Bab Ii Tinjauan Pustaka: 2.1 Pengertian Limbah
Bab Ii Tinjauan Pustaka: 2.1 Pengertian Limbah
TINJAUAN PUSTAKA
II - 1
2.1.1 Sumber Limbah Cair
Ditinjau dari sumber penghasilnya, air limbah dapat dibagi menjadi 3, yaitu:
a. Air Limbah Domestik
Sumber utama air limbah rumah tangga dari masyarakat berasal dari
perumahan dan daerah perdagangan, daerah perkantoran, daerah fasilitas
rekreasi. Buangan manusia sendiri terdiri dari tinja (faeces), urine, dan air
penggelontor. Menurut Duncan Mara, 1976, air limbah daerah tropis
memiliki harga BOD antara 400-700 mg/L.
Karakteristik air limbah yang berasal dari perumahaan, menurut
Winnerberger, 1969 dapat dibedakan menjadi 4 tipe, yaitu :
1. Grey water : Air cucian yang berasal dari dapur, kamar mandi,
laundry, dan lain-lain tanpa faeces dan urin
2. Black water : Air yang berasal dari pembilasan toilet (faeces
dan urin dengan pembilasan/penyiraman
3. Yellow water : Urin yang berasal dari pemisahan toilet dan
urinals (dengan atau tanpa air untuk pembilasan).
4. Brown water : Blackwater tanpa urin atau yellow water
II - 2
c. Air Limbah Tambahan dan Rembesan
Air limbah tambahan merupakan air hujan yang melimpah dari
saluran pengering atau saluran air hujan. Air limbah ini disebabkan oleh air
hujan yang masuk melebihi daya tampung saluran sehingga limpahan air
hujan akan digabung dengan saluran air limbah. Hal ini akan menjadi faktor
tambahan yang sangat besar. Sehingga perlu diketahui curah hujan yang ada
sehingga banyaknya air yang akan ditampung melalui saluran air hujan atau
saluran pengering dan saluran air limbah dapat diperhitungkan (Sugiharto,
1987, dari Madyanova, 2005).
Selain air hujan yang menjadi limpahan, air hujan juga ada yang
menguap, diserap oleh tumbuh-tumbuhan dan ada pula yang terinfiltrasi ke
dalam tanah dan kemudian menjadi air tanah. Air limbah rembesan
merupakan air tanah yang menyusup ke saluran air limbah melalui
sambungan-sambungan pipa atau melalui celah-celah yang ada karena
kerusakan pipa saluran. Hal ini disebabkan oleh permukaan air tanah
bertemu dengan saluran air limbah.
II - 3
jenis bahan baku primer dan sekunder yang dipakai dalam proses, pengawasan
pada proses industri, derajat penggunaan air dan derajat pengolahan air limbah yang
ada.
Selain berbeda dalam komposisi zat tersuspensinya, prosentase kandungan
zat tersebut juga berbeda antara limbah yang berasal dari domestik (limbah rumah
tangga) dengan limbah industri. Tabel 2.1 berikut memperlihatkan perbedaan
konsentrasi beberapa parameter utama dalam pencemaran air antara limbah
domestik dengan limbah industri.
Tabel 2.1 Perbedaan Karakteristik Limbah Cair Domestik dan Industri
Parameter Limbah Cair Domestik Limbah Cair Industri
BOD 100 – 300 mg/l 0 - > 50000 mg/l
COD 160- 500 mg/l 0 - >100000 mg/l
Total Solid (Padatan Total) 200 – 1000 mg/l 0 - >100000 mg/l
Suspended Solid (Padatan Tersuspensi) 100 – 500 mg/l 0 - >50000 mg/l
Dissolved Solid (padatan Terlarut) 100 – 500 mg/l 0 - >50000 mg/l
Nitrogen Total 5 – 86 mg/l 0 - >5000 mg/l
Phosphor Total 2 – 10 mg/l 0 - >200 mg/l
Logam Berat 0 0 - >2000 mg/l
Minyak dan Lemak 0 – 40 mg/l 0 - >15000 mg/l
Sumber : Wisjnuprapto, 2007.
Bahan-bahan yang terkandung dalam air limbah dapat dikelompokkan
seperti terlihat pada gambar 2.1 berikut (Mara, 1976).
Air Limbah
Padatan
Air (99,9%)
(0,01%)
Organik Anorganik
(70%) (30%)
Gambar 2.1 Skema pengelompokan bahan yang terkandung di dalam air limbah
II - 4
Fraksi organik terdiri dari protein, karbohidrat dan lemak. Senyawa-
senyawa ini, terutama protein dan karbohidrat, merupakan suatu substrat yang baik
bagi pertumbuhan bakteri.
II - 5
daging. Limbah tersebut mengandung darah, lemak, padatan organik dan
anorganik. Kandungan COD dan konsentrasi padatan dalam efluen RPH akan
tergantung pada pengawasan terhadap air yang digunakan, pemisahan limbah, dan
manajemen RPH dalam mengelola limbahnya.
