Anda di halaman 1dari 10

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Produktifitas

Produktivitas kerja. Menurut Sedarmayanti (2001 : 57) produktivitas kerja


adalah perbandingan antara hasil yang di capai (output) dengan keseluruhan sumber
daya yang di gunakan (input). Menurut Sinungan (2003 : 17) menyatakan bahwa
Produktivitas adalah suatu pendekatan interdisipliner untuk menentukan tujuan yang
efektif, pembuatan rencana, aplikasi penggunaan cara yang produktifitas untuk
menggunakan sumber-sumber secara efisien,dan tetap menjaga adanya kualitas yang
tinggi. Adapun menurut Sutrisno (2009 : 105) produktivitas secara umum diartikan
sebagai hubungan antara keluaran (barang – barang atau jasa) dengan masukan (tanaga
kerja, bahan, uang). Masukan sering dibatasi dengan tenaga kerja, sedangkan kuluaran
diukur dalam kesatuan fisik, bentuk dan nilai.

Penjelasan tersebut mengutarakan produktivitas total atau secara keseluruhan,


artinya keluaran yang dihasilkan diperoleh dari keseluruhan masukan yang ada dalam
organisasi. Masukan (Input) tersebut lazim dinamakan faktor produksi, masukan atau
faktor produksi dapat berupa Sikap kerja, Tingkat ketrampilan, Hubungan antar tenaga
kerja, Manajemen produktifitas, Efisiensi tenga kerja, Manajemen produktifitas, dan
Kewiraswataan (Sedarmayanti, 2001:77).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produktivitas kerja. Dalam analisis


manajemen sumber daya manusia produktivitas karyawan merupakan variabel
tergantung atau dipengaruhi banyak yang ditentukan oleh banyak faktor (Sedarmayanti,
2001:57). Bahwa produktivitas sangat dipengaruhi oleh faktorfaktor sebagai berikut:

1. Sikap kerja
2. Tingkat ketrampilan
3. Hubungan antara tenaga kerja dan pimpinan organisasi
4. Manajemen produktifitas 5. Efisiensi tenaga kerja
6. Kewiraswastaan.
Sikap Kerja. Sikap kerja merupakan kesediaan untuk bekerja bergiliran, dapat
menerima tambahan tugas, bekerja dalam suatu tim. (Sedarmayanti, 2001 : 71). Kata
sikap berasal dari bahasa Latin Aptus, yang berarti “kecocokan” atau “kesesuaian”.
Sikap sebagai salah satu variabel dari faktor psikologis yang mempengaruhi perilaku
konsumen memiliki keterkaitan yang kuat. Perilaku dapat memperkuat atau
memperlemah sikap, sedangkan sikap sendiri dapat digunakan sebagai alat untuk
memprediksi kecenderungan konsumen dalam memutuskan pilihan produk/jasa.
(Sunarto, 2003:160).

Sedangkan Robbins (1991:20) mendefinisikan Sikap kerja adalah respon


evaluatif yang di tunjukan oleh seseorang terhadap objek dengan tingkatan sikap yang
positif , negatif atau netral. Sikap menempatkan semua itu dalam sebuah kerangka
pemikiran yang menyukai atau tidak menyukai suatu obyek, bergerak mendekati atau
menjahui obyek tersebut. Sikap menghemat tenaga dan pikiran oleh karena itu sikap
tidak mudah berubah, sikap seorang membentuk pola yang konsisiten. Jadi sebuah
perusahaan sebaiknya menyesuaikan produknya dengan sikap kerja yang telah ada dari
pada berusaha untuk mengubah sikap orang tentu saja terdapat beberapa pengecualian
dimana biaya besar yang di gunakan untuk mengubah sikap orang-orang akan
memberikan hasil

Tingkat ketrampilan. Tingkat ketrampilan ditentukan oleh pendidikan formal


dan informal, adanya pelatihan dalam manajemen dan supervise dan ketrampilan dalam
teknik industri. Karyawan yang mempunyai pendidikan dan mempunyai pelatihan
tentu akan berpotensi untuk meningkatkan produktifitas kerja,(Sedarmayanti 2001 :
71). Pada aspek tertentu apabila pegawai semakin terampil maka akan lebih mampu
menggunakan fasilitsas kerja dengan baik. Pegawai akan menjadi lebih terampil
apabila mempunyai kecakapan (ability) dan pengalaman (experience)

