Anda di halaman 1dari 9

HUMANIORA

VOLUME 15 No. 2 Juni 2003Syaikh Hamzah Fansuri Halaman 191 - 199


Ikan Tunggal Bernama Fadhil Karya

IKAN TUNGGAL BERNAMA FÂDHIL


KARYA SYAIKH HAMZAH FANSURI:
ANALISIS SEMIOTIK
Sangidu*

Pengantar Rubâ`î Hamzah Fansuri yang berjudul


Ikan Tunggal Bernama Fâdhil menurut
amzah Fansuri meninggalkan sejumlah Syarah Rubâ`î berisi hubungan antara
tulisan berbentuk prosa dan puisi atau manusia dengan Allah Ta`ala. Manusia di
syair dalam bahasa Melayu. Sejumlah dalam kerangka tasawuf diibaratkan seperti
tulisannya yang berbentuk syair telah seekor ikan yang berenang di lautan yang
diterbitkan oleh Doorenbos pada tahun 1933 amat luas, tidak bertepi, dan tidak berujung.
(Baroroh-Baried, 1987:1-2). Semua syair Sementara itu, Allah Ta`ala diibaratkan
yang secara otentik telah terbukti sebagai seperti air laut yang sangat luas dan dalam.
tulisan Hamzah Fansuri telah diterbitkan oleh Keluasan dan kedalaman air laut tidak dapat
Drewes dan Brakel dalam bukunya yang dilukiskan dengan akal pikiran, seperti
berjudul The Poems of Hamzah Fansuri. halnya keluasan dan kedalaman ilmu dan
Syair itu telah diterbitkannya dalam bentuk Dzât-Nya. Namun, seorang hamba Allah
suntingan berjumlah 32 judul dan empat judul yang banyak mempunyai keutamaan-
di antaranya diberi Syarah. Keempat judul keutamaan, ia dapat sampai, bertemu, dan
yang diberi Syarah itu adalah Subchânal-Lâh pada akhirnya dapat merasa bersatu dengan
Terlalu Kâmil, Allah Maujud Terlalu Bâqî, Allah Ta`ala (Wachdatul-Wujûd). Seorang
Sidang Fakir Empunya Kata, dan Ikan hamba yang dapat merasa bersatu dengan
Tunggal Bernama Fâdhil. Tiga puluh dua Allah Ta`ala adalah seseorang yang telah
judul syair karangan Hamzah yang telah dapat menjalankan fanâ' fil-Lâh, yaitu
dikemukakan di atas disebut Rubâ`î Hamzah hancurnya batas-batas individual diri
seseorang dalam menyatu dengan Allah
Fansuri (Drewes dan Brakel, 1986:42-143),
Ta`ala. Apabila seorang hamba Allah telah
sedangkan Syarah Syamsuddin terhadap
melakukan perjalanan menuju sumber, yaitu
empat judul syair Hamzah Fansuri disebut
Allah Ta`ala, maka ia harus melenyapkan
Syarah Rubâ`î Hamzah Fansuri (Drewes dan
kejahilan dan menggantinya dengan
Brakel, 1986:194-225).
kebaikan. Dalam keadaan seperti ini, seorang
Sementara itu, syair Ikan disebut dengan hamba mengatakan dan mengiktikadkan innî
dua nama, yaitu Syair Ikan Tongkol atau anal-Lâh yang artinya sesungguhnya aku
Syair Ikan Tunggal. Penamaan Ikan Tongkol adalah Allah.
berdasarkan bacaan Roolvink, sedangkan Dengan demikian, di dalam mencari
penamaan Ikan Tunggal berdasarkan bacaan Tuhan, manusia selalu diibaratkan dengan
Doorenbos (Roolvink, 1964:245-246). burung dan Tuhan diibaratkan dengan ruang
Baroroh-Baried (1987) sependapat dengan angkasa. Burung tidak mungkin dapat mene-
bacaan Roolvink, yaitu Syair Ikan Tongkol mukan Tuhan karena ruang angkasa sangat
tanpa memberikan alasannya. luas, tidak berujung, dan tidak bertepi. Selain

* Doktor, Magister Humaniora, Staf Pengajar Jurusan Sastra Asia Barat, Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Humaniora Volume XV, No. 2/2003 191


