Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Globalisasi yang terjadi pada abad ini berakibat pada perubahan
keseluruhan kehidupan bermasyarakat, tidak terkecuali sektor pendidikan. Pada
era ini, pendidikan harus dapat menyikapi dan mengantisipasi perkembangan
liberalisasi pasar kerja dan perkembangan masyarakat berbasis ilmu pengetahuan.
Oleh sebab itu inovasi berbagai metoda dan model pendidikan harus juga
dikembangkan (UNESCO, 2006). Mobilitas mahasiswa dan tenaga kerja antar
negara juga memberikan tantangan bagi dunia pendidikan untuk melakukan
komparasi mutu antar negara.
Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan mengaturan mengenai
capaian pembelajaran lulusan, bahan kajian, proses, dan penilaian yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan pendidikan. Kurikulum Pendidikan Tinggi
dikembangkan oleh setiap perguruan tinggi dengan mengacu pada standar
Nasional Pendidikan Tinggi untuk setiap program studi yang mencakup
pengembangan kecerdasan intelektual, akhlak, dan keterampilan (Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi, 2014).
Kurikulum memiliki peran penting untuk mencapai tujuan pendidikan dan
kompetensi lulusan, bersifat khas bagi program studi di suatu perguruan tinggi
sehingga diharapkan lulusan program studi tersebut memiliki keunggulan
komparatif, berkualitas dan berdaya saing tinggi. Penyusunan kurikulum program
studi mencakup beberapa hal penting yakni keluaran yang diharapkan, sasaran dan
tujuan pendidikan yang akan dicapai dan responsif terhadap kebutuhan
stakeholders. Seiring dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat selaku
pengguna lulusan program studi (stakeholders) yang sarat dengan perkembangan
IPTEK dan persaingan yang semakin ketat maka sangat perlu adanya upaya
pengembangan dan inovasi kurikulum sebagai respon terhadap tuntutan tersebut.
Implementasi pembelajaran menekankan pada proses dan produk untuk
membimbing mahasiswa malakukan pendekatan scientific yakni mendengar,
melihat, menganalisis, menemukan dan mengkomunikasikan (networking) dalam

1
pembentukan sikap, pengetahuan dan ketrampilan mahasiswa. Untuk itu
diperlukan dosen sebagai pendidik professional dan ilmuwan yang harus
memahami roh kurikulum sarjana berbasis KKNI secara menyeluruh agar dapat
melaksanakan pembelajaran secara maksimal dengan hasil baik dan berkualitas
(Maba, 2016).
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) dari level 1-9 menjadi
acuan untuk pembangunan sumber daya manusia dan tenaga kerja Indonesia.
Pengakuan kualifikasi tidak hanya mengacu pada pendidikan formal, tetapi juga
pelatihan yang didapat di luar pendidikan formal, pembelajaran mandiri, dan
pengalaman kerja. KKNI bertujuan memfasilitasi belajar sepanjang hayat dan
penyetaraan. KKNI akan menjadi rujukan dalam kurikulum dan penjaminan mutu
pendidikan. Untuk itu, capaian belajar lulusan atau learning outcomes dari proses
pendidikan harus mengacu pada KKNI (Napitupulu, 2013).
Pedoman kurikulum akan berperan sebagai penentu arah dan hasil yang
akan dicapai dari implementasinya. Oleh karena itu pada makalah ini akan
dibahas tentang bagaimana ciri dan implementasi kurikulum berbasis kompetensi
dan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) di perguruan tinggi dan
Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan disampaikan dalam makalah ini, yaitu.
1. Apa pengertian kurikulum berbasis kompetensi?
2. Bagaimana implikasi dan implementasi KBK?
3. Bagaimana hakikat, pengembangan dan penerapan, serta paremeter tercapainya
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI)?
4. Bagaimana KKNI sebagai tolak ukur dan capaian pembelajaran penyusun K-
DIKTI?
5. Apa yang dimaksud dengan standar pendidikan tinggi?

2
1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui.
1. Pengertian kurikulum kurikulum berbasis kompetensi.
2. Implikasi dan implementasi Kurikulum berbasis kompetensi..
3. Hakikat, pengembangan dan penerapan, serta paremeter tercapainya Kerangka
Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI)
4. KKNI sebagai tolak ukur dan capaian pembelajaran penyusun K-DIKTI
5. Standar pendidikan tinggi

3
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Fungsi Kurikulum Berbasis Kompetensi


KBK menururt M. Rifai (2012) adalah seperangkat perencanaan dan
pengaturan pembelajaran yang sistematis guna mencapai kompetensi tertentu.
Dapat juga dikatakan bahwa KBK merupakan kurikulum yang berisi sejumlah
kompetensi yang dibutuhkan dan perlu dikuasai oleh pembelajar untuk menjalani
kehidupan mereka, baik untuk mendapatkan pekerjaan, bekerja, melanjutkan
studi, maupun belajar sepanjang hayat. Kompetensi tersebut disusun dan dikemas
sedemikian rupa sehingga memungkinkan untuk dicapai dan dikuasai oleh
pembelajar (siswa / mahasiswa). Baik dalam tataran formal maupun operasional di
lapangan, KBK semestinya memiliki karakteristik umum, yakni:
a. Berbasis kompetensi dasar, bukan berbasis isi atau materi;
b. Bertumpu pada pembentukan kemampuan yang diperlukan oleh
siswa/mahasiswa, bukan penerusan materi belajar;
c. Berpendekatan atau berpusat pembelajaran, bukan pengajaran;
d. Berorientasi pada pemerolehan pengalaman belajar siswa / mahasiswa yang
kaya, bukan perolehan pengetahuan semata;
e. Berpendekatan terpadu dan integratif, bukan diskret-analisis yang terpisah;
f. Mengutamakan kebermaknaan, keorisinilan, dan keontetikan proses
pembelajaran;
g. Bermuatan multi-kecerdasan, multi-strategi;
h. Menggunakan asas maju berkelanjutan dan belajar tuntas;
i. Berpusat pada siswa / mahasiswa, yang berati bahwa siswa / mahasiswa
menjadi subyek utama dalam pembelajaran, dan guru / dosen menjadi
fasilitator, pendamping, dan sesama pembelajar;
j. Memberikan pengalaman belajar yang relevan dan kontekstual;
k. Membentuk mental yang mantap dan kaya akan pembelajaran;
l. Bersifat diversifikatif, pluralistik, dan multicultural
Kompetensi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) merupakan seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, serta cara

