Anda di halaman 1dari 10

I.

PENDAHULUAN

Sel punca merupakan sel yang belum terdiferensiasi yang ditemukan pada
embrio (stadium blastocyst) dan pada beberapa jaringan dewasa. Sel punca dapat
membelah diri secara mitosis untuk memperbarui diri dan dapat berubah menjadi
berbagai jenis sel sesuai fungsi tertentu. Sel punca berperan sebagai sel cadangan
untuk memperbaiki jaringan yang rusak pada tubuh (Rai, et al 2012). Sebuah sel
dapat dikategorikan menjadi sel punca apabila memiliki dua karakteristik, yaitu sel
harus memiliki kemampuan yang tidak terbatas untuk memperbarui diri untuk
memproduksi progeny sesuai dengan sel aslinya serta dapat berdiferensiasi menjadi
sel yang merupakan bagian dari tubuh yang sehat (Biehl et al, 2009).

Kemampuan sel punca dalam memperbaiki dan memperbarui jaringan


merupakan sebuah potensi untuk dijadikan sebagai terapi untuk regenerasi dan
perbaikan jaringan. Pada dunia kedokteran modern, penelitian mengenai sel punca
dan regenerasi organ pertama dimulai pada tahun 1950-an, yang merupakan
percobaan transplantasi sumsum tulang pertama pada hewan. Penelitian-penelitian
tersebut telah membuka peluang untuk terapi transplantasi sumsum tulang pada
manusia, yang kini digunakan sebagai terapi pada berbagai macam kelainan darah.
Strategi terapi baru ini telah membuktikan adanya sel punca yang memperbarui
jaringan dewasa (de la Morena dan Gatti, 2010). Kemampuan sel punca untuk
beregenerasi telah menjadikan transplantasi sel punca menjadi terapi yang
menjanjikan untuk banyak penyakit. Potensi tersebut dinilai dapat bermanfaat
sebagai terapi untuk pengobatan berbagai penyakit non infeksi dan infeksi (Rai et
al, 2012). Meskipun terdapat banyak isu etik terkait penelitian mengenai sel punca,
kemajuan pada isolasi dan pengembangan sel punca telah membantu para ilmuwan
untuk mengidentifikasi dan mengkultur sel yang spesifik untuk regenerasi jaringan
ada berbagai kondisi seperti penyakit Parkinson’s, Alzheimer’s, atau kelainan pada
hati, otot, paru-paru, liver, dan organ lainnya (Kolios dan Moodley, 2013).
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sel punca
1. Definisi dan Karakteristik
Sel punca memiliki beberapa karakteristik yang menjadikannya berbeda
dengan sel-sel mamalia lainnya. Definisi sel punca meliputi tiga kriteria,
yaitu (Bieniasz et al, 2014):
a. kemampuan untuk memperbarui diri
b. kemampuan untuk membuat sel yang terdiferensiasi
c. kemampuan untuk secara fungsional seperti jaringan in vivo

Gambar 1. Kemampuan memperbarui diri dan diferensiasi sel dapat


berbeda-beda (Kolios dan Moodley, 2013).

Kemampuan tersebut dapat berbeda-beda pada setiap jenis sel punca.


Misalnya, sel punca embrionik (SPE) yang berasal dari blastokis memiliki
kemampuan yang lebih besar dalam memperbarui diri dan potensinya
sedangkan sel punca yang ditemukan pada jaringan dewasa memiliki
kemampuan memperbarui diri yang terbatas karena tidak dapat
berproliferasi secara luas dan hanya dapat berdiferensiasi menjadi sel yang
spesifik berdasarkan jaringannya (Kolios dan Moodley, 2013).

Tubuh manusia berasal dari perkembangan zigot dan blastokis, dimana


SPE akan berdiferensiasi menjadi lapisan endoderm, mesoderm, dan
ectoderm. Lapisan-lapisan tersebut merupakan asal dari organ-organ yang
ada di tubuh manusia. Beberapa sel progenitor yang membentuk organ
tubuh tidak berdiferensiasi secara penuh namun tetap menjadi sel punca
jaringan dan dapat ditemukan pada sumsum tulang, kulit, darah, tulang, otot,
hepar, otak, jarngan lemak, dan traktus gastrointestinal. Sel punca jaringan
menghasilkan sel-sel yang telah terdiferensiasi sesuai dengan jaringan atau
organ asalnya. Sel-sel tersebut dapat dorman dalam jaringan namun akan
berproliferasi saat terjadi kerusakan/luka dan proses perbaikan. Misalnya,
sel punca di pankreas, jantung, atau sistem saraf akan berproliferasi untuk
menggantikan sel yang rusak akibat luka (Falanga, 2012).