Sangidu

itu, manusia dalam mencari Tuhan juga yang mempelajari sistem-sistem, aturan-
sering diibaratkan dengan ikan dan Tuhan aturan, dan konvensi-konvensi yang
diibaratkan dengan air laut. Ikan berenang memungkinkan tanda-tanda tersebut
ke sana ke mari mencari Tuhan. Ia tidak akan mempunyai arti, maka dalam pengertian ini
dapat menemukan Tuhan karena air laut ada dua prinsip yang perlu diperhatikan.
sangat luas, tidak berujung, dan tidak bertepi. Kedua prinsip itu adalah "penanda" (Inggris
Simbol burung atau ikan bagi manusia dan Signifier; Prancis Signifiant), yakni yang
ruang angkasa atau air laut bagi Tuhan menandai dan "petanda" (Inggris Signified;
dimaksudkan untuk menggambarkan Prancis Signifié), yakni yang ditandai
pengembaraan jiwa atau ruh seseorang yang (Chamamah-Soeratno, 1991:18; Pradopo,
sangat luas dalam mencari kesempurnaan 1990:121).
dirinya. Perlu diketahui bahwa kesempurnaan Atas dasar pengertian di atas, maka
diri seseorang terpusat pada hatinya. Rubâ`î Hamzah Fansuri yang berjudul "Ikan
Semakin jernih atau bening hati seseorang, Tunggal Bernama Fâdhil" dengan sendirinya
maka semakin jelas dan terang ia dapat dapat dipandang sebagai gejala semiotik atau
mengetahui dan melihat Tuhan. Karena sebagai tanda. Sebagi tanda, makna karya
itulah, Rubâ`î Hamzah Fansuri yang berjudul sastra dapat mengacu kepada sesuatu di
Ikan Tunggal Bernama Fâdhil perlu diungkap luar karya sastra itu sendiri ataupun di dalam
makna teksnya lebih lanjut. dirinya (Riffaterre, 1978:1).
Sebagai dunia dalam kata, karya sastra
Masalah memerlukan bahan yang disebut bahasa
(Wellek dan Austin Warren, 1990:15).
Berdasarkan uraian di dalam pengantar Bahasa sastra merupakan "penanda" yang
di atas, maka masalah yang akan dijawab menandai "sesuatu". Sesuatu itu disebut
di dalam penelitian ini adalah makna teks "petanda", yakni yang ditandai oleh penanda.
Rubâ`î Hamzah Fansuri yang berjudul Ikan Makna karya sastra sebagai tanda adalah
Tunggal Bernama Fâdhil. makna semiotiknya, yaitu makna yang
bertautan dengan dunia nyata (Chamamah-
Landasan Teori dan Metode Soeratno, 1991:18). Sebagai dasar pema-
haman terhadap karya sastra yang merupa-
Manusia sebagai homo significans, kan gejala semiotik adalah pendapat bahwa
dengan karyanya akan memberi makna karya sastra merupakan fenomena dialektik
kepada dunia nyata atas dasar penge- antara teks dan pembaca. Oleh karena itulah,
tahuannya. Pemberian makna dilakukan pembaca tidak dapat terlepas dari kete-
dengan cara mereka dan hasil karyanya gangan dalam usaha menangkap makna
berupa tanda (Chamamah-Soeratno, sebuah karya sastra (Riffaterre, 1978:1-2;
1991:18). Abdullah, 1991:8). Dengan demikian, makna
Sebagai tanda, karya sastra merupakan karya sastra tidak hanya ditentukan oleh
dunia dalam kata yang dapat dipandang pembaca terhadap karya sastra yang
sebagai sarana komunikasi antara pembaca dihadapinya, tetapi juga ditentukan dan
dan pengarangnya. Karya sastra bukan diarahkan oleh karya sastra itu sendiri
merupakan sarana komunikasi biasa. Oleh (Chamamah-Soeratno, 1991:18). Oleh
karena itulah, karya sastra dapat dipandang karena itu, sebagai dasar pemahaman
sebagai gejala semiotik (Teeuw, 1984:43). terhadap Rubâ`î Hamzah Fansuri yang
Semiotik merupakan suatu disiplin yang berjudul "Ikan Tunggal Bernama Fâdhil" yang
meneliti semua bentuk komunikasi selama merupakan gejala semiotik adalah pendapat
komunikasi itu dilaksanakan dengan meng- bahwa karya tersebut merupakan fenomena
gunakan tanda yang didasarkan pada sistem- sastra dan sebagai satu dialektika antara
sistem tanda atau kode-kode (Segers, teks dengan pembacanya ataupun antara
1978:14). Oleh karena semiotik dipandang teks dengan konteks penciptaannya
sebagai ilmu tentang tanda atau sebagai ilmu (Riffaterre, 1978:1).

