Anda di halaman 1dari 24

SKENARIO

WAJAHKU MEROT

Seorang perempuan berusia 31 tahun datang ke Puskesmas dengan keluhan Utama mulut merot.
Disadari ketika penderita bangun pagi ingin menggosok gigi sambil melihat ke cermin. Mata tidak
bisa dipejamkan, dahi tidak bisa diangkat dan sudut mulut tertinggal terkait sisi kiri. Makanan sulit
dikunyah pada sisi kiri mulut dan bila makan disertai keluar air mata, tidak ada demam, penyakit
ini baru pertama kali diderita. Tidak ada riwayat dalam keluarga yang menderita penyakit yang
sama.
Malam sebelumnya penderita begadang menonton orkes dangdut sampai larut malam.

Pemeriksaan Fisik :

Keadaan umum : GCS 15


Tanda vital : TD 120/80 mmHg, Nadi 80x/meniit, RR 20 x/menit, Temp 37,0 C

Pemeriksaan Neurologis :

Pada pemeriksaan nervi kraniales :

Nervus VII sinestra didapatkan parase tipe perifer berupa : mulai dari tutup mata

Hiperakusis terdapat lagophtalmus (+), tidak bisa mengangkat dan mengerutkan dahi, sudut
mulut tertinggal ketika disuruh meringgis, sulit bersiul dann menggelembungkan pipi

Pemeriksaan Nervi kranialis lain dalam batas normal

Crocodile tears syndrome

1
BAB I

KATA SULIT

1. Lagophtalmus : kondisi seseorang tidak dapat menutup kelopak mata, kelopak


mata tidak menutup secara komplit. Kering, adanya keratopati.
2. Parese : Kehilangan atau gangguan fungsi motorik terkait suatu bagian
tubuh akibat lesi pada mekanisme saraf atau otot terkait bagian
perifer.
3. Hiperakusis : Sensasi pendengaran tajam karena ambang pendengaran rendah,
membuat penderita terlalu peka. Menyerang satu atau dua bagian
telinga.
4. Crocodile’s tears syndrome: Gejala yang terjadi terkait Paralisis Fascial unilateral ketika
serabut saraf yang menuju kelenjar saliva rusak dan justru salah
tumbuh menuju kelenjar air mata.
5. Nervus VII sinistra : nervus fasialis bagian kiri yang mempunyai fungsi motorik.

2
BAB II
RUMUSAN MASALAH

1. Mengapa pasien mengalami merot ?


2. Mengapa mata pasien tidak bisa dipejamkan ?
3. Mengapa pasien tidak bisa makan pada bagian kiri ?
4. Mengapa saat makan keluar air mata ?
5. Apa ada kaitan pasien begadang di keadaan dingin dengan keluhan pasien ?
6. Mengapa tidak ditemukan demam ?
7. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan neurologis?
8. Apa diagnosis pasien ?

3
BAB III
BRAINSTORMING

1. Mengapa wanita Mengapa pasien mengalami merot ?


Adanya kelumpuhan saraf fasialis. Kelumpuhan yang dimaksud adalah parase tipe
LMN yang terjadi pada nervus fasialis yang mempersarafi otot yang ada di mulut yaitu
m.levator angulus orii, m. oblicularis orii.
2. Mengapa mata pasien tidak bisa dipejamkan dan dahi tidak bisa diangkat?
Adanya lesi di nervus faciallis yang mempersarafi otot dibagian mata dan dahi.
Otot pada mata yaitu m.orblicularis oculi dan m.levator oculi, pars palpebral, pars orbitalis.
Otot pada dahi yaitu otot frontalis, otot corrugator supercilli.
Upper face mendapatkan persarafan dari korteks serebri kanan maupun kiri
(ipsilateral dan kontralateral). Sementara itu, lower face hanya mendapat persarafan dari
korteks serebri yang bersebrangan saja (kontralateral). Hal inilah yang membedakan antara
parase infranuklear atau perifer dengan parese supranuklear. Pada UMN, mulut merot pada
sebelah kiri tidak diikuti oleh parese pada daerah dahi.
3. Mengapa pasien tidak bisa makan pada bagian kiri ?
Adanya lesi di nervus faciallis yang mempersyarafi otot di bagian mulut, terutama
dalam kemampuan motorik mengunyah yaitu m. orbicularis oris, m. levator labii superior,
m. levator anguli oris, m.masseter, m. zygomatikus minor, m. zygomatikus mayor, m.
risorius, m. businator, m. levator mentalis, m. depressor anguli orisndan platysma.
4. Mengapa saat makan keluar air mata ?
Kejadian keluarnya air mata saat makan terjadi karena adanya sproting dari nervus
fasialis. Saraf otonom nervus fasialis memiliki percabangan ke kelenjar saliva di kavum
oris dan kelenjar lakrimal di mata. Kejadian sproting menggambarkan kesalahan jalur
penghantaran impuls karena adanya lesi pada saraf yang menginervasi. Normalnya,
kelenjar saliva akan dirangsang untuk mensekresikan mukus pada saat proses mengunyah
atau makan, tetapi karena lesi pada saraf fasialis menyebabkan kesalahan penghantaran
impuls, yang seharusnya saraf fasialis menginduksi kelenjar saliva mensekresi saliva
berganti menjadi menginduksi kelenjar lakrimalis memproduksi air mata.
5. Apa ada kaitan pasien begadang di keadaan dingin dengan keluhan pasien ?
Dingin  menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah yang diikuti vasospasme.
Vasospasme selanjutnya akan berdampak pada terjadinya iskemi pada saraf  parese pada
saraf fasialis.
6. Mengapa tidak ditemukan demam ?
Tidak adanya infeksi yang masuk kedalam tubuh pasien.
7. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan neurologis?
- M. stapedius berfungsi menstabilkan tulang pendengaran dan membantu penghantaran
getaran suara ke telinga dalam. Jika terdapat lesi pada n. fasialis tersebut maka dapat
terjadi osilasi lebar tulang sanggurdi  peninggian getaran suara,  hiperakusis