Hubungan antara tenaga kerja dan pimpinan organisasi. Hubungan antara


tenaga kerja dan pimpinan organisasi yang tercermin dalam usaha bersama antara
pimpinan organisasi dan tenaga kerja untuk meningkatkan produktifitas melalui
lingkaran pengawasan mutu dan penilaian mengenai kerja unggul, (Sedarmayanti,
2001 : 71).
Hubungan antara atasan dan bawahan akan mempengaruhi kegiatan yang
dilakukan sehari-hari. Bagaimana pandangan atasan terhadap bawahan, sejauh mana
bawahan diikutsertakan dalam penentuan tujuan. Hubungan antara atasan dan bawahan
selalu melibatkan upaya seseorang (pemimpin) untuk mempengaruhi perilaku
seseorang pengikut dalam suatu situasi dalam suatu perusahaan guna meningkatkan
produktifitas kerja (Manullang, 2001:141).

Efisiensi tenaga kerja. Efesiensi tenaga kerja yaitu perencanaan tenaga kerja
dan tambahan tugas. (Sedarmayanti, 2001 : 71) Sedangkan Sarwoto (2003:129)
efisiensi tenaga kerja pada dasarnya adalah perwujudan dari dari pada cara-cara kerja.
Tapi dalam keseluruhanya hasil suatu kerja juga di tentukan oleh manusianya sebagai
pelaksanaan kerja dan lingkungan dimana manusia itu bekerja dan tenaga kerja sangat
penting bagi perusahaan dalam mengelola, mengatur, dan memanfaatkan pegawai
sehingga dapat berfungsi secara produktif untuk tercapainya tujuan perusahaan yaitu
tercapainya produktifitas kerja

Kewiraswastaan. Kewiraswastaan tercermin dala pengambilan resiko,


kreatifitas dalam berusaha dan berada di jalur yang benar dalam berusaha.
(Sedarmayanti, 2001 : 71). pada dasarnya seorang karyawan yang kreatif dalam dunia
kerja tentu akan mendorong peningkatan proses produksi sehingga tercapainya
produktifitas kerja yang di inginkan oleh perusahaan. Perkembangan dunia usaha
merupakan perwujudan dan dari segi penguasaan aset ekonomi terlihat adanya
sejumlah kecil usaha besar menguasai sebagian besar aset ekonomi nasional

Manajemen produktifitas. Manajamen produktifitas adalah manajamen yang


efesien mengenai sumber dan sistem kerja untuk mencapai sumber dan sistem kerja
untuk mecapai produktifitas. Sedarmayanti (2001 : 71). Produktivitas karyawan
diantaranya dipengaruhi oleh adanya pemberian motivasi dengan memberikan
kompensasi (gaji), tunjangan kesejahteraan, dan penigkatan kualitas dan kemampuan
karyawan dengan memberikan pendidikan dan pelatihan kepada karyawan. Menurut
Moekijat (2001:23)

2.2 Hubungan Industrial


1. Pengertian Hubungan Industrial
Menurut Payaman J. Simanjuntak (2009), Hubungan industial adalah
Hubungan semua pihak yang terkait atau berkepentingan atas proses produksi barang atau
jasa di suatu perusahaan. Pihak yang berkepentingan dalam setiap perusahaan
(Stakeholders):

1. Pengusaha atau pemegang saham yang sehari-hari diwakili oleh pihak manajemen
2. Para pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh
3. Supplier atau perusahaan pemasok
4. Konsumen atau para pengguna produk/jasa
5. Perusahaan Pengguna
6. Masyarakat sekitar
7. Pemerintah.

Disamping para stakeholders tersebut, para pelaku hubungan industrial juga


melibatkan:

1. Para konsultan hubungan industrial dan/atau pengacara


2. Para Arbitrator, konsiliator, mediator, dan akademisi
3. Hakim-Hakim Pengadilan hubungan industrial
Abdul Khakim (2009) menjelaskan, istilah hubungan industrial
merupakan terjemahan dari "labour relation" atau hubungan perburuhan. Istilah ini pada
awalnya menganggap bahwa hubungan perburuhan hanya membahas masalah-masalah
hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha. Seiring dengan perkembangan dan
kenyataan yang terjadi di lapangan bahwa masalah hubungan kerja antara pekerja/buruh
dan pengusaha ternyata juga menyangkut aspek-aspek lain yang luas. Dengan demikian,
Abdul Khakim (2009) menyatakan hubungan perburuhan tidaklah terbatas hanya pada
hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha, tetapi perlu adanya campur tangan
pemerintah.