4
penyampaian dan penilaian sebagai pedoman penyelenggara kegiatan
pembelajaran untuk menghasilkan lulusan dengan capaian pembelajaran. Acuan
kurikulum KBK digunakan sebagai perencanaan, pelaksanaan, penilaian, hasil,
dan pengawasan pembelajaran di tingkat satuan pendidikan dalam rangka
menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi sosial, kompetensi akademik,
kompetensi vokasional, dan kompetensi personal sesuai dengan kebutuhan
masyarakat di dunia usaha dan industri (Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, 2013).
B. Implikasi Pemberlakuan Kurikulum Berbasis Kompetensi
Implikasi dari pemberlakuan KBK cukup luas, terutama yang menyangkut
proses pembelajaran, diantaranya adalah : pembaharuan pada lingkungan belajar,
metode pembelajaran, media belajar, bahan belajar, dan sebagainya. Semua itu
menuntut adanya guru / dosen yang juga berbasis kompetensi. Belajar merupakan
kegiatan aktif siswa / mahasiswa dalam membangun makna atau pemahaman.
Dengan demikian guru/dosen perlu memberikan dorongan kepada siswa atau
mahasiswa untuk mengunakan otoritasnya dalam membangun gagasan. Tanggung
jawab belajar ada pada siswa/mahasiswa, tetapi guru / dosen bertanggung jawab
untuk menciptakan situasi yang mendorong prakarsa, motivasi, dan tanggung
jawab untuk belajar sepanjang hayat para anak didiknya. Berdasarkan hal tersebut
guru / dosen perlu merancang materi, metode, media, dan model penilaian sebagai
“hidangan nikmat” bagi siswa/mahasiswa dengan sebuah pendekatan belajar yang
lebih memberdayakan dan melayani semua siswa/mahasiswa. Dengan merujuk
pada kompetensi dasar dan indikator pencapaian hasil belajar, guru / dosen
menciptakan situasi pembelajaran yang memberi peluang bagi siswa/mahasiswa
untuk belajar melalui kegiatan “mengalami sendiri” dalam lingkuangan yang
alamiah. Oleh karena itu perinsip kegiatan pembelajaran KBK, adalah:
1) Berpusat pada siswa / mahasiswa;
2) Belajar dengan berbuat dan melakukan;
3) Menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan menantang;
4) Mengembangkan beragam kemampuan yang bermuatan nilai;
5) Mengembangkan kemampuan sosial;
6) Mengembangkan keingintahuan, imajinasi, dan fitrah ber-Tuhan;

5
7) Mengembangakan keterampilan memecahkan masalah;
8) Mengembangkan kreativitas siswa/mahasiswa;
9) Mengembangkan kemampuan menggunakan ilmu dan teknologi;
10) Menumbuhkan kesadaran sebagai warga negara yang baik;
11) Belajar sepanjang hayat;
C. Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
1. Hakikat KKNI
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia atau disingkat KKNI merupakan
kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan,
menyetarakan, dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang
pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian Pengakuan
kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor. Pernyataan
ini ada dalam Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka
Kualifikasi Nasional Indonesia (Tim Penyusun KPT, 2014).
KKNI merupakan perwujudan mutu dan jati diri Bangsa Indonesia terkait
dengan sistem pendidikan nasional dan peatihan yang dimiliki negara Indonesia.
KKNI memungkinkan hasil pendidikan khususnya pendidikan tinggi dilengkapi
dengan perangkat ukur yang memudahkan dalam melakukan penyepadanan dan
penyejajaran dengan hasil pendidikan bangsa lain di dunia (Tim Penyusun KPT,
2014).
KKNI menjadi acuan dalam pengemasan Standar Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia (SKKNI) ke tingkat atau jenjang kualifikasi. KKNI
diposisikan sebagai penyetara capaian pembelajaran yang diperoleh melalui
pendidikan formal, informal, dan nonformal dengan kompetensi kerja yang
dicapai melalui pelatihan di luar ranah Kemdikbud, pengalaman kerja atau jenjang
karir di tempat kerja, sedangkan capaian pembelajaran (learning outcomes) adalah
kemampuan yang diperoleh melalui internalisasi pengetahuan, sikap, ketrampilan,
kompetensi, dan akumulasi pengalaman kerja (Jhoni, 2017).
Umumnya KKNI disusun berjenjang dari terendah sampai tertinggi (level
satu sampai level Sembilan) berdasarkan kemampuan bekerja, penguasaan
pengetahuan yang dicapai melalui pendidikan atau keterampilan yang diperoleh
melalui pelatihan. EQF (European Qualification Framework) menyepadankan

6
jenjang kualifikasi dengan jenjang pendidikan atau pelatihan, bahkan dengan gelar
yang disandangnya. Konsep penmbelajaran sepanjang hayat nampak kuat
mendasari pengembangan EQF (Jhoni, 2017).
Kurikulum sarjana berbasis Kualifikasi Kompetensi Nasional Indonesia
(KKNI) merupakan seperangkat dokumen akademik yang disusun berdasarkan
kombinasi antara ontologi keilmuan program studi (mintset deduktif) dengan
kompetensi dunia usaha dan dunia industri (mintset induktif). Fokus
pengembangan KKNI terlatak pada sikap, pengetahuan dan ketrampilan
mahasiswa melalui pengalaman belajar dalam bentuk instruksional efek dan
natural efek. Implementasi kurikulum berbasis KKNI, akan menghilangkan
pemahaman pengajaran yakni melimpahkan pengetahuan dari dosen kepada
mahasiswa (transfer of knowledge) yang hanya mengutamakan aspek pengetahuan
dan ketrampilan (ontologi keilmuan prodi) dan sangat minimal pengembangan
sikap serta perilaku mahasiswa (Maba, 2016).
Implementasi pembelajaran menekankan pada proses dan produk untuk
membimbing mahasiswa malakukan pendekatan scientific yakni mendengar,
melihat, menganalisis, menemukan dan mengkomunikasikan (networking) dalam
pembentukan sikap, pengetahuan dan keterampilan mahasiswa. Untuk itu
diperlukan dosen sebagai pendidik professional dan ilmuwan yang harus
memahami roh kurikulum sarjana berbasis KKNI secara menyeluruh agar dapat
melaksanakan pembelajaran secara maksimal dengan hasil baik dan berkualitas.
Dosen harus memiliki keterampilan teknologi dan komunikasi diera informasi
yang banyak ditemukan dalam dunia maya. Dosen harus berkomitmen untuk kerja
cerdas, kerja keras, kerja tuntas dan kerja ikhlas sesuai keilmuanya (Maba, 2016).