2. Jenis-Jenis Sel punca


Sel punca dapat dikategorikan menjadi empat kategori berdasarkan potensi
diferensiasinya menjadi lima kategori:
a. Sel totipotent
Sel totipotent atau disebut juga omnipotent, merupakan sel yang
belum terdiferensiasi yang ada pada awal perkembangan. Sel oosit yang
terfertilisasi dan blastomer pertama dari hasil pembelahan zigot
merupakan sel totipotent. Sel tersebut berdeferensiasi menjadi jaringan
embrionik dan ekstraembrionik sehingga membentuk embrio dan
plasenta (Kolios dan Moodley, 2013).
b. Sel pluripotent
Sekitar 4 hari setelah fertilisasi, blastomer telah membelah menjadi
32 sel, dan disebut sebagai morula. Sel-sel yang membentuk morula kini
menjadi sel pluripotent. Sel pluripotent mampu berdiferensiasi menjadi
sel-sel yang berasal dari 3 lapisan germinal yaitu ectoderm, endoderm,
dan mesoderm, yang akan menjadi organ dan jaringan (Kolios dan
Moodley, 2013).
Gambar 2. Derivat sel punca (Biehl et al, 2009).

Sel-sel pluripotent yang kini banyak digunakan dalam penelitian


berasal dari embrio, sheingga dinamakan sel punca embrionik (SPE).
Morula yang tumbuh mementuk kavitas sentral dan menjadi blastokist,
yang mengandung sel-sel yang merupakan prekusor jaringan ekstra
embrionik. Perbedaan kelompok sel tersebut disebut dengan inner cell
mass. Sel pluripotent diisolasi dari inner cell mass blastokis, dari
epiblast stadium silinris embrio, atau berasal dari kultur ex-vivo dari sel-
sel germinal primordial turunan epiblast. Baru-baru ini, Takashi dan
Yamanaka (2006) membuat sel pluripotent dengan memprogram ulang
sel somatic. Sel-sel tersebut dinamakan induced pluripotent stem cells
(iPSCs) dan memiliki karakteristik serupa dengan sel punca embrionik
(Bieniasz et al, 2014; Kolios dan Moodley, 2013).
c. Sel multipotent
Sel multipotent ditemukan pada hampir seluruh jaringan dan
berdiferensiasi menjadi sel-sel yang membentuk satu lapisan germinal.
Sel punca mesenkimal (MSC) merupakan sel yang paling banyak
diketahui dari seluruh jenis sel punca. Sel multipotent dapat berasal dari
berbagai jaringan, termasuk sumsum tulang, jaringan lemak, tulang,
Wharton’s jelly, darah tali pusar, dan darah perifer. Sel multipotent yang
memiliki potensi berdiferensiasi yang paling tinggi ada ada embrio
selama masa gastrulasi (hari ke 14-15 pada manusia, dan hari ke 6.5-7
pada tikus). Sel-sel ini dapat berdiferensiasi menjadi lapisan germinal
tertentu, namun masih memiliki kapasitas diferensiasi yang fleksibel
(Biehl et al, 2009).
Sel punca multipotent yang paling dikenal yaitu sel pada sumsum
tulang yang telah digunakan sebagai terapi sejak tahun 1960an. Kini
para ilmuwan telah banyak menemukan sel-sel punca lainnya yang
memiliki kemampuan diferensiasi yang lebih baik seperti pada plasenta
dan darah tali pusar. Sel-sel neuro-progenitor juga kini telah ditemukan
di otak (Biehl et al, 2009).
d. Sel oligopotent
Sel punca oligopoten merupakan sel yang dapat memperbatui diri
dan membentuk dua atau lebih jenis sel dalam suatu jaringan. Sel punca
hematopoietic merupakan contoh sel punca oligopoten yang paling
umum. Sel tersebut dapat berdiferensiasi menjadi se myeloid dan
limfoid I (Kolios dan Moodley, 2013).
e. Sel unipotent
Sel punca unipotent dapat memperbarui diri dan berdiferensiasi
menjadi satu tipe sel spesifik dan membentuk satu lapisan sel.
Contohnya, sel punca otot akan menjadi sel otot matur, sel pneumosit
tipe II juga pada alveoli juga akan berdiferensiasi menjadi sel pneumosit