Indikator polutan lain yang bisa dilihat dari limbah RPH adalah warnanya
yang merah dan coklat gelap. Hal ini bisa mengakibatkan protes masyarakat sekitar
karena mengganggu pemandangan dan nilai estetika bagi pihak yang ingin
memanfaatkan badan air tersebut. Kegiatan RPH yang dapat memberikan dampak
terhadap kualitas lingkungan sekitarnya dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut :
Tabel 2.2 Sumber Dampak Kegiatan RPH terhadap Lingkungan
Sumber Limbah Asal Bentuk fisik
Limbah Padat
- Kotoran/tinja Kandang hewan
- Kotoran perut Pembersihan isi perut Gumpalan
- Sisa daging, lemak, dan Pembersihan daging
lain-lain
Limbah Cair
- Pemotongan hewan Rumah Pemotongan Darah
- Pembersihan Hewan (RPH) Darah campur air
Pencemaran Udara
- Bau Kandang hewan Gas
Sumber : Rumah Pemotongan Hewan Dago Bengkok, Bandung
II - 6
pemotongan, pembersihan bulu hewan dan bagian dalam, pemotongan daging, dan
pencucian. Dari proses-proses ini ruang pemotongan biasanya menghasilkan
buangan terbanyak. Sebagian besar terdiri dari darah. Buangan berwarna merah-
kecoklatan, kadar BOD tinggi, dan mengandung zat tersuspensi. Selain darah juga
mengandung campuran bulu dan kotoran hewan.
Air limbah yang lain berasal dari tempat hewan dikuliti dan dari
pembersihan bagian dalam. Kotoran perut dan cairannya dibuang atau digunakan
sebagai pupuk, sedangkan caiaran serta air pemcuci masuk ke saluran pembuangan.
Buangan ini mengandung kotoran, lemak, daging, dan bulu. Secara skematis proses
pemotongan hewan dan proses terbentuknya limbah dari RPH ini dapat dilihat pada
gambar 2.2.
Ayam hidup
Limbah padat
Air bekas
pembersihan
II - 7
2000). Mengenai karakteristik air limbah RPH telah dilakukan penelitian oleh
Manjunath di India, yaitu seperti terlihat pada tabel 2.3 berikut :
Tabel 2.3 Karakteristik Air Limbah RPH
Parameter konsentrasi
pH 6,5 – 7,3
Suspended Solid 300 – 2300 mg/l
BOD5 600 – 3900 mg/l
Lemak 125 – 400 mg/l
TKN (Total Kjeldahl Nitrogen) 90 – 150 mg/l
Phosphat 8 – 15 mg/l
COD 1100 – 7200 mg/l
Sumber : Manjunath et.al, 2000
II - 8
Mula-mula kedelai yang telah dicuci bersih direndam dalam air bersih
selama ±8 jam supaya kedelai mengembang. Kemudian kedelai ditumbuk atau
digiling dengan ditambahkan air hangat sedikit demi sedikit sampai berbentuk
bubur. Bubur kedelai tersebut dimasak pada tungku dengan suhu 70 – 80ºC, yang
ditandai dengan terbentuknya gelembung-gelembung kecil, sambil terus diaduk
supaya tidak mengental. Kemudian saring bubur kedelai tersebut, tambahkan batu
tahu atau Kalsium sulfat (CaSO4) sebanyak 1 gram atau 3 ml asam cuka untuk 1
liter sari kedelai, dan biarkan supaya mengendap. Terakhir, cetak dan pres endapan
tersebut, diamkan sampai agak mengeras selama kurang lebih 15 menit, kemudian
potong-potong tahu tersebut, dan siap dipasarkan.
Secara sistematis, proses-proses yang terdapat dalam pembuatan tahu
dapat dilihat pada gambar 2.4 berikut.
II - 9
Dari berbagai tahapan proses pembuatan tahu tersebut akan dihasilkan
limbah yang berpotensi mengakibatkan pencemaran bagi lingkungan, karena pada
umumnya limbah tersebut memiliki kandungan bahan organik yang tinggi. Limbah
yang dihasilkan dari proses pembuatan tahu antara lain :
Air dari proses perendaman dan pencucian kedelai
Sisa air tahu yang tidak menggumpal
Potongan tahu yang hancur pada saat proses karena kurang sempurnanya
proses penggumpalan
Air sisa perebusan tahu dengan kunyit dan garam (apabila diproduksi juga
tahu kuning)
Limbah tahu keruh dan berwarna kuning muda keabu-abuan dan bila
dibiarkan akan berwarna hitam dan berbau busuk
Limbah cair yang dihasilkan dari proses pembuatan tahu tersebut
mengandung padatan tersuspensi maupun terlarut, yang akan mengalami perubahan
fisika, kimia, dan hayati dan menghasilkan zat beracun atau menciptakan media
untuk tumbuhnya kuman dimana kuman ini dapat berupa kuman penyakit atau
kuman lainnya yang merugikan baik pada tahu sendiri ataupun tubuh manusia. Bila
dibiarkan dalam air limbah akan berubah warnanya menjadi coklat kehitaman dan
berbau busuk. Bau busuk ini akan mengakibatkan sakit pernapasan. Apabila air
limbah ini merembes ke dalam tanah yang dekat dengan sumur maka air sumur itu
tidak dapat dimanfaatkan lagi. Apabila limbah ini dialirkan ke sungai maka akan
mencemari sungai dan bila masih digunakan maka akan menimbulkan penyakit
gatal, diare, dan penyakit lainnya.
Pada tahun 2000 dan 2001 pernah dilakukan pemeriksaan air buangan dari
industri tahu dengan mengambil sampel industri tahu dari dua tempat, yaitu Industri
Tahu Tauhid Lembang (2001) dan Industri Tahu Cibuntu (2000, 2001). Hasil
pemeriksaan air buangan kedua industri tahu tersebut bila dibandingkan dengan
baku mutu dapat dilihat pada tabel 2.4 berikut.
