Anda di halaman 1dari 17

BAB I

ACUTE LYMPHOBLASTIC LEUKEMIA

A. DEFINISI

Leukemia akut merupakan suatu penyakit yang serius, berkembang dengan


cepat, dan apabila tidak diterapu dapat menyebabkan kematian dalam waktu
beberapa minggu atau bulan. Leukemia akut dapat memengaruhi jalur
perkembangan sel limfoid (Leukemia limfoblastik akut atau Acute lymphoblastic
leukemia [ALL]) (Davey, 2005: 314). Acute lymphoblastic leukemia adalah suatu
penyakit yang akan berakibat fatal, dimana sel-sel yang dalam keadaan normal
berkembang menjadi limfosit berubah menjadi ganas dan dengan segera akan
menggantikan sel-sel normal di dalam sumsum tulang. Sering terjadi pada anak-
anak.

B. ETIOLOGI

Etiologi ALL seperti yang dijelaskan oleh Price dan Wilson dalam bukunya
yang berjudul Patofisiologis: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit (2012) adalah
sebagai berikut.

• Radiasi dosis tinggi : Radiasi dengan dosis sangat tinggi, seperti waktu bom
atom di Jepang pada masa perang dunia ke-2 menyebabkan peningkatan
insiden penyakit ini. Terapi medis yang menggunakan radiasi juga
merupakan sumber radiasi dosis tinggi. Sedangkan radiasi untuk diagnostik
(misalnya rontgen), dosisnya jauh lebih rendah dan tidak berhubungan
dengan peningkatan kejadian leukemia.
• Kemoterapi : Pasien kanker jenis lain yang mendapat kemoterapi tertentu
dapat menderita leukemia di kemudian hari. Misalnya kemoterapi jenis
alkylating agents. Namun pemberian kemoterapi jenis tersebut tetap boleh
diberikan dengan pertimbangan rasio manfaat-risikonya
• Sindroma mielodisplastik : sindroma mielodisplastik adalah suatu kelainan
pembentukkan sel darah yang ditandai berkurangnya kepadatan sel
(hiposelularitas) pada sumsum tulang. Penyakit ini sering didefinisikan
sebagai pre-leukemia. Orang dengan kelainan ini berisiko tinggi untuk
berkembang menjadi leukemia.
• Sindrom Down : Sindrom Down dan berbagai kelainan genetik lainnya yang
disebabkan oleh kelainan kromosom dapat meningkatkan risiko kanker.
• Pajanan terhadap zat kimia tertentu : benzene, formaldehida
• Human T-Cell Leukemia Virus-1(HTLV-1). Virus tersebut menyebabkan
leukemia T-cell yang jarang ditemukan. Jenis virus lainnya yang dapat
menimbulkan leukemia adalah retrovirus dan virus leukemia feline.
• Merokok : dapat meningkatkan risiko ALL pada usia > 60 tahun.

C. FAKTOR RISIKO

a. Faktor Predisposisi

1. Penyakit defisiensi imun tertentu, misalnya agannaglobulinemia; kelainan


kromosom, misalnya sindrom Down (risikonya 20 kali lipat populasi
umumnya); sindrom Bloom.
2. Virus

Virus sebagai penyebab sampai sekarang masih terus diteliti. Sel leukemia
mempunyai enzim trankriptase (suatu enzim yang diperkirakan berasal dari virus).
Limfoma Burkitt, yang diduga disebabkan oleh virus EB, dapat berakhir dengan
leukemia.

3. Radiasi ionisasi

Terdapat bukti yang menyongkong dugaan bahwa radiasi pada ibu selama
kehamilan dapat meningkatkan risiko pada janinnya. Baik dilingkungan kerja,
maupun pengobatan kanker sebelumnya. Terpapar zat-zat kimiawi seperti benzene,
arsen, kloramfenikol, fenilbutazon, dan agen anti neoplastik.

4. Herediter
Faktor herediter lebih sering pada saudara sekandung terutama pada kembar
monozigot.

5. Obat-obatan

Obat-obat imunosupresif, obat karsinogenik seperti diethylstilbestrol.

b. Faktor Lain

1. Faktor eksogen seperti sinar X, sinar radioaktif, dan bahan kimia (benzol,
arsen, preparat sulfat), infeksi (virus dan bakteri).
2. Faktor endogen seperti ras, orang kulit putih lebih beresiko terjangit
3. Faktor konstitusi seperti kelainan kromosom, herediter (kadang-kadang
dijumpai kasus leukemia pada kakak-adik atau kembar satu telur)
(Hoffbrand dan Pettit, 1987).

