Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH SEJARAH BAB 1

Nama : 1. M. Gempar Wahyu Alam


2. Nadya Clarisandi
3. Abdulrahman
4. Ahmad Randy Rifandy
5. Tamara Fatriyana
Perkembangan Masyarakat Indonesia Pada Masa Orde
Baru
1. Pengertian Orde Baru
Orde Baru adalah suatu tatanan seluruh perikehidupan rakyat, bangsa
dan negara yang diletakkan kembali kepada pelaksanaan Pancasila
dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dengan kata lain, Orde
Baru adalah suatu orde yang mempunyai sikap dan tekad untuk
mengabdi pada kepentingan rakyat dan nasional dengan dilandasi
oleh semangat dan jiwa Pancasila serta UUD 1945. Lahirnya Orde
Baru diawali dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966.
Dengan demikian Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) sebagai
tonggak lahirnya Orde Baru.

2. Lahirnya Surat Perintah 11 Maret 1966


Pada tanggal 11 Maret 1966 di Istana Negara diadakan Sidang
Kabinet Dwikora yang telah disempurnakan yang dipimpin langsung
oleh Presiden Soekarno dengan tujuan untuk mencari jalan keluar
terbaik agar dapat menyelesaikan krisis yang memuncak secara bijak.
Ketika sidang tengah berlangsung, ajudan presiden melaporkan
bahwa di sekitar istana terdapat pasukan yang tidak dikenal. Untuk
menghindari segala sesuatu yang tidak diinginkan, maka Presiden
Soekarno menyerahkan pimpinan sidang kepada Perkembangan
Masyarakat Indonesia pada Masa Orde Baru 3 Waperdam II (Wakil
Perdana Menteri II) Dr J. Laimena. Dengan helikopter, Presiden
Soekarno didampingi Waperdam I, Dr Subandrio, dan Waperdam II
Chaerul Saleh menuju Istana Bogor. Seusai sidang kabinet, Dr J.
Laimena pun menyusul ke Bogor.
Tiga orang perwira tinggi yaitu Mayor Jenderal Basuki Rakhmat,
Brigadir Jenderal M. Yusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud
menghadap Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima
Angkatan Darat dan Panglima Komando Operasi Pemulihan
Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk minta izin akan
menghadap presiden. Pada hari itu juga, tiga orang perwira tinggi
sepakat untuk menghadap Presiden Soekarno di Istana Bogor dengan
tujuan untuk meyakinkan kepada Presiden Soekarno bahwa ABRI
khususnya AD tetap siap siaga mengatasi keadaan. Di Istana Bogor
Presiden Soekarno didampingi Dr Subandrio, Dr J. Laimena, dan
Chaerul Saleh serta ketiga perwira tinggi tersebut melaporkan situasi
di ibukota Jakarta. Mereka juga memohon agar Presiden Soekarno
mengambil tindakan untuk mengatasi keadaan.
Kemudian presiden mengeluarkan surat perintah yang ditujukan
kepada Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan
Darat untuk mengambil tindakan menjamin keamanan, ketenangan,
dan kestabilan jalannya pemerintahan demi keutuhan bangsa dan
negara Republik Indonesia. Adapun yang merumuskan surat perintah
tersebut adalah ketiga perwira tinggi, yaitu Mayor Jenderal Basuki
Rakhmat, Brigadir Jenderal M. Yusuf, dan Brigadir Jenderal Amir
Machmud bersama Brigadir Jenderal Subur, Komandan Pasukan
Pengawal Presiden Cakrabirawa. Surat itulah yang kemudian dikenal
sebagai Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar.
3. Tindak Lanjut Supersemar
Sebagai tindak lanjut keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966, Letnan
Jenderal Soeharto sebagai pengemban Supersemar segera mengambil
tindakan untuk menata kembali kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, yaitu sebagai
berikut.
 Tanggal 12 Maret 1966, dikeluarkanlah surat keputusan yang
berisi pembubaran dan larangan PKI beserta ormas-ormasnya yang
bernaung dan berlindung atau senada dengannya, beraktivitas dan
hidup di seluruh wilayah Indonesia. Keputusan tersebut diperkuat
dengan Keputusan Presiden/Pangti ABRI/Mandataris MPRS
No.1/3/1966 tangal 12 Maret 1966. Keputusan pembubaran PKI
beserta ormas-ormasnya mendapat sambutan dan dukungan dari
seluruh rakyat karena merupakan salah satu realisasi dari Tritura.
 Tanggal 18 Maret 1966 pengemban Supersemar mengamankan
15 orang menteri yang dinilai tersangkut dalam G 30 S/PKI dan
diragukan etika baiknya yang dituangkan dalam Keputusan Presiden
No. 5 Tanggal 18 Maret 1966.
 Tanggal 27 Maret pengemban Supersemar membentuk Kabinet
Dwikora yang disempurnakan untuk menjalankan pemerintahan.
Tokoh-tokoh yang duduk di dalam kabinet ini adalah mereka yang
jelas tidak terlibat dalam G 30 S/PKI. Membersihkan lembaga
legislatif dimulai dari tokoh-tokoh pimpinan MPRS dan DPRGR yang
diduga terlibat G 30 S/PKI. Sebagai tindak lanjut kemudian dibentuk
pimpinan DPRGR dan MPRS yang baru. Pimpinan DPRGR baru
memberhentikan 62 orang anggota DPRGR yang mewakili PKI dan
ormas-ormasnya.
 Memisahkan jabatan pimpinan DPRGR dengan jabatan
eksekutif sehingga pimpinan DPRGR tidak lagi diberi kedudukan
sebagai menteri. MPRS dibersihkan dari unsur-unsur G 30 S/PKI.
Seperti halnya dengan DPRGR, keanggotaan PKI dalam MPRS
dinyatakan gugur. Sesuai dengan UUD 1945, MPRS mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi daripada lembaga kepresidenan.
Tanggal 20 Juni sampai 5 Juli 1966 diadakan Sidang Umum IV
MPRS dengan hasil sebagai berikut.
 Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 tentang Pengesahan dan
Pengukuhan Supersemar.
 Ketetapan MPRS No. X/MPRS/1966 mengatur Kedudukan
LembagaLembaga Negara Tingkat Pusat dan Daerah.
 Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan
Politik Luar Negeri RI Bebas Aktif.
 Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang Pembentukan
Kabinet Ampera.
 Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan
Kembali Tap. MPRS yang Bertentangan dengan UUD 1945.
 Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib
Hukum RI dan Tata Urutan Perundang-undangan di Indonesia.
 Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran
PKI dan Pernyataan PKI dan Ormas-Ormasnya sebagai Organisasi
Terlarang di Indonesia.
Dengan berakhirnya Sidang Umum IV MPRS, berarti landasan awal
Orde Baru berhasil ditegakkan. Demikian pula dua dari tiga tuntutan
rakyat (Tritura) telah dipenuhi, yaitu pembubaran PKI dan
pembersihan kabinet dari unsur-unsur PKI. Sementara itu, tuntutan
ketiga, yaitu penurunan harga yang berarti perbaikan bidang ekonomi
belum diwujudkan. Hal itu terjadi karena syarat mewujudkannya
perlu dilakukan dengan pembangunan secara terus-menerus dan
membutuhkan waktu yang cukup lama. Pelaksanaan pembangunan
agar lancar dan mencapai hasil maksimal memerlukan stabilitas
nasional.

