TINJUAN PUSTAKA
A. Definisi
Nyeri kepala atau cephalgia merupakan rasa nyeri atau rasa tidak nyaman pada
daerah atas kepala, memanjang dari orbita sampai ke arah belakang kepala yaitu area
oksipital dan sebagian daerah tengkuk. Cephalgia adalah rasa nyeri atau tidak enak di
antara daerah orbital dan oksipital yang muncul dari struktur nyeri yang sensitif.
(Lindsay,2004)(perdossi,2013)
Nyeri kepala diklasifikasikan oleh International Headache Society, menjadi nyeri
kepala primer dan sekunder. Yang termasuk ke dalam nyeri kepala primer antara lain
adalah: nyeri kepala tipe tegang (TTH - Tension Type Headache), migrain, nyeri kepala
cluster dan nyeri kepala primer lain, contohnya hemicrania continua. Nyeri kepala primer
merupakan 90% dari semua keluhan nyeri kepala. Nyeri kepala juga dapat terjadi
sekunder, yang berarti disebabkan kondisi kesehatan lain. (perdossi,2013)
B. Epidemiologi.
Berdasarkan hasil penelitian multisenter berbasisi rumah sakit pada 5 rumah sakit
di Indonesia, didapatkan prevalensi penderita nyeri kepala sebagai berikut, Migren tanpa
aura 10%, Migren dengan aura 1,8%, Episodik Tension Type Headache 31%, Chronic
Tension Type Headache 24%, Cluster Headache 0,5%, Mixed Headache
14%.).(perdossi,2013)(Stephen,2001).
Penelitian berbasis populasi menggunakan kriteria International Headache Society
untuk Migrain dan Tension Type Headache (TTH), juga penelitian Headache in General
dimana Chronis Daily Headache juga disertakan. Secara global, presentase populaasi
orang dewasa dengan gangguan nyeri kepala 46%, 11% Migren, 42% Tension Type
Headache dan 3% untuk Chronic Daily Headache.
C. Etiologi.
Bangunan yang mengandung ujung saraf yang sensitif terhadap rasa nyeri, dapat
distimulasikan oleh traksi (tarikan), inflamasi, tekanan, infiltrasi neoplasma (keganasan),
zat biokimiawi yang terlepas pada nyeri kepala tertentu. Stimulasi bangunan peka nyeri
yang berada di atas tentorium serebellum cenderung menimbulkan rasa nyeri di daerah
oksipital dan suboksipital. Semua jaringan kulit kepala (scalp), wajah, leher, dan kuduk
peka terhadap rangsang nyeri. Nyeri kepala dapat langsung terjadi pada penyakit di mata
dan bangunan di orbita, rongga hidung dan sinus paranasal, gigi, telinga bagian eksterna
dan bagian tengah.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa nyeri kepala dapat disebabkan oleh :
Traksi atau trombosis atau peranjakan vena sinus atau cabang kortikalnya
Traksi, dilatasi atau inflamasi yang melibatkan dura fosa anterior dan fosa
posterior atau arteri intrakranial atau ekstrakranial.
Traksi, peranjakan atau penyakit pada saraf kranila V, IX, X dan tiga saraf spinal
servikal bagian pertama (saraf spinal C1, C2, dan C3)
Perubahan tekanan intrakranial
Penyakit di jaringan kulit kepala, wajah, mata, hidung telinga dan leher kuduk.
Secara garis besar dan sederhana nyeri kepala dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu :
Vaskular.
Kontraksi otot (nyeri kepala jenis tegang).
Keadaan ekstrakranial atau intrakranial, struktural atau inflamasi.
D. Faktor Resiko
Faktor resiko terjadinya nyeri kepala yaitu :
Kelainan vaskular, saraf atau metabolism
Trauma kepala
Penyakit sistemik seperti anemia, hipertensi, hipotensi
Kelelahan berkendara
Mengkonsumsi alkohol berlebihan
Postur/posisi tubuh yang salah
Riwayat keluarga dan genetik.
