Anda di halaman 1dari 61

BAB 44

Anestesi Pediatri
Konsep Utama
 Sedikitnya serta terbatasnya jumlah alveoli pada neonatus dan bayi mengurangi
komplians paru mereka; namun sebaliknya, rangka iga mereka yang berkartilago
menyebabkan dinding dadanya memiliki komplians yang besar. Kombinasi dari kedua
karakteristik ini menyebabkan kolapsnya dinding dada selama inspirasi dan secara relatif
mengurangi volume paru saat ekspirasi. Akibatnya pada berkurangnya kapasitas residual
paru (FRC) adalah sangat penting karena hal tersebut membatasi simpanan oksigen
selama periode apneu (misalnya, saat intubasi) dan juga mendorong terjadinya atelektasis
dan hipoksemia.
 Neonatus dan bayi memiliki kepala dan lidah yang besar secara proporsional, rongga
hidung yang sempit, laring cephalad dan anterior, epiglotis yang panjang, serta trakea dan
leher yang pendek. Gambaran anatomis ini menyebabkan neonatus dan sebagian besar
bayi menggunakan alat bantu napas melalui hidung sampai kira-kira usia 5 bulan.
Kartilago cricoid adalah bagian yang paling sempit dari jalan napas anak-anak usia
dibawah 5 tahun.
 Volume sekuncup pada neonatus dan bayi secara relatif ditentukan oleh ventrikel kiri
yang bersifat nonkomplians dan lambat berkembang. Oleh karena itu, cardiac output
sangat tergantung pada denyut jantung
 Kulit yang tipis, massa lemak yang kurang, dan besarnya luas permukaan relatif terhadap
berat badan menyebabkan hilangnya panas pada neonatus. Masalah ini diperburuk oleh
dinginnya ruang operasi, paparan tehadap luka, pemberian cairan intravena, gas anestesi
kering, dan efek langsung dari agen anestesi pada regulasi suhu. Hipotermia dikatakan
berkaitan dengan lambatnya pemulihan dari anestesi, iritabilitas jantung, depresi
pernapasan, peningkatan resistensi vaskular paru, dan perubahan pada respon terhadap
obat.
 Neonatus, bayi, dan balita memiliki ventilasi alveolar yang relatif lebih tinggi dan FRC
yang lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak yang lebih tua serta orang dewasa.
Tingginya rasio ventilasi permenit terhadap FRC serta tingginya aliran darah ke organ-
organ yang kaya vaskularisasi berperan terhadap peningkatan yang cepat pada
konsentrasi anestesi alveolar dan kecepatan induksi inhalasi.
 Konsentrasi Alveolar Minimum (MAC) pada bayi lebih tinggi dibandingkan dengan
neonatus dan dewasa untuk agen halogenasi. Tidak seperti agen-agen lainnya, sevofluran
memiliki MAC yang sama pada neonatus maupun pada bayi. Sevofluran memiliki indeks
terapetik yang lebih besar dibandingkan halotan dan menjadi agen induksi terpilih pada
anestesi pediatri.
 Anak-anak lebih mudah mengalami aritmia jantung, hiperkalemia, rhabdomiolisis,
mioglobinemia, spasme masseter, dan hipertermi maligna (MH) dibandingkan dengan
orang dewasa setelah pemberian suksinilkolin. Apabila anak secara tidak terduga
mengalami gagal jantung setelah pemberian suksinilkolin, maka terapi segera terhadap
hiperkalemia harus dilakukan.
 Tidak seperti pasien dewasa, bradikardia berat dan kegagalan sinus dapat terjadi pada
pasien-pasien anak setelah pemberian dosis pertama suksinilkolin tanpa premedikasi
atropine.
 Infeksi viral dalam 2-4 minggu sebelum anestesi umum dan intubasi endotrakeal
menyebabkan anak-anak mengalami peningkatan risiko terhadap terjadinya komplikasi
pulmonal perioperatif, seperti wheezing, laringospasme, hipoksemia, dan atelektasis.
 Temperatur pada pasien anak harus dimonitoring secara ketat karena risiko nya yang
tinggi terhadap MH dan potensial terhadap hipotermia maupun hipertermia iatrogenic.
 Pengelolaan cairan yang cermat sangat dibutuhkan pada pasien anak yang lebih kecil
karena batas kesalahannya yang amat kecil. Pompa infus yang terprogram atau dengan
bilik mikrodrip harus digunakan untuk pengukuran yang akurat. Obat dialirkan melalui
dead-space tabung untuk meminimalkan pemberian obat yang tidak perlu.
 Laringospasme biasanya dapat dihindari dengan meng ekstubasi pasien baik saat terjaga
atau saat berada pada anestesi yang dalam; kedua teknik telah diperkenalkan. Ekstubasi
selama interval antara kedua keadaan ini, bagaimanapun, secara umum dikenal
berbahaya.
 Pasien-pasien dengan skoliosis akibat distrofi muscular memiliki predisposisi terhadap
MH, disritmia jantung, dan efek yang tidak terduga dari suksinilkolin (hiperkalemia,
mioglobinuria, dan kontraktur otot)

ANESTESI PEDIATRI : PENDAHULUAN


Pasien-pasien pediatri bukanlah orang dewasa kecil. Neonatus (0-1 bulan), bayi (1-12
bulan), balita (1-3 tahun), dan anak-anak (4-12 tahun) memiliki kebutuhan akan anestesi
yang berbeda. Pengelolaan anestesi yang aman tergantung pada apresiasi yang penuh
terhadap karakteristik fisiologis, anatomis, serta farmakologis dari masing-masing kelompok
(Tabel 44-1). Karakteristik-karakteristik ini, yang membedakan mereka dari yang lain serta
dari orang dewasa, menyebabkan dibutuhkannya modifikasi dari peralatan serta teknik
anestesi. Bayi memiliki risiko yang paling besar terhadap morbiditas dan mortalitas anestesi
dibandingkan dengan anak yang lebih tua.; risiko tersebut proporsional secara terbalik
terhadap umur, neonatus memiliki risio yang paling tinggi. Selain itu, pasien-pasien pediatri
mudah terserang penyakit sehingga membutuhkan strategi anestesi dan pembedahan yang
unik.

Tabel 44-1
Table 44–1. Characteristics of Neonates and Infants That Differentiate
Them from Adult Patients.1

Physiological

Heart-rate-dependent cardiac output

Faster heart rate

Lower blood pressure

Faster respiratory rate

Lower lung compliance

Greater chest wall compliance


Lower functional residual capacity

Higher ratio of body surface area to body weight

Higher total body water content

Anatomic

Noncompliant left ventricle

Residual fetal circulation

Difficult venous and arterial cannulation

Large head and tongue

Narrow nasal passages

Anterior and cephalad larynx

Long epiglottis

Short trachea and neck

Prominent adenoids and tonsils

Weak intercostal and diaphragmatic muscles

High resistance to airflow

Pharmacological

Immature hepatic biotransformation

Decreased protein binding

Rapid rise in FA/FI

Rapid induction and recovery

Increased minimum alveolar concentration

Larger volume of distribution for water-soluble drugs

Immature neuromuscular junction

1
FA/FI, Fractional alveolar concentration/fractional inspired concentration.
PERKEMBANGAN ANATOMIS DAN FISOLOGIS
Sistem Pernapasan
 Transisi dari fisiologis fetal ke neonatal diulas pada bab 42. Dibandingkan dengan anak
yang lebih tua dan orang dewasa, neonatus dan bayi memiliki ventilasi yang kurang
efisien karena muskulatur interkostal dan diafragma yang lemah (akibat kurangnya serat
tipe 1), iga yang horizontal dan lebih lentur, dan abdomen yang menonjol. Laju respirasi
tinggi pada neonatus dan menurun secara gradual saat remaja hingga level orang dewasa.
Tidal volume dan dead-space per kilogram cenderung konstan selama perkembangan.
Kurangnya jumlah saluran napas kecil meningkatkan resistensi jalan napas. Maturasi
alveolar tidaklah sempurna sampai menginjak usia anak-anak akhir (sekitar usia 8 tahun).
Kerja pernapasan meningkat dan otot-otot pernapasan menjadi mudah lelah. Jumlah yang
sedikit dan terbatas dari alveolus pada neonatus dan bayi mengurangi komplians paru;
sebaliknya, rangka iga mereka yang berkartilago membuat dinding dada mereka menjadi
sangat berkomplian. Kombinasi dari kedua karakteristik ini menyebabkan kolaps dinding
dada selama inspirasi dan secara relatif menurunkan volume residual paru saat ekspirasi.
Akibatnya pada berkurangnya kapasitas residual paru (FRC) adalah sangat penting
karena hal tersebut membatasi simpanan oksigen selama periode apneu (misalnya, saat
intubasi) dan juga mendorong terjadinya atelektasis dan hipoksemia. Hal ini mungkin
dapat diperbaiki oleh jumlah konsumsi oksigen mereka yang relatif tinggi. Selain itu,
pengaturan ventilatorik hipoksia dan hiperkapnia tidak berkembang terlalu baik pada
neonatus dan bayi. Pada kenyataannya, tidak seperti orang dewasa, hipoksia dan
hiperkapnia menekan respirasi pada pasien-pasien ini.
 Neonatus dan bayi memiliki kepala dan lidah yang besar secara proporsional, rongga
hidung yang sempit, laring cephalad dan anterior (pada level vertebra C4 dimana pada
orang dewasa pada level C6), epiglottis yang panjang, dan leher serta trakea yang pendek
(Gambar 44-1). Gambaran anatomis ini menyebabkan neonatus dan bayi memerlukan
alat bantu napas lewat hidung hingga usia 5 bulan. Kartilago krikoid adalah titik/area
tersempit pada jalan napas anak-anak usia dibawah 5 tahun; pada dewasa, titik
tersempit itu adalah glottis. Edema satu millimeter akan memberikan efek yang sangat
besar pada anak-anak karena diameter trakea mereka yang lebih kecil.
Gambar 44-1
Sagittal section of the adult (A) and infant (B) airway.

(Reproduced, with permission, from Snell RS, Katz J: Clinical Anatomy for Anesthesiologists. Appleton
& Lange, 1988.)

Sistem kardiovaskular
 Volume sekuncup pada neonatus dan bayi secara relatif ditentukan oleh ventrikel kiri
yang bersifat nonkomplians dan lambat berkembang. Oleh karena itu, cardiac output
sangat tergantung pada denyut jantung (lihat bab 19). Meskipun denyut jantung basalnya
lebih tinggi daripada orang dewasa (Tabel 44-2), aktivasi sistem persarafan parasimpatis,
overdosis anestesi, atau hipoksia dapat menyebabkan bradikardia dan reduksi yang berat
dari cardiac output. Bayi sakit yang menjalani prosedur operatif darurat atau yang
berkepanjangan lebih mudah menderita bradikardia yang dapat menyebabkan hipotensi,
asistol, dan kematian intraoperatif. Sistem persarafan simpatis dan reflek baroreseptor
nya tidak matang secara sempurna. Sistem kardiovaskular bayi memiliki simpanan
katekolamin yang lebih rendah dan memperlihatkan respon yang lebih lemah terhadap
katekolamin eksogen. Jantung yang belum matang bersifat lebih sensitif terhadap anestesi
volatile yang memblok channel kalsium dan opioid yang menginduksi bradikardia.
Sistem vaskular kurang dapat berespon terhadap hipovolemia dengan vasokonstriksi.
Oleh karena itu tanda khas dari adanya deplesi cairan intravascular pada neonatus dan
bayi adalah hipotensi tanpa takikardi.

Tabel 44-2

Regulasi Metabolisme dan Temperatur


Pasien-pasien pediatri memiliki area permukaan tubuh perkilogram yang lebih besar
daripada orang dewasa (peningkatan rasio area permukaan tubuh/berat badan). Metabolisme
dan parameter-parameternya yang berkaitan (konsumsi oksigen, produksi CO2, cardiac
output, dan ventilasi alveolar) lebih berkorelasi baik dengan area permukaan tubuh
dibandingkan dengan berat badan.
 Kulit yang tipis, massa lemak yang rendah, dan luas permukaan tubuh relatif terhadap
berat badan yang lebih besar menyebabkan kehilangan panas yang lebih banyak pada
neonatus. Masalah ini diperburuk dengan keadaan kamar operasi yang dingin, pemaparan
luka, pemberian cairan intravena, gas anestesi kering, dan efek langsung dari agen
anestesi pada regulasi temperatur. Hipotermia adalah masalah serius yang berhubungan
dengan pemulihan yang lambat dari anestesia, iritabilitas jantung, depresi pernapasan,
peningkatan resistensi vaskular pulmonar, dan perubahan respon terhadap obat.
Mekanisme utama untuk produksi panas pada neonatus adalah termogenesis melalui
metabolisme lemak coklat dan pirau fosforilasi oksidatif hepatic ke jalur kebocoran
proton termogenik. Metabolisme lemak coklat terbatas hanya pada bayi-bayi prematur
dan neonatus sakit yang mengalami kekurangan simpanan lemak. Selain itu, anestesi
volatile menghambat temogenesis pada adiposa coklat.

Fungsi Renal dan Gastrointestinal


Fungsi ginjal normal belum tercapai hingga usia 6 bulan; fungsi renal belum
mencapai level dewasa sampai anak berusia 2 tahun. Neonatus prematur sering mengalami
defek renal multipel, termasuk penurunan klirens kreatinin; gangguan retensi sodium,
ekskresi glukosa, dan reabsorpsi bikarbonat; dan kemampuan dilusi dan konsentrasi yang
buruk. Abnormalitas-abnormalitas ini menyebabkan pentingnya perhatian yang lebih
terhadap pemberian cairan pada masa-masa awal kehidupan.
Neonatus juga memiliki insidensi yang relatif tinggi pada kejadian refluks
gastroesofageal. Liver yang secara relatif belum cukup matang menyebabkan gangguan
konjugasi hepatik pada awal kehidupan.

Hemostasis Glukosa
Neonatus memiliki simpanan glikogen yang rendah yang menjadi predisposisi
mereka mengalami hipoglikemia. Gangguan ekskresi glukosa oleh ginjal dapat secara parsial
mengurangi kecenderungan ini. Neonatus yang berisiko paling besar untuk mengalami
hipogikemi adalah mereka yang premature atau kecil masa kehamilan, yang telah menerima
hiperalimentasi, dan yang lahir dari ibu dengan diabetes.

PERBEDAAN FARMAKOLOGIS
Dosis obat pediatrik secara khas didasarkan pada penghitungan perkilogramnya
(Tabel 44-3). Beart badan anak dapat secara kasar di estimasi berdasarkan umur :
Persentil berat badan ke 50 (kg) = (umur x 2) + 9

Tabel 44-3 Dosis Obat Pediatri


Table 44–3. Pediatric Drug Dosages.

Drug Comment Dosage


Acetaminophen Rectal 40 mg/kg

PO 10–20 mg/kg

Maximum (per day) 60 mg/kg

Adenosine Rapid IV bolus 0.1 mg/kg

Repeat dose 0.2 mg/kg

Maximum dose 12 mg

Albuterol Nebulized 1.25–2.5 mg in 2


Drug Comment Dosage
mL saline

Alfentanil Anesthetic supplement (IV) 20–25 g/kg

Maintenance infusion 1–3 g/kg/min

Amiodarone Loading dose (IV) 5 mg/kg

Repeat dose (slowly) 5 mg/kg

Infusion 5–10 g/kg/min

Maximum dose 20 mg/kg/day

Aminophylline Loading dose administered over 20 5–6 mg/kg


min (IV)

Maintenance dose (therapeutic level: 0.5–0.9 mg/kg/h


10–20 mg/mL)