II - 10
Tabel 2.4 Hasil Pemeriksaan Air Buangan Industri Tahu
Parameter Satuan Kualitas Air Buangan Industri Tahu
Gol. Baku
Tauhid Cibuntu Mutu
tahun '01 tahun '00 tahun '01 A B
pH - 5.3 4.5 - 5 3.61 6.0 - 9.0
Temperatur ºC 78 36 60 38 40
Daya Hantar Listrik µmhos >1000 19390 5320 - -
Oksigen Terlarut
(DO) mg/l 2.3 - - - -
Warna Pt-Co 15000 - - - -
TSS mg/l 950 2319.6 148 200 400
TDS mg/l 46338 13468 13050 2000 4000
Kekeruhan NTU 136.5 190 - - -
COD mg/l 1000 400 118000 100 300
BOD mg/l 3231 3786.21 - 50 150
NTK mg/l 616.352 - 565.6 - -
N - Ammonium mg/l 112.064 - 44.8 1 5
N - Organik mg/l 504.288 - 520.8 - -
Nitrat mg/l - 2.269 12.16 20 30
Nitrit mg/l - 1.753 0 1 3
mg/l
Zat Organik KmnO4 - - 3370.67 - -
Sumber :Katharina Oginawati, 2006
II - 11
umumnya bahan pencemar yang menjadi perhatian utama adalah bahan-bahan
organik yang larut dan tidak terlarut, berbentuk senyawa nitrogen, fosfor, dan
materi inert tidak terlarut.
II - 12
2.3.1 Pengolahan secara Biologi
Tujuan dari pengolahan air buangan secara biologi sendiri adalah untuk
menstabilisasi materi organik terlarut serta mengkoagulasi dan menyisihkan
padatan koloid (Metcalf dan Eddy, 1991). Mekanisme pengolahan biologi adalah
mencampurkan air buangan dengan populasi pekat mikroorganisme, dan
membiarkannya berkontak selama waktu tertentu yang cukup bagi mikroorganisme
tersebut untuk menguraikan dan menyisihkan bahan-bahan pencemar, sampai
mencapai tingkat pengolahan yang diinginkan.
II - 13
2.3.2 Pendekatan Lingkungan Proses
1. Proses Aerob
2. Proses Anaerob
3. Proses Anoksik
Dalam proses pengolahan limbah secara biologi, ada tiga mekanisme dasar
yang terjadi untuk menguraikan senyawa-senyawa polutan yang ada, yaitu
penyisihan bahan organik terlarut, stabilisasi bahan organik tak terlarut, dan
konversi bahan anorganik terlarut.
II - 14
1. Penyisihan bahan organik terlarut
Dalam hal kofigurasi reaktor, proses pengolahan secara biologi masih dibagi
berdasarkan tiga kriteria, yaitu :
II - 15
(rotating biological contactor, fluidized bed, rotortogue), diam
(trickling filter,baffled reactor), terendam (fluidized bed) maupun
tidak terendam (trickling filter).
b. PFR (Plug Flow Reactor), disebut juga sistem aliran sumbat. Dalam
reaktor tipe ini, konsentrasi substrat dan mikroorganisme berkurang
dari influen ke efluen tetapi konsentrasi di penampang melintangnya
adalah sama.
Terdapat tiga macam cara pemberian umpan untuk sebuah reaktor, yaitu :
II - 16
buangan, sehingga mikroorganisme tersebut dapat menggunakan pencemar-
pencemar yang ada sebagai bahan makanan dalam kondisi lingkungan tanpa
keberadaan oksigen (Qasim, 1985, dari Madyanova, 2005). Sejak tahun 1980-an
proses pengolahan anaerobik telah mengalami berbagai macam perkembangan.
Jadi secara umum, proses pengolahan biologi memanfaatkan metabolisme
mikroba, yang menggunakan pencemar-pencemar sebagai substrat (sumber energi
dan karbon) untuk pertumbuhan, dan konstruksi selnya. Tabel 2.5 berikut ini
menunjukkan klasifikasi mikroba berdasarkan sumber energi dan karbonnya :
Tabel 2.5 Klasifikasi Umum Mikroorganisme Berdasarkan Sumber Energi dan
Karbon
Klasifikasi Sumber energi Sumber karbon
Autotrofik
Fotoautotrofik Cahaya CO2
Kemoautotrofik Reaksi redoks anorganik CO2
Heterotrofik
Kemoheterotrofik Reaksi redoks organik Karbon Organik
Fotoheterotrofik Cahaya Karbon Organik
Sumber: Metcalf & Eddy, 1991
Dari tabel 2.5 dapat diketahui bahwa mikroba yang berperan paling besar
pada penyisihan materi organik (oksidasi) adalah kemoheterotrof, karena
mikroorganisme tersebut menggunakan materi organik sebagai sumber energi dan
karbonnya. Yang termasuk kelompok mikroorganisme kemoheterotrof adalah
protozoa, jamur dan kebanyakan bakteri (Metcalf dan Eddy, 1991).
II - 17
Thermophilic yang memiliki suhu optimum sekitar 50°-52°C atau pada
temperatur tinggi di atas 70°C dengan memanfaatkan bakteri thermophilic.
Bakteri ini berperan dalam proses hidrolisis dan asidogenesis. Proses ini
melibatkan peran ekso-enzim untuk menghidrolisis materi-materi polimer,
seperti protein, lemak, dan karbohidrat menjadi senyawa-senyawa organik
yang lebih sederhana. Bentuk yang lebih sederhana ini memungkinkan
senyawa – senyawa tersebut masuk ke dalam sel dan melakukan proses
oksidasi-reduksi sehingga menghasilkan asam-asam volatil, karbondioksida,
dan hidrogen.