192 Humaniora Volume XV, No. 2/2003


Ikan Tunggal Bernama Fadhil Karya Syaikh Hamzah Fansuri

Untuk mengungkapkan makna karya di di dalam penelitian ini adalah makna teks
atas sebagai gejala semiotik, diperlukan Rubâ`î Hamzah Fansuri yang berjudul "Ikan
metode, yaitu metode pembacaan heuristik Tunggal Bernama Fâdhil". Sementara itu,
dan pembacaan hermeneutik atau retroaktif. teknik pembacaan yang dilakukan di dalam
Metode pembacaan heuristik merupakan penelitian ini adalah teknik pembacaan
cara kerja yang dilakukan oleh pembaca secara simultan atau serentak. Artinya, baik
dengan menginterpretasikan teks sastra pembacaan heuristik maupun pembacaan
secara referensial lewat tanda-tanda linguistik hermeneutik dilakukan secara bersama-
(Riffaterre, 1978:5). Pembacaan heuristik sama sebagaimana terlihat pada uraian di
juga dapat dilakukan secara struktural
bawah ini.
(Pradopo, 1991:7). Artinya, pada tahap ini
Rubâ`î Hamzah Fansuri yang berjudul
pembaca dapat menemukan arti (meaning)
"Ikan Tunggal Bernama Fâdhil" ini terdiri
secara linguistik (Abdullah, 1991:8). Adapun
atas tiga belas bait dan setiap baitnya terdiri
metode pembacaan hermeneutik atau
retroaktif merupakan kelanjutan metode atas empat baris. Ketiga belas bait yang
pembacaan heuristik untuk mencari makna dimaksud adalah sebagai berikut.
(meaning of meaning atau significance). Ikan Tunggal bernama fâdhil
Metode ini merupakan cara kerja yang Dengan air dâ'im ia wâshil
dilakukan oleh pembaca dengan bekerja `Isyqinya terlalu kâmil
secara terus-menerus lewat pembacaan teks Di dalam laut tiada bersâhil
sastra secara bolak-balik dari awal sampai
akhir. Dengan pembacaan bolak-balik itu, Ikan itu terlalu `âli
pembaca dapat mengingat peristiwa-
Bangsanya nûrur-rachmâni
peristiwa atau kejadian-kejadian di dalam
Angganya rupa insâni
teks sastra yang baru dibaca. Selanjutnya,
Dâ'im bermain di laut bâqî
pembaca menghubungkan kejadian-kejadian
tersebut antara yang satu dengan lainnya
sampai ia dapat menemukan makna karya Bismil-Lâhi akan namanya
sastra pada sistem sastra yang tertinggi, Rûchul-Lâhi akan nyawanya
yaitu makna keseluruhan teks sastra sebagai Wajhul-Lâhi akan mukanya
sistem tanda (Riffaterre, 1978:2; Culler, Zhâhir dan batin dâ'im sertanya
1981:81).
Adapun teknik pembacaannya dapat Nûrul-Lâhi nama bapainya
dilakukan secara simultan atau serentak. Khalqul-Lâhi akan sakainya
Artinya, pembacaan heuristik ataupun Raja Sulaiman akan pawainya
pembacaan hermeneutik dapat berjalan Dâ'im bersembunyi dalam balainya
secara serentak atau bersama-sama. Akan
tetapi, secara teoretis sesuai dengan metode Empat bangsa akan ibunya
ilmiah untuk mempermudah pemahaman Shummun bukmun akan tipunya
dalam proses pemaknaan dapat dianalisis Kerjaan Allah yang ditirunya
secara bertahap dan sistematis, yaitu Mengenal Allah dengan ilmunya
pertama kali dilakukan pembacaan heuristik
secara keseluruhan terhadap teksnya, dan Fanâ' fil-Lâhi akan sunyinya
kemudian baru dilakukan pembacaan Innî anal-Lâh akan bunyinya
hermeneutik. Dalam penelitian ini, teknik Memakai dunia akan ruginya
pembacanya dilakukan secara simultan atau
Râdhi kan mati dâ'im pujinya
serentak.
Tarkud-dunyâ akan labanya
Pembahasan
Menuntut dunia akan maranya
Sebagaimana telah dikemukakan di `Abdul-Wâchid asal namanya
atas, masalah yang akan dijawab dan dibahas Dâ'im anal-Chaqq akan katanya

Humaniora Volume XV, No. 2/2003 193


Sangidu

Kerjanya mabuk dan `âsyiq betul-betul mabuk cinta pada Allah Ta`ala.
Ilmunya sempurna fâ'iq Kata Hamzah, "Di dalam laut tiada bersâhil".
Mencari air terlalu shâdiq Makna laut sama dengan air dan biasanya
Di dalam laut bernama Khalik di dalam tasawuf menjadi air laut yang
dipandang sebagai simbol Allah Ta`ala.
Ikan itulah terlalu zhâhir Sementara itu, ikan sebagai simbol manusia
Diamnya dâ'im di dalam air atau sâlik. Laut merupakan hamparan air
Sungguh pun ia terlalu hanyir yang sangat luas, tidak berujung dan bertepi
Wâshilnya dâ'im di laut halir sehingga ikan yang berenang di dalamnya
tidak akan dapat sampai tujuannya. Dengan
Ikan achmaq bersuku-suku perkataan lain, tidak mudah (tiada bersâhil)
Mencari air ke dalam batu bagi ikan (hamba Allah) untuk sampai dan
Olehmu taqshîr mencari guru bertemu dengan Allah Ta`ala (As-Samatrâ'î
Tiada ia tahu akan jalan mutu dalam Syarah Rubâ`î dalam Drewes dan
Brakel, 1986:194-196).
Jalan mutu terlalu `âli
Itulah ilmu ikan sultani Bait Kedua
Jangan kau ghâfil jauh mencari
Wâshilnya dâ'im di laut shâfî Kata Hamzah, "Ikan itu terlalu `âli". Arti
`âli adalah yang tinggi derajatnya. Dengan
Jalan mutu yogya kau pakai demikian, maksud baris pertama pada bait
Akan air jangan kau lalai kedua ini adalah bahwa Nur Muhammad itu
Tinggalkan ibu dan bapai martabatnya terlalu tinggi apabila dibanding-
Supaya dapat syurbat kau rasai kan dengan ikan-ikan (hamba-hamba Allah)
yang lain. Kata Hamzah, "Bangsanya nûrur-
Hamzah Syahranawi sungguh pun hina rachmâni". Rachmân adalah salah satu
Tiada ia râdhi akan Thur Sina nama Allah dan termasuk di dalam asmâ'ul-
Diamnya dâ'im di laut Cina chusnâ (nama-nama yang baik) yang
Bermain-main dengan gajahmina berjumlah 99 (sembilan puluh sembilan)
nama. Dengan demikian, maksud baris
Bait Pertama kedua pada bait kedua ini adalah bahwa
martabat Nur Muhammad itu dipandang
Kata Hamzah, "Ikan Tunggal bernama terlalu tinggi karena ia dekat dengan Allah
fâdhil". Makna Ikan Tunggal di dalam baris Ta`ala (sebangsa Allah). Selain itu, nabi
pertama pada bait pertama ini adalah Nur Muhammad berasal dari cahaya Allah. Kata
Muhammad yang dipandang mempunyai Hamzah, "Angganya rupa insâni". Arti angga
banyak keutamaan-keutamaan sehingga adalah tubuh, ego, diri dan arti insân itu
dinamakan fâdlil. Kata Hamzah, "Dengan air manusia. Dengan demikian, maksud baris
dâ'im ia wâshil". Makna air di dalam baris ketiga pada bait kedua ini adalah bahwa
kedua pada bait pertama ini adalah Allah. tubuh Ikan Tunggal itu berupa manusia. Kata
Arti dâ'im adalah senantiasa, selalu, terus Hamzah, "Dâ'im bermain di laut bâqî". Arti
menerus, dan arti wâshil adalah yang bâqî adalah yang kekal. Dengan demikian,
sampai. Dengan demikian, maksudnya maksud baris keempat pada bait kedua ini
adalah bahwa Nur Muhammad senantiasa adalah bahwa tubuh Ikan Tunggal yang
dapat sampai dan bertemu dengan Allah berwujud manusia itu senantiasa dalam
Ta`ala. Kata Hamzah, "`Isyqinya terlalu keagungan Allah Ta`ala yang kekal. Artinya,
kâmil". Arti `isyqun adalah birahi, mabuk Nur Muhammad senantiasa kekal dalam
cinta, dan arti kâmil adalah yang sempurna. keagungan Allah Ta`ala Yang Maha Besar
Dengan demikian, maksud baris ketiga pada (As-Samatrâ'î dalam Syarah Rubâ`î dalam
bait pertama ini adalah bahwa Muhammad Drewes dan Brakel, 1986:196).