tipe I (Kolios dan Moodley, 2013).
Sel punca juga dapat dikategorikan menjadi 4 kategori berdasarkan
asalnya, yaitu sel punca embrionik, sel punca fetal dan dewasa, dan sel
punca pluripotent yang terinduksi.
a. Sel punca embrionik
Sel punca embrionik merupakan sel pluripotent, yang berasal dari
inner cell mass dari blastokis. Sel-sel tersebut dapat berdiferensiasi
menjadi tiga lapisan germinal namun juga dapat dibuat dalam kondisi
tidak terdiferensiasi dalam jangka waktu tertentu. Blastokis memiliki
dua lapisan sel, yaitu lapisan inner cell mass, yang membentuk embrio
dan lapisan sel terluar, yang disebut trophoblast yang akan membentuk
plasenta. Sel punca embrionik diidentifikasi dengan adanya faktor
transkripsi seperti Nanog dan Oct4. Faktor transkripsi tersebut
mempertahankan agar sel tetap dalam keadaan tidak terdiferensiasi dan
dapat memperbarui diri. Sel-sel tersebut dapat dibekukan dan dicairkan
untuk kultur dan percobaan lebih lanjut. Penggunaan sel punca
embrionik banyak dihindari karena masalah etik (Bieniasz et al, 2014).
b. Sel punca dewasa
Sel punca dewasa berasal dari jaringan dewasa. Sel punca dewasa
merupakan sel yang multipotent. Sel punca dewasa telah diketahui
memiliki efek anti inflamasi dan perbaikan jaringan pada hewan yang
diinduksi luka. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa
transplantasi sel punca dewasa mampu memperbaiki organ yang rusak
in vivo, seperti perbaikan jaringan tulang dan revaskularisasi jaringan
jantung iskemik melalui diferensiasi sel punca dan pembentukan sel-sel
baru. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa sel punca dewasa
mensekresikan berbagai mediator yang memiliki sifat anti-apoptosis,
imunomodulator, angiogenik, dan kemoatraktan yang dapat
menginduksi perbaikan jaringan (Yeung et al, 2012).
Sel punca dewasa dapat berasal dari berbagai jaringan matur.
Beberapa sel punca dewasa yaitu, sel punca hematopoietic, sel punca
mesenkimal, sel punca hepar, sel punca pankreas, sel punca intestinal,
sel punca epidermal, sel punca tulang dan kartilago, sel punca neural,
sel punca mata (Bieniasz et al, 2014).
c. Sel punca pluripotent terinduksi
Sel punca pluripotent terinduksi (iPSCs) berasal dari sel somatic
dewasa yang diprogram secara genetik agar menjadi seperti sel punca
embrionik. Takahashi dan Yamanaka (2006) merupakan yang pertama
kali melaporkan sel iPCSc pada tikus, dengan mentransduksi fibroblast
tikus dengan 4 gen yang mengkode OCT3/4, SOX2, onkoprotein c-
MYC, dan KLF4. iPSC kini banyak digunakan untuk pengembangan
obat, modeling penyakit, dan pengobatan regenerative. (Takahashi et al,
2007).
B. Sel punca dan Terapi
1. Jenis sel punca untuk terapi
Kemampuan sel punca untuk memperbarui diri dan diferensiasi menjadi
berbagai jenis sel, menjadikkannya sebagai terapi yang sangat menjanjikan
untuk mengobati berbagai jenis penyakit. Sel punca pluripotent belum
digunakkan sebagai terapi pada manusia, karena banyak penelitian pada hewan
yang menunjukkan terbentuknya teratoma. Teratoma terdiri dari berbagai sel
dari seluruh lapisan germinal. Pada penelitian lainnya, sel pluripotent
dimodifikasi agar menjadi fenotip yang lebih matur sehingga kemampuan
proliferasinya terbatas. Metode ini telah terbukti pada penelitian pada hewan
dengn kerusakan medulla spinalis dan gangguan pengelihatan yang diterapi
dengan pembentukan neuron termielinasi baru dan sel epitel retina (Biehl et al,
2009).