Amoxicillin PO 50 mg/kg

Ampicillin IV 50 mg/kg

Ampicillin/sulbactam IV 25–50 mg/kg

Amrinone Loading (IV) 0.75–1 mg/kg

Maintenance 5–10 g/kg/min

Atropine IV 0.01–0.02 mg/kg

IM 0.02 mg/kg

Minimum dose 0.1 mg

Premedication (PO) 0.03–0.05 mg/kg

Atracurium Intubation (IV) 0.5 mg/kg

Bretylium Loading dose (IV) 5 mg/kg

Caffeine IV 10 mg/kg

Calcium chloride IV (slowly) 5–20 mg/kg

Calcium gluconate IV (slowly) 15–100 mg/kg


Drug Comment Dosage

Cardioversion See Table 47–3 0.5–2 J/kg

Cefazolin IV 25 mg/kg

Cefotaxime IV 25–50 mg/kg

Cefotetan IV 20–40 mg/kg

Cefoxitin IV 30–40 mg/kg

Ceftazidime IV 30–50 mg/kg

Ceftriaxone IV 25–50 mg/kg

Cefuroxime IV 25 mg/kg

Chloral hydrate PO 25–100 mg/kg

Rectal 50 mg/kg

Cimetidine IV or PO 5–10 mg/kg

Cisatracurium Intubation (IV) 0.15 mg/kg

Clindamycin IV 20 mg/kg

Dantrolene Initial dose (IV) 2.5 mg/kg

Maximum dose 10 mg/kg

Defibrillation First attempt 2 J/kg

Subsequent attempts 4 J/kg

Desmopressin IV 0.2–0.4 g/kg

Dexamethasone IV 0.1–0.5 mg/kg

Dextrose D25W or D50W (IV) 0.5–1 g/kg

Diazepam Sedation (IV) 0.1–0.2 mg/kg

Digoxin Three divided doses over 24 h (IV) 15–30 g/kg


Drug Comment Dosage
Diltiazem IV over 2 min 0.25 mg/kg

Diphenhydramine IV, IM, or PO 1 mg/kg

Dobutamine Infusion 2–20 g/kg/min

Dolasetron IV 0.35 mg/kg

Dopamine Infusion 2–20 g/kg/min

Droperidol IV 50–75 g/kg

Edrophonium Depends on degree of paralysis (IV) 0.5–1 mg/kg

Ephedrine IV 0.1–0.3 mg/kg

Epinephrine IV bolus 0.01 mg/kg

Endotracheal dose 0.1 mg/kg

Infusion 0.1–1.0 g/kg/min

Epinephrine, 2.25% racemic Nebulized 0.05 mL/kg in 3 mL


saline

Esmolol (bolus) IV 0.1–0.5 mg/kg

Esmolol (infusion) IV 25–200 g/kg/min

Famotidine IV 0.15 mg/kg

Fentanyl Pain relief (IV) 1–2 g/kg

Pain relief (Intranasal) 2 g/kg

Premedication (Actiq) 10–15 g/kg

Anesthetic adjunct (IV) 1–5 g/kg

Maintenance infusion 2–4 g/kg/h

Main anesthetic (IV) 50–100 g/kg

Flumazinil IV 0.01 mg/kg

Fosphenytoin IV 15–20 mg/kg


Drug Comment Dosage
Furosemide IV 0.2–1 mg/kg

Gentamicin IV 2 mg/kg

Glucose IV 0.5–1 g/kg

Glucagon IV 0.5–1 mg

Glycopyrrolate IV 0.01 mg/kg

Granisetron IV 0.04 mg/kg

Heparin IV 100 U/kg

Hydrocortisone IV 1 mg/kg

Hydromorphone IV 15–20 g/kg

Ibuprofen PO 4–10 mg/kg

Imipenem IV 15–25 mg/kg

Insulin Infusion 0.02–0.1 U/kg/h

Isoproterenol Infusion 0.1–1 g/kg/min

Ketamine Induction (IV) 1–2 mg/kg

Induction (IM) 6–10 mg/kg

Induction (per rectum) 10 mg/kg

Maintenance infusion 25–75 g/kg/min

Premedication (PO) 6–10 mg/kg

Sedation (IV) 2–3 mg/kg

Sedation (IV) 0.5–1 mg/kg

Ketorolac IV 0.5–0.75 mg/kg

Labetalol IV 0.25 mg/kg

Lidocaine Loading 1 mg/kg

Maintenance 20–50 g/kg/min


Drug Comment Dosage

Magnesium IV (slowly) 25–50 mg/kg

Maximum single dose 2g

Mannitol IV 0.25–1 g/kg

Meperidine Pain relief (IV) 0.2–0.5 mg/kg

Premedication (IM) 1 mg/kg

Methohexital Induction (IV) 1–2 mg/kg

Induction (per rectum) 25–30 mg/kg

Induction (IM) 10 mg/kg

Methylprednisolone IV 2–4 mg/kg

Metoclopramide IV 0.15 mg/kg

Metronidazole IV 7.5 mg/kg

Midazolam Premedication (PO) 0.5 mg/kg

Maximum dose (PO) 20 mg

Sedation (IM) 0.1–0.15 mg/kg

Maximum dose (IM) 7.5 mg

Sedation (IV) 0.05 mg/kg

Milrinone Loading (IV) 50–70 g/kg

Maintenance 0.375–0.75
g/kg/min

Mivacurium Intubation (IV) 0.2–0.3 mg/kg

Infusion 3–24 g/kg/min

Morphine Pain relief (IV) 0.025–0.1 mg/kg

Premedication (IM) 0.1 mg/kg


Drug Comment Dosage
Naloxone IV 0.01 mg/kg

Neostigmine Depends on degree of paralysis (IV) 0.04–0.07 mg/kg

Nitroglycerin IV 0.5–3 g/kg/min

Nitroprusside Infusion 0.5–8 g/kg/min

Norepinephrine Infusion 0.1–2 g/kg/min

Ondansetron IV 0.1 mg/kg

Oxacillin IV 50 mg/kg

Pancuronium IV 0.1 mg/kg

Penicillin G IV 50,000 U/kg

Pentobarbital Premedication (IM) 4–6 mg/kg

Phenobarbital Sedation (IV or IM) 1–3 mg/kg

Anticonvulsant dose (IV) 5–20 mg/kg

Phentolamine IV 30 g/kg

Phenylephrine IV 1–10 g/kg

Phenytoin Slowly IV 5–20 mg/kg

Physostigmine IV 0.01–0.03 mg/kg

Prednisone PO 1 mg/kg

Protamine IV 1 mg/100 U heparin

Procainamide Loading dose (IV) 15 mg/kg

Propanolol IV 10–25 g/kg

Propofol Induction (IV) 2–3 mg/kg

Maintenance infusion 60–250 g/kg/min

Prostaglandin E1 Infusion 0.05–0.1 g/kg/min


Drug Comment Dosage
Ranitidine IV 0.25–1.0 mg/kg

Remifentanil (bolus) IV 0.25–1 g/kg

Remifentanil (infusion) IV 0.05–2 g/kg/min

Rocuronium Intubation (IV) 0.6–1.2 mg/kg

Scopolamine IV 0.01 mg/kg

Sodium bicarbonate IV 1 mEq/kg

Succinylcholine Intubation (IV) 2–3 mg/kg

Intubation (IM) 4–6 mg/kg

Sufentanil Premedication (Intranasal) 2 g/kg

Anesthetic adjunct (IV) 0.5–1 g/kg

Maintenance infusion 0.5–2 g/kg/h

Main anesthetic (IV) 10–15 g/kg

Thipental Induction (IV) 5–6 mg/kg

(per rectum) 25–30 mg/kg

Trimethoprim/sulfamethoxazole IV 4–5 mg/kg

Vancomycin IV 20 mg/kg

Vecuronium IV 0.1 mg/kg

Verapamil IV 0.1–0.3 mg/kg

Berat badan, bagaimanapun, tidak disertakan pada penghitungan kompartmen cairan


intravascular dan ekstravaskular pediatri yang lebih besar secara tidak proporsional,
imaturitas jalur biotransformasi hepatic, peningkatan aliran darah organ, penurunan ikatan
protein, atau laju metabolisme yang lebih tinggi. Variabel-variabel tersebut didasarkan pada
basis individual.
Neonatus dan bayi memiliki jumlah total air yang lebih besar secara proporsional (70-
75 %) dibandingkan dewasa (50-60 %). Total air dalam tubuh menurun dan massa lemak dan
otot akan meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Akibat langsungnya, volume
distribusi sebagian besar obat-obatan intravena lebih tinggi secara tidak proporsional pada
neonatus, bayi, serta anak yang lebih muda, dan dosis (per kilogram) biasanya lebih tinggi
dibandingkan anak yang lebih tua dan orang dewasa. Massa otot yang lebih kecil pada
neonatus memperpanjang terminasi aksi klinis obat dengan redistribusi ke otot untuk obat-
obat seperti hiopental dan fentanil. Neonatus juga memiliki laju filtrasi glomerulus dan aliran
darah hepatik yang relatif lebih rendah, sebagaimana halnya dengan imaturitas dari fungsi
tubulus renal dan sistem enzim hepatik. Peningkatan tekanan intraabdominal dan tindakan
operatif pada abdomen dapat juga menurunkan aliran darah hepatik. Semua faktor-faktor ini
megganggu kerja renal terhadap obat, metabolisme hepatik, atau ekskresi bilier terhadap
berbagai obat pada neonatus dan bayi. Neonatus juga mengalami penurunan atau gangguan
ikatan protein pada beberapa obat, yang paling dikenal adalah thiopental, bupivacain, dan
beberapa antibiotik. Pertama, peningkatan jumlah obat yang bebas meningkatkan potensi dan
mengurangi dosis induksi dibandingkan dengan anak yang lebih tua. Kedua, peningkatan
bupivacain bebas dapat meningkatkan toksisitas sistemik.

Anestesi Inhalasi
 Neonatus, bayi, dan anak-anak yang lebih muda memiliki ventilasi alveolar yang relatif
lebih tinggi dan FRC yang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang lebih tua dan
orang dewasa. Rasio ventilasi permenit terhadap FRC yang lebih tinggi ini dengan
tingginya aliran darah ke organ yang kaya vaskularisasi berkontribusi terhadap
peningkatan yang cepat pada konsentrasi anestesi alveolar dan kecepatan induksi
inhalasi. Lebih jauh lagi, koefisien darah/gas dari anestetik volatil lebih rendah pada
neonatus dibandingkan dengan orang dewasa, berakibat pada waktu induksi yang lebih
cepat dan secara potensial meningkatkan risiko overdosis.
 Konsentrasi Alveolar Minimum (MAC) untuk agen-agen halogenasi pada bayi lebih
tinggi dibandingkan dengan pada neonatus dan orang dewasa (Tabel 44-4). Tidak seperti
agen lainnya, sevofluran memiliki MAC yang sama pada neonatus dan bayi. Untuk
alasan yang tidak diketahui, penggunaan nitrous oksida pada anak-anak tidak
meningkatkan efek (kebutuhan MAC yang lebih rendah) dari desfluran dan pada
beberapa sevofluran seperti halnya efeknya pada agen-agen lainnya.

Tabel 44-4
Table 44–4. Approximate MAC1 Values for Pediatric Patients.2

Agent Neonates Infants Small Children Adults


Halothane 0.87 1.1–1.2 0.87 0.75

Sevoflurane 3.2 3.2 2.5 2.0

Isoflurane 1.60 1.8–1.9 1.3–1.6 1.2

Desflurane 8–9 9–10 7–8 6.0


1
MAC, minimum alveolar concentration.
2
Values are derived from various sources.

Tekanan darah pada neonatus dan bayi cenderung lebih sensitif terhadap anestesi
volatile, kemungkinan disebabkan oleh mekanisme kompensasinya yang belum berkembang
dengan sempurna (seperti, vasokonstriksi, takikardia) dan imaturitas miokardium yang sangat
sensitif terhadap depresan miokardial. Seperti halnya dengan orang dewasa, halotan juga
mengsensitisasi jantung terhadap katekolamin; dosis maksimum epinefrin yang
direkomendasikan pada larutan anestesi lokal selama anesthesia halotan adalah sebesar 10
μg/kg. Depresi kardiovaskular, bradikardia, dan aritmia kurang signifikan dengan sevofluran
dibandingkan dengan halotan. Halotan dan sevofluran paling sedikit mengiritasi jalan napas
dan menyebabkan tersendatnya pernapasan atau laringospasme selama induksi (liha Bab 7).
Anestesi volatile dapat menyebabkan depresi ventilasi lebih banyak pada bayi dibandingkan
dengan anak yang lebih tua. Sevofluran berkaitan dengan depresi pernapasan ringan. Anak-
anak prepubertas berisiko lebih sedikit mengalami disfungsi hepatik yang diinduksi halotan
dibandingkan dengan orang dewasa. Tidak ada laporan yang menerangkan mengenai
toksisitas renal oleh produksi fluoride inorganik selama anesthesia dengan sevofluran pada
anak-anak. Secara keseluruhan, sevofluran memperlihatkan indeks terapetik yang lebih besar
dibandingkan dengan halotan dan menjadi agen induksi terpilih pada anestesi pediatri.
Laju emergency tercepat dicapai dengan pemberian anesthesia desfluran dan sevofluran,
namun kedua agen ini berkaitan dengan peningkatan insidensi agitasi atau delirium,
khususnya pada anak-anak. Karena hal yang disebutkan di akhir tersebut, banyak dokter
beralih pada isofluran atau halotan dalam pengelolaan anesthesia setelah induksi dengan
sevofluran (lihat dibawah). Kecepatan emergency dari anesthesia halotan dan isofluran
adalah sama untuk prosedur-prosedur yang dilakukan kurang dari 1 jam.

Anestesi Nonvolatil
Berdasarkan berat badan, bayi dan anak-anak membutuhkan dosis propofol yang lebih besar
karena volume distribusi yang lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa. Anak-anak juga
memiliki waktu paruh eliminasi yang lebih singkat dan klirens plasma propofol yang lebih besar.
Meskipun pemulihan dari bolus tunggal tidak berbeda dari orang dewasa, namun pemulihan
setelah pemberian infus kontinyu dapat berlangsung lebih cepat. Untuk alasan yang sama, anak-
anak membutuhkan laju infus yang lebih tinggi untuk maintenance anesthesia (hingga 250
μg/kg/menit). Poropofol tidak direkomendasikan untuk sedasi pasien-pasien anak yang kritis di
ruang perawatan intensif (ICU). Obat ini berkaitan dengan mortalitas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan agen-agen lainnya., dan “sindroma infus propofol” yang controversial juga
telah dijelaskan. Gambaran pentingnya adalah asidosis metabolik, instabilitas hemodinamik,
hepatomegali, rhabdomiolisis, dan kegagalan multiorgan. Meskipun muncul terutama pada anak-
anak yang berada dalam kondisi kritis, sindrom yang jarang ini dilaporkan juga terjadi pada
orang dewasa dan pada pasien-pasien yang mendapat infus propofol jangka panjang ( >48 jam)
untuk sedasi pada dosis tinggi ( >5 mg/kg/jam).
Anak-anak membutuhkan dosis thiopental yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang
dewasa. Waktu paruh eliminasinya lebih singkat dan klirens plasmanya lebih besar dibandingkan
dewasa. Sebaliknya, neonatus, khususnya yang terhambat saat kelahiran, terlihat lebih sensitif
terhadap barbiturate dan memiliki ikatan protein yang lebih sedikit, waktu paruh yang lebih
panjang, dn gangguan klirens. Dosis induksi thiopental untuk neonatus adalah sebesar 3-4 mg/kg
dimana pada bayi adalah sebesar 5-6 mg/kg.
Opioid lebih poten pada nonatus dibandingkan pada anak yang lebih tua dan orang dewasa.
Penjelasan yang paling mungkin adalah mudahnya menembus sawar darah otak, penurunan
kapasitas metabolic, atau peningkatan sensitifitas pusat pernapasan. Morfin sulfat harus
digunakan secara hati-hati pada neonatus karena konjugasi hepatiknya yang berkurang dan
klirens metabolit morfin di renal yang menurun. Sitokrom P-450 mengalami maturasi pada akhir
periode neonatal. Pasien anak-anak yang lebih tua memiliki laju biotransformasi dan eliminasi
yang relatif lebih tinggi sebagai akibat dari tingginya aliran darah hepatik. Klirens sufentanil,
alfentanil, dan, mungkin, fentanil pada anak-anak dapat lebih tinggi daripada orang dewasa.
Klirens remifentanil meningkat pada nonatus dan bayi namun waktu paruh eliminasi tidak
berbeda dari orang dewasa. Neonatus dan bayi dapat lebih resisten terhadap efek hipnotik
ketamin, membutuhkan dosis yang jauh lebih tinggi daripada orang dewasa; farmakokinetiknya
tidak memeperlihatkan perbedaan yang signifikan dari orang dewasa. Kombinasi dari ketamin
dan fentanil lebih sedikit mengakibatkan hipotensi pada neonatus dan bayi dibandingkan ketamin
dan midazolam. Etomidat belum dipelajari secara adekuat pada pasein-pasein anak usia kurang
dari 10 tahun; profilnya pada anak-anak yang lebih tua adalah sama dengan orang dewasa.
Midazolam memiliki klirens yang paling cepat dari semua benzodiazepine; bagamanapun,
klirens midazolam lebih rendah pada neonatus daripada anak yang lebih tua. Selain itu,
kombinasi midazolam dan fentanil dapat menyebabkan hipotensi berat.
Relaksan Otot
Semua relaksan otot secara umum memiliki onset yang lebih singkat pada pasien-pasien pediatri
karena masa sirkulasinya yang lebih singkat dibandingkan orang dewasa. Meskipun begitu,
suksinilkolin intravena (1-1,5 mg/kg) memiliki onset yang tercepat (lihat bab 9). Bayi
membutuhkan dosis suksinilkolin yang secara signifikan lebih besar (2-3 mg/kg) dibandingkan
dengan anak yang lebih tua dan orang dewasa dikarenakan volume distribusinya yang relative
lebih besar (ruang ekstraselular). Perbedaan ini akan menghilang apabila dosis didasarkan pada
area luas pemukaan tubuh. Tabel 44-5 menunjukkan relaksan-relaksan otot yang biasa dipakai
dan ED95 nya (dosis efektif pada 95 % pasien). Dengan pengecualian pada suksisnilkolin,
mivacurium, dan mungkin cisatracurium, bayi-bayi membutuhkan relaksan otot yang lebih
sedikit dibandingkan anak lainnya. Selain itu, berdasarkan berat badan, anak-anak yang lebih tua
membutuhkan dosis yang lebih tinggi daripada orang dewasa untuk beberapa agen
neuromuscular bloker (misalnya, mivacurium dan atracurium, lihat bab 9). Seperti halnya orang
dewasa, intubasi yang lebih cepat dapat dicapai dengan dosis relaksan otot yang 1,5-2 kali dosis
ED95 dengan pemanjangan durasi aksi.

Tabel 44-5
Table 44–5. Approximate ED95 for Muscle Relaxants in Infants and
Children.1
Agents Infants ED95 (mg/kg) Children ED95 (mg/kg)

Succinylcholine 0.7 0.4

Mivacurium 0.15 0.15

Atracurium 0.25 0.35

Cisatracurium 0.05 0.06

Rocuronium 0.25 0.4

Vecuronium 0.05 0.08

Pancuronium 0.07 0.09

1
Average values during nitrous oxide/oxygen anesthesia.

Respon neonatus terhadap relaksan otot nondepolarisasi adalah sangat bervariasi. Imaturitas dari
neuromuscular junction (khusunya pada neonatus prematur) cenderung meningkatkan
sensitivitas, walaupun kompartemen ekstarselular yang besar dapat menurunkan konsentrasi
obat. Imaturitas relatif dari fungsi hepatik neonatus memperpanjang durasi aksi obat-obat yang
tergantung secara primer pada metabolisme hepar (seperti, pancuronium, vecuronium, dan
rocuronium). Sebaliknya, atracurium dan cisatracurium, yang tidak tergantung dengan
biotransformasi hepatik, dipercaya sebagai relaksan otot dengan aksi intermediate. Pemecahab
mivacurium juga nampak tidak mengalami perubahan pada neonatus.
 Anak-anak lebih mudah mengalami aritmia kordis, hiperkalemia, rhabdomiolisis,
mioglobinemia, spasme masseter, dan hipertermia maligna setelah pemberian suksinilkolin
dibandingkan dengan orang dewasa. Apabila anak secara tidak terduga mengalami gagal jantung
setelah pemberian suksinilkolin, penanganan segera terhadap hiperkalemia harus disertakan.
Resusitasi segera (misalnya bypass kardiopumonar) dapat juga dibutuhkan. Untuk alasan ini,
suksinilkolin merupakan hal yang harus dihindari untuk operasi elektif bagi anak dan remaja.
Tidak seperti pasien-pasien dewasa, bradikardia berat dan kegagalan sinus dapat terjadi pada
pasien-pasien pediatri setelah pemberian dosis pertama suksinilkolin tanpa premedikasi atropin.
Oleh karena itu atropin (minimum 0,1 mg) harus selalu diberikan sebelum pemberian
suksinilkolin pada anak-anak. Indikasi yang secara umum dapat diterima untuk pemakaian
suksinilkolin adalah induksi sekuens cepat dengan keadaan abdomen penuh, laringospasme, dan
relaksasi otot yang cepat sebelum akses intravena (misalnya, regurgitasi). Suksinilkolin
intramuskular (4-6 mg/kg) dapat digunakan untuk keadaan yang terakhir disebutkan; pada situasi
ini, atropin (0,02 mg/kg intramuskular) harus diberikan pada saat yang bersamaan untuk
mencegah bradikardia. Beberapa klinisi menggunakan cara pemberian melalui sublingual (2
mg/kg pada mid-line untuk menghindari terjadinya hematom) sebagai jalur alternative darurat.
Beberapa klinisi mempertimbangkan rocuronium (0,6 mg/kg) sebagai obat pilihan untuk
intubasi rutin pada pasien-pasien pediatric dengan akses intravena dikarenakan onsetnya yang
cepat sebagai agen neuromuscular bloker nondepolarisasi (lihat bab 9). Dosis rocuronium yang
lebih tinggi (0,9-1,2 mg/kg) dapat digunakan untuk induksi sekuens cepat namun durasinya yang
memanjang (hingga 90 menit) harus diperkirakan. Rocuronium adalah satu-satunya
neuromuscular bloker nondepolarisasi yang dapat diberikan secara intramuskular (1,0-1,5
mg/kg) namun memerlukan 3-4 menit untuk onsetnya.
Mivacurium, atracurium, atau cisatracurium merupakan agen-agen yang terpilih untuk
anak-anak, terutama untuk prosedur-prosedur singkat, dikarenakan obat-obat ini secara secara
konsisten memperlihatkan durasi aksi yang singkat sampai intermediate. Mivacurium biasanya
digunakan untuk prosedur-prosedur yang berlangsung 10-15 menit, dimana atracurium atau
cisatracurium biasa digunakan untuk prosedur yang berlangsung lebih dari 30 menit.
Seperti halnya orang dewasa, efek dari peningkatan dosis relaksan otot (biasanya sekitar 25-30 %
dari dosis awal) harus dimonitoring dengan stimulator nervus perifer. Signifikansinya dpat
bervariasi secara signifikan antar pasien. Blokade nondepolarisasi dapat diatasi dengan
neostigmin (0,03 – 0,07 mg/kg) atau edrophonium (0,5-1 mg/kg) bersama dengan agen
antikolnergik (glikopyrolate 0,01 mg/kg atau atropine 0,01-0,02 mg/kg).

