Anda di halaman 1dari 20

CASE STUDY 5

PSIKOSOSIAL DAN BUDAYA DALAM KEPERAWATAN


KONSEP KEHILANGAN, KEMATIAN, DAN BERDUKA

Ifa Hafifah, Ns., M.Kep


Disusun Oleh:
Kelompok VII

Ervina Dwi Atika Arisandi 1610913320009


Ilham Budi Prawira 1610913310014
Nadila 1610913320027
Nur Millah Tsariy 1610913320033
Rahmad 1610913210015
Sayyidina Scleropages 1610913210020
Siti Syifa Agustina 1610913120015
Yulia Rahayu 1610913120017

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Dosen Pengampu : Selvia Harum Sari, Ns.

Kelompok : VII (Tujuh)

Nama Anggota : Ervina Dwi Atika Arisandi 1610913320009

Ilham Budi Prawira 1610913310014

Nadila 1610913320027

Nur Millah Tsariy 1610913320033

Rahmad 1610913210015

Sayyidina Scleropages 1610913210020

Siti Syifa Agustina 1610913120015

Yulia Rahayu 1610913120017

Banjarbaru, 19 Maret 2018

Ifa Hafifah, Ns., M.Kep


BAB I
KASUS

Topik: Konsep Kehilangan, Kematian, dan Berduka


Nyonya Nurul, 75 tahun, dirawat di rumah sakit setelah episode pneumonia
berulang. Meski mendapat terapi antibiotik agresif, kondisinya memburuk dan dia
meninggal tak terduga 1 minggu setelah dirawat di rumah sakit. Putra tertuanya, yang
tinggal di dekatnya dan sering merawat ibunya, mengatur pemakaman dan
mengunjungi kerabat. Dia merindukan ibunya dan menangis sesekali tapi berhasil
kembali bekerja minggu berikutnya. Anak bungsu mengalami kesulitan untuk
menghadiri pemakaman, tidak dapat tidur atau makan, tidak dapat berkonsentrasi di
tempat kerja, dan tidak percaya bahwa ibunya telah meninggal. Anak tengah tidak
menangis saat pemakaman dan tidak banyak bicara kepada saudara laki-lakinya atau
kerabat lainnya. Dia kembali ke rumahnya yang terletak di kota lain dan kembali
bekerja tapi merasa sangat lelah dan tidak bersemangat.

Diskusikan mengenai:
1. Berdasarkan kasus di atas, jelaskan fase berkabung dialami oleh masing-masing
anak yang masih hidup!
2. Faktor apa saja yang mungkin memengaruhi reaksi masing-masing anak terhadap
kematian ibu mereka?
3. Isyarat apa, selain tanda fisik, yang merupakan indikasi bahwa Nyonya Nurul
sedang sekarat, meski kematiannya terjadi tak terduga?
4. Bagaimanakah perkembangan konsep kematian berdasarkan usia?
5. Proses keperawatan dan kehilangan, kematian, serta duka cita.
BAB II
LAPORAN STUDI KASUS

1. Berdasarkan kasus di atas, jelaskan fase berkabung dialami oleh masing-


masing anak yang masih hidup!
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan yang
dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas, susah tidur,
dan lain-lain.

Ada lima fase kehilangan diantaranya yaitu:


