kegiatan manusia kearah yang diharapkan oleh
pembangunan.
Sebagaimana halnya dengan hukum yang lain, hukum ketanagakerjaan mempunyai fungsi
sebagai sarana pembaharuan masyarakat yang mnyalurkan arah kegiatan manusia ke arah yang
sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh pembangunan ketenagakerjaan.

Pembangunan ketenagakerjaan sebagai salah satu upaya dalam mewujudkan pembangunan


nasional diarahkan untuk mengatur, membina dan mengawasi segala kegiatan yang
berhubungan dengan tenaga kerja sehingga dapat terpelihara adanya ketertiban untuk mencapai
keadilan. Pengaturan, pembinaan, dan pengawasan yang dilakukan berdasarkan perundang-
undangan yang berlaku di bidang ketenagakerjaan itu harus memadai dan sesuai dengan laju
perkembangan pembangunan yang semakin pesat sehingga dapat mengantisipasi tuntutan
perencanaan tenaga kerja, pembinaan hubungan industrial dan peningkatan perlindungan
tenaga kerja.

Sebagaimana menurut fungsinya sebagai sarana pembaharuan, hukum ketenagakerjaan


merubah pula cara berfikir masyarakat yang kuno kearah cara berfikir yang modern yang sesuai
dengan yang dikehendaki oleh pembangunan sehingga hukum ketenagakerjaan dapat berfungsi
sebagai sarana yang dapat membebaskan tenaga kerja dari perbudakan, peruluran, perhambaan,
kerja paksa dan punale sanksi, membebaskan tenaga kerja dari kehilangan pekerjaan,
memberikan kedudukan hukum yang seimbang dan kedudukan ekonomis yang layak kepada
tenaga kerja

Hukum Perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia


Sejarah Hukum Perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia
Hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia sudah ada sebelum masa
kemerdekaan. Hanya saja, pihak yang mengeluarkan hukum tersebut bukan Pemerintah
Indonesia, tapi penjajah Belanda. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, hukum
terkait ketenagakerjaan dikeluarkan oleh pemerintah.
Dalam perjalanannya, hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia mengalami
berbagai perubahan. Perubahan itu dimulai dari era penjajahan Belanda yang memberlakukan
hukum perbudaan, era orde lama, orde baru, dan masa reformasi.

 Zaman Belanda
Pada zaman penjajahan Belanda, terdapat 4 hukum perburuhan dan ketenagakerjaan yang
diberlakukan. Empat hukum tersebut adalah perbudakan, perhambaan, kerja rodi, dan Poenale
Sanctie.
Hukum yang pertama adalah perbudakan. Pada masa ini, masyarakat Indonesia yang menjadi
budak tidak memiliki hak apapun, termasuk hak hidup. Beberapa aturan yang dibuat terkait
perbudakan pada masa ini antara lain adalah peraturan pendaftaran budak, pajak atas
kepemilikan budak, ataupun penggantian nama untuk para budak.

Berikutnya adalah hukum perhambaan. Sekilas, hukum ini memiliki kesamaan dengan
perbudakan, hanya saja agak lebih ringan. Seorang hamba, menurut hukum ini, merupakan
barang jaminan karena adanya utang yang belum bisa dilunasi. Alhasil, selama utangnya belum
lunas, seorang hamba bakal terus mengabdi kepada majikan.

Setelah hukum perhambaan, muncul hukum rodi, yang dalam praktiknya juga tidak jauh
berbeda dengan perbudakan. Pada hukum rodi, masyarakat dipaksa untuk bekerja demi
kepentingan penguasa. Salah satu wujud kekejaman dari hukum rodi di zaman penjajahan
Belanda ini adalah pembangunan Jalan Daendels sejauh 1.000 km yang menghubungkan antara
Panarukan di Jawa Timur dengan Anyer di Banten.

Poenale Sanctie menjadi hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia yang berlaku
setelah hukum rodi. Kemunculan hukum ini diawali dengan adanya Agrarische Wet alias
Undang-Undang Agraria pada tahun 1970. Pada masa ini, muncul banyak perusahaan
perkebunan swasta berskala besar. Oleh karena itu, hukum yang mengatur perburuhan berperan
sentral.
Pada awalnya, pada Poenale Sanctie diberlakukan Politie Straaf reglement alias Peraturan
Pidana Polisi. Peraturan ini lebih menitikberatkan pada kepentingan majikan, dan akhirnya
dihapus pada tahun 1879. Keberadaannya digantikan oleh Koeli Ordonantie (1880) yang
kemudian dikenal dengan nama Poenale Sanctie.
Dalam hukum terbaru ini, Pemerintah Belanda melarang adanya pemaksaan, ancaman, atau
pemerasan dalam hubungan perburuhan. Selain itu, perjanjian antara buruh dan majikan harus
dilakukan secara tertulis pada rentang waktu tertentu. Ketika aturan ini dilanggar, bakal ada
sanksi yang dijatuhkan kepada pelanggarnya, baik majikan ataupun buruh.