D. EPIDEMIOLOGI

Biasanya terjadi pada anak-anak, dan lebih banyak diderita pada laki-laki
dan dan lebih sering pada ras Kaukasia daripada Afrika-Amerika. ALL merupakan
leukemia pada anak yang paling sering dijumpai (80%), dengan rentang usia
puncak tiga sampai lima tahun, namun dapat mengenai semua usia. Walaupun
orang dewasa dengan ALL hanya mencapai 20%, angka kematiannya lebih tinggi.
Individu-individu tertentu, seperti penderita Sindrom Down dan ataksia-
telangiektasis sangat berisiko mengalami penyakit ini (Schwartz, 2005: 441).

Di Amerika, setiap tahunnya sekitar 2.000-3.000 anak dan orang dewasa


didiagnosis ALL. Lebih dari 80% pasien berusia kurang dari 10 tahun (Hoffbrand
dan Pettit, 1987).
F. TANDA GEJALA

Gejala pada saat pasien datang berobat adalah pucat, fatigue, demam,
pendarahan, atau memar. Nyeri tulang sering dijumpai, dan anak kecil dapat datang
untuk dievaluasi karena pincang atau tidak mau berjalan. Pada pemeriksaan fisik,
dijumpai adanya memar, petekie, limfadenopati, dan hepatosplenomegali. Evaluasi
laboratorium dapat menunjukkan leukositosis, anemia, dan trombositopenia. Pada
kira-kira 50% pasien ditemukan jumlah leukosit melebihi 10.000/mm3 pada saat
didiagnosis, dan pada 20% pasien melebihi 50.000/mm3.

Manifestasi klinis dari ALL sendiri adalah sebagai berikut (Robbin dan
Cottran, 2006).

• Onset eksaserbasi mendadak: pasien ditemukan dalam waktu beberapa hari


hingga beberapa minggu sejak onset gejalanya.
• Gejala yang berhubungan dengan depresi fungsi sumsum tulang : kelelahan
karena anemia; demam yang mencerminkan infeksi karena tidak adanya
leukosit yang matur; dan perdarahan (petekie, ekimosis, epistaksis,
perdarahan gusi) karena trombositopenia.
• Nyeri dan nyeri tekan pada tulang yang disebabkan oleh ekspansi pada
sumsum tulang dan infiltrasi sel-sel blas ke dalam jaringan subperiosteum.
• Limfadenopati generalisata, splenomegaly dan hepatomegaly yang
disebabkan oleh infiltrasi neoplastic. Pada pasien-pasien ALL sel pre-T
dengan kelainan kelenjar timus dapat terjadi invasi ke pembuluh darah besar
dan saluran napas. Kelainan testis juga sering ditemukan pada ALL.
• Manifestasi sistem saraf pusat (misalnya sakit kepala, vomitus dan
kelumpuhan saraf) disebabkan oleh penyebaran pada meningen.

Tanda gejala ALL menurut Corwin (2007) adalah sebagai berikut.

• Kepucatan dan rasa lelah akibat anemia.


• Infeksi berulang akibat penurunan sel darah putih.
• Perdarahan dan memar akibat trombositopenia dan gangguan koagulasi.
• Nyeri tulang akibat penumbukan sel di sumsum tulang, yang menyebabkan
peningkatan tekanan dan kematian sel. Tidak seperti nyeri yang semakin
meningkat, nyeri tulang berhubungan dengan leukemia biasanya bersifat
progresif.
• Penurunan berat badan karena berkurangnya nafsu makan dan peningkatan
konsumsi kalori oleh sel-sel neoplastic.
• Limfadenopati, splenomegaly, dan hepatomegaly akibat infiltrasi sel
leukemik ke organ-organ limfoid dapat terjadi.
• Gejala sistem saraf pusat dapa terjadi.