194 Humaniora Volume XV, No. 2/2003


Ikan Tunggal Bernama Fadhil Karya Syaikh Hamzah Fansuri

Bait Ketiga sesuatu karenamu, ya Muhammad, dan Aku


menciptakanmu karena-Ku. Artinya, Aku
Kata Hamzah, "Bismil-Lâhi akan nama- telah menciptakanmu. Kata Hamzah, "Raja
nya". Arti bismil-Lâh adalah dengan nama Sulaiman akan pawainya". Maksud baris
Allah. Dengan demikian, maksud baris ketiga pada bait keempat ini adalah bahwa
pertama pada bait ketiga ini adalah bahwa Nabi Sulaiman mempunyai kerajaan dan ia
Nur Muhammad dan hamba-hamba Allah menyatakan kebesarannya. Kata Hamzah,
lainnya memperoleh nama dari Allah. Kata "Dâ'im bersembunyi dalam balainya".
Hamzah, "Rûchul-Lâhi akan nyawanya". Arti Maksud baris keempat pada bait keempat
rûchul-Lâh adalah kekasih Allah. Dengan ini adalah bahwa walaupun raja Sulaiman
demikian, maksud baris kedua pada bait mempunyai kekuasaan dan kebesaran
ketiga ini adalah kekasih Allah, baik itu Nabi kerajaanya, ia hanya selalu bersembunyi dan
Muhammad, para wali Allah, maupun hamba- menetap di balainya atau kerajaannya saja
hamba Allah lainnya memperoleh nyawa dari (As-Samatrâ'î dalam Syarah Rubâ`î dalam
Allah. Jika tidak dengan irâdah dan qudrah Drewes dan Brakel, 1986:198).
atau kehendak dan kekuasaan Allah, mereka
tidak bernyawa. Kata Hamzah, "Wajhul-Lâhi Bait Kelima
akan mukanya". Arti wajhul-Lâh itu keadaan
Allah, arti zhâhir adalah yang nyata, dan arti Kata Hamzah, "Empat bangsa akan
batin itu adalah yang tersembunyi. Dengan ibunya". Maksud empat bangsa adalah bumi,
demikian, maksud baris ketiga pada bait air, angin, dan api. Karena itu, maksud baris
ketiga ini adalah bahwa Nur Muhammad pertama pada bait kelima ini adalah bahwa
dalam kondisi apa pun, baik zhâhir maupun Nur Muhammad itu berasal dari bumi, air,
batin tidak bercerai dengan Allah Ta`ala. Kata angin, dan api. Kata Hamzah, "Shummun
Hamzah, "Zhâhir dan batin Dâ'im sertanya". bukmun akan tipunya". Arti shummun
adalah tuli dan arti bukmun adalah bisu.
Maksud baris keempat pada bait ketiga ini
Maksud baris kedua pada bait kelima ini
adalah bahwa Nur Muhammad secara
adalah bahwa walaupun pancainderanya
lahiriah adalah zhâhirnya Allah Ta`ala dan
dipandang sehat, ia dipandang tuli dan bisu
secara batiniah juga batinnya Allah Ta`ala
karena tidak dapat menerima kebenaran dari
(As-Samatrâ'î dalam Syarah Rubâ`î dalam
Allah Ta`ala. Artinya, kerajaan yang megah
Drewes dan Brakel, 1986: 196-198).
dan besar justru dipandang dapat menipu
karena kebesaran dan kemewahan kerajaan-
Bait Keempat
nya dapat membuat orang tuli dan bisu
Kata Hamzah, "Nûrul-Lâhi nama bapai- menerima kebenaran dari Allah Ta`ala. Kata
nya". Arti nûrul-Lâh adalah cahaya Allah dan Hamzah, "Kerjaan Allah yang ditirunya".
arti bapai adalah bapak, ayah. Dengan Maksud baris ketiga pada bait kelima ini
demikian, maksud baris pertama pada bait adalah bahwa segala pekerjaan yang
keempat ini adalah bahwa Nur Muhammad dikerjaan oleh seorang hamba seyogyanya
sesuai dengan segala pekerjaan yang
itu berasal dari Nur Allah atau cahaya Allah.
diperintahkan Allah. Kata Hamzah, "Menge-
Kata Hamzah, "Khalqul-Lâhi akan sakainya".
nal Allah dengan ilmunya". Maksud baris
Arti khalqul-Lâh adalah ciptaan Allah atau
keempat pada bait kelima ini adalah
apa saja yang diciptakan Allah dan arti sakai
hendaklah seorang hamba Allah atau
adalah hamba. Dengan demikian, maksud
seorang sâlik mengenal Allah dengan
baris kedua pada bait keempat ini adalah
sempurna atau dengan ilmu makrifatnya (As-
bahwa Nur Muhammad berasal dari Nur Al-
Samatrâ'î dalam Syarah Rubâ`î dalam
lah dan segala makhluk atau apa saja yang
Drewes dan Brakel, 1986:198-200).
diciptakan oleh Allah berasal dari Nur
Muhammad. Dengan perkataan lain, maksud- Bait Keenam
nya adalah seperti Hadis yang berbunyi:
khalaqtul-asy-yâ'a li ajlika wa khalaqtuka li Kata Hamzah, "Fanâ' fil-Lâhi akan
ajlî. Artinya, Aku (Allah) menciptakan segala sunyinya". Arti fanâ' adalah lenyap, rusak,