4
- Kejadian lagophtalmus terjadi karena kelumpuhan m. orbikularis okuli pars palpebra.
sebelah kiri yang dipersarafi oleh n. fasialis  sulit menutup mata (lagophtalmus).
- Lesi pada n, faciallis yg menginervasi m. orbicularis oris, m. depressor angul oris, m.
bussinator  Kejadian sulit bersiul dan menggembungkan pipi terjadi karena.
8. Apa diagnosis pasien ?
Bell’s palsy

5
BAB VI
PETA MASALAH

Epidemiologi
Perempuan, 31 tahun
Faktor risiko

Anamnesis Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Penunjang

Mulut merot Keadaan Umum : GCS 15 Pemeriksaan N VII :

Mata tidak bisa dipejamkan Tanda vital : TD 120/80 Nervus VII sinestra didapatkan
mmHg, Nadi 80x/meniit, parase tipe perifer berupa :
Dahi tidak bisa diangkat RR 20 x/menit, Temp 37,0 mulai dari tutup mata.
Baru pertama kali C Hiperakusis terdapat
lagophtalmus (+), tidak bisa
mengalami
mengangkat dan mengerutkan
Keluarga tidak ada yang dahi, sudut mulut tertinggal
memiliki riwayat yang sama ketika disuruh meringgis, sulit
Anatomi dan bersiul dan
Kriteria Diagnosis Fisiologi menggelembungkan pipi
Patofisiologi
Definisi
Manifestasi Klinis
Bell’s Palsy Etiologi

Diagnosa Banding

Komplikasi

Prognosis

Tata laksana

6
BAB V
TUJUAN PEMBELAJARAN

5.1 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan integrasi keislaman mengenai Bell’s palsy.
5.2 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Anatomi dan Fisiologi Nervus Faciallis.
5.3 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Definisi dan Bell’s palsy.
5.4 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Epidemiologi Bell’s palsy.
5.5 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Etiologi Bell’s palsy.
5.6 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Faktor Resiko Bell’s palsy.
5.7 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Patofisiologis Bell’s palsy.
5.8 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Gejala dan Tanda Bell’s palsy.
5.9 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Pemeriksaan dan Pemeriksaan Penunjang
Bell’s palsy.
5.10 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Kriteria Diagnosa Bell’s palsy.
5.11 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Diagnosa Banding Bell’s palsy.
5.12 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Tata Laksana Bell’s palsy.
5.13 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Komplikasi yang Terjadi Pada Bell’s palsy.
5.14 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Pencegahan Bell’s palsy.
5.15 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Prognosis Bell’s palsy.

7
BAB VI
PEMBAHASAN

6.1 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Integrasi Islam Mengenai Bell’s Palsy.
Al-Isra’ : 1

Pada ayat ini dijelaskan bahwa malam hari merupakan waktu tenang dan istirahat.
Bagi makhluk hidup, sinar matahari merupakan energi yang diperlukan. Seperti halnya
manusia yang bekerja dan bergerak aktif disiang hari. Namun pada malam adalah saat yang
tepat untuk beristirahat dan mendapatkan energi untuk kembali beraktivitas.

Berbeda halnya dengan manusia, tidak dipungkiri bahwa malam hari banyak didapati
makhluk-makhluk lain yang justru aktif. Misalnya pada kelelawar, burung hantu, dan bahkan
makhluk tak kasat mata. Juga pada malam hari dikaitkan dengan ilmu- ilmu sihir yang
tercantum pada Q.S Al-Falaq. Adanya kegiatan-kegiatan yang dapat memicu munculnya hal
yang tidak diinginkan, dalam Islam juga diatur untuk melakukan pekerjaan pada siang hari,
sehingga pada malam hari dapat digunakan sebagai waktu untuk istirahat.

6.2 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Anatomi dan Fisiologi Nervus Faciallis
Nervus fasialis merupakan nervus campuran, terdiri atas sensorik dan motorik. Nervus
fasialis juga menginervasi somatik dan visceral. Nervus fasialis menginervasi daerah wajah.
Nervus fasialis sejatinya terdiri atas 2 nervus di pangkalnya, yaitu nervus fasialis sendiri dan
nervus intermedius. Untuk membedakan, nervus fasialis yang sudah bergabung dengan nervus
intermedius selanjutnya akan disebut sebagai nervuss fasialis-medius.
Nervus Fasialis-medius memiliki 4 nukleus. Satu merupakan pangkal dari nervus
fasialis, yaitu :
1. Nukleus Fasialis.
Merupakan nukleus motoris yang merupakan pangkal dari nervus fasialis. Nukleus ini
bersifat somatik (disadari) dan penting untuk ekspresi daerah wajah.
Tiga yang lainnya merupakan pangkal nervus intermedius. Ketiganya adalah :
1. Nukeus Solitarius.
Bersifat somatik sensoris. Berfungsi untuk pengecapan 2/3 anterior lidah.
1. Nukleus salivatorius. Bersifat visceral somatik. Penting untuk :
 Salivasi glandula sub lingual dan submandibula.
 Pengeluaran air mata glandula lakrimalis.
 Sekresi mukosa nasal oleh glandula nasalis.
2. Nukleus sensoris nervus V.