1. Fase Pengingkaran (Denial)
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok,
tidak percaya atau menolak kenyataan bahwa kehilangan itu terjadi, dengan
mengatakan " Tidak, saya tidak percaya bahwa itu terjadi", " Itu tidak
mungkin". Bagi individu atau keluarga yang mengalami penyakit terminal,
akan terus menerus mencari informasi tambahan. Reaksi fisik yang terjadi
pada fase peenginkaran adalah letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan
pernapasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah, tidak tahu berbuat apa.
Reaksi tersebut cepat berakhir dalam waktu beberapa menit sampai beberapa
tahun.
2. Fase Marah (Anger)
Fase ini dimulai dengan timbulnya kesadaran akan kenyataan
terjadinya kehilangan. Individu menunjukkan perasaan yang meningkat yang
sering diproyeksikan kepada orang yang ada di lingkungannya, orang orang
tertentu atau ditujukan kepada dririnya sendiri. Tidak jarang menunjukkan
perilaku agresif, bicara kasar, menolak pengobatan, dan menuduh dokter dan
perawat yang tidak becus. Respon fisik yang terjadi pada fase ini antara lain,
muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal.
3. Fase Tawar Menawar (Bergaining)
Apabila individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara
intensif, maka ia akan maju ke fase tawar menawar dengan memohon
kemurahan Tuhan. Respon ini sering dinyatakan dengan kata-kata " Kalau
saja kejadian ini bisa ditunda maka saya yang akan sering berdoa" Apabila
proses berduka ini dialami oleh keluarga maka pernyataan sebagai berikut
sering dijumpai "Kalau saja yang sakit bukan anak saya".
4. Fase Depresi (Depression)
Individu pada fase ini sering menunujukkan sikap antara lain menarik
diri, tidak mau bicara, kadang-kadang bersikap sebagai pasien yang sangat
baik dan menurut, atau dengan ungkapan-ungkapan yang menyatakan
keputusasaan, perasaan tidak berharga. Gejala fisik yang sering diperlihatkan
adalah menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libido menurun.
5. Fase Penerimaan
Fase ni berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran
selalu terpusat kepada objek atau orang hilang akan mulai berkurang atau
hilang, individu telah menerima kenyataan kehilanganbyang dialaminya,
gambaran tentang objek atau irang yang hilang mulai dilepaskan dan secara
bertahap perhatian beralih pada objek yang baru. Fase menerima biasanya
dinyatakan dengan kata-kata "Saya betul-betul menyayangi baju saya yang
hilang tapi baju saya yang baru manis juga," atau "Apa yang dapat saya
lakukan agar saya dapat cepat sembuh?".
Jenis-jenis berduka, ada 5 jenis konsep berduka, yaitu :
a) Berduka Normal
Terdiri atas perasaan, perilaku, dan reaksi yang normal terhadap
kehilangan. Misal : kesedihan, kemarahan, menangis, kesepian, dan
menarik diri dari aktivitas untuk sementara.
b) Berduka Antisipatif
Proses melepaskan diri yang muncul sebelum kehilangan atau
kematian yang sesungguhnya terjadi. Misal : ketika menerima diagnosis
terminal, seseorang akan memulai proses perpisahan dan menyesuaikan
diri dengan berbagai urusan dunia sebelum ajalnya tiba.
c) Berduka yang Rumit
Dialami oleh seseorang yang sulit untuk maju ke tahap berikutnya,
yaitu tahap kedukaan normal. Masa berkabung seolah-olah tidak kunjung
berakhir dan dapat mengancam hubungan orang yang bersangkutan dengan
orang lain.
d) Berduka Tertutup
Kedudukan akibat kehilangan yang tidak dapat diakui secara
terbuka. Misal: kehilangan pasangan karena AIDS, anak mengalami
kematian orang tua, ibu yang kehilangan anaknya di kandungan atau ketika
bersalin.
e) Berduka Disfungsional
Suatu status yang merupakan pengalaman individu yang
responnya dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara aktual maupun
potensial. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal, abnormal, atau
kesalahan/ kekacauan.
Konsep kehilangan, ada 5 jenis konsep kehilangan, yaitu :
a) Kehilangan Objek Eksternal
Kehilangan ini mencakup segala kepemilikan yang telah menjadi
usang, berpindah tempat, dicuri, atau rusak karena bencana alam.
Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang terhadap benda yang hilang
bergantung pada nilai yang dimiliki orang tersebut terhadap benda yang
dimilikinya, dan kegunaan dari benda tersebut. Contoh : kehilangan sepeda
motor, kehilangan uang, kehilangan rumah.
b) Kehilangan Lingkungan yang telah Dikenal
Kehilangan ini mencakup meninggalkan lingkungan yang telah
dikenal selama periode tertentu atau kepindahan secara permanen. Contoh :
pindah rumah baru dan alamat baru atau yang ekstrim lagi dirawat di
rumah sakit. Kehilangan melalui perpisahan dari lingkungan yang telah
dikenal dapat terjadi melalui situasi naturasional, misal : lansia pindah
kerumah perawatan.
c) Kehilangan Orang Terdekat
Kehilangan yang terjadi pada orang-orang terdekat seperti
orangtua, pasangan, anak-anak, saudara sekandung, guru, dan lain-lain..
Contoh: pindah rumah, pindah pekerjaan karena promosi atau mutasi,
melarikan diri, dan kematian.
d) Kehilangan Aspek Diri
Kehilangan aspek dalam diri dapat mencakup bagian tubuh, fungsi
fisiologis, atau psikologis. Kehilangan ini dapat terjadi karena penyakit,
cedera, atau perubahan perkembangan situasi. Kehilangan seperti ini dapat
menurunkan kesejahteraan individu, mengalami kehilangan kedudukan,
mengalami perubahan permanen dalam citra tubuh dan konsep diri.
Contoh: kehilangan anggota tubuh dan harus diamputasi karena kecelakaan
lalu lintas, menderita kanker organ tubuh yang ganas, terkena penyakit HIV
atau AIDS.
e) Kehilangan Hidup
Kehilangan ini ada pada orang-orang yang akan menghadapi
kematian sampai dengan terjadinya kematian. Hal ini sering menyebabkan
kehilangan kontrol terhadap diri sendiri, gelisah, takut, bergantung pada
orang lain, putus asa dan malu. Contoh: pasien yang divonis menderita
kanker otak, luekimia atau penyakit langka lainnya yang tidak bisa
disembuhkan oleh dokter.