3. Meningkatnya Peran Negara dan Dampaknya bagi


Masyarakat
Melalui Pemilu, rakyat dapat menggunakan hak politiknya untuk
memilih calon-calon wakilnya yang akan duduk dalam lembaga
perwakilan rakyat. Pemilihan umum mempunyai fungsi dan tujuan
yang amat penting dalam rangka menegakkan demokrasi di suatu
negara. Fungsi pemilihan umum yangpokok adalah sebagai berikut.
 Pemilihan umum adalah sarana untuk menyalurkan hak politik
warga negara sesuai dengan pilihan agar aspirasinya dapat tersalur
melalui wakilnya yang terpilih.
 Pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan asas kedaulatan
rakyat dalam suatu negara.
 Pemilihan umum berfungsi sebagai sarana untuk menegakkan
pemerintahan yang demokratis karena melalui Pemilu rakyat dapat
memilih para wakilnya secara langsung, umum, bebas, dan rahasia.
Selain fungsi di atas, pemilihan umum juga memiliki tujuan, antara
lain:
1. memilih anggota-anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II;
2. menyalurkan aspirasi rakyat melalui wakilnya secara
konstitusional;
3. membentuk susunan keanggotaan MPR.
Dalam upaya memurnikan demokrasi Pancasila, sejak Pemilu tahun
1971 dasar yang dipakai adalah Pancasila dan UUD 1945. Di dalam
sistem demokrasi Pancasila Pemilu berasas langsung, umum, bebas,
dan rahasia. Tujuannya pun sesuai dengan UUD 1945, yaitu memilih
anggota-anggota DPR, DPRD I, DPRD II, dan mengisi keanggotaan
MPR. Begitu pula waktu penyelenggaraan Pemilu sudah memenuhi
aturan UUD 1945, yaitu setiap lima tahun sekali. Hal yang demikian
itu belum bisa dilaksanakan pada masa Orde Lama. Dalam rangka
membersihkan aparatur negara dan tata kehidupan bernegara dari
unsur-unsur PKI dan segala ormasnya, pemerintah tidak memberi hak
pilih kepada bekas anggota PKI dan segala ormasnya yang terlibat G
30 S/PKI.
Ketegasan sikap ini sangat penting dalam rangka tetap mewaspadai
bahaya laten PKI dan penyusupan ideologinya. Namun, sikap
waspada dan kehati-hatian pemerintahan Orde Baru itu sangat
kebablasan yang menyebabkan peran negara makin membelenggu
berbagai aspek kehidupan masyarakat. Istilah pembangunan, atas
nama rakyat, stabilitas, dan pertumbuhan menjadi jargon yang
dilontarkan pemerintahan Orde Baru. Untuk mencapai tujuan semua
itu, negara mengambil peran besar yang sangat menentukan dengan
menempatkan pada tangan presiden. Sebetulnya, secara semu
pemerintahan Orde Baru mirip pada masa Indonesia melaksanakan
Demokrasi Terpimpin. Hanya pejabat presidennya saja yang ganti,
sistemnya tetap sama.
Orde Baru dengan motor penggerak Golongan Karya (Golkar) dan
ABRI berusaha mengambil peranan yang lebih besar pada aspek
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dengan
mengatasnamakan negara. Golkar yang dibina oleh Presiden Soeharto
terus berusaha mengamankan posisi pemerintahan sejak Pemilu 1971.
Golkar menjadi partai pemenang Pemilu 1971 dan berusaha untuk
mempertahankannya. Tap. MPRS No. XLII/MPRS/1968 tentang
perubahan Tap. MPRS No. XI/MPRS/1966 tentang Pemilihan Umum
masih diikuti banyak partai. Ada sepuluh partai peserta pemilihan
umum 1971. Akibat penyederhanaan peserta Pemilu oleh negara pada
Pemilu 1977 sampai akhir masa pemerintahan Orde Baru hanya
diikuti tiga kontestan. Partai peserta Pemilu itu terdiri atas Golongan
Karya, Partai Demokrasi Indonesia, dan Partai Persatuan
Pembangunan. Dua partai kecil, yaitu Partai Demokrasi Indonesia dan