RISIKO ANESTESI PEDIATRI


Data terkini yang menilai tentang risiko-risiko anestesi pada pediatric mungkin adalah Pediatric
Perioperative Cardiac Arrest (POCA). Data ini mencakup laporan-laporan yang didasarkan
pada satu juta kasus-kasus anestesi pediatri yang tercatat sejak tahu 1994. Semua gagal jantung
dan kematian yang terjadi pada pasien-pasien pediatri selama penberian ataupun pemulihan dari
anestesi dianalisa untuk dapat mencari hubungan yang mungkin antara anestesi dengan insidensi
ini. Hampir seluruh pasien mendapat hanya mendapat anestesi umum saja atau dikombinasikan
dengan anestesi regional. Dalam analisis awal terhadap data yang mencakup 289 kasus gagal
jantung, 150 kasus diperkirakan berkaitan dengan anestesi. Oleh karena itu, risiko terjadinya
gagal jantung pada kasus-kasus anestesi pediatri adalah sebesar 1,4 dalam 10.000. Hampir 6%
menderita kerusakan permanen, dengan mayoritas (68%) tidak atau hanya kerusakan sementara.
Mortalitas adalah sebesar 4% pada status fisik American Society of Anesthesiology (ASA) 1 dan
2 pasien, dibandingkan dengan 37% pada status fisik ASA 3-5 pasien. Penting untuk dicatat
bahwa 33% yang menderita gagal jantung adalah status fisik 1-2. Lebih jauh lagi, sebanyak 55 %
bayi-bayi yang mengalami kegagalan-berkaitan dengan anestesi memiliki risiko yang tertinggi.
Seperti halnya dengan orang dewasa, dua predictor utama mortalitas adalah status fisik ASA 3-5
dan operasi darurat.
Kebanyakan gagal jantung (82%) terjadi selama induksi anestesi; badikardi, hipotensi, dan SpO2
yang rendah adalah hal-hal yang biasa terjadi. Mekanisme yang biasa terjadi pada gagal jantung
dikatakan adalah berkaitan dengan medikasi (Gambar 44-2). Depresi kardiovaskular oleh
halotan, baik pada pemberian tunggal maupun pada kombinasi dengan obat-obat lain, diyakini
merupakan 66% dari semua gagal jantung yang berkaitan dengan medikasi. Sebanyak 9%
lainnya berkaitan dengan injeksi intravascular pada anestesi lokal, dan kebanyakan terjadi setelah
tes aspirasi negatif selama injeksi kaudal. Mekanisme kardiovaskular yang diketahui kebanyakan
masih belum jelas etiologinya, namun pada lebih dari 50% dari kasus-kasus tersebut pasien
memiliki kelainan jantung kongenital. Mekanisme kardiovaskular yang dapat diidentifikasi,
kebanyakan berkaitan dengan perdarahan, transfusi, atau terapi cairan yang tidak adekuat/tidak
sesuai.

Gambar 44-2

Mekanisme respirasi kebanyakan berhubungan dengan laringospasme, obstruksi jalan napas, dan
kesulitan intubasi. Pada kebanyakan kasus, laringospasme terjadi selama induksi. Hampir
seluruh pasien yang mengalami obstruksi jalan napas atau sulit untuk diintubasi memiliki
penyakit tertentu yang mendasari.
Mekanisme yang berkaitan dengan peralatan yang mengakibatkan gagal jantung kebanyakan
adalah merupakan komplikasi dari pemasangan kateter vena sentral (misalnya, pneumothoraks,
hemothoraks, atau tamponade kordis).

TEKNIK ANESTESI PEDIATRI


Pertimbangan Preoperatif
WAWANCARA PREOPERATIF
Tergantung dari usia, pengalaman operasi sebelumnya, serta maturitas, anak-anak mengalami
berbagai bentuk ketakutan ketika dihadapkan pada kemungkinan operasi. Berbeda dengan orang
dewasa, yang biasanya sangat mengetahui akan adanya kemungkinan meninggal, anak-anak pada
umumnya khawatir tentang rasa nyeri dan terpisah dari orang tuanya. Program persiapan
preoperatif – seperti misalnya brosur, video, atau tur – akan sangat membantu dalam
mempersiapkan anak dan juga orang tua. Sayangnya, pasien rawat jalan dan operasi yang
dilakukan pagi hari serta padatnya jadwal ruangan operasi sering membuat para ahli anestesi
kesulitan dalam memiliki waktu yang cukup untuk mengatasi berbagai hambatan pada pasien-
pasien pediatri. Oleh karena itulah, premedikasi dapat sangat membantu. Strategi kuncinya
adalah memperkenalkan proses anestesi dan operasi dengan menjelaskannya dalam cara yang
dapat dimengerti anak-anak. Sebagai contoh, ahli anestesi dapat membawa masker anestesi
untuk dipakai bermain dengan anak dan menjelaskannya sebagai benda yang biasa dipakai oleh
astronot. Sebagai alternatif, di beberapa tempat, seseorang yang anak percayai (misalnya orang
tua, perawat, dokter lainnya) dapat disertakan selama persiapan preanestesi dan induksi anestesi.
Hal ini dapat memberikan pengaruh yang baik pada anak-anak yang menjalani prosedur berulang
(misalnya, pemeriksaan dengan anestesi setelah operasi glukoma).

INFEKSI TRAKTUS RESPIRASI BAGIAN ATAS


Anak-anak sering menjalani operasi dengan bukti adanya – hidung berair disertai demam, batuk,
atau radang tenggorok – infeksi traktus respiratorius bagian atas (URTI) akibat virus. Harus
dapat dibedakan antara rhinorrhea akibat infeksi atau akibat alergi serta vasomotor. Infeksi viral
pada anak yang terjadi dalam 2-4 minggu sebelum dilakukannya anestesi umum dan intubasi
endotrakeal menyebabkan peningkatan risiko akan adanya komplikasi pulmonary perioperatif,
seperti wheezing, laringospasme, hipoksemia, dan atelektasis. Hal ini terutama terjadi bila anak
menderita batuk berat, demam tinggi, atau riwayat keluarga dengan penyakit jalan napas reaktif.
Keputusan untuk melakukan anestesi pada anak-anak dengan URTI masih controversial dan
tergantung pada keberadaan penyakit lain yang menyertai., berat ringannya gejala URTI, dan
urgensi dari operasi. Apabila operasi tidak dapat ditunda, maka harus dipertimbangkan untuk
pemberian premedikasi antikolinergik, ventilasi dengan masker, humidifikasi dengan gas
inspirasi, dan perawatan yang lebih lama di ruang pemulihan.

UJI LABORATORIUM
Beberapa hasil laboratorium preoperatif telah menunjukkan efektifitas alam pembiayaan. Unit
pediatri di beberapa tempat tidak melakukan uji laboratorium preoperatif pada anak-anak sehat
yang akan menjalani prosedur-prosedur minor. Jelasnya, tempat-tempat ini harus dapat
memastikan para ahli anestesi, ahli bedah dan ahli penyakit anak nya untuk benar-benar
mengidentifikasi secara cermat pasien-pasien yang harus menjalani uji preoperatif untuk
prosedur operasi tertentu.
Sebagian besar pasien-pasien asimtomatik dengan bising tidak memiliki patologi kardiak yang
signifikan. Bising dapat juga terjadi pada lebih dari 30% anak-anak normal. Bising tersebut
biasanya halus, bising ejeksi sistolik pendek yang paling jelas terdengar pada garis sterna kiri
atas atau garis sterna kiri bawah tanpa penyebaran yang signifikan. Bising pada garis sternal kiri
atas mengacu pada aliran melintasi katup pulmonal (ejeksi pulmonal) dimana bising pada garis
sternal kiri bawah mengacu pada aliran dari ventrikel kiri menuju aorta (Still’s vibratory
murmur). Para ahli penyakit anak dan mungkin juga ahli kardiologi harus mengevaluasi secara
cermat pasien-pasien yang baru didiagnosis dengan bising, khususnya pada bayi.
Echocardiogram harus dilakukan bila pasien simtomatis (seperti, kurang makan, gagal tumbuh,
atau mudah lelah); bisingnya terdengar kasar, keras, holosistolik, diastolik, atau menjalar luas;
atau denyutnya berurutan (misal,dengan lesi runoff aorta) atau menjadi lebih kecil.

PUASA PREOPERATIF
Karena pasien-pasien anak lebih mudah mengalami dehidrasi, pembatasan cairan preoperative
pada mereka selalu lebih sulit. Beberapa studi, telah mencatat adanya PH lambung yang rendah
(< 2,5) dan volume residual yang relatif tinggi pada pasien-pasien anak yang dijadwalkan untuk
operasi, menunjukkn bahwa anak-anak memiliki risiko lebih tinggi mengalami aspirasi daripada
yang diperkirakan sebelumnya. Insidensi aspirasi dilaporkan sebesar hampir 1:1000. Puasa
berkepanjangan tidak dapat menurunkan risiko ini. Pada kenyataannya, beberapa studi telah
menunjukkan volume residual yang lebih rendah dan Ph gaster yang lebih tinggi pada pasien-
pasien anak yang mendapat cairan beberapa jam sebelum induksi. Tergantung pada usia, formula
makanan regular atau makanan padat dilanjutkan sampai 4-8 jam sebelum operasi. Lebih spesifik
lagi, bayi usia kurang dari 6 bulan diberikan formula hingga 4 jam sebelum induksi, dimana bayi
usia 6-36 bulan dapat diberi formula atau makanan padat hingga 6 jam sebelum induksi. Cairan
bersih diberikan sampai 2-3 jam sebelum induksi. Rekomendasi ini ditujukan pada neonatus
sehat, bayi, dan anak-anak tanpa faktor risiko terhadap penurunan pengosongan lambung atau
aspirasi.

PREMEDIKASI
Terdapat berbagai variasi dalam rekomendasi untuk premedikasi pasien pediatri. Premedikasi
sedatif secara umum tidak mencakup neonatus dan bayi-bayi yang sakit. Anak-anak yang tampak
mengalami gangguan cemas perpisahan dapat diberikan sedative, seperti midazolam (0,3-0,5
mg/kg, maksimum 15 mg). Jalur pemberian oral banyak dipilih karena lebih sedikit bersifat
traumatic dibandingkan injeksi intramuskular, namun cara tersebut membutuhkan waktu 20-45
menit untuk menimbulkan efek. Dosis midazolam yang lebih kecil dapat digunakan dengan
tambahan ketamin oral (4-6 mg/kg), namun kombinasi tersebut dapat tidak sesuai untuk pasien
rawat jalan. Untuk pasien-pasien yang tidak koperatif, midazolam intramuskular (0,1-0,15
mg/kg, maksimum 10 mg) dan/atau ketamin (2-3 mg/kg) dengan atropine (0,02 mg/kg) dapat
sangat membantu. Midazolam rectal (0,5-1 mg/kg, maksimum 20 mg) atau methohexital rectal
(25-30 mg/kg dari larutan 10%) dapat juga diberikan pada anak yang berada di pangkuan orang
tuanya. Jalur pemberian nasal dapat digunakan dengan beberapa obat namun cara ini tidak
menyenangkan, dan beberapa kekhawatiran muncul tentang adanya potensi neurotoksisitas dari
midazolam nasal. Fentanil dapat juga diberikan sebagai lollipop (5-15 μg/kg); level fentanil akan
terus meningkat inraoperatif dan dapat memberikan analgesia postoperatif. Agen-agen lama
seperti chloral hidrat dan pentobarbital jarang digunakan. Pertimbangan-pertimbangan
premedikasi lainnya dibahas pada studi kasus yang terdapat pada bab 8.
Beberapa ahli anestesi secara rutin melakukan premedikasi pada anak-anak dengan obat-obat
antikolinergik (seperti, atropine 0,02 mg/kg intramuskular) untuk menurunkan kejadian
bradikardia selama induksi. Atropine menurunkan insidensi hipotensi selama induksi pada
neonatus dan pada bayi-bayi usia kurang dari 3 bulan. Atropin juga dapat mencegah akumulasi
sekresi yang dapat menyumbat jalan napas kecil dan tuba endotrakeal. Sekresi dapat menjadi
masalah pada pasien dengan URTI atau mereka yang diberi ketamin. Atropine sering diberikan
secara oral (0,05 mg/kg), intramuskular, atau terkadang per rectal. Beberapa ahli anestesi
memilih untuk memberikan atropine secara intravena atau segera setelah induksi.

Monitoring
Monitoring yang dibutuhkan pada bayi dan anak-anak secara umum sama dengan yang
dilakukan pada orang dewasa, dengan beberapa modifikasi kecil. Alarm harus disesuaikan.
Elektroda elektrokardiografi yang lebih kecil mungin diperlukan agar tidak melampaui area
operasi yang steril. Manset tekanan darah harus sesuai (lihat gambar 6-8). Monitor tekanan darah
noninvasif telah terbukti sangat terpercaya. Stetoskop prekordial memberikan monitoring denyut
jantung yang tidak mahal, kualitas bunyi jantung yang baik, dan patensi jalan napas.
Pasien-pasien pediatri memiliki batas toleransi kesalahan yang lebih kecil. Pulse
oxymetri dan capnography diyakini berperan besar pada pasien pediatric karena hipoksia akibat
ventilasi yang tidak adekuat adalah penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas perioperatif.
Pada neonatus, probe pulse oxymetri sebaiknya ditempatkan pada tangan kanan atau pada lobus
telina untuk dapat mengukur saturasi oksigen preduktal. Analisis CO2 tidal-akhir merupakan
penilaian terhadap adekuasi ventilasi, konfirmasi terhadap penempatan tuba endotrakeal, dan
peringatan dini terhadap adanya hipertermia maligna. Meskipun begitu, volume tidal yang kecil
dan laju pernapasan yang cepat pada bayi dapat menimbulkan kesulitan pada beberapa
capnography. Analisis pola aliran biasanya kurang akurat pada pasien-pasien dengan berat badan
kurang dari 10 kg. Walaupun dengan capnograf aspirasi, CO2 inspirasi dapat memperlihatkan
kenaikan palsu dan CO2 ekspirasi dapar menurun palsu. Derajat kesalahan tergantung dari
banyak faktor namun dapat diminimalkan dengan menempatkan sample sedekat mungkin dengan
ujung tuba endotrakeal, dengan menggunakan ukuran sample yang pendek, dan menurunkan laju
aliran gas sample (100-150 ml/menit).
 Temperatur harus dimonitoring secara ketat pada pasien pediatri karena risiko yang lebih
tinggi terhadap hipertermia maligna dan potesi untuk terjadinya hipotermia dan hipertermia
iatrogenik. Hipotermia dapat dicegah dengan mengelola kondisi ruangan operasi (suhu 26 0 C
atau lebih tinggi), gas inspirasi yang mengahangatkan dan melembabkan, menggunakan
handuk hangat dan lampu yang hangat, serta menghangatkan semua cairan intravena.
Temperatur ruangan yang dibutuhkan untuk kondisi themal yang netral adalah bervariasi
sesuai dengan umur; temperatur tertinggi adalah pada neonatus prematur. Harus diingat
bahwa perhatian harus diberikan untuk mencegah kulit terbakar dan hipertermia iatrogenik
akibat usaha pengahatan yang berlebihan.
Monitoring invasif (seperti, kanulasi arterial, kateterisasi vena sentral) membutuhkan
keterampilan yang baik serta kehati-hatian yang besar. Semua gelembung udara harus
dihilangkan dari tabung dan hanya sejumlah kecil volume yang dialirkan yang digunakan untuk
mencegah emboli udara, heparinisasi mendadak, dan overload cairan. Kateter arteri pulmonal
biasanya tidak digunakan pada pasien-pasien pediatri kaena diperkirakan terdapat kaitan antara
tekanan pengisian kanan dengan kiri. Arteri radialis kanan sering dipilih untuk kanulasi pada
neonatus dikarenakan lokasi preduktalnya mencerminkan kandungan oksigen dari arteri karotis
dan arteri retina. Kateter arteri femoralis dapat dijadikan alternatif pada neonatus yang sangat
kecil.neonatus yang sakit kritis dapat terus terpasang kateter arteri umbilikalis. Keluaran urin
merupakan pengukuran yang penting dari status volume.
Neonatus yang prematur atau kecil masa kehamilan, yang mendapat banyak asupan
makanan, atau mereka yang lahir dari ibu dengan diabetes dapat mudah mengalami
hipoglikemia. Bayi-bayi ini harus mendapat pemeriksaan serum glukosa yang frekuen : kadar <
30 mg/dl pada neonatus dan < 40 mg/dl pada anak yang lebih tua menunjukkan adanya
hipoglikemia. Sampel darah (dari kateter vena sentral atau arterial) untuk konsentrasi gas darah
arterial, hemoglobin, potassium, atau kalsium terionisasi dapat tidak bernilai pada pasien-pasien
yang sakit kritis, terutama bila dibutuhkan transfusi.