7
Gambar 1. Penataan Jenis dan Srata Pendidikan Tinggi

Kurikulum sarjana berbasis KKNI merupakan kombinasi antara pola pikir


deduktif (teori di kampus) dengan pola pikir induktif (praktik di lapangan);
implementasi kurikulum sarjana berbasis KKNI mengharuskan setiap dosen untuk
tidak melaksanakan pengajaran, akan tetapi harus diganti dengan pembelajaran
(Maba, 2016).
2. KKNI Sebagai Tolak Ukur
Pergeseran wacana penamaan kurikulum pendidikan tinggi dari KBK (
Kurikulum Berbasis Kompetensi) ke Kurikulum Pendidikan Tinggi (K-DIKTI)
memiliki beberapa alasan penting, diantaranya:
a. Penamaan KBK tidak sepenuhnya didasari oleh ketetapan peraturan, sehingga
masih memungkinkan untuk terus berkembang. Hal ini sesuai dengan kaidah
dari kurikulum itu sendiri yang terus berkembang menyesuaikan pada kondisi
terkini dan masa mendatang.
b. KBK mendasarkan pengembangannya pada kesepakatan penyususnan
kompetensi lulusan oleh perwakilan penyelanggara program studi yang akan
disusun kurikulumnya. Kesepakatan ini umumnya tidk sepenuhnya merujuk
pada parameter ukur yang pasti, sehingga memungkinkan pengembang

8
kurikulum menyepakati kompetensi lulusan yang kedalaman atau level
capaiannya berbeda dengean pengembang kurikulum lainnya walaupun pada
program studi yang sama pada jenjang yang sama pula.
c. Ketiadaan parameter ukur dalam sistem KBK menjadikan sulit untuk menilai
apakah program studi jenjang pendidikan yang satu lebih tinggi atau lebih
rendah dari yang lain.
d. Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) memberikan parameter ukur
berupa jenjang kualifikasi dari jenjang 1 terendah samapai jenjang 9 tertinggi.
Setiap jenjang KKNI bersepadanan dengan level Capaian Pembelajaran (CP)
program studi tertentu. Adapun kesepadanan untuk pendidikan tinggi adalah
level 3 untuk D1, level 4 untuk D2, level 5 untuk D3, level 6 untuk D4/S1,
level 7 utnuk profesi (setelah sarjana), level 8 untuk S2, dan level 9 untuk S3.
e. CP pada setiap level KKNI diuraikan dalam diskripsi sikap dan tata nilai,
kemampuan, pengetahuan, tanggung jawab, dan hak dengan pernyataan yang
ringkas yang disebut deskriptor generik yang masing-masing mengindikasikan
kedalaman dan level CP sesuai dengan jenjang program studi.
f. K-DIKTI sebagai bentuk pengembangan dari KBK menggunakan level
kualifikasi KKNI sebagai pengukur CP sebagai bahan penyusun kurikulum
suatu program studi.
g. Peredaan utama K-DIKTI dengan KBK dengan demikian adalah pada
kepastian dari jenjang program studi karena CP yang diperoleh memiliki
ukuran yang pasti
3. Pengembangan dan Penerapan KKNI
Program pengembangan KKNI pada tahun 2015 merupakan kelanjutan
dari berbagai program yang sama pada tahun sebelumnya ataupun program baru.
Program pada tahun sebelumnya mengutamakan untuk menyusun konsep dan
juga merealisasikan menjadi kerangka yang operasional dan telah diperkuat
dengan Peraturan Presiden (Perpres) No. 8 Tahun 2012 tentang KKNI. Dengan
perpres tersebut, KKNI telah menjadi rujukan dalam penyetaraan capaian
pembelajaran berbagai sektor yang ada di Indonesia. Sementara untuk
memperkuat landasan hukum pelaksanaan KKNI di perguruan tinggi,
Kemendikbud telah menerbitkan Permendikbud Nomor 73 tahun 2013 yang

9
mengatur penerapan KKNI di Perguruan tinggi secara khusus dan Pendidikan
Tinggi di Indonesia secara keseluruhan. Penerapan KKNI diperguruan tinggi
selanjutnya menghasilkan program-program yang semakin memberdayakan
KKNI. Penerapan KKNI tidak terbatas pada perguruan tinggi saja namun juga ke
berbagai institusi lainnya seperti SMK, lembaga kursus dan pelatihan, kologium
keilmuan, konsil kedokteran indonesia., forum program studi, BNSP, LSP,
asosiasi profesi, asosiasi industri, KADIN, BAN, BSNP (Kemenristekdikti, 2015).
Pada jangka panjang, penerapan KKNI akan berdampak pada beberapa
sector, diantaranya sebagai berikut (Kemenristekdikti, 2015).
 Meningkatnya kuantitas sumber daya manusia Indonesia yang bermutu dan
berdaya saing internasional agar dapat menjamin terjadinya peningkatan
aksesibilitas sumber daya manusia Indonesia ke pasar kerja nasional dan
internasional;
 Meningkatnya kontribusi capaian pembelajaran yang diperoleh melalui
pendidikan formal, nonformal, dan informal atau pengalaman kerja dalam
pertumbuhan ekonomi nasional;
 Meningkatnya mobilitas akademik untuk meningkatkan saling pengertian,
solidaritas, dan kerja sama pendidikan tinggi antar-negara di dunia;
 Meningkatnya pengakuan negara-negara lain, baik secara bilateral, regional,
maupun internasional kepada Indonesia tanpa meninggalkan ciri dan
kepribadian bangsa Indonesia.
Secara umum KKNI diharapkan dapat melahirkan suatu sistem
penyetaraan kualifikasi ketenagakerjaan di Indonesia dan memiliki sifat-sifat
sebagai berikut (Kemenristekdikti, 2015).
 KKNI harus secara komprehensif dan berkeadilan dapat menampung
kebutuhan semua pihak yang terkait dengan ketenagakerjaan serta memperoleh
kepercayaan masyarakat luas
 KKNI diharapkan memiliki jumlah jenjang dan deskripsi kualifikasi yang jelas
dan terukur serta secara transparan dapat dipahami oleh pihak penghasil dan
pengguna tenaga kerja baik di tingkat nasional, regional maupun internasional
 KKNI yang akan dikembangkan harus bersifat lentur (flexible) sehingga dapat
mengantisipasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kebutuhan

