Anda di halaman 1dari 4

A.

Fisiologi
Medula spinalis memiliki lokasi strategis antara otak dan serat aferen dan
eferen susunan saraf tepi; lokasi ini memungkinkan medula spinalis memenuhi dua
fungsi primernya: (1) berfungsi sebagai penghubung untuk transmisi informasi antara
otak dan bagian tubuh lainnya dan (2) mengintegrasikan aktivitas refleks antara
masukan aferen dan keluaran eferen tanpa melibatkan otak. Jenis aktivitas refleks ini
disebut refleks spinal. Refleks adalah setiap respons yang terjadi secara otomatis
tanpa upaya sadar. Terdapat dua jenis refleks: (1) refleks sederhana, atau dasar, yaitu
respons inheren, tanpa dipelajari, misalnya menarik tangan dari benda panas yang
membakar; dan (2) refleks didapat atau terkondisi, yang terjadi karena latihan dan
belajar, misalnya seorang pemain piano yang menekan tuts tertentu setelah melihat
sebuah lambang nada di buku lagunya. Musisi tersebut membaca musik dan
memainkannya secara otomatis, namun hanya setelah latihan yang cukup intens
(Sherwood, 2011).
Nervus spinalis berhubungan dengan kedua sisi medula spinalis melalui akar
dorsal dan akar ventral. Serat-serat aferen yang membawa sinyal datang dari reseptor
perifer masuk ke medula spinalis melalui akar dorsal. Badan sel untuk neuron aferen
di masing-masing level berkumpul menjadi satu membentuk ganglion akar dorsal
(kumpulan badan sel neuron yang terletak di luar SSP disebut ganglion, sedangkan
kumpulan fungsional badan sel di dalam SSP disebut sebagai pusat atau nukleus).
Badan-badan sel untuk neuron aferen berasal dari substansia grisea dan mengirim
akson keluar melalui akar ventral. Karena itu, serat-serat eferen yang membawa sinyal
ke otot dan kelenjar keluar melalui akar ventral (Sherwood, 2011).
Akar dorsal dan ventral di masing-masing level menyatu untuk membentuk
nervus spinalis yang keluar dari kolumna vertebralis. Sebuah nervus spinalis
mengandung baik serat aferen dan eferen yang berjalan antara regio tertentu tubuh dan
medula spinalis. Saraf adalah berkas akson-akson neuron perifer, sebagian aferen dan
sebagian eferen, yang dibungkus oleh jaringan ikat dan mengikuti jalur yang sama.
Saraf tidak mengandung sel saraf lengkap, hanya bagian akson dari banyak neuron.
Dengan definisi ini, tidak ada saraf di SSP, berkas-berkas akson di SSP disebut
traktus. Masing-masing serat di dalam sebuah saraf umumnya tidak memiliki
pengaruh langsung satu sama lain. Serat-serat tersebut berjalan bersama-sama untuk
memudahkan, seperti banyak sambungan telepon yang terkandung dalam satu kabel
telepon, namun setiap koneksi telepon dapat bersifat privat tanpa mengganggu atau
mempengaruhi sambungan lain di kabel yang sama (Sherwood, 2011).
Ke-31 pasang saraf spinalis, bersama dengan 12 pasang saraf kranialis yang
berasal dari otak, membentuk susunan saraf tepi. Setelah keluar, nervus spinalis
menghasilkan cabang-cabang secara progresif untuk membentuk anyaman luas saraf
perifer yang menyarafi jaringan. Setiap segmen medula spinalis menghasilkan
sepasang nervus spinalis yang akhirnya menyarafi regio tertentu tubuh dengan serat
aferen dan eferennya. Karena itu, lokasi dan luas defisit sensorik dan motorik yang
berkaitan dengan cedera medula spinalis dapat penting secara klinis untuk
menentukan tingkat dan luas cedera medula tersebut (Sherwood, 2011).
Agar dapat berinteraksi dengan benar dengan lingkungan eksternal untuk
mempertahankan viabilitas tubuh, misalnya mencari makan, dan untuk melakukan
penyesuaian-penyesuaian internal yang diperlukan untuk mempertahankan
homeostasis, tubuh harus diberi tahu tentang setiap perubahan yang terjadi di
lingkungan eksternal dan internal serta mengirim pesan ke berbagai otot dan kelenjar
untuk melaksanakan respon yang diinginkan. Sistem saraf, salah satu dari dua sistem
regulatorik utama tubuh, berperan sentral dalam komunikasi untuk mempertahankan
hidup ini. Susunan saraf pusat (SSP), yang terdiri dari otak dan medula spinalis,
menerima informasi mengenai lingkungan eksternal dan internal melalui saraf perifer
aferen. Setelah penyortiran, pengolahan, dan pengintegrasian masukan ini, SSP
mengirim petunjuk, melalui saraf perifer eferen, untuk menimbulkan kontraksi otot