Induksi
Anestesi umum biasanya di induksi dengan teknik intravena atau inhalasi. Induksi dengan
ketamin intramuskular (5-10 mg/kg) dilakukan pada situasi tertentu, misalnya yang melibatkan
anak-anak yang kurang dapat bekerja sama. Induksi intravena dipilih apabila pasien masuk ke
kamar operasi dengan terpasang kateter intravena atau cukup kooperatif untuk dapat dilakukan
kanulasi venosus. Aplikasi awal krim EMLA (Eutectic [mudah meleleh] Mixture of Local
Anesthetic) (Lihat bab 14) dapat membuat kanulasi intravena menjadi tidak terlalu menegangkan
bagi pasien, orang tua, dan ahli anestesi. Namun bagaimanapun, krim EMLA bukanlah solusi
yang sempurna. Beberapa anak menjadi sangat cemas saat melihat jarum, khususnya mereka
yang dahulu pernah mengalami beberapa kali tususkan jarum. Lebih jauh lagi, sulit untuk
diantisipasi di ekstremitas mana kanulasi intravena akan terbukti berhasil. Akhirnya, untuk
menjadi efektif, krim EMLA harus tetap dibiarkan di kulit setidaknya selama 30-60 menit.
Awake intubation atau sedated-awake intubation dengan anestesi topikal harus dipertimbangkan
untuk prosedur darurat pada neonatus dan bayi apabila mereka mengalami sakit kritis atau
berpotensi mengalami gangguan jalan napas.

Induksi Intravena
Sekuens induksi yang sama juga dapat dilakukan seperti halnya pada orang dewasa:
barbiturate aksi cepat (misal, thiopental, 3 mg/kg pada neonatus, 5-6 mg/kg pada bayi dan anak-
anak) atau propofol (2-3 mg/kg) diikuti dengan pemberian relaksan otot nondepolarisasi (misal,
rocuronium, cisatracurium, atracurium, mivacurium, atau suksinilkolin). Atropin harus diberikan
secara intravena sebelum pemberian suksinilkolin. Propofol mungkin berkaitan dengan
hipertensi yang sedikit terjadi selama intubasi, pemulihan yang lebih cepat, serta mual dan
muntah postoperatif yang lebih sedikit terjadi. Keuntungan dari teknik intravena adalah obat-obat
yang digunakan telah dikenal dengan baik, ketersediaan akses intravena bila obat-obat darurat
harus diberikan, serta kecepatan induksi pada anak-anak yang berisiko mengalami aspirasi.

Induksi Inhalasi
Kebanyakan anak-anak tidak memasuki kamar operasi dengan akses intravena terpasang
dan ketakutan yang besar dengan jarum. Untungnya, anestesi volatile yang modern dapat
membuat anak-anak menjadi tidak cemas dalam hitungan menit. Hal ini biasanya lebih mudah
pada anak-anak yang telah mendapat sedasi sebelum memasuki ruangan operasi dan mereka
yang cukup terlelap untuk kemudian dilakukan anestesi tanpa tahu apa yang telah terjadi.
Berbagai alternatif untuk menakuti anak dengan masker hitam dapat berupa insuflasi gas anestesi
pada wajah, mengganti masker wajah yang bersih, menempatkan sejumlah perasa/aroma
makanan didalam masker (misal, minyak jeruk), dan membiarkan anak duduk selama fase awal
induksi. Masker berkontur khusus meminimalisir dead-space (lihat gambar 5-6).
Terdapat banyak perbedan antara anatomi orang dewasa dan anak-anak yang dapat
mempengaruhi ventilasi masker dan intubasi. Perlengkapan yang sesuai umur dan ukuran harus
diseleksi (tabel 44-6). Neonatus dan kebanyakan bayi-bayi kecil bernapas melalui hidung dan
mudah sekali tersumbat. Saluran napas lewat mulut sering dapat membantu lidah yang berukuran
besar, dimana jalan napas nasal dapat menyebabkan trauma pada nares kecil atau adenoid.
Kompresi terhadap jaringan lunak submandibular harus dihindari selama ventilasi dengan
masker untuk mencegah terjadinya obstruksi jalan napas bagian atas.

Tabel 44-6
Table 44–6. Airway Equipment for Pediatric Patients.
Premature Neonate Infant Toddler Small Large
Child Child
Age 0–1 month 0–1 month 1–12 1–3 years 3–8 years 8–12
months years

Weight (kg) 0.5–3 3–5 4–10 8–16 14–30 25–50

Tracheal (ET)1 tube 2.5–3 3–3.5 3.5–4 4–4.5 4.5–5.5 5.5–6


(mm i.d.) (cuffed)

ET depth (cm at 6–9 9–10 10–12 12–14 14–16 16–18


lips)

Suction catheter 6 6 8 8 10 12
(F)

Laryngoscope blade 00 0 1 1.5 2 3

Mask size 00 0 0 1 2 3

Oral airway 000–00 00 0 (40 1 (50 2 (70 3 (80


mm) mm) mm) mm)

Laryngeal mask — 1 1 2 2.5 3


airway (LMA#)

1
ET, endotracheal tube.

Secara tipikal, anak-anak menghirup campuran nitrous oksida (70%) dan oksigen (30%)
yang kurang beraroma. Sevofluran atau halotan ditambahkan ke dalam campuran gas anestesi,
yaitu ditambahkan 0,5% setiap tiga sampai lima napas. Seperti yang telah didiskusikan
sebelumnya, sevofluran memiliki indeks terapetik yang lebih lebar dalam hal tejadinya depresi
kardiovaskular dan depresi ventilatoris. Sebagian besar ahli anestesi mempertimbangkan
sevofluran sebagai agen pilihan untuk inhalasi induksi. Desfluran dan isofluran tidak digunakan
untuk induksi karena lebih beraroma kuat dan berkaitan dengan lebih banyak batuk, menahan
napas, dan laringospasme selama induksi inhalasi. Beberapa klinisi menggunakan teknik induksi
single breath dengan sevofluran (7-8 % sevofluran dalam 60 % nitrous oksida) untuk
mempercepat induksi. Setelah kedalaman yang adekuat berhasil dicapai dalam anestesi, jalur
intravena dapat dimulai dan relaksan otot diberikan. Pasien secara khas akan melewati fase
excitement dimana setiap stimulasi dapat menyebabkan laringospasme. Tersendatnya pernapasan
harus dapat dibedakan dengan laringospasme. Aplikasi dari tekanan positif end-expiratory dapat
membantu mengatasi laringospasme.
Sebagai alternatif, ahli anestesi dapat memperdalam level anestesi dengan meningkatkan
konsentrasi dari anestesi volatl, serta menempatkan masker laryngeal (LMA) atau, yang jarang
dilakukan, meng intubasi pasien tanpa relaksan otot. Karena kedalam anestesi yang lebih besar
dibutuhkan untuk intubasi trakeal dengan teknik yang disebutkan terakhir, kemungkinan
terjadinya depresi kardiak berat, bradikardi, atau laringospasme tanpa akses intravena dapat
dialami dengan teknk ini. Suksinilkolin intramuskular (4-6 mg/kg, tidak melebihi 150 mg) dan
atropine (0,02 mg/kg, tidak melebihi 0,4 mg) harus tersedia apabila laringospasme atau
bradikardia terjadi sebelum jalur intravena tepasang; suksinilkolin intralingual dapat menjadi
jalur alternatif (lihat diatas).
Ventilasi tekanan positif selama induksi dengan masker dan sebelum intubasi terkadang
menyebabkan distensi gaster, berakibat pada gangguan dalam ekspansi paru. Suctioning dengan
tuba orogastrik atau nasogastrik akan menyebabkan dekompresi perut, namun hal tersebut harus
dilakukan tanpa melukai membran mukosa yang rapuh.

Akses Intravena
Kanulasi pada vena pediatri yang sangat kecil dapat menjadi pengalaman yang sulit
dilakukan. Hal ini khususnya terjadi pada bayi-bayi yang telah menjalani berminggu-minggu
perawatan di unit perawatan intensif neonatal dan hanya beberapa vena yang tertinggal yang….
Bahkan pada seorang anak usia 1 tahun yang sehat pun dapat menjadi tantangan dikarenakan
lemak subkutan yang banyak. Vena biasanya menjadi lebih dapat dicapai setelah usia 2 tahun.
Vena saphena memiliki lokasi yang tetap pada ankle dan, dengan pengalaman, seorang praktisi
biasanya dapat melakukan kanulasi meskipun vena tersebut tidak tampak atau tidak dapat di
palpasi. Kateter ukuran 24 adekuat untuk neonatus dan bayi bila transfusi darah tidak
diantisipasi. Semua gelembung udara harus dihilangkan dari jalur intravena, karena insidensi
yang tinggi dari patensi foramen ovale meningkatkan risiko terjadinya embolisme udara
paradoksikal. Pada situasi darurat dimana akses intravena tidak mungkin dicapai, cairan dapat
diinfus secara efektif melalui jarum 18 yang diinsersikan ke dalam sinusoid medulla dalam
tulang tibia. Infus intraoseus ini dapat digunakan untuk semua medikasi yang secara normal
diberikan intravena dengan hampir secepat hasilnya (Lihat bab 47).
Intubasi Trakeal
Setelah dilakukan induksi inhalasi, maka nitrous oksida harus dihentikan seblum intubasi
sehingga paru pasien akan mengandung sejumlah besar konsentrasi oksigen yang diinspirasi,
yang akan menjaga saturasi oksigen arterial yang adekuat selama periode apneu ini. Pilihan
relaksan otot telah didiskusikan di atas. Dalam kasus awake intubation pada neonatus atau bayi,
preoksigenasi adekuat dan penggunaan insuflasi oksigen selama laringoskopi (misal, oxyscope)
dapat membantu mencegah hipoksemia.
Oksiput cenderung menyebabkan kepala berada dalam posisi fleksi sebelum dilakukan
intubasi. Hal ini dapat dikoreksi dengan mudah dengan meninggikan bahu dengan handuk dan
memposisikan kepala pada bantal berbentuk donat. Pada anak-anak yang lebih tua, jaringan
tonsilar dapat mengganggu visualisasi dari laring. Laringoskop yang lurus dapat membantu
intubasi pada laring anterior neonatus, bayi, dan anak-anak yang lebih muda (Tabel 44-6). Tuba
endotrakeal yang melewati glottis dapat berpengaruh pada kartilago krikoid, yang merupakan
titik tersempit dari jalan napas pada anak-anak usia kurang dari 5 tahun. Trauma mukosa akibat
usaha yang keras untuk memasukkan tuba melewati kartilago krikoid dapat menyebabkan
edema postoperatif, stridor, dan obstruksi jalan napas.
Diameter tuba endotrakeal yang sesuai dapat diperkirakan dengan rumus yang didasarkan
pada umur :
4 + umur/4 = diameter tuba (dalam mm)

Sebagai contoh, anak usia 4 tahun diperkirakan membutuhkan tuba berdiameter 5 mm.
Rumus ini, bagaimanapun, hanya merupakan panduan secara kasar. Pengecualian meliputi
neonatus prematur (tuba 2,5-3 mm) dan neonatus cukup bulan (tuba 3-3,5 mm). Tuba
endotrakeal yang lebih besar atau lebih kecil 0,5 mm dari yang diperkirakan juga harus tersedia.
Tuba endotrakeal tanpa cuff biasanya dipilih untuk anak-anak usia 8-10 tahun untuk mengurangi
risiko croup postintubasi dan untuk memberikan sebuah celah/lubang untuk meminimalisir risiko
barotraumas. Ukuran tuba yang tepat dapat diketahui dengan mudahnya pemasangan melewati
laring dan adanya kebocoran gas pada tekanan 15-20 cm H2O untuk tuba tanpa cuff. Tidak
adanya kebocoran menunjukkan ukuran tuba yang terlalu besar sehingga harus segera diganti
untuk mencegah edema postoperatif, dimana sebaliknya, kebocoran yang berlebihan dapat
mencegah ventilasi yang adekuat dan mengkontaminasi ruang operasi dengan gas anestesi.
Bagaimanapun, banyak klinisi yang menggunakan tuba dengan cuff ukuran kecil pada pasien-
pasien yang lebih muda yang berisiko tinggi mengalami aspirasi; inflasi minimal dari cuff dapat
menghentikan kebocoran udara. Terdapat juga rumus yang digunakan untuk memperkirakan
panjang endotrakeal :
12 + umur/12 = Panjang tuba (dalam cm)

Lagi-lagi, rumus ini hanya memberikan panduan, dan hasilnya harus dikonfirmasikan
dengan auskultasi serta keputusan klinis. Untuk menghindari intubasi endotrakeal, ujung tuba
endotrakeal harus hanya melewati 1-2 cm dari glottis bayi. Teknik alternatifnya adalah
menempatkan ujung tuba endotrakeal sedemikian rupa ke dalam bronkus utama dan kemudian
melepaskannya sampai suara napas terdengar.

Pengelolaaan
Ventilasi biasanya dikontrol selama anestesi neonatus dan bayi. Selama ventilasi spontan
berlangsung, resistensi yang rendah dari sistem sirkulasi bahkan dapat menjadi kesulitan yang
berarti bagi neonatus. Katup satu arah, tabung pernapasan, dan absorber dipertimbangkan untuk
sebagian besar resistensi ini. Untuk pasien-pasien dengan berat badan kurang dari 10 kg,
beberapa ahli anestesi memilih sirkuit Mapleson D atau the Bain system dikarenakan
resistensinya yang rendh dan beratnya yang ringan (lihat bab 3). Meskipun demikian, karena
resistensi sirkuit pernapasan dapat dengan mudah diatasi dengan ventilasi tekanan positif, sistem
sirkulasi dapat digunakan dengan aman pada pasien-pasien semua usia apabila ventilasi
terkontrol. Monitoring terhadap tekanan jalan napas dapat memberikan bukti awal adanya
obstruksi akibat tuba endotrakeal yang bengkok atau masuknya tuba ke dalam bronkus utama.
Banyak ventilator anestesi yang terdapat pada mesin yang tua didesain untk pasien
dewasa dan tidak dapat memberikan volume tidal yang rendah serta laju yang cepat sebagaimana
yang dibutuhkan oleh neonatus dan bayi. Pemberian volume tidal yang besar pada anak-anak
dapat menyebabkan tekanan jalan napas yang sangat besar dan menyebabkan barotrauma yang
luas. The pressure-limited mode, yang ditemukan pada semua ventilator anestesi terbaru serta
beberapa model lama, harus digunakan untuk neonatus, bayi, dan anak-anak yang lebih muda.
Volume tidal yang lebih kecil juga dapat diberikan secara manual dengan sensitifitas yang lebih
besar dengan kantung napas 1-L dibandingkan dengan kantung 3-L pada dewasa. Untuk anak-
anak berat badan <10 kg, volume tidal yang adekuat dicapai dengan tekanan inspirasi puncak
sebesar 15-18 cm H2O. Untuk anak-anak yang lebih besar, ventilasi dengan volume terkontrol
dapat digunakan dan volume tidal dibuat sebesar 8-10 ml/kg. Kebanyakan spirometer kurang
akurat pada volume tidal yang lebih rendah. Selain itu, gas yang hilang pada sirkuit pernapasan
yang panjang, dan berkomplians tinggi menjadi sangat berkaitan dengan volume tidal anak yang
kecil. Oleh karena itulah, tuba untuk pediatri biasanya lebih pendek dan lebih kaku (sedikit
komplians). Dead-space pada peralatan, yang merupakan pertimbangan yang sangat penting
pada sistem rebreathing pada anak-anak, dapat diminimalisir dengan adanya septum yang
membagi gas inspirasi dan ekspirasi pada bagian Y. Kondensor kelembaban atau pengatur panas
dan kelembaban (HME) dapat menambah dead-space; tergantung dari ukuran pasien, alat-alat
tersebut tidak boleh digunakan.
Anestesi pada pasien pediatri dapat dikelola dengan obat-obatan yang sama sebagaimana
yang digunakan pada oang dewasa. Banyak klinisi yang mengganti isofluran atau halotan setelah
induksi dengan sevofluran untuk membantu mengurangi kecenderungan terjadinya delirium
postoperatif atau agitasi pada situasi darurat (lihat diatas). Bila sevofluran dilanjutkan untuk
maintenance, pemberian opioid (misal, fentanil 1-1,5 μg/kg) 15-20 menit sebelum akhir dari
prosedur dapat mengurangi insidensi delirium dan agitasi. Meskipun MAC pada anak-anak lebih
tinggi daripada orang dewasa (lihat tabel 44-4), neonatus dapat lebih mudah mengalami efek
depresi kardiovaskular dari anestesi umum. Relaksan otot nodepolarisasi sering dibutuhkan
untuk kondisi operasi yang optimal; hal ini terutama terjadi pada neonatus dan bayi-bayi yang
sakit yang tidak dapat mentoleransi dosis yang lebih tinggi dari agen volatile.

Kebutuhan Cairan Perioperatif


 Pengelolaan cairan yang cermat sangat dibutuhkan pada pasien-pasien pediatri karena
batas kesalahan yang sangat sempit. Pompa infuse yang terprogram atau bilik mikrodrip harus
digunakan untuk pengukuran yang akurat. Obat dialirkan melalui tabung dengan dead-space
yang kecil untuk meminimalisir pemberian cairan yang tidak perlu. Kelebihan cairan didiagnosis
dengan vena yang terlihat, kulit yang memerah, peningkatan tekanan darah, penurunan serum
sodium, dan hilangnya lipatan pada kelopak mata bagian atas. Terapi cairan dapat dibagi menjadi
maintenance, defisit, dan kebutuhan penggantian.

KEBUTUHAN CAIRAN MAINTENANCE


Kebutuhan maintenance pada pasien-pasien pediatri dapat ditentukan dengan rumus
yang ditampilkan pada bab 29, yaitu aturan 4:2:1 ; 4 ml/kg/jam untuk 10 kg pertama, 2
ml/kg/jam untuk 10 kg kedua, dan 1 ml/kg/jam untuk tiap kilogram sisanya. Pilihan cairan untuk
maintenance masih menjadi kontroversi. Larutan seperti D5 ½ NS dengan 20 mEq/l potassium
klorida memberikan dekstrosa dan elektrolit yang adekuat pada infuse maintenance ini. D5 ¼ NS
dapat merupakan pilihan yang lebih baik untuk neonatus karena keterbatasan mereka untuk
mengolah kelebihan sodium. Neonatus membutuhkan 3-5 mg/kg/menit infus glukosa untuk
menjaga keadaan euglikemia (40-125 mg/dl); neonatus prematur membutuhkan 5-6
mg/kg/menit.

DEFISIT
Sebagai tambahan terhadap infus maintenance, setiap defisit cairan preoperatif harus
digantikan. Sebagai contoh, apabila seorang bayi dengan berat badan 5 kg tidak mendapat cairan
oral atau intravena selama 4 jam sebelum operasi, maka defisit nya adalah sebesar 80 ml (5 kg x
4 ml/kg/jam x 4 jam). Berbeda dengan orang dewasa, bayi berespon terhadap dehidrasi dengan
penurunan tekanan darah namun tanpa disertai peningkatan denyut jantung. Defisit cairan
preoperatif diberikan dengan kebutuhan maintenance per jam dengan aturan 50 % pada satu jam
pertama dan 25 % pada jam kedua dan ketiga. Pada contoh diatas, total cairan sebesar 60 ml
akan diberikan pada satu jam pertama (80/2 + 20) dan 40 ml pada jam kedua dan ketiga (80/4 +
20). Jumlah yang besar dari larutan yang mengandung glukosa harus dihindari untuk mencegah
hiperglikemia. Defisit cairan preoperatif biasanya digantikan dengan cairan dengan kadar garam
seimbang (misal, injeksi Ringer Laktat) atau ½ normal salin. Dibandingkan dengan injeksi
Ringer laktat, normal salin memiliki kerugian yaitu menyebabkan timbulnya asidosis
hiperkloremi.