10
keilmuan, keahian dan keterampilan di tempat kerja serta selalu dapat
diperbaharui secara berkelanjutan. Sifat lentur yang dimiliki KKNI harus dapat
pula memberikan peluang seluas-luasnya bagi seseorang untuk mencapai
jenjang kualifikasi yang sesuai melalui berbagai jalur pendidikan, pelatihan
atau pengalaman kerja termasuk perpindahan dari satu jalur kejalur yang lain.
 KKNI hendaknya menjadi salah satu pendorong program-program peningkatan
mutu baik dari pihak penghasil maupun pengguna tenaga kerja sehingga
kesadaran terhadap peningkatan mutu sumber daya manusia dapat diwujudkan
secara nasional.
 KKNI harus mencakup pengembangan sistem penjaminan mutu yang memiliki
fungsi pemantauan (monitoring) dan pengkajian (assessment) terhadap badan
atau lembaga yang terkait dengan proses-proses penyetaraan capaian
pembelajaran dengan jenjang kualifikasi yang sesuai.
 KKNI harus secara akuntable dapat memberikan peluang pergerakan tenaga
kerja dari Indonesia ke negara lain atau sebaliknya.
 KKNI harus dapat menjadi panduan bagi para pencari kerja yang baru maupun
para pekerja lama dalam upaya meningkatkan taraf hidup atau karir ditempat
kerja masing-masing.
 KKNI diharapkan dapat meningkatkan integrasi dan koordinasi badan atau
lembaga penjaminan atau peningkatan mutu yang telah ada, seperti misalnya
BSNP, BAN, BNSP, LSP dan lain-lain.
 Indonesia menganut unified system atau sistem terpadu dimana capaian
pembelajaran untuk jenis pendidikan akademik, vokasi maupun profesi
dianggap sama untuk jenjang kualifikasi yang sama.
4. Parameter Tercapainya KKNI
Secara konseptual, setiap jenjang kualifikasi dalam KKNI disusun oleh
enam parameter utama yaitu (a) Ilmu pengetahuan (science), (b) pengetahuan
(knowledge), (c) pengetahuan praktis (know-how), (d) keterampilan (skill), (e)
afeksi (affection) dan (f) kompetensi (competency). Keenam parameter yang
terkandung dalam masing-masing jenjang disusun dalam bentuk deskripsi yang
disebut Deskriptor Kualifikasi. Dengan demikian ke-9 jenjang kualifikasi dalam
KKNI memuat deskriptor-deskriptor yang menjelaskan kemampuan di bidang

11
kerja, lingkup kerja berdasarkan pengetahuan yang dikuasai dan kemampuan
manajerial dan dinyatakan sebagai capaian pembelajaran (Kemenristekdikti,
2015).
Capaian Pembelajaran (learning outcomes) merupakan internasilisasi dan
akumulasi ilmu pengetahuan, pengetahuan, ketrampilan, afeksi, dan kompetensi
yang dicapai melalui proses pendidikan yang terstruktur dan mencakup suatu
bidang ilmu/keahlian tertentu atau melalui pengalaman kerja. Rumusan capaian
pembelajaran dalam Standar Kompetensi Lulusan dinyatakan kedalam tiga unsur,
yakni sikap, pengetahuan, dan ketrampilan yang terbagi dalam keterampilan
umum dan khusus, yang disesuaikan untuk lulusan perguruan tinggi. Masing-
masing unsur capaian pembelajaran diartikan sebagai berikut (Kemenristekdikti,
2015).
1. Sikap merupakan perilaku benar dan berbudaya sebagai hasil dari internalisasi
dan aktualisasi nilai dan norma yang tercermin dalam kehidupan spiritual dan
sosial melalui proses pembelajaran, pengalaman kerja mahasiswa, penelitian,
dan/atau pengabdian kepada masyarakat yang terkait pembelajaran.
2. Pengetahuan merupakan penguasaan konsep, teori, metode, dan/atau falsafah
bidang ilmu tertentu secara sistematis yang diperoleh melalui penalaran dalam
proses pembelajaran, pengalaman kerja mahasiswa, penelitian, dan/atau
pengabdian kepada masyarakat yang terkait pembelajaran.Yang dimaksud
dengan pengalaman kerja mahasiswa adalah pengalaman dalam kegiatan di
bidang tertentu pada jangka waktu tertentu yang berbentuk pelatihan kerja,
kerja praktik, praktik kerja lapangan atau bentuk kegiatan lain yang sejenis.
3. Keterampilan merupakan kemampuan melakukan unjuk kerja dengan
menggunakan konsep, teori, metode, bahan, dan/atau instrumen, yang
diperoleh melalui pembelajaran, pengalaman kerja mahasiswa, penelitian
dan/atau pengabdian kepada masyarakat yang terkait pembelajaran. Unsur
ketrampilan dibagi menjadi dua yakni keterampilan umum dan keterampilan
khusus yang diartikan sebagai berikut.
 Keterampilan umum merupakan kemampuan kerja umum yang wajib dimiliki
oleh setiap lulusan dalam rangka menjamin kesetaraan kemampuan lulusan
sesuai tingkat program dan jenis pendidikan tinggi; dan