2. Prinsip-Prinsip Hubungan Industrial


Payaman J. Simanjuntak (2009) menjelaskan beberapa prinsip dari Hubungan
industrial, yaitu :

1. Kepentingan Bersama: Pengusaha, pekerja/buruh, masyarakat, dan pemerintah


2. Kemitraan yang saling menguntungan: Pekerja/buruh dan pengusaha sebagai
mitra yang saling tergantung dan membutuhkan
3. Hubungan fungsional dan pembagian tugas
4. Kekeluargaan
5. Penciptaan ketenangan berusaha dan ketentraman bekerja
6. Peningkatan produktivitas
7. Peningkatan kesejahteraan bersama
3. Sarana Pendukung Hubungan Industrial
Payaman J. Simanjuntak (2009) menyebutkan sarana-sarana
pendukung Hubungan industrial, sebagai berikut :

1. Serikat Pekerja/Buruh
2. Organisasi Pengusaha
3. Lembaga Kerjasama bipartit (LKS Bipartit)
4. Lembaga Kerjasama tripartit (LKS Tripartit
5. Peraturan Perusahaan
6. Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
7. Peraturan perundang-undangan ketenagakerjaaan
8. Lembaga penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial

2.3 UMR

1. Pengertian Upah Minimum

Dalam proses produksi dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya tanah, tenaga
kerja, modal, mesin dan organisasi atau manajemen. Produksi dilakukan pada
industri besar maupun kecil, selain itu juga produksi diluar sektor industri yang
menggunakan tenaga manusia dalam memproduksi barang dan jasa. Tenaga kerja
muncul karena adanya hubungan antara pemberi kerja dan orang lain yang
menawarkan tenaganya untuk dimanfaatkan dalam proses produksi.

Pekerja atau buruh menurut Undang-undang nomor 13 Tahun 2003 Tentang


Ketenaga kerjaan, pasal 1 ayat (3) Pekerja atau buruh adalah setiap orang yang
bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Dalam hubungan kerja dibangun secara kontraktual tertulis maupun tidak tertulis
mengenai berbagai hal, diantaranya mengenai jenis pekerjaan, jam kerja, hasil
pekerjaan, upah dan lain-lain, bagi industri yang sudah maju kontrak kerja
dituangkan dalam bentuk Perjanjian Kerja Bersama antara pihak atasan atau
Perusahaan dan Tenaga Kerja yang diwakili oleh Pengurus Serikat Pekerja di
perusahaan tersebut. Biasanya dalam pelaksanaan tidak selalu berjalan mulus dengan
apa yang diperjanjikan termasuk mengenai upah, maka tidak heran akan muncul
protes dan demonstrasi bahkan pemogokan kerja menuntut kenaikan upah.
Setelah tenaga kerja atau buruh memberikan tenaga secara maksimal dalam proses
memproduksi barang dan jasa yang diminta oleh majikan atau industri, maka hak
tenaga kerja adalah mendapatkan upah untuk mewujudkan
kesejahteraan hidup dirinya bersama keluarga, dalam kenyataan yang berlaku di
negara kita upah yang diberikan secara umum atau kebanyakan upah yang diterima
adalah ”Upah Minimum”. Upah Minimum adalah suatu standar

Minimum yang digunakan oleh para pengusaha atau pelaku industri untuk
memberikan upah kepada pekerja di dalam lingkungan usaha atau kerjanya.

Karena pemenuhan kebutuhan yang layak di setiap propinsi berbeda-beda, maka


disebut Upah Minimum Provinsi.