 Orde Lama
Ketika memasuki masa kemerdekaan, kondisi buruh dan tenaga kerja di Indonesia mengalami
perbaikan. Pemerintah Orde Lama yang berada di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno
mengeluarkan beberapa aturan yang memberi perlindungan kepada para tenaga kerja. Sebagai
buktinya, beberapa aturan yang pernah dirilis antara lain adalah:

1. UU Nomor 33 Tahun 1947 Tentang Kecelakaan Kerja


2. UU Nomor 12 tahun 1948 Tentang Kerja
3. UU Nomor 23 Tahun 1948 Tentang Pengawasan Perburuhan
4. UU Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan
Majikan
5. UU Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
6. UU Nomor 18 Tahun 1956 Tentang Persetujuan Konvensi ILO Nomor 98 mengenai
Dasar-dasar dari Hak Untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama
7. Permenaker No. 90 Tahun 1955 Tentang Pendaftaran Serikat Buruh

 Orde Baru
Pada masa Orde Baru, pemerintah berusaha untuk meningkatkan pembangunan dengan tetap
menjaga stabilitas nasional. Hasilnya, lahirlah aturan yang disebut dengan Hubungan Industrial
Pancasila atau Hubungan Perburuhan Pancasila. Sesuai dengan namanya, aturan ini dibuat
dengan berlandaskan pada Pancasila. Di lapangan, ada lembaga bipartit, tripartit, serta
kesepakatan kerja bersama yang keanggotaannya diambil dari pihak-pihak terkait.

 Masa Reformasi
Pada masa reformasi, peraturan terkait perburuhan dan ketenagakerjaan mengalami perubahan
secara dinamis. Apalagi, terjadi pergantian pemerintahan dalam kurun yang singkat, mulai dari
Pemerintahan Presiden B.J. Habibie (1998-1999), Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001),
Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004), hingga Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono
(SBY) yang memerintah pada rentang 2004-2014.

Presiden Habibie pada awal kepemimpinannya meluncurkan Keputusan Presiden Nomor 83


Tahun 1998 yang memberi perlindungan hak berorganisasi. Selain itu, ada pula ratifikasi aturan
ILO terkait usia minimum untuk bekerja. Tidak ketinggalan, pada masa pemerintahan ini juga
diluncurkan perpu yang mengatur tentang pengadilan HAM.

Sementara itu, pada masa Pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid, dilakukan perlindungan
terhadap para pekerja atau serikat buruh. Upaya perlindungan itu dilakukan dengan peluncuran
UU nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja. Selain sebagai upaya perlindungan, UU
ini juga dipakai sebagai sarana untuk memperbaiki iklim demokrasi saat itu.

Selanjutnya, pada masa Pemerintahan Presiden Megawati, aturan hukum perburuhan dan
ketenagakerjaan di Indonesia mengalami perubahan drastis. Alasannya adalah peluncuran UU
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Keberadaan UU ini menjadi pengganti dari
15 aturan ketenagakerjaan yang sebelumnya telah ada.

Keberadaan UU Ketenagakerjaan tersebut juga menjadi landasan atas keluarnya aturan


perundang-undangan lain di masa Pemerintahan Megawati. Terdapat 2 UU yang dibuat dengan
berdasarkan UU Ketenagakerjaan, yakni UU Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial serta UU Nomor 39 Tentang Perlindungan dan Penempatan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

Sumber hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia


Sumber hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia tidak hanya berasal 1 satu
peraturan. Ada 6 jenis sumber hukum yang diakui dan dijalankan. Enam sumber hukum
tersebut adalah:
 Undang-undang
Undang-undang merupakan aturan yang ditetapkan oleh presiden dengan disetujui oleh
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ada pula Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Perpu) yang memiliki hukum setara dengan undang-undang. Berbeda dengan undang-
undang, penetapan perpu bisa dilakukan secara langsung oleh presiden tanpa harus
memperoleh persetujuan DPR. Namun, perpu harus diajukan pada persidangan DPR
berikutnya dalam rangka penetapan aturan tersebut menjadi undang-undang.