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

 Hitung darah lengkap (FBC) biasanya menunjukkan gambaran anemia dan


trombositopenia. Jumlah sel darah putih yang nirmal biasanya berkurang
dan jumlah sel darah putih total dapat rendag, normal, atau meningkat.
Apabila normal atau meningkat, sebagian besar selnya adalah sel darah
putih primitif (blas).
 Pemeriksaan biokimia dapat menunjukkan adanya disfungsi ginjal,
hipokalemia, dan peningkatan kadar bilirubin.
 Profil koagulasi dapat menunjukkan waktu protrombin dan waktu
troboplastin parsial teraktivasi (APPT) yang memanjang karena sering
terjasi DIC.
 Kultur darah karena adanya risiko terjadi infeksi.
 Foto toraks: pasien dengan ALL jalur sel T sering memiliki massa
mediastinum yang dapat dilihat pada foto toraks.
 Golongan darah karena cepat atau lambat akan dibutuhkan transfusi darah
dan trombosit.
 Pemeriksaan penunjang diagnostik spesifik termasuk aspirasi sumsum
tulang, biopsi trephine, penanda sel, serta pemeriksaan sitogenetik untuk
membedakan ALL dengan AML secara akurat. Auer rod di sitoplasma sel
blas merupakan tanda patognomonik pada AML, namun hanya ditemukan
pada 30% kasus. Pemeriksaan penanda sel dapat membantu membedakan
subtipe AML yang berbeda-beda. Ini berguna bagi hematolog untuk
merancang terapi dan memperkirakan prognosis. Analisis kromosom sel
leukemia berguna untuk membedakan ALL dari AML, dan yang penting
adalah dapat memberikan informasi prognosis (Davey, 2005: 315).

H. PENATALAKSANAAN

Bentuk pengobatan utama adalah kemoterapi.

1. Kombinasi vinkristin, prednisone, daunorubisin, dan asparaginase


digunakan untuk terapi awal.
2. Kombinasi merkaptopurin, metoktreksat, vinkristin, dan prednosin untuk
rumatan.
3. Iradiasi region serebrospinal dan suntikan intratekal dengan obat-obat
kemoterapeutik membantu mencegah kekambuhan system saraf pusat
(Baughman dan Hackley, 2000: 338).

Penatalaksanaan lain yang dapat dilakukan, antara lain sebagai berikut


(Davey, 2005: 315).

• Resusitasi, pasien yang baru didiagnosis leukemia akut biasanya berada


dalam keadaan sakit berat dan rentan terhadap infeksi berat dan/atau
pendarahan. Prioritas utamanya adalah resusitasi menggunakan antibiotik
dosis tinggi intravena untuk melawan infeksi, transfusi trombosit atau
plasma beku segar (fresh frozen plasma) untuk mengatasi anemia.
Penggunaan antibiotik dalam situasi ini adalah tindakan yang tepat
walaupun demam yang terjadi ternyata merupakan akibat dari penyakit itu
sendiri dan bukan akibat infeksi. Lebih mudah menghentikan pemberian
antibiotik daripada menyelamatkan pasien dengan syok dan septikemia
yang telah dibiarkan tanpa terapi antibiotik.
• Kemoterapi, terapi definitif leukemia akut adalah dengan kemoterapi
sitotoksik menggunakan kobinasi obat multipel. Protokol persisnya berbeda
dalam penanganan ALL dan AML. Obat sitotoksik bekerja dengan berbagai
mekanisme namun semuanya dapat menghancurkan sel leukemia.
Sayangnya, beberapa sel normal juga ikut dirusak dan ini menyebabkan efek
samping seperti kerontokan rambut, mual, muntah, nyeri pada mulut (akibat
kerusakan pada mukosa mulut), dan kegagalan sumsum tulang akibat
matinya sel sumsum tulang. Salah satu konsekuensi mayor dari neutropenia
akibat kemoterapi adalah infeksi berat. Pasien harus diterapi selama
berbulan-bulan (AML) atau selama 2-3 tahun (ALL).
• Transplantasi sumsum tulang, merupakan pilihan terapi lain setelah
kemoterapi dosis tinggi dan radioterapi pada beberapa pasien leukemia akut.
Transplantasi dapat bersifat autolog, yaitu sel sumsum tulang diambil
sebelum pasien menerima terapi dosis tinggi, disimpan, dan kemudian
diinfusikan kembali akan mengembalikan fungsi sumsum tulang pasien
tersebut. Pasien yang menerima transplantasi alogenik memiliki risiko
rekurensi yang lebih rendah dibandingkan dengan pasien yang menerima
transplantasi autolog, karena sel tumor yang terinfusi kembali dapat
menimbulkan relaps. Pada transplantasi alogenik, terdapat bukti kuat yang
menunjukkan bahwa sumsum yang ditransplantasikan akan berefek
antitumor yang kuat (graft vs. leukemia) karena limfosit T yang
tertransplansi. Penelitian-penelitian baru menunjukkan terapi dosis rendah
dapat dilakukan dan memiliki kemungkinan sembuh akibat mekanisme
imunologis.