Berdasarkan kasus, fase yang dialami oleh anak-anak klien ada lima fase
yaitu fase pengingkaran (denial), fase marah (anger), fase tawar menawar
(bergaining), fase depresi (depression), dan fase penerimaan. Ketiga anaknya merasa
sangat sedih dan sering menangis karena kehilangan orang yang terdekat dengan dia
yaitu ibunya yang meninggal tak terduga 1 minggu setelah dirawat di rumah sakit.
Berdasarkan kasus anak tertua mengalami fase pengingkaran yang dimana dalam
kasus sesekali ia menangis karena merindukan ibunya, tetapi pada seminggu
kemudian ia memasuki fase penerimaan yang dimana kita melihat pada kasus bahwa
anak tertua sudah berhasil kembali bekerja pada minggu berikutnya setelah kemarian
sang ibu , anak kedua mengalami fase depresi yang dimana ia terlihat menarik diri,
tidak banyak bicara dan juga saat ia kembali bekerja ia merasa lelah dan tidak
bersemangat, anak bungsu mengalami fase pengingkaran, fase marah dan fase
depresi yang dimana ia tidak dapat tidur atau makan dan ia tidak percaya atas
kematian sang ibu. Jenis berduka yang dialami oleh ketiga anak nyonya nurul yaitu
berduka tertutup yang dimana mereka mengalami kematian orang tua.