atau sekresi kelenjar yang sesuai (Sherwood, 2011).
Dengan sistem pembentukan sinyalnya yang cepat, sistem saraf sangat penting
dalam mengontrol respons-respons cepat tubuh. Banyak aktivitas otot dan kelenjar
yang dikendalikan oleh saraf ditujukan untuk mempertahankan homeostasis. SSP
adalah tempat integrasi utama antara masukan aferen dan keluaran eferen. SSP
mengaitkan respons yang sesuai terhadap masukan tertentu sehingga kondisi yang
sesuai untuk kehidupan dapat dipertahankan tubuh. Sebagai contoh, ketika diberi tahu
oleh sistem saraf aferen bahwa tekanan darah turun, SSP akan mengirim perintah
yang sesuai ke jantung dan pembuluh darah untuk meningkatkan tekanan darah
menjadi normal. Demikian juga, ketika diberi tahu bahwa panas tubuh meningkat
berlebihan maka SSP mendorong sekresi keringat oleh kelenjar keringat. Penguapan
keringat membantu mendinginkan tubuh ke suhu normal. Tanpa adanya kemampuan
SSP dalam memproses dan mengintegrasikan berbagai masukan ini maka
pemeliharaan homeostasis pada suatu organisme sekompleks manusia menjadi
mustahil (Sherwood, 2011).
Di tingkat paling sederhana, medula spinalis mengintegrasikan banyak refleks
protektif dan evakuatif dasar yang tidak memerlukan kesadaran, misalnya menarik
(bagian) tubuh dari rangsangan nyeri dan mengosongkan kandung kemih. Selain
berfungsi sebagai penghubung kompleks antara masukan aferen dan keluaran eferen,
otak juga berperan memulai semua gerakan volunter, kesadaran perseptual kompleks
tentang lingkungan eksternal dan diri, bahasa, serta fenomena saraf abstrak misalnya
berpikir, belajar, mengingat, kesadaran, emosi, dan kepribadian. Semua aktivitas
saraf—dari pikiran yang paling pribadi hingga perintah untuk aktivitas motorik, dari
menikmati konser hingga mengingat kenangan masa lalu—akhirnya berkaitan dengan
perambatan aksi di sepanjang sel-sel saraf dan transmisi kimiawi di antara sel-sel
(Sherwood, 2011).
B. Epidemiologi
Insidensi dan prevalensi cedera medula spinalis telah meningkat, dengan
estimasi tingkat insidensi 15 sampai 40 kasus per satu juta di seluruh dunia, meskipun
inisiatif pencegahan cedera telah coba dilakukan untuk mengurangi kejadian spinal
cord injury (SCI). Karakteristik epidemiologi dari SCI jelas sekali bervariasi pada tiap
negara, pada wilayah dengan perbedaan tingkat ekonomi atau perbedaan periode
ekomoni. Usia rata-rata pasien SCI pada negara maju lebih tinggi dibandingkan
negara berkembang dalam periode waktu yang sama; alasannya mungkin berkaitan
dengan penuaan usia pada populasi negara maju dan/atau rasio laki-laki dengan
perempuan yang lebih besar pada negara berkembang yang direlasikan dengan negara
maju (Chiu et al., 2010; Jackson et al., 2004).
C. Etiologi
Etiologi mengenai terjadinya syok spinal sampai sat ini masih kontroversial.
Namun spinal cord injury (SCI) atau trauma pada medula spinalis diketahui
merupakan salah satu penyebab terjadinya syok spinal (Ditunno et al., 2004;
University of Michigan Health System, 2007).
D. Faktor risiko
Sebuah penelitian terbaru mengungkapkan bahwa spinal cord injury lebih
banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Buruh, petani dan para
pengangguran termasuk dalam kategori pekerjaan risiko tinggi. Jenis kelamin laki-
laki, mengalami fraktur spinal, cedera thoraks, dan mengalami komplikasi merupakan
faktor risiko utama terjadinya cedera sempurna (complete injury) (Yang et al., 2014).
E. Patomekanisme
Syok pada medula spinalis adalah suatu keadaan disorganisasi fungsi medula
spinalis yang fisiologis dan berlangsung untuk sementara waktu, keadaan ini timbul
segera setelah cedera dan dapat berlangsung dari beberapa jam hingga beberapa
minggu. Pada stadium akut, aktivitas refleks di bawah cedera medula spinalis hilang
sebagian atau seluruhnya. Paralisis flaksid, hilangnya refleks tendon dalam, hilangnya
kontrol suhu dan tonus vasomotor, serta paralisis usus dan kandung kemih yang
menyebabkan retensi urine dan ileus paralitikus sering terjadi pada pasien-pasien ini.
Syok spinal bukan merupakan masalah kardiovaskular; syok ini dapat terjadi
bersamaan dengan syok neurogenik dan syok hemoragik. Syok neurogenik