12
 Keterampilan khusus merupakan kemampuan kerja khusus yang wajib
dimiliki oleh setiap lulusan sesuai dengan bidang keilmuan program studi.
 Keterampilan khusus dan pengetahuan yang merupakan rumusan kemampuan
minimal lulusan suatu program studi bidang tertentu, wajib disusun oleh
forum program studi yang sejenis atau diinisiasi dan diusulkan oleh
penyelenggara program studi.
Kata kunci tingkat kemampuan kerja yang berhubungan dengan aspek
parameter capaian dalam deskripsi KKNI dirumuskan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kata kunci tingkat kemampuan kerja dalam deskripsi KKNI
Level
Kata Kunci Tingkat Kemampuan Kerja Program
Kualifikasi
9 Melakukan pendalaman dan perluasan IPTEKS, Doktor
riset multi-transdisiplin
8 Mengembangkan IPTEKS melalui riset inter/multi Magister
disiplin, inovasi, teruji
7 Mengelola sumber daya, menerapkan, minimal Profesi
setara standar profesi, mengevaluasi,
pengembangan strategi organisasi.
6 Megaplikasikan, mengkaji, membuat desain, Sarjana
memanfaatkan IPTEKS, menyelesaikan masalah.
5 Menyelesaikan pekerjaan berlingkup luas, Diploma 3
memilih berbagai metode
4 Menyelesaikan tugas berlingkup luas dan kasus Diploma 2
spesifik, memilih metode baku
3 Melaksanakan serangkaian tugas spesifik Diploma 1
(Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014)

Proses peningkatan mutu pembelajaran di perguruan tinggi telah dilakukan


dengan cara diadakannya workshop. Workshop ini dimaksudkan untuk
peningkatan mutu pembelajaran pendidikan tinggi yang bermuara pada
peningkatan mutu lulusan. dan terwujudnya forum komunikasi antar program
studi dan saling berbagi pengalaman dibidang penyusunan kurikulum, serta
sebagai upaya memotret permasalahan yang menghambat implementasi
kurikulum KKNI dan SN Dikti di perguruan tinggi. Workshop yang dipandu oleh
Tim Pengembang Kurikulum Pendidikan Tinggi Ditjen Belmawa ini menjadi
sangat penting untuk dilaksanakan karena output yang dihasilkan dari workshop
ini selain akan menjadi rekomendasi kebijakan pimpinan, akan dipergunakan
sebagai referensi dan bahan analisis dalam penyusunan kurikulum setiap program

13
studi di perguruan tinggi masing (Direktorat Jenderal Pembelajaran dan
Kemahasiswaan, 2016).
Berdasarkan pengamatan selama workshop ini dapat disimpulkan bahwa
pemahaman peserta tentang penyusunan kurikulum pendidikan tinggi berorientasi
KKNI masih belum merata, penyusunan Rencana Pembelajaran Semester (RPS)
yang mengacu SN Dikti masih bertaraf mencoba dan hanya sesuai format tetapi
belum ada esensi pembelajarannya (Direktorat Jenderal Pembelajaran dan
Kemahasiswaan, 2016).
5. Capaian Pembelajaran sebagai Bahan Utama Penyusunan K-DIKTI

Akuntabilitas penyusunan K-DIKTI dapat dipertanggung jawabkan


dengan adanya KKNI sebagai tolak ukur dalam penyususnan Capaian
Pembelajaran (CP). Secara khusus kewajiban menyusun CP yang mengandung
tolak ukur jenjang KKNI dinyatakan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2013 tentang Penerapan
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi pada pasal 10
ayat 4 yakni: setiap program studi wajib menyusun deskripsi capaian
pembelajaran minimal mengacu pada KKNI bidang pendidikan tinggi sesuai
dengan jenjang.
Capaian pembelajaran dapat dipandang sebagai resultan dari hasil dari
keseluruhan proses belajar yang telah ditempuh oleh seorang
pembelajar/mahasiswa selama menempuh studinya pada satu program studi
tertentu. Unsur capaian pembelajaran mencakup: sikap dan tata nilai, kemampuan,
pengetahuan, dan tanggung jawab/ hak. Seluruh unsur tersebut saling
berhubungan dan membentuk relasi sebab akibat. Sehingga unsur CP dinyatakan
sebagai: siapapun orang Indonesia dalam perspektif sebgaia SDM, pertama-tama
harus memiliki sikap dan tata nilai keIndonesian, padanya harus dilengkapi
dengan kemampuan yang tepat dan menguasai/didukung oleh pengetahuan
yang sesuai, maka berlaku tanggung jawab sebelum dapat menuntu/mendapat
hak-nya. Kesatuan CP digambarkan seperti gambar 2.2.

14
Gambar 2. Kesatuan Capaian Pembelajaran
Sesuai KKNI
Apabila unsur- unsur pada CP dijadikan bahan utama dalam penyussunan
kurikulum program studi, maka lulusannya akan dapat mengkonstruksi dirinya
menjadi pribadi yang utuh dan unggul dengan karakter yang kuat dan bersih.
D. Standar Pendidikan Tinggi
Standar Pendidikan tinggi terdiri atas standar nasional pendidikan tinggi
yang ditetapkan oleh Menteri dan standar nasional pendidikan tinggi yang
ditetapkan oleh perguruan tinggi sesuai dengan Pasal 54 UU Nomor 12 Tahun
2012. Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang ditetapkan oleh Menteri atas usul
suatu badan yang bertugas menyusun dan mengembangkan Standar Nasional
Pendidikan Tinggi. Sedangkan Standar Pendidikan Tinggi yang ditetapkan oleh
setiap Perguruan Tinggi dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan
Tinggi yang dikembangkan dengan memperhatikan kebebasan akademik,
kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan untuk mencapai tujuan
Pendidikan Tinggi (Tim Pengembang SPMI, 2017).
Perumusan standar pendidikan tinggi dirumuskan berdasarkan
pembelajaran yang dilaksanakan secara terstruktur, terjadwal, dan terpantau
pelaksanaannya serta melakukan evaluasi pada mahasiswa dengan menggunakan
kriteria, peraturan, dan prosedur yang telah diumumkan dan dilaksanakan secara
konsisten. Dalam menetapkan setiap standar, perguruan tinggi hendaknya
mempertimbangkan beberapa hal berikut (Tim Pengembang SPMI, 2017).
a. Menjadikan peraturan perundang-undangan (mulai dari UU, PP, Peraturan
Menteri) dan peraturan internal sebagai rambu-rambu yang harus ditaati.
b. Mempelajari dan menginternalisasi SN-Dikti sebagai kriteria minimal.