8
Bersifar somatik sensorik. Nukleus ini sejatinya adalah milik nervus V, tetapi nervus
intermedius menuju ke nukleus ini untuk menghantarkan impuls rangsang dari daerah
pina, canalis akustikus externus serta membrana timpani.
Begitu keluar dari bagian ventral pons, nervus fasialis dan nervus intermedius
bergabung menjadi satu yang seringkali disebut sebagai nervus Fasialis (Fasialis-medius).
Nervus ini kemudian masuk ke Meatus Acusticus Internus bergabung dengan nervus VIII.
Didalam canalis Acusticus, nervus ini membentuk ganglion Geniculatum. Komponen
somatik motorisnya akan terus berjalan dan keluar melalui Foramen Stylomastoideum dan
menginervasi daerah wajah. Kearah anterior komponen motorik ini akan mempunyai 5
cabang yaitu:
 Cabang temporal
 Cabang zygomatical
 Cabang bucal
 Cabang mandibular
 Cabang cervical
Kemudian terdapat 1 cabang kearah posterior yang akhirnya akan bercabang kearah
auricular dan occipital.
Nervus medianus
Nervus ini memiliki 3 komponen, yaitu:
1. Visceral efferent.
Sesaat setelah melewati ganglion geniculatum komponen ini akan bersama
komponen somatik motoris nervus fasialis, tetapi ini cuma sebentar karena komponen
visceral motorik nervus intermedius akan berjalan kearah anterior sebagai chorda timpani
ke arah ganglion submandibular , serabut postgalionnya akan menginervasi glandula
sublingual dan submandibular untuk salivasi.
Selain itu terdapat serabut yang langsung keluar dari ganglion geniculatum kearah
ganglion pterygopalatina kemudian serabut postganglionnya akan menuju ke glandula
nasalis dan glandula lakrimalis.
2. Special gustatory afferent
Serabut ini berasal dari 2/3 anterior lidah untuk menghantarkan impuls rasa
(pengecap). Serabut ini berjalan bersama corda tympani, kemudia berakhir di nukleus
solitarius.
3. Somatic Afferent
Serabut ini berasal dari reseptor di pina, canalis akustikus externus serta membrana
tympani bagian eksterna untuk menghantarkan rangsang sentuhan, tekanan, suhu, serta
nyeri.

6.3 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Definisi dan Klasifikasi Bell’s Palsy
Bell’s palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron yang
disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf pusat, tanpa adanya
penyakit neurologik lainnya. BP adalah kelumpuhan atau paralisis wajah unilateral karena
gangguan nervus fasialis perifer yang bersifat akut dengan penyebab yang tidak teridentifikasi,
seperti proses non-supuratif, non neo-plasmatik, nondegeneratif primer namun sangat

9
mungkin akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau
sedikit proksimal dari foramen tersebut yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa
pengobatan.
Manifestasi klinisnya terkadang dianggap sebagai suatu serangan stroke atau
gambaran tumor yang menyebabkan separuh tubuh lumpuh atau tampilan distorsi wajah yang
akan bersifat permanen. Oleh karena itu, perlu diketahui mengenai Bell’s palsy oleh dokter
pelayanan primer agar tata laksana yang tepat dapat diberikan tanpa melupakan diagnosis
banding yang mungkin didapatkan.
Adapun klasifikasi Ball’s palsy menurut House Brackmann, yakni

Tabel 1. House Brackmann Facial grading system

6.4 Grade Deskripsi Karakteristik

I Normal Gerakan wajah normal, tidak ada synkinesis .

II Ringan Deformitas ringan, synkinesis ringan, dahi

berfungsi normal, sedikit asimetri.

III Sedang Kelemahan wajah jelas terlihat, mata menutup dengan


baik, asimetri, Bell’s phenomenon muncul.

IV Sedang Kelemahan wajah jelas terlihat, terlihat synkinesis, dahi


tidak dapat digerakkan.

V Berat Kelumpuhan wajah yang sangat jelas, tidak dapat


menutup mata .

VI Total Kelumpuhan wajah secara keseluruhan, tidak ada


gerakan.

Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Epidemiologi Bell’s Palsy


BP menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis fasial akut. Di dunia,
insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah ditemukan di
Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden BP setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000
orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden BP rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi.
Sedangkan di Indonesia, insiden BP secara pasti sulit ditentukan. Data yang dikumpulkan dari
4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bells palsi sebesar 19,55 % dari seluruh
kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21-30 tahun. BP mengenai laki-laki dan wanita
dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih
rentan terkena daripada lakilaki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai
semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester
ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya BP lebih tinggi dari pada wanita

10
tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat . Tidak didapati juga perbedaan insiden antara
iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar
udara dingin atau angin berlebihan.
Sedangkan di Indonesia, insiden Bell’s palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang
dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s palsy sebesar
19,55 % dari seluruh kasus neuropati (kelumpuhan saraf) dan terbanyak pada usia 21 – 30
tahun. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan insiden antara
iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar
udara dingin atau angin berlebihan.

6.5 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Etiologi Bell’s Palsy.


Diperkirakan, penyebab Bell’s palsy adalah virus. Akan tetapi, baru beberapa tahun
terakhir ini dapat dibuktikan etiologi ini secara logis karena pada umumnya kasus BP sekian
lama dianggap idiopatik. Telah diidentifikasi gen Herpes Simpleks Virus (HSV) dalam
ganglion genikulatum penderita Bell’s palsy (Aminoff, 1993; Ropper, 2003).
Tahun 1972, McCormick pertama kali mengusulkan HSV sebagai penyebab paralisis
fasial idiopatik. Dengan analaogi bahwa HSV ditemukan pada keadaan masuk angin (panas
dalam/cold sore), dan beliau memberikan hipotesis bahwa HSV bisa tetap laten dalam ganglion
genikulatum. Sejak saat itu, penelitian biopsi memperlihatkan adanya HSV dalam ganglion
genikulatum pasien BP. Murakami at.all melakukan tes PCR (Polymerase- Chain Reaction)
pada cairan endoneural N.VII penderita BP berat yang menjalani pembedahan dan menemukan
HSV dalam cairan endoneural. Apabila HSV diinokulasi pada telinga dan lidah tikus, maka
akan ditemukan antigen virus dalam nervus fasialis dan ganglion genikulatum. Varicella
Zooster Virus (VZV) tidak ditemukan pada penderita Bell’s palsy tetapi ditemukan pada
penderita Ramsay Hunt syndrome (Aminoff, 1993; Ropper, 2003).

