Anda di halaman 1dari 5

Kasus 1(bos distributor bahan pangan divonis penjara)

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sleman telah menjatuhkan vonis pidana dan denda atas
perkara pajak CV berinisial TP dengan terdakwa ASW dan LHK. CV TP merupakan distributor
bahan makanan yang berbasis di Yogyakarta. Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan
Masyarakat (P2 Humas) Direktorat Jenderal Pajak, Mekar Satria Utama, menjelaskan, sidang
pembacaan putusan atas nama terdakwa ASW, karyawan CV TP, di lakukan pada Selasa
(12/5/2015) di Pengadilan Negeri Sleman.

"Hasil keputusannya pidana selama satu tahun dengan masa percobaan dua tahun," kata
dia dalam keterangan resminya di Jakarta, Rabu (20/5/2015). Lebih jauh Mekar menambahkan,
pembacaan putusan atas nama terdakwa LHK, Direktur CV TP, berlangsung pada Rabu
(13/5/2015) di Pengadilan Negeri Sleman dengan putusan pidana selama satu tahun dan denda
sebesar Rp 468,50 juta dengan masa percobaan dua tahun.

Dia menerangkan, CV TP tersangkut kasus pajak terkait Surat Pemberitahuan Tahunan


2009 dan 2010, di mana CV TP secara sengaja telah melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 Pasal 39 ayat (1) huruf c, huruf d dan huruf i.

Bunyi aturan ini yaitu dengan sengaja tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT),
menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak
lengkap dan tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut. "Perbuatan para
terdakwa tersebut mengakibatkan kerugian pada pendapatan negara sekira Rp 2,5 miliar," tegas
Mekar.

Kasus 2

KPK menetapkan mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo pada
kasus dugaan korupsi dalam permohonan keberatan wajib pajak yang diajukan Bank Central
Asia (BCA). Hadi dijerat dalam kapasitasnya sebagai Direktur Jenderal Pajak periode 2002-
2004. Terkait itu, Wakil Ketua KPK Busyro Muqqodas menjelaskan, pihaknya masih terus
mendalami dan menelusuri penyidikan kasus tersebut. Termasuk menyasar pihak BCA sebagai
pihak yang mengajukan permohonan keberatan. "Nanti swastanya akan dikembangkan," kata
Busyro di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (22/4/2014).

Dia menjelaskan, setelah dikembangkan, akan segera diketahui siapa pihak pemberi dari
BCA kepada Hadi dalam permohonan keberatan wajib pajak tersebut. Tak menutup
kemungkinan yang dimaksud pemberi tersebut adalah petinggi BCA. "Setelah dikembangkan
ketahuan swastanya siapa. Motifnya abuse kewenangan," ujar Busyro.

Dalam kasus ini, Hadi diduga menyalahgunakan wewenangnya yang dianggap sebagai
perbuatan melawan hukum. Hadi diduga memerintahkan Direktur Pajak Penghasilan (PPh) untuk
mengubah hasil telaah dan kesimpulan Direktorat PPh terhadap permohonan keberatan wajib
pajak yang diajukan BCA, yaitu dari awalnya ditolak menjadi diterima.

Adapun oleh KPK, Hadi disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.

Seiring dengan penetapan sebagai tersangka, Hadi juga dicegah ke luar negeri. KPK telah
mengirim surat pencegahan tersebut kepada Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum
dan HAM. "Direktorat Imigrasi sudah melakukan pencegahan ke luar negeri terhadap Hadi
Poernomo," ujar Kepala Humas Ditjen Imigrasi Heryanto di Jakarta. Heryanto menyebut,
pencegahan itu sudah dilakukan sejak Senin 21 April 2014 atau tepat saat Hadi diumumkan
sebagai tersangka oleh Ketua KPK Abraham Samad. "(Pencegahan) berlaku sampai 6 bulan ke
depan," kata Heryanto.
Kasus 3

Tersangka penggelapan pajak Rp 5 miliar, Alexander Patra diserahkan Penyidik Pegawai


Negeri Sipil (PPNS) Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jendral Pajak Riau ke Kejaksaan
Tinggi setempat. Alexander diantarkan dengan menggunakan ambulans. "Kepada PPNS
(Penyidik PNS) kami, tersangka mengaku sakit. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan oleh dokter
yang merawatnya. Hasilnya, tersangka dinyatakan keadaan sehat dan langsung diantarkan," kata
Humas Kanwil Direktorat Jendral Pajak Riau, Rina Lestianan di Pekanbaru, Riau, Senin
(3/3/2014).

Alexander yang berbaju merah itu terlihat terbaring di atas Ambulance Stretcher atau
tandu beroda dan didorong sejumlah petugas. Dia juga berselimut. Setelah tiba, ia didampingi
istrinya menuju ke poliklinik Kejati Riau untuk menjalani pemeriksaan kesehatan.