F. Patofisiologi
Nyeri merupakan mekanisme protektif yang dapat terjadi setiap saat bila ada jaringan
manapun yang mengalami kerusakan, dan melalui nyeri inilah, seorang individu akan
bereaksi dengan cara menjauhi stimulus nyeri tersebut. Rasa nyeri dimulai dengan adanya
perangsangan pada reseptor nyeri oleh stimulus nyeri. Stimulus nyeri dapat dibagi tiga,
yaitu mekanik, termal, dan kimia. Mekanik, spasme otot merupakan penyebab nyeri yang
umum karena dapat mengakibatkan terhentinya aliran darah ke jaringan (iskemia
jaringan), meningkatkan metabolisme di jaringan dan juga perangsangan langsung ke
reseptor nyeri sensitif mekanik. Termal, rasa nyeri yang ditimbulkan oleh suhu yang
tinggi tidak berkorelasi dengan jumlah kerusakan yang telah terjadi melainkan
berkorelasi dengan kecepatan kerusakan jaringan yang timbul. Hal ini juga berlaku untuk
penyebab nyeri lainnya yang bukan termal seperti infeksi, iskemia jaringan, memar
jaringan, dan lainnya. Pada suhu 450C, jaringan– jaringan dalam tubuh akan mengalami
kerusakan yang didapati pada sebagian besar populasi.5 Kimia, ada beberapa zat kimia
yang dapat merangsang nyeri seperti bradikinin, serotonin, histamin, ion kalium, asam,
asetilkolin, dan enzim proteolitik. Dua zat lainnya yang diidentifikasi adalah
prostaglandin dan substansi P yang bekerja dengan meningkatkan sensitivitas dari free
nerve endings. Prostaglandin dan substansi P tidak langsung merangsang nyeri tersebut.
Dari berbagai zat yang telah dikemukakan, bradikinin telah dikenal sebagai penyebab
utama yang menimbulkan nyeri yang hebat dibandingkan dengan zat lain. Kadar ion
kalium yang meningkat dan enzim proteolitik lokal yang meningkat sebanding dengan
intensitas nyeri yang dirasakan karena kedua zat ini dapat mengakibatkan membran
plasma lebih permeabel terhadap ion. Iskemia jaringan juga termasuk stimulus kimia
karena pada keadaan iskemia terdapat penumpukan asam laktat, bradikinin, dan enzim
proteolitik. Semua jenis reseptor nyeri pada manusia merupakan free nerve endings.
Reseptor nyeri banyak tersebar pada lapisan superfisial kulit dan juga pada jaringan
internal tertentu, seperti periosteum, dinding arteri, permukaan sendi, falx, dan tentorium.
Kebanyakan jaringan internal lainnya hanya diinervasi oleh free nerve endings yang
letaknya berjauhan sehingga nyeri pada organ internal umumnya timbul akibat
penjumlahan perangsangan berbagai nerve endings dan dirasakan sebagai slow – chronic-
aching type pain.
Nyeri dapat dibagi atas dua yaitu fast pain dan slow pain. Fast pain, nyeri akut,
merupakan nyeri yang dirasakan dalam waktu 0,1 s setelah stimulus diberikan. Nyeri ini
disebabkan oleh adanya stimulus mekanik dan termal. Signal nyeri ini ditransmisikan dari
saraf perifer menuju korda spinalis melalui serat Aδ dengan kecepatan mencapai 6-30
m/s. Neurotransmitter yang mungkin digunakan adalah glutamat yang juga merupakan
neurotransmitter eksitatorik yang banyak digunakan pada CNS. Glutamat umumnya
hanya memiliki durasi kerja selama beberapa milliseconds. Slow pain, nyeri kronik,
merupakan nyeri yang dirasakan dalam wkatu lebih dari 1 detik setelah stimulus
diberikan. Nyeri ini dapat disebabkan oleh adanya stimulus mekanik, kimia dan termal
tetapi stimulus yang paling sering adalah stimulus kimia. Signal nyeri ini ditransmisikan
dari saraf perifer menuju korda spinalis melalui serat C dengan kecepatan mencapai 0,5 –
2 m/s. Neurotramitter yang mungkin digunakan adalah substansi P.5 Meskipun semua
reseptor nyeri adalah free nerve endings, jalur yang ditempuh dapat dibagi menjadi dua
pathway yaitu fast-sharp pain pathway dan slow-chronic pain pathway. Setelah mencapai