Humaniora Volume XV, No. 2/2003 195


Sangidu

hancur, dan arti fil-Lâh adalah dalam Allah. demikian, maksud baris ketiga pada bait
Maksud baris pertama pada bait keenam ini ketujuh ini adalah bahwa barang siapa di
adalah bahwa keadaan hilangnya atau antara hamba Allah yang telah bermakrifat
hancurnya batas-batas individual diri seorang pada Allah, maka ia akan sampai dan
hamba Allah atau sâlik dalam keadaan bertemu dengan-Nya sehingga ia dapat esa
menyatu dengan Allah. Dengan perkataan dengan Allah Ta`ala. Kata Hamzah, "Dâ'im
lain, ketika seorang sâlik melakukan anal-Chaqq akan katanya". Maksud baris
perjalanan menuju dan mencapai sumber keempat pada bait ketujuh ini adalah bahwa
(Allah Ta`ala Yang Maha Mutlak), ia harus hamba Allah yang telah menyatu dengan-
melenyapkan atau menghancurkan kejahilan Nya, ia senantiasa mengatakan anal-Chaqq
dan diganti dengan kebaikan. Kata Hamzah, atau akulah yang sebenarnya (As-samatrâ'î
"Innî anal-Lâh akan bunyinya". Arti innî anal- dalam Syarah Rubâ`î dalam Drewes dan
Lâh adalah sesungguhnya aku adalah Allah. Brakel, 1986:200-202).
Maksud baris kedua pada bait keenam ini
adalah bahwa apabila seorang sâlik sudah Bait Kedelapan
melenyapkan dan menghancurkan segala
sesuatu selain Allah dan ia telah menyatu Kata Hamzah, "Kerjanya mabuk dan
dengan-Nya, maka ia akan mengatakan `âsyiq". Maksud baris pertama pada bait
bahwa aku adalah Allah. Kata Hamzah, kedelapan ini adalah bahwa perbuatan yang
"Memakai dunia akan ruginya". Maksud baris dilakukan oleh seorang hamba Allah atau
ketiga pada bait keenam ini adalah sâlik dalam mengesakan Allah itu senan-
seseorang yang hanya mementingkan dunia tiasa birahi dan mabuk. Pengertian birahi dan
atau orang yang bekerja hanya untuk mabuk kepada Allah adalah tidak ada
mengejar kekayaan dan kemewahan dunia, perbedaan antara hamba dengan Tuhannya.
maka ia akan mengalami kerugian yang Kata Hamzah, "Ilmunya sempurna fâ'iq". Arti
besar. Kata Hamzah, "Râdhi kan mati Dâ'im fâ'iq adalah yang lebih dari yang lain. Dengan
pujinya". Arti râdhin adalah rela, berkenan. demikian, maksud baris kedua pada bait
Dengan demikian, maksud baris keempat kedelapan ini adalah bahwa hamba Allah
pada bait keenam ini adalah bahwa seorang yang telah dapat mengesakan Allah dengan
sâlik yang tidak mementingkan dunia, ia dirinya berarti ia telah memperoleh ilmu
dipanggil Allah pun senantiasa rela dan selalu makrifat yang sempurna atau yang lebih dari
memuji-Nya (As-Samatrâ'î dalam Syarah lainnya. Kata Hamzah, "Mencari air terlalu
Rubâ`î dalam Drewes dan Brakel, 1986:200). shiddîq". Arti shiddîq adalah yang sangat
benar. Maksud baris ketiga pada bait
Bait Ketujuh kedelapan ini adalah bahwa hamba Allah
Kata Hamzah, "Tarkud-dunyâ akan dalam mencari Tuhannya dilakukan dengan
labanya". Tarkud-dunyâ berarti meninggalkan cara atau tahapan-tahapan yang benar
dunia. Dengan demikian, maksud baris sesuai dengan aturan dan perintah Allah.
pertama pada bait ketujuh ini adalah bahwa Kata Hamzah, "Di dalam laut bernama
seorang hamba Allah atau sâlik yang dapat Khalik". Maksud baris keempat pada bait
meninggalkan hal-hal yang sifatnya duniawi, kedelapan ini adalah hamba Allah dalam
maka ia akan mendapatkan keuntungan. mencari Tuhannya dan ingin bertemu
Sebaliknya, seorang hamba Allah atau sâlik dengan-Nya diibaratkan mengembara di
yang hanya mengejar kepentingan duniawi, dalam laut yang sangat luas, tidak berujung
maka ia akan menghadapi bahaya yang dan tidak bertepi. Keluasan laut itu karena
sangat besar atau kerugian besar, seperti Allah Mahaluas pengetahuan-Nya, Maha-
Kata Hamzah, "Menuntut dunia akan kuasa, dan sebagai Khalik alam semesta
maranya". Kata Hamzah, "Abdul-Wâchid seisinya termasuk manusia (As-Samatrâ'î
asal namanya". Arti `abdul-wâchid adalah dalam Syarah Rubâ`î dalam Drewes dan
hamba Allah yang esa dengan-Nya. Dengan Brakel, 1986:202).