Partai Persatuan Pembangunan hanyalah partai penggembira dan
partai pelengkap dari sistem demokrasi model Indonesia, yaitu
Demokrasi Pancasila. Stabilitas menjadi unsur penting dalam
melaksanakan pembangunan. Untuk itu, pemerintah Orde Baru
berusaha menciptakan stabilitas dengan berusaha mengendalikan
lawan-lawan politiknya. Aparatur negara harus benar-benar setia dan
patuh pada pemerintahan yang berkuasa yang dikamuflasekan sebagai
penjelmaan dan atas nama rakyat. Untuk itu, lahir organisasi Korpri
(Korps Pegawai Republik Indonesia) untuk wadah para pegawai
pemerintah.
Pemerintah juga membentuk berbagai organisasi untuk berbagai
profesi, kelompok masyarakat, dan mahasiswa. Muncul organisasi
SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) untuk buruh, PGRI
(Persatuan Guru Indonesia) untuk guru, KNPI (Komite Nasional
Pemuda Indonesia) untuk para pemuda, PWI (Persatuan Wartawan
Indonesia) untuk para wartawan dan masih banyak lagi. Semua
organisasi sosial kemasyarakatan itu, sayangnya arah
pembentukannya hanya ditujukan untuk melanggengkan kekuasaan
pemerintah. Caranya pada setiap pelaksanaan Pemilu mereka
diarahkan dan diwajibkan untuk memilih Golkar bukan diberi
kebebasan untuk memilih.
Pemilihan Orde Baru juga seakan-akan ketakutan dengan ideologi
komunis. Pancasila dijadikan alat negara yang ampuh untuk
menghantam ideologi komunis. Untuk lebih memasyarakatkan
Pancasila dan dengan dalih mencegah berkembangnya komunis di
tengah masyarakat, mulai tahun 1978 dengan ketetapan MPR
dikeluarkan penjabaran Pancasila yang dikenal sebagai Eka Prasetya
Pancakarsaatau Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila(P-
4). Semua aspek kehidupan bermasyarakat harus bersendikan
Pancasila dan P-4. Setiap pelajar, mahasiswa, masyarakat, dan
pegawai pemerintah wajib mengikuti penataran P-4 agar wawasan
dan cara berpikir mereka seragam untuk mendukung pemerintah Orde
Baru. Sertifikat kelulusan hasil penataran P-4 menjadi dokumen
penting. Pada pemerintahan Orde Baru, ABRI juga menempati posisi
penting dalam kehidupan bernegara. ABRI memang memegang
kendali sejak penumpasan G 30 S/PKI dan adalah kebetulan sekali
kalau kepala pemerintahan Indonesia adalah mantan militer. Melalui
konsep dwifungsi, ABRI merupakan kekuatan signifikan dalam
percaturan politik Indonesia. Mereka banyak yang ditunjuk menjadi
anggota MPR. Dengan memanfaatkan dwifungsi ABRI ini, Orde Baru
telah berhasil melegitimasi kekuasaan.
Melalui pemikiran Prof. Dr. Wijoyo Nitisastro, Prof. Dr. Ali
Wardana, Prof. Dr. Sumitro Joyohadikusumo, Drs. Radius Prawiro,
Prof. Dr. Ir. Moh. Sadli, Prof. Dr. Emil Salim, Drs. Frans Seda, dan
Prof. Dr. Subroto hasil pendidikan dari Universitas California,
Berkeley, Amerika Serikat berhasil menata kembali struktur ekonomi
Indonesia yang morat-marit. Karena orientasi pemikiran ekonomi
Indonesia yang selalu bertumpu pada para alumnus Berkeley tersebut
menyebabkan mereka dijuluki Mafia Berkeley. Berdasarkan hasil
pemikiran para ekonom lulusan Berkeley tersebut, Indonesia pada
awal pemerintahan Orde Baru berhasil mengatasi krisis ekonomi yang
diderita. Banyak modal asing datang, industri berkembang pesat, dan
muncul kesempatan kerja. Indonesia juga menjalin kerja sama dengan
lembaga keuangan dunia, seperti Dana Moneter Internasional (IMF)
dan Bank Dunia (World Bank)