disebabkan oleh gangguan persarafan simpatis desendens ke pembuluh darah yang
mendilatasi pembuluh darah dan menyebabkan terjadinya hipotensi dan bradikardi.
Perdarahan sebagai penyebab hipotensi harus disingkirkan pada penderita cedera
medula spinalis (Price , 2006)
Pada keadaan normal, akson turun dari bagian supraspinalis sistem saraf
penghantar impuls berfrekuensi rendah ke neuron untuk mempertahankan neuron
dalam keadaan eksitabilitas atau siap siaga. Bila cedera menghilangkan “tonus latar
belakang”, eksitabilitas istirahat medula spinalis sangat berkurang. Syok spinal juga
terjadi pada transeksi parsial medula spinalis (Price , 2006).
Transeksi medula spinalis menyebabkan perubahan yang luas pada fungsi
viseral. Segera setelah transeksi medula spinalis, terjadi atoni lengkap pada otot polos
dinding kandung kemih. Pada waktu yang sama, tonus konstriktor otot sfingter
meningkat, mungkin akibat hilangnya pengaruh inhibitorik. Dengan pulihnya refleks
somatik, yang dapat terjadi 25 hingga 30 hari setelah bagian medula, tonus kembali ke
otot kandung kemih dan terjadi refleks pengosongan kandung kemih. Proses ini
dihasilkan oleh kontraksi simultan pada dinding otot polos dan pada keadaan tertentu
terjadi relaksasi tonus sfingter. Setelah refleks pengosongan kandung kemih, terdapat
banyak volume residual yang tertinggal. Rangsangan kulit ke abdomen, perineum,
atau ekstremitas bagian bawah sangat mempermudah refleks pengosongan (Price ,
2006).
Pada saluran cerna, proses digesti dan absorpsi seolah-olah normal, kesulitan
besar adalah mengatasi pengosongan feses dari usus bagian bawah dan rektum. Secara
normal, adanya bahan fekal dalam usus bagian bawah dan rektum (yang secara pasif
meregangkan dinding) menyebabkan terjadinya kontraksi aktif dan peristaltik; hal ini
dikombinasikan dengan relaksasi sfingter sehingga terjadi defekasi. Mekanisme ini
ditekan selama syok spinal. Otot sfingter ani hanya berelaksasi ringan sebagai respons
terhadap dilatasi pasif; oleh karena itu, terjadi retensi bahan fekal. Dengan pulihnya
refleks eksitabilitas, terjadi refleks pengosongan pada usus, yang dipermudah oleh
rangsangan taktil daerah kulit segmen sakral dan oleh dilatasi manual otot sfingter ani.
Kerja refleks pembuluh darah perifer dan organ-organ yang dipersarafi oleh
susunan saraf autonom sangat dipengaruhi oleh syok spinal. Transeksi medula spinalis
menyebabkan penurunan segera dan nyata pada tekanan arterial. Penurunan ini terjadi
akibat hilangnya mekanisme vasokonstriktor bulbaris; bila saraf spinal terputus dari
pusat-pusat di medula spinalis, maka hilang pula koordinasi penting antara keadaan
pembuluh darah dan pusar-pusat tambahan di medula spinalis. Pada individu dengan
medula spinalis utuh, pusat medula spinalis dianggap lebih rendah dari pusat
vasokonstriktor yang lebih tinggi di medula oblongata. Hipotensi berlangsung selama
beberapa saat setelah transeksi. Neuron-neuron spinal yang mempersarafi efektor
perifer yang mengurus pengaturan suhu tubuh terputus untuk selamanya dari
pengaruh desendens pusat termoregulator (Price , 2006).
F. Rangkuman

Chiu, W.T. et al., 2010. Review paper: epidemiology of traumatic spinal cord injury: comparisons
between developed and developing countries. Asia Pac J Public Health, 22, pp.9-18.

Ditunno, J.F., Little, J.W., Tessler, A. & Burns, A.S., 2004. Spinal shock revisited: a four-phase model.
Spinal Cord, 42, pp.383-95.

Jackson, A.B., Dijkers, M., Devivo, M.J. & Poczatck, R.B., 2004. A demographic profile of new
traumatic spinal cord injury-changes and stability over 30 years. Arch Phys Med Rehabil, 85, pp.1740-
48.

Price , S.A., 2006. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta: EGC.

Sherwood, L., 2011. Fisiologi manusia: dari sel ke sistem. 6th ed. Jakarta: EGC.

University of Michigan Health System, 2007. Spinal Shock. [Online] Available at:
http://ngbladder.org/concepts/6.asp [Accessed 7 September 2016].

Yang, R. et al., 2014. Epidemiology of spinal cord injuries and risk factors for complete injuries in
Guangdong, China: a retrospective study. PLOS ONE, 9(1), pp.1-10.

Anda mungkin juga menyukai