Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Tn. M umur 55 tahun BB 70 kg TB 170cm masuk IGD RS PHC (21 Oktober 2018)
pukul 10.15 WIB, dengan keadaan sadar, keluhan dada berdebar-debar sejak sekitar
2 jam sebelum MRS, nafas sedikit sesak dan dada terasa tidak nyaman. Tidak ada
nyeri dada menjalar, tidak ada mual.

II. PRIMARY SURVEY

PROBLEM LIST

Primary Survey

Airway

- Clear,
- Tidak terdapat sumbatan
- Cervical spine stabil

Breathing

RR = 28x/menit, regular, gerak nafas simetris,


Otot Bantu nafas (+), Vesikular +/+, Rh -/-, Wh -/-
SpO2 : 99 %

Circulation

Tekanan Darah: 140/90 mmHg


MAP : 106 mmHg
Nadi : 116 x/m, Irregular
Akral hangat, kering, merah di keempat ekstrimitas
CRT < 2 detik
Temp : 36,7°C
S1S2 Tunggal, gallop(-)/murmur(-)
EKG : Atrial Fibrillation with Rapid Ventricular Response
Disability

A/V/P/U : Alert ,
Refleks pupil +/+, Diameter 3mm/3mm, Isokor
Lateralisasi -/-

Exposure

Dalam batas normal

III. SECONDARY SURVEY


Sistem Respirasi
 Pasien nafas spontan + nasal kanul 4 lpm
 Vesikular pada semua lapangan paru, rh -/-, wh-/-
 RR: 22 x/m
 Sp02 : 99%
Sistem Kardiovaskular
 TD : 140/90 mmHg, MAP : 106 mmHg
 N : 110 x/m, Irregular
 Temp : 36,7°C
 S1 S2 tunggal, gallop (-), murmur (-)
 Akral kering, hangat, merah pada keempat ekstremitas
 CRT <2 detik
Sistem Neurologi
 GCS : 4-5-6
 Compos Mentis
 Pupil Bulat Isokor 3mm/3mm
 Refleks Pupil +/+
 Lateralisasi (-)
Sistem Urinari
 Produksi Urin : Dalam batas normal
 Belum terpasang kateter
Sistem Gastrointestinal
 Inspeksi: Datar
 Auskultasi: Bising usus normal
 Palpasi: Supel, Hepar/Lien/Renal tidak teraba, Nyeri tekan (-)
 Perkusi: Timpani (+), asites (-)

Sistem Muskuloskeletal
 Mobilisasi ekstremitas atas : Dalam batas normal
 Mobilisasi ekstremitas bawah : Dalam batas normal

AMPLE (Allergy-Medication-Past Illness-Last Meal-Exposure)


A- Allergy : Makanan (-), Obat (-)
M- Medication : -
P- Past Illness : -
L- Last Meal : Jam 06.00/ 4 jam sebelum MRS
E- Exposure : Tidak ada Trauma

IV. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Dada berdebar-debar
Keluhan Tambahan
 Sesak
 Dada merasa tidak nyaman
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS PHC dengan keluhan dada berdebar-debar
disertai sesak sejak pukul 10.15 WIB (21/10/2018) saat pasien sedang jalan pagi.
Keluhan muncul mendadak dan tidak dapat diredahkan dengan duduk ataupun
berbaring dan berlangsung sampai tiba di IGD.Tidak ada keluhan mau pingsan,
mual atau muntah.
Riwayat Penyakti Dahulu
 Hipertensi disangkal
 Diabetes Mellitus disangkal
 Asma disangkal
 PJK disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada
Riwayat Alergi
Tidak ada
Riwayat Pengobatan
Tidak ada