4. Pengaruh Revolusi Hijau terhadap Perubahan Sosial


Ekonomi di Pedesaan dan Perkotaan pada Masa Orde Baru
Sebelum Revolusi Hijau, produksi padi yang merupakan bahan
pangan utama di Indonesia masih bergantung pada cara pertanian
dengan mengandalkan luas lahan dan teknologi yang sederhana. Pada
periode kemudian, intensifikasi pertanian menjadi tumpuan bagi
peningkatan produksi pangan nasional. Usaha peningkatan produksi
pangan di Indonesia sudah dilakukan sejak tahun 1950-an. Pada
waktu itu, pemerintah menerapkan kebijakan Rencana Kemakmuran
Kasimo. Program itu dilakukan pada kurun waktu tahun 1952–1956.
Keinginan mencapai produksi pangan yang tinggi kemudian
dilanjutkan. Beberapa program baru dilaksanakan, seperti program
padi sentra pada tahun 1959–1962 dan program bimbingan
masyarakat (bimas) pada tahun 1963–1965.

Program-program tersebut telah merintis penerapan prinsip-prinsip


Revolusi Hijau di Indonesia melalui pelaksanaan kegiatan Pancausaha
Taniyang mencakup intensifikasi dan mekanisasi pertanian. Berbagai
usaha telah dilakukan oleh pemerintah (departemen pertanian), seperti
“Bimas (Bimbingan Massal), Intensifikasi Masal (Inmas), Insus
(Intensifikasi Khusus), Opsus (Operasi Khusus). Insus dan Opsus
lebih menekankan pada peningkatan partisipasi petani secara
kelompok dan aparat pembina dalam meningkatkan produksi. Insus
merupakan upaya intensifikasi kelompok guna meningkatkan potensi
lahan, sedangkan opsus merupakan upaya menjangkau lahan yang
belum diintensifikasi dan mencoba memberi rangsangan dalam
peningkatan produksi.
Berbagai usaha yang telah dilakukan belum berhasil menutupi
kebutuhan pangan yang besar. Produksi beras per tahun menunjukkan
kenaikan dari 5,79 juta ton pada tahun 1950 menjadi 8,84 juta ton
pada tahun 1965. Namun, jumlah beras yang tersedia per jiwa masih
tetap rendah sehingga impor beras masih tetap tinggi. Ketika ekonomi
nasional memburuk pada awal tahun 1960-an, persediaan beras
nasional juga menurun. Akibatnya, harga beras meningkat dan
masyarakat sulit mendapatkan beras di pasar. Ketika Pelita I dimulai
pada tahun 1969, sebuah rencana peningkatan hasil tanaman pangan
khususnya beras dilakukan melalui program intensifikasi masyarakat
(inmas). Program inmas tersebut untuk melanjutkan program
bimbingan masyarakat (bimas).
Pusat-pusat penelitian itu tidak hanya bergantung pada
pembudidayaan jenis padi yang telah dikembangkan oleh IRRI. Para
peneliti Indonesia juga melakukan penyilangan terhadap jenis padi
lokal. Mereka berhasil menemukan jenis padi baru yang lebih
berkualitas, baik dalam penanaman, tingkat produksi, maupun rasa
dengan memanfaatkan teknologi baru yang ada. Hasilnya, beberapa
jenis benih unggul yang dikenal sebagai padi IR, PB, VUTW, C4,
atau Pelita ditanam secara luas oleh para petani Indonesia sejak tahun
1970-an. Perkembangan Revolusi Hijau di Indonesia mengalami
pasang surut karena faktor alam ataupun kerusakan ekologi. Hal ini
tentu saja memengaruhi persediaan beras nasional. Pada tahun 1972,
produksi beras Indonesia terancam oleh musim kering yang panjang.
Usaha peningkatan produksi beras nasional sekali lagi terganggu
karena serangan hama dengan mencakup wilayah yang sangat luas
pada tahun 1977. Produksi pangan mengalami kenaikan ketika
program intensifikasi khusus (insus) dilaksanakan pada tahun 1980.
Hasilnya, Indonesia mampu mencapai tingkat swasembada beras dan