6.6 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Faktor Resiko Bell’s Palsy.
Bell’s palsy lebih sering terjadi pada orang yang:
a. Hamil, terutama selama trimesterketiga, atau yang berada di minggu pertamasetelah
melahirkan.
b. Memiliki infeksi saluran pernapasan atas, seperti flu atau pilek
c. Beberapa orang yang mengalami serangan berulang dari Bell palsy Memiliki riwayat
keluarga serangan berulang. Dalam kasus tersebut, mungkin ada kecenderungan genetik
untuk Bell palsy.

6.7 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Patofisiologis Bell’s Palsy.


Para ahli menyebutkan bahwa pada BP terjadi proses inflamasi akut pada nervus
fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. BP hampir selalu terjadi
secara unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi
paralysis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh (Mardjono,2003).
Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses
inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis

11
sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal
(Mardjono,2003, Davis,2005). Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui
kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar
sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi,
demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang
dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan
infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di
jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik
wajah di korteks motorik primer (Mardjono,2003).
Nervus fasialis terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan
kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os
petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus
fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus
longitudinalis medialis.
Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus
lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul
bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3
bagian depan lidah).
Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah reaktivasi
virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama
virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes
zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan
kelumpuhan fasialis LMN (Mardjono,2003).
Patofisiologi Crocodile Tears Syndrome
Pada periode pemulihan setelah cedera nervus facialis, regenerasi serat saraf salivary
mengalami synkinesis atau salah arah yang akhirnya menginervasi kelenjar lakrimal daripada
kelenjar submandibular. Regenerasi saraf diarahkan ke kelenjar lakrimal melalui greater
superficial petrosal nerve (GSPN). Hasilnya adalah rangsangan seperti bau atau rasa makanan,
alih-alih menyebabkan air liur, justru merangsang kelenjar lakrimal untuk menghasilkan air
mata pada sisi ipsilateral.
Teori lain yang diajukan oleh Spires et al. adalah adanya kelainan bawaan. Hal ini
didukung oleh temuan bahwa beberapa pasien dengan sindrom crocodile tears juga memiliki
kelainan lateral rectus palsy atau bersama dengan sindrom retraksi Duane. Diduga lesi berada
di pons yang berdekatan dengan saraf abducens. Mekanisme lain untuk CTS dianggap adanya
pembentukan sinaps buatan di lokasi cedera. Sinaps ini memungkinkan impuls untuk melompat
dari satu serat ke yang lain dan cenderung bersebrangan, yang mengarah ke CTS.

6.8 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Klinis Bell’s Palsy.

12
Bell’s palsy terjadi secara tiba-tiba. Beberapa jam sebelum terjadinya kelemahan pada
otot wajah, penderita bisa merasakan nyeri di belakang telinga. Kelemahan otot yang terjadi
bisa ringan sampai berat, tetapi selalu pada satu sisi wajah.
Sisi wajah yang mengalami kelumpuhan menjadi datar dan tanpa ekspresi, tetapi
penderita merasa seolah-olah wajahnya terpuntir. Sebagian besar penderita mengalami mati
rasa atau merasakan ada Beban di wajahnya, meskipun sebetulnya sensasi di wajah adalah
normal.
Jika bagian atas wajah juga terkena, maka penderita akan mengalami kesulitan dalam
menutup matanya di sisi yang terkena. Kadang penyakit ini mempengaruhi pembentukan
ludah, air mata atau rasa di lidah
Berdasarkan letak lesi, manifestasi klinis Bell’s palsy dapat berbeda. Bila lesi di
foramen stylomastoid, dapat terjadi gangguan komplit yang menyebabkan paralisis semua otot
ekspresi wajah. Saat menutup kelopak mata, kedua mata melakukan rotasi ke atas (Bell’s
phenomenon). Selain itu, mata dapat terasa berair karena aliran air mata ke sakus lakrimalis
yang dibantu muskulus orbikularis okuli terganggu. Manifestasi komplit lainnya ditunjukkan
dengan makanan yang tersimpan antara gigi dan pipi akibat gangguan gerakan wajah dan air
liur keluar dari sudut mulut. Lesi di kanalis fasialis (di atas persimpangan dengan korda
timpani tetapi di bawah ganglion genikulatum) akan menunjuk semua gejala seperti lesi di
foramen stylomastoid ditambah pengecapan menghilang pada dua per tiga anterior lidah pada
sisi yang sama. Bila lesi terdapat di saraf yang menuju ke muskulus stapedius dapat terjadi
hiperakusis (sensitivitas nyeri terhadap suara keras). Selain itu, lesi pada ganglion genikulatum
akan menimbulkan lakrimasi dan berkurangnya salivasi serta dapat melibatkan saraf
kedelapan.

6.9 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Pemeriksaan dan Pemeriksaan


Penunjang Bell’s Palsy.
Pada kasus dalam skenario penderita sadar penuh, tanda vital normal, dan tidak ada
riwayat penyakit sebelumnya. Pemeriksaan kekuatan motorik lengan dan tungkai, sensorik, tes
koordinasi, reflex tendon dan cara berjalan masih dalam batas normal. Dokter menilai derajat
kelumpuhan otot wajah. Pada pemeriksaan pendengaran, telinga kanan merasa lebih keras
(hiperakusis). Dokter memberi obat dan memberi latihan.
Untuk dapat menegakkan diagnosis Bells Palsy yaitu berdasarkan anamnesa serta
beberapa pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesa:
- Rasa nyeri.
- Gangguan atau kehilangan pengecapan.
- Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di ruangan
terbuka atau di luar ruangan.