15
c. Menjadikan Visi, Misi, dan Tujuan institusi sebagai acuan dan sumber
inspirasi.
d. Memperhatikan masukan dan saran dari pemangku kepentingan eksternal PT
yaitu pengguna lulusan, asosiasi profesi, alumni, orang tua / wali mahasiswa,
dan masyarakat luas, sebagai bahan pertimbangan.
e. Melibatkan pemangku kepentingan internal PT seperti dosen, tenaga
kependidikan, dan mahasiswa.
f. Menggunakan berbagai standar dalam SPMI (sebagai rujukan) dari PT
terkemuka, lembaga akreditasi PT yang kredibel, atau asosiasi beberapa PT,
baik dari dalam maupun luar negeri, dan publikasi tentang SPM Dikti yang
diterbitkan oleh Kemristekdikti– RI.
Dalam SN-DIKTI salah satu yang terkait dengan pengertian termuat dalam
salah satu standar yakni “standar kompetensi lulusan” yang tertera pada pasal 5
ayat (1) yang dituliskan sebagai berikut : “Standar Kompetensi Lulusan
merupakan kriteria minimal tentang kualifikasi kemampuan lulusan yang
mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan, yang dinyatakan dalam
rumusan capaian pembelajaran lulusan”. Dimana sikap diartikan sebagai
perilaku benar dan berbudaya sebagai hasil dari internalisasi nilai dan norma yang
tercermin dalam kehidupan spiritual, personal, maupun sosial melalui proses
pembelajaran, pengalaman kerja mahasiswa, penelitian dan/atau pengabdian
kepada masyarakat yang terkait pembelajaran. Pengetahuan merupakan
penguasaan konsep, teori, metode, dan/atau falsafah bidang ilmu tertentu secara
sistematis yang diperoleh melalui penalaran dalam proses pembelajaran,
pengalaman kerja mahasiswa, penelitian dan/atau pengabdian kepada masyarakat
yang terkait pembelajaran. Sedang kan Ketrampilan merupakan kemampuan
melakukan unjuk kerja dengan menggunakan konsep, teori, metode, bahan,
dan/atau instrumen, yang diperoleh melalui pembelajaran, pengalaman kerja
mahasiswa, penelitian dan/atau pengabdian kepada masyarakat yang terkait
pembelajaran. Dalam SN Dikti, unsur ketrampilan dibagi menjadi dua yakni
ketrampilan umum dan ketrampilan khusus.

16
a) Ketrampilan umum sebagai kemampuan kerja umum yang wajib dimiliki oleh
setiap lulusan dalam rangka menjamin kesetaraan kemampuan lulusan sesuai
tingkat program dan jenis pendidikan tinggi; dan
b) Keterampilan-khusus sebagai kemampuan kerja khusus yang wajib dimiliki
oleh setiap lulusan sesuai dengan bidang keilmuan program studi.

Gambar 3. Penetapan Capaian Pembelajaran

Menurut Permendikbud No. 49 Tahun 2014 pasal 15 ayat 1 menyatakan


bahwa beban belajar mahasiswa sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat 2
huruf d, dinyatakan dalam besaran satuan kredit semester (sks). Selain itu untuk
menetapkan besaran sks sebuah mata kuliah, terdapat beberapa prinsip yang harus
diikuti. Menurut Betts & Smith (2005) dalam buku Developing the Creditbased
Modular Curriculum in Higher Education, salah satu dasar pertimbangan
penyusunan kurikulum dengan sistem kredit adalah beban kerja yang diperlukan
mahasiwa dalam proses pembelajarannya untuk mencapai kompetensi hasil
pembelajaran yang telah ditetapkan. Dasar pemikiran penetapan satuan kredit ini
adalah equal credit for equal work philosophy.
Oleh sebab itu diperlukan perhitungan terhadap beban mata kuliah yang
akan dipelajari. Beban mata kuliah ini sangat ditentukan oleh keluasan,
kedalaman, dan kerincian bahan kajian yang diperlukan untuk mencapai suatu
kompetensi, serta tingkat penguasaan yang ditetapkan. Setelah mendapatkan
beban/alokasi waktu untuk sebuah mata kuliah, maka dapat dihitung satuan kredit
persemesternya dengan cara memperbandingkan secara proporsional beban mata
kuliah terhadap beban total untuk mencapai sks total yang program pendidikan
yang ditetapkan oleh pemerintah (misalnya untuk program S1 dan DIV minimal
beban sks sebesar 144 sks).