I. PENCEGAHAN

a. Pencegahan Primer

Pencegahan primer meliputi segala kegiatan yang dapat menghentikan


kejadian suatu penyakit atau gangguan sebelum hal itu terjadi.

 Pengendalian Terhadap Pemaparan Sinar Radioaktif

Pencegahan ini ditujukan kepada petugas radiologi dan pasien yang


penatalaksanaan medisnya menggunakan radiasi. Untuk petugas radiologi dapat
dilakukan dengan menggunakan baju khusus anti radiasi, mengurangi paparan
terhadap radiasi, dan pergantian atau rotasi kerja. Untuk pasien dapat dilakukan
dengan memberikan pelayanan diagnostik radiologi serendah mungkin sesuai
kebutuhan klinis.

 Pengendalian Terhadap Pemaparan Lingkungan Kimia

Pencegahan ini dilakukan pada pekerja yang sering terpapar dengan


benzene dan zat aditif serta senyawa lainnya. Dapat dilakukan dengan memberikan
pengetahuan atau informasi mengenai bahan-bahan karsinogen agar pekerja dapat
bekerja dengan hati-hati. Hindari paparan langsung terhadap zat-zat kimia tersebut.

 Mengurangi frekuensi merokok

Pencegahan ini ditujukan kepada kelompok perokok berat agar dapat


berhenti atau mengurangi merokok. Satu dari empat kasus LMA disebabkan oleh
merokok. Dapat dilakukan dengan memberikan penyuluhan tentang bahaya
merokok yang bisa menyebabkan kanker termasuk leukemia (LMA).

 Pemeriksaan Kesehatan Pranikah

Pencegahan ini lebih ditujukan pada pasangan yang akan menikah.


Pemeriksaan ini memastikan status kesehatan masing-masing calon mempelai.
Apabila masing-masing pasangan atau salah satu dari pasangan tersebut
mempunyai riwayat keluarga yang menderita sindrom Down atau kelainan gen
lainnya, dianjurkan untuk konsultasi dengan ahli hematologi. Jadi pasangan
tersebut dapat memutuskan untuk tetap menikah atau tidak.

b. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder bertujuan untuk menghentikan perkembangan


penyakit atau cedera menuju suatu perkembangan ke arah kerusakan atau
ketidakmampuan. Dapat dilakukan dengan cara mendeteksi penyakit secara dini
dan pengobatan yang cepat dan tepat.
J. KOMPLIKASI

1. Perdarahan dan infeksi merupakan penyebab utama kematian.


2. Pembentukan batu ginjal, anemia, dan maslah gastrointestinal.
3. Perdarahan berhubungan dengan tingkat trombositopenia: terjadi dengan
petekie, ekimosis, dan hemoragi mayor jika jumlah trombosit dibawah
20.000 mm3. Demam atau infeksi meningkatkan perdarahan (Baughman
dan Hackley, 2000: 337).
Komplikasi lain menurut Elizabeth J. Corwin (2008) adalah sebagai berikut.
1. Anak yang selamat dari leukemia mengalami peningkatan risiko untuk
terjadi keganasan baru di masa selanjutnya dibandingkan dengan anak-anak
yang tidak sakit leukemia, lebih cenderung berhubungan dengan sifat
agresif regimen kemoterapeutik (atau radiologi).
2. Regimen terapi, termasuk transplantasi sumsum tulang dihubungkan dengan
depresi sumsum tulang temporer, dan peningkatan risiko perkembangan
infeksi berat yang dapat menyebabkan kematian.
3. Bahkan pada terapi dan remisi yang berhasil, sel-sel leukemik masih tetap
ada, meninggalkan gejala sisa penyakit. Implikasi untuk prognosis dan
pengobatan masih belum jelas.
DAFTAR PUSTAKA

Baughman, Diane C. dan Hackley, JoAnn C. 2000. Keperawatan Medical-Bedah:


Buku Saku untuk Brunner dan Suddarth. Jakarta: EGC.