 Peraturan lain
Peraturan lain merupakan aturan yang secara hukum posisinya berada di bawah undang-
undang. Ada beberapa jenis peraturan yang masuk dalam kategori ini, di antaranya adalah
Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, serta peraturan atau keputusan instansi.
Karena mencakup banyak pihak, tidak heran kalau peraturan lain yang menyangkut tentang
perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia sangat banyak. Sebagai contoh di antaranya
adalah, Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012, Permendag Nomor 50 Tahun 2010, Perpres
Nomor 12 tahun 2013, dan lain-lain.

 Kebiasaan
Sumber hukum perburuhan dan ketenagakerjaan berikutnya di Indonesia adalah kebiasaan.
Suatu kebiasaan dianggap sebagai hukum tak tertulis ketika menjadi hal yang telah dilakukan
berulang-ulang. Apalagi, banyak pihak yang menaati aturan tak tertulis dan menerimanya tanpa
ada keluhan.

 Putusan hukum
Putusan hukum menjadi aturan hukum yang harus ditaati berikutnya. Hanya saja, putusan
hukum berlaku secara terbatas. Sebagai contoh, pada kasus putusan Mahkama Konstitusi (MK)
terhadap gugatan hukum pada isi UU Ketenagakerjaan. Sebagian gugatan diterima oleh hakim,
tapi putusan ini tidak mengubah isi undang-undang.

 Perjanjian
Perjanjian kerja antara pemilik usaha dengan karyawan juga menjadi salah satu bentuk sumber
hukum perburuhan dan ketenaga kerjaan. Hanya saja, secara umum perjanjian hanya mengikat
kepada pihak yang berkaitan secara langsung. Selain itu, isi dari perjanjian biasanya boleh
diketahui oleh pihak terkait. Apalagi, perjanjian ketenagakerjaan yang melibatkan serikat
pekerja dengan perkumpulan pengusaha.

 Traktat
Sumber hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia yang terakhir adalah traktat,
perjanjian yang dilaksanakan oleh dua atau beberapa negara. Konvensi yang merupakan
perjanjian internasional oleh lembaga dunia menjadi salah satu jenis traktat, misalnya konvensi
ILO.
Hanya saja, di Indonesia, konvensi ILO tidak secara otomatis menjadi sumber hukum
perburuhan dan ketenagakerjaan. Agar aturan pada konvensi itu bisa diberlakukan di Indonesia,
pemerintah harus melakukan ratifikasi. Contoh ratifikasi yang pernah dilakukan antara lain
adalah, UU Nomor 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 138 Mengenai Usia
Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja Tahun 1973.
Hukum Tenaga Kerja Asing di Indonesia
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengeluarkan beleid baru penggunaan pekerja
warga negara asing. Diundangkan pada 30 Desember 2013, Peraturan Menteri Tenaga Kerja
(Permenakertrans) No. 12 Tahun 2013 mengatur tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja
Asing (TKA). Permenakertrans ini menggantikan beleid serupa yang terbit 2008 silam
Menurut Diar Riga Pasaribu, Kabag Hukum dan Kerjasama Luar Negeri Ditjen Binapenta
Kemenakertrans, salah satu aturan baru yang berbeda dari Permenakertrans No. 2 Tahun
2008 adalah pemberi kerja bagi TKA. Beleid terbaru, kata Diar, perusahaan pemberi kerja
harus berbadan hukum. Kalaupun ada pengecualian buat badan usaha bukan badan hukum,
harus dinyatakan dalam undang-undang.

Dalam peraturan lama, persekutuan komanditer (CV), misalnya, diperkenankan


menggunakan TKA. Dalam beleid baru, kata Diar, tidak diperkenankan lagi sepanjang tak
disebut dalam undang-undang. “Kalau dulu CV boleh pekerjakan TKA. Tepi sekarang harus
berbadan hukum,” ujarnya saat ditemui di gedung Kemenakertrans, Kamis (06/2) kemarin.

Ia menunjuk larangan itu dalam Pasal 4 Permenakertrans No. 12 Tahun 2013. Rumusannya
begini: “Pemberi kerja TKA yang berbentuk persekutuan perdata, firma (Fa), persekutuan
komanditer (CV), dan usaha dagang (UD) dilarang mempekerjakan TKA kecuali diatur
dalam undang-undang”. Rumusan ini berarti CV, UD, atau Firma hanya boleh menggunakan
TKA jika diatur dalam undang-undang.

Diar berharap Permenakertrans baru bisa menutupi kekurangan beleid sebelumnya. Apalagi
dalam rentang waktu 2008-2013 banyak perubahan terjadi di masyarakat, yang
memungkinkan penggunaan TKA semakin banyak. Berlakunya kerangka perdagangan bebas
seperti Masyarakat Ekonomi ASEAN diyakini semakin meningkatkan kebutuhan atas pekerja
asing.