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil EKG

*Keterangan: Jam 10.15 WIB, sebelum pemberian Amiodarone


Intepretasi:
1. Atrial Fibrillation with rapid Ventricular Response
2. Abnormal ECG
3. Heart Rate: 75-150x/menit, irreguler
*Keterangan: Post Cordarone
Intepretasi:
1. Atrial Fibrillation with rapid Ventricular Response
2. Abnormal ECG
3. Heart Rate: 88-125x/menit, irreguler

VI. Problem List

Actual Problem List Potential Problem List Assessment

a. Dada berdebar-debar Rapid Atrial Fibrilasi Rapid Atrial Fibrilasi


b. Nafas berat serangan Akut
c. Dada tidak nyaman
d. Nadi irreguler dan cepat
(116 x/m, Irregular)
e. Hasil EKG : Atrial
Fibrilasi

 Planning Diagnostik
a. EKG
b. Darah lengkap
c. Foto Thorax
 Planning Terapi
a. Tirah Baring
b. Amiodarone: Loading: 150 mg/30 menit. Maintanence: 300mg/6 jam
c. Warfarin: Loading: 1 tab/ 2 mg per oral. Maintanence: 0-0-2.

 Planning Monitoring
a. Monitor EKG
b. Tanda-tanda Vital
c. Keluhan
d. Nutrisi
e. Kemungkinan komplikasi

 Planning Edukasi
a. Edukasikan kepada pasien dan keluarganya mengenai penyakit pasien
b. Edukasikan kepada pasien dan keluarganya mengenai terapi yang diberikan
c. Edukasi mengenai komplikasi yang sangat mungkin terjadi pada pasien AF
d. Edukasi bahwa pengobatan Atrial Fibrilasi adalah pengobatan jangka panjang dan
mungkin seumur hidup.
e. Edukasi mengenai compliance pengobatan.

VII. Rencana Nutrisi


Status Pasien:
a. Berat Badan: 70 Kg
b. Tinggi Badan: 170 cm
c. BB Ideal: 63-77 Kg = Pasien mempunyai BB ideal
d. Kesadaran: Compos Mentis, GCS 456 = Nutrisi Enteral
Kebutuhan Kalori:
25-30 kkal x 70 Kg= 1750 - 2100 kkal/ hari
Kebutuhan Karbohidrat:
Karbohidrat: 5g x 70kg: 350 g/hari
Kebutuhan Protein:
Protein: 1g x 70kg: 70 g/hari
Kebutuhan lemak:
Lemak: 1g x 70kg: 70g/hari
Maintanence Cairan:
Cairan: 30-50cc x 70kg: 2100-3500 cc/ hari
*Cairan maintanence parenteral disesuaikan dengan jumlah intake cairan peroral.
PEMBAHASAN