II - 18
Tahapan-tahapan proses anaerob oleh ketiga kelompok bakteri tersebut dapat
dilihat pada gambar 2.5 berikut (Shuler dan Kargi, 1992) :
II - 19
b. Asidogenesa
Pada tahapan ini terjadi penguraian lebih lanjut dari sebagian materi-
materi organik hasil proses hidrolisa menjadi senyawa-senyawa alkohol dan
asam-asam volatil seperti metanol, etanol, asam butirat, formiat, propionat dan
lain-lain. Proses ini dilakukan oleh bakteri-bakteri pembentuk asam yang
bersifat fakultatif. Asam-asam yang terbentuk akan menurunkan pH sehingga
diperlukan kontrol pH agar tidak menghambat pertumbuhan bakteri pembentuk
metan yang membutuhkan pH optimal 6,5-8.
c. Asetogenesa
Asam-asam volatil, alkohol dan sebagian materi-materi organik hasil
proses hidrolisa diubah menjadi asam asetat, asam formiat, H2 dan CO2.
Tahapan ini penting untuk menghindarkan akumulasi asam lemak volatil yang
menghambat terjadinya tahapan metanogenesa. Gas H2 dihasilkan oleh bakteri
penghasil hidrogen melalui proses hidrogenesa. Bakteri jenis ini dapat
menghasilkan asam tetapi tidak semua bakteri penghasil asam dapat
menghasilkan gas H2. Oleh karena itu bakteri jenis ini dimasukkan kedalam
jenis bakteri penghasil asam. Bila gas H2 tidak terbentuk maka fase
nonmetanogen menghasilkan sedikit penurunan COD karena tidak semua
elektron yang lepas dalam oksidasi senyawa organik diterima akseptor organik
dalam media. Sedangkan bila gas H2 terbentuk penurunan COD akan lebih
signifikan.
d. Metanogenesa
Merupakan tahap terakhir proses anaerob dimana terbentuk metan (CH4)
dan CO2 sebagai produk akhir. Asam asetat diubah menjadi CH4 dan CO2 dan
kemudian CO2 direduksi menjadi CH4. Keberadaan asam asetat merupakan
prekursor dari terbentuknya gas metan (CH4) di dalam reaktor. Persamaan
umum reaksi yang terjadi menurut Droste (1997), adalah sebagai berikut :
Bakteri yang bekerja pada tahap ini adalah bakteri pembentuk metan.
Metcalf dan Eddy (1991) menyatakan bahwa bakteri ini hanya dapat
menggunakan substrat yang terbatas dalam pembentukan metan. Substrat-
II - 20
substrat tersebut adalah CO2 + H2, asam format, asam asetat, metanol,
metilamina dan CO2.
Sedangkan reaksi lengkapnya menurut Metcalf dan Eddy (1991), adalah
sebagai berikut :
4H2 + CO2 CH4 +2H2O
4HCOOH CH4 + 3CO2 + 2H2O
II - 21
Tabel 2.6 Rentang pengoperasian ideal untuk proses fermentasi metan.
Parameter Optimum Ekstrim
Temperatur (ºC) 30 – 35 25 – 40
pH 6,6 – 7,6 6,2 – 8
Alkalinitas (mg/L CaCO3) 2000 – 3000 1000 – 5000
Asam volatil (mg/L asam asetat) 50 – 500 2000
Sumber : Andrews and Graef, 1970
Keempat fasa dekomposisi secara anaerob dapat dilihat pada gambar 2.6.
4% H2
28%
24%
Organik kompleks 76% Asam organik
Lebih kompleks CH4
52%
20% 72%
CH3COOH
Tahap 1; Tahap 2: Tahap 3:
Hidrolisis & fermentasi Asetogenesa dan Fermentasi metan
Dehidrogenesa
Gambar 2.6 Diagram Skematik Pola Penguraian Karbon Secara Anaerobik
Sumber : Metcalf dan Eddy, 1991.
II - 22
Indikator yang menunjukkan bahwa suatu proses anaerob mengalami
ketidakseimbangan dapat dilihat pada tabel 2.8.
Tabel 2.8 Indikator-indikator proses anaerob yang mengalami
ketidakseimbangan
Parameter yang mengalami Parameter yang mengalami
peningkatan penurunan
Konsentrasi asam-asam volatil pH
Total produksi gas
Persentase gas-gas CO Stabilisasi air limbah
Sumber : Andrews and Graef, 1970
II - 23
proses anaerobik terdiri dari 60-70% gas metan dan 30-40% gas
karbondioksida. Terdapat juga gas hidrogen, hidrogen sulfida, uap air,
amonia dan gas lain dalam jumlah yang relatif kecil.
7. Tidak sensitif terhadap senyawa beracun.
Adapun kelemahan proses pengolahan secara anaerob adalah :
1. Diperlukan waktu 8-12 minggu untuk memulai proses ini (Lettinga et al.,
1979, dari Madyanova, 2005).
2. Temperatur cukup tinggi dibutuhkan untuk mepertahankan aktivitas
mikroba pada tingkat yang layak.
3. Stabilisasi organik tidak selesai (dibandingkan dengan aerobik) pada
waktu pengolahan yang ekonomis.
Agar proses pengolahan secara anaerob lebih efisien, ada beberapa hal yang
harus diperhatikan antara lain :
1. Tersedia cukup nutrien, seperti N dan P, dan mikronutrien terutama Fe, Co,
Ni, dan lain-lain.
2. Hindari terdapatnya udara atau oksigen yang berlebih dalam reaktor.
3. Pada influen harus dijaga agar tidak terdapat zat toksik atau zat-zat lain
yang bersifat sebagai inhibitor.