Peraturan menteri tenaga kerja Nomor 42/DPPN/1999 menjelaskan tentang


pertimbangan penetapan Upah Minimum:

a. Upah Minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok
termasuk tunjangan tetap.
b. Upah Minimum Regional adalah Tingkat I untuk selanjutnya disebut UMR TK I
adalah upaya yang berlaku di suatu Propinsi.
c. Upah Minimum Regional Tingkat II untuk selanjutnya UMR TK II adalah upah
mininimum yang berlaku di daerah Kabupaten/Kotamadya atau menurut wilayah
pembangunan ekonomi daerah atau kehususan wilayah tertentu.
d. Upah Minimum Sektoral Regional TK I untuk selanjutnya disebut UMSR TK II
adalah upah minimum yang berlaku secara sektoral di suatu propinsi.
e. Upah Minimum Sektoral TK II untuk selanjutnya disebut UNSR TK I adalah upah
minimum yang berlaku secara sektoral di daerah Kabupaten/Kotamadya
f. atau menurut wilayah pembangunan ekonomi daerah atau karena kekhususan
wilayahy tertentu.
g. Sektoral adalah kelompok lapangan usaha beserta pembagianya menurut
Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia (KLUI).

Apabila kita merujuk ke Pasal 94 Undang-Undang (UU) no.13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap, maka
besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75 % dari jumlah upah pokok dan tunjangan
tetap. Definisi tunjangan tetap disini adalah tunjangan yang pembayarannya
dilakukan secara teratur dan tidak dikaitkan dengan kehadiran atau pencapaian
prestasi kerja. Contohnya : tunjangan jabatan, tunjangan komunikasi, tunjangan
keluarga, tunjangan keahlian/profesi. Beda halnya dengan tunjangan makan dan
transportasi, tunjangan itu bersifat tidak tetap karena penghitungannya berdasarkan
kehadiran atau performa kerja. Beberapa dasar pertimbangan dari penetapan upah
minimum

1. Sebagai jaring pengaman agar nilai upah tidak melorot dibawah kebutuhan hidup
Minimum.
2. Sebagai wujud pelaksanaan Pancasila, UUD 45 dan GBHN secara nyata.

3. Agar hasil pembangunan tidak hanya dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat
yang memiliki kesempatan, tetapi perlu menjangkau sebagian terbesar
masyarakat berpenghasilan rendah dan keluarganya.
4. Sebagai satu upaya pemerataan pendapatan dan proses penumbuhan kelas
menengah.

5. Kepastian hukum bagi perlindungan atas Hak – Hak Dasar Buruh dan

keluarganya sebagai warga negara Indonesia.

2. Proses Penetapan Upah Minimum Regional (UMR)


Salah satu problem yang langsung menyentuh kaum buruh adalah rendahnya atau
tidak sesuainya pendapatan (Gaji atau Upah) yang diperoleh dengan tuntutan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya beserta tanggungannya. Faktor ini, yakni kebutuhan
hidup semakin meningkat, sementara gaji atau upah yang diterima relatif tetap,
menjadi salah satu pendorong gerak protes kaum buruh. Penetapan Upah Minimum
Regional (UMR) sendiri sebenarnya sangat bermasalah dilihat dari realitas
terbentuknya kesepakatan upah dari pihak pengusaha dan buruh. Dalam kondisi
normal dan dalam sudut pandang keadilan ekonomi, seharusnya nilai upah sebanding
dengan besarnya peran jasa buruh dalam mewujudkan hasil usaha dari perusahaan
yang bersangkutan. Penetapan

Upah Minimum Regional (UMR) dan Upah Minimum Daerah (UMD) di satu sisi
dimanfaatkan buruh-buruh ‘malas’ untuk memaksa pengusaha memberi gaji

maksimal, meski perannya dalam kerja perusahaan sangat sedikit (meskipun ini
sangat jarang terjadi). Di sisi lain UMR dan UMD kerap digunakan pengusaha untuk
menekan besaran gaji agar tidak terlalu tinggi, proses penetapan upah dilakukan oleh
dewan pengupahan mulai dari tingkat daerah sampai tingkat nasional.
Di bidang sumberdaya manusia masih banyak persahaan-perusahaan besar
khususnya yang menggaji karyawannya di bawah Upah Minimum Regional (UMR).
Buruh telah mengorbankan tenaga dan jam kerjanya yang sangat banyak dalam
proses produksi suatu perusahaan. Bila diteliti lebih jauh, penetapan UMR dan UMD
ternyata tidak serta merta menghilangkan problem gaji atau upah ini. Hal ini terjadi
setidaknya disebabkan oleh:

a. Pihak pekerja, yang mayoritasnya berkualitas SDM rendah berada dalam kuantitas
yang banyak sehingga nyaris tidak memiliki posisi tawar yang cukup dalam
menetapkan gaji yang diinginkan. Walhasil, besaran gaji hanya ditentukan oleh
pihak majikan, dan kaum buruh berada pada posisi ‘sulit menolak.
b. Pihak majikan sendiri sering merasa keberatan dengan batasan UMR. Hal ini
mengingat, meskipun pekerja tersebut bekerja sedikit dan mudah, pengusaha tetap
harus membayar sesuai batas tersebut.
c. Posisi tawar yang rendah dari para buruh semakin memprihatinkan dengan tidak
adanya pembinaan dan peningkatan kualitas buruh oleh pemerintah, baik terhadap
kualitas keterampilan maupun pengetahuan para buruh terhadap berbagai regulasi
perburuhan.
d. Kebutuhan hidup yang memang juga bervariasi dan semakin bertambah, tetap saja
tidak mampu dipenuhi dengan gaji sesuai UMR. Pangkal dari masalah ini adalah
karena gaji atau upah hanya satu-satunya sumber pemasukan dalam memenuhi
berbagai kebutuhan dasar kehidupan masyarakat.

3. Peran pemerintah dalam menentukan Upah Minimum Regional (UMR)

Besarnya Upah Minimum yang diberlakukan oleh Pemerintah untuk masingmasing


wilayah Kabupaten/Kota karena penetapan Upah Minimum tersebut disamping
dipublikasikan melalui media juga dikirimkan kepada para pengurus Serikat
Pekerja/Serikat Buruh. Tentunya pengurus Serikat Pekerja/Serikat Buruh akan
mensosialisasikan penetapan Upah Minimum tersebut kepada para anggotanya.

Masalah upah telah jelas diatur di dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan pada pasal 88 sampai dengan pasal 98. Pemerintah selaku
fasilitator menetapkan Upah Minimum berdasarkan rekomendasi dari Dewan
Pengupahan Kabupaten/Kota atau Bupati/Walikota. Upah Minimum diharapkan
mampu menjadi “jaring pengaman” terhadap pemberian upah kepada pekerja/buruh.
Dikatakan sebagai “jaring pengaman” karena Upah Minimum adalah upah terendah
yang harus dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh yang bergolongan paling
rendah dan yang mempunyai masa kerja kurang dari satu tahun. Dengan demikian bagi
pekerja/buruh yang mempunyai golongan dan masa kerja lebih dari satu tahun harus
menerima upah diatas Upah Minimum.

Pengertian Upah Minimum tersebut sering salah ditafsirkan oleh pengusaha dengan
penafsiran bahwa apabila pekerja/buruh sudah dibayar sesuai dengan Upah Minimum
maka pengusaha merasa sudah memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan dan
peraturan perundangundangan. Penafsiran tersebut keliru dan tidak sesuai dengan
harapan ditetapkannya Upah Minimum. Pemerintah menetapkan Upah Minimum
berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan
pertumbuhan ekonomi sesuai Pasal 88 ayat (4) mengandung makna bahwa dalam
penetapan Upah Minimum pemerintah tidak boleh mengabaikan masalah kemampuan
dan tingkat produktivitas serta tingkat pertumbuhan ekonomi.

Antara penetapan Upah Minimum Propinsi dan Upah Minimum Kabupaten/Kota


mempunyai kekurangan maupun kelebihan yaitu bahwa apabila Upah Minimum
Propinsi yang akan ditetapkan, maka terhadap pekerja/buruh yang domisilinya
berdekatan atau diperbatasan antar Kabupaten/Kota tidak akan terjadi kesenjangan.

Dimanapun pekerja/buruh dalam satu perusahaan akan diberlakukan Upah Minimum


yang sama. Namun disisi lain kelemahan apabila menggunakan Upah Minimum
Propinsi perlakuan antara perusahaan besar dengan perusahaan kecil baik yang berada
di kota besar maupun yang berada di daerah tidak ada perbedaannya. Disamping itu
pekerja/buruh di kota yang tingkat pemenuhan kebutuhannya sangat tinggi tidak ada
bedanya dengan pekerja/buruh di pelosok yang tingkat pemenuhan kebutuhannya lebih
kecil.

Anda mungkin juga menyukai