Atrial Fibrilasi
a. Definisi
Atrial fibrilasi adalah suatu gangguan pada jantung (aritmia) yang
ditandai dengan ketidakteraturan irama denyut jantung dan peningkatan
frekuensi denyut jantung, yaitu sebesar 350-650 x/menit. Pada dasarnya atrial
fibrilasi merupakan suatu takikardisupraventrikuler dengan aktivasi atrial yang
tidak terkoordinasi dan deteriorisasi fungsi mekanik atrium. Keadaan ini
menyebabkan tidak efektifnya proses mekanik atau pompa darah jantung1.
b. Klasifikasi
Menurut AHA (American Heart Association), klasifikasi dari atrial
fibrilasi dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu2 :
a. AF deteksi pertama
Semua pasien dengan AF selalu diawali dengan tahap AF deteksi pertama.
Tahap ini merupakan tahapan dimana belum pernah terdeteksi AF
sebelumnya dan baru pertama kali terdeteksi.
b. Paroksismal AF
AF yang berlangsung kurang dari 7 hari atau AF yang mempunyai episode
pertama kalikurang dari 48 jam dinamakan dengan paroksismal AF. AF jenis
ini juga mempunyai kecenderungan untuk sembuh sendiri dalam waktu
kurang dari 24 jam tanpa bantuan kardioversi.
c. Persisten AF
AF yang sifatnya menetap dan berlangsung lebih dari 48 jam tetapi kurang
dari 7 hari. Berbeda dengan paroksismal AF, persisten AF perlu penggunaan
dari kardioversi untuk mengembalikan irama sinus kembali normal.
d. Kronik/permanen AF
AF yang sifatnya menetap dan berlangsung lebih dari 7 hari. Pada permanen
AF, penggunaan kardioversi dinilai kurang berarti, karena dinilai cukup sulit
untuk mengembalikan ke irama sinus yang normal.
Gambar 1. Pola Klasifikasi Atrial Fibrilasi
Disamping klasifikasi menurut AHA (American Heart Association), AF
juga sering diklasifikasikan menurut lama waktu berlangsungnya, yaitu AF akut
dan AF kronik. AF akut dikategorikan menurut waktu berlangsungnya atau
onset yang kurang dari 48 jam, sedangkan AF kronik sebaliknya, yaitu AF yang
berlangsung lebih dari 48 jam.
c. Etiologi
Etiologi yang terkait dengan AF terbagi menjadi beberapa faktor-faktor,
diantaranya adalah5,6 :
a. Peningkatan tekanan/resistensi atrium
1. Penyakit katup jantung
2. Kelainan pengisian dan pengosongan ruang atrium
3. Hipertrofi jantung
4. Kardiomiopati
5. Hipertensi pulmo (chronic obstructive pulmonary disease dan cor
pulmonal chronic)
6. Tumor intracardiac
b. Proses infiltratif dan inflamasi
1. Pericarditis/miocarditis
2. Amiloidosis dan sarcoidosis
3. Faktor peningkatan usia
c. Proses infeksi
1. Demam dan segala macam infeksi
d. Kelainan Endokrin
1. Hipertiroid
2. Feokromositoma
e. Neurogenik
1. Stroke
2. Perdarahan subarachnoid
f. Iskemik Atrium
1. Infark miocardial
g. Obat-obatan
1. Alkohol
2. Kafein
h. Keturunan/genetik
d. Tanda dan Gejala
Pada dasarnya AF, tidak memberikan tanda dan gejala yang khas pada
perjalanan penyakitnya. Umumnya gejala dari AF adalah peningkatan denyut
jantung, ketidakteraturan irama jantung dan ketidakstabilan hemodinamik.
Disamping itu, AF juga memberikan gejala lain yang diakibatkan oleh
penurunan oksigenisasi darah ke jaringan, seperti pusing, kelemahan, kelelahan,
sesak nafas dan nyeri dada. Tetapi, lebih dari 90% episode dari AF tidak
menimbulkan gejala-gejala tersebut7,8,9.
e. Faktor Resiko
Beberapa orang mempunyai faktor resiko terjadinya AF, diantaranya
adalah :
a. Diabetes Melitus
b. Hipertensi
c. Penyakit Jantung Koroner
d. Penyakit Katup Mitral
e. Penyakit Tiroid
f. Penyakit Paru-Paru Kronik
g. Post. Operasi jantung
h. Usia ≥ 60 tahun
i. Life Style
f. Patofisiologi
Mekanisme AF terdiri dari 2 proses, yaitu proses aktivasi lokal dan
multiple wavelet reentry. Proses aktivasi lokal bisa melibatkan proses
depolarisasi tunggal atau depolarisasi berulang. Pada proses aktivasi lokal, fokus
ektopik yang dominan adalah berasal dari vena pulmonalis superior. Selain itu,
fokus ektopik bisa juga berasal dari atrium kanan, vena cava superior dan sinus
coronarius. Fokus ektopik ini menimbulkan sinyal elektrik yang mempengaruhi
potensial aksi pada atrium dan menggangu potensial aksi yang dicetuskan oleh
nodus SA7,9,14.
Sedangkan multiple wavelet reentry, merupakan proses potensial aksi
yang berulang dan melibatkan sirkuit/jalur depolarisasi. Mekanisme multiple
wavelet reentry tidak tergantung pada adanya fokus ektopik seperti pada proses
aktivasi lokal, tetapi lebih tergantung pada sedikit banyaknya sinyal elektrik
yang mempengaruhi depolarisasi. Pada multiple wavelet reentry, sedikit
banyaknya sinyal elektrik dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu periode refractory,
besarnya ruang atrium dan kecepatan konduksi. Hal ini bisa dianalogikan,
bahwa pada pembesaran atrium biasanya akan disertai dengan pemendekan
periode refractory dan penurunan kecepatan konduksi. Ketiga faktor tersebutlah
yang akan meningkatkan sinyal elektrik dan menimbulkan peningkatan
depolarisasi serta mencetuskan terjadinya AF7,9,14.

Gambar 2. A. Proses Aktivasi Lokal Atrial Fibrilasi dan B. Proses Multiple


Wavelets Reentry Atrial Fibrilasi
g. Penatalaksanaan
Sasaran utama pada penatalaksanaan AF adalah mengontrol
ketidakteraturan irama jantung, menurunkan peningkatan denyut jantung dan
menghindari/mencegah adanya komplikasi tromboembolisme. Kardioversi
merupakan salah satu penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk AF. Menurut
pengertiannya, kardioversi sendiri adalah suatu tata laksana yang berfungsi
untuk mengontrol ketidakteraturan irama dan menurunkan denyut jantung. Pada
dasarnya kardioversi dibagi menjadi 2, yaitu pengobatan farmakologi
(Pharmacological Cardioversion) dan pengobatan elektrik (Electrical
Cardioversion)8,10.
a. Mencegah pembekuan darah (tromboembolisme)
Pencegahan pembekuan darah merupakan pengobatan untuk
mencegah adanya komplikasi dari AF. Pengobatan yang digunakan adalah
jenis antikoagulan atau antitrombosis, hal ini dikarenakan obat ini berfungsi
mengurangi resiko dari terbentuknya trombus dalam pembuluh darah serta
cabang-cabang vaskularisasi. Pengobatan yang sering dipakai untuk
mencegah pembekuan darah terdiri dari berbagai macam, diantaranya
adalah:
1. Warfarin
Warfarin termasuk obat golongan antikoagulan yang berfungsi dalam
proses pembentukan sumbatan fibrin untuk mengurangi atau mencegah
koagulasi. Warfarin diberikan secara oral dan sangat cepat diserap
hingga mencapai puncak konsentrasi plasma dalam waktu ± 1 jam
dengan bioavailabilitas 100%. Warfarin di metabolisme dengan cara
oksidasi (bentuk L) dan reduksi (bentuk D), yang kemudian diikuti oleh
konjugasi glukoronidasi dengan lama kerja ± 40 jam.
2. Aspirin
Aspirin secara irreversible menonaktifkan siklo-oksigenase dari
trombosit (COX2) dengan cara asetilasi dari asam amino serin terminal.
Efek dari COX2 ini adalah menghambat produksi endoperoksida dan
tromboksan (TXA2) di dalam trombosit. Hal inilah yang menyebabkan
tidak terbentuknya agregasi dari trombosit. Tetapi, penggunaan aspirin
dalam waktu lama dapat menyebabkan pengurangan tingkat sirkulasi
dari faktor-faktor pembekuan darah, terutama faktor II, VII, IX dan X.
b. Mengurangi denyut jantung
Terdapat 3 jenis obat yang dapat digunakan untuk menurunkan
peningkatan denyut jantung, yaitu obat digitalis, β-blocker dan antagonis
kalsium. Obat-obat tersebut bisa digunakan secara individual ataupun
kombinasi.
1. Digitalis
Obat ini digunakan untuk meningkatkan kontraktilitas jantung
dan menurunkan denyut jantung. Hal ini membuat kinerja jantung
menjadi lebih efisien. Disamping itu, digitalis juga memperlambat sinyal
elektrik yang abnormal dari atrium ke ventrikel. Hal ini mengakibatkan
peningkatan pengisian ventrikel dari kontraksi atrium yang abnormal.