4. Kondisi pH sekitar 6,8 – 7,2.
5. Adanya alkalinitas yang cukup
6. Kandungan asam-asam volatil dalam reaktor tidak boleh terlalu tinggi.
7. Temperatur sekitar 30º-38ºC (pada range mesophilic).
II - 24
5. Pabrik makanan
6. Industri Pulp and Paper
7. Rumah Pemotongan Hewan
8. Industri Petrokimia
II - 25
Gambar 2.7 Anaerobic Baffled Reactor dengan 4 penyekat
Akibat karakteristik aliran dalam reaktor ABR dan gas yang dihasilkan dari
tiap-tiap kompartemen tersebut, mikroorganisme di dalam reaktor akan naik secara
perlahan dan kemudian membentuk lapisan (selimut) lumpur yang melayang, tetapi
bergerak secara horizontal turun ke bagian bawah reaktor dengan laju yang relatif
lambat sehingga meningkatkan waktu tinggal sel (Cell Retention Time) atau CRT
lebih dari 100 hari pada waktu detensi hidraulik (HRT) 20 jam (Grobicki amd
Stuckey, 1991). Hal ini juga akan memisahkan waktu retensi hidrolik (HRT)
dengan waktu detensi solid (SRT). Oleh karena itu, konsentrasi mikroorganisme
yang tinggi dan penyisihan COD yang baik dapat tercapai. Waktu retensi hidrolik
yang singkat cukup bagus untuk pengolahan limbah cair berkekuatan rendah. HRT
yang terlalu lama akan dapat menyebabkan kelaparan mikroorganisme pada
kompartemen terakhir (Orozco, 1988).
Sebuah unit ABR dengan 3 ruang reaktor, bersama dengan modifikasi fisik,
menyediakan sludge retention time (SRT) yang lebih lama dan kinerja yang lebih
baik daripada reaktor yang memiliki 2 ruang. Analisis selanjutnya mengatakan
bahwa selain menghilangkan solid, 3 ruang reaktor juga lebih efisien dalam
mengkonversikan solid yang terperangkap ke dalam bentuk metan (Barber and
Stuckey, 1999).
ABR memiliki banyak variasi kompartemen (2-11 kompartemen).
Umumnya ABR memiliki 4 kompartemen yang dirangkai secara seri.
Kompartemen terakhir dapat ditambahkan filter di bagian atas unit, dengan maksud
untuk menyisihkan partikel padatan yang masih ada. Sebuah settler dapat
II - 26
diletakkan di akhir unit instalasi, untuk mengendapkan partikel-partikel padatan
yang masih ada (Sasse,1998). Gambar 2.8 berikut ini memperlihatkan sebuah
reaktor ABR yang memiliki 3 penyekat (terdiri dari 4 kompartemen) :
II - 27
reaktor. Konsekuensinya, ABR mempunyai volume atau level reaktor yang
konstan.
ABR merupakan unit pengolahan yang menggunakan prinsip kerja dari
beberapa unit pengolahan. Prinsip kerja yang digunakan adalah kombinasi dari
prinsip kerja septic tank, fluidised bed reactor dan UASB (Upflow Anaerobic
Sludge Blanket Reactor). Pengoperasian dan pemeliharaannya juga relatif mudah.
Letak perbedaan ABR dengan UASB adalah lapisan lumpur di ABR tidak
diflotasikan, hanya diendapkan di bagian bawah unit. ABR juga tidak
membutuhkan media granular khusus untuk operasi. Selain itu ABR juga tidak
memiliki keterbatasan sistem seperti UASB terutama ekspansi sludge bed yang
minimal (Manariotis et. al, 2002).
ABR menggabungkan proses-proses sedimentasi dengan penguraian lumpur
secara parsial dalam kompartemen yang sama, walaupun pada dasarnya hanya
merupakan suatu kolam sedimentasi tanpa bagian-bagian yang bergerak atau
penambahan bahan-bahan kimia. Proses yang terjadi di dalam ruang pertama ABR
adalah proses pengendapan dan pada ruang-ruang berikutnya terjadi proses
penguraian akibat air limbah kontak dengan mikroorganisme.
Operasi ABR merupakan operasi reaktor kontinu tanpa resirkulasi (sejalan).
Setiap kali reaktor dimulai, kondisi operasi dan proses dijaga agar selalu konstan.
Hal ini dapat dicapai dengan memberikan aliran masuk berupa limbah cair secara
konstan dan dengan menjaga kondisi proses stabil. Hasilnya dalam outflow yang
berupa produk biologi atau kimia diperoleh komposisi yang konstan.
Hal yang perlu mendapat perhatian dalam pengoperasian ABR adalah
distribusi aliran masuk secara merata dan juga kontak antara substrat yang baru
masuk dan yang telah ada di dalam reaktor. Distribusi aliran masuk secara merata
dapat dicapai dengan menggunakan kompartemen pendek yang panjangnya <50-
60% dari ketinggiannya. Selain itu perlu diperhatikan pada bagian akhir ABR
(outlet yang terakhir), sebaiknya berada dibawah permukaan air agar scum yang
terjadi tidak terbawa keluar (Sasse, 1998).
Barber dan Stuckey (1999) merekomendasikan bahwa start-up ABR lebih
baik dengan konsentrasi mikroorganisme yang tinggi untuk menghasilkan sludge
blanket dan pencampuran gas yang baik. Menurut Sasse (1998) ABR beroperasi
II - 28
dalam beberapa kombinasi prinsip anaerobik proses, yang terdiri dari 3 langkah
dasar yaitu hidrolisis, asidogenesis dan metanogenesis.
II - 29
karena HRT dan SRT terpisah maka volume limbah yang akan diolah lebih besar
dibandingkan reaktor tercampur seperti CSTR dimana HRT = SRT. Karena
mikroorganisme tidak tercampur merata dalam reaktor maka konsentrasi
mikroorganisme yang terbawa keluar di efluen relatif sedikit.
Boopathy et.al (1988), disadur dari Madyanova, 2005, menemukan bahwa
ABR menunjukkan kestabilan kinerjanya. Disamping itu pengurangan resiko
clogging dan ekspansi sludge bed akibat adanya kehilangan mikroorganisme juga
cukup stabil. Hasil observasi menyatakan efisiensi penyisihan COD mencapai
sampai dengan 90 %, dan kecepatan produksi metan mencapai 4 volume/day/unit
volume dari reaktor.
Menurut Sasse, 1998, kinerja ABR dalam penyisihan COD adalah sekitar
65-90 % sedangkan untuk penyisihan BOD adalah sekitar 70-95 %. Proses maturasi
harus diperhatikan pada 3 bulan pertama. Lumpur harus dibersihkan dalam jangka
waktu yang teratur, hampir sama halnya dengan pembersihan lumpur pada tangki
septik. Tetapi lumpur tetap harus ada yang ditinggalkan dalam reaktor, agar
efisiensi unit instalasi terus meningkat. Dan perlu diperhatikan, bahwa jumlah
lumpur pada kompartemen dibagian awal unit ABR lebih banyak daripada di
kompartemen akhir.
Secara ringkas, keuntungan ABR dibandingkan sistem pengolahan limbah
cair lainnya menurut Barber dan Stuckey (1999) adalah sebagai berikut :
a. Konstruksi
Desain simpel.
Tidak ada bagian bergerak.
Tidak ada pencampuran mekanik.
Pembuatan tidak mahal.
Resiko penyumbatan kecil.
Resiko ekspansi sludge bed kecil.
Biaya operasi rendah.
b. Biomassa
Waktu retensi solid tinggi tanpa perlu memberikan media atau ruang
pengendapan untuk mikroorganisme menempel.
Waktu pembentukan lumpur lama dan lumpur yang terbentuk juga
sedikit.
II - 30
Umur lumpur lebih lama sehingga pembuangan lumpur dilakukan lebih
jarang.
Tidak memerlukan mikroorganisme dengan kemampuan pengendapan
tertentu.
c. Operasi
Waktu retensi hidrolik rendah.
Memungkinkan untuk operasi secara intermiten (untuk limbah cair
musiman)
Stabil terhadap shock loading hidrolik dan organik.
Perlindungan terhadap material toksik di influen.
Waktu operasi yang lama tanpa pembuangan lumpur.
Berfungsi efektif dalam rentang debit dan jumlah beban influen yang
cukup luas.
Struktur ABR yang sederhana memungkinkan untuk diubah desainnya
tergantung dari karakteristik limbah cair yang akan diolah. Desain hibrid dapat
dilakukan untuk meningkatkan performansi reaktor terhadap limbah cair spesifik
(Barber dan Stuckey, 1999).
Yang dan Chou (1985) mengemukakan beberapa kelebihan bioreaktor
berpenyekat anaerobik dibandingkan dengan biorektor jenis lain yaitu :
a. Sederhana dalam pengoperasian
Waktu start-up yang lebih singkat jika dibandingkan dengan biorektor
filter anaerobik.
Tidak mudah tersumbat jika dibandingkan dengan UASB dan rektor
fluidisasi.
Tidak memerlukan daur ulang lumpur aktif.
Tidak terjadi penggumpalan lumpur seperti pada reaktor unggun
fluidisasi.
b. Konstruksi sederhana
Tidak memerlukan media penyaring seperti filter anaerobik.
Tidak memerlukan pengadukan seperti pada reaktor ideal berpengaduk.
Sedangkan menurut Sasse (1998), ABR merupakan bioreaktor yang
sederhana dan mudah dioperasikan serta shock loading hidrolik dan organik hanya
II - 31
sedikit berpengaruh terhadap efisiensi pengolahan. Mengingat berbagai kelebihan-
kelebihan biorektor berpenyekat ini dibandingkan dengan rektor-rekator lain maka
penggunaan biorektor ini dalam pengolahan air buangan perlu dikembangkan.
Akan tetapi ABR juga mempunyai kelemahan-kelemahan seperti kurang
dalam mempertahankan kecepatan upflow gas dan cairan. ABR juga sulit untuk
mempertahankan distribusi merata influen (Tilche dan Vieira, 1991). Selain itu,
belum banyak penelitian mengenai penggunaan ABR untuk mengolah limbah cair
yang dihasilkan dari industri. Sehingga perlu lebih banyak penelitian sebelum dapat
dipastikan bahwa teknologi ABR merupakan salah satu alternatif dalam pengolahan
limbah cair dari industri rumah tangga bagi negara berkembang seperti Indonesia.
Beberapa hasil penelitian penggunaan bioreaktor berpenyekat anaerobik dapat
dilihat pada tabel 2.9 di bawah ini.
II - 32
2.3.6 Penanganan Air Efluen dari ABR
Pengolahan air limbah dengan sebuah unit ABR pada umumnya tidak dapat
menghilangkan semua mikroorganisme patogen dan zat-zat pencemar lain. Oleh
karena itu pada umumnya ABR digunakan sebagai unit pengolahan sekunder secara
biologi, sehingga masih diperlukan post treatment terhadap efluen dari unit ABR
tersebut. Pada umumnya efluen dari ABR akan dialirkan ke sebuah anaerobic filter
untuk proses pendegradasian dan penyaringan lebih lanjut sehingga didapat hasil
pengolahan limbah yang lebih sempurna. Pada kasus penggunaan ABR untuk
pengolahan air limbah industri tahu dan rumah pemotongan hewan yang berlokasi
di Dago Bengkok ini, pada bagian efluen dari reaktor ABR ditambahkan media
filter berupa batu apung dan batok kelapa. Selanjutnya air efluen dari ABR ini
dialirkan menuju ke reaktor Constructed Wetland. Pembahasan detail mengenai
karakteristik, rancangan, dan proses Constructed Wetland akan dibahas pada
laporan penelitian lain yang dilakukan oleh rekan saya.
II - 33
yang lebih besar, setidaknya pada fase awal. Selanjutnya bakteri yang tumbuh,
membentuk film, di media filter akan menutup lubang-lubang yang kecil di media
tersebut. Total luas permukaan dari filter tidak terlalu penting dibandingkan dengan
kemampuannya secara fisik untuk menahan partikel padatan (Sasse, 1998). Periode
start-up sebuah reaktor anaerobik filter bervariasi antara 3 sampai 9 bulan,
tergantung pada jenis substrat dan beban organiknya.
Anaerobik filter ini telah banyak diimplementasikan untuk mengolah air
limbah dengan kandungan suspended solid yang rendah, seperti setelah pengolahan
primer yang terjadi dalam tangki septik, dan air limbah yang memiliki kandungan
rasio BOD/COD rendah. Biogas yang dihasilkan dari proses pengolahan dengan
anaerobik filter ini memungkinkan untuk dimanfaatkan lagi jika konsentrasi BOD
pada air limbah mencapai <1000 mg/l. Beberapa hasil penelitian penggunaan
anaerobik filter untuk mengolah berbagai jenis limbah dapat dilihat pada tabel 2.10.
Efisiensi Referensi
Laju Pembebanan Temperatur
Penyisihan Jenis Limbah (peneliti)
(kgr COD/m3/hari) (C)
COD ( %)
3,5 Jennet and
(media plastik) 97 37 Limbah farmasi Dennis
Limbah kimia
0,56 80 36 organik sintetis Sachs et al.
Limbah Obayashi and
2 70 - Rendering Roshanravan
Sumber : Eckenfelder, 2000.
Anaerobik filter ini dapat digunakan sebagai satu unit sendiri yang utama
dalam sistem pengolahan air limbah secara anaerobik. Namun banyak pula
anaerobik filter yang digunakan dalam satu rangkaian sistem pengolahan anaerobik,
bersama dengan reaktor anaerobik lain sebagai unit pengolahan pendahuluan
sebelum air limbah masuk ke anaerobik filter. Sebagai contoh, dapat dipasang pada
bagian outlet sebuah unit pengolahan limbah dengan reaktor Anaerobik bersekat,
RBC, UASB, ASBR, dan lain-lain.
II - 34
Materi filter yang dapat digunakan antara lain kerikil, batu-batuan,
bongkahan arang, atau kepingan plastik yang didesain khusus sebagai tempat
bakteri melekat atau mengendap. Sehingga air buangan dapat kontak dengan
bakteri aktif secara intensif. Pada penelitian ini materi filter yang dipilih terdiri dari
dua macam, yaitu batu apung dan batok kelapa, dengan pertimbangan ekonomis.
Dari kedua jenis media filter tersebut kemudian dilakukan perbandingan antara
kedua macam reaktor, reaktor dengan media filter manakah yang akan
menghasilkan pengolahan lebih optimum. Diharapkan dengan adanya tambahan
materi-materi filter ini, dapat meningkatkan efisiensi pengolahan ABR sampai
dengan 85 %.
II - 35
pertumbuhan mikroorganisme berdasarkan kenaikan temperatur dapat
dilihat pada gambar 2.9 (Benefield dan Randall,1980).
Laju
pertumbuhan
Temperatur optimal
Temperatur
II - 36
hasil yang ekonomis karena tidak diperlukan tambahan alat pemanas pada
reaktor.
2. Keberadaan Oksigen
Berdasarkan keberadaan Oksigen di lingkungan yang diperlukan
bagi pertumbuhannya, mikroorganisme dapat dibedakan menjadi tiga
kelompok, yaitu :
aerob = mikroorganisme yang membutuhkan oksigen bebas untuk
hidup. Oksigen berfungsi sebagai akseptor elektron pada
sistem transpor elektron untuk menghasilkan energi.
Konsentrasi oksigen dalam lingkungan merupakan faktor
pembatas laju pertumbuhan mikroorganisme.
anaerob = mikroorganisme yang memakai molekul selain oksigen
sebagai akseptor elektron seperti NO3-, SO42- atau CO32-.
fakultatif = mikroorganisme yang memakai oksigen sebagai akseptor
elektron akan tetapi apabila tidak ada oksigen maka
mikroorganisme tersebut dapat memakai molekul selain
oksigen sebagai akseptor elektron.
3. pH
Nilai pH menunjukkan konsentrasi ion H+ dalam lingkungan, sifat
keasaman serta alkalinitas dalam air. Sebagian besar mikroorganisme
mempunyai pH optimum pada kondisi netral (pH ± 7), pH minimum ± 5
dan pH maksimum ± 9.
Menurut Black, 1999, dari Madyanova, 2005, berdasarkan tingkat
toleransi terhadap asiditas dan alkalinitas di lingkungan, mikroorganisme
dapat diklasifikasikan menjadi :
asidofil = mikroorganisme yang tumbuh optimal pada pH 0,1 – 5,4.
netroofil = mikroorganisme yang tumbuh optimal pada pH 5,4 – 8,5.
alkalifil = mikroorganisme yang tumbuh optimal pada pH 8,5 – 11,5.