korda spinalis melalui dorsal spinalis, serat nyeri ini akan berakhir pada relay neuron
pada kornu dorsalis dan selanjutnya akan dibagi menjadi dua traktus yang selanjutnya
akan menuju ke otak. Traktus itu adalah neospinotalamikus untuk fast pain dan
paleospinotalamikus untuk slow pain.6 Traktus neospinotalamikus untuk fast pain, pada
traktus ini, serat Aδ yang mentransmisikan nyeri akibat stimulus mekanik maupun termal
akan berakhir pada lamina I (lamina marginalis) dari kornu dorsalis dan mengeksitasi
second-order neurons dari traktus spinotalamikus. Neuron ini memiliki serabut saraf
panjang yang menyilang menuju otak melalui kolumn anterolateral. Serat dari
neospinotalamikus akan berakhir pada:
Adanya sensori taktil dan nyeri yang diterima akan memungkinkan otak untuk menyadari
lokasi tepat dimana rangsangan tersebut diberikan. Traktus paleospinotalamikus untuk
slow pain, traktus ini selain mentransmisikan sinyal dai serat C, traktus ini juga
mentransmisikan sedikit sinyal dari serat Aδ. Pada traktus ini saraf perifer akan hampir
seluruhnya nerakhir pada lamina II dan III yang apabila keduanya digabungkan, sering
disebut dengan substansia gelatinosa. Kebanyakan sinyal kemudian akan melalui sebuah
atau beberapa neuron pendek yang menghubungkannya dengan area lamina V lalu
kemudian kebanyakan serabut saraf ini akan bergabung dengan serabut saraf dari fast-
sharp pain pathway. Setelah itu, neuron terakhir yang panjang akan menghubungkan
sinyal ini ke otak pada jaras anterolateral. Ujung dari traktus paleospinotalamikus
kebanyakan berakhir pada batang otak dan hanya sepersepuluh ataupun seperempat
sinyal yang akan langsung diteruskan ke talamus. Kebanyakan sinyal akan berakhir pada
salah satu tiga area yaitu :
G. Klasifikasi
Nyeri kepala merupakan gejala yang dapat disebabkan oleh berbagai kelainan baik
struktural maupun fungsional, maka diperlukan klasifikasi dan kriteria diagnosis dan
masing-masing jenis nyeri kepala agar didapatkan kesamaan pengertian. Usaha
klasifikasi tersebut membutuhkan waktu bertahun-tahun, melibatkan para pakar dari
seluruh dunia, dan pada tahun 2004 dihasilkan klasifikasi nyeri kepala oleh
International Headache Society (IHS).
1. Sakit kepala bisa merupakan keluhan primer atausekunder:
Primer : suatu nyeri kepala tanpa disertai adanya penyebab struktural
organik merupakan diagnosis utama, bukan disebabkan karena adanya
penyakit lain.
Sekunder : sakit kepala merupakan gejala ikutan karena adanya penyakit
lain
Berdasarkan lokasi
2. MIGRAINE
2.1 Definisi Migraine
Menurut International Headache Society (IHS), migren adalah nyeri kepala
dengan serangan nyeri yang berlansung 4 – 72 jam. Nyeri biasanya unilateral,
sifatnya berdenyut, intensitas nyerinya sedang sampai berat Referat Cephalgia | 17
dan diperhebat oleh aktivitas, dan dapat disertai mual muntah, fotofobia dan
fonofobia.
2.2 Etiologi dan Faktor Resiko Migraine
Penyebab pasti migraine tidak diketahui, namun 70-80% penderita migraine
memiliki anggota keluarga dekat dengan riwayat migraine juga. Risiko terkena
migraine meningkat 4 kali lipat pada anggota keluarga para penderita migraine
dengan aura. Namun, dalam migraine tanpa aura tidak ada keterkaitan genetik
yang mendasarinya, walaupun secara umum menunjukkan hubungan antara
riwayat migraine dari pihak ibu. Migraine juga meningkat frekuensinya pada
orang-orang dengan kelainan mitokondria seperti MELAS (mitochondrial
myopathy, encephalopathy, lactic acidosis, and strokelike episodes). Pada pasien
dengan kelainan genetik CADASIL (cerebral autosomal dominant arteriopathy
with subcortical infarcts and leukoencephalopathy) cenderung timbul migrane
dengan aura.