196 Humaniora Volume XV, No. 2/2003


Ikan Tunggal Bernama Fadhil Karya Syaikh Hamzah Fansuri

Bait Kesembilan mencari guru untuk menyempurnakan dan


membimbing ilmu makrifatnya. Kata
Kata Hamzah, "Ikan itulah terlalu Hamzah, "Tiada ia tahu akan jalan mutu".
zhâhir". Arti zhâhir adalah yang nyata. Arti mutu adalah permata. Dengan demikian,
Dengan demikian, maksud baris pertama maksud baris keempat pada bait kesepuluh
pada bait kesembilan ini adalah bahwa Nur ini adalah bahwa hamba Allah yang tidak
Muhammad yang diibaratkan ikan terlalu sempurna ilmu makrifatnya, ia tidak akan
nyata dilihat oleh orang yang ilmu makrifatnya dapat mengetahui jalan menuju keagungan
telah sempurna. Kata Hamzah, "Diamnya dan keindahan Allah Ta`ala yang diibaratkan
Dâ'im di dalam air". Arti Dâ'im adalah seperti permata (As-Samatrâ'î dalam Syarah
senantiasa, selalu, terus menerus. Dengan Rubâ`î dalam Drewes dan Brakel, 1986:204).
demikian, maksud baris kedua pada bait
kesembilan ini adalah bahwa Nur Bait Kesebelas
Muhammad selalu berada dalam lautan
`azhamât (kebesaran) Allah Ta`ala. Kata Kata Hamzah, "Jalan mutu terlalu `âli",
Hamzah, "Sungguh pun ia terlalu hânyir". Maksud baris pertama pada bait kesebelas
Maksud baris ketiga pada bait kesembilan ini adalah bahwa jalan menuju keagungan
ini adalah sungguh pun Nur Muhammad itu dan kebesaran Allah Ta`ala itu terlalu tinggi.
dipersifat oleh sifat hânyir, maka ia selalu Kata Hamzah, "Itulah ilmu ikan sultani".
sampai dengan sifat Tuhannya. Kata Maksud baris kedua pada bait kesebelas ini
Hamzah, "Wâshilnya Dâ'im di laut sâkir". Arti adalah bahwa keagungan dan kebesaran
Sâkir adalah yang minum, yang mabuk. Allah Ta`ala hanya dapat dicapai oleh
Dengan demikian, maksud baris keempat hamba-hamba Allah yang telah memperoleh
pada bait kesembilan ini adalah bahwa Nur ilmu makrifat. Kata Hamzah, "Jangan kau
Muhammad senantiasa sampai pada Allah ghâfil jauh mencari". Arti ghâfil adalah lupa,
Ta`ala karena ia telah mabuk kepada-Nya lalai. Dengan demikian, maksud baris ketiga
(As-Samatrâ'î dalam Syarah Rubâ`î dalam pada bait kesebelas ini adalah bahwa agar
Drewes dan Brakel, 1986:202-204). hamba Allah Ta`ala dapat sampai pada
keagungan dan kebesaran Allah seyogyanya
Bait Kesepuluh ia jangan lupa dan lalai untuk mencari ilmu
makrifat walaupun jalannya sangat jauh. Kata
Kata Hamzah, "Ikan achmaq bersuku- Hamzah, "Wâshilnya Dâ'im di laut shâfî".
suku". Arti achmaq adalah tidak berbudi, Maksud baris keempat pada bait kesebelas
yang pandir, yang dungu, yang bodoh. ini adalah ilmu makrifat itu berada di hati yang
Dengan demikian, maksud baris pertama jernih (bening). Artinya, ilmu makrifat berada
pada bait kesepuluh ini adalah bahwa hamba pada Allah Ta`ala dan untuk mengetahui-
Allah yang tidak memperoleh ilmu makrifat, Nya, ia harus mengetahui dan mengenal
maka ia seperti ikan yang terpencar-pencar. dirinya sendiri (As-Samatrâ'î dalam Syarah
Kata Hamzah, "Mencari air ke dalam batu". Rubâ`î dalam Drewes dan Brakel, 1986:138,
Maksud baris kedua pada bait kesepuluh ini 206).
adalah bahwa ikan yang terpencar-pencar
mencari kekasihnya atau Allah Ta`ala (air) Bait Keduabelas
di dalam batu sehingga ia tidak akan dapat
menemukan-Nya. Dengan perkataan lain, Kata Hamzah, "Jalan mûtû yogya kau
usahanya dalam mencari Allah Ta`ala akan pakai". Maksud baris pertama pada bait
sia-sia kareana Allah Ta`ala (air) hanya dapat keduabelas ini adalah bahwa jalan menuju
ditemukan di dalam laut. Kata Hamzah, keagungan dan kebesaran Allah Ta`ala
"Olehmu taqshîr mencari guru". Arti taqshîr hendaknya dicari dan dijalani oleh hamba
adalah memendekkan, kurang, taksir, lalai. Allah yang ingin bertemu dengan-Nya. Kata
Dengan demikian, maksud baris ketiga pada Hamzah, "Akan air jangan kau lalai". Maksud
bait kesepuluh ini adalah bahwa hamba Al- baris kedua pada bait keduabelas ini adalah
lah yang kurang ilmu makrifatnya seyogyanya bahwa jalan menuju keagungan dan

Humaniora Volume XV, No. 2/2003 197


Sangidu

kebesaran Allah itu sangat luas dan "Diamnya Dâ'im di laut Cina". Maksud baris
diibaratkan seperti air laut yang tidak bertepi ketiga ada bait ketigabelas ini adalah bahwa
dan tidak berujung. Karena itu, hamba Allah seorang sâlik senantiasa harus berada di
yang ingin menuju pada keagungan dan dalam lautan makrifat Allah yang tiada
kebesaran-Nya hendaknya jangan melupa- bertepi dan berujung karena memang
kan dan melalaikan jalan yang dipandang pengetahuan Allah sangat luas seperti
sangat luas itu. Kata Hamzah, "Tinggalkan hamparan lautan. Kata Hamzah, "Bermain-
ibu dan bapai". Maksud baris ketiga pada main dengan gajahmina". Maksud baris
bait keduabelas ini adalah bahwa seorang keempat pada bait ketigabelas ini adalah
sâlik seyogyanya meninggalkan hal-hal yang bahwa apabila seorang sâlik telah
sifatnya lahiriah termasuk ibu dan ayahnya memperoleh makrifat Allah, maka ia seolah-
yang tentu sangat dicintainya. Kata Hamzah, olah dapat bermain-main atau dapat
"Supaya dapat syurbat kau rasai". Arti melakukan amalan-amalan apa saja yang
syurbat adalah minuman, air dan yang dipandang baik atas keagungan dan
dimaksudkan adalah Allah Ta`ala. Dengan kebesaran Allah Ta`ala (As-Samatrâ'î dalam
demikian, maksud baris keempat pada bait Syarah Rubâ`î dalam Drewes dan Brakel,
keduabelas ini adalah bahwa apabila seorang 1986:139, 206).
sâlik telah meninggalkan hal-hal yang
sifatnya lahiriah, maka ia akan dapat bertemu Kesimpulan
dengan Allah Ta`ala (As-Samatrâ'î dalam
Syarah Rubâ`î dalam Drewes dan Brakel, Rubâ`î Hamzah Fansuri yang berjudul
1986:138, 206). "Ikan Tunggal Bernama Fâdhil" yang telah
diberi Syarah oleh Syamsuddin dalam
karyanya yang berjudul Syarah Rubâ`î
Bait Ketigabelas Hamzah Fansuri, mengandung makna bahwa
pada intinya Syamsuddin sependapat
Kata Hamzah, "Hamzah Syahranawi dengan Hamzah hubungan antara manusia
sungguh pun hina". Hamzah Fansuri dengan Tuhan. Ia berpendapat bahwa pada
sepulang dari Kudus (Jawa Tengah), ia hakikatnya, Dzât dan Wujud Allah itu sama
menetap di Syahr-i Naw (bahasa Persi berarti dengan dzât dan wujud alam semesta
'kota baru' Syahrnawi), yaitu sebuah seisinya. Tajallî (manifestasi) alam semesta
kampung kecil dan terpencil yang terletak di seisinya dari Dzât dan Wujud Tuhan pada
tengah-tengah hutan atau kira-kira sehari tataran awal adalah Nur Muhammad yang
perjalanan kaki dari ibu kota Aceh. Di pada hakikatnya adalah Nur Tuhan. Nur
kampung kecil dan terpencil inilah, ia merasa Muhammad merupakan sumber dari segala
telah bersatu dengan Khalik (Braginsky, khalqul-Lâh (ciptaan Allah) yang pada
1998:451). Dengan demikian, maksud baris hakikatnya khalqul-Lâh itu juga merupakan
pertama pada bait ketigabelas ini adalah Dzât dan Wujud Tuhan. Manusia sebagai
bahwa Syaikh Hamzah Fansuri yang mikrokosmos (al-`alamush-shaghîr) harus
bertempat tingal di kampung terpencil dan berusaha dengan keras untuk mencapai
sebagai seorang sâlik merasa dirinya sangat kebersamaan dan penyatuan dengan Tuhan
kecil dan tak ada artinya di hadapan Allah (Wachdatul-Wujûd) dengan jalan fanâ' fil-Lâh
Ta`ala. Kata Hamzah, "Tiada ia râdhi akan dan tarkud-dunyâ atau hancurnya batas-
Thur Sina". Maksud baris kedua pada bait batas individual dan menghilangkan keter-
ketigabelas ini adalah bahwa Thur Sina ikatannya dengan dunia serta meningkatkan
adalah sebuah bukit yang sangat dicintai oleh keinginannya untuk mengenal dan bertemu
seorang sâlik. Walaupun bukit Thur Sina Allah Ta`ala sedekat mungkin. Usaha
sangat dicintai oleh seorang sâlik, ia tersebut harus dipimpin dan dibimbing oleh
seyogyanya harus menanggalkannya dan seorang Mursyid (Guru) yang berilmu
meninggalkan hal-hal yang sifatnya lahiriah sempurna. Manusia yang berhasil mencapai
termasuk bukit Thur Sina. Kata Hamzah, kebersamaan dan dapat menyatu dengan