berhenti mengimpor beras pada tahun 1984. Padahal, pada tahun 1977
dan 1979 Indonesia merupakan pengimpor beras terbesar di dunia.
Selain memanfaatkan jenis padi baru yang unggul, peningkatan
produksi beras di Indonesia didukung oleh penggunaan pupuk kimia,
mekanisasi pengolahan tanah, pola tanam, pengembangan teknologi
pascapanen, penggunaan bahan kimia untuk membasmi hama
pengganggu, pencetakan sawah baru, dan perbaikan serta
pembangunan sarana dan prasarana irigasi. Selain kebijakan
intensifikasi, Indonesia juga melakukan pencetakan sawah baru.
Sampai tahun 1985, sudah terdapat 4,23 juta hektar sawah beririgasi
terutama di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Barat dibandingkan
sekitar 1,8 juta hektar pada tahun 1964. Selama empat pelita, telah
dibangun dan diperbaiki sekitar 8,3 juta hektar sawah beririgasi.
Dengan demikian Revolusi Hijau memberikan pengaruh yang positif
dalam pengadaan pangan. Sejak tahun 1950 Indonesia masuk menjadi
anggota FAO (Food and Agricultur Organization). FAO telah banyak
memberi bantuan untuk pengembangan pertanian. Keberhasilan
Indonesia dalam swasembada pangan dibuktikan dengan adanya
penghargan dari FAO pada tahun 1988. Hal ini berarti Indonesia telah
dapat mengatasi masalah pangan.

5. Pengembangan Sektor Industri dan Dampaknya


Sesuai tahapan yang ada dalam pelita, sektor industri juga mengalami
penargetan dan pencapaian sasaran, seperti berikut ini.
1. Pelita I (1 April 1969–31 Maret 1974) sektor pertanian dan
industri dititikberatkan pada industri yang mendukung sektor
pertanian.
2. Pelita II (1 April 1974–31 Maret 1979) sektor pertanian
dan industri dititikberatkan pada industri yang mengolah bahan
mentah menjadi bahan baku.
3. Pelita III (1 April 1979–31 Maret 1984) sektor pertanian
dan industri dititikberatkan pada pengolahan bahan baku
menjadi barang jadi.
4. Pelita IV (1 April 1984–31 Maret 1989) sektor pertanian
dan industri dititikberatkan pada industri yang menghasilkan
mesin-mesin industri baik untuk industri berat maupun ringan.
5. Pelita V (1 April 1989–31 Maret 1994) sektor pertanian
dan industri diprogramkan untuk dapat menghasilkan barang
ekspor industri yang menyerap banyak tenaga kerja, industri
yang mampu mengolah hasil pertanian dan swasembada pangan
dan industri yang dapat menghasilkan barang-barang industri.
6. Pelita VI (1 April 1994–31 Maret 1998) sektor pertanian
dan industri dititikberatkan pada pembangunan industri nasional
yang mengarah pada penguatan dan pendalaman struktur
industri didukung kemampuan teknologi yang makin meningkat.
Dengan penargetan dan pencapaian hasil teknologi yang
dimaksudkan, Indonesia tumbuh menjadi kawasan industri di
berbagai tempat. Lahan-lahan pertanian banyak berubah menjadi
kawasan industri, baik oleh pemodal asing (PMA) maupun pemodal
dalam negeri (PMDN). Mental pejabat Orde Baru yang korup
menambah parah dampak industrialisasi di Indonesia. Banyak industri
yang tidak mempunyai atau tidak lolos dalam penyampaian analisis
dampak lingkungan (AMDAL), tetapi karena mampu menyuap
pejabat berwenang yang mengeluarkan izin pendirian kawasan
industri, akhirnya mampu membangun industri tersebut. Jika semua
unsur pendirian industri yang mengarah pada ramah lingkungan itu
terpenuhi, tentu dampak negatifnya dapat ditekan seminimal
mungkin. Dengan demikian, kelestarian lingkungan hidup akan dapat
selalu dijaga.

