BAB 1
PENDAHULUAN
2.2 Etiologi
2.2.1 Penyebab amputasi adalah kelainan ekstremitas yang disebabkan oleh penyakit DM, Gangren,
cedera, dan tumor ganas.
2.2.2 Tindakan amputasi dapat dilakukan pada kondisi :
a. Fraktur multiple organ tubuh yang tidak mungkin dapat diperbaiki.
b. Kehancuran jaringan kulit yang tidak mungkin diperbaiki.
c. Gangguan vaskuler/sirkulasi pada ekstremitas yang berat.
d. Infeksi yang berat atau beresiko tinggi menyebar ke anggota tubuh lainnya.
e. Adanya tumor pada organ yang tidak mungkin diterapi secara konservatif.
f. Deformitas organ.
2.3 Patofisiologi
Amputasi terjadi karena kelainan extremitas yang disebabkan penyakit pembuluh darah,
cedera dan tumor oleh karena penyebab di atas, Amputasi harus dilakukan karena dapat
mengancam jiwa manusia. Adapun pengaruhnya meliputi :
a. Kecepatan metabolism
Jika seseorang dalam keadaan immobilisasi maka akan menyebabkan penekanan pada fungsi
simpatik serta penurunan katekolamin dalam darah sehingga menurunkan kecepatan
metabolisme basal.
Adanya penurunan serum protein tubuh akibat proses katabolisme lebih besar dari anabolisme,
maka akan mengubah tekanan osmotik koloid plasma, hal ini menyebabkan pergeseran cairan
intravaskuler ke luar keruang interstitial pada bagian tubuh yang rendah sehingga menyebabkan
oedema. Immobilitas menyebabkan sumber stressor bagi klien sehingga menyebabkan
kecemasan yang akan memberikan rangsangan ke hypotalamus posterior untuk menghambat
pengeluaran ADH, sehingga terjadi peningkatan diuresis.
c. Sistem respirasi
Pada klien immobilisasi dalam posisi baring terlentang, maka kontraksi otot intercosta relatif
kecil, diafragma otot perut dalam rangka mencapai inspirasi maksimal dan ekspirasi paksa.
Dalam posisi tidur terlentang, pada sirkulasi pulmonal terjadi perbedaan rasio ventilasi dengan
perfusi setempat, jika secara mendadak maka akan terjadi peningkatan metabolisme (karena
latihan atau infeksi) terjadi hipoksia.
Akibat immobilisasi terjadi penurunan kerja siliaris saluran pernafasan sehingga sekresi mukus
cenderung menumpuk dan menjadi lebih kental dan mengganggu gerakan siliaris normal.
d. Sistem Kardiovaskuler
Dibawah pengaruh adrenergik denyut jantung meningkat, hal ini mengakibatkan waktu pengisian
diastolik memendek dan penurunan isi sekuncup.
3. Orthostatik Hipotensi
Pada keadaan immobilisasi terjadi perubahan sirkulasi perifer, dimana arteriol dan venula
tungkai berkontraksi tidak adekuat, vasodilatasi lebih panjang dari pada vasokontriksi sehingga
darah banyak berkumpul di ekstremitas bawah, volume darah yang bersirkulasi menurun, jumlah
darah ke ventrikel saat diastolik tidak cukup untuk memenuhi perfusi ke otak dan tekanan darah
menurun, akibatnya klien merasakan pusing pada saat bangun tidur serta dapat juga merasakan
pingsan.
b. Sistem Muskuloskeletal
Dengan adanya immobilisasi dan gangguan sistem vaskuler memungkinkan suplai O2 dan nutrisi
sangat berkurang pada jaringan, demikian pula dengan pembuangan sisa metabolisme akan
terganggu sehingga menjadikan kelelahan otot.
2. Atropi otot
Karena adanya penurunan stabilitas dari anggota gerak dan adanya penurunan fungsi persarafan.
Hal ini menyebabkan terjadinya atropi dan paralisis otot.
3. Kontraktur sendi
Kombinasi dari adanya atropi dan penurunan kekuatan otot serta adanya keterbatasan gerak.
4. Osteoporosis
Terjadi penurunan metabolisme kalsium. Hal ini menurunkan persenyawaan organik dan
anorganik sehingga massa tulang menipis dan tulang menjadi keropos.
f. Sistem Pencernaan
1. Anoreksia
Akibat penurunan dari sekresi kelenjar pencernaan dan mempengaruhi sekresi kelenjar
pencernaan dan mempengaruhi perubahan sekresi serta penurunan kebutuhan kalori yang
menyebabkan menurunnya nafsu makan.