Sel multipotent telah banyak digunakan sejak tahun 1960an untuk terapi
leukemia, myeloma, dan limfoma. Sel-sel multipotent banyak dijadikan sebagai
terapi kanker darah, karena sel multipotent dapat berdiferensiasi sebagai
limfosit, megakariosit dan eritrosit. Penggunaan sel pluripotent dan multipotent
memiliki kelebihan dan kekurangan. Sel pluripotent dapat berproliferasi dengan
cepat sehingga dapat menghasilkan jumlah sel yang lebih banyak serta dapat
menghasilkan jenis sel yang lebih beragam daripada sel multipotent. Namun,
donor sel pluripotent banyak menimbulkan reaksi penolakan host, sehingga
membutuhkn terapi imunosupressive. Sedangkan terapi sel multipotent
merupakan terapi autolog, sehinga risiko penolakan host sangat kecil, karena
sel punca multipotent memiliki protein permukaan yang dapat diterima oleh
sistem imun host sehingga terhindar dari reaksi imunologis. Hingga saat ini para
ilmuwan masih berusaha untuk meminimalisir risiko penolakan host pada sel
pluripotent serta berusaha untuk melakukan percobaan klinis pada manusia
(Biehl et al, 2009).
2. Sel punca untuk penyakit non-infeksi
Sel-sel punca mesenkimal dapat memanipulasi respon imun host, oleh
karena itu banyak digunakkan sebagai terapi/pencegahan berbagai penyakit
akibat ireguralitas sistem imun atau respon host. Infiltrasi sel punca mesenkimal
dapat menurunkan respon imun host sehingga dapat mencegah penyakit graft
vs host (Le Blanc et al., 2004). Penelitian oleh Bartholomew et al (2002)
menunjukkan adanya waktu survival yang lebih panjang pada skin graft yang
diberi sel punca mesenkimal. Selain itu, sel-sel punca yang dimasukkan ke
dalam tubuh juga dapat berdiferensiasi menjadi suatu tipe sel tertentu setelah
mencapai lokasi targetnya. Banyak penelitian menyarankan penggunaan sel
punca untuk terapi penyakit kardiovaskular, fibrosis paru, serta penyakit saraf
dan ortopedi. Penelitian yang dilakukan oleh Lin H. et al, 2011 menunjukkan
fungsi terapi sel punca mesenkimal pada berbagai penyakit hepar dan penyakit
metabolik turunan. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa sitokin yang
diproduksi oleh sel punca mesenkimal mampu mengurangi kerusakan hepar
akibat inflamasi dan mencegah apoptosis sel-sel hepar.
3. Sel punca untuk penyakit infeksi
Terapi sel punca untuk HIV kini sedang dalam masa investigasi. Para
ilmuwan mencoba untuk membuat sel-sel limfoid dan myeloid yang resisten
terhadap HIV. Reseptor CCR5 pada sel hematopoietic diubah agar virus tidak
dapat masuk ke dalam sel. Transplantasi se-sel termodifikasi tersebut kepada
tikus menunjukkan resistensi terhadap HIV (Holt et al, 2010). Selain itu,
Kitchen et al (2009) juga memodifikasi sel limfosit sitotoksik CD8+ untuk
menargetkan sel yang terinfeksi HIV. Mereka membuat limfosit CD8+ yang
memiliki resetor transgenic-human anti HIV T cell receptor. Selain HIV,
penyakit lain yang menjadi salah satu target terapi sel punca adalah tuberkulosis.
Infeksi tuberkulosis kini mulai menghadapi masalah serius, karena terdapat
resistensi obat yang semakin meluas. Sel punca dinilai dapat mengurangi dan
memperbaiki kerusakan jaringan dan meningkatkan respon imun terhadap
Mycobacterium tuberculosis. Terapi sel punca tidak menyebabkan resistensi
baru, karena tidak bekerja langsung terhadap bakteri, melainkan dengan
memanipulasi sistem imun. Sehingga, diharpkan terapi sel punca dapat
digunakan sebagai target imunoterapi untuk tuberkulosis (Rai et al, 2012).
III. KESIMPULAN

Sel punca merupakan sel yang belum terdiferensiasi yang ditemukan pada
embrio (stadium blastocyst) dan pada beberapa jaringan dewasa. Sel punca dapat
membelah diri secara mitosis untuk memperbarui diri dan dapat berubah menjadi
berbagai jenis sel sesuai fungsi tertentu. Kemampuan sel punca dalam memperbaiki
dan memperbarui jaringan merupakan sebuah potensi untuk dijadikan sebagai
terapi untuk regenerasi dan perbaikan jaringan. Penggunaan sel punca sebagai
terapi masih memerlukan kajian lebih lanjut, mulai dari efek terapi, efek samping
dan isu etik. Banyak penelitian dari sel punca yang belum mencapai tahap uji klinis,
dikarenakan permasalahan etik dan keamanan. Maka dari itu, para ilmuwan kini
masih mengembangkan terapi sel punca agar dapat diaplikasikan sebagai terapi dari
beragam penyakit.
DAFTAR PUSTAKA

Bartholomew A, Sturgeon C, Siatskas M, Ferrer K, McIntosh K, Patil S, Hardy W,


Devine S, Ucker D, Deans R, Moseley A, Hoffman R. 2002. Mesenchymal
stem cells suppress lymphocyte proliferation in vitro and prolong skin graft
survival in vivo. Exp Hematol.30 (1): 42-8
Biehl JK, Russel, B. 2009. Introduction to Stem Cell Therapy. J Cardiovasc Nurs.
24 (2): 98105
Bieniasz M., Chmura A., Kwiatkowski A. 2014. Stem cells-General characteristic
and sources. MEDtube Science. II (2): 8-14
de la Morena MT, Gatti, RA. 2010. A history of bone marrow transplantation.
Immunol Allergy Clin North Am. 30: 1–15
Falanga, V. 2012. Stem cells in tissue repair and regeneration. J Invest Dermatol.
132: 1538–1541
Holt N, Wang J, Kim K, Friedman G, Wang X, Taupin V, Crooks G. M., Kohn DB,
Gregory PD, Holmes MC and Cannon PM. 2010. Human hematopoietic
stem/ progenitor cells modified by zink-finger nucleases targeted to CCR5
control HIV-1 in vivo. Nature Biotechnol. 28 (8): 839-47
Kitchen SG, Bennett M, Galić Z, Kim J, Xu Q, Young A, Lieberman A, Joseph A,
Goldstein H, Ng H, Yang O, Zack JA. 2009. Engineering antigen-specific
T cells from genetically modified human hematopoietic stem cells in
immunodeficient mice. PLoS One. 4(12)
Kolios G, Moodley, Y. 2013. Introduction to Stem cells and Regenertive Medicine.
Respiration. 85: 3-10
Le Blanc K, Rasmusson I, Sundberg B, Götherström C, Hassan M, Uzunel M,
Ringdén O. 2004. Treatment of severe acute graft-versus-host disease with
third party haploidentical mesenchymal stem cells. Lancet.
363(9419):1439-41
Lin H, Xu R, Zhang Z, Chen L, Shi M, Wang FS. 2011. Implications of the
immunoregulatory functions of mesenchymal stem cells in the treatment of
human liver diseases. Cell Mol Immunol. 8(1): 19-22
Rai RC, Bhattacharya D, Das G. 2012. Stem cell in infectious disease. Insight and
Control of Infectious Disease in Global Scenario. Tersedia di:
http://www.intechopen.com/books/insight-and-control-of-infectious-
disease-in-global-scenario/stem-cells-in-infectious-diseases
Takahashi K, Tanabe K, Ohnuki M, Narita M, Ichisaka T, Tomoda K, Yamanaka
S. 2007 Induction of pluripotent stem cells from adult human fibroblasts by
defined factors. Cell.131: 861–872
Yeung TY, Seeberger KL, Kin T, Adesida A, Jomha N, Shapiro AM, Korbutt GS.
2012. Human mesenchymal stem cells protect human islets from pro-
inflammatory cytokines. PLoS One. 7:e38189

Anda mungkin juga menyukai