6. Ciri-Ciri Pokok Kebijakan Pemerintahan Orde Baru


Sebagai langkah awal untuk menciptakan stabilitas nasional, Sidang
Umum IV MPRS telah memutuskan untuk menugaskan Letjen.
Soeharto selaku pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966 atau
Supersemar yang sudah ditingkatkan menjadi Ketetapan MPRS No.
IX/ MPRS untuk membentuk kabinet baru. Dibentuk Kabinet Ampera
yang bertugas:
1. menciptakan stabilitas politik,
2. menciptakan stabilitas ekonomi.
Tugas pokok itulah yang disebut Dwidarma Kabinet Ampera.
Program yang dicanangkan Kabinet Ampera disebut Caturkarya
Kabinet Ampera, yaitu:
1. memperbaiki perikehidupan rakyat terutama di bidang
sandang dan pangan;
2. melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu seperti
tercantum dalam Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966 (5 Juli
1968);
3. melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif
untuk kepentingan nasional sesuai dengan Ketetapan MPRS No.
XI/MPRS/1966;
4. melanjutkan perjuangan antiimperialisme dan
antikolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Kabinet Ampera dipimpin oleh Presiden Soekarno, tetapi
pelaksanaannya dilakukan oleh Presidium Kabinet. Presidium Kabinet
dipimpin oleh Jenderal Soeharto. Jadi, di sini terdapat dualisme
kepemimpinan dalam Kabinet Ampera. Akibatnya, perjalanan tugas
kabinet kurang lancar yang berarti pula kurang menguntungkan bagi
stabilitas politik.
Pada tanggal 22 Februari 1967 dengan penuh kebijaksanaan, Presiden
Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto sebagai
pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966. Penyerahan
kekuasaan tersebut merupakan peristiwa sangat penting dalam usaha
mengatasi situasi konflik yang sedang memuncak pada saat itu.
Penyerahan itu tertuang dalam Pengumuman Presiden Mandataris
MPRS, Panglima Tertinggi ABRI Tanggal 20 Februari 1967.
Pengumuman itu didasarkan atas Ketetapan MPRS No.
XV/MPRS/1966 yang menyatakan apabila presiden berhalangan,
pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966 berfungsi sebagai pemegang
jabatan presiden. Jenderal Soeharto selaku pengemban Ketetapan
MPRS No. IX/MPRS/ 1966 pada tanggal 4 Maret 1967 memberikan
keterangan pemerintah di
hadapan sidang DPRGR mengenai terjadinya penyerahan kekuasaan.
Pemerintah tetap berpendirian bahwa penyelesaian konstitusional
tentang penyerahan kekuasaan tetap perlu dilaksanakan melalui
sidang MPRS. Oleh karena itu, untuk menghindari pertentangan
politik yang berlarut-larut, diadakan Sidang Istimewa MPRS dari
tanggal 7 sampai dengan 12 Maret 1967 di Jakarta yang berhasil
mengakhiri konflik politik. Berdasarkan Tap MPR XXXIII Secara
umum, kebijakan pemerintah Orde Baru terdiri atas kebijakan dalam
negeri dan kebijakan luar negeri.
7. Kebijakan Dalam Negeri
Struktur perekonomian Indonesia pada tahun 1950–1965 dalam
keadaan kritis. Pemerintah Orde Baru meletakkan landasan yang kuat
dalam pelaksanaanpembangunan melalui tahapan Repelita, keadaan
kritis ditandai oleh hal-hal
sebagai berikut.
 Sebagian besar penduduk bermata pencaharian di sektor
pertanian sehingga struktur perekonomian Indonesia lebih condong
pada sektor pertanian.
 Komoditas ekspor Indonesia dari bahan mentah (hasil pertanian)
menghadapi persaingan di pasaran internasional, misalnya karet alam
dari Malaysia, gula tebu dari Meksiko, kopi dari Brasil, dan rempah-
rempah dari Zanzibar (Afrika), sehingga devisa negara sangat rendah
dan tidak mampu mengimpor bahan kebutuhan pokok masyarakat
yang saat itu belum dapat diproduksi di dalam negeri.
 Tingkat investasi rendah dan kurangnya tenaga ahli di bidang
industri, sehingga industri dalam negeri kurang berkembang.
 Tingkat pendapatan rata-rata penduduk Indonesia sangat rendah.
Tahun 1960-an hanya mencapai 70 dolar Amerika per tahun, lebih
rendah dari pendapatan rata-rata penduduk India, Bangladesh, dan
Nigeria saat itu.
 Produksi Nasional Bruto (PDB) per tahun sangat rendah. Di sisi