Corwin, Elizabeth J. 2007. Buku Saku Patofisiologi, Ed. 3. Jakarta: EGC.

Davey, Patrick. 2005. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga.

Hoffbrand, A.V. dan Pettit, J. E. 1987. Kapita Selekta Hematologi, Ed. II. Jakarta:
EGC.

Price, Sylvia A. dan Wilson, Lorraine McCarty. 2012. Patofisiologi: Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit, Ed. 6. Jakarta: EGC.

Robbins dan Cotran. 2006. Buku Saku Dasar Patologis, Ed. 7. Jakarta: EGC.

Sacher, Ronald A. dan McPherson, Richard A. 2004. Tinjauan Klinis Hasil


Pemeriksaan Laboratorium, Ed. 11. Jakarta: EGC.

Schwartz, M. William. 2005. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta: EGC.


BAB II

THALASSEMIA

A. DEFINISI

Thalassemia merupakan penyakit anemia yang diturunkan. Pada penderita


thalassemia, daya ikat sel darah merahnya terhadap oksigen rendah karena
kegagalan pembentukan oksigen (Mikrajuddi, dkk., 2007: 137). Thalassemia
adalah hemoglobinopati yang disebabkan oleh mutasi di gen globin. Dua gen
mengkode pembentukan globin α, dimana keduanya terletak di kromosom 16.
Hanya satu gen yang mengkode globin β yang terletak di kromosom 11. Dengan
demikian, sebuah sel diploid normal memiliki dua salinan gen ini. Penurunan
produksi globin α menimbulkan talasemia α sedangkan penurunan globin β
menyebabkan talasemia β (Dawn, 2008: 232).

Menurut studi yang dilakukan oleh Deborah Rund dan Eliezer


Rachmilewitz, talasemia adalah anemia turunan yang disebabkan oleh kelainan
produksi hemoglobin. Penyakit ini dikendalikan oleh gen dominan dan bersifat letal
(Santoso, 2007: 113).

B. ETIOLOGI

Etiologi thalassemia antara lain, sebagai berikut (Permono, dkk., 2006).


• Mutasi gen β-globin.
• Adanya pasutri yang membawa gen/carier thalassemia.
• Adanya mutasi DNA pada gen sehingga produksi rantai α atau β dari Hb
berkurang.
• Berkurangnya sintesis Hb A dan eritropoesis yang tidak efektif disertai
penghancuran sel-sel eritrosit intramuscular.
• Delesi gen α atau terhapus karena kecelakaan genetik.
C. FAKTOR RISIKO

Faktor-faktor yang meningkatkan resiko thalassemia meliputi:

1. Riwayat Keluarga Thalassemia


Thalassemia diwariskan dari orang tua kepada anak-anak mereka melalui
gen hemoglobin yang bermutasi.
2. Keturunan Ras Tertentu
Thalassemia cenderung lebih sering terjadi pada orang-orang Italia, Yunani,
Timur Tengah, Asia, dan Afrika (Permono, 2006).

D. EPIDEMIOLOGI

Di seluruh dunia, 15 juta orang memiliki presentasi klinis dari thalassemia.


Fakta ini mendukung thalassemia sebagai salah satu penyakit turunan yang
terbanyak, menyerang hampir semua golongan etnik dan terdapat pada hampir
seluruh negara di dunia. Beberapa tipe thalassemia lebih umum terdapat pada area
tertentu di dunia. Thalassemia-β lebih sering ditemukan di negara-negara
Mediteraniam seperti Yunani, Itali,dan Spanyol. Banyak pulau-pulau Mediterania
seperti Ciprus, Sardinia, dan Malta, memiliki insidens thalassemia-β mayor yang
tinggi secara signifikan. Thalassemia-β juga umumditemukan di Afrika Utara,
India, Timur Tengah, dan Eropa Timur. Sebaliknya, thalassemia-α lebih sering
ditemukan di Asia Tenggara, India, Timur Tengah, dan Afrika (Permono, 2006)
F. TANDA GEJALA

Gejala penyakitnya bervariasi, dapat berupa anemia, pembesaran limpa dan


hati, atau pembentukan tulang muka yang abnormal sehingga terjadi gangguan
pertumbuhan (Furqonita, 2006).

Gejala lain yang dapat muncul pada penderita thalassemia antara lain
sebagai berikut.