2. β-blocker
Obat β-blocker merupakan obat yang menghambat efek sistem
saraf simpatis. Saraf simpatis pada jantung bekerja untuk meningkatkan
denyut jantung dan kontraktilitas jantung. Efek ini akan berakibat dalam
efisiensi kinerja jantung.
3. Antagonis Kalsium
Obat antagonis kalsium menyebabkan penurunan kontraktilitas
jantung akibat dihambatnya ion Ca2+ dari ekstraseluler ke dalam
intraseluler melewati Ca2+ channel yang terdapat pada membran sel.
c. Mengembalikan irama jantung
Kardioversi merupakan salah satu penatalaksanaan yang dapat
dilakukan untuk menteraturkan irama jantung. Menurut pengertiannya,
kardioversi sendiri adalah suatu tata laksana yang berfungsi untuk
mengontrol ketidakteraturan irama dan menurunkan denyut jantung. Pada
dasarnya kardioversi dibagi menjadi 2, yaitu pengobatan farmakologi
(Pharmacological Cardioversion) dan pengobatan elektrik (Electrical
Cardioversion).
1. Pharmacological Cardioversion (Anti-aritmia)
a. Amiodarone
b. Dofetilide
c. Flecainide
d. Ibutilide
e. Propafenone
f. Quinidine
2. Electrical Cardioversion
Suatu teknik memberikan arus listrik ke jantung melalui dua pelat
logam (bantalan) ditempatkan pada dada. Fungsi dari terapi listrik ini
adalah mengembalikan irama jantung kembali normal atau sesuai dengan
NSR (nodus sinus rhythm).
3. Operatif
a. Catheter ablation
Prosedur ini menggunakan teknik pembedahan dengan membuatan
sayatan pada daerah paha. Kemudian dimasukkan kateter kedalam
pembuluh darah utma hingga masuk kedalam jantung. Pada bagian
ujung kateter terdapat elektroda yang berfungsi menghancurkan
fokus ektopik yang bertanggung jawab terhadap terjadinya AF.
b. Maze operation
Prosedur maze operation hamper sama dengan catheter ablation,
tetapi pada maze operation, akan mengahasilkan suatu “labirin” yang
berfungsi untuk membantu menormalitaskan system konduksi sinus
SA.
c. Artificial pacemaker
Artificial pacemaker merupakan alat pacu jantung yang ditempatkan
di jantung, yang berfungsi mengontrol irama dan denyut jantung.
h. Pembahasan
AF sebenarnya merupakan bagian dari aritmia, yaitu suatu keadaan
abnormalitas dari irama jantung yang ditandai dengan pola pelepasan sinyal
elektrik yang sangat cepat dan berulang. Keadan ini secara umum bisa
diakibatkan oleh gangguan potensial aksi, gangguan konduksi ataupun bisa
gangguan dari keduanya. Pada AF, gangguan terjadi pada ketidakteraturan irama
jantung dan peningkatan denyut jantung. Secara umum, gangguan AF dapat
dikatakan sebagai takikardi, karena denyut jantung pada AF mencapai lebih dari
100x/menit. Takikardi sendiri dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu takikardi
supraventrikuler dan takikardi ventrikuler. AF merupakan takikardi
supraventrikuler, dimana gangguan potensial aksi ataupun konduksi berasal dari
sistem konduksi diatas berkas HIS, yang meliputi nodus SA, nodus AV dan
berkas HIS sendiri. Sedangkan takikardi ventrikuler lebih disebabkan tidak
hanya dari sistem konduksi serabut purkinje, tetapi peran takikardi
supraventrikuler juga bisa menyebabkan takikardi ventrikuler.
Takikardi supravenrikuler tidak hanya AF, tetapi meliputi ekstrasistol
atium, flutter atrium dan takikardi supraventrikuler. Pada AF, mekanisme
terjadinya melalui 2 proses, yaitu aktivasi lokal atau multiple wavelets reentry.
Pada aktivasi lokal lebih didominasi karena adanya fokus ektopik pada vena
pulmonalis superior, sedangkan multiple wavelets reentry lebih cenderung
disebabkan oleh pembesaran atrium, pemendekan periode refractory dan
penurunan kecepatan konduksi. Selain itu, sebenarnya masih ada faktor lain
syang mempengaruhi terjadinya AF, yaitu detak jantung prematur, aktivitas
saraf otonom, iskemik atrium, konduksi anisotropik dan peningkatan usia.
Terjadinya AF akan menimbulkan disfungsi hemodinamik jantung, yaitu
hilangnya koordinasi aktivitas mekanik jantung, ketidakteraturan respon
ventrikeldan ketidakteraturan denyut jantung. Ketiga hal ini akan berpengaruh
pada penurunan cardiac output, karena kontraksi jantung tidak sempurna
walaupun terjadi proses depolarisasi yang berulang. Hilangnya koordinasi proses
mekanik lebih disebabkan karena cepat dan seringnya depolarisasi. Depolarisasi
yang cepat dan berulang pada AF mempunyai sifat yang tidak sempurna,
sehingga proses kontraktilitas jantung juga tidak bisa maksimal. Selain itu,
peningkatan depolarisasi dan denyut jantung pada atrium akan direspon secara
fisiologis oleh ventrikel dengan penurunan denyut jantung. Hal ini bertujuan
untuk mengurangi peningkatan potensial aksi pada atrium yang menyebabkan
ketidakteraturan penerimaan denyut pada ventrikel. Penurunan denyut pada
ventrikel terjadi karena proses fisiologis yang diperankan oleh sistem nodus AV.
Nodus AV akan memperantarai proses ini dengan meningkatkan kinerja sistem
saraf parasimpatis dan menurunkan kinerja saraf simpatis pada sistem konduksi
AV. Sedangkan untuk ketidakteraturan denyut jantung akibat AF, memang
diakibatkan dari peningkatan depolarisasi dan masuknya sinyal elektrik secara
berulang-ulang.
Efek dari terjadinya AF disamping ketidakteraturan denyut jantung dan
peningkatan denyut jantung, tromboembolisme juga merupakan efek yang
berbahaya pada jantung akibat dari AF. Tromboembolisme terjadi akibat dari 3
faktor, yaitu statis, disfungi endotel dan hiperkoagulasi. Mekanisme ini terjadi
dari statis dan kerusakan endotel darah akibat kontraksi dan aliran darah yang
tidak sempurna. Selain itu adanya hiperkoagulasi meningkatkan adanya proses
bekuan darah yang merupakan bagian penyebab dari tromboembolisme.
KESIMPULAN