lain pertumbuhan penduduk sangat tinggi (rata-rata 2,5% per tahun
dalam tahun 1950-an).
 Indonesia sebagai pengimpor beras terbesar di dunia.
 Struktur perekonomian pada akhir tahun 1965, berada dalam
keadaan yang sangat merosot. Tingkat inflasi telah mencapai angka
65% dan sarana ekonomi di daerah-daerah berada dalam keadaan
rusak berat karena ulah kaum PKI/BTI yang saat itu berkuasa dan
dengan sengaja ingin mengacaukan situasi ekonomi rakyat yang
menentangnya.
Tugas pemerintah Orde Baru adalah menghentikan proses
kemerosotan ekonomi dan membina landasan yang kuat bagi
pertumbuhan ekonomi ke arah yang wajar. Dalam mengemban tugas
utama tersebut, berbagai kebijaksanaan telah diambil sebagaimana
tertuang dalam program jangka pendek berdasarkan Tap. MPRS No.
XXII/MPRS/1966 yang diarahkan kepada pengendalian inflasi dan
usaha rehabilitasi sarana ekonomi, peningkatan kegiatan ekonomi,
dan
pencukupan kebutuhan sandang. Program jangka pendek ini diambil
dengan pertimbangan apabila laju inflasi telah dapat terkendalikan
dan suatu tingkat stabilitas tercapai, barulah dapat diharapkan
pulihnya kegiatan ekonomi yang
wajar serta terbukanya kesempatan bagi peningkatan produksi.
Dengan usaha keras tercapai tingkat perekonomian yang stabil dalam
waktu relatif singkat. Sejak 1 April 1969 pemerintah telah meletakkan
landasan dimungkinkannya
gerak tolak pembangunan dengan ditetapkannya Repelita I. Dengan
makin pulihnya situasi ekonomi, pada tahun 1969 bangsa Indonesia
mulai melaksanakan pembangunan lima tahun yang pertama.
Berbagai prasarana penting direhabilitasi serta iklim usaha dan
investasi dikembangkan.
Pembangunan sektor pertanian diberi prioritas yang sangat tinggi
karena menjadi kunci bagi pemenuhan kebutuhan pangan rakyat dan
sumber kehidupan sebagian besar masyarakat. Repelita I dapat
dilaksanakan dan selesai dengan baik, bahkan berbagai kegiatan
pembangunan dipercepat sehingga dapat diikuti oleh Repelita
selanjutnya. Perhatian khusus pada sektor terbesar yang bermanfaat
meng hidupi rakyat, yaitu sektor pertanian. Sektor pertanian harus
dibangun
lebih dahulu, sektor ini harus ditingkatkan produktivitasnya.
Bertumpu pada sektor pertanian yang makin tangguh itu kemudian
barulah dibangun sektorsektor lain. Demikianlah pada tahap-tahap
awal pembangunan, secara sadar bangsa Indonesia memberikan
prioritas yang sangat tinggi pada bidang pertanian. Pembangunan
yang dilaksanakan, yaitu membangun berbagai prasarana pertanian,
seperti irigasi dan perhubungan, cara-cara bertani, dan teknologi
pertanian yang diajarkan dan disebarluaskan kepada para petani
melalui kegiatan penyuluhan. Penyediaan sarana penunjang utama,
seperti pupuk, diamankan dengan membangun pabrik-pabrik pupuk.
Kebutuhan pembiayaan para petani disediakan melalui kredit
perbankan. Pemasaran hasil produksi mereka, kita berikan kepastian
melalui kebijakan harga dasar dan kebijakan stok beras.
Strategi yang memprioritaskan pembangunan di bidang pertanian dan
berkat ketekunan serta kerja keras bangsa Indonesia, khususnya para
petani, produksi pangan dapat terus ditingkatkan. Akhirnya, pada
tahun 1984 bangsa Indonesia berhasil mencapai swasembada beras.
Hal ini merupakan titik balik yang sangat penting sebab dalam tahun
1970-an, Indonesia merupakan negara pengimpor beras terbesar di
dunia. Bersamaan dengan itu tercipta pula lapangan
kerja dan sumber mata pencaharian bagi para petani. Swasembada
beras itu sekaligus memperkuat ketahanan nasional di bidang
ekonomi, khususnya pangan.
Dengan ditetapkannya Repelita I untuk periode 1969/1970–
1973/1974, merupakan awal pembangunan periode 25 tahun pertama
(PJP I tahun 1969/1970–1993/1994). Pembangunan dalam periode
PJP I dimulai dengan pelaksanaan Repelita I dengan strategi dasar
diarahkan pada pencapaian stabilisasi nasional (ekonomi dan politik),
pertumbuhan ekonomi, serta menitikberatkan pada sektor pertanian
dan industri yang menunjang sektor pertanian. Ditempatkannya
stabilitas dan pertumbuhan ekonomi sebagai strategi dasar dalam
Repelita I tersebut dengan pertimbangan untuk melaksanakan
Repelita sesuai dengan tahapantahapan yang telah ditentukan
(diprioritaskan). Demikian pula pertimbangan untuk menitikberatkan
pembangunan pada sektor pertanian dan industri yang menunjang
sektor pertanian, didasarkan pertimbangan bahwa Indonesia adalah
negara bercorak agraris yang sebagian besar penduduknya (65%–
75%) bermata pencaharian di bidang pertanian (termasuk kehutanan,
perkebunan, perikanan, dan peternakan). Ini berarti sektor pertanian
memberi sumbangan terbesar kepada penerimaan devisa dan lapangan
kerja. Mengingat pula bahwa sektor ini masih memiliki kapasitas
lebih yang belum dimanfaatkan. Oleh karena itu, salah satu indikasi
yang disimpulkan dalam Repelita I ini adalah perlunya pengarahan
sumber-sumber (resources) ke sektor pertanian. Secara lebih khusus,
hal ini berarti meningkatkan produksi pangan dan ekspor. Adanya
hubungan antarberbagai kegiatan ekonomi (inter-sectoral ) maka
pertanian sebagai sektor pemimpin, diharapkan dapat menarik dan
mendorong sektor-sektor lainnya, antara lain sektor industri yang
menunjang sektor pertanian, seperti pabrik pupuk, insektisida serta
prasarana ekonomi lainnya, misalnya sarana angkutan dan jalan.
Kegiatan pembangunan selama Pelita I telah menunjukkan hasil-hasil
yang cukup menggembirakan, antara lain produksi beras telah
meningkat dari 11,32 juta ton menjadi 14 juta ton; pertumbuhan
ekonomi dari rata-rata 3% menjadi 6,7% per tahun; pendapatan rata-
rata penduduk (pendapatan per kapita) dari 80 dolar Amerika dapat
ditingkatkan menjadi 170 dolar Amerika. Tingkat inflasi dapat
ditekan menjadi 47,8% pada akhir Repelita I (1973/1974). Repelita II
untuk periode 1974/1975–1978/1979 dengan strategi dasar diarahkan
pada pencapaian pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, stabilitas
nasional, dan pemerataan pembangunan dengan penekanan pada
sektor pertanian dan peningkatan industri yang mengolah bahan
mentah menjadi bahan baku. Setelah Repelita II dilanjutkan dengan
Repelita III untuk periode 1979/1980–1983/1984, yakni dengan titik
berat pembangunan pada sektor pertanian menuju swasembada
pangan dan meningkatkan industri mengolah bahan baku menjadi
bahan jadi. Repelita III dilanjutkan dengan Repelita IV (1984/1985–
1988/1989) dengan titik berat pada sektor pertanian untuk
memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan produksi hasil
pertanian lainnya. Pembangunan sektor industri meliputi industri yang
menghasilkan barang ekspor, industri yang banyak menyerap tenaga
kerja, industri pengolahan hasil pertanian, dan industri yang dapat
menghasilkan mesin-mesin industri. PJP I telah diakhiri dengan
Repelita V (1989/1990–1993/1994). Tahun 1973, Majelis
Permusyawaratan Rakyat merumuskan dan menetapkan GBHN
pertama merupakan strategi pembangunan nasional.
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Berkehendak.
Atas kehendak-Nya, saya dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah SEJARAH
yang berjudul PERKEMBANGAN MASYARAKAT INDONESIA PADA MASA
ORDE BARU untuk kelasXII MA sebagai sarana dalam proses belajar. Makalah ini
saya sajikan dengan penyesuaian tingkat perkembangan kognitif peserta didik.
Bahasa yang digunakan pun sesuai dengan kematangan emosi dan sosial peserta
didik.

Penyusunan makalah ini sesuai dengan teori belajar, pendekatan pembelajar,


dan kecenderungan global yang berkaitan dengan pelajaran sejarah. Namun tentunya
makalah ini masih banyak kekurangannya. Untuk itu saran dan kritik sangat kami
harapkan dari pengguna atau pembaca makalah ini.

untuk itu kami mengucapkan terima kasih.

Akhir kata,penulis berharap makalah ini dapat digunakan dengan baik dan
memberikan manfaat bagi adik-adik kelas yang membacanya. Selamat belajar,
semoga sukses!

Anda mungkin juga menyukai