2. Faktor apa saja yang mungkin memengaruhi reaksi masing-masing anak


terhadap kematian ibu mereka?
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehilangan:
1. Faktor Perkembangan
a) Anak-anak
 Belum mengerti seperti orang dewasa, belum bisa merasakan.
 Belum menghambat perkembangan.
 Bisa mengalami regresi.
b) Orang dewasa
 Kehilangan membuat orang menjadi mengenang tentang hidup, tujuan
hidup.
 Menyiapkan diri bahwa kematian adalah hal yang tidak bisa dihindari.
2. Faktor Keluarga
Keluarga mempengaruhi respond an ekspresi kesedihan. Anak terbesar
biasanya menunjukkan sikap kuat, tidak menunjukkan sikap sedih secara
terbuka.
3. Faktor Sosial Ekonomi
Apabila yang meninggal merupakan penanggung jawab ekonomi
keluarga, berarti kehilangan orang yang dicintai sekaligus kehilangan secara
ekonomi. Dan hal ini bisa mengganggu kelangsungan hidup.
4. Faktor Kultural
Kultur mempengaruhi manifestasi fisik dan emosi. Kultur barat
menganggap kesedihan adalah sesuatu yang sifatnya pribadi sehingga hanya
diutarakan pada keluarga, kesedihan tidak ditunjukkan pada orang lain. Kultur
lain menganggap bahwa mengekspresikan kesedihan harus dengan berteriak
dan menangis keras-keras.
5. Faktor Agama
Dengan agama bisa menghibur dan menimbulkan rasa aman.
Menyadarkan bahwa kematian sudah ada dikonsep dasar agama. Tetapi ada
juga yang menyalahkan Tuhan akan kematian.
6. Faktor Penyebab Kematian
Seseorang yang ditinggal anggota keluarga dengan tiba-tiba akan
menyebabkan goncangan jiwa yang berat dan tahapan kehilangan yang lebih
lama. Ada yang menganggap bahwa kematian akibat kecelakaan diasosiasikan
dengan kesialan.
Kebutuhan keluarga yang kehilangan membutuhkan hal-hal sebagai berikut:
a) Harapan
Perawatan yang terbaik sudah diberikan. Keyakinan bahwa mati adalah akhir
penderitaan dan kesakitan.
b) Partisipasi
Memberi perawatan. Sharing dengan staf perawatan.
c) Dukungan
Dengan dukungan seseorang bisa melewati kemarahan, kesedihan, dan
penyangkalan. Dukungan bisa digunakan sebagai koping dengan perubahan
yang terjadi.
d) Kebutuhan Spiritual
Berdoa sesuai dengan kepercayaan yang dianut. Mendapatkan kekuatan dari
Tuhan.
Konsep dan teori berduka:
1. Teori Engels
Menurut Engels (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase yang dapat
diaplikasikan pada seseorang yang sedang berduka maupun menjelang ajal.
Berikut beberapa fase yang dilalui.
a) Fase I (shock dan tidak percaya)
Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin menarik diri,
duduk malas, atau pergi tanpa tujuan. Reaksi secara fisik termasuk
pingsan, diaporesis, mual, diare, detak jantung cepat, tidak bisa istirahat,
insomnia dan kelelahan.
b) Fase II (berkembangnya kesadaran)
Seseoarang mulai merasakan kehilangan secara nyata/ akut dan mungkin
mengalami putus asa. Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan
kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi.
c) Fase III (restitusi)
Berusaha mencoba untuk sepakat/ damai dengan perasaan yang hampa/
kosong, karena kehilangan masih tetap tidak dapat menerima perhatian
yang baru dari seseorang yang bertujuan untuk mengalihkan kehilangan
seseorang.
d) Fase IV
Menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan terhadap
almarhum. Bisa merasa bersalah dan sangat menyesal tentang kurang
perhatiannya di masa lalu terhadap almarhum.
e) Fase V
Kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai diketahui/ disadari.
Sehingga pada fase ini diharapkan seseorang sudah dapat menerima
kondisinya. Kesadaran baru telah berkembang.

2. Teori Kubler-Ross
Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross (1969) adalah berorientasi
pada perilaku dan menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai berikut.
a) Penyangkalan (Denial)
Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat menolak
untuk mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan. Pernyataan seperti
“tidak, tidak mungkin seperti itu!” atau “tidak akan terjadi pada saya!”
sangat umum dilontarkan.
b) Kemarahan (Anger)
Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin “bertindak lebih” pada
setiap orang dan segala sesuatu yang berhubungan dengan lingkungan.
Pada fase ini orang akan lebih sensitif sehingga mudah sekali tersinggung
dan marah. Hal ini merupakan koping individu untuk menutupi rasa
kecewa dan merupakan menifestasi dari kecemasannya menghadapi
kehilangan.
c) Penawaran (Bargaining)
Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang halus atau
jelas untuk mencegah kehilangan. Pada tahap ini, klien sering kali mencari
pendapat orang lain.
d) Depresi (Depression)
Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna
kehilangan tersebut. Tahap depresi ini memberi kesempatan untuk
berupaya melewati kehilangan dan mulai memecahkan masalah.
e) Penerimaan (Acceptance)
Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut. Kubler-Ross
mendefinisikan sikap penerimaan ada bila seseorang mampu menghadapi
kenyataan dari pada hanya menyerah pada pengunduran diri atau berputus
asa.

Berdasarkan kasus Ny. Nurul. Putra sulungnya termasuk kedalam faktor


reaksi yang disebabkan rasa kehilangan, akan tetapi dia memiliki rasa atau strategi
koping yang cukup bagus dapat dilihat dia kembali bekerja walaupun sesekali dia
merasa kehilangan. Sedangkan anak bungsu Ny. Nurul terlihat strategi kopingnya
yang kurang bagus dia masih merasa sangat kehilangan ibunya dan mengalami tidak
bisa tidur, makan, bahkan tidak bisa konsentrasi saat bekerja.

3. Isyarat apa, selain tanda fisik, yang merupakan indikasi bahwa Nyonya
Nurul sedang sekarat, meski kematiannya terjadi tak terduga?
Kematian atau ajal adalah akhir dari kehidupan, ketiadaan nyawa dalam
organisme biologis. Semua makhluk hidup pada akhirnya akan mati secara
permanen, baik karena penyebab alami seperti penyakit atau karena penyebab
tidak alami seperti kecelakaan.
Beberapa bulan menjelang kematian, perubahan yang paling tampak adalah
suasana hati dan perilakunya. Berikut ciri-cirinya:
a) Menarik diri dari orang-orang terdekat, misalnya tidak mau dikunjungi
di rumah sakit.
b) Lebih sering berdiam diri (pada anak-anak mungkin justru tambah
cerewet).
c) Jarang makan atau minum.
d) Berhenti melakukan hal-hal favorit atau hobi.
e) Mudah lelah dan mudah tertidur.
f) Mengompol (karena inkontinensia urine).

Beberapa minggu menjelang kematian, seiring berjalannya waktu, tubuh


orang akan mengalami penurunan fungsi. Hal ini bisa terlihat dari tanda-tanda
berikut ini.
a) Pola tidur berubah-ubah.
b) Mengeluh atau mendesah karena menahan rasa sakit. Bicarakan
dengan dokter dan perawat untuk mendapatkan obat-obatan pereda
nyeri.
c) Mengigau, berhalusinasi, atau mengalami disorientasi. Misalnya
bingung sedang berada di mana, siapa saja orang-orang di sekitarnya,
melihat cahaya terang, dan mengaku berbicara dengan keluarga atau
sahabat yang sudah meninggal.
d) Tidak bisa meninggalkan tempat tidur sama sekali.
e) Tidak bisa makan tanpa bantuan selang.
f) Makin jarang buang air kecil atau buang air besar.
g) Tekanan darah, detak jantung, dan irama pernapasan melemah.
h) Suhu tubuh menurun dan meningkat secara tak pasti.
i) Kulit, bibir, dan kuku jadi lebih pucat atau membiru karena aliran
darah berkurang.

Beberapa hari atau jam menjelang kematian, biasanya orang yang sudah
tinggal beberapa hari atau jam mendekati ajalnya akan menunjukkan ciri-ciri
berikut ini:
a) Tiba-tiba gelisah atau jadi tampak bertenaga. Misalnya dengan bicara
panjang lebar atau minta jalan-jalan. Namun, gelombang energi ini
biasanya tidak bertahan lama. Dalam waktu beberapa saat orang
tercinta Anda mungkin akan jadi lemas lagi.
b) Detak jantung sangat lemah, bahkan nyaris tak terdeteksi.
c) Suhu tubuh menurun drastis.
d) Tidak bisa makan sama sekali.
e) Tidak buang air kecil atau buang air besar sama sekali.
f) Pernapasan jadi sangat lambat.
g) Muncul bercak-bercak ungu kebiruan di sekujur tubuh.

Manifestasi Klinis Kehilangan dan berduka:


a) Perasaan sedih, menangis.
b) Perasaan putus asa, kesepian
c) Mengingkari kehilangan
d) Kesulitan dalam mengekspresikan perasaan
e) Konsenterasi menurun
f) Kemarahan yang berlebihan
g) Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain
h) Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan
i) Reaksi emosional yang lambat
j) Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat aktivitas.

Berdasarkan kasus tersebut tidak dijelaskan bahwa ibu nurul menunjukan


isyarat atau tanda dia akan meninggal, karena kematiannya pun mendadak, tetapi
keluarga merasakan manifestasi klinis kehilangan berupa perasaan sedih, menangis,
konsentrasi menurun, tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain, dan
adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur , tingakat aktivitas.

4. Bagaimanakah perkembangan konsep kematian berdasarkan usia?


Usia mempengaruhi pengalaman dan pemikiran tentang kematian. Seorang
dewasa yang telah matang, akan memahami bahwa kematian merupakan akhir
kehidupan dan itu tidak dapat diubah lagi, dan segala yang hidup akan mati. Banyak
peneliti menemukan bahwa seiring dengan perkembangan anak, mereka
mengembangkan pendekatan tentang kematian yang lebih matang.
a. Masa kanak-kanak
Kebanyakan peneliti percaya bahwa bayi tidak memiliki konsep tentang
kematian. Namun, karena bayi mengembangkan keterikatan dengan
pengasuhnya, mereka dapat mengalami perasaan kehilangan atau pemisahan
serta kecemasan yang menyertainya.tetapi anak-anak tidak memahami waktu
sebagaimana orang dewasa. Bahkan perpisahan yang singkat mungkin dialami
sebagai kehilangan total. Bagi kebanyakan bayi, kedatangan pengasuh kembali
akan memberikan suatu kontinuitas eksistensi dan hal ini akan mereduksi
kecemasan. Kita sangat sedikit mengetahui pengalaman aktual bayi tentang
kehilangan walaupun kehilangan orang tua, terutama jika pengasuhan tidak
digantikan yang dapat berpengaruh negatif pada kesehatan bayi.
Anak usia 3-5 tahun memiliki sedikit ide bahkan sama sekali tidak
mengenai apa yang dimaksud dengan kematian. Mereka seringkali bingung
antara mati dengan tidur, dan bertanya dengan keheranan “Mengapa ini tidak
bergerak?”. Di usia sekolah anak-anak jarang kaget oleh pemandangan seekor
binatang yang mati atau dari cerita bahwa seseorang telah mati. Mereka percaya
bahwa orang telah mati dapat kembali hidup secara spontan karena adanya hal
yang magis atau dengan memberi mereka makan atau perawatan medis (Lanetto,
1980). Anak-anak kecil seringkali percaya bahwa hanya orang-orang yang ingin
mati, atau mereka yang jahat atau yang kurang hati-hati, yang benar-benar mati.
Mereka mungkin menyalahkan diri mereka sendiri terhadap kematian orang yang
mereka kenal baik, mengungkapkan alasan yang tidak logis bahwa peristiwa itu
mungkin terjadi karena mereka tidak patuh terhadap orang yang mati tersebut.
Kadang-kadang di masa kanak-kanak tengah atau akhir, konsep
kematian yang tidak logis mengenai kematian lambat laun berkembang hingga
diperoleh suatu persepsi tentang kematian yang lebih realistik. Dalam penelitian
awal mengenai persepsi kematian seorang anak, anak 3-5 tahun menolak adanya
kematian. Anak usia 6-9 tahun percaya bahwa kematian itu ada, tetapi hanya
dialami oleh beberapa orang. Dan anak usia 9 tahun keatas akhirnya mengenali
kematian dan universalitasnya (Nagy, 1948).
Kebanyak ahli psikologi percaya bahwa kejujuran merupakan strategi
terbaik dalam mendiskusikan kematian dengan anak-anak. Memperlakukan
konsep sebagai hal yang tidak pantas disebutkan sebagai strategi yang tidak
sesuai, walaupun kebanyakan dari kita masih tumbuh dalam suatu masyarakat
dimana kematian sangat jarang didiskusikan.
b. Masa remaja
Di masa remaja, pandangan tentang kematian, seperti juga pandangan
terhadap penuaan dianggap sebagai suatu hal yang begitu jauh dan tidak banyak
memiliki relevansi. Subjek kematian barangkali dihindari, ditutupi, diolok-olok,
dinetralisasi, dan dikontrol dengan orientasi sebagai penonton (spektatorlike
orientation). Perspektif ini merupakan tipe pemahaman kesadaran diri pada masa
remaja. Bagaimanapun, beberapa remaja menunjukkan perhatiannya terhadap
kematian, mencoba untuk memahami maksud dari kematian, dan menghadapi
saat kematian mereka.
Remaja mengembangkan konsep tentang kematian secara lebih abstrak
dibandingkan anak-anak. Sebagai contoh, para remaja menggambarkan kematian
dengan istilah kegelapan, cahaya terang, transisi, atau ketiadaan sama sekali
(Wenestam & Wass, 1987). Mereka juga mengembangkan filosofi religius
mengenai hakikat kematian dan kehidupan sesudah mati.
c. Masa dewasa
Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa di masa dewasa awal
dikembangkan suatu pemahaman atau orientasi khusus mengenai kematian.
Peningkatan kesadaran mengenai kematian muncul sejalan saat mereka beranjak
tua, yang biasanya meningkat pada masa dewasa tengah. Para peneliti
menemukan bahwa mereka yang berusia dewasa tengah sebenarnya lebih takut
menghadapi kematian dibandingkan mereka yang berusia dewasa awal maupun
dewasa akhir (Kalish & Reynolds, 1976). Orang-orang dewasa akhir lebih
banyak berpikir mengenai kematian dan mereka lebih banyak membicarakan
kematian.
Di usia tua, kematian seseorang lebih wajar dibicarakan. Pemikiran dan
pembicaraan tentang kematian meningkat, perkembangan integritaspun
meningkat. Melalui peninjauan hidup yang positif dan hal inimungkin dapat
membantu mereka untuk menerima kemaatian. Mereka cenderung tidak memiliki
kerja byang berhubungan dengan proyek yang menginginkan kesempurnaan.
Kurangnya antipasi terhadap kematian barangkali akan menyebabkan rendahnya
rasa sakit yang ditimbulkan secara emosional pada diri mereka.

Berdasarkan kasus, nyonya nurul berusia 75 tahun. Usia tersebut termasuk


usia tua. Di mana pada usia tua pemikiran dan pembicaraan tentang kematian
meningkat, perkembangan integritas pun meningkat. Melalui peninjauan hidup yang
positif dan hal ini mungkin dapat membantu mereka untuk menerima kematian.
5. Proses keperawatan dan kehilangan, kematian, serta duka cita.
Askep pada Klien dengan Kehilangan dan Berduka
1. Pengkajian
Pengkajian meliputi upaya mengamati dan mendengarkan isi duka cita klien: apa
yang dipikirkan, dikatakan, dirasakan, dan diperhatikan melalui perilaku.
2. Analisa data
No Data Etiologi Masalah Keperawatan
1 Do : putra pertama terlihat
menangis sesekali tapi Kematian orang Risiko Duka Cita
berhasil kembali bekerja terdekat Terganggu
minggu berikutnya
Ds : -

2 d Do : anak kedua tidak


menangis saat pemakaman -Kematian orang -Duka Cita Terganggu
dan tidak banyak bicara pada terdekat
saudara laki-lakinya atau
kerabat lainnya,merasa sangat -Ketiadaan orang -Hambatan Interaksi
lelah dan tidak bersemangat terdekat sosial
dalam bekerja
dd Ds : -
D
3 Do : Anak bungsu mengalami
kesulitan dalam mengahdiri
pemakaman tidak dapat tidur Kematian orang Duka Cita
atau makan tidak dapat terdekat
berkonsentrasi ditempat kerja
dan tidak percaya bahwa
ibunya telah meninggal
D Ds : -

3. Diagnosa keperawatan
1. Risiko duka cita terganggu
2. Duka cita terganggu
3. Hambatan interaksi sosial
4. Duka cita

4. Intervensi
No Diagnosa NOC NIC
1 Risiko duka cita Tindakan personal untuk Peningkatan koping :
terganggu mengelola stresor yang membantu pasien untuk
membebani sumber beradaptasi dengan persepsi
individu stresor, perubahan atau
ancaman yang dapat
mengganggu pemenuhan
tuntutan hidup dan peran
2 Duka cita terganggu Penyesusaian terhadap Peningkatan peran :
kehilangan aktual atau membantu klien
yang akan datang memperbaiki hubungan
dengna mengklarifikasi atau
menambahkan perilaku
peran tertentu
3 Hambatan interaksi Interaksi sosial dengan Pembinaan hubungan yang
sosial
orang, kelompok, dan kompleks : membina
organisasi hubungan terapeutik dengan
klien yang mengalami
kesulitan berinteraksi dengan
orang lain
4 Duka cita Menyesuaikan diri -Dukungan emosi :
dengna kehilangan memberikan penenangan,
aktual atau yang akan penerimaan, dan dorongan
terjadi selama periode stres
-fasilitasi proses duka cita :
membantu mengatasi
kehilangan yang berarti
REFERENSI

Santrock, John W.. 2002. Life-Span Development Perkembangan Masa


Hidup. Jilid 2. Penerjemah: Juda Damanik, Achmad Chusairi. Jakarta: Erlangga.

Stanley, Mickey & Patricia Gauntlett Beare. 2007. Buku Ajar Keperawatan
Gerontik Edisi 2. Penerjemah: Nety Juniarti, S.Kp & Sari Kurnianingsih, S.Kp.
Jakarta: EGC.

Potter, Patricia A., Perry, Anne Griffin. 2005. Fundamental Keperawatan


Konsep, Proses, dan Praktik. Edisi 4. Penerjemah: Asih Yasmin, Dkk. Jakarta: EGC.

Nasir, Abdul, Dkk. 2011. Komunikasi Dalam Keperawatan Teori dan


Aplikasi. Jakarta: Salemba Medika.

Mardiati Ratna. 2008. Pengantar Neuropsikologi. Jakarta:SAGUNG SETO.

Budi, Anna Keliat. 2009. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.


Jakarta:EGC.

Iyus, Yosep. 2007. Keperawatan Jiwa. RefikaAditama : Bandung.

NANDA.2011. Diagnosis Keperawatan : Defenisi dan Klasifikasi. Jakarta :


EGC.

Judith M. Wilkinson, dkk. 2015. Buku saku diagnosis keperawatan : diagnosis


nanda, intervensi NIC, kriteria hasil NOC, Ed.9. Jakarta : EGC.

Potter, Perry. (2010). Fundamental Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

Alimul Hidayat, Aziz. (2006). Kebutuhan Dasar Manusia, aplikasi konsep dan
proses keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

Afrian Saputra, Zaenal Abidin. Pengalaman Kehilangan Anak Pada Ibu


Korban Tragedi Trisakti 1998 (Sebuah Studi Kualitatif Fenomenologis). 2016.
Volume 5 (2). 236-240.

Anda mungkin juga menyukai