Anda di halaman 1dari 6

4. Profesionalisme Guru Menurut Siapa ?

Dalam BAB III Pasal 7, UUGD mencantumkan sembilan ketentuan yang


disebut sebagai prinsip profesionalitas. Karena daftar prinsip ini langsung
berkaitan dengan penilaian yang berlaku bagi setiap orang guru atau dosen,
sebaiknya kita tinjau bersama apa artinya, dan apa konsekuensinya bagi seorang
guru (dan dosen) dalam praktik. Ini penegasan pasal 7 :
“Profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang
dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut :
a. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme;
b. Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan
ketakwaan dan akhlak mulia;
c. Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai
dengan bidang tugas;
d. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas;
e. Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan;
f. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja;
g. Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara
berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat;
h. Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas
profesional;
i. Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-
hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru;

Jelas? Menurut UUGD, ini Cukup jelas, tetapi agaknya masih banyak yang
perlu dijelaskan. Kalau perkataan prinsip digunakan dalam arti sebuah awal yang
dijadikan dasar dari doktrin profesionalitas, maka syarat untuk dapat
diperhitungkan sebagai guru profesional cukup berat. Satu prinsip saja tidak
terpenuhi, profesionalitas tidak sempurna. Didalam arti apa dan mengapa
sembilan kondisi itu (bukan yang lain) disebut prinsip keprofesionalan, tidak jelas.
Kalaupun ada penjelasanya (ternyata tidak ada), tidak semua dari sembilan prinsip
itu berbobot seimbang dan dapat dianggap sebagai kategori sendiri sendiri yang
setara.
Pencantuman pasal ini, dalam bentuknya demikian, agaknya terdorong
keinginan para penyusun UUGD untuk menekan bahwa tugas seorang guru yang
profesional, karena bersifat khusus, perlu dilaksanakan berdasarkan sejumlah
prinsip yang hebat, yang dapat dijadikan jaminan keprofesionalan dan sembilan
buah prinsip tersebut itulah pilihan mereka.
Bagaimana kalau prinsip a (idealisme) tidak ada? Apakah konsekuensinya
akan sama bila yang tidak ada ialah Prinsip i (organisasi profesi)? Bagaimana bila
ditambahkan sebagai prinsip bahwa seorang guru harus menerima UUD 1945 dan
Pancasila? Ringkasnya, asumsi yag dapat digunakan menjelaskan tercantumnya
sembilan buah prinsip meggambarkan bahwa UUGD memang serius. Tetapi
pengistimewaan ini terasa agak berlebihan, baik bila dibandingkan dengan
persyaratan berbagai jenis profesi lain, maupun bila dilihat dari konteks dunia
pendidikan saat ini (bagaimana pula pasal ini harus ditafsirkan oleh guru dan
dosen asing yang bekerja di indonesia?).
Tidak mudah menemukan manusia unggul sebagai guru yang bersosok
sedemikian sempurna. Apalagi karna ayat selanjutnya menekankan, melalui
ungkapan yang begitu tinggi, bahwa pemberdayaan profesi guru diselenggarakan
melalui :
“Pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan,
tidak diskriminatif dan berkelanjutan, dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa, dan kode
etik profesi”.

Kecuali terlalu abstrak, ketentuan ini juga terlalu tinggi untuk dijangkau
oleh seorang guru. Bagaimana menuangkan rumusan ini kedalam praktik? Seluruh
jiwa pasal ini menjadi gambaran yang diimpikan, yang dicita citakan, bahkan
ditetapkan seharusnya sebagai tipe ideal guru.

Dari sudut pandang positif, para guru harus bergembira membayangkan


bahwa sebentar lagi indonesia memiliki guru berdedikasi dan berkompetensi
sebagai kelompok pendidik yang profesional yang begitu terhormat. Masalahnya
sekarang, dengan masih berlanjutnya proses yang dari tahun ke tahun hanya
memperlemah kedudukan guru didalam masyarakat, semakin kita sukar dapat
mempercayai adanya manusia unggul seperti yang digambarkan pasal 7 didalam
angkatan di seluruh Tanah Air. Tipe guru yang dicita – citakan itu terasa menjadi
sangat tidak realistis pada saat ini.
Pengaamatan terhadap penampilan dan kinerja guru pada saat ini tidak
mendukung asumsi bahwa semua guru, tanpa diragukan, telah memiliki bakat dan
minat untuk menjadi guru. Siapa yang diantara guru yang masih menekankan
panggilan jiwa dan idealisme ketika sedang kelaparan? Bagian sebagian, rumus
pembentukan guru unggul dapat menjadi tidak lebih dari rangkaian kata – kata
sindiran yang menyinggung harga diri.
Lalu apa arti semua itu dari sudut pandang seorang guru? Berbeda dari
kondisi yang jauh dimasa lalu, pada hari ini mungkin tidak semua, tetapi cukup
banyak, atau bahkan sebagai mayoritas dari mereka yang telah menjalankan tugas
keguruan, terdorong terutama oleh kebutuhan untuk bertahan hidup, bukan lagi
karna bakat, bukan juga karna minat, dan jangan lagi berbicara mengenai
panggilan jiwa dan idealisme, mereka itu mudah-mudahan untuk sementara saja
adalah orang-orang yang tergolong guru yang ‘bukan GURU’.
Mayoritas dari mereka adalah pencari kerja, mencari jenis pekerjaan apa
saja asal bisa bertahan hidup; kalau menjadi guru adalah peluang yang kebetulan
terbuka,maka disitulah mereka bekerja, sampai memperoleh kesempatan kerja
(mungkin bukan guru) yang lebih baik. Apa saja; tetap bekerja sebagai guru pun
jadi, asalkan terjamin hidup. Jadi menjadi guru bagi mereka bukan karna minat
dan jauh dari idealisme.
Akan tetapi, tentu saja tidak tertutup kemungkinan bahwa pengamatan ini
kurang mampu mengidentifikasi mereka yang tetap bertahan menjadi guru karna
benar-benar memiliki panggilan jiwa dan idealisme. Ada saja guru didalam
kondisi seburuk apapun yang masih ikhlas dan kuat bertahan karena menjadi guru
sudah merupakan panggilan jiwa mereka.
Usaha UUGD untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi guru
dipertegas lagi dengan seperangkat syarat yang akan membedakan antara mereka
yang layak dengan yang tidak layak untuk ditugaskan sebagai guru. Didalam pasal
8 ditegaskan adanya ‘lima wajib’ (diparafrasa dan disingkat menjadi 5 –W oleh
penulis) yang wajib dimiliki, dengan bukti, oleh setiap orang guru :
1. Bukti sehat jasmani
2. Bukti sehat rohani
3. Bukti kemampuan akademik
4. Bukti kompetensi pendidik
5. Bukti kemampuan mewujudkan tujuan pendidikan nasional
Kemudian dilihat dari kewajiban guru untuk memiliki kemampuan
akademik. Dengan menetapkan bahwa tingkat pendidikan S-1 adalah basis
terendah pendidikan seorang calon guru untuk memperoleh kemampuan akademik
(penguasaan materi ilmu pengetahuan, ditambah dengan teknologi dan seni).

