Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Stroke Non Hemoragik


1. Pengertian
Stroke adalah penyakit neurologis terbanyak yang dapat
mengakibatkan masalah kesehatan yang serius dan berdampak pada
kecacatan, kematian, dan ekonomi keluarga, akibat dari adanya
disfungsi motorik dan sensorik. (Subianto, 2012).
Stroke iskemik (non hemoragik) yaitu tersumbatnya pembuluh
darah yang menyebabkan aliran darah ke otak sebagaian atau
keseluruhan terhenti. Stroke non hemoragik merupakan proses
terjadinya iskemia akibat emboli dan thrombosis serebral, biasanya
terjadi setelah lama beristirahat, baru bangun tidur, atau di pagi hari dan
tidka terjadi perdarahan. Namun terjaid iskemia yang menimbulkan
hipoksia dan selanjutnya timbul edema sekunder ( Muttaqin, 2011
p:239)
Stroke iskemik bisa terjadi jika aliran darah ke otak terhenti karena
ateroksklerosis (penumpukan kolesterol pada dinding pembuluh darah)
atau bekuan darah yang telah menyumbat suatu pembuluh darah ke otak
sehingga pasokan darah ke otak terganggu (Wiwit, 2010 p: 16).
2. Etiologi
Muttaqin (2008), menjelaskan beberapa keadaaan yang bisa
menyebabkan stroke:
a. Trombosis serebri
Trombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi
sehingga menyebabkan iskemia jaringan otak yang dapat
menimbulkan edema dan kongesti di sekitarnya. Trombosis
biasanya terjadi pada orang tua yang deang tidur atau bangun tidur.
Hal ini dapat erjadi karena penurunan aktivitas simpatis dan
penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan iskemia serebri.
Tanda dan gejaala neurologis sering kali memburuk dalam 48 jam
setelah terjadi trombosis.
b. Emboli
Emboli serebri merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh
bekuan darah, lemak, dan udara. Pada umumnya emboli berasal dari
thrombus di jantung yang terlepas dan menyumat system arteri
serebri. Emboli tersebut berlangsung cepat dan gejala timbul kurang
dari 10-30 detik. Beberapa keadaan dibawah ini dapat
mmenimbulkan emboli: katup-katup jantung yang rusak akibat
penykit jantung reumatik, infark miokardium, fibrilasi, dan keadaan
aritmia menyebabkan berbaga bentuk pengosongan vebtrikel
sehingga darah membentuk gumpalan kecil dan sewaktu-waktu
kosong sama sekali mengeluarkan embolus-embolus kecil.
Endokarditis oleh bakteri dan non bakteri, menyebabkan
terbentuknya gumpalan- gumpalan pada endokardium.
c. Hemoragik
Perdarahan intrakarnial atau intra serebri meliputi perdarahan di
dalam ruang subarachnoid atau did lam jaringan otak sendiri.
Perdarahan ini dapat terjadi karena aterosklerosis dan hipertesi.
Pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan pembesaran darah ke
dalam parenkim otak yang dapat mengakibatkan penekanan,
pergeeran, dan pemisahan jaringan otak yang berdekatan, sehingga
otak akan membengkak, jaringan otak tertekan sehingga terjadi
infark otak, edema, dan mungkin herniasi otak.
d. Hipoksia umum
Beberapa penyebab yang yang berhubungan dengan hipoksia umum
adalah hipertensi yang parah, henti jantung paru, curah jantung turun
akibat aritmia.
e. Hipoksia Lokal
Beberapa penyebab yang berhubungan dengan hipoksia setempat
adalah spasme arteri serebri yang disertai perdarahan subaraknoid
dan vasokontriksi atreri disertai sakit kepala migren.
Sedangkan menurut Wiwit (2010 p: 16) strke iskemik disebabkan oleh
beberapa diantaranya sebagai berikut :
a. Ateroma (endapan lemak), yaitu penyumbatan yang bisa terjadi
di sepanjang arteri menuju otak. Yaitu pada dua arteria karotis
interna dan arteri menuju otak yaitu pada dua arteria karotis
interna dan dua arteri vertebralis. Arteri-arteri ini merupakan
cabang dari lengkung aorta jantung. Suatu ateroma bisa
berbentuk di dalam pembuluh darah arteri karotis sehingga
menyebabkan berkurangnya aliran darah.
b. Peradangan atau infeksi yang dapat menyebabkan
menyempitnya pembuluh darah yang menuju ke otak.
c. Obat-obatan seperti kokain dan amfematin juga bisa
mempersempit pembuluh darah ke otak.
d. Penurunan tekanan darah yang tiba-tiba sehingga menghambat
aliran darah ke otak
e. Emboli, yaitu endapan lemak yang terlepas dari dinding arteri
dan terbawa aliran darah lalu menyumbat arteri yang lebih kecil.
Stroke semacam ini disebut sebagai stroke emboli serebral.
3. Patofisiologi
Obesitas, kolesterol, penyakit jantung dan perokok merupakan
faktor resiko yang dapat menyebabkan stroke non hemoragik (Batticaca,
2012, p. 58) yang dimana dapat menyebabkan trombosis dan emboli
(Setiati dkk., 2014, p. 1557). Trombosis lebih sering terjadi pada
penyumbatan aliran darah karena adanya perubahan bentuk dinding
pembuluh darah yaitu pembekuan dinding pembuluh darah karena
lemak (aterosklerosis), sedangkan emboli tidak disebabkan oleh
patologi pembuluh darah lokal melainkan aorta, karotis, vertebralis, dan
material emboli lain seperti udara, lemak, benda asing yang memasuki
sirkulasi sistemik (Setiati dkk., 2014, p. 1557). Kondisi tersebut dapat
mengakibatkan berkurangnya aliran darah serebral (Chang, Daly &
Elliott, 2009, p. 287). Kondisi yang menyebabkan perubahan pada
vaskularisasi darah pada serebral dapat menyebabkan keadaan hipoksia
(Batticaca, 2012, p. 56). Kekurangan oksigen dalam satu menit dapat
menunjukkan gejala yang dapat pulih seperti kehilangan kesdaran,
sedangan kekurangan oksign dalam waktu yang lebih lama
menyebabkan nekrosis neuron yang disebut infark (Batticaca, 2012, p.
57). Perfusi jaringan serebral tidak efektif dapat menyebabkan fungsi
otak yang mempersyarafi 12 syaraf kranial mengalami penurunan
ataupun terganggu, maka muncul masalah keperawaatan
ketidakefektifan perfusi jaringan serebral, defisit nutrisi, gangguan
mobilitas fisik, gangguan persepsi sensori, dan gangguan komunikasi
verbal (Nurarif & Kusuma, 2015, p. 157).
4. Manifestasi Klinis
Menurut Wiwit (2010 p:20) menyebutkan gejala-gejala stroke yang
umum terjadi dimasyarakat antara lain sebagai berikut :
a. Mati rasa mendadak pada wajah atau rasa lemah mendadak pada
lengan, tungkai kaki, terutama pada satu sisi tubuh
b. Mendadak sulit berjalan, kehilangan kesemimbangan tubuh, atau
koordinasi anggota tubuh.
c. Merasa lemah dan tidak bertenaga
d. Tiba-tiba pusing, sakit kepala yang parah atau kehilangan
keseimbangan
e. Bingung atau kesulitan berbicara
f. Mulut mencong ke kiri atau ke kanan
g. Separo badan terasa pegal, kesemutan, dan panas seperti terbakar
h. Lidah mencong bila dijulirkan
i. Bicara pelo/tidak jelas
j. Sulit menelan atau saat makan/minum mudah tersedak
k. Terasa tidak ada koordinasi antara yang dibicarakan dan yang ada
dipikirkan
l. Penglihatan terganggu
m. Kemunduran pendengaran
n. Gerakan tidak terkoordinasi
o. Mendadak lumpuh setengah badan (kiri atau kanan)
p. Kejang yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya
5. Klasifikasi
Menurut Arini (2014 p: 14) stroke non hemoragik dapat di
klasifikasikan berdasarkan perjalanan penyakitnya, yaitu :
a. Serangan iskemik sepintas (Transient Ischemik Attack-TIA)
TIA merupakan tampilan peristiwa berupa episode-episode serngan
sesaat dari suatu disfungsi serberal fokal akibat gangguan vaskular
dengan lama serangan sekitar 2-15 menit sampai paling lama 24 jam.
b. Defisit neurologis iskemik sepintas (Reversible schemic neurology
deficit )
Gejala dan tanda neurologis yang berlangsung lebih lama dari 24
jam dan kemudian pulih kembali (dalam jangka waktu kurang dari
tiga minggu).
c. In Evolutional atau Progressing Stroke
Gejala gangguan neurologis yang progresif dalam waktu enam jam
atau lebih.
d. Stroke komplit (Completed stroke/Permanent stroke)
6. Komplikasi
Setelah mengalami stroke mungkin akan mengalami komplikasi,
komplikasi ini dapat dikelompokan berdasarkan :
a. Dalam hal imobilisasi antara lain, infeksi pernafasan, nyeri tekan,
konstipasi, dan tromboflebitis
b. Dalam hal paralisis antara lain, nyeri pada daerah punggung,
dislokasi sendi, deformitas, dan terjatuh
c. Dalam hal kerusakan otak antara lain epilepsi dan sakit kepala
d. Hidrosefalus
7. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Arini (2014 p:51) pemeriksaan yang dapat dilakukan pada
penderita stroke adalah :
a. CT scan bagian kepala : pada pasien stroke non hemoragik terlihat
adanya infark
b. Pemeriksaan lumbal fungsi : untuk pemeriksaan diagnostik
diperiksa kimia sitologi, mikrobiologi, dan virologi. Disamping itu
dilihat pulacairan serebrospinal. Pada stroke non hemoragik akan
ditemukan tekanan normal dari cairan cerebrospinal jernih.
c. Elektrokardiografi (EKG) : untuk mengetahui keadaan jantung
dimana jantung berperan dalam suplai darah otak.
8. Penatalaksanaan
a. Hindari pemberian cairan intravena yang berisi glukosa atau cairan
hipotonik (Masriadi, 2016, p. 129).
b. Terapi obat digunakan untuk mencegah terjadinya penggumpalan
trombosit dan terbentuknya trombus atau pembekuan darah yang
dapat menyumbat lumen pembuluh darah seperti asam asetil salisilat
dengan dosis 2x 80-200 mg per hari dalam 48 jam, tiklopidin dengan
dosis 2x 250 mg sehari dalam 1-2 tahun, clopidogrel dengan dosis
75 mg 1x sehari (Masriadi, 2016, p. 128).
c. Sebelum pemberian nutrisi, periksa reflek muntah sebelum
menawarkan makanan semipadat dengan porsi kecil tetapi sering.
Letakkan baki makanan di tempat yang mudah terlihat oleh pasien
bila pasien mengalami gangguan penglihatan. Bila pasien masih
mampu makan melalui oral, tidak perlu dilakukan pemasangan
selang nasogastric (NGT) (Kowalak, 2011, p. 339).

B. Konsep Asuhan keperawatan Pada Klien Dengan Stroke Non Hemragik


1. Pengkajian
Pengkajian adalah suatu proses kontinu yang dilakukan semua fase
pemecahan masalah dan menjadi dasar untuk pengambilan keputusan.
Pengkajian menggunakan banyak tererampilan keperawatan terdiri atas
pengumpulan, klasifikasi, dan analisis data dari berbagai sumber.
(Wong,2009 p:21).
a. Pengumpulan dataa
1) Identitas klien
Stroke non hemoragik ditemukan pada semua golongan usia dan
terbanyak pada jenis kelamin pria dibandingkan pada wanita
(Bustan, 2015, p. 98).
2) Keluhan Utama
Saat Masuk Rumah Sakit: biasanya pasien stroke non
hemoragik datang ke rumah sakit dengan keluhan sakit kepala
hebat (Masriadi, 2016, p. 118).
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Stroke non hemoragik terjadi saat pasien tidak beraktivitas atau
saatsedang santai dan tidur. Sering beberapa waktu sebelumnya
merasa pegal, agak lemah atau keram linu pada separuh tubuh
(Masriadi, 2016, p. 117).
4) Riwayat Penyakit Sebelumnya
5) Adanya riwayat hipertensi, diabetes mellitus, riwayat stroke
sebelumnya, obesitas (Bustan, 2015, p. 102).
6) Riwayat Penyakit Keluarga
Adanya penyakit keturunan diantaranya hipertensi, riwayat
stroke pada keluarga, penyakit jantung, dan juga diabetes
(Kowalak, 2011, p. 334).
7) Kebiasaan
Pada pasien stroke non hemoragik biasanya terjadi pada klien
yang gaya hidup kurang aktivitas fisik atau kurang gerak,
memiliki kebiasaan merokok, minum-minuman keras,
konsumsi alkohol (Kowalak, 2011, p. 334).
b. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum
Kesadaran : umumnya mengalami penurunan kesadaranSuara
bicara : umunya mengalami gangguan yaitu sukar dimengerti,
tidak bisa bicara
Tanda- Tanda Vital :Nadi mungkin cepat dan halus, pernapasan
jarang terjadi gangguan pada kasus proses hemisfer (Batticaca,
2012, p. 59).
c. Pemeriksaan Body System
1) Sistem pernafasan
Pernapasan pasien pada stroke non hemoragik jarang terjadi
gangguan (Batticaca, 2012, p. 59).
2) Sistem kardiovaskuler
Tekanan darah bervariasi, lebih sering kardiosklerosis
(Batticaca, 2012, p. 59).
3) Sistem persarafan
a) Saraf I : biasanya pada klien masih dapat mencium aroma
kopi dan vanilla atau aroma lain yang tidak menyengat.
(Haswita & Sulistyowati, 2017, p. 284).
b) Saraf II : terjadi gangguan visual di sisi yang di serang, bila
arteri crotid yang bermasalah (Masriadi, 2016, p. 120).
c) Saraf III: Adanya reaksi pupil tidak sama, (Batticaca, 2012,
p. 61).
d) Saraf IV: pasien dapat menggerakkan bola mata ke atas dan
ke bawah (Haswita & Sulistyowati, 2017, p. 284).
e) Saraf V : mati rasa di sekitar bibir dan mulut bila arteri
yang diserang vertebrobasilar (Masriadi, 2016, p. 120).
Pasien mampu mengatupkan gigi saat mempalpasi otot-otot
rahang (Haswita & Sulistyowati, 2017, p. 284).
f) Saraf VI: pasien dapat melihat ke samping kanan dan kiri
(Haswita & Sulistyowati, 2017, p. 284).
g) Saraf VII : hemiplegia kontralateral wajah (LeMone dkk.,
2016, p. 1802).
h) Saraf VIII : klien dapat mengulangi kata atau kalimat yang
dibicarakan sebelumnya (Haswita & Sulistyowati, 2017, p.
285).
i) Saraf IX: gangguan menelan atau bila minum sering
tersedak (Masriadi, 2016, p. 119).
j) Saraf X: pasien mengalami disartria (bicara pelo atau cadel)
(Masriadi, 2016, p. 119).
k) Saraf XI : hemiplegia kontralateral pada lengan (LeMone
dkk., 2016, p. 1802).
l) Saraf XII : mulut dan lidah mencong bila diluruskan
(Masriadi, 2016, p. 119).
4) Sistem penginderaan
Tidak terjadi gangguan pada penglihatan. Pasien tidak
mengalami penurunan ketajaman penglihatan (LeMone dkk.,
2016, p. 1802).
5) Sistem pencernaan
Terjadi inkontinensia alvi (Mubarak dkk., 2015, p. 5).
6) Sistem perkemihan
Terjadi inkontinensia urin (LeMone, Burke & Bauldoff, 2016,
p. 1802).
7) Sistem reproduksi
Pada pasien stroke mengalami hemiparesis sehingga tidak
dapat mengalami gangguan pada sistem reproduksi (Kowalak,
2011, p. 336).
8) Sistem muskuluskeletal
Terjadi hemiparese/hemiplegia, hemiparestesia, gangguan
gerakan tangkas atau gerakan tidak terkoordinasi, kelumpuhan
pada sisi badan (Masriadi, 2016, p. 119).
9) Sistem integument
Terdapat defisit sensoris yang menyebabkan lesi pada
ekstremitas sehingga menyebabkan resiko kerusakan integritas
kulit (Masriadi, 2016, p. 123).
10) Sistem endokrin
Stroke adalah gangguan dalam sirkulasi intraserebral yang
berkaitan vaskuler insuffiency, thrombosis, emboli, atau
perdarahan, sehingga pada sistem endokrin tidak ada kelainan
kecuali terdapat penyakit penyerta. (Widagdo dkk., 2008, p. 87).
11) Sistem imunologi
Bila terjadi gangguan imunologi, psien mengalami mual dan
muntah (Setiati dkk., 2014, p. 1560).
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan adalah penyebut sekelompok petunjuk yang
didapat selama fase pengkajian. Diagnosis keperawatanbmenjadi dasar
pemilihan intervensi keperawatan untuk mencapai hasil menjadi
tanggung gugat perawat. (Wong, 2009:21).
Menurut Muttaqin ,2011 Kemungkinan masalah keperawatan yang akan
pada stroke non hemoragik, diantaranya :
a. Gangguan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan
perdarahan intracerebral.
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
neuromuskular: hemiparese atau hemiplegia.
c. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan
neuromuskular: kerusakan pada area bicara (afasia), kehilangan
kontrol tonus otot facial.
d. Kurang perawatan diri: aktivitas daili (ADL) berhubungan dengan
kerusakan neuromuskular, penurunan kekuatan atau tahanan,
kehilangan kontrol atau koordinasi otot.
e. Resiko ketidak seimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan kelemahan otot dalam mengunyah dan
menelan.
3. Intervensi
Intervnsi Keperawatan adalah sebuah tindakan serta campur tangan dari
pihak perawat ataupun dokter, yang sengaja dilakukan guna membantu
para pasiennya sehingga bisa beralih ke level kesehatan yang
diharapkan. Dengan kata lain, melakukan sebuah usaha demi
menyembuhkan pasien atau meningkatkan kualitias kesehatannya
menurut Gorden.
a. Dx. Gangguan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan
perdarahan intracerebral.
Tujuan : Setelah dilakan tindakan keperawatan selama 3 x 24
jam diharapkan perfusi jaringan serebral berangsur
membaik.
NOC : Perfusi jaringan
Kriteria Hasil :
1. Warna kulit normal.
2. Suhu kulit hangat.
3. Kekuatan fungsi otot.
4. Tidak ada nyeri pada ekstremitas.
Intervensi :
1. Cek nadi perifer pada dorsalis pedis atau tibia posterior.
Rasional : Untuk mengetahui tingkat perkembangan klien
sebagai pengukur
2. Catat warna kulit dan temperatur suhu
Rasional : Untuk mengetahui sebagai pedoman pengukuran
3. Jaga kehangatan atau suhu tubuh
Rasional : Untuk mencegah adanya komplikasi lebih lanjut
misal hipertermi
4. Kolaborasikan dengan dokter pemberian obat pelancar
peredaran darah
Rasional : Agar tidak ada sumbatan dalam pembuluh darah yang
dapat memperparah kondisi
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
neuromuskular: hemiparese atau hemiplegia.
Tujuan : klien mampu melaksanakan aktifitas fisik sesuai
dengan kemampuannya dengan kriteria hasil yang
ingin dicapai yaitu: klien mempertahankan posisi
tubuh secara optimal seperti tidak adanya
kontraktur atau footdrop, mempertahankan atau
meningkatkan fungsi tubuh yang terkena, klien
dapat ikut serta dalam program latihan,
mendemonstrasikan tekhnik melakukan aktivitas,
mempertahankan integritas kulit, kebutuhan ADL
terpenuhi, dan tonus otot meningkat.

Intervensi :

1. Kaji kemampuan secara fungsional atau luasnya kerusakan awal


dan dengan cara yang teratur, klasifikasikan melalui skala 0-4.
Rasional : mengidentifikasi kekuatan atau kelemahan dan dapat
memberikan informasi mengenai pemulihan.
2. Ubah posisi minimal setiap 2 jam.
Rasional : menurunkan resiko terjadinya iskemia jaringan akibat
sirkulasi darah yang jelek pada daerah yang tertekan.
3. Ajarkan klien latihan rentang gerak aktif dan pasif, libatkan
keluarga dalam melakukan tindakan.
Rasional : meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi,
membantu mencegah kontraktur.
4. Tempatkan bantal dibawah aksila untuk melakukan abduksi
pada tangan.
Rasional : mencegah adduksi bahu dan fleksi siku.
c. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan
neuromuskular: kerusakan pada area bicara (afasia), kehilangan
kontrol tonus otot facial.

Tujuan : klien dapat menunjukkan pengertian terhadap


masalah komunikasi, mampu mengekspresikan
perasaannya, mampu menggunakan bahasa isyarat
dengan kriteria hasil yang ingin dicapai yaitu:
terciptanya suatu komunikasi dimana kebutuhan
klien terpenuhi, klien mampu berespon setiap
berkomunikasi secara verbal maupun isyarat,
membuat metode komunikasi, mampu
mengekspresikan diri dan memahami orang lain.
Intervensi :
1. Kaji tipe atau derajat disfungsi misalnya klien tidak mengerti
tentang kata-kata atau masalah berbicara atau tidak mengerti
bahasa sendiri.
Rasional : membantu menentukan kerusakan area pada otak dan
menentukan kesulitan klien sebagian atau seluruh proses
komunikasi, klien mungkin mempunyai masalah dalam
mengartikan kata-kata.
2. Katakan untuk mengikuti perintah secara sederhana seperti
”tutup matamu” dan ”lihat kepintu”.
Rasional : untuk menguji afasia reseptif.
3. Berikan metode komunikasi alternatif misalnya menulis pada
papan tulis, menggambar, gunakan kata-kata sederhana secara
bertahap dan dengan bahasa tubuh.
Rasional : memberikan komunikasi dasar sesuai dengan situasi
individu.
4. Antisipasi dan penuhi kebutuhan klien.
Rasional : membantu menurunkan frustasi oleh karena
ketergantungan atau ketidakmampuan berkomunikasi.
d. Kurang perawatan diri: aktivitas daili (ADL) berhubungan dengan
kerusakan neuromuskular, penurunan kekuatan atau tahanan,
kehilangan kontrol atau koordinasi otot.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
proses keperawatan diharapkan pasien berangsur
angsur mampu dan dapat melakukan personal
higine
KriteriaHasil :
1. Makan secara mandiri
2. Berpakaian terpenuhi
3. Mandi terpenuhi
4. Kebersihan terjaga
Intervensi :
1. Monitor kebutuhan pasien untuk personal hygiene termasuk
makan. Mandi, berpakaian, toileting.
Rasional : Untuk mengetahui tingkat kemampuan dan
kebutuhan klien.
2. Ajarkan keluarga untuk melakukan personal higine pasien.
Rasional : Agar pasien tetap terjaga kebersihan dirinya
3. Mandirikan aktivitas rutin untuk perawatan diri jika sudah
mampu.
Rasional : Agar memandirikan pasien bisa dilatih
4. Bantu pasien sampai pasien mampu berdiri.
Rasional : Upaya peningkatan kemandirian
e. Resiko ketidak seimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan kelemahan otot dalam mengunyah dan
menelan.
Tujuan : kebutuhan nutrisi klien terpenuhi dengan kriteria
hasil yang ingin dicapai yaitu: asupan dapat masuk
sesuai kebutuhan, terdapat kemampuan menelan,
tidak terjadi penurunan berat badan, tidak terpasang
sonde.
Intervensi :
1. Lakukan oral higiene.
Rasional : kebersihan mulut merangsang nafsu makan.
2. Observasi intake dan output nutrisi.
Rasional : mengetahui keseimbangan nutrisi klien.
3. Tentukan kemampuan klien dalam mengunyah, menelan dan
reflek batuk.
Rasional : untuk menetapkan jenis makanan yang akan
diberikan pada klien.
4. Letakan posisi kepala lebih tingggi pada waktu, selama dan
sesudah makan.
Rasional : untuk klien lebih mudah untuk menelan karena gaya
gravitasi.
4. Implementasi
Implementasi dimuali ketika perawat menempatkan intervensi tertentu ke
dalam tindakan dan mengumpulkan umpan balik mengenai efeknya. Umpan
balik muncul kembali dalam bentuk observasi dan komunikasi serta
memberi dasar data untuk mengevaluasi hasil intervnesi keperawatan.
Selama tahap implementasi, keamanan dan kenyamanan psikologi klien
berkenaan dengan asuhan traumatik atau harus diperhatikan (Wong,2009
p:24)
5. Evaluasi
Evaluasi adalah langkah terakhir dalam proses pembuatan keputusan.
Perawat mengumpulkan, menyortir, dan menganalisis data untuk
menetapkan apakah tujuan telah tercapai, rencana memerlukan modifikasi,
atau alternative baru harus dipertimbangkan. Pedoman observasi dimasukan
dalam rencana asuhan standar untuk membantu pembaca mengidentifikasi
motede untuk mengevaluasi apakah tujuan atau hasil tercapai. Tahap
evaluasi memenuhi proses keperawatan tau berperan sebagai dasar untuk
pemilihan akternatif lain untuk intervnesi dalam pemecahan masalah
spesifik (Wong,2009 p:24)
C. Konsep Intervensi
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahmi (2014) dalam Jurnal
Kesehatan, terdapat penimgkatan kekuatan otot yang dilakukan pada 10
pasien dengan rata-rata peningkatan otot meningkat antara intervensi (0,30)
dan sesudah intervensi (1,80) dan dari hasil penelitian sebelumnya
dilakukan Maria Astrid di Rumah Sakit Saint Carolus Jakarta tahun 2011,
terdapat peningkatan kekuatan otot meningkat antara intervensi (2,93) dan
sesudah intervensi (4,2) (Rahmi, 2012). Rehabilitasi penderita stroke yang
digunakan adalah gerakan pasif dengan menggerakan sendi-sendi pasien
untuk mencegah terjadinya atrofi otot gerak.
1. Range Of Motion
a. Pengertian Range Of Motion
Menurut Potter & Perry (2010) rentang gerak (Range Of
Motion/ROM) adalah jumlah pergerakan maksimum yang dapat
dilakukan pada sendi, di salah satu dari tiga bidang, yaitu: sagital,
frontal, atau tranfersal. Bidang sagital adalah bidang yang melewati
tubuh dari depan ke belakang, membagi tubuh menjadi sisi kanan
dan sisi kiri. Bidang frontal melewati tubuh dari sisi ke sisi dan
membagi tubuh ke depan dan ke belakang. Bidang tranversal adalah
bidang horizontal yang membagi tubuh ke bagian atas dan bawah.
b. Jenis-jenis Range Of Motion
ROM dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :
1) Range Of Motion Aktif
ROM Aktif yaitu gerakan yang dilakukan oleh seseorang
(pasien) dengan menggunakan energi sendiri. Perawat
memberikan motivasi, dan membimbing klien dalam
melaksanakan pergerakan sendiri secara mandiri sesuai dengan
rentang gerak sendi normal (klien aktif). Kekuatan otot 75 %.
Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi
dengan cara menggunakan otot-ototnya secara aktif. Sendi yang
digerakkan pada ROM aktif adalah sendi di seluruh tubuh dari
kepala sampai ujung jari kaki oleh klien sendri secara aktif.
2) Range Of Motion Pasif
ROM Pasif yaitu energi yang dikeluarkan untuk latihan
berasal dari orang lain (perawat) atau alat mekanik. Perawat
melakukan gerakan persendian klien sesuai dengan rentang
gerak yang normal (klienpasif). Kekuatan otot 50%.Indikasi
latihan pasif adalah pasien semikoma dan tidak sadar, pasien
dengan keterbatasan mobilisasi tidak mampu melakukan
beberapa atau semua latihan rentang gerak dengan mandiri,
pasien tirah baring total atau pasien dengan paralisis ekstermitas
total (Suratun, dkk, 2008). Rentang gerak pasif ini berguna
untuk menjaga kelenturan otot-otot dan persendian dengan
menggerakkan otot orang lain secara pasif misalnya perawat
mengangkat dan menggerakkan kaki pasien. Sendi yang
digerakkan pada ROM pasif adalah seluruh persendian tubuh
atau hanya pada ekstremitas yang terganggu dan klien tidak
mampu melaksanakannya secara mandiri.
2. Kekuatan otot
a. Pengertian Kekuatan Otot
Kekuatan adalah kemampuan otot untuk melakukan kerja yang
berfungsi membangkitkan ketegangan terhadap suatu tahanan. Otot-otot
yang kuat dapat melindungi persendian disekelilingnya dan mengurangi
kemungkinan terjadinya cedera karena aktifitas fisik. Oleh karena itu,
otot-otot perlu dilatih untuk memiliki kekuatan. Kekuatan otot adalah
kemampuan menggunakan tekanan maksimum yang berlawanan (Rusli,
2002).
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan otot
1) Usia
sampai usia pubertas, kecepatan perkembangan kekuatan otot pria
sama dengan wanita. Baik pria maupun wanita mencapai puncak
pada usia krang 25 tahun, kemudian akan menurun 65% - 70% pada
usia 65 tahun.
2) Jenis kelamin
Perbedaan kekuatan otot pada pria dan wanita (rata-rata kekuatan
wanita ⅔ dari pria) disebabkan karena ada perbedaan otot dalam
tubuh
3) Suhu otot
Kontraksi otot akan lebih cepat bila suhu otot sedikit lebih tinggi
pada suhu normal.
c. Pemeriksaan kekuatan otot
Pemeriksaan kekuatan otot dapat dilakukan dengan menggunakan
pengujian otot secara manual (manual muscle testing, MMT).
Pemeriksaan ini ditujukan untuk mengetahui kemampuan peningkatan
otot sebagai respon motorik. Salah satu hasil evaluasi dari latihan
rentang gerak ( Range Of Motion ) adalah kekuatan otot., hal ini karena
kekuatan otot merupakan hal yang paling dominan yang mengalami
penurunan fungsi pada ekremitas pasien stroke dibandingkan dengan
gerakan otot. Kekuatan otot dapat dievaluasi dengan secara aktif
melawan gravitasi dan melawan tahanan yang diberikan pemeriksa
(Yanti, 2011). Smeltzer & Bare (2008) kekuatan otot dinyatakan dengan
mengunakan angka 0-5 yaitu: Cara pemeriksaan kekuatan otot dengan
memerintahkan pasien stroke mengangkat tangan setinggi- tingginya
atau sekuat-kuatnya. Jika:

No Skala Deskripsi
1 5 kekuatan utuh, terdapat gerakan penuh, dapat
melawan gaya berat (gravitasi ) dan dapat
melawan tahanan penuh dari pemeriksa.

2 4 Terdapat gerakan, dapat melawan gaya berat


(gravitasi), dan dapat melawan tahanan ringan
yang diberikan.

3 3 Terdapat gerakan normal, tetapi hanya dapat


melawan gaya berat (gravitasi).
4 2 terdapat gerakan, tetap gerakan ini tidak
mampu melawan gaya berat (gravitasi)

5 1 tidak ada gerakan, tetapi terdapat kontraksi otot


saat dilakukan palpasi atau kadang terlihat

6 0 Paralisis total; tidak ada kekuatan sama sekali

Anda mungkin juga menyukai