KEBUTUHAN PENGGANTIAN
Penggantian dapat dibagi menjadi kehilangan darah dan kehilangan pada ruang ketiga.

Kehilangan Darah
Volume darah pada neonatus prematur (100 ml/kg), neonatus cukup bulan (85-90
ml/kg), dan bayi (80 ml/kg) lebih besar secara proporsional dibandingkan orang dewasa (65-75
ml/kg). Nilai hematokrit awal sebesar 55 % pada neonatus cukup bulan yang sehat akan menurun
secara perlahan hingga sebesar 30 % pada bayi usia 3 bulan sebelum akhirnya mencapai 35 %
pada usia 6 bulan. Hemoglobin (Hb) juga berubah selama periode ini: dari konsentrasi HbF
(afinitas oksigen tinggi, PaO2 rendah, sedikit memasuki jaringan)sebesar 75 % pada saat lahir
hingga mencapai kadar HbA (afinitas oksigen rendah, PaO2 tinggi, cukup memasuki jaringan)
sebesar hampir 100 % pada usia 6 bulan.
Kehilangan darah scara khas akan dapat digantikan dengan kristaloid yang tidak
mengandung glukosa (misal, injeksi Ringer laktat 3 ml untuk tiap mililiter kehilangan darah)
atau larutan koloid (misal, 1 ml larutan albumin 5 % untuk tiap milliliter kehilangan darah)
sampai kadar hematokrit pasien mencapai batas terendah yang ditetapkan. Pada neonatus yang
prematur dan sakit, kadarnya dapat sebesar 40 % atau 50 5, dimana pada anak-anak yang lebih
tua dan sehat nilai hematokrit sebesar 20-6 % secara umum masih dapat ditoleransi. Karena
volume intravaskularnya kecil, neonatus dan bayi berisiko tinggi mengalami gangguan elektrolit
(seperti, hiperglikemia, hiperkalemia, dan hipokalsemia) yang …transfusi darah cepat. Dosis
transfusi packed red cell telah dibahas pada bab 29. Platelet dan fresh frozen plasma sebesar 10-
15 ml/kg harus diberikan apabila kelebihan darah melebihi 1-2 kal….volume darah. Satu unit
platelet per 10 kg berat badan dapat meningkatkan jumlah platelet sekitar 50.000/μl. Dosis
kriopresipitat untuk pediatri adalah 1 U/10 kg berat badan.
Third-space Loss
Kehilangan jenis ini tidak mungkin dapat diukur dan harus dapat diperkirakan dari besarnya
prosedur operasi yang dilakukan. Salah satu panduan yang dikenal adalah 0-2 ml/kg/jam untuk
operasi atraumatik relative (misal, koreksi strabismus) dan hingga 6-10 ml/kg/jam untuk
prosedur yang traumatic (misal, abses abdominal). Third-space Loss ini biasanya digantikan
dengan injeksi Ringer laktat (lihat bab 29).

Anestesi Regional
Kegunaan utama dari teknik regional dalam anestesi pediatric adalah sebagai tambahan
dan menurunkan kebutuhan akan anestesi umum serta memberikan pemulihan nyeri postoperatif
yang baik. Blok yang dihasilkan berbeda dalam kompleksitasnya, mulai dari blok saraf
peripheral sederhana yang telah dijelaskan pada bab 17 (seperti, blok penil, blok ilioinguinal)
sampai blok konduksi besar (seperti, anestesi spinal).
Blok kaudal telah terbukti berguna pada berbagai operasi, termasuk didalamnya adalah
sirkumsisi, herniorafi inguinal, perbaikan hipospadia, operasi anal, clubfoot repair, dan prosedur
subumbilikal lainnya. Kontraindikasi termasuk, infeksi disekitar hiatus sakralis, koagulopati,
atau abnormalitas anatomi. Pasien biasanya di anestesi secara ringan atau di sedasi dan
ditempatkan dalam posisi lateral.
Teknik anestesi kaudal untuk dewasa dijelaskan pada bab 16. Untuk anestesi kaudal
pada anak-anak, jarum no 22 yang pendek dapat digunakan. Hilangnya resistensi harus dapat
dinilai dengan salin, bukan dengan udara, karena adanya kemungkinan hubungannya dengan
emboli udara yang signifikan secara hemodinamik. Setelah karakteristik menunjukkan adanya
penetrasi pada membran sacrococcygeal, jarum diturunkan dan dimasukkan hanya beberapa
millimeter untuk menghindari masuknya jarum ke cavum dura atau corpus anterior dari sacrum.
Aspirasi dilakukan untuk mengetahui adakah darah atau cairan serebrospinal; anestesi lokal
kemudian dapat diinjeksikan dengan perlahan; dosis percobaan anestesi lokal dengan epinefrin
sebanyak 2 ml (1:200.000) membantu mencegah pemasangan pada intravascular.
Banyak agen anestesi yang digunakan untuk anestesi kaudal pada pasien-pasien pediatri,
dengan lidocain 1 % (hingga 7 mg/kg untuk larutan yang mengandung epinefrin) dan bupivacain
0,125-0,25 % (hingga 2,5 mg/kg) yang paling banyak digunakan. Ropivacain 0,2 % (hingga 2
mg/kg) dapat memberikan analgesia yang sama dengan bupivacain namundengan blokade
motorik yang lebih sedikit. Morfin sulfat (25 μg/kg) atau hidromorfin (6 μg/kg) dapat
ditambahkan pada larutan anestesi lokal untuk memperpanjang analgesia postoperatif pada
pasien rawat jalan, namun obat tersebut dapat meningkatkan risiko depresi pernapasan
postoperatif yang tertunda. Volume dari anestesi lokal yang dibutuhkan tergantung pada level
blokade yang diiinginkan, berkisar dari 0,5 ml/kg untuk blok sacral sampai 1,25 ml/kg untuk
blok midthoracic. Single-shot injection secara umum bertahan 4-12 jam. Pemasangan kateter
kaudal no 20 dengan infuse kontinyu anestesi lokal (misal, bupivacain 0,125 % atau ropivacain
0,1 % pada 0,2-0,4 mg/kg/jam) atau opioid (misal, fentanil 2 μg/ml pada 0,6 μg/kg/jam)
memberikan anestesi dan analgesia postoperatif yang panjang. Komplikasi jarang terjadi namun
termasuk didalmnya adalah toksisitas anestesi lokal akibat infuse kontinyu berkepanjangan atau
injeksi intravascular (misal, kejang, hipotensi, disritmia), blokade spinal, dan depresi respirasi.
Retensi urin postoperatif tidak nampak menjadi sebuah masalah setelah tindakan anestesi caudal
dosis tunggal.

Sedasi Untuk Prosedur Didalam dan Diluar Ruang Operasi


Sedasi sering dibutuhkan untuk prosedur nonoperatif bagi pasien pediatri di dalam dan
diluar ruang oeprasi. Sikap kooperatif dan tidak banyak gerakan mungkin dibutuhkan untuk studi
pencitraan, bronkoskopi, endoskopi gastrointestinal, kateterisasi jatung, dan prosedur-prosedur
minor (seperti, aspirasi sumsum tulang). Kebutuhannya bervariasi tergantung pada pasien dan
prosedur yang akan dijalankan, mulai dari anxiolisis (sedasi minimal), hingga sedasi sadar
(sedasi moderate dan analgesia), hingga sedasi/analgesia dalam, sampai akhirnya anestesi umum.
Untuk semua tujuan praktis, standard an panduan yang diberlakukan pada anesthesia umum juga
diaplikasikan pada sedasi moderate dan sedasi dalam. Hal ini meliputi persiapan operasi (misal,
puasa), penilaian, monitoring, dan perawatan postoperatif. Obstruksi jalan napas dan
hipoventilasi adalah masalah yang banyak ditemui. Dengan sedasi dalam dan anesthesia umum,
depresi kardiovaskular juga dapat menjadi masalah.
Tabel 44-3 berisi dosis obat-obatan sedatif/hipnotik. Salah satu sedative yang paling
banyak digunakan, khususnya oleh kalangan nonanestesiologi, adalah kloral hidrat, 25-100
mg/kg secara oral atau per rectal. Obat ini memiliki onset yang lambat hingga 60 menit dan
waktu paruh yang panjang (8-11 jam) yang mengakibatkan keadaan somnolen yang
berkepanjangan. Meskipun memiliki efek yang kecil terhadap ventilasi, namun obat ini
menyebabkan obstruksi jalan napas yang fatal pada pasien dengan sleep apneu dan anak-anak
yang lemah. Seperti halnya kloral hidrat, pentobarbital 1-3 mg/kg intarmuskular merupakan
sedatif long acting yang sangat baik dengan insidensi depresi napas yang rendah apabila
digunakan tunggal. Midazolam, 0,5 mg/kg oral atau 0,1-0,15 mg/kg intramuskular, khususnya
sangat berguna karena efeknya dapat segera di kembalikan dengan flumazenil. Dosis harus
diturunkan apabila digunakan lebih dari satu agen karena potensinya untuk sinegistik respirasi
dan depresi kardiovaskular.
Sejauh ini sedatif/hipnotik yang paling berguna adalah propofol. Meskipun obat ini tidak
dapat diterima untuk digunakan sebagai sedative bagi pasien pediatri di ICU, namun dapat
digunakan secara aman untuk sebagian besar prosedur pada dosis hingga 250 μg/kg/menit.
Oksigen tambahan dan monitoring ketat terhadap jalan napas, ventilasi, dan tanda vital lainnya
(seperti halnya pada agen lain). Masker laryngeal biasanya dapat ditoleransi dengan baik pada
dosis lebih tinggi.

Kegawatan dan Pemulihan


Pasien-pasien pediatri khususnya sangat mudah mengalami dua komplikasi
postanestesi : laringospasme dan …postintubasi. Seperti halnya pada orang dewasa, nyeri
postoperatif harus dikelola secara agresif.

LARINGOSPASME
 Laringospasme adalah spasme yang sangat kuat, involunter dari muskulatur laryngeal
yang disebabkan adanya stimulasi nervus laryngeal superior (lihat bab 5). Hal tersebut dapat
terjadi pada induksi, kegawatan, atau kapanpun ……tanpa tuba endotrakeal. Laringospasme
banyak terjadi pada pasien-pasien pediatri yang lebih muda (hampir 1 dalam 50) dibandingkan
dengan orang dewasa, tertinggi pada bayi usia 1-3 bulan. Laringospasme di akhir prosedur
dapat dihindari dengan meng ekstubasi pasien saat telah terjaga (membuka mata) atau saat
berada pada anestesi dalam (bernapas spontan namun tidak mengunyah ataupun batuk); kedua
teknik telah dilakukan. Ekstubasi selama interval diantara keadaan-keadaan ini, bagaimanapun,
diketahui merupakan hal yang berbahaya. Adanya URTI atau pemaparan terhadap….rokok
tembakau menjadi predisposisi pasien mengalami kegawatan laringospasme. Penanganan
laringospasme meliputi ventilasi tekanan positif, jaw thrust, lidokain intravena (1-1,5 mg/kg),
atau paralisis dengan suksinilkolin intravena (0,5-1 mg/kg) atau rocuronium (0,4 mg/kg) dan
ventilasi terkontrol. Suksinilkolin intramuskular (4-6 mg/kg) masih dapat diterima sebagai
alternatif pada pasien-pasien tanpa akses intravena dan pada mereka yang gagal dilakukan
konservatif. Laringospasme biasanya merupakan kejadian yang terjadi segera postoperatif,
namun dapat juga terjadi di ruang pemulihan sesaat setelah pasien bangun dan lalu tersumbat
oleh sekresi faringeal. Oleh karena itulah, memulihkan pasien pediatric harus diposisikan dalam
posisi lateral sehingga sekresi oral terkumpul dan mengalir keluar dari plika vokalis. Saat anak
akan mencapai pemulihan terhadap kesadarannya, akan lebih nyaman bagi mereka bila orang
tua ada disisinya.

CROUP POSTINTUBASI
Croup adalah disebabkan edema glottis atau trakea. Karena bagian tersempit dari jalan
napas pediatri adalah kartilago krikoid, tempat ini merupakan area yang mudah terkena. Croup
jarang terjadi dengan tuba endotrakeal yang tidak ber cuff dan cukup kecil untuk dilalui gas
yang bocor sebesar 10-25 cm H2O. Croup postintubasi berkaitan dengan anak-anak usia dini
(usia 1-4 tahun), usaha intubasi berulang, tuba endotrakeal yang besar, operasi berkepanjangan,
prosedur kepala dan leher, dan pergerakan berlebihan dari tuba (misal, batuk saat tuba
terpasang, memindahkan posisi kepala pasien). Deksametason intravena (0,25-0,5 mg/kg) dapat
mencegah terjadinya edema, dan inhalasi nebul epinefrin (0,25-0,5 ml larutan 2,25 % pada
normal salin 2,5 ml) merupakan terapi yang efektif. Meskipun croup postintubasi adalah
komplikasi yang terjadi kemudiandibandingkan laringospasme, hal tersebut hampir selalu
timbul dalam 3 jam setelah ekstubasi.

PENGELOLAAN NYERI POSTOPERATIF


Nyeri pada pasien-pasien pediatric telah menjadi perhatian pada tahun-tahun terakhir ini,
khususnya penggunaan teknik anestesi regional (di atas). Opioid parenteral yang biasa dipakai
meliputi fentanil 1-2 μg/kg, morfin 0,05-0,1 mg/kg, hidromorfon 0,015 mg/kg, dan meperidin
0,5 mg/kg. Ketorolac (0,5-0,75 mg/kg) secara signifikan menurunkan kebutuhan akan opioid.
Acetaminophen rectal (40 mg/kg) juga dapat membantu.
Analgesia - yang dapat mengontrol pasien (lihat bab 18) juga dapat digunakan dengan
sukses pada pasien-pasien usia 6-7 tahun, tergantung pada maturitas mereka dan pada persiapan
preoperatif. Opioid yang banyak digunakan adalah morfin dan hidromorfon. Dengan interval 10
menit, dosis interval yang direkomendasikan adalah 20 μg/kg atau hidromorfon 5 μg/kg.
Sebagaimana halnya orang dewasa, infuse kontinyu dapat meningkatkan risiko depresi respirasi;
dosis infus kontinyu yang direkomndasikan adalah morfin 0-12 μg/kg/jam atau hidromorfon 0-3
μg/kg/jam. Jalur subkutan dapat digunakan untuk morfin.
Seperti halnya pada orang dewasa, infus epidural untuk analgesia postoperatif biasanya
mengandung anestesi lokal ditambah opioid. Bupivacain 0,1-0,125 % atau ropivacain 0,1-0,2 %
digunakan dengan fentanil 2-2,5 μg/ml. Laju infus yang direkomendasikan tergantung pada
ukuran pasien, konsentrasi akhir obat, serta lokasi kateter epidural, dan berkisar antara 0,1
sampai 0,4 ml/kg/jam.

PREMATURITAS
Patofisiologi
Prematuritas didefinisikan sebagai kelahiran sebelum usia kehamilan 37 minggu. Hal ini
berbeda dengan “kecil masa kehamilan”, yang mana diartikan sebagai bayi (cukup bulan atau
prematur) yang berat badan berdasarkan umur nya kurang dari persentil ke 5. Masalah medis
multipel pada neonatus prematur biasanya akibat imaturitas sistem organ besar atau akibat
asfiksia intrauterine. Komplikasi pulmonal mencakup penyakit membrane hyaline, apneic spells,
dan bronkopulmonal dysplasia. Surfaktan pulmonal eksogen terbukti sebagai terapi yang efektif
untuk sindroma distress respirasi pada bayi-bayi prematur. Patensi duktus arteriosus berakibat
terjadinya pirau, edema pulmo, dan gagal jantung kongestif. Hipoksia persisten atau syok dapat
menyebabkan iskemia pada usus dan enterokolitis nekrotikans. Prematritas juga meningkatkan
kemungkinan infeksi, hipotermia, perdarahan intracranial, dan kern ikterus. Neonatus prematur
juga mengalami peningkatan insidensi anomali kongenital.

Pertimbangan Anestesi
Ukuran tubuh yang kecil (umumnya kurang dari 1000 gram) dan kondisi medis yang
rapuh pada neonatus prematur menyebabkan kebutuhan yang besar akan teknik anestesi yang
sangat cermat. Perhatian yang khusus harus diberikan pada kontrol jalan napas, pengelolaan
cairan, dan regulasi temperatur. Masalah retinopathy of prematurity, sebuah proliferasi
fibrovaskular di sekitar retina yang dapat menyebabkan hilangnya penglihatan progresif, harus
mendapat perhatian yang khusus. Walaupun hiperoksia berkaitan dengan penyakit kebutaan ini,
namun keberadaan hemoglobin fetal dan terapi dengan vitamin E dapat bersifat protektif. Fakta
terkini menjelaskan bahwa kadar oksigen yang berfluktusi dapat lebih merusak dibandingkan
…… Selain itu, harus terdapat faktor risiko utama lainnya, seperti distress respirasi, apnea,
ventilasi mekanik, hipoksia, hiperkarbia, asidosis, penyakit jantung, bradikardia, infeksi, nutrisi
parenteral, anemia, dan transfusi darah multipel. Meskipun begitu, oksigenasi harus di
monitoring secara kontinyu dengan pulse oksimetri atau analisis oksigen transkutaneus, dengan
perhatian khusu diberikan pada bayi usia kurang dari 44 minggu postkonsepsi. PaO2 normal
pada neonatus adalah sebesar 60-80 mmHg. Konsentrasi oksigen inspirasi yang berlebihan
sangat dihindari dengan cara mencampur oksigen dengan udara atau nitrous oksida. Oksigen…..
inspirasi yang tinggi juga dapat menjadi predisposisi terjadinya penyakit paru kronis.
Kebutuhan anestesi pada neonatus prematur harus dikurangi. Agonis opioid, seperti
fentanil, sering dipilih daripada anestesi volatile karena kecenderungan agen volatile untuk
menyebabkan depresi miokardial. Nitrous oksida pun dapat menyebabkan depresi kardiovaskular
tertentu. Relaksan otot dapat memberikan kondisi operasi yang baik, dan ventilasi juga dapat
terkontrol.
Bayi-bayi prematur usia kurang dari 50 minggu postkonsepsi (beberapa mengatakan 60)
saat operasi mudah untuk mengalami episode obstruktif postoperatif dan apnea sentral sampai 24
jam. Pada kenyataannya, bayi yang cukup bulan pun dapat mengalami – meskipun jarang –
apneic spells setelah anesthesia umum. Faktor risiko tejadinya apnea postoperatif mencakup
kelahiran kurang bulan, anemia (< 30 %), hipotermia, sepsis, dan abnormalitas neurologis.
Risiko apnea postanestesi ini dapat menurun dengan pemberian kafein intravena (10 mg/kg) atau
aminofilin.
Meskipun begitu, prosedur elektif atau rawat jalan harus ditunda sampai bayi preterm
tersebut mencapai usia setidaknya 50 minggu postkonsepsi. Interval 6 bulan bebas gejala telah
dianjurkan untuk bayi-bayi yang memiliki riwayat episode apneu atau bronkopulmonal
dysplasia. Apabila operasi harus dilakukan di awal, monitoring dengan pulse oksimetri selama
12-24 jam postoperatif dianjurkan pada bayi kurang dari 50 minggu postkonsepsi; bayi-bayi
antara 50 dan 60 minggu postkonsepsi harus diobservasi secara ketat di unit perawatan
postanestesia setidaknya selama 2 jam.
Neonatus prematur yang sakit sering mendapat tambahan darah multipel selama perawatannya di
unit perawatan intensif pediatri. Status imunokompromised mereka menjadi predisposisi mereka
untuk mengalami infeksi sitomegalovirus setelah infeksi. Tanda-tanda infeksi meliputi
limfadenopati generalisata, demam, pneumonia, hepatitis, anemia hemolitik, dan
trombositopenia. Pemeriksaan preventif termasuk menggunakan darah donor sitomegalovirus-
seronegatif atau sel darah beku.