Faktor Instrinsik
Kriteria Diagnosis :
Fase II Aura
Berlangsung lebih kurang 30 menit, dan dapat memberikan kesempatan bagi
pasien untuk menentukan obat yang digunakan untuk mencegah serangan yang
dalam. Gejala dari periode ini adalah gangguan penglihatan (silau/fotofobia),
kesemutan, perasaan gatal pada wajah dan tangan, sedikit lemah pada ekstremitas
dan pusing. Periode aura ini berhubungan dengan vasokonstriksi tanpa nyeri yang
diawali dengan perubahan fisiologi awal. Aliran darah serebral berkurang, dengan
kehilangan autoregulasi lanjut dan kerusakan responsivitas CO2.
Fase IV pemulihan
Periode kontraksi otot leher dan kulit kepala yang dihubungkan dengan sakit otot
dan ketegangan lokal. Kelelahan biasanya terjadi, dan pasien dapat tidur untuk
waktu yang panjang
Anamnesa riwayat penyakit dan ditegakkan apabila terdapat tanda– tanda khas
migraine. Kriteria diagnostic IHS untuk migraine dengan aura mensyaratkan
bahwa harus terdapat paling tidak tiga dari empat karakteristik berikut :
Kriteria diagnostik IHS untuk migraine tanpa aura mensyaratkan bahwa harus
terdapat paling sedikit lima kali serangan nyeri kepala seumur hidup yang
memenuhi kriteria berikut :
1. berlangsung 4 – 72 jam,
2. paling sedikit memenuhi dua dari :
unilateral
sensasi berdenyut,
intensitas sedang berat,
diperburuk oleh aktifitas,
bisa terjadi mual muntah, fotofobia dan fonofobia.
2.9 Penatalakasanaan.
Medikamentosa
Terapi Abortif
1. Sumatriptan
Sumatriptan cukup efektif sebagai terapi abortif jika diberikan secara
subkutan dengan dosis 4-6 mg. Dapat diulang sekali setelah 2 jam kemudian
jika dibutuhkan. Dosis maksimum 12 mg per 24 jam. Triptan merupakan
serotonin 5-HT1B/1D–receptor agonists. Golongan obat ini ditemukan dalam
suatu penelitian mengenai serotonin dan migraine yang mendapatkan adanya
suatu atypical 5-HT receptor. Aktivasi reseptor ini menyebabkan
vasokontriksi dari arteri yang berdilatasi. Sumatriptan juga terlihat
menurunkan aktivitas saraf trigeminal. Terdapat tujuh subkelas utama dari 5-
HT receptors. Semua triptan dapat mengaktivasi reseptor 5- HT1B/1D, serta
dalam potensi yang lebih ringan dapat mengaktivasi reseptor 5-HT1A atau 5-
HT1F. Namun, aktivitas 5-HT1B/1D–agonist merupakan mekanisme utama
dari efek terapeutik golongan triptan. Indikasi: serangan migren akut dengan
atau tanpa aura. Dosis & Cara Pemberian: dapat diberikan secara subkutan
dengan dosis 4-6 mg. Dapat diulang sekali setelah 2 jam kemudian jika
dibutuhkan. Dosis maksimum 12 mg per 24 jam.
2. Zolmitriptan
Zolmitriptan efektif untuk pengobatan akut. Dosis awal oral 5 mg. Gejala-
gejala akan berkurang dalam 1 jam. Obat ini dapat diulang sekali lagi setelah
2 jam jika diperlukan. Dosis maksimal adalah 10 mg untuk 24 jam.
Zolmitriptan juga dapat digunakan melalui nasal spray. Indikasi: Untuk
mengatasi serangan migraine akut dengan atau tanpa aura pada dewasa. Tidak
ditujukan untuk terapi profilaksjis migren atau untuk tatalaksana migren
hemiplegi atau basilar. Dosis & Cara Pemberian : Pada uji klinis, dosis
tunggal 1; 2,5 dan 5 mg efektif mengatasi serangan akut. Pada perbandingan
dosis 2,5 dan 5 mg, hanya terjadi sedikit penambahan manfaat dari dosis lebih
besar, namun efek samping meningkat. Oleh karena itu, pasien sebaiknya
mulai dengan dosis 2,5 atau lebih rendah. Jika sakit terasa lagi, dosis bisa
diulang setelah 2 jam, dan tidak lebih dari 10 mg dalam periode 24 jam. Efek
Samping: hiperestesia, parestesia, sensasi hangat dan dingin, nyeri dada,
mulut kering, dispepsia, disfagia, nausea, mengantuk, vertigo, astenia,
mialgia, miastenia, berkeringat. Kontraindikasi: Pasien dengan penyakit
jantung iskemik (angina pectoris, riwayat infark miokard, coronary artery
vasospasm, Prinzmetal's angina), dan pasien hipersensitif.
3. Eletriptan
Eletriptan terikat dengan afinitas tinggi terhadap reseptor 5-HT1B, 5-HT1D
dan 5-HT1F. Aktivasi reseptor 5-HT1 pada pembuluh darah intrakranial
menimbulkan vasokontriksi yang berkorelasi dengan meredanya sakit kepala
migraine. Selain itu, aktivasi reseptor 5-HT1 pada ujung saraf sensoris pada
sistem trigeminal menghambat pelepasan proinflammatory neuropeptida.
Indikasi: Penanganan migraine akut dengan atau tanpa aura. Dosis & Cara
Pemberian: 20–40 mg po saat onset berlangsung, dapat diulang 2 jam
kemudian sebanyak 1 kali. Dosis maksimum tidak melebihi 80 mg/24 jam.
Efek Samping: parestesia, flushing, hangat, nyeri dada, rasa tidak enak pada
perut, mulut kering, dispepsia, disfagia, nausea, pusing, sakit kepala,
mengantuk.
2.10Komplikasi Migraine.
Komplikasi migraine adalah rebound headache, nyeri kepala yang
disebabkan oleh penggunaan obat–obatan analgesia seperti aspirin,
asetaminofen, dan lainnya yang berlebihan.
2.11Pencegahan Migraine
Pencegahan migraine adalah dengan mencegah kelelahan fisik,
tidur cukup, mengatasi hipertensi, menggunakan kacamata hitam untuk
menghindari cahaya matahari, mengurangi makanan (seperti keju, coklat,
alkohol), makan teratur, dan menghindari stress.
3. CLUSTER HEADACHE
Nyeri kepala atau muka unilateral yang hebat selama 15 menit-3 jam yang disertai
injeksi konjungtiva, lakrimasi, penyumbatan hidung ipsilateral beberapa kali dalam
sehari dalam kurun waktu beberapa minggu hingga bulan. Pada sebagian penderita
menimbulkan nyeri tekan di daerah dasar tengkorak dan leher ipsilateral.
3.1 Bentuk-bentuk Cluster Headache
Tipe episodik, paling sering (80%): 1-3 serangan singkat periorbital
seharinya selama 2-12 minggu diikuti masa bebas serangan selama 3 bulan - 3
tahun.
Tipe kronik (20%) : tidak ada remisi selama lebih dari 1 tahun atau remisi
singkat kurang dari 14 hari (NKK tipe primer), sedangkan yang berkembang
dari tipe episodik disebut sebagai NKK tipe sekunder.
2. Profilaksis
Pilihan pengobatan pencegahan pada cluster headache ditentukan oleh lamanya
serangan, bukan oleh jenis episodik atau kronis. Preventif dianggap jangka
pendek, atau jangka panjang, berdasarkan pada seberapa cepat efeknya dan
berapa lama dapat digunakan dengan aman. banyak ahli sekarang ini
mengajukan verapamil sebagai pilihan. pengobatan lini pertama, walaupun
pada beberapa pasien dengan serangan yang singkat hanya perlu kortikosteroid
oral atau injeksi nervus
oksipital mungkin lebih tepat. Verapamil lebih efektif dibandingkan dengan
placebo dan lebih baik
dibandingkan dengan lithium. Praktek klinis jelas mendukung penggunaan
dosis verapamil yang relatif lebih tinggi pada cluster headache, tentu lebih
tinggi dari pada dosis yang digunakan untuk indikasi kardiologi. Setelah
dilakukan pemeriksaan EKG, pasien memulai dosis 80 mg tiga kali sehari,
dosis harian akan ditingkatkan secara bertahap dari 80 mg setiap 10-14 hari.