13
- Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran
pernafasan, otitis, herpes, dan lain-lain.
2. Pemeriksaan fisik:
a. Pemeriksaan neurologis ditemukan paresis N.VII tipe perifer.
b. Gerakan volunter yang diperiksa, dianjurkan minimal :
i. Mengerutkan dahi
ii. Memejamkan mata
iii. Mengembangkan cuping hidung
iv. Tersenyum
v. Bersiul
vi. Mengencangkan kedua bibir (Sidharta, 1985; Maisel et al, 1997)
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang penting untuk menentukan letak lesi dan derajat
kerusakan saraf fasialis sbb:
a. Uji kepekaan saraf (nerve excitability test)
Pemeriksaan ini membandingkan kontraksi otot-otot wajah kiri & kanan
setelah diberi rangsang listrik. Perbedaan rangsang lebih 3,5 mA menunjukkan
keadaan patologik dan jika lebih 20 mA menunjukkan kerusakan saraf fasialis
irreversible.
b. Uji konduksi saraf (nerve conduction test)
Pemeriksaan untuk menentukan derajat denervasi dengan cara mengukur
kecepatan hantaran listrik pada saraf fasialis kiri dan kanan.
c. Elektromiografi
Pemeriksaan yang menggambarkan masih berfungsi atau tidaknya otot-otot
wajah.
d. Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah, Gilroy dan Meyer (1979)
Menganjurkan pemeriksaan fungsi pengecap dengan cara sederhana yaitu rasa
manis (gula), rasa asin dan rasa pahit (pil kina). Elektrogustometri membandingkan
reaksi antara sisi yang sehat dan yang sakit dengan stimulasi listrik pada 2/3 bagian
depan lidah terhadap rasa kecap pahit atau metalik. Gangguan rasa kecap pada bell's
palsy menunjukkan letak lesi saraf fasialis setinggi khorda timpani atau proksimalnya.
e. Uji Schirmer
Pemeriksaan ini menggunakan kertas filter khusus yang diletakkan di belakang
kelopak mata bagian bawah kiri dan kanan. Penilaian berdasarkan atas rembesan air
mata pada kertas filter, berkurang atau mengeringnya air mata menunjukkan lesi saraf
fasialis setinggi ganglion genikulatum (Sukardi, 2000)

14
6.10 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Kriteria Diagnosa Bell’s Palsy.
Kriteria diagnostik minimum Bell’s palsy:
a. Paralisis atau paresis semua kelompok otot di salah satu sisi wajah
b. Awitan akut
c. Ketidaan penyakit sistem saraf pusat
Pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun tidur,
menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Setelah merasakan adanya kelainan di
daerah mulut maka penderita biasanya memperhatikannya lebih cermat dengan menggunakan
cermin.
Mulut tampak moncong terlebih pada saat meringis, kelopak mata tidak dapat dipejamkan
(lagoftalmos), waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya maka bola mata tampak
berputar ke atas (tanda Bell). Penderita tidak dapat bersiul atau meniup, apabila berkumur atau
minum maka air keluar melalui sisi mulut yang lumpuh. Selanjutnya gejala dan tanda klinik
lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi lesi.
a. Lesi di luar foramen stilomastoideus
Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat, makanan berkumpul di antar pipi dan
gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang. Lipatan kulit dahi
menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka aur mata
akan keluar terus menerus.
b. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)
Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), ditambah dengan hilangnya ketajaman
pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya
daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus
menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda timpani bergabung dengan
nervus fasialis di kanalis fasialis.
c. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)
Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), (b), ditambah dengan adanya hiperakusis.
d. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)
Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c) disertai dengan nyeri di belakang dan di
dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di membran timpani dan
konka. Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes
zoster di ganglion genikulatum. Lesi herpetik terlibat di membran timpani, kanalis
auditorius eksterna dan pina.
e. Lesi di daerah meatus akustikus interna
Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c), (d), ditambah dengan tuli sebagi akibat dari
terlibatnya nervus akustikus.
f. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons.
Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas, disertai gejala dan tanda terlibatnya
nervus trigeminus, nervus akustikus, dan kadang-kadang juga nervus abdusens, nervus
aksesorius, dan nervus hipoglosus.

15
Sindrom air mata buaya (crocodile tears syndrome) merupakan gejala sisa Bell’s palsy,
beberapa bulan pasca awitan, dengan manifestasi klinik: air mata bercucuran dari mata
yang terkena pada saat penderita makan. Nervus fasilais menginervasi glandula lakrimalis
dan glandula salivatorius submandibularis. Diperkirakan terjadi regenerasi saraf
salivatorius tetapi dalam perkembangannya terjadi ‘salah jurusan’ menuju ke glandula
lakrimalis.