Namun, pengakuan Alexander itu tidak sesuai dengan hasil pemeriksaan dokter yang
menyatakannya dalam keadaan sehat. Usai dipastikan kesehatannya baik, Alexander langsung
diserahkan ke jaksa. Penyerahan Alexander ke Kejati Riau untuk proses penuntutan. Berkasnya
sudah dinyatakan lengkap. "Jadi, tersangka dan barang bukti dugaan penggelapannya diserahkan
untuk penuntutan," ujar Rina.

Sementara Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Riau Mukhzan mengatakan, setelah
penyerahan Alexander, jaksa akan menyusun berkas dakwaan untuk dilimpahkan ke Pengadilan
Tipikor Pekanbaru. "Berkas dakwaan akan disusun jaksa penuntut," jelas dia.

Menurut Mukhzan, dugaan tindak pidana perpajakan yang dilakukan Alexander


bermodus menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) pajak yang tidak benar. Sehingga
pengusaha elektronik itu dianggap merugikan Negara.

"Tersangka, diduga melaporkan omzet yang tidak sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya untuk tahun pajak 2005 sampai dengan 2008. Atas perbuatannya itu, diperkirakan
kerugian negara sebesar Rp 5 miliar," jelas Mukhzan. Pantauan di Kejati Riau, PPNS DJP Riau
Kepri sekitar pukul 11.00 WIB. Alexander tampak berada dalam tempat tidur perawatan dengan
menggunakan baju merah dan dibalut selimut. (Ismoko Widjaya)
Kasus 4 (Dua Pengusaha Jadi Tersangka Kasus Penggelapan Pajak)

BANDUNG, (PRLM).- Dua orang pengusaha asal Bandung menjadi tersangka


penggelapan pajak. Mereka tidak menyetorkan pajak yang dipungut dari masyarakat akibatnya
negara dirugikan sekitar Rp 12,4 miliar.

"Kami menerima penyerahan dua tersangka kasus pajak dari Kanwil Direktorat Jenderal
Pajak (DJP) Jabar 1," ujar Aspidsus Kejati Jabar Bambang Bachtiar, dalam Jumpa Pers yang
digelar, di Kejati Jabar, Jalan LLRE Martadinata, Kamis (12/2/2014).

Dua tersangka tersebut merupakan wajib pajak (WP) dari perusahaan PT MPA dengan
tersangka SA dan PT NKC dengan tersangka NS. Kedua WP tersebut berlokasi di Bandung. PT.
MPA bergerak dalam usaha pertambangan, pengangkutan (transportasi) dan persewaan alat
berat. Tersangka SA melakukan pelanggaran pada tahun pajak 2008-2009.

"Tersangka tidak menyampaikan SPT tahunan PPh dan WP Badan dan SPT masa PPN.
Serta melakukan pemungutan PPN tetapi tidak menyetorkan PPN yang telah dipungutnya,"
ujarnya. Atas perbuatannya itu tersangka disangkakan pasal 39 ayat (1) huruf c'dan huruf i UU
No 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga aatas UU nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan.

"Perbuatan tersangka juga telah mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 5,7 miliar,"
ucapnya. Sementara wajib pajak lainnya yakni PT NKC bergerak dalam usaha penyedia jasa
tenaga kerja (outsourching dan jasa pelaksanaan event/kegiatan (event organizer). Tersangka NS
menyelewengkan dana pajak pada tahun 2005-2010.

"Tersangka NS tidak menyampaikan SPT Masa PPN dan menyampaikan SPT Masa PPN
yang isinya tidak benar," kata Bambang. Atas kesengajaan tersebut kepada tersangka
disangkakan Pasal 39 ayat (1) huruf c'dan huruf d Undang-undang No 28 Tahun 2007 tentang
Perubahan Ketiga atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.

"Akibat perbuatnnya, pendapatan negara dirugikan sekurang-kurangnya sebesar Rp 6,7


miliar," katanya. Di tempat yang sama Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah DJP Jabar 1
Haryono mengatakan, awal pengungkapan dari penelitian Account Representative yang
melakukan pembinaan dan menemukan kesalahan dan memberikan imbauan, tapi tidak digubris
oleh WP yang tidak taat aturan itu.

Disinggung soal kasus yang telah berlangsung lama, dari 2005 hingga 2010, dan baru
diusut di 2015 ini, Haryono menyatakan, pihaknya sangat berhati-hati untuk membawanya ke
ranah hukum. "Untuk menghimpun penerimaan, kami sangat berhati-hati," katanya.

Ditanya apakah ada indikasi keterlibatan orang dalam dalam kasus ini, Haryono tidak
berani menjawab. Namun begitu, dirinya menegaskan, penyidik di Kanwil DJP Jabar I akan terus
melakukan tugasnya dalam mencari WP yang masih melanggar aturan. "Jumlah penyidik di
Kanwil DJP Jabar I, kami anggap sudah cukup," kata Haryono. (Yedi Supriadi/A-89)

Anda mungkin juga menyukai