Kompetensi atau Kemampuan guru yang berkualitas dibuktikan dengan :

1. Kompetensi Pedagogik: kompetensi mengelola pembelajaran peserta


didik.
2. Kompetensi Kepribadian: berkejiwaan mantap, berakhlak mulia, arif,
berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik.
3. Kompetensi Profesional: Penguasaan materi pelajaran secara luas dan
mendalam.
4. Kompetensi sosial: mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan
manusia sekitarnya.
Dengan memperhatikan rumus profesionalisme 4-K yang ditawarkan oleh
UUGD, kita perlu waspada agar tidak terjebak untuk melanggengkanya menjadi
satu rumus harga mati. Ini berarti bahwa UUGD perlu dimaknai secara dinamis,
justru karena profesionalisme guru adalah profesionalisme internal, konstektual,
terbuka, dan dinamis.
Tawaran UUGD tentu masih dapat dijadikan bahan pertimbangan sebagai
rujukan awal, tetapi sejak dari awal pula kita harus meletakkan pertimbangan itu
didalam datu visi yang berjangkauan lebih jauh kedepan. Ini berarti bahwa kita
semua, guru sendiri, harus berpandangan lebih terbuka. (open ended view).
Pihak manakah yang paling kompeten menentukan dan terus menerus
menyempurnakan kualitas profesionalisme, kecuali guru sendiri sebagai
kelompok profesional, dengan memperhatikan semua pihak yang tergolong
sebagai share- dan stake-holders. Inilah sebuah bidang yang seharusnya dan
secepatnya direncanakan oleh birokrasi untuk ditinggalkan selama-lamanya; dari
sudut pemerintah, profesionalisme harus ditangani dengan pendekatan de-
birokratisasi karena keleluasaan guru profesional untuk mengatur diri sendiri
adalah salah satu dari hak profesional mereka.
Dilihat secara sederhana, sekarang guru sudah disebut kelompok
profesional, secara resmi, predikat itu telah diberikan oleh pemerintah tetapi
dengan begitupun masih banyak guru yang belum tau dan tidak bisa merasakan
bedanya ketika dia belum tiba – tiba hari ini dia telah menjadi profesional, artinya
penamaan bisa terjadi cukup mendadak, tetapi penghayatanya tidak mungkin
demikian.
Definisi masyarakat tentang guru profesional. Dalam bahasa awam, guru
profesional secara sederhana adalah guru yang baik. Guru yang baik tidak lain
dari manusia baik. Mengenai kemampuan keguruanya masyarakat awam tidak
merasa perlu untuk turut campur tangan cukup dengan berani mempercayai bahwa
manusia yang baik itu, tentulah juga berilmu.

Kemandirian personal sebagai titik masuk menuju guru profesional


melaui :
a. Penghalusan sifat amanah, menerima tugas keguruan sebagai ibadah.
b. Penghalusan sifat inter- dan intra- personal yang efektif.
c. Pendalaman pandangan dan sikap hidup yang bermoral dan beradab.
d. Penguatan komitmen keteladanan di dalam berbagai aspek kehidupan.
e. Pemupukan kegairahan untuk terus berkembang dalam belajar
mengajar.
f. Pemantapan ilmu dan kompetensi yang terkait dengan tugas
keguruanya.

Karakteristik manusia dan guru serupa itu adalah modal dan tumpuan
kekuatan profesional yang dahsyat, seseorang yang telah mampu bernapas lega
dan bergerak dengan leluasa didalam pola hidup seperti itu adalah seseorang yang
telah berpijak diatas tumpuan profesionalisme keguruan yang kuat. Selebihnya,
perkembangan yang berkelanjutan bergantung pada pengendalian diri guru.

‘profesionalisme adalah harus menjadi pilihan etis, dan berwujud, sebagai


sikap hidup yang aktual dan siap terhadap segala konsekuensinya. Pada akhirnya,
pilihan itulah yang akan membentuk pola hidup dan sikap moral, bukan karena
ditentukan dari luar wilayah keguruan’.

Anda mungkin juga menyukai