Pada kasus ini didapatan, pasien laki – laki, 69 tahun datang ke IGD dengan
keluhan utama dada berdebar-debar sejak sekitar 6 jam sebelum MRS. Tidak ada nyeri
dada menjalar, tidak ada mual. Prinsip penanganan pasien yaitu dengan primary survey
yang terdiri dari airway, breathing, circulation, disability, dan exposure. Jika
didapatkan gangguan pada primary survey maka akan dilakukan secondary survey yang
dibebdakan menjadi 2 yaitu trauma dan non-trauma. Pada kasus trauma secondary
survey dilakukan pemeriksaan head to toe sedangkan pada kasus non-trauma secondary
survey dilakuan pemerikksaan sistem organ yang dibagi menjadi B1 hingga B6 yang
terdiri dari sistem respirasi, sistem kardiovaskuler, sistem neurologis, sistem urinary,
sistem gastrointestinal, dan sistem musculoskeletal serta ditanyakan juga AMPLE
(Allergy, Medication, Past Illness, Last Meal, Exposure) Pemeriksaan penunjang dapat
dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis apabila diperlukan.
Pada kasus ini pasien merasa dada berdebar – debar dan sesak nafas sejak 6 jam
sebelum MRS dan tidak membaik dengan beristirahat. Pasien memiliki riwayat Atrial
Fibrilasi Persisten dan mengkonsumsi Kedaron dan Simarc sehingga keluhan ini diduga
merupakan serangan akut dari atrial fibrilasi yang diderita pasien. Untuk
memastikannya dilakukan pemeriksaan penunjang berupa EKG, foto thorax, dan
pemeriksaan serum elektrolit. Hasil EKG menunjukkan adanya atrial fibrilasi sehingga
diberikan planning terapi berupa tirah baring dan terapi farmakologis dengan pemberian
amiodarone dan warfarin. Monitoring dilakukan terhadap ekg, tanda-tanda vital,
keluhan, nutrisi, dan kemungkinan komplikasi. Diberikan juga edukasi kepada pasien
dan keluarganya mengenai penyakit pasien yang membutuhkan pengobatan jangka
panjang, serta komplikasi yang mungkin terjadi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Wyndham CRC (2000). "Atrial Fibrillation: The Most Common arrhythmia".Texas


Heart Institute Journal 27 (3): 257-67.
2. "Atrial Fibrillation (for Professionals)". American Heart Association, Inc. 2008-12-
04. Archived from the original on 2009-03-28.
3. Fuster V, Rydén LE, Cannom DS, et al. (2006). "ACC/AHA/ESC 2006 Guidelines
for the Management of Patients with Atrial Fibrillation: a report of the American
College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines and the European Society of Cardiology Committee for Practice
Guidelines (Writing Committee to Revise the 2001 Guidelines for the Management
of Patients With Atrial Fibrillation): developed in collaboration with the European
Heart Rhythm Association and the Heart Rhythm Society". Circulation 114 (7):
257–354.
4. Friberg J, Buch P, Scharling H, Gadsbphioll N, Jensen GB. (2003). "Relationship
between left atrial appendage function and left atrial thrombus in patients with
nonvalvular chronic atrial fibrillation and atrial flutter".Circulation Journal 67 (1):
68–72.
5. Narumiya T, Sakamaki T, Sato Y, Kanmatsuse K ( January 2003). “Relationship
between left atrial appendage function and left atrial thrombus in patient with
nonvalvular chronic atrial fibrillation and atrial flutter”. Circulation Journal 67.
6. Sanfilippo AJ, Abascal VM, Sheehan M, Oertel LB, Harrigan P, Hughes RA dan
Weyman AE (1990). "Atrial enlargement as a consequence of atrial fibrillation A
prospective echocardiographic study" . Circulation 82 (3): 792–7.
7. Nasution SA, Ismail D. 2006. Fibrilasi Atrial. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalaml.
Ed.3. Jakarta. EGC, 1522-27.
8. Wattigney WA, Mensah GA, Croft JB (2002). "Increased atrial fibrillation
mortality: United States, 1980-1998". Am.J. Epidemiol. 155 (9): 819–26.
9. Blackshear JL, Odell JA (February 1996). "Appendage obliteration to reduce stroke
in cardiac surgical patients with atrial fibrillation". Ann.Thorac.Surg. 61 (2): 755–9.
10. Wolf PA, Dawber TR, Thomas HE, Kannel WB (1978). "Epidemiologic assessment
of chronic atrial fibrillation and risk of stroke: the Framingham study". Neurology
28 (10): 973–7.
11. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson (2000). Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-
proses Penyakit) Buku 2, Edisi 4. EGC: 770-89, 813-93.
12. Harrison (2000). Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 3 Edisi 13. EGC:
1418-87.

Anda mungkin juga menyukai