Kompetensi
Ketentuan lain yang diperbarui adalah izin Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing
(RPTKA) untuk pekerjaan sementara. Beleid lama tak membuat rincian yang jelas. Kini,
Pasal 8 Permenakertrans menyebut empat jenis pekerjaan yang bersifat sementara yaitu
pemasangan mesin, elektrikal, layanan purnajual, dan produk dalam masa penjajakan usaha.
Meski lebih rinci, tidak ada perubahan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA)
untuk pekerjaan sementara.

Perubahan penting lainnya adalah mengenai kompetensi. Dalam beleid lama, hanya pekerjaan
yang mensyaratkan kompetensi TKI yang dipekerjaan harus kompeten. Dalam beleid baru,
TKA harus menunjukkan sertifikat kompetensinya. Sesuai pasal 26 Permenakertrans, ini
menjadi syarat untuk mempekerjakan TKA. Diar mengakui syarat ini dicantumkan untuk
menindaklanjuti hasil monitoring KPK terhadap lembaga negara termasuk Kemenakertrans.
Ini juga sejalan dengan spirit UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang
mendorong kompetensi kerja. Kompetensi itu antara lain dibuktikan lewat
sertifikat kompetensi. Menurut Diar, kalau sertifikat kompetensi tak ada, maka TKA harus
sudah punya pengalaman di bidang tersebut minimal lima tahun sebelum menduduki jabatan
tertentu.

Pemberi kerja juga harus mencermati pasal 32 Permenakertrans TKA yang mengatur tentang
besaran kompensasi penggunaan TKA. Menurut Diar besaran kompensasi senilai 100 dolar
AS berlaku untuk satu jabatan dan per bulan untuk setiap TKA. Dengan begitu maka TKA
yang memegang dua jabatan di perusahaan berbeda sebagaimana diatur dalam pasal 33 ayat
(3) Permenakertrans maka yang harus dibayar yaitu dua kali besaran kompensasi. Misalnya,
seorang TKA menjabat sebagai direksi di perusahaan A dan sebagai komisaris di perusahaan
B. Dengan kondisi itu maka kompensasi yang dibayar untuk seorang TKA 200 dolar AS
setiap bulan.

Namun, yang tak kalah penting adalah pengawasan TKA. Kepala Bidang Pengawasan
Disnakertrans DKI Jakarta, Mujiyono, mengatakan selama ini pemantauan dilakukan
terhadap perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan TKA. Namun, ia menjelaskan rata-
rata perusahaan yang mempekerjakan TKA sudah memenuhi aturan sehingga tergolong
minim pelanggaran. Saat pengawas melakukan pemeriksaan ke perusahaan, yang dilakukan
adalah pemeriksaan secara umum terkait ketenagakerjaan, termasuk penggunaan TKA.
“Kalau di perusahaan ditemukan TKA ya kami periksa,” katanya.

Kemenakertrans mencatat tahun 2013 jumlah IMTA yang diterbitkan sebanyak 68.957.
Sedangkan TKA yang bekerja di Indonesia paling banyak berasal dari China, Jepang, Korea
Selatan, India dan Malaysia.
BAB III
Penutup
Kesimpulan
Sebagaimana menurut fungsinya sebagai sarana pembaharuan, hukum ketenagakerjaan
merubah pula cara berfikir masyarakat yang kuno kearah cara berfikir yang modern yang sesuai
dengan yang dikehendaki oleh pembangunan sehingga hukum ketenagakerjaan dapat berfungsi
sebagai sarana yang dapat membebaskan tenaga kerja dari perbudakan, peruluran, perhambaan,
kerja paksa dan punale sanksi, membebaskan tenaga kerja dari kehilangan pekerjaan,
memberikan kedudukan hukum yang seimbang dan kedudukan ekonomis yang layak kepada
tenaga kerja

Dalam perjalanannya, hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia mengalami


berbagai perubahan. Perubahan itu dimulai dari era penjajahan Belanda yang memberlakukan
hukum perbudaan, era orde lama, orde baru, dan masa reformasi. Sumber hukum perburuhan
dan ketenagakerjaan di Indonesia tidak hanya berasal 1 satu peraturan. Ada 6 jenis sumber
hukum yang diakui dan dijalankan.

Perubahan penting lainnya adalah mengenai kompetensi. Dalam beleid lama, hanya pekerjaan
yang mensyaratkan kompetensi TKI yang dipekerjaan harus kompeten. Dalam beleid baru,
TKA harus menunjukkan sertifikat kompetensinya. Sesuai pasal 26 Permenakertrans, ini
menjadi syarat untuk mempekerjakan TKA.

Anda mungkin juga menyukai