17
Dalam paradigma pengembangan kurikulum ini, besarnya sks sebuah mata
kuliah atau suatu pengalaman belajar yang direncanakan, dilakukan dengan
menganalisis secara simultan beberapa variabel, yaitu (a) tingkat kemampuan
yang ingin dicapai; (b) tingkat keluasan dan kedalaman bahan kajian yang
dipelajari ; (c) cara/strategi pembelajaran yang akan diterapkan; (d) posisi/letak
semester suatu mata kuliah atau suatu kegiatan pembelajaran dilakukan; dan (e)
perbandingan terhadap keseluruhan beban studi di satu semester yang
menunjukkan peran/ besarnya sumbangan suatu mata kuliah dalam mencapai
kompetensi lulusan. Secara prinsip pengertian sks harharus dipahami sebagai
waktu yang dibutuhkan oleh mahasiswa untuk mencapai kompetensi tertentu,
dengan melalui bentuk pembelajaran dan bahan kajian tertentu. Sementara itu,
makna sks telah dirumuskan dalam Permendikbud No. 49 Tahun 2014 pasal 16,
yang menyebutkan bahwa 1 sks :
 Untuk perkuliahan, responsi dan tutorial di kelas bermakna 50 menit
pembelajaran tatap muka di kelas, 50 menit tugas mandiri dan 1 jam tugas
terstruktur setiap minggunya;
 Untuk pembelajaran seminar atau bentuk pembelajaran lain yang sejenis,
mencakup bermakna 100 menit tugas di ruang tutorial atau praktek dan 1
jam tugas mandiri setiap minggunya;
 Untuk bentuk pembelajaran praktikum, praktik studio, praktik bengkel,
praktik lapangan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan/atau
bentuk pembelajaran lain yang setara, adalah 160 (seratus enam puluh)
menit per minggu per semester.
Berdasarkan pengertian di atas maka bentuk pembelajaran yang akan
dirancang harus memperhitungkan makna sks di setiap mata kuliah yang ada.
Pada Permendikbud No. 49 Tahun 2014 pasal 15 ayat 3 juga ditekankan bahwa
setiap mata kuliah paling sedikit memiliki bobot 1 sks. Selain itu pada ayat 4
disebutkan bahwa semester merupakan satuan waktu kegiatan pembelajaran
efektif selama 16 minggu. Proses peneta pan sks yang akan disajikan dalam
struktur kurikulum perlu mempertimbangkan kekuatan lama belajar mahasiswa.
Permendikbud No. 49 Tahun 2014 pasal 17 ayat 1 menyatakan bahwa ”Beban
normal belajar mahasiswa adalah 8 (delapan) jam per hari atau 48 (empat puluh

18
delapan) jam per minggu setara dengan 18 (delapan belas) sks per semester,
sampai dengan 9 (sembilan) jam per hari atau 54 (lima puluh empat) jam per
minggu setara dengan 20 (dua puluh) sks per semester”. Sehingga struktur
kurikulum program studi tidak diperkenankan untuk memberikan beban melebihi
20 sks pada mahasiswa yang berkemampuan biasa.
Untuk menyelesaikan pendidikannya sesuai dengan standar kualifikasi
jenis dan jenjang pendidikan tertentu, pada Permendikbud No. 49 Tahun 2014
pasal 17
ayat 2 dinyatakan bahwa:
(1) Untuk memenuhi capaian pembelajaran lulusan program sebagaimana
dimaksud dalam pasal 5, mahasiswa wajib menempuh beban belajar paling
sedikit:
a. 36 sks untuk program diploma satu;
b. 72 sks untuk program diploma dua;
c. 108 sks untuk program diploma tiga;
d. 144 sks untuk program diploma empat dan program sarjana;
e. 36 sks untuk program profesi;
f. 72 sks untuk program magister, magister terapan, dan spesialis
satu; dan
g. 72 sks untuk program doktor, doktor terapan, dan spesialis dua.
Sementara itu, dalam hal masa studi untuk dapat menyelesaikan sekolah di
sebuah program pendidikan tertentu, termasuk memberikan penghargaan pada
mahasiswa yang berprestasi, Permendikbud No. 49 Tahun 2014 pasal 17 ayat 3 –
5 mengatur sebagai berikut:
(2) Masa studi terpakai bagi mahasiswa dengan beban belajar sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) sebagai berikut:
a. 1 (satu) sampai 2 (dua) tahun untuk program diploma satu;
b. 2 (dua) sampai 3 (tiga) tahun untuk program diploma dua;
c. 3 (tiga) sampai 4 (empat) tahun untuk program diploma tiga;
d. 4 (empat) sampai 5 (lima) tahun untuk program diploma empat dan
program sarjana;

19
e. 1 (satu) sampai 2 (dua) tahun untuk program profesi setelah menyelesaikan
program sarjana atau diploma empat;
f. 1,5 (satu koma lima) sampai 4 (empat) tahun untuk program magister, program
magister terapan, dan program spesialis satu setelah menyelesaikan program
sarjana atau diploma empat; dan
g. paling sedikit 3 (tiga) tahun untuk program doktor, program doktor terapan, dan
program spesialis dua.
(3) Beban belajar mahasiswa berprestasi akademik tinggi setelah dua semester
tahun pertama dapat ditambah hingga 64 (enam puluh empat) jam per minggu
setara dengan 24 (dua puluh empat) sks per semester.
(4) Mahasiswa yang memiliki prestasi akademik tinggi dan berpotensi
menghasilkan penelitian yang sangat inovatif sebagaimana ditetapkan senat
perguruan tinggi dapat mengikuti program doktor bersamaan dengan
penyelesaian program magister paling sedikit setelah menempuh program
magister 1 (satu) tahun.
Kesemua aturan di Permendikbud No. 49 Tahun 2014 pasal 15 – 17
tersebut harus dirujuk dan digunakan sebagai pedoman dalam penyusunan
kurikulum di program studi. Sistem penilaian dalam K-DIKTI menggunakan
standar penilaian pembela jaran yang dalam Permendikbud Nomor 49 Tahun 2014
pasal 18 ayat 1 diartikan sebagai kriteria minimal tentang penilaian proses dan
hasil belajar mahasiswa dalam rangka pemenuhan capaian pembelajaran lulusan.
Penilaian proses dan hasil belajar mahasiswa mencakup:
a. prinsip penilaian;
b. teknik dan instrumen penilaian;
c. mekanisme dan prosedur penilaian;
d. pelaksanaan penilaian;
e. pelaporan penilaian; dan
f. kelulusan mahasiswa.

20
Prinsip penilaian mencakup prinsip edukatif, otentik, objektif, akuntabel,
dan transparan yang dilakukan secara terintegrasi.