6.11 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Diagnosa Banding Bell’s Palsy.
Diagnosa banding dari Bell’s Palsy diantaranya adalah :
- Neoplasma (cerebellopontine)
Gejala yang dapat dikaitkan dengan neoplasma N. VII meliputi paralisis yang meningkat
perlahan, hiperkinesis pada wajah, nyeri, adanya paralisis yang rekuren, ataupun pengaruh
dari nervus cranial lain. Tumor ini dapat terjadi pada nervus ke tujuh, delapan, dan
sembilan.
- Ramsay Hunt Syndrome
Apabila pada pasien didapati kehilangan kemampuan dalam mendengar dan rasa sakit
dengan onset atau kemunculan dari paralisis pada wajah. Umumnya pasien akan memiliki
erythematous vesicular rash atau kemerahan termasuk ear canal, auricle, dan atau orofaring
- Lyme’s Disease
Dapat disebabkan akibat bakteri ‘Borellia burgdoferi’. Lyme merupakan penyakit yang
umum terjadi di Amerika Utara dan Eropa. Penyebaran dari penyakit ini ialah pada sistem
saraf dan menyebabkan paralisis pada wajah.
- Guillain Barre Syndrome
Didapati adanya kesamaan pada etiologi dan patofisiologi kondisi ini dengan Bell’s palsy.
Namun perbedaan terjadi pada lokasi nervus yang dituju yaitu N. Trigeminal atau N. V
Diagnosis lain yang dapat terjadi adalah :
- Accoustic neuroma dan lesi
- Otitis media akut atau kronis disebabkan adanya patogen bakteri
- Amiloidosis angle
- Anuerisma A. vertebralis, A.basilaris, atau A. Carotis
- Sindroma autoimun
- Botulismus
- Karsinomatosis
- Penyakit carotid atau stroke termasuk fenomena emboli
- Malformasi congenital
- Schwannoma N. fasialis
- Infeksi ganglion genikulatum

6.12 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Tata Laksana Bell’s Palsy.
Tujuan dari pengobatan pada bell’s palsy termasuk tata laksana untuk mempercepat
masa penyembuhan dan untuk meminimalisasi komplikasi. Tata laksana untuk
mempercepat masa penyembuhan dilakukan dengan terapi farmakologi dan terapi non
farmakologi yaitu rehabilitasi medik :
1. Medikamentosa

16
Prednison: pemberian sebaiknya selekas-lekasnya terutama pada kasus BP yang
secara elektrik menunjukkan denervasi. Tujuannya untuk mengurangi udem dan
mempercepat reinervasi. Dosis yang dianjurkan 3 mg/kg BB/hari sampai ada perbaikan,
kemudian dosis diturunkan bertahap selama 2 minggu.
Pemberian Kortikosteoid pada pasien Bell’s Palsy:
Pada pasien Bells Palsy pemberian kortikosteroid sedikit berbeda dengan
pemberian pada umumnya. Kortikosteroid adalah obat terlibat dalam berbagai
pengembalikan sistem fisiologis tubuh seperti respon stres , respon imun dan regulasi
peradangan , metabolisme karbohidrat, katabolisme protein, tingkat elektrolit darah, dan
perilaku. Kebanyakan pasien Bell’s palsy sembuh secara spontan dan mencapai fungsi
normal. Banyak pasien yang dapat menunjukkan tanda-tanda perbaikan dini selama 10 hari
setelah onset atau bahkan tanpa pengobatan. Obat kortikosteroid yang digunakan adalah
obat golongan Hidrokortison, prednisone/ prednisolon mengurangi pembengkakan saraf
fasialis (anti inflamasi). Sebuah kursus tablet steroid biasanya diresepkan untuk sekitar 10
hari. Pengobatan kortikosteroid dosis tinggi digunakan Bell’s palsy akut (Kawaguchi K et
al., 2007).
Dengan pemberian steroid maka pasien memiliki prosentase pemulihan penuh
yang besar. Steroid sesegera mungkin diberikan setelah timbulnya gejala terutama pada
kasus bell's palsy yang secara elektrik menunjukkan denervasi. Tujuannya untuk
mengurangi udem dan mempercepat reinervasi.. Idealnya, steroid diberikan maksimal
dalam waktu 72 jam setelah gejala awal sebab jika diberikan setelah itu mungkin tidak
terlalu banyak berpengaruh. Dosis yang diberikan:
a. Dewasa: 60 mg/hari, selama 5 hari dilanjutkan dengan dosis 40 mg/hari selama 5 hari
berikutnya.
b. Anak: 2 mg/kg BB/ hari, selama 7/10 hari (Sullivan FM et al., 2009).
Kortikosteroid yang digunakan dalam jangka panjang memiliki beberapa efek
samping yang berat seperti: hiperglikemia, resistensi insulin, diabetes mellitus,
osteoporosis, katarak, kecemasan, depresi, colitis, hipertensi, tekanan ritmik, disfungsi
ereksi, hipogonadisme, dan retinopati. Kortikosteroid memiliki efek teratogenik kecil tetapi
signifikan menyebabkan kecacatan lahir per 1.000 wanita hamil (Engström M et al., 2008).
2. Operasi
Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak-anak karena dapat
menimbulkan komplikasi lokal maupun intracranial.
Tindakan operatif dilakukan apabila:
a. Tidak terdapat penyembuhan spontan
b. Tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednison
c. Pada pemeriksaan elektrik terdapat denervasi total.
Beberapa tindakan operatif yang dapat dikerjakan pada BP antara lain :
a. Dekompresi n. fasialis yaitu membuka kanalis fasialis parspiramidalis mulai dari
foramen stilomastoideum
b. Nerve graft
c. Operasi plastik untuk kosmetik (muscle sling, tarsoraphi) (Sukardi, 2000).

17
3. Rehabilitasi Medik Pada Penderita Bell’s Palsy
Sebelum kita membahas mengenai rehabilitasi medik pada Bell’s palsy maka akan
dibicarakan mengenai rehabilitasi secara umum. Rehabilitasi medik menurut WHO adalah
semua tindakan yang ditujukan guna mengurangi dampak cacat dan handicap serta
meningkatkan kemampuan penyandang cacat mencapai integritas sosial.
Tujuan rehabilitasi medik adalah :
a. Meniadakan keadaan cacat bila mungkin
b. Mengurangi keadaan cacat sebanyak mungkin
c. Melatih orang dengan sisa keadaan cacat badan untuk dapat hidup dan bekerja
dengan apa yang tertinggal.
Untuk mencapai keberhasilan dalam tujuan rehabilitasi yang efektif dan efisien
maka diperlukan tim rehabilitasi medik yang terdiri dari dokter, fisioterapis, okupasi
terapis, ortotis prostetis, ahli wicara, psikolog, petugas sosial medik dan perawat
rehabilitasi medik.
Sesuai dengan konsep rehabilitasi medik yaitu usaha gabungan terpadu dari segi
medik, sosial dan kekaryaan, maka tujuan rehabilitasi medik pada Bell’s palsy adalah untuk
mengurangi/mencegah paresis menjadi bertambah dan membantu mengatasi problem sosial
serta psikologinya agar penderita tetap dapat melaksanakan aktivitas kegiatan sehari-hari.
Program-program yang diberikan adalah program fisioterapi, okupasi terapi, sosial medik,
psikologi dan ortotik prostetik, sedang program perawat rehabilitasi dan terapi wicara tidak
banyak berperan.
4. Program Fisioterapi
a. Pemanasan
 Pemanasan superfisial dengan infra red.
 Pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy atau Microwave Diathermy
(Thamrinsyam, 1991).
b. Stimulasi listrik
Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot untuk
mencegah/memperlambat terjadi atrofi sambil menunggu proses regenerasi dan
memperkuat otot yang masih lemah. Misalnya dengan faradisasi yang tujuannya
adalah untuk menstimulasi otot, reedukasi dari aksi otot, melatih fungsi otot baru,
meningkatkan sirkulasi serta mencegah/meregangkan perlengketan. Diberikan 2
minggu setelah onset (Sidharta, 1985).
c. Latihan otot-otot wajah dan massage wajah
Latihan gerak volunter otot wajah diberikan setelah fase akut. Latihan
berupa mengangkat alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi, menutup mata dan
mengangkat sudut mulut, tersenyum, bersiul/meniup (dilakukan didepan kaca
dengan konsentrasi penuh).
Massage adalah manipulasi sitemik dan ilmiah dari jaringan tubuh dengan
maksud untuk perbaikan/pemulihan. Pada fase akut, Bell’s palsy diberi gentle
massage secara perlahan dan berirama. Gentle massage memberikan efek
mengurangi edema, memberikan relaksasi otot dan mempertahankan tonus otot

18
(Kendall et al, 1983). Setelah lewat fase akut diberi Deep Kneading Massage
sebelum latihan gerak volunter otot wajah. Deep Kneading Massage memberikan
efek mekanik terhadap pembuluh darah vena dan limfe, melancarkan pembuangan
sisa metabolik, asam laktat, mengurangi edema, meningkatkan nutrisi serabut-
serabut otot dan meningkatkan gerakan intramuskuler sehingga melepaskan
perlengketan. Massage daerah wajah dibagi 4 area yaitu dagu, mulut, hidung dan
dahi. Semua gerakan diarahkan keatas, lamanya 5-10 menit.
5. Program Terapi Okupasi
Pada dasarnya terapi disini memberikan latihan gerak pada otot wajah. Latihan
diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau dalam bentuk permainan. Perlu diingat
bahwa latihan secara bertahap dan melihat kondisi penderita, jangan sampai melelahkan
penderita. Latihan dapat berupa latihan berkumur, latihan minum dengan menggunakan
sedotan, latihan meniup lilin, latihan menutup mata dan mengerutkan dahi di depan cermin
(Sabirin J, 1990).
6. Program Sosial Medik
Penderita Bell’s palsy sering merasa malu dan menarik diri dari pergaulan sosial.
Problem sosial biasanya berhubungan dengan tempat kerja dan biaya. Petugas sosial medik
dapat membantu mengatasi dengan menghubungi tempat kerja, mungkin untuk sementara
waktu dapat bekerja pada bagian yang tidak banyak berhubungan dengan umum. Untuk
masalah biaya, dibantu dengan mencarikan fasilitas kesehatan di tempat kerja atau melalui
keluarga. Selain itu memberikan penyuluhan bahwa kerja sama penderita dengan petugas
yang merawat sangat penting untuk kesembuhan penderita (Sabirin J, 1990).
7. Program Psikologik
Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat menonjol, rasa
cemas sering menyertai penderita terutama pada penderita muda, wanita atau penderita
yang mempunyai profesi yang mengharuskan ia sering tampil di depan umum, maka
bantuan seorang psikolog sangat diperlukan.
8. Program Ortotik – Prostetik
Dapat dilakukan pemasangan “Y” plester dengan tujuan agar sudut mulut yang
sakit tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam. Perlu diperhatikan reaksi
intoleransi kulit yang sering terjadi. Pemasangan “Y” plester dilakukan jika dalam waktu 3
bulan belum ada perubahan pada penderita setelah menjalani fisioterapi. Hal ini dilakukan
untuk mencegah teregangnya otot Zygomaticus selama parese dan mencegah terjadinya
kontraktur (Sabirin J, 1990).
9. Home Program
a. Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit
b. Massage wajah yang sakit ke arah atas dengan menggunakan tangan dari sisi wajah
yang sehat
c. Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang sakit, minum
dengan sedotan, mengunyah permen karet
d. Perawatan mata

19
1. Beri obat tetes mata (golongan artifial tears) 3x sehari
2. Memakai kacamata gelap sewaktu bepergian siang hari
3. Biasakan menutup kelopak mata secara pasif sebelum tidur.

6.13 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Komplikasi yang Terjadi Pada Bell’s
Palsy.
Sekitar 5% pasien setelah menderita Bell’s palsy mengalami sekuele berat yang tidak
dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bell’s palsy, adalah
1. Regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang menyebabkan paresis
seluruh atau beberapa muskulus fasialis,
2. Regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan pengecapan),
ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau sensasi yang tidak
sama dengan stimuli normal), dan
Reinervasi yang salah dari saraf fasialis. Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat
menyebabkan (1) sinkinesis yaitu gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter,
contohnya timbul gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi platysma, atau
pengerutan dahi saat memejamkan mata, (2) crocodile tear phenomenon, yang timbul beberapa
bulan setelah paresis akibat regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya air mata
pasien keluar pada saat mengkonsumsi makanan, dan (3) clonic facial spasm (hemifacial
spasm), yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba (shock-like) pada wajah yang dapat terjadi pada
satu sisi wajah saja pada stadium awal, kemudian mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak
terjadi bersamaan)

6.14 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Pencegahan Bell’s Palsy.


Agar Bell's Palsy tidak mengenai kita, cara-cara yang bisa ditempuh adalah:
1. Jika berkendaraan motor, gunakan helm penutup wajah full untuk mencegah angina
mengenai wajah.
2. Jika tidur menggunakan kipas angin, jangan biarkan kipas angin menerpa wajah langsung.
Arahkan kipas angin itu ke arah lain. Jika kipas angin terpasang di langit-langit, jangan tidur
tepat di bawahnya. Dan selalu gunakan kecepatan rendah saat pengoperasian kipas.
3. Kalau sering lembur hingga malam, jangan mandi air dingin di malam hari. Selain tidak
bagus untuk jantung, juga tidak baik untuk kulit dan syaraf.
4. Bagi penggemar naik gunung, gunakan penutup wajah / masker dan pelindung mata. Suhu
rendah, angin kencang, dan tekanan atmosfir yang rendah berpotensi tinggi menyebabkan
Anda menderita Bell's Palsy.
5. Setelah berolah raga berat, jangan langsung mandi atau mencuci wajah dengan air dingin.
6. Saat menjalankan pengobatan, jangan membiarkan wajah terkena angin langsung. Tutupi
wajah dengan kain atau penutup

6.15 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Prognosis Bell’s Palsy.


Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bell’s palsy, 85% memperlihatkan
tandatanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset penyakit. 15% kesembuhan terjadi pada

20
3-6 bulan kemudian (Ropper, 2003). Pada literatur lain penderita BP bisa sembuh sempurna
dalam waktu 2 bulan dan sembuh sempurna antara 1-3 bulan 80 % (Davis,2005).
Sepertiga dari penderita Bell’s palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa gejala sisa.
1/3 lainnya dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot yang tidak berfungsi dengan baik.
Penderita seperti ini tidak memiliki kelainan yang nyata. Penderita Bell’s palsy dapat sembuh
total atau meninggalkan gejala sisa.. Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy
adalah (Ropper, 2003):
1. Usia di atas 60 tahun
2. Paralisis komplit
3. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh,
4. Nyeri pada bagian belakang telinga dan Berkurangnya air mata.
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita
nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23 %
kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy kambuh pada 10-15 %
penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor
kelenjar parotis (Ropper, 2003).

21
BAGAN SOAP

Subjective
Perempuan berusia 31 tahun
KU: mulut merot
RPS:
 Mata tidak bia dipejamkan
 Dahi tidak bisa diangkat
 Sudut mulut tertinggal terkait sisi kiri.
 Makanan sulit dikunyah pada sisi kiri mulut dan bila makan disertai keluar air mata
 Malam sebelumnya penderita begadang menonton orgen tunggal muda mudi sampai larut
malam.
RPD: -
RPK: tidak ada yang pernah menderita penyakit yang sama
Objective
Keadaan Umum : GCS 15
Tanda vital : TD 120/80 mmHg, Nadi 80x/menit, RR 20 x/menit, Temp 37,0 C
Pemeriksaan Neurologis :
 Pada pemeriksaan nervi kranialis :
Nervus VII sinestra didapatkan parase tipe perifer berupa : mulai dari tutup mata
Hiperakusis terdapat lagophtalmus (+), tidak bisa mengangkat dan mengerutkan dahi, sudut
mulut tertinggal ketika disuruh meringgis, sulit bersiul dann menggelembungkan pipi
Pemeriksaan Nervi kranialis lain dalam batas normal
 Crocodile tears syndrome
Assessment 1
WDx: Bells Palsy
DDx:
Assessment 2
Bells Palsy (4a)
Planning 2
Tata Laksana Farmakologis
a. Pemberian kortikosteroid (perdnison dengan dosis 40 -60 mg/hari per oral atau 1
mg/kgBB/hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian
b. Penggunaan obat- obat antivirus . Acyclovir (400 mg selama 10 hari)

Tata Laksana Non-Farmako

a. Istirahat terutama saat akut


b. Rehabilitasi medik
c. Program fisioterapi
d. Operatif
Prognosis :
Ad vitam :bonam
Ad sanationam :bonam
Ad fungsionam :bonam

22
:

23
BAB VIII
DAFTAR PUSTAKA

Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP. Disorders of peripheral nerves: Bell palsy in Clinical
Neurology. 6th Ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2005. p. 182.
Bahrudin, Moch. 2011. Bell’s Palsy (BP). Vol 7 No. 25. Malang: Universitas
Muhamadiyah(online). diakses https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK525953/
Dorland, W.A Newman. 2015. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC
Duus,Peter.2010.Diagnosis Topik Neurologis DUUS.Edisi:4.Germany : Goetingen and Freybrug
Ropper AH, Brown RH.2003.Adams and Victor’s Principles of Neurology. 8th ed. New York:
MacGraw-Hill; 1180-1182.
Saharso.2005.Pendekatan Diagnosis dan Penatalaksanaan Bell’s Palsy. Vol 30. Surabaya : Media
IDI. No I:70.
Suprayanti Y. 2008. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Bell’s Palsy Sinistra di RSUD dr.Moewardi
Surakarta. Surakarta : Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.

24

Anda mungkin juga menyukai