Untuk tahap pembentukan asam pada proses anaerobik, pH
optimum berkisar sebesar 5,0-6,5 (Malina dan Pohland,1992). Untuk
tahap metanogenesa, kisaran pH adalah antara 6,6 - 7,6 (McCarty,1964,
II - 37
dari Madyanova, 2005). Benefield dan Randall (1980) memberi kisaran
6,0 - 8,5 dan Droste (1997) memberi kisaran 6,0 - 8,0. Bakteri metanogen
merupakan bakteri yang sensitif terhadap pH.
Diatas batas pH tersebut, penguraian tetap berjalan dengan efisiensi
yang berkurang. Sedangkan dibawah batas tersebut, efisiensi akan
menurun sangat cepat. Kondisi asam akan menghambat pertumbuhan
bakteri metanogen. Jika suatu digester ada dalam keadaan setimbang,
bakteri asetogen dan metanogen menggunakan asam-asam produk antara
secepat laju pembentukan asam-asam tersebut. Peningkatan konsentrasi
asam menunjukkan bahwa bakteri pembentuk asam dengan bakteri
pembentuk metan tidak dalam keadaan seimbang (Wahidah, 2004).
Nilai alkalinitas pada dasarnya menyatakan jumlah total asam yang
dapat dinetralkan oleh basa yang ditambahkan ke dalam sistem (Wahidah,
2004). Karena pH dapat mempengaruhi keberhasilan proses anaerobik,
maka perlu ada cukup alkalinitas untuk mengontrol pH pada suatu
lingkungan proses anaerobik.
Dalam suatu proses anaerobik, alkalinitas alamiah dapat diproduksi
dari pemecahan materi organik. Dimana pada pH tipikal sekitar 7,
alkalinitas hadir dalam bentuk bikarbonat. Alkalinitas alami di dalam air
buangan juga terjadi karena adanya hidroksida, karbonat dan bikarbonat
sebagai unsur-unsur seperti : kalsium, magnesium, natrium atau amonium.
Dari kesemua ini, kalsium dan magnesium bikarbonat merupakan bentuk
yang paling banyak ditemui (Chow et al., 1972, dari Wahidah, 2004).
Guna mengantisipasi peningkatan konsentrasi asam volatil terlalu
tinggi, dikehendaki agar nilai alkalinitas bikarbonat berkisar antara 2500
dan 5000 mg/l sebagai buffer. Jika peningkatan konsentrasi asam volatil
terjadi, sehingga terjadi penurunan pH yang serius, alkalinitas bikarbonat
tambahan perlu ditambahkon ke dalam reaktor.
4. Ketersediaan Nutrisi
Nutrisi yang cukup sangat diperlukan oleh mikroorganisme agar
dapat melakukan reproduksi dan fungsi sel lain dengan baik. Menurut
II - 38
Shuler dan Kargi, 1992, nutrien yang dibutuhkan oleh sel mikroorganisme
dapat dikelompokkan menjadi 2 kategori, yaitu :
makronutrien = nutrien yang dibutuhkan mikroorganisme dalam
konsentrasi tinggi yaitu diatas 10-4 M. Makronutrien
terdiri dari karbon, nitrogen, oksigen, hidrogen,
sulphur, phospor, magnesium dan kalium.
mikronutrien = nutrien yang dibutuhkan mikroorganisme dalam
konsentrasi rendah yaitu kurang dari 10-4 M. Contoh
dari mikronutrien adalah Mo2+, Zn2+, Cu2+, Mn2+,
Fe2+, Ca2+, Na+, vitamin, hormon pertumbuhan dan
zat-zat pendahulu metabolisme. Kekurangan trace
element dapat menaikkan waktu fase lag dan
menurunkan laju pertumbuhan spesifik
mikroorganisme.
Jumlah
mikroorganisme
a b c d e f g
Waktu
II - 39
a. Lag phase / fase adaptasi
Fase ini merupakan fase awal dimana mikroorganisme
menyesuaikan diri dengan media dan substratnya. Perubahan bentuk dan
pertumbuhan mikroorganisme tidak terlihat nyata. Pada kondisi ini sel
menyerap substrat dalam jumlah yang signifikan, terjadi sintesa enzim-
enzim baru dan mikroorganisme mengalami perbesaran sel.
Mikroorganisme belum memulai replikasi atau perbanyakan sel. Fase ini
dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu terjadinya sedikit perubahan terhadap
massa sel tanpa diikuti oleh perubahan jumlah sel dan peningkatan laju
pertumbuhan menuju karakteristik pertumbuhan fase selanjutnya. Pada
bagian ini sel-sel muda menjadi sangat sensitif terhadap perubahan
lingkungan (Gaudy dan Gaudy, 1981). Waktu yang dibutuhkan
mikroorganisme untuk aklimatisasi terhadap lingkungan dapat berlangsung
cukup lama apabila konsentrasi substrat sebagai sumber nutrien dan faktor-
faktor penunjang pertumbuhan tidak mencukupi (Shuler dan Korgi, 1992).
II - 40
c. Declining growth phase / fase penurunan pertumbuhan
Pada fase ini laju pertumbuhan cenderung menurun karena terjadi
deplesi atau pengurangan nutrien yang penting bagi mikroorganisme dan
terjadi akumulasi produk yang bersifat toksik. Kondisi ini mendorong sel-
sel untuk melakukan restrukturisasi sel agar dapat bertahan dalam kondisi
lingkungan yang terbatas (Shuler dan Korgi, 1992).
II - 41
dan fase endogenous serta konsumsi sebagian populasi mikroorganisme oleh
mikroorganisme lain (predator).
II - 42