Beberapa permasalahan sering muncul dalam proses penilaian dalam


pembelajaran,
antara lain:
1) Pemberian angka pada hasil belajar mahasiswa apakah termasuk
penilaian? Banyak di antara dosen yang terjebak hanya memberikan angka
pada proses penilaiannya. Padahal esensi dari penilaian adalah
memberikan umpan balik pada kinerja kemampuan yang ditunjukkan
mahasiswa agar dapat mengarah pada ketercapaian capaian pembelajaran
sehingga pemberian angka bukan lah tujuan akhir dari penilaian, tetapi
merupakan bagian dari penilaian hasil belajar.
2) Jenis kemampuan apa yang dinilai dari mahasiswa? Dosen sering
mengalami kesulitan dalam menilai kemampuan mahasiswa maupun
dalam membe dakan kemampuan akhir yang akan dinilainya. Sebagai
contoh, pada saat dosen hendak menilai kognitif, sering dipengaruhi oleh
kemampuan afeksi mahasiswa seperti sikap dan penampilan mahasiswa.
3) Apakah teknik penilaian yang dilakukan dosen sudah tepat sesuai kemam
puan mahasiswa secara nyata dan benar? Dosen juga sering mengalami
kesulitan dalam menentukan metode penilaian yang tepat untuk menilai
kemampuan tertentu. Misalnya, pada saat dosen menilai psikomotor,
masih ada dosen yang melakukannya dengan ujian tulis, padahal
seharusnya dinilai melalui unjuk kerja.

21
4) Apakah sama cara penilaian untuk : paper/karangan, syair, matematika,
maket, patung, ujian tulis/uraian?.
5) Apakah tes dan ujian tulis merupakan satu-satunya cara yang tepat untuk
melihat kemampuan mahasiswa? Masih banyak diantara dosen yang selalu
menggunakan ujian tulis mulai dari awal penilaian sampai ujian akhir.

22
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan kajian pustaka di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) merupakan kurikulum yang berisi
sejumlah kompetensi yang dibutuhkan dan perlu dikuasai oleh pembelajar
untuk menjalani kehidupan mereka, baik untuk mendapatkan pekerjaan,
bekerja, melanjutkan studi, maupun belajar sepanjang hayat.
2. Hakikat KKNI diposisikan sebagai penyetara capaian pembelajaran yang
diperoleh melalui pendidikan formal, informal, dan nonformal dengan
kompetensi kerja yang dicapai melalui pelatihan. Peraturan Presiden (Perpres)
No. 8 Tahun 2012 tentang KKNI telah membuat KKNI menjadi rujukan dalam
penyetaraan capaian pembelajaran berbagai sektor yang ada di Indonesia.
Setiap jenjang kualifikasi dalam KKNI disusun oleh enam parameter utama
yaitu (a) Ilmu pengetahuan (science), (b) pengetahuan (knowledge), (c)
pengetahuan praktis (know-how), (d) keterampilan (skill), (e) afeksi (affection)
dan (f) kompetensi (competency).
3. K-DIKTI sebagai bentuk pengembangan dari KBK menggunakan level
kualifikasi KKNI sebagai pengukur CP dan capaian pembelajaran dalam
Standar Kompetensi Lulusan dinyatakan kedalam tiga unsur, yakni sikap,
pengetahuan, dan ketrampilan
4. Standar Pendidikan tinggi terdiri atas standar nasional pendidikan tinggi yang
ditetapkan oleh Menteri dan standar nasional pendidikan tinggi yang ditetapkan
oleh perguruan tinggi.

B. Saran
Berdasarkan isi dari makalah, penulis mengharapkan kesetaraan
pelaksanaan pendidikan di Indonesia berdasarkan Kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia (KKNI) agar dapat terbentuk lulusan dari perguruan tinggi yang
memiliki mutu yang baik dalam aspek sikap, pengetahuan, keterampilan khusus,
dan keterampilan umum.

23
DAFTAR RUJUKAN

Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan. 2016. Ditjen Belmawa


Kemenristekdikti Dorong Terwujudnya Penerapan Kurikulum Pendidikan
Tinggi (KPT) Berbasis SN DIKTI dan KKNI di Seluruh Perguruan Tinggi.
(online), (http://belmawa.ristekdikti.go.id/event/ditjen-belmawa-
kemenristekdikti-dorong-terwujudnya-penerapan-kurikulum-pendidikan-
tinggi-kpt-berbasis-sn-dikti-dan-kkni-di-seluruh-perguruan-tinggi/), diakses
pada 02 September 2018.
Jhoni, M. 2017. Studi Ketercapaian KKNI Guru Fisika dan Refleksinya dalam
Pembelajaran Berbasis Creative Skill. Jurnal Pendidikan Matematika dan
Sains. V (1): 36-49.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2014. Panduan Penyusunan (Capaian
Pembelajaran Lulusan Program Studi), (online),
(http://belmawa.ristekdikti.go.id/dev/wp-content/uploads/2015/11/6A-
Panduan-Penyusunan-CP.pdf), diakses pada 02 September 2018.
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. 2015.
KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia), (online), (http://kkni-
kemenristekdikti.org/pengembangan_pt), diakses pada 02 September 2018.
Maba, W. 2016. Kurikulum Sarjana Berbasis KKNI Mengubah Mintset
Pengajaran menjadi Pembelajaran. Jurnal Bakti Saraswati. 5 (1): 85-87.
M. Rifai. 2012. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KOnsep Dasar dan
Implementasi). Jurnal Pendidikan Dasar dan Pembelajaran. 2 (1): 38-51
Napitupulu, E.L. 2013. KKNI jadi Acuan Pendidikan. (Online),
(https://edukasi.kompas.com/read/2013/04/02/1917141/KKNI.Jadi.Acuan.P
endidikan), diakses 10 September 2018.
Tim Pengembang SPMI. 2017. Penetapan Standar Pendidikan Tinggi (Standar
Dikti) oleh Perguruan Tinggi. Jakarta: Kementerian Riset, Teknologi, Dan
Pendidikan Tinggi.
Tim Penyusun KPT.2014. Buku Kurikulum Pendidikan Tinggi. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud.

24

Anda mungkin juga menyukai