• Anemia, pada thalassemia, produksi rantai globin α atau berkurang atau


tidak ada, sehingga hemoglobin yang terbentuk sangat dan menyebabkan
anemia. Berlebihnya rantai globin yang tidak berpasangan menyebabkan
eritrosit mudah dipecahkan oleh limpa.
• Pembesaran limpa, organ limpa berfungsi membersihkan eritrosit yang
rusak dan berperan dalam pembentukan eritrosit. Pembesaran limpa pada
thalassemia dapat terjadi akibat kerja limpa yang berlebihan.
• Fascie Cooley’s, pada keadaan thalassemia yang berat dapat terjadi
perubahan bentuk wajah yang disebut fascies Cooley’s. sumsum tulang
pipih merupakan salah satu tempat untuk memproduksi sel darah merah.
Pada thalassemia, sumsum tulang pipih memproduksi sel darah merah
berlebihan, sehingga rongga sumsum membesar yang menyebabkan
penipisan tulang dan penonjolan pada dahi.

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Diagnosis dini
• Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik untuk jenis LLA yaitu ditemukan splenomegali (86%),
hepatomegali, limfadenopati, nyeri tekan tulang dada, ekimosis, dan
perdarahan retina. Pada penderita LMA ditemukan hipertrofi gusi yang
mudah berdarah. Kadang-kadang ada gangguan penglihatan yang
disebabkan adanya perdarahan fundus oculi. Pada penderita leukemia jenis
LLK ditemukan hepatosplenomegali dan limfadenopati. Anemia, gejala-
gejala hipermetabolisme (penurunan berat badan, berkeringat)
menunjukkan penyakitnya sudah berlanjut. Pada LGK/LMK hampir selalu
ditemukan splenomegali, yaitu pada 90% kasus. Selain itu Juga didapatkan
nyeri tekan pada tulang dada dan hepatomegali. Kadang-kadang terdapat
purpura, perdarahan retina, panas, pembesaran kelenjar getah bening dan
kadang-kadang priapismus.
b. Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan darah tepi
Pada penderita leukemia jenis LLA ditemukan leukositosis (60%) dan
kadang-kadang leukopenia (25%). Pada penderita LMA ditemukan
penurunan eritrosit dan trombosit. Pada penderita LLK ditemukan
limfositosis lebih dari 50.000/mm3, sedangkan pada penderita LGK/LMK
ditemukan leukositosis lebih dari 50.000/mm3.
• Pemeriksaan sumsum tulang
Hasil pemeriksaan sumsum tulang pada penderita leukemia akut ditemukan
keadaan hiperselular. Hampir semua sel sumsum tulang diganti sel leukemia
(blast), terdapat perubahan tiba-tiba dari sel muda (blast) ke sel yang matang
tanpa sel antara (leukemic gap). Jumlah blast minimal 30% dari sel berinti
dalam sumsum tulang. Pada penderita LLK ditemukan adanya infiltrasi
merata oleh limfosit kecil yaitu lebih dari 40% dari total sel yang berinti.
Kurang lebih 95% pasien LLK disebabkan oleh peningkatan limfosit B.
Sedangkan pada penderita LGK/LMK ditemukan keadaan hiperselular
dengan peningkatan jumlah megakariosit dan aktivitas granulopoeisis.
Jumlah granulosit lebih dari 30.000/mm3.

H. PENATALAKSANAAN
1. Transfusi darah berupa sel darah merah (SDM) sapai kadarHb 11 g/dl.
Jumlah SDM yang diberikan sebaiknya 10-20 ml/kg BB.
2. Asam folat teratur (misalnya 5 mg/hari), jika diet buruk.
3. Pemberian chelating agents (desferal) secara teratur membentuk
mengurangi hemosiderosis. Obat diberikan secara intravena atau subkutan,
dengan bantuan pompa kecil, 2 gr dengan setiap unit darah transfuse.
4. Vitamin C 200 mg setip hari, meningkatkan eksresi besi dihasilkan oleh
Desferioksamin.
5. Splenektomi mungkin dibutuhkan untuk menurunkan kebutuhan darah. Ini
ditunda sampai pasien berumur di atas 6 tahun karena resiko infeksi.
6. Terapi endokrin diberikan baik sebagai pengganti ataupun untuk
merangsang hipofise jika pubertas terlambat.
7. Pada sedikit kasus transplantasi sumsum tulang tulang telah dilaksanakan
pada umur 1 atau 2 tahun dari saudara kandung HIA cocok (HIA–Matched
Sibling). Pada saat ini keberhasilan hanya mencapai 30% kasus.
(Soeparman, dkk 1996 dan Hoffbrand, 1996).
8. Menghindari makan yang kaya akan zat besi, seperti daging berwarna
merah, hati, ginjal, sayur-mayur berwarna hijau, sebagian dari sarapan yang
mengandung gandum, semua bentuk roti dan alkohol.