198 Humaniora Volume XV, No. 2/2003


Ikan Tunggal Bernama Fadhil Karya Syaikh Hamzah Fansuri

Tuhan (Wachdatul-Wujûd) adalah manusia widjono, dan Djoko Suryo Dari babad
yang telah memperoleh ilmu ladunnî ataupun dan Hikayat sampai Sejarah Kritis.
ma`rifatul-Lâh secara sempurna dan telah Yogyakarta: Gadjah Mada University
berhasil mencapai taraf ketiadaan diri. Press.
Perlu diketahui bahwa sebagai
Braginsky, V.I. 1988. Yang Indah Berfaedah
seorang Mursyid, ia harus membimbing
dan Kamal:Sejarah Sastra Melayu
spiritual murid-murid nya atau para
dalam Abad 7-19. Jakarta: Indonesian-
pengikutnya yang masih belum sempurna
Netherlands Cooperation in Islamic
ilmu makrifatnya. Karena itu, murid-murid
Studies (INIS).
atau para pengikutnya pun sama-sama
mempunyai potensi dan berhak menjadi Chamamah-Soeratno, Siti. 1991. Hikayat
Sâlik (penempuh jalan spritual) agar dapat Iskandar Zulkarnain Analisis Resepsi.
bertemu dengan Tuhannya. Namun, perlu Jakarta:Balai Pustaka.
dikemukakan bahwa seorang murid yang
Culler, Jonathan. 1981.The Pursuit of Signs:
telah memperoleh, baik ilmu ladunnî maupun
Semiotic, Literature, Deconstruction.
ilmu ma`rifatul-Lâh dari Allah, wajib
London and Henley: Routledge and
mendiskusikan dan memberitahukannya
Kegan Paul.
kepada Mursyidnya. Sesungguhnya, seorang
Mursyid sebelum diberitahu oleh muridnya Drewes, G.W.J. and L. F. Brakel.1986.The
tentang ilmu ladunnî ataupun ilmu ma`rifatul- Poems of Hamzah Fansuri. Leiden:
Lâh yang telah diterimanya, ia telah diberitahu Koninklijk Instuut voor Taal, Land-en
oleh Allah bahwa muridnya telah memperoleh Volkenkunde.
ilmu ladunnî ataupun ilmu ma`rifatul-Lâh.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1990. Peng-
Sementara itu, muridnya tidak mengetahui
kajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada
bahwa Mursyidnya telah mengetahui bahwa
University Press.
ia telah memperoleh ilmu ladunnî ataupun
ilmu ma`rifatul-Lâh dari Allah. Itulah per- Riffaterre, Michael. 1978. Semiotic of Poetry.
bedaan antara murid dan Mursyid. London: Indiana University Press, Bloo-
mington.
DAFTAR PUSTAKA
Roonvink, R.. 1964. "Two Old Malay
Abdullah, Imran Teuku. 1991. Hikayat Manuscrips" dalam John Bastin and
Meukuta Alam: Suntingan Teks dan R. Roolvink Malayan and Indonesian
Terjemahan beserta Telaah Struktur dan Studies. London: Oxford University
Resepsi. Jakarta: Penerbit Intermasa. Press.

As-Samatrâ'î, Syamsuddin. t.t. Syarah Segers, Rien T. 1978. The Evaluation of Text.
Rubâ`î Hamzah Fansuri A. 24 halaman Lisse: The Peter de Ridder Press.

Baroroh-Baried, Siti.1987. "Syair Ikan Teeuw, Andries. 1984. Sastra dan Ilmu
Tongkol: Paham Tasawuf Abad XVI-XVII Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta:
di Indonesia" dalam T. Ibrahim Alfian, Pustaka Jaya.
H.J. Koessoemanto, Dharmono Hardjo-

Humaniora Volume XV, No. 2/2003 199

Anda mungkin juga menyukai