MALROTASI INTESTINAL DAN VOLVULUS


Patofisiologi
Malrotasi intestinal adalah abnormalitas perkembangan yang menyebabkan rotasi abnormal
spontan dari midgut di sekeliling mesenterium (arteri mesenterica superior). Insidensi malrotasi
diperkirakan sekitar 1:500 kelahiran hidup. Mayoritas pasien dengan malrotasi midgut tampak
saat bayi dengan gejala obstruksi usus akut atau kronik. Berputarnya duodenum dengan colon
ascendens dapat menyebabkan obstruksi duodenal parsial atau komplit. Komplikasi paling serius
dari malrotasi, yaitu volvulus midgut, dapat secara cepat menyebabkan compromise suplai darah
intestinal. Volvulus midgut adalah kegawatan yang paling banyak terjadi pada bayi, dengan
hampir sepertiganya terjadi pada minggu pertama kehidupan. Pasien biasanya memperlihatkan
gejala muntah bilier, distensi abdominal progresif dan nyeri, asidosis metabolik, serta instabilitas
hemodinamik. Diare disertai darah dapat mengindikasikan adanya infark usus. Ultrasonografi
abdominal atau pencitraan gastrointestinal bagian atas dapat mengkonfirmasi diagnosis.

Pertimbangan Anestesi
Terapi definitif pada malrotasi dan volvulus midgut adalah koreksi dengan pembedahan. Apabila
terjadi obstruksi namun tanpa disertai tanda yang jelas adanya volvulus, persiapan preoperatif
dapat mencakup stabilisasi terhadap setiap kondisi penyerta, insersi nasogastrik (atau tuba
orogastrik) untuk membantu dekompresi abdomen, antibiotik spektrum luas, penggantian cairan
dan elektrolit, serta persiapan pemindahan ke ruang operasi.
Pasien berisiko mengalami aspirasi pulmonal. Bergantung dari ukuran tubuh pasien, setelah
preoksigenasi adekuat, awake intubation atau induksi sekuens cepat harus digunakan. Pasien-
pasien dengan volvulus biasanya hipovolemik dan asidosis, dan sering memiliki toleransi yang
rendah terhadap anesthesia. Pada kasus seperti itu ketamin dapat menjadi agen anestesi pilihan.
Anestesi berbasis opioid juga direkomendasikan untuk ventilasi postoperatif. Resusitasi cairan
agresif, termasuk produk darah, dan terapi sodium bikarbonat biasanya juga dibutuhkan.
Monitoring invasive sangat membantu. Terapi operatif meliputi pengurangan volvulus,
membebaskan obstruksi, melebarkan perlekatan basis mesenterika, dan reseksi usus yang
nekrotik. Edema usus dapat berkomplikasi berupa penutupan abdomen dan memiliki potensi
untuk menimbulkan sindroma kompartemen abdominal. Hal tersebut dapat mengganggu
ventilasi, menghambat aliran balik vena, dan menyebabkan renal compromise; penutupan
sementara dengan Silastic silo mungkin dibutuhkan. A second-look laparotomy dapat dibutuhkan
24-48 jam kemudian untuk memastikan viabilitas dari usus yang tersisa. Mortalitas dari volvulus
cukup tinggi (hingga 25 %).

HERNIA DIAFRAGMATIKA KONGENITAL


Patofisiologi
Selama perkembangan fetal, usus dapat mengalami herniasi ke dalam rongga thoraks melalui
satu dari tiga defek diafragma: foramen Bochdalek posterolateral kanan atau kiri, atau foramen
Morgagni anterior. Insidensi hernia diafragmatika yang dilaporkan adalah sebesar 1 dalam 3000-
5000 kelahiran hidup. Herniasi ke kiri adalah jenis yang paling banyak terjadi (90 %). Tanda
khas adanya hernia difragmatika adalah hipoksia, scaphoid abdomen, dan bukti adanya usus di
rongga thoraks dengan auskultasi atau radiografi. Hernia diafrgamatika kongenital sering
didiagnosis saat antenatal sebagai hasil dari pemeriksaan ultrasonografi rutin. Reduksi alveolus
dan bronkiolus (hipoplasia pulmonal) serta malrotasi intestinal hampir selalu ditemukan. Paru
ipsilateral biasanya terpengaruh dan usus yang mengalami herniasi dapat menekan dan
memperlambat maturasi kedua paru. Hernia diafragmatika sering disertai dengan hipertensi
pulmonal dan berkaitan dengan 40-50 % mortalitas. Kardiopulmonal compromise lebih
dipandang sebagai akibat dari hipoplasia pulmonal dan hipertensi pulonal daripada sebagai efek
massa dari visera yang ber herniasi.
Terapi ditujukanpada stabilisasi segera dengan sedasi, paralisis, dan hiperventilasi moderate.
Ventilasi tekanan terbatas digunakan. Beberapa centre menggunakan dan memperbolehkan
hiperkapnia (PaCO2 postductal < 65 mmHg) dan hipoksemia ringan (SpO2 preductal > 85 %)
sebagai usaha untuk mengurangi barotrauma pulmonal. High – frequency Oscillatory Ventilation
(HFOV) dapat meningkatakan ventilasi dan oksigenasi dengan sedikit barotrauma. Nitric oksida
inhalasi dapat digunakan untuk menurunkan tekanan arteri pulmonal namun tidak meningkatkan
daya tahan hidup. Bila hipertensi pulmonal stabil dan terdapat sedikit pirau kanan ke kiri, maka
operasi perbaikan dini mungkin dapat dilakukan. Bila pasien gagal untuk stabil, extracorporeal
membrane oxygenation (ECMO) dapat dilakukan di beberapa center. ECMO biasanya
melibatkan pemompaan darah dari atrium kanan melalui oksigenator membran dan …..pengubah
panas sebelum mengembalikannya ke aorta ascendens (ECMO venoarterial). Sebagai alternatif,
darah dapat dikembalikan ke vena femoralis (ECMO venovenosus). Waktu untuk perbaikan
setelah ECMO masih controversial. Penanganan dengan operasi intrauterin prenatal nampaknya
cukup menjanjikan.

Pertimbangan Anestesi
Distensi gaster harus diminimalisir dengan pemasangan tuba nasogastrik dan menghindari level
ventilasi tekanan positif yang tinggi.neonatus diberikan preoksigenasi dan awake intubation, atau
tanpa bantuan relaksan otot. Anestesi dikelola dengan konsentrasi yang rendah dari agen volatile
atau opioid, relaksan otot, dan udara, yang masih dapat ditoleransi. Hipoksia dan ekspansi udara
di usus menjadi kontraindikasi penggunaan nitrous oksida. Apabila mungkin, tekanan jalan napas
inspirasi puncak harus kurang dari 30 cm H2O. Penurunan mendadak pada komplians paru,
tekanan darah, atau oksigenasi dapat menandakan adanya pneumothoraks kontralateral (biasanya
sisi kanan) dan pemasangan ….chest tube. Monitoring gas darah arterial dilakukan dengan cara
mengambil sample dari arteri preductal apabila kateter arteri umbilical tidak tersedia di tempat.
Operasi perbaikan dilakukan via insisi subkostal pada sisi yang terkena; usus dikurangi ke dalam
abdomen dan diafragma ditutup. Usaha agresif dalam melakukan ekspansi paru ipsilateral setelah
operasi dekompresi adalah sangat berbahaya. Prognosis postoperatif adalah sama besarnya
dengan hipoplasia pulmonal dan adanya defek kongenital lainnya.

FISTULA TRAKEOESOGAGEAL
Patofisiologi
Terdapat beberapa tipe fistula trakeoesofageal (Gambar 44-3). Yang paling banyak (tipe IIIB)
merupakan kombinasi dari esophagus bagian atas yang berakhir pada suatu sakus dan esophagus
bagian bawah yang berhubungan dengan trakea. Bernapas akan berakibat pada distensi gaster,
dimana makan akan menyebabkan timbulnya tersedak, batuk, dan sianosis (tiga C). Dikatakan
suspek apabila terjadi kegagalan untuk melewatkan kateter menuju ke abdomen dan dikonfirmasi
dengan visualisasi dari kateter yang melingkar pada sakus…. Pneumonia spirasi dan anomali
kongenital lain yang menyertai (misal, kardiak) adalah hal yang banyak ditemukan. Hal tersebut
jugatermasuk adanya defek vertebral, atresia ani, fistula trakeoesofageal dengan atresia
esophageal, dan radial dysplasia, yang dikenal dengan nama sindroma VATER. Varian dari
VACTER juga mencakup anomali kardiak dan tungkai. Manajemen preoperative dilakukan
dengan mengidentifikasi seluruh anomali congenital dan mencegah pneumonia aspirasi. Hal ini
termasuk juga perawatan dengan kepala ditinggikan, tuba oral-esofageal, dan menghindari
makan. Pada beberapa kasus gastrostomi dapat dilakukan dengan anesthesia lokal. Penanganan
dengan operasi definitif biasanya ditunda sampai setiap pneumonia bersih atau membaik dengan
terapi antibiotik.

Gambar 44-3

Pertimbangan Anestesi
Nonatus-neonatus ini cenderung memiliki sekresi faringeal yang sangat banyak sehingga
membutuhkan suctioning yang berulang sebelum dan selama operasi. Ventilasi tekanan positif
dihindari sebelum intubasi, karena distensi gaster mungkin disertai dengan adanya ekspansi paru.
Intubasi sering dilakukan saat pasien sadar (awake intubation) dan tanpa relaksan otot. Neonatus-
neonatus ini sering mengalami dehidrasi dan malnutrisi akibat asupan oral yang kurang.
Kunci keberhasilan manajemen adalah terletak pada posisi tuba endotrakeal yang tepat. Idealnya,
ujung tuba berada diantara fistula dan carina, sehingga gas anestesi akan mengalir menuju kedua
paru daripada menuju abdomen. Hal ini mustahil dicapai bila fistula berhubungan dengan carina
atau bronkus utama. Pada situasi seperti ini, ventilasi intermiten dengan tuba gastrostomi yang
telah dipasang saat preoperative dapat menyebabkan ventilasi tekanan positif tanpa disertai
distensi gaster yang berlebihan. Suction pada tuba gastrostomi dan tuba sakus esophageal bagian
atas dapat membantu mencegah pneumonia aspirasi. Operasi pemisahan anastomosis fistula dan
esophageal dilakukan via thorakotomi ekstrapleural kanan dengan pasien berada pada posisi left
lateral. Stetoskop prekordial harus ditempatkan pada aksila yang tertekan (kiri), karena obstruksi
pada bronkus utama selama operasi dapat terjadi. Penurunan saturasi oksigen menunjukkan
bahwa paru yang ter retraksi harus di reekspansi. Operasi ini juga dapat mengakibatkan kompresi
pembuluh darah besar, trakea, jantung, dan nervus vagus. Tekanan darah harus di monitoring
secara kontinyu melalui jalur arterial. Bayi-bayi ini biasanya membutuhkan ventilasi dengan
oksigen 100 %, meskipun terdapat risiko retinopathy of prematurity. Darah harus tersedia untuk
transfusi. Komplikasi postoperatif dapat berupa refluks gastroesofageal, pneumonia aspirasi,
kompresi trakeal, dan terputusnya anastomosis. Kebanyakan pasien masih tetap membutuhkan
intubasi dan ventilasi tekanan positif pada periode postoperatif awal. Ekstensi leher dan
instrumentasi pada esophagus (misal, suctioning) dapat mengganggu operasi perbaikan dan harus
dihindari.

GASTROSCHISIS & OMPHALOCELE


Patofisiologi
Gastroschisis dan omphalocele merupakan gangguan kongenital yang ditandai dengan adanya
defek pada dinding abdomen sehingga mengakibatkan herniasi eksternal dari visera.
Omphalocele terjadi pada basis umbilicus, memiliki kantung hernia, dan sering disertai dengan
anomali congenital lain seperti trisomi 21, hernia diafragmatika, serta malformasi kardiak dan
vesika urinaria. Sebaliknya, defek gastroschisis biasanya terjadi di lateral umbilicus, tanpa
kantung hernia, dan sering ditemukan sebagai bangunan yang terpisah. Diagnosis antenatal
dengan ultrasonografi dapat diikuti dengan section Caesar elektif pada usia kehamilan 38 minggu
dan operasi perbaikan segera. Manajemen perioperatif dikhusukan pada pencegahan hipotermia,
infeksi, dan dehidrasi. Masalah-masalah tersebut biasanya lebih serius pada gastroschisis, karena
tidak terdapatnya kantung hernia yang bersifat protektif.

Pertimbangan Anestesi
Abdomen di dekompresi dengan tuba nasogastrik sebelum dilakukan induksi. Intubasi dapat
dilakukan dengan pasien tetap terjaga (awake) atau tertidur dan dengan atau tanpa relaksasi
otot.nitrous oksida harus dihindari untuk mencegah distensi usus lebih jauh. Relaksasi otot
dibutuhkan untuk mengembalikan usus ke dalam cavum abdomen. Penutupan satu tahap
(perbaikan primer) tidak selalu dianjurkan, karena dapat menyebabkan sindroma kompartemen
abdominal. Penutupan bertahap dengan Dacron-reinforced Silastic silo temporer pada tahap awal
dapat diperlukan, dilanjutkan dengan prosedur kedua beberapa hari berikutnya untuk melengkapi
penutupan. Kriteria yang dianjurkan untuk penutupan bertahap meliputi tekanan intragastrik atau
intravesika > 20 cm H2O, tekanan inspirasi puncak> 35 cm H2O, atau end-tidal karbondioksida
> 50 mmHg. Third-space fluid losses digantikan secara agresif dengan larutan dengan kadar
garam seimbang dan albumin5 %. Neonatus tetap diintubasi sampai setelah prosedur selesai dan
dilepaskan dari ventilator 1-2 hari setelahnya di unit perawatan intensif.
HIPERTROPHY PYLORIC STENOSIS
Patofisiologi
Hipertrofi pyloric stenosis disertai dengan pengosongan isi lambung. Muntah persisten dapat
menurunkan kadar sodium, potassium, klorida, dan ion hidrogen, menyebabkan alkalosis
metabolic hiperkloremik. Awalnya, ginjal berusaha untuk mengkompensasi alkalosis dengan
mengekskresi sodium bikarbonat di urin. Kemudian, karena hiponatremia dan dehidrasi semakin
memburuk, ginjal harus menyimpan sodium meskipun terjadi ekskresi ion hydrogen (asiduria
paradoksal). Koreksi terhadap defisit volume dan alkalosis metabolik membutuhkan hidrasi
dengan larutan sodium klorida ditambah dengan potassium. Karena laktat dimetabolisme
maenjadi bikarbonat, injeksi Ringer laktat tidak boleh digunakan.

Pertimbangan Anestesi
Operasi harus ditunda sampai abnormalitas cairan dan elektrolit dikoreksi. Abdomen harus
dikosongkan dengan tuba nasogastrik atau orogastrik yang besar; tuba harus di suction dengan
pasien berada dalam posisi supine, lateral, atau prone. Teknik intubasi dan induksi sangat
beragam, namun pada semua kasus risiko tinggi pasien untuk mengalami aspirasi harus
dipertimbangkan. Para klinisi yang berpengalaman telah menggunakan awake intubation, induksi
sekuens cepat, dan induksi inhalasi pada pasien-pasien tertentu. Pyloromiotomi merupakan
prosedur singkat yang membutuhkan relaksasi otot. Neonatus-neonatus tersebut mungkin
berisiko tinggi mengalami depresi pernapasan dan hipoventilasi di ruang pemulihan karena
alkalosis cairan serebrospinal atau metabolik persisten.

CROUP INFEKSIUS, ASPIRASI BENDA ASING, & EPIGLOTITIS AKUT


Patofisiologi
Croup adalah obstruksi jalan napas yang ditandai oleh batuk seperti menggonggong. Salah satu
jenis dari croup, yaitu croup postintubasi, telah didiskusikan. Jenis lainnya adalah disebabkan
oleh infeksi viral. Croup infeksius biasanya terjadi setelah URTI akibat virus pada anak-anak
usia 3 bulan hingga 3 tahun. Jalan napas yang terlibat adalah dibawah epiglotis
(laringotrakeobronkitis). Croup infeksius memiliki progresifitas lambat dan jarang membutuhkan
intubasi. Aspirasi benda asing khas terjadi secara tidak terduga pada anak-anak usia 6 bulan
hingga 5 tahun. Benda-benda yang sering ter aspirasi adalah kacang, koin, dan mainan yang
berukuran kecil. Onset biasanya akut dan obstruksi dapat berlangsung supraglotik, glotik, atau
subglotik. Stridor banyak terjadi pada kedua jenis yang disebutkan di awal, sementara wheezing
lebih bnyak dijumpai pada tipe subglotik. Riwayat yang jelas tentang terjadinya aspirasi dapat
tidak dijumpai. Epiglotitis akut merupakan infeksi bacterial (yang paling banyak adalah
Haemophilus influenza tipe B) secara klasik menyerang anak-anak usia 2 hingga 6 tahun.
Penyakit ini akan berkembang dengan cepat mulai dari nyeri tenggorokan sampai disfagia dan
obstruksi jalan napas total. Istilah supraglotitis dikemukakan karena inflamasi khas melibatkan
semua struktur supraglotis. Intubasi endotrakeal dan terapi antibiotik dapat menjadi lifesaving.
Epiglotitis lama kelamaan telah menjadi penyakit orang dewasa dikarenakan penggunaan yang
luas dari vaksin H influenza pada anak-anak.

Pertimbangan Anestesi
Pasien-pasien dengan croup ditangani secara konservatif dengan oksigen dan terapi uap.
Digunakan nebulisasi dengan epinefrin (0,5 ml larutan 2,25 % dalam 2,5 ml normal salin) dan
deksametason intravena (0,25- 0,5 ml/kg). Indikasi untuk intubasi termasuk adalah retraksi
interkostal progresif , fatigue respiratori, dan sianosis sentral.
Pengelolaan anestesi dari aspirasi benda asing merupakan hal yang menantang, khusunya dengan
obstruksi supraglotik dan glotik. Manipulasi minor terhadap jalan napas dapat mengakibatkan
obstruksi partial menjadi obstruksi total. Para ahli merekomendasikan induksi inhalasi yang
cermat pada inhalasi benda supraglotik dan endoskopi jalan napas bagian atas secara hati-hati
untuk mengambil benda dan/atau menyelamatkan jalan napas.apabila benda terletak subglotik,
induksi sekuens cepat atau induksi inhalasi biasanya diikuti dengan bronkoskopi yang kaku oleh
ahli bedah atau intubasi endotrakeal dan bronkoskopi fleksibel. Pilihan operasi beragam
tergantung dari ukuran tubuh pasien serta asal dan lokasi dari benda asing. Komunikasi dan
kerjasama yang baik antara ahli bedah dan ahli anestesi sangatlah penting.
Anak-anak dengan obstruksi jalan napas impending akibat epiglottitis berada dalam kamar
operasi untuk diagnosis definitive dengan laringoskopi diikuti dengan intubasi. Radiografi leher
lateral saat preoperatif dapat menunjukkan penanda khas berupa epiglottic shadow, yang sangat
spesifk namun sering tidak nampak. Radiografi juga membantu menunjukkan adanya sebab lain
dari obstruksi, seperti benda asing. Stridor, mengalirnya saliva dari mulut, serak, onset cepat dan
progresif, takipneu, retraksi dinding dada, dan kecenderungan pada posisi tegak merupakan
prediksi terjadinya obstruksi jalan napas. Obstruksi total dapat terjadi kapan saja, dan persiapan
yang adekuat untuk kemungkinan trakeostomi harus dibuat sebelum induksi anesthesia umum.
Laringoskopi tidak boleh dilakukan sebelum induksi anesthesia karena kemungkinan adanya
laringospasme. Pada kebanyakan kasus, induksi inhalasi dilakukan dengan pasien berada pada
posisi duduk, menggunakan anestesi volatile dan oksigen konsentrasi tinggi. Intubasi oral dengan
tuba endotrakeal berukuran satu setengah sampai satu kali lebih kecil dibandingkan biasanya
harus diusahakan sesegera mungkin saat kedalaman anestesi yang adekuat tercapai. Tuba oral
dapat digantikan dengan tuba endotrakeal nasal yang cukup aman, pada akhir dari prosedur,
karena tuba tersebut ditoleransi lebih baik pada periode postoperatif. Apabila intubasi tidak
dimungkinkan, rigid bronkoskopi atau trakeostomi emergency harus dilakukan.

TONSILEKTOMI & ADENOIDEKTOMI


Patofisiologi
Hyperplasia limfoid dapat mengakibatkan obstruksi jalan napas bagian atas, pernapasan melalui
mulut, dan hipertensi pulmonal dengan cor pulmonale. Meskipun patologi hal-hal tersebut tidak
biasa, namun anak-anak yang menjalani tonsilektomi atau adenoidektomi harus dipertimbangkan
untuk mengalami peningkatan risiko terhadap terjadinya masalah jalan napas perioperatif.

Pertimbangan anestesi
Operasi harus ditunda apabila terdapat bukti adanya infeksi akut atau sangkaan adanya gangguan
pembekuan (misal, konsumsi aspirin sebelumnya). Pemberian antikolinergik preoperatif akan
menurunkan sekresi faringeal. Riwayat obstruksi jalan napas atau apneu menunjukkan
dibutuhkannya induksi inhalasi tanpa paralisis sampai kemampuan untuk membuat ventilasi
tekanan positif tercapai. Tuba endotrakeal yang telah diperkuat (misal, tuba RAE) dapat
menurunkan risiko melengkungnya tuba. Transfusi darah biasanya tidak diperlukan, namun para
ahli anestesi harus waspada terhadap hilangnya darah secara tersembunyi (occult). Inspeksi dan
suction pada faring yang cermat dilakukan sebelum ekstubasi. Meskipun ekstubasi yang dalam
menurunkan kemungkinan laringospasme dan dapat mencegah terlepasnya bekuan darah akibat
batuk, sebagian besar ahli anestesi memilih awake ekstubation karena risiko aspirasi. Muntah
postoperatif adalah hal yang banyak terjadi. Ahli anestesi harus waspada terhadappedarahan
postoperatif yang terjadi di ruang pemulihan, yang mana dapat ditandai dengan kelemahan,
puvat, takikardia, atau hipotensi. Apabila reoperasi dibutuhkan untuk mengontrol perdarahan,
volume intravaskular harus yang pertama kali dikembalikan. Evaluasi tehadap isi abdomen
dengan tuba nasogastrik diikuti dengan induksi sekuens cepat dengan penekanan pada krikoid.
Karena adanya kemungkinan terjadinya perdarahan dan obstruksi jalan napas, anak-anak usia
kurang dari 3 tahun di rawat inap untuk malam pertama postoperatif. Sleep apneu dan infeksi
yang eterakhir dialami dapat meningkatkan risiko terjadinya komplikasi postoperatif.

MIRINGOTOMI & INSERSI TIMPANOSTOMI


Patofisiologi
Anak-anak yang menjalani miringotomi dan insersi tuba timpanostomi memiliki riwayat infeksi
saluran pernapasan bagian atas yang lama dan telah menyebar ke tuba eustachii, mengakibatkan
episode otitis media. Organisme penyebab biasanya adalah bakteri dan termasuk Pneumococcus,
H influenza, Streptococcus, dam Mycoplasma pneumonia. Miringotomi, insisi radial pada
membrane timpani, melepaskan banyak cairan yang akan terakumulasi pada telinga bagian
tengah. Tuba timpanostomi memberikan ventilasi jangka panjang dan drainase. Karena penyakit
bersifat kronik serta berulang, tidak mengejutkan bila pasien-pasien sering mengalami gejala
URTI pada hari dijadwalkannya operasi.

Pertimbangan Anestesi
Prosedur-prosedur operasi ini biasanya berlangsung sangat singkat (10-15 menit) dan pasien
menjalani rawat jalan. Induksi inhalasi dengan nitrous oksida, oksigen, dan halotan merupakan
teknik yang banyak digunakan. Tidak seperti operasi timpanoplasti, nitrous oksida yang berdifusi
ke dalam telinga tengah bukanlah sebuah masalah selama miringotomi karena periode anestesi
yang singkat sebelum telinga tengah dilubangi. Karena sebagian dari pasien ini sehat dan tidak
terjadi kehilangan darah, maka akses intravena biasanya tidak dibutuhkan. Ventilasi dengan
sungkup wajah atau LMA meminimalisir risiko komplikasi respirasi perioperatif yang berkaitan
dengan intubasi (seperti, laringospasme).

SINDROMA TRISOMI 21 (SINDROMA DOWN)


Patofisiologi
Adanya kromosom 21 tambahan – sebagian atau seluruhnya – berakibat pada terjadinya
malformasi congenital yang paling anyak terjadi pada manusia : sindroma Down. Karakteristik
abnormalitas yang menjadi perhatian bagi ahli anestesi adalah leher yang pendek, dentisi
(pertumbuhan gigi) irregular, retardas mental, hipotonia, dan lidah yang besar. Abnormalitas
yang berhubungan termasuk adalah penyakit jantung congenital pada 40 % pasien (khususnya
defek endokardial dan defek septal ventricular), stenosis subglotik, fistula trakeoesofageal,
infeksi pulmonal kronik, dan kejang. Neonatus-neonatus ini sering lahir prematur dan kecil untuk
masa kehamilan. Selanjutnya dalam kehidupan, pasien dengan sindroma Down sering
membutuhkan banyak prosedur yang membutuhkan anesthesia umum.

Pertimbangan Anestesi
Karena adanya perbedaan anatomi, pasien-pasien ini sering memiliki jalan naps yang sulit,
khususnya selama periode bayi. Ukuran tuba endotrakeal yang dibutuhkan biasanya lebih kecil
daripada yang diprediksikan berdasarkan umur. Komplikasi respiratori seperti stridor
postoperatif dan apneu banyak terjadi. Fleksi leher selama laringoskopi dan intubasi dapat
menyebabkan dislokasi atlantooccipitalis karena kelemahan dari ligamen-ligamen ini secara
kongenital. Kemungkinan terhadap adanya penyakit congenital yang berkaitan harus selalu
dipertimbangkan. Seperti halnya dengan semua pasien pediatric, perhatian harus diberikan untuk
mencegah adanya gelembung-gelembung udara pada jalur intravena karena kemungkinan
terjadinya pirau dari kanan ke kiri (emboli udara paradoksal).

FIBROSIS KISTIK
Patofisiologi
Fibrosis kistik adalah penyakit herediter pada galndula eksokrin yang secara primer
mempengaruhi sistem pulmonal dan gastrointestinal. Sekresi abnormal yang tebal dan kental
serta berkurangnya aktivitas silia mengakibatkan terjadinya pneumonia, wheezing, dan
bronkiektasis. Studi terhadap fungsi paru mengungkapkan adanya peningkatan volume residual
dan resistensi jalan napas serta adanya penurunan kapasitas vital dan laju aliran ekspirasi.
Sindroma malabsorbsi dapat menyebabkan dehidrasi dan abnormalitas elektrolit.

Pertimbangan Anestesi
Premedikasi tidak boleh menggunakan depresan respiratori. Obat-obatan antikolinergik adalah
hal yang kontroversial, tapi obat-obat ini telah bnayak digunakan tanpa menyebabkan efek sakit.
Induksi dengan anestesi inhalasi dapat berlangsung lama pada pasien-pasien dengan penyakit
pulmonal berat. Intubasi tidak boleh dilakukan sampai pasien barada pada anestesi yang dalam
untuk menghindari batuk dan stimulasi sekresi mucus. Suction yang agresif dalam anesthesia dan
sebelum ekstubasi dapat meminimalisir akumulasi sekresi pulmonal. Hiperventilasi intraoperatif
akan menyebabkan respirasi yang dangkal postoperatif dan harus dihindari. Outcome sering
dipengaruhi oleh terapi respiratori preoperatif dan postoperatif yang agresif, yang meliputi
bronkodilator, spirometri…, drainase postural, dan terapi antibiotik patogen-spesifik.

SKOLIOSIS
Patofisiologi
Skoliosis adalah rotasi lateral dan kurvatura verterbra dan deformitas rangka iga. Dapat
diklasifikasikan berdasarkan etiologi : idiopatik, kongenital, neuromuscular, traumatik, dan
sebagainya. Skoliosis dapat mempengaruhi fungsi respirasi dan jantung. Peningkatan resistensi
vaskular pulmonal akibat hipoksia kronik menyebabkan hipertensi pulmonal dan hipertrofi
ventrikel kanan. Abnormalitas respiratori termasuk pengurangan volume paru dan komplians
dinding dada. PaO2 mengalami pengurangan akibat ketidaksesuaian ventilasi/perfusi, dimana
peningkatan PaCO2 menandakan penyakit berat.

Pertimbangan Anestesi
Evaluasi preoperatif harus mencakup tes fungsi paru, gas darah arterial, dan elektrokardiografi.
Operasi korektif adalah hal yang sulit oleh adanya posisi prone, kehilangan darah yang
signifikan, dan kemungkinan terjadinya paraplegia. Fungsi medulla spinalis dapat dinilai dengan
monitoring neurofisiologi (lihat bab 6) atau dengan membangunkan pasien intraoperatif untuk
menguji kekuatan otot tungkai bawah. Pasien dengan skoliosis akibat distrofi muscular memiliki
predisposisi untuk hipertermia maligna, disritmia kardiak, dan efek-efek tidak terduga dari
suksinilkolin (hipekalemia, mioglobinuria, dan kontraktur muscular).

DISKUSI KASUS : SPASME MASSETER & HIPERTERMIA MALIGNA


Anak laki-laki usia 4 tahun dijadalkan untuk menjalani koreksi strabismus. Induksi inhalasi
dengan nitrous oksida dan halotan diikuti dengan pemberian atropine dan suksinilkolin secara
intravena. Rigiditas dari muskulus masseter mencegah terbukanya mult dan intubasi.

Apakah Hipertermia Maligna ?


Hipertermia maligna (MH) adalah mipoati yang jarang terjadi (1:15.000 pada pasien-pasien
pediatric dan 1:40.000 pada pasien dewasa), ditandai dengan keadaan hipermetabolik akut dalam
jaringan otot setelah induksi anesthesia umum. Hal tersebut juga dapat terjadi, namun jarang,
pada periode postoperatif lebih dari satu jam setelah anesthesia dan bahkan tanpa adanya
pemaparan terhadap agen-agen pemicu asing. Meskipun beberapa kasus dilaporkan terjadi pada
pasien-pasien pediatri, namun semua umur dapat terkena. Tanda paling awal yang dilaporkan
selama anesthesia adalah rigiditas muskulus masseter (MMR), takikardia, dan hiperkarbia akibat
meningkatnya produksi CO2 (Tabel 44-7). Dua atau lebih dari tanda-tanda tersebut sangat besar
meningkatkan kecenderungan terjadinya MH. Takipneu jelas terjadi bila relaksan otot tidak
digunakan. Overaktifitas sistem simpatis menyebabkan terjadinya takikardia, aritmia, hipertensi,
dan sianosis bintik. Hipertermia mungkin adalah tanda yang terakhir muncul, namun apabila itu
terjadi, temperatur inti dapat meningkat sebanyak 10 C setiap 5 menit. Rigiditas otot generalisata
tidaka selalu muncul. Hipertensi dapat secara cepat diikuti dengan hipotensi saat terjadi depresi
kardiak. Urin yang berwarna gelap menggambarkan adanya mioglobinemia dan mioglobinuria.

Tabel 44-7

Table 44–7. Signs of Malignant Hyperthermia.

Hypermetabolism

Increased carbon dioxide production

Increased oxygen consumption

Low mixed venous oxygen tension

Metabolic acidosis

Cyanosis

Mottling

Increased sympathetic activity

Tachycardia

Initial hypertension

Arrhythmias

Muscle damage

Masseter spasm

Generalized rigidity

Elevated serum creatine kinase

Hyperkalemia

Hypernatremia

Hyperphosphatemia

Myoglobinemia

Myglobinuria
Hyperthermia

Fever

Sweating

Evaluasi laboratorium menunujukkan asidosis campuran metabolic dan respiratorik, defisit basa,
hiperkalemia, hipermagnesemia, dan saturasi oksigen vena campuran yang sangat rendah.
Konsentrasi kalsium terionisasi dalam serum dapat meningkat pada awalnya, sebelum akhirnya
menurun. Pasien secara khas juga mengalami peningkatan kadar mioglobin, creatin kinase (CK),
lactic dehidrogenase serta aldolase dalam serum. Kadar CK serum biasanya melebihi 20.000
IU/L. harus diingat bahwa kadar mioglobin dan CK dalam serum dapat meningkat pada beberapa
pasien normal setelah pemberian suksinilkolin tanpa disertai MH.
Bagian dari masalah dalam mendiagnosis MH adalah gambarannya yang bervariasi selama atau
setelah anestesi. Sebagai contoh, demam tidak selalu ada dan sering merupakan tanda yang
muncul di akhir. Karbondioksida end-tidal sebesar dua atau tiga kali lipat merupakan tanda
paling awal dan indikato yang paling sensitif dari MH. Ventrikel fibrilasi dapat segera terjadi
setelah onset MH dalam hitungan menit dan merupakan penyebab paling utama kematian.
Apabila pasien bertahan hidup dalam beberapa menit pertama gagal ginjal akut dan disseminated
intravascular coagulation dapat terjadi dengan cepat. Komplikasi hipertermia yang lain
termasuk juga edema serebral dengan kejang dan gagal hepar.

Apakah Patofisiologi dari MH?


Suksinilkolin atau agen anestesi halogenasi tunggal dapat memicu episode MH (Tabel 44-8).
Pada 80 % dari kasus yang dilaporkan, baik suksinilkolin maupun agen anestesi halogenasi
adalah obat yang digunakan. Hampir 50 % pasien dengan episode MH memiliki riwayat anestesi
sebelumnya dimana mereka terekspos terhadap agen pemicu. Mengapa MH tidak terjadi setelah
setiap pemaparan dengan agen pemicu sampai saat ini belum diketahui. Meskipun penyebab
selular yang tepat dari MH masih belum dipahami, investigasi menunjukkan adanya peningkatan
yang tidak terkontrol dari kalsium intraselular pada otot rangka. Pelepasan tiba-tiba kalsium dari
reticulum sarkoplasma menghilangkan inhibisi terhadap troponin, menyebabkan terjadinya
kontraksi otot yang sangat kuat. Peningkatan aktivitas adenosine trifosfat mengakibatkan
peningkatan yang tidak terkontrol pada metabolisme aerob dan anaerob. Keadaan hipermetabolik
berkembang dengan cepat, meningkatkan konsumsi oksigen dan produksi CO2 serta
menyebabkan asidosis laktat dan hipertermia. Karena rusaknya membran otot, terjadi
pengeluaran potassium dari sel otot bersama dengan asidosis sistemik dan menyebabkan
terjadinya hiperkalemia. Peningkatan tonus simpatis, asidosis, dan hiperkalemia semuanya
menjadi predisposisi terjadinya ventrikel fibrilasi dan sudden death pada pasien, yang dapat
terjadi dalam 15 menit.
Tabel 44-8

Table 44–8. Drugs Known to Trigger Malignant Hyperthermia.

Halogenated general anesthetics

Ether

Cyclopropane

Halothane

Methoxyflurane

Enflurane

Isoflurane

Desflurane

Sevoflurane

Nondepolarizing muscle relaxants

Succinylcholine

Fokus awal investigasi adalah pada abnormalitas reseptor ryanodin Ryr1 pada pasien dengan MH.
Reseptor channel kalsium ini bertanggung jawab pada pelepasan kalsium dari reticulum
sarkoplasma dan berperan penting dalam depolarisasi otot. Bagaimanapun, studi yang lebih jauh
telah mengungkapkan bahwa banyak pasien MH yang memiliki reseptor ryanodin normal dan
abnormalitas pada secondary messenger serta modulator pelepasan kalsium seperti asam lemak
dan fosfatidilinositol, dapat muncul. Channel sodium yang abnormal pada otot rangka juga dapat
berperan penting pada beberapa pasien.

Bagaimana Seharusnya Episode MH Ditangani ?


Terapi diarahkan pada terminasi episode dan menangani komplikasi-komplikasi seperti asidosis
dan hiperkalemia. Agen pemicu harus dihentikan dan dantrolen harus diberikan segera.
Mortalitas MH meskipun dengan terapi yang sesuai masih tetap tinggi yaitu sebesar 5-30 %.
Karena suksinilkolin dan anestesi volatile dipertimbangkan sebagai agen pemicu utama, maka
obat-obat tersebut haus dihentikan sesegera mungkin. Meskipun hanya sejumlah kecil anestesi
yang diabsorbsi oleh soda lime, tabung dan kantung pernapasan, namun hal tersebut dapat
berbahaya. Pasien harus diberikan ventilasi secara agresif dengan oksigen 100 % untuk
meminimalisir efek hiperkapnia, asidosis metabolic, dan peningkatan konsumsi oksigen. Bila
terdapat demam, pendinginan juga harus segera dilakukan. Surface cooling dengan es batu pada
arteri utama, konveksi dengan air dingin, dan selimut pendingin dapat digunakan. Lavase dengan
larutan salin dingin pada perut dan kavitas-kavita tubuh (apabila mungkin) juga harus disertakan.
Dialisis dingin dan bypass kardiopumonal juga dapat dilakukan apabila semua teknik diatas
gagal.
Jalur arterial akan memberikan monitoring tekanan darah yang tepat dan akses untuk pengukuran
gas darah arterial. Asidosis harus ditangani secara agresif dengan sodium bikarbonat intravena 1-
2 mEq/kg. Hiperkalemia harus diatasi dengan insulin dan glukosa serta dengan diuresis. Kalsium
intravena harus digunakan secara hati-hati. Agen-agen antiaritmia dan vasopresor katekolamin
serta inotropik dikatakan aman apabila digunakan dengan tepat. Calcium channel blocker tidak
boleh digunakan dengan dantrolen karena kombinasi ini dapat menyebabkan hiperkalemia. Infus
manitol 0,5 g/kg dan/atau furosemid harus digunakan untuk memulai diuresis dan mencegah
gagal ginjal akut akibat mioglobinuria. Meskipun begitu, terapi utama pada krisis MH adalah
pemberian dantrolen intravena.
Lihat juga Protokol Hipertermia Maligna.
Protokol Hipertermia Maligna
1. Menghentikan anestesi volatil dan suksinilkolin. Panggil bantuan !
2. Hiperventilasi dengan O2 100 % aliran tinggi.
3. Pemberian sodium bikarbonat, 1-2 mEq/kg intravena.
4. Campuran sodum dantrolen dengan air distilasi steril dan diberikan 2,5
mg/kg secara intravena sesegera mungkin.
5. Melakukan ….pendinginan (lavase, selimut pendingin, larutan
intravena dingin).
6. Memberikan inotropik dan agen-agen antiaritmia sesuai kebutuhan.
7. Memberikan dosis tambahan dantrolen bila dibutuhkan.
8. Mengubah/mengganti tabung anestesi dan soda lime.
9. Monitoring keluaran urin, K+, Ca 2+, gs darah, karbondioksida end-
tidal; melakukan studi pembekuan.
10. Mengatasi hiperkalemia berat dengan dekstrosa, 25-50 gr intravena,
dan insulin regular, 10-20 U intravena (dosis dewasa).
11. Mempertimbangkan pemasangan monitoring invasif tekana darah
arterial dan tekanan vena sentral.
12. Apabila dibutuhkan, konsultasikan dengan dokter pada hotline
MHAUS 24 jam, 1-800-MH-HYPER.

Menjelaskan Mekanisme Aksi Dantrolen, Dosis yang Direkomendasikan, dan Efek


Samping yang Mungkin Terjadi.
Dantrolen, derivate hidantoin, secara langsung menggangg kontraksi otot dengan mengikat
reseptor calcium channel Ryr1 dan menghambat pelepasan ion kalsium dari reticulum
sarkoplasma. Disosiasi intraselular dari coupling eksitasi-kontraksi ini berlawanan dengan
relaksan otot depolarisasi dan nondepolarisasi yang antagonis terhadap sambungan
neuromuscular ekstraselular. Dosis 2,5 mg/kg diberikan secara intravena setiap 5 menit sampai
episode selesai. Batar atas dari etrapi dantrolen secara umum adalah sebesar 10 mg/kg. Dantrolen
dikemas sebagai bubuk liofilik 20 mg untuk dicampurkan dengan 60 ml air steril. Tergantung
pada dosis yang dibutuhkan, rekonstitusi dapat memakan waktu. Waktu paruh efektif dantrolen
adalah sekitar 6 jam. Setelah kontrol awal, dantrolen 1 mg/kg intravena direkomendasikan setiap
6 jam untuk mencegah relaps karena MH dapat berulang dalam 24 jam. Harus dicatat bhawa
dantrolen tidak spesifik untuk MH; obat ini juga dapat menurunkan temperatur pada badai tiroid
dan sindroma neuroleptic maligna. Dantrolen adalah obat yang relatif aman. Meskipun terapi
kronik untuk ganguan spastik dikaitkan dengan timbulnya disfungsi hepatik, namun kompplkasi
paling serius setelah pemberian akut adalah kelemahan otot generalisata yang dapat
menyebabkan insufisiensi pernapasan atau pneumonia aspirasi. Dantrolen dapat menyebabkan
phlebitis pada vena kecil di perifer dan apabila timbul maka harus diberikan melalui jalur vena
sentral. Keamanan dan efikasi dantrolen dibuktikan pada penggunaannya yang segera pada
penyakit yang mengancam jiwa ini.

Apakah Diagnosis Bnading Untuk Spasme Masseter selama Intubasi ?


Spasme muskulus Masseter, yang juga dikenal sebagai MMR, atau trismus, merupakan kontraksi
yang sangat kuat dari muskulatur rahang yang menghambat pembukaan mulut secara penuh. Hal
ini berbeda dengan relaksasi rahang inkomplit, yang cukup sering ditemui. Baik miotonia dan
MH dapat menyebabkan spasme masseter. Kedua gangguan ini dapat dibedakan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan neurologis, dan elektromiografi. Insidensi spasme masseter setelah
pemberian suksinilkolin pada pasien-pasien pediatri di beberapa centre kesehatan dapat lebih
besar dari 1 %. MMR yang terisolasi hanya terjadi sebanyak 15 -30 % dari episode MH yang
sesungguhnya. Selain itu, hanya kurang dari 50 % pasien yang mengalami MMR terbukti
menderita MH dengan uji muskulus. Tujuannya adalah untuk menilai apakah spasme masseter
disebabkan oleh MH dan utnuk menunda operasi elektif. Bagaimanapun, apabila tidak terdapat
tanda-tanda lain dari MH, dan bila monitoring dan kapabilitas terapi telah tersedia, beberapa ahli
anestesi akan melanjutkan operasi dan menggunakan anestesi yang aman (bukan agen pemicu).
Kadar CK serum harus dipantau sampai 24 jam setelah episode MMR, karena kenaikan enzim
ini mungkin menunjukkan adanya miopati yang mendasari.

Pasien Manakah yang Harus Dipertimbangkan Berisiko Tinggi Mengalami MH?


Beberapa penyakit musculoskeletal berkaitan dengan insiden yang relatif tinggi dari MH. Hal ini
termasuk Distrofi muscular Duchenne, central-core disease, dan osteogenesis imperfekta.
Sindroma King-Denborough secara konsisten berkaitan dengan MH. Sindroma ini terutama
dijumpai pada anak laki-laki yang berperawakan pendek, retardasi mental, cryptorchidisme,
kifoskoliosis, deformitas pectus, slanted eyes, low-set ears, webbed neck, dan winged scapula.
Operasi yang berhubungan dengan peningkatan insidensi MH termasuk adalah kasus ortopedi
(repair dislokasi sendi), operasi mata (koreksi ptosis dan strabismus), serta prosedur terhadap
kepala dan leher (repair celah palatum, tonsilektomi dan adenoidektomi, operasi gigi). Tanda lain
yang dapatmendukung antara lain riwayat keluarga dengan komplikasi anestesi, intoleransi
terhadap makanan yang mengandung kafein, atau riwayat demam atau kram otot yang tidak
diketahui penyebabnya. Riwayat Anesthesia sebelumnya dan tidak adanya riwayat keluarga yang
positif bukanlah prediktor yang pasti dari MH. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, setiap
pasien yng mengalami trismus selama induksi anestesi harus dipertimbangkan mengalami MH.

Apakah Tipe Pola Herediter yang diikuti MH?


Meskipun kasus sporadik telah dijelaskan, sebagian besar pasien dengan episode MH memiliki
riwayat keluarga dengan episode yang sama atau tes kontraktur halotan-kafein abnormal.
Dominasi autosomal dengan beragam gambaran fenotip terjadi pada sekitar 50 % keluarga yang
terkena. Kompleksitas dari pola penurunan secara genetik pada keluarga menggambarkan fakta
bahwa MH adalah gangguan genetik heterogen; penyakit ini dapat disebabkan oleh mutasi satu
atau lebih gen pada lebih dari satu kromosom. Oleh karena itu, kromosom 1, 3, 7. 17, dan 19
telah dihubungkan dengan MH pada keluarga yang berbeda. Laporan terkini mengaitkan MH
dengan mutasi pada gen untuk otot rngka, reseptor ryanodin (Ryr1), channel pelepas kalsium
pada kromosom 19 manusia. Laporan berikutnya pada keluarga yang berbeda menghubungkan
MH dengan mutasi pada otot orang dewasa, channel sodium, gen subunit α pada kromososm 17.
Bentuk autosomal resesif dari MH telah dihubungkan dengan sindroma King-Denborough.
Laporan-laporan mengenai MH sangat beragam dari negara satu dengan yang lainnya dan
bahkan di lokasi geografi yang berbeda dalam sebuah negara, menggambarkan simpanan gen
yang bervariasi. Midwest memiliki insidensi tertinggi MH di Amerika Serikat.

Bagaimana Kerentanan terhadap MH dikonfirmasi ?


Pasien-pasien yang telah bertahan terhadap satu episode MH yang tidak jelas dipertimbangkan
sebagai rentan terkena. Apabila diagnosis masih tetap meragukan sampai postoperatif, biopsi dari
potongan segar otot skelet yang masih hidup dilakukan dan ekspos terhadap kafein, halotan, atau
kombinasi halotan-kafein. Uji kontraktur halotan-kafein dapt memberi hasil positif palsu 10-20
% , namun nilai negative palsu adalah mendekati nol. Karena kompleksitas relative dari uji ini,
hanya beberapa centre di seluruh dunia yang melakukannya. Di Eropa dan Amerika utara data
telah terdapat dat-data mengenai MH yang dapat membantu dokter untuk mengidentifikasi dan
menangani pasien dengan tersangka MH, serta memberikan standarisasi antara pusat-pusat
penguji. The Malignant Hyperthermia Association of The United States (MHAUS, telp 1-800-
98-MHAUS) mengoperasikan hotline 24 jam (1-800-MH-HYPER), layanan fax (1-800-440-
9990), dan Web site (http://www.mhaus.org). Apabila uji kontraktur halotan-kafein positif,
konseling genetik dan tes pada anggota keluarga dapar dilakukan. Nilai CK dapat meningkat
secara kronik pada pasien-pasien yang berisiko MH, namun satu-satunya cara yang dapat
dipercaya untuk mendiagnosis MH adalah dengan tes/uji terhadap otot.

Bagaimana Membedakan MH dengan Sindroma Neuroleptic Maligna ?


Sindroma Neuroleptic Maligna (NMS) ditandai dengan hipertermia, rigiditas otot dengan gejala-
gejala ekstrapiramidal (diskinesia), perubahan kesadaran, dan labilitas otonom pada pasien-
pasien yang mendapat agen antidopaminergik. Sindroma ini disebabkan oleh ketidakseimbangan
neurotransmitter pada sistem saraf pusat. Defisiensi dopamine fungsional berakibat pada
hiperaktivitas asam amino eksitatorik di ganglia basalis dan hipotalamus. Hal tersebut dapat
terjadi baik selama terapi dengan agen antidopaminergik (phenothiazin, butyrophenon,
thioxanthin, dibenzoxapin, atau metoclopramid) atau yang lebih jarang adalah setelah withdrawal
agonis dopaminergik (levodopa atau amantadin) pada pasien-pasien dengan penyakit Parkinson.
Oleh karena itu, penyakit ini tampak melibatkan abnormalitas aktivitas dopaminergik sentral,
berbeda dengan MH dimana terjadi peningkatan pelepasan kalsium perifer. Perbedaan-perbedaan
mekanisme ini mungkin dapat menjelaskan mengapa relaksan nondepolarisasi dapat melawan
rigiditas pada NMS, namun tidak pada rigiditas yang berhubungan dengan MH. NMS tidak
diturunkan dank has btuth waktu untuk berkembang dari jam hingga berminggu-minggu;
mayoritas episode berkembang dalam 2 minggu penyesuaian dosis. Hipertermia secara umum
cenderung ringan, dan nampak sesuai dengan besarnya rigiditas. Disfungsi otonom
mengakibatkan timbulnya takikardia, labilitas tekanan darah, diaphoresis, dyspneu, peningkatan
sekresi, dan inkontinensia urin. Rigiditas otot dapat menyebabkan distress respirasi dan bersama
dengan peningkatan sekresi, dapat menyebabkan pneumonia aspirasi. Kadar CK secara khas
akan meningkat; beberapa pasien akan mengalami rhabdomiolisis yang berakibat terjadinya
mioglobinemia, mioglobinuria, dan gagal ginjal.
Bentuk ringan dari MH dapat pulih secara baik setelah penghentian obat penyebab ( atau
reinstitusi terapi antiparkinson). Terapi awal terhadap bentuk-bentuk yang lebih berat dari NMS
harus mencakup terapi oksigen dan intubasi endotrakeal untuk distress respirasi atau perubahan
kesadaran. Rigiditas otot dapat dikontrol dengan paralisis otot, dantrolen, atau agonis
dopaminergik (amantadin, bromokriptin, atau levodopa), tergantung dari beratnya serta akutnya
sindroma. Resolusi dari rigiditas otot biasanya menurunkan temperatur tubuh.
Meskipun sindroma ini terdiri atas wujud yang berbeda dari MH, kebanyakan klinisi yakin
bahwa NMS dapat menjadi predisposisi pasien mengalami MH. Pasien-pasien dengan NMS
sebaiknya tidak mendapat suksinilkolin atau anestesi volatile; bagaimanapun, pasien yang
menderita MH dapat dengan aman mendapat phenothiazin.

Apa Penyakit Lainnya yang Dapat Menyerupai MH?


Sejumlah penyakit lain dapat menyerupai MH (Tabel 44-9). Operasi dan anestesi dapat
mempercepat terjadinya badai tiroid pada pasien-pasien dengan hipertiroid yang tidak
terdiagnosis atau tidak terkontrol dengan baik. Tanda-tandanya meliputi takikardia, takiaritmia
(khususnya atrial fibrilasi), hipertermia (sering ≥40 0 C), hipotensi, dan beberapa kasus terjadi
gagal jantung kongestif. Berbeda dengan MH, hipokalemia sangat umum ditemukan. Juga tidak
seperti gambaran khas MH intraoperatif, badai tiroid secara umum muncul postoperatif (Lihat
bab 36 dan Diskusi Kasus, bab 48). Feokromositoma berkaitan dengan peningkatan yang drastis
pada tekanan darah dan denyut jantung namun tidak pada CO2 end-tidal (Lihat bab 36) atau
temperatur. Manifestasi kardiak seperti aritmia, iskemia, atau gagal jantung kongestif juga dapat
terlihat. Lebih jarang lagi, beberapa pasien dapat mengalami hipertermia yang signifikan (>38 0
C), yang dianggap sebagai akibat dari peningkatan produksi panas dari meningkatnya laju
metabolisme-yang di mediasi katekolamin, dengan penurunan eliminasi panas akibat
vasokonstriksi yang sangat kuat. Sepsis dapat memiliki karakter yang serupa dengan MH, yaitu
demam, takipneu, takikardia, dan asidosis metabolik (Lihat bab 49). Hal ini dapat menjadi
diagnosis banding yang sulit apabila tidak ada fokus infeksi yang jelas terlihat. Jarang terjadi,
hipertermia-yang diinduksi obat-obatan dapat terjadi secara tidak terduga pada periode
perioperatif dengan beberapa kombinasi obat seperti halnya juga pada pasien yang menggunakan
obat-obat tertentu yang dilarang. Obat-obat tersebut dapat meningkatkan aktivitas serotonin di
otak, menyebabkan hipertermia, konfusi, menggigil, diaphoresis, hiperrefleks, dan mioklonus.
Kombinasi yang berkaitan dengan” sindroma serotonin” ini termasuk monoamine oksidase
inhibitor (MAOI) dan meperidin, serta MAOI dan selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI).
Hipertermia juga dapat disebabkan oleh beberapa obat yang dilarang, termasuk 3,4-
metilenedioksimetamphetamin (MDMA atau “ecstasy”), kokain yang sangat kuat, amfetamin,
phenilcyclidin (PCP), dan lysergic acid dietilamin (LSD). Hipertermia iatrogenik tidak umum
dijmpai, khususnya pada pasien-pasien pediatri. Sumber utama panas yang berlebihan di ruang
operasi mencakup pelembab pada ventilator, selimut penghangat, lampu pemanas, serta
temperature yang hangat. Lesi batang otak atau lesi hipotalamik dekat hipothalamus dan batang
otak dapat dihubungkan dengan hipertermia, namun diagnosis ini membutuhkan pengecualian
dari seluruh kasus lainnya.

Tabel 44-9

Table 44–9. Differential Diagnosis of Hyperthermia in the


Intraoperative and Immediate Postoperative Periods.

Malignant hyperthermia

Neuroleptic malignant syndrome

Thyroid storm

Pheochromocytoma

Drug-induced hyperthermia

Serotonin syndrome

Iatrogenic hyperthermia

Brain stem/hypothalamic injury

Sepsis

Transfusion reaction

MH, bagaimanapun, berhubungan dengan derajat asidosis metabolik yang lebih hebat dan
desaturasi vena dibandingkan dengan penyakit lainnya.

Anestesi Apakah yang Aman Digunakan Pada Pasien MH?


Thiopental dan pancuronium nampaknya dapat bersifat protektif. Obat lainnya yang tergolong
aman yaitu nitrous oksida, propofol, etomidate, bemzodiazepin, ketamin, opiate, droperidol, dan
semua anestesi lokal. Suplai dantrolen yang adekuat juga harus selalu tersedia dimanapun
anesthesia umum dilakukan. Penggunaan profilaksis dantrolen intravena sebelum induksi
anestesi umum pada pasien tidak diperlukan apabila digunakan anestesi yang aman. Lama
perawatan di ruang pemulihan selama minimum 4 jam telah direkomendasikan untuk pasien-
pasien yang mengalami MH.

Anda mungkin juga menyukai