Pemeriksaan EKG dilakukan setiap kenaikan dosis dan paling kurang sepuluh
hari setelah dosis berubah. Dosis ditingkatkan sampai serangan cluster
menghilang, efek samping atau dosis maksimum sebesar 960 mg perhari. Efek
samping termasuk konstipasi dan pembengkakan kaki dan hiperplasia ginggiva
(pasien harus terus memantau kebersihan giginya). Kortikosteroid dalam
bentuk prednison 1 mg/kgbb sampai 60 mg selama empat hari yang diturunkan
bertahap selama tiga minggu diterima
sebagai pendekatan pengobatan perventif jangka pendek. Pengobatan ini sering
menghentikan periode cluster, dan dapat digunakan tidak lebih dari sekali
setahun untuk menghindari nekrosis aseptik. Lithium karbonat terutama
digunakan untuk cluster headache kronik karena efek sampingnya, walaupun
kadang digunakan dalam berbagai episode. Biasanya dosis lithium sebesar 600
mg sampai 900 per-hari dalam dosis terbagi. Kadar lithium harus diperiksa
dalam minggu pertama dan secara periodik setelahnya dengan target kadar
serum sebesar 0,4 sampai 0,8 mEq/L. Efek neurotoksik termasuk tremor,
letargis, bicara cadel, penglihatan kabur, bingung, nystagmus, ataksia, tanda-
tanda ekstrapiramidal, dan kejang. Penggunaan bersama dengan diuretik yang
mengurangi natrium harus dihindari, karena dapat mengakibatkan kadar
lithium meningkat dan neurotoksik. Efek jangka panjang seperti hipotiroidisme
dan komplikasi renal harus dipantau pada pasien yang menggunakan lithium
untuk jangka waktu yang lama. Peningkatan leukosit polimorfonuklear adalah
reaksi yang timbul karena penggunaan lithium dan sering salah arti akan
adanya infeksi yang tersembunyi. Penggunaan bersama dengan indometasin
dapat meningkatkan kadar lithium. Topiramat digunakan untuk mencegah
serangan cluster headache. Dosis biasanya adalah 100-200 mg perhari, dengan
efek samping yang sama seperti penggunaannya pada migraine. Melatonin
dapat membantu cluster headache sebagai preventif dan salah satu penelitian
terkontrol menunjukan lebih baik dibandingkan placebo. Dosis biasa yang
digunakan adalah 9 mg perhari. Obat-obat pencegahan lainnya termasuk
gabapentin (sampai 3600 perhari) dan methysergide (3 sampai 12 mg perhari).
Methysergide tidak tersedia dengan mudah, dan tidak boleh dipakai secara
terus-menerus dalam pengobatan untuk menghindari komplikasi fibrosis.
Divalproex tidak efektif untuk pengobatan cluster headache. Injeksi pada saraf
oksipital: Injeksi metilprednisolon (80 mg) dengan lidokain ke dalam area
sekitar nervus oksipital terbesar ipsilateral sampai ke lokasi serangan
mengakibatkan perbaikan selama 5 sampai 73 hari. Pendekatan ini sangat
membantu pada serangan yang singkat dan untuk mengurangi nyeri
keseluruhan pada serangan yang memanjang dan pada cluster headache kronis.
Pendekatan Bedah: Pendekatan bedah modern pada cluster headache
didominasi oleh stimulasi otak dalam pada area hipotalamus posterior grey
matter dan stimulasi nervus oksipital. Tidak terdapat tempat yang jelas untuk
tindakan destruktif, seperti termoregulasi ganglion trigeminal atau pangkal
sensorik nervus trigeminus.