Dalam buku Aplikasi Klinis Patofisiologis (Brashers, 2008: 177),


disebutkan penatalaksanaan thalassemia adalah sebagai berikut.

1. Kebanyakan pasien tidak memerlukan penanangan.


2. Plasmaferesis dengan transfusi diikuti dengan terapi kelat besi diindikasikan
pada anemia berat.
3. Transplantasi sumsum tulang telah berhasil pada kasus ekstrem tertentu.
4. Bila thalassemia terdiagnosis di dalam uterus; telah dilaporkan keberhasilan
transplantasi darah tali pusat.

I. PENCEGAHAN

Penyebaran penyakit ini hanya bisa dilakukan dengan mencegah mereka


yang memiliki gen carier thalassemia sebaiknya tidak menikah dengan sesama
pembawa sifat penyakit (carier) dengan cara melakukan screening. Selanjunya
upaya pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan memperbanyak pemberian
konseling dan pemahaman kepada masyarakat mengenai pentingnya memeriksakan
diri apakah memiliki gen pembawa thalassemia atau tidak.
Apabila anda memiliki kerabat pengidap Thalassemia, maka harus
memeriksakan diri apakah termasuk pembawa sifat. Seorang yang membawa sifat
dapat hidup normal tanpa gejala namun apabila menika dengan pembawa sifat,
maka kemungkinan anak-anaknya 50% adalah Thalassemia mayor (Thalassemia
yang berat).

J. KOMPLIKASI

Perawatan yang ada sekarang yaitu hanya dengan membantu penderita


thalassemia berat untuk hidup lebih lama lagi. Akibatnya,orang-orang ini harus
menghadapi komplikasi dari gangguan yang terjadi dari waktu ke waktu.
1. Jantung dan Liver Disease
Transfusi darah adalah perawatn setandar untuk penderita thalassemia.
Sebagai hasilnya, kandungan zat besi meningkat di dalam darah. Hal ini dapat
merusak organ dan jaringan, terutama jantung dan hati.
Penyakit jantung yang dihasilkan oleh zat besi yang berlebihan adalah
penyebab utama kematian pada orang penderita thalassemia. Penyakitjantung
termasuk gagal jantung, aritmis denyut jantung,dan terlih lagi serangan jantung.
2. Infeksi
Diantara orang-orang penderita thalassemia, infeksi adalah penyebab utama
penyakit dan kedua paling umum penyebab kematian. Orang-orang yang limpanya
telah diangkat berada pada risiko yang lebih tinggi, karena mereka tidak lagi
memiliki organ yang memerangi infeksi.
3. Osteoporosis
Banyak penderita thalassemia memiliki tulang yang bermasalah, termasuk
osteoporosis. Ini adalah suatu kondisi dimana tulang menjadi sangat lemah, rapuh
dan mudah patah.
DAFTAR PUSTAKA

Baughman, Diane C. dan Hackley, JoAnn C. 2000. Keperawatan Medical-Bedah :


Buku Saku untuk Brunner dan Suddarth. Jakarta: EGC.

Brashers, Valentina L. 2008. Aplikasi Klinis Patofisiologis: Pemeriksaan dan


Manajemen, Ed. 2. Jakarta: EGC.

Marks B, Dawn. 2008. Biokimia Kedokteran Dasar. Jakarta: EGC.

Mikrajuddi, dkk. 2007. IPA Terpadu SMP dan MTs jilid 2A. Jakarta: Erlangga.

Permono B, Sutaryo, dkk. 2006. Buku Ajar Hematologi-Onkologi, Cetakan Kedua.


Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia.

Santoso, Bogot. 2007. Pelajaran Biologi untuk SMA/MA Kelas XII. Bekasi:
Interplus.

http://milissehat.web.id/?p=2314

Anda mungkin juga menyukai