2. Konstipasi
Meningkatnya jumlah adrenergik akan menghambat pristaltik usus dan spincter anus menjadi
kontriksi sehingga reabsorbsi cairan meningkat dalam colon, menjadikan faeces lebih keras dan
orang sulit buang air besar.
g. Sistem perkemihan
Dalam kondisi tidur terlentang, renal pelvis ureter dan kandung kencing berada dalam keadaan
sejajar, sehingga aliran urine harus melawan gaya gravitasi dan pelvis renal banyak menahan
urine sehingga dapat menyebabkan :
- Akumulasi endapan urine di renal pelvis akan mudah membentuk batu ginjal.
- Tertahannya urine pada ginjal akan menyebabkan berkembang biaknya kuman dan dapat
menyebabkan ISK.
h. Sistem integumen
Tirah baring yang lama, maka tubuh bagian bawah seperti punggung dan bokong akan tertekan
sehingga akan menyebabkan penurunan suplai darah dan nutrisi ke jaringan. Jika hal ini
dibiarkan akan terjadi ischemia, hyperemis dan akan normal kembali jika tekanan dihilangkan
dan kulit dimasase untuk meningkatkan suplai darah.
(WOC TERLAMPIR)
2.4 Manifestasi Klinis
a. Kehilangan anggota gerak (ektremitas atas atau bawah)
b. Nyeri pada bagian yang diamputasi yang berasal dari neuroma ujung saraf yang dekat dengan
permukaan.
c. Edema yang apabila tidak ditangani menyebabkan hiperplasia varikosa dengankeronitis.
d. Dermatitis pada tempat tekanan ditemukan kista (epidermal atau aterom)
e. Busitis (terbentuk bursa tekanan antara penonjolan tulang dan kulit)
f. Bila kebersihan kulit diabaikan terjadi folikulitis dan furunkulitis.
g. Sedih dan harga diri rendah (self esteem) dan diikuti proses kehilangan
2.5 Jenis- jenis Amputasi
2.5.1 Berdasarkan pelaksanaan amputasi, dibedakan menjadi :
a. Amputasi selektif/terencana. Amputasi jenis ini dilakukan pada penyakit yang terdiagnosis dan
mendapat penanganan yang baik serta terpantau secara terus-menerus. Amputasi dilakukan
sebagai salah satu tindakan alternatif terakhir.
c. Amputasi akibat trauma. Merupakan amputasi yang terjadi sebagai akibat trauma dan tidak
direncanakan. Kegiatan tim kesehatan adalah memperbaiki kondisi lokasi amputasi serta
memperbaiki kondisi umum klien.
d. Amputasi darurat. Kegiatan amputasi dilakukan secara darurat oleh tim kesehatan. Biasanya
merupakan tindakan yang memerlukan kerja yang cepat seperti pada trauma dengan patah tulang
multiple dan kerusakan/kehilangan kulit yang luas.
2.5.2 Jenis amputasi yang dikenal adalah :
a. Amputasi terbuka. Amputasi terbuka dilakukan pada kondisi infeksi yang berat dimana
pemotongan pada tulang dan otot pada tingkat yang sama. Amputasi terbuka dilakukan pada luka
yang kotor, seperti luka perang atau infeksi berat antara lain gangrene, dibuat sayatan dikulit
secara sirkuler sedangkan otot dipotong sedikit proximal dari sayatan kulit dan digergaji sedikit
proximal dari otot.
b. Amputasi tertutup. Amputasi tertutup dilakukan dalam kondisi yang lebih memungkinkan
dimana dibuat skaif kulit untuk menutup luka yang dibuat dengan memotong kurang lebih 5
sentimeter dibawah potongan otot dan tulang. Setelah dilakukan tindakan pemotongan, maka
kegiatan selanjutnya meliputi perawatan luka operasi/mencegah terjadinya infeksi, menjaga
kekuatan otot/mencegah kontraktur, mempertahankan intaks jaringan, dan persiapan untuk
penggunaan protese ( mungkin ). Amputasi tertutup dibuat flap kulit yang direncanakan luas dan
bentuknya secara teliti untuk memperoleh kulit penutup ujung putung yang baik dengan lokasi
bekas pembedahan
2.6 Tingkatan Amputasi
a. Estremitas atas. Amputasi pada ekstremitas atas dapat mengenai tangan kanan atau kiri. Hal
ini berkaitan dengan aktivitas sehari-hari seperti makan, minum, mandi, berpakaian dan aktivitas
yang lainnya yang melibatkan tangan. Ekstremitas atas, terdiri dari : telapak, pergelangan tangan,
lengan bawah, siku dan lengan atas.
b. Ekstremitas bawah. Amputasi pada ekstremitas ini dapat mengenai semua atau sebagian dari
jari-jari kaki yang menimbulkan penurunan seminimal mungkin kemampuannya. Ekstremitas
bawah terdiri dari : jari kaki dan kaki, proksimal sendi pergelangan kaki, tungkai bawah, tungkai
atas, sendi panggul, lutut, hemipeivektomi. Adapun amputasi yang sering terjadi pada
ekstremitas ini dibagi menjadi dua letak amputasi yaitu :
1. Amputasi dibawah lutut (below knee amputation).Ada 2 metode pada amputasi jenis ini yaitu
amputasi pada nonischemic limb dan inschemic limb.
2. Amputasi diatas lutut Amputasi ini memegang angka penyembuhan tertinggi pada pasien
dengan penyakit vaskuler perifer.
c. Nekrosis. Pada keadaan nekrosis biasanya dilakukan dulu terapi konservatif, bila tidak berhasil
dilakukan reamputasi dengan level yang lebih tinggi.
d. Kontraktur. Kontraktur sendi dapat dicegah dengan mengatur letak stump amputasi serta
melakukan latihan sedini mungkin. Terjadinya kontraktur sendi karena sendi terlalu lama
diistirahatkan atau tidak di gerakkan.
e. Neuroma. Terjadi pada ujung-ujung saraf yang dipotong terlalu rendah sehinggamelengket
dengan kulit ujung stump. Hal ini dapat dicegah dengan memotong saraf lebih proximal dari
stump sehingga tertanam di dalam otot.
f. Phantom sensation. Hampir selalu terjadi dimana penderita merasakan masih utuhnya
ekstremitas tersebut disertai rasa nyeri. Hal ini dapat diatasi dengan obat-obatan, stimulasi
terhadap saraf dan juga dengan cara kombinasi.
2.7 Komplikasi
Komplikasi amputasi meliputi perdarahan, infeksi dan kerusakan kulit. Perdarahan dapat
terjadi akibat pemotongan pembuluh darah besar dan dapat menjadi masif. Infeksi dapat terjadi
pada semua pembedahan dengan peredaran darah yang buruk atau adanya kontaminasi serta
dapat terjadi kerusakan kulit akibat penyembuhan luka yang buruk dan iritasi penggunaan
protesis.
2.8 Penatalaksanaan Amputasi
Tujuan utama pembedahan adalah mencapai penyembuhan luka amputasi
dan menghasilkan sisa tungkai (puntung) yang tidak nyeri tekan dengan kulit yang sehat . pada
lansia mungkin mengalami kelembatan penyembuhan luka karena nutrisi yang buruk dan
masalah kesehatan lainnya. Percepatan penyembuhan dapat dilakukan dengan penanganan yang
lembut terhadap sisa tungkai, pengontrolan edema sisa tungkai dengan balutan kompres lunak
(rigid) dan menggunakan teknik aseptik dalam perawatan luka untuk menghindari infeksi.
2.8.1. Balutan rigid tertutup
Balutan rigid adalah balutan yang menggunakan plaster of paris yang dipasang waktu
dikamar operasi. Pada waktu memasang balutan ini harus direncanakan apakah penderita harus
imobilisasi atau tidak dan pemasangan dilengkapi tempat memasang ekstensi prosthesis
sementara (pylon) dan kaki buatan. Balutan ini sering digunakan untuk mendapatkan kompresi
yang merata, menyangga jaringan lunak dan mengontrol nyeri dan mencegah kontraktur.
Kaoskaki steril dipasang pada sisi steril dan bantalan dipasang pada daerah peka tekanan. Sisa
tungkai (punting) kemudian dibalut dengan gips elastic yang ketika mengeras akan memberikan
tekanan yang merata. Hati-hati jangan sampai menjerat pembuluh darah. Gips diganti sekitar 10-
14 hari. Bila terjadi peningkatan suhu tubuh, nyeri berat atau gips mulai longgar harus segara
diganti.
2.8.2. Balutan lunak
Balutan lunak dengan atau tanpa kompresi dapat digunakan bila diperlukan inspeksi
berkala sisa tungkai (puntung) sesuai kebutuhan. Bidai imobilisasi dapat dibalutkan pada
balutan. Hematoma puntung dikontrol dengan alat drainase luka untuk meminimalkan infeksi.
2.8.3 Amputasi bertahap
Amputasi bertahap dilakukan bila ada gangren atau infeksi. Pertama-tama dilakukan
amputasi guillotine untuk mengangkat semua jaringan nekrosis dan sepsis. Luka didebridemen
dan dibiarkan mengering. Jika dalam beberapa hari infeksi telah terkontrol dank lien telah stabil,
dilakukan amputasi definitife dengan penutupan kulit.
2.8.4 Protesis
Kadang diberikan pada hari pertama pasca bedah sehingga latihan segera dapat dimulai.
Keuntungan menggunakan protesis sementara adalah membiasakan klien menggunakan protesis
sedini mungkin. Kadang protesis darurat baru diberikan setelah satu minggu luka sembuh. Pada
amputasi, untuk penyakit pembuluh darah proteis sementara diberikan setelah 4 minggu. Protesis
ini bertujuan untuk mengganti bagian ekstremitas yang hilang. Artinya defek system
musculoskeletal harus diatasi, temasuk defek faal. Pada ekstremitas bawah, tujuan protesis ini
sebagian besar dapat dicapai. Sebaliknya untuk ekstremitas atas tujuan itu sulit dicapai, bahkan
dengan tangan miolektrik canggih yang bekerja atas sinyal miolektrik dari otot biseps dan
triseps.
2.9 Management Keperawatan
Kegiatan keperawatan yang dilakukan
pada klien dapat dibagi dalam tiga
tahap yaitu pada tahap preoperatif,
tahap intraoperatif, dan pada tahap post
operatif.
a. Pre Operatif . Pada tahap praoperatif,
tindakan keperawatan lebih ditekankan
pada upaya untuk mempersiapkan
kondisi fisik dan psikolgis klien dalam menghadapi kegiatan operasi. Pada tahap ini, perawat
melakukan pengkajian yang berkaitan dengan kondisi fisik,khususnya yang berkaitan erat
dengan kesiapan tubuh untuk menjalani operasi.
b. Intra Operatif. Pada masa ini perawat berusaha untuk tetap mempertahankan kondisi terbaik
klien. Tujuan utama dari manajemen (asuhan) perawatan saat ini adalah untuk menciptakan
kondisi opyimal klien dan menghindari komplikasi pembedahan. Perawat berperan untuk tetap
mempertahankan kondisi hidrasi cairan, pemasukan oksigen yang adekuat dan mempertahankan
kepatenan jalan nafas, pencegahan injuri selama operasi dan dimasa pemulihan kesadaran.
Khusus untuktindakan perawatan luka, perawat membuat catatan tentang prosedur operasi yang
dilakukan dan kondisi luka, posisi jahitan dan pemasangan drainage. Hal ini berguna untuk
perawatan luka selanjutnya dimasa postoperatif
c. Post Operatif. Pada masa post operatif, perawat harus berusaha untuk mempertahankan tanda-
tanda vital, karena pada amputasi, khususnya amputasi ekstremitas bawah diatas lutut merupakan
tindakan yang mengancam jiwa. Perawat melakukan pengkajian tanda-tanda vital selama klien
belum sadar secara rutin dan tetap mempertahankan kepatenan jalas nafas, mempertahankan
oksigenisasi jaringan, memenuhi kebutuhan cairan darah yang hilang selama operasi dan
mencegah injuri. Daerah luka diperhatikan secara khusus untuk mengidentifikasi adanya
perdarahan masif atau kemungkinan balutan yang basah, terlepas atau terlalu ketat. Selang
drainase benar-benar tertutup. Kaji kemungkinan saluran drain tersumbat oleh clot darah. Awal
masa postoperatif, perawat lebih memfokuskan tindakan perawatan secara umum yaitu
menstabilkan kondisi klien dan mempertahankan kondisi optimum klien. Perawat
bertanggungjawab dalam pemenuhan kebutuhan dasar klien, khususnya yang dapat
menyebabkan gangguan atau mengancam kehidupan klien. Berikutnya fokus perawatan lebih
ditekankan pada peningkatan kemampuan klien untuk membentuk pola hidup yang baru serta
mempercepat penyembuhan luka. Tindakan keperawatan yang lain adalah mengatasi adanya
nyeri yang dapat timbul pada klien seperti nyeri Panthom Limb dimana klien merasakan seolah-
olah nyeri terjadi pada daerah yang sudah hilang akibat amputasi. Kondisi ini dapat
menimbulkan adanya depresi pada klien karena membuat klien seolah-olah merasa ‘tidak sehat
akal’ karena merasakan nyeri pada daerah yang sudah hilang. Dalam masalah ini perawat harus
membantu klien mengidentifikasi nyeri dan menyatakan bahwa apa yang dirasakan oleh klien
benar adanya.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian fisik dilaksanakan untuk meninjau secara umum kondisi tubuh klien secara
utuh untuk kesiapan dilaksanakannya tindakan operasi manakala tindakan amputasi merupakan
tindakan terencana/selektif, dan untuk mempersiapkan kondisi tubuh sebaik mungkin manakala
merupakan trauma/ tindakan darurat.
Kondisi fisik yang harus dikaji meliputi :
SISTEM TUBUH KEGIATAN
Integumen : Mengkaji kondisi umum kulit untuk meninjau tingkat
Kulit secara umum. hidrasi.
Lokasi amputasi Lokasi amputasi mungkin mengalami keradangan akut
atau kondisi semakin buruk, perdarahan atau kerusakan
progesif. Kaji kondisi jaringan diatas lokasi amputasi
terhadap terjadinya stasis vena atau gangguan venus
return.
Sistem Cardiovaskuler : Mengkaji tingkat aktivitas harian yang dapat dilakukan
Cardiac reserve pada klien sebelum operasi sebagai salah satu indikator
Pembuluh darah fungsi jantung.
Mengkaji kemungkinan atherosklerosis melalui penilaian
terhadap elastisitas pembuluh darah.
Sistem Respirasi Mengkaji kemampuan suplai oksigen dengan menilai
adanya sianosis, riwayat gangguan nafas.
Sistem Urinari Mengkaji jumlah urine 24 jam.
Menkaji adanya perubahan warna, BJ urine.
Cairan dan elektrolit Mengkaji tingkat hidrasi.
Memonitor intake dan output cairan.
Sistem Neurologis Mengkaji tingkat kesadaran klien.
Mengkaji sistem persyarafan, khususnya sistem motorik
dan sensorik daerah yang akan diamputasi.
Sistem Mukuloskeletal Mengkaji kemampuan otot kontralateral.
3.1.2 Pengkajian Psikologis, Sosial, Spiritual
Disamping pengkajian secara fisik perawat melakukan pengkajian pada kondisi psikologis (
respon emosi ) klien yaitu adanya kemungkinan terjadi kecemasan pada klien melalui penilaian
klien terhadap amputasi yang akan dilakukan, penerimaan klien pada amputasi dan dampak
amputasi terhadap gaya hidup. Kaji juga tingkat kecemasan akibat operasi itu sendiri. Disamping
itu juga dilakukan pengkajian yang mengarah pada antisipasi terhadap nyeri yang mungkin
timbul.
Perawat melakukan pengkajian pada gambaran diri klien dengan memperhatikan tingkat
persepsi klien terhadap dirinya, menilai gambaran ideal diri klien dengan meninjau persepsi klien
terhadap perilaku yang telah dilaksanakan dan dibandingkan dengan standar yang dibuat oleh
klien sendiri, pandangan klien terhadap rendah diri antisipasif, gangguan penampilan peran dan
gangguan identitas.
Adanya gangguan konsep diri antisipasif harus diperhatikan secara seksama dan bersama-
sama dengan klien melakukan pemilihan tujuan tindakan dan pemilihan koping konstruktif.
Adanya masalah kesehatan yang timbul secara umum seperti terjadinya gangguan fungsi
jantung dan sebagainya perlu didiskusikan dengan klien setelah klien benar-benar siap untuk
menjalani operasi amputasi itu sendiri. Kesadaran yang penuh pada diri klien untuk berusaha
berbuat yang terbaik bagi kesehatan dirinya, sehingga memungkinkan bagi perawat untuk
melakukan tindakan intervensi dalam mengatasi masalah umum pada saat pre operatif.
3.2 Diagnosa Keperawatan
3.2.1. Pre Operasi
a. Nyeri (akut) berhubungan dengan cedera fisik/jaringan dan trauma saraf.
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan fungsi otot dan pergerakan akibat
gangren.
c. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kegiatan perioperatif.
d. Berduka yang antisipasi (anticipated griefing) berhubungan dengan kehilangan akibat amputasi.
3.2.2. Post Operasi
a. Gangguan rasa nyaman : Nyeri berhubungan dengan insisi bedah sekunder terhadap amputasi.
b. Resiko tinggi perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan aliran darah
arteri/ vena
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan nafsu makan/anoreksia.
d. Resiko kerusakan Integritas kulit b.d adanya dekubitus akibat tirah baring lama.
e. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan otot akibat tirah baring lama post
amputasi.
f. Kurang perawatan diri : makan, mandi, berpakaian, berdandan berhubungan dengan kehilangan
bagian tubuh
g. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan hilangnya salah satu anggota badan akibat amputasi..
3.3 Intervensi Keperawatan
3.3.1. Pre Operasi
No. Analisa Data Diagnosa keperawatan NOC NIC
1. Ds: Pasien Nyeri (akut) Setelahdilakukan Mandiri
1. Catat lokasi,
mengatakan nyeri berhubungan dengan asuhan keperawatan
frekwensi dan
pada daerah luka. cedera fisik/jaringan selama 3x24 jam
intensitas nyeri (skala
Do: dan trauma saraf. pasien dapat
0-10). Amati
- Wajah meringis mentoleransi nyeri
perubahan
- nadi: 120x/mnt dan nyeri berkurang.
karakteristik nyeri,
- RR: 25x/mnt Dengan kriteria hasil:
misalnya kebas dan
TD: 170/90mmHg -Px. Tampak rileks
kesemutan.
Nadi: 60-100x/mnt
2. Tinggikan bagian
RR:16-24x/mnt
yang sakit dengan
TD:120/80mmHg
meninggikan tempat
Skala nyeri berkurang
tidur atau bantal
0-2. guling sebagai
penyangga.
3. Tingkatkan
kenyamanan klien
(rubah posisi sesering
mungkin, dan beri
pijatan punggung).
Dotong penggunaan
teknik manajemen
stres (napas dalam,
visualisasi).
4. Berikan pijatan
lembut pada sisa
tungkai (puntung)
sesuai toleransi bila
balutan telah dilepas.
5. Kolaborasi dalam
pemberian analgetik
4.1 Kesimpulan
Asuhan keperawatan pada klien yang mengalami amputasi merupakan bentuk asuhan
kompleks yang melibatkan aspek biologis, spiritual dan sosial dalam proporsi yang cukup besar
ke seluruh aspek tersebut perlu benar-benar diperhatikan sebaik-baiknya.
Tindakan amputasi merupakan bentuk operasi dengan resiko yang cukup besar bagi klien
sehingga asuhan keperawatan perioperatif harus benar-benar adekuat untuk memcapai tingkat
homeostatis maksimal tubuh. Manajemen keperawatan harus benar-benar ditegagkkan untuk
membantu klien mencapai tingkat optimal dalam menghadapi perubahan fisik dan psikologis
akibat amputasi
4.2 Saran
Sehat merupakan sebuah keadaan yang sangat berharga, sebab dengan kondisi fisik yang
sehat seseorang mampu menjalankan aktifitas sehari-harinya tanpa mengalami hambatan. Maka
menjaga kesehatan seluruh organ yang berada didalam tubuh menjadi sangat penting mengingat
betapa berpengaruhnya sistem organ tersebut terhadap kelangsungan hidup serta aktifitas
seseorang.
DAFTAR PUSTAKA
Engram, Barbara ( 1999 ), Rencana Asuhan Keperawatan Medikal – Bedah, edisi Indonesia, EGC:
Jakarta.
Wilkinson, Judith.M. 2006. Buku saku Diagnosis Keperawatan Dengan Intervensi NIC dan Kriteria
Hasil NOC. Edisi 7. EGC: Jakarta
Anton (online http://studikeperawatan.blogspot.com/2011/08/asuhan-keperawatan-askep-amputasi.html
diakses tanggal 17 November 2012, pukul 19.00)
Saskia ( online http://id.scribd.com/doc/93523943/makalah-amputasi diakses tanggal 18 November
2012, pukul 09.00)
Irvanzaky (online http://irvanzaky.blogspot.com/2012/05/amputasi.html diakses tanggal 18
November 2012, pukul 11.00)
Icha (online http://x-asuhankeperawatan.blogspot.com/2012/07/asuhan-keperawatan-dengan-
amputasi_19.html diakses tanggal 18 November 2012,pukul 15.30)
Diabetes Melitus Ganggren
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gangguan sistem endokrin merupakan suatu gangguan sistem tubuh yang melibatkan banyak
aspek. Hal ini disebabkan sistem endokrin dipertimbangkan sebagai salah satu sistem tubuh yang
kompleks. Diabetes Melitus sebagai salah satu gangguan sistem endokrin disebabkan oleh adanya
ketidakseimbangan antara persediaan dan kebutuhan insulin. Ada beberapa jenis DM, tetapi umumnya
hanya dua kategori yang dikenal yaitu Insulin Dependen Diabetes Melitus (IDDM, Tipe I) dan Non Insulin
Independent Diabetes Melitus) (NIDDM, Tipe II). Kemajuan ilmu dan teknologi telah memberikan
dampak positif dan negatif dalam kehidupan manusia. Salah satu dampak negatif tersebut adalah
meningkatnya jumlah klien dengan DM akibat perubahan pola hidup. Di USA, jumlah klien DM telah
meningkat tajam dimana terdapat 8 juta orang mengalami NIDDM, dan 1 juta orang mengalami IDDM
serta kemungkinan lebih dari 4 juta orang yang belum terdiagnosa (Golemon dan Gurin 1993). Menurut
Black dan Matassarin Jacob (1997) jumlah keseluruhan klien dengan DM adalah 114 juta, tetapi separuh
dari jumlah itu belum terdiagnosa. Peningkatan ini juga diyakini telah terjadi di Indonesia.
Perawat berada pada posisi tepat untuk terlibat dalam berbagai aspek pelayanan kesehatan
yang diberikan kepada klien DM. Perawat perlu berpartisipasi secara aktif dari sejak pengkajian sampai
dengan evaluasi tindakan. Oleh karena itu, peran tenaga keperawatan dalam memberikan keperawatan
pada klien ini menjadi sangat penting terutama setelah diagnosis ditegakkan agar komplikasi yang serius
tidak terjadi, seperti salah satu contoh gangguan saraf tepi dengan gejala berupa kesemutan, terutama
pada kaki di waktu malam sehingga mengganggu tidur, selain itu juga disertai gangguan penglihatan dan
kelainan kulit berupa gatal/bisul.
B. Tujuan Penulisan
1. Untuk memperdalam pengertian dan pengetahuan tentang proses keperawatan pada pasien dengan
DM.
2. Mengamati secara adekuat dan memberikan asuhan keperawatan secara holistik pada pasien dengan
DM.
3. Meningkatkan kemampuan perawat dalam menciptakan hubungan yang terapeutik dengan pasien dan
keluarga.
C. Metode Penulisan
Metode penulisan kasus ini, penulis melakukan pengamatan secara langsung terhadap pasien
yang meliputi: wawancara, observasi maupun catatan yang dilengkapi dengan studi kepustakaan yang
ada hubungannya dengan penyakit DM.
D. Sistematika Penulisan
Penulisan makalah ini diawali dengan kata pengantar dan daftar isi, kemudian dilanjutkan dengan
Bab I Pendahuluan yang berisikan latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan, sistematika
penulisan. Bab III Tinjauan teoritis yang terdiri dari konsep medik, yang terdiri dari definisi, klasifikasi,
anatomi fisiologi, etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala, pemeriksaan diagnostik, komplikasi dan
penatalaksanaan medik, konsep asuhan keperawatan terdiri atas: pengkajian, diagnosa, perencanaan,
discharge planning, patoflowdiagram. Bab III memuat pengamatan kasus, yang berisikan pengkajian,
diagnosa, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Bab IV Pembahasan kasus, Bab V Kesimpulan dan
diakhiri dengan daftar pustaka.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. KONSEP MEDIK
1. Definisi
Diabetes Melitus adalah merupakan penyakit metabolik kronik yang terjadi akibat kurangnya produksi
insulin dengan adanya kelainan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. (Medical Surgical Nursing,
Brunner and Suddarth, 1998).
Diabetes Melitus adalah sekumpulan penyakit genetik dan gangguan heterogen yang secara klinis
ditandai dengan ketidaknormalan dalam keseimbangan kadar glukosa yaitu hiperglikemia (Lewis, 2000,
hal. 1367).
Gangren Dingin (Frosbite) adalah trauma karena terpajan pada suhu pembekuan terhadap cairan dalam
sel jaringan dan ruang intraseluler yang menyebabkan kerusakan vaskular, bagian tubuh yang sering
terkena adalah kaki, tangan (Brunner and Suddarth, 2002, hal. 2483).
Gangren gas adalah adanya udara bebas dalam jaringan otot yang disebabkan oleh kuman clostridium
welchri yang menyebabkan nekrosis jaringan (Ilmu Bedah, Wim De Jong, ).
2. Klasifikasi
- Disebut juga Juvenile Diabetes, berkembang pada masa kanak-kanak dan sebelum usia 30 tahun.
- Memerlukan therapi insulin karena pankreas tidak dapat memproduksi insulin atau produksinya sangat
sedikit.
- Terjadi resistensi terhadap kerja insulin normal karena interaksi insulin dengan reseptor. Insulin pada sel
kurang efektif sehingga glukosa tidak dapat masuk sel dan berkurangnya produksi insulin relatif.
3. Anatomi Fisiologi
Pankreas merupakan salah satu bagian dari sistem endokrin, yang terletak di abdomen bagian
tengah, di bawah dan di belakang lambung, di depan vertebral lumbal pertama (L1), panjangnya kira-
kira 15 cm, lebar 5 cm mulai dari duodenum sampai limpa, berat 60-90 gr yang terdiri dari 3 bagian :
b. Badan pankreas merupakan bagian utama pankreas yang terletak di sebelah kiri yang sebenarnya
menyentuh limpa.
c. Ekor pankreas, bagian runcing yang terletak di sebelah kiri yang sebenarnya menyentuh limpa.
Fungsi pankreas :
1) Fungsi eksokrin : yang membentuk getah pankreas yang berisi enzim pencernaan : pepsin, tripsin dan
amilase.
b) Sel Beta : mensekresi insulin yang mengatur metabolisme karbohidrat, lemak dan protein dengan
meningkatkan permeabilitas sel, sehingga glukosa dapat masuk ke dalam sel.
4. Etiologi
DM Tipe I :
a. Faktor genetik
Terjadi pada individu yang memiliki HLA (Human Leukosit Antigen) yang merupakan kumpulan gen yang
bertanggung jawab atas transplantasi dan proses imun.
b. Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang menimbulkan destruksi sel beta. (Masih
dalam proses penelitian).
c. Faktor imunologi
Terdapat respon autoimun yang merupakan respon abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan
normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan yang dianggap seolah-olah sebagai jaringan asing.
DM Tipe II :
b. Faktor usia: resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 tahun.
c. Obesitas: berkaitan dengan resistensi insulin, maka kemungkinan besar terjadi gangguan toleransi
glukosa.
5. Patofisiologi
Insulin merupakan hormon yang diproduksi oleh sel beta di pulau langerhans. Insulin diproduksi
terus menerus sesuai tingkat kadar glukosa dalam darah. Pada penderita DM produksi insulin terganggu
atau tidak diproduksi. Defisiensi insulin mengakibatkan glukosa tidak dapat masuk sel melalui siklus
krebs dan akan mengakibatkan sel mengakomodasi protein dan lemak dari jaringan adipose untuk
dipakai sebagai sumber energi. Pemecahan ini akan menghasilkan zat sisa berupa urea dan keton
sehingga menimbulkan ketoasidosis.
Pada DM Tipe I (IDDM) adalah penyakit autoimun yang ditentukan secara genetik dan gejala yang
pada akhirnya menuju pada proses tahap kerusakan imunologik sel-sel yang memproduksi insulin, yaitu
kerusakan pada sel langerhans sehingga terjadi penurunan sekresi atau defisiensi insulin sehingga
metabolisme insulin menjadi terganggu. Bila sekresi insulin berkurang atau tidak ada, maka konsentrasi
glukosa dalam darah akan meningkat (hiperglikemia), keadaan hiperglikemia menyebabkan tekanan
extra sel meningkat, karena peningkatan tekanan ini sehingga cairan dari ekstrasel ditarik ke dalam
darah sehingga terjadi gangguan reabsorbsi pada ginjal sehingga kemampuan reabsorbsi melebihi batas
ambang ginjal dan akan tampak glukosuria akibat dari ginjal tidak dapat menyaring semua glukosa yang
keluar, ketika glukosa yang berlebihan diekskresikan ke dalam urin. Ekskresi ini akan disertai dengan
pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan (diuresis osmotik) sebagai akibat dari kehilangan
cairan yang berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus
(polidipsia). Pasien mengalami penurunan berat badan akibat defisiensi insulin menyebabkan gangguan
metabolisme protein dan lemak. Oleh karena menurunnya simpanan kalori pasien mengalami banyak
makan (polifagia). Dalam keadaan normal insulin mengendalikan glukogenolisis (pemecahan glukosa
yang disimpan) dan glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru) yang dapat menyebabkan
hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang akan mengakibatkan peningkatan
produksi keton dengan tanda dan gejala : nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, nafas bau
aseton, bila tidak ditangani dapat mengakibatkan penurunan kesadaran bahkan kematian. Pemecahan
lemak yang tidak sempurna akan menyebabkan peningkatan asam lemak bebas dan menimbulkan
aterosklerosis yang memvasokonstriksi pembuluh darah yang membuat tahanan perifer meningkat
akhirnya terjadi peningkatan tekanan darah. Aterosklerosis menyebabkan aliran darah ke seluruh tubuh
terganggu, pada organ ginjal akan terlihat adanya proteinuria, hipertensi mencetuskan hilangnya fungsi
ginjal dan terjadi insufisiensi ginjal. Pada organ mata terjadi pandangan kabur. Sirkulasi ekstremitas
bawah yang buruk mengakibatkan neuropati perifer dengan gejala antara lain : kesemutan, parastesia,
baal, penurunan sensitivitas terhadap panas dan dingin. Akibat lain dari gangguan sirkulasi ekstremitas
bawah yaitu lamanya penyembuhan luka karena kurangnya O2 dan ketidakmampuan fagositosis dari
leukosit yang mengakibatkan gangren. DM Tipe II (NIDDM) terjadi resistensi insulin dan gangguan
sirkulasi insulin yang secara normal akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai
akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu reaksi dalam metabolisme glukosa
dalam sel. Resistensi insulin pada tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel, dengan demikian
insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.
DM Tipe I :
a. Poliuria, polidipsia terjadi akibat konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat
menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin,
ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan yang disebut diuresis
osmotik.
b. Polifagia : akibat menurunnya simpanan kalori dan defisiensi insulin mengganggu metabolisme protein
dan lemak yang menyebabkan penurunan berat badan.
d. Nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, napas berbau aseton, perubahan kesadaran, koma
bahkan kematian yaitu akibat dari ketoasidosis, yang merupakan asam yang mengganggu keseimbangan
asam basa tubuh bila jumlahnya berlebihan.
DM Tipe II :
Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lama dan progresif maka DM Tipe II dapat berjalan tanpa
terdeteksi dengan gejala ringan seperti :
a. Kelelahan
b. Iritabilitas
c. Poliuria
d. Polidipsia
g. Infeksi vagina
7. Pemeriksaan Diagnostik
- HBAIC (Glucosated Haemoglobin AIC) meningkat yaitu terikatnya glukosa dengan Hb. (Normal : 3,8-8,4
mg/dl).
- Urinalisa : glukosuria dan keton uria.
8. Komplikasi
DM Tipe I
- DKA (Diabetik Ketoasidosis) : gangguan metabolik yang berat, ditandai dengan adanya hiperglikemia,
hiperosmolaritas dan asidosis metabolik terjadi akibat lipolisis yang hasil metabolisme akhirnya adalah
badan keton.
DM Tipe II :
Terjadi jika asupan cairan kurang dan dehidrasi, memungkinkan resiko terjadinya koma. Dehidrasi terjadi
akibat hiperglikemia, sehingga cairan intrasel berpindah dan ke ekstrasel. Juga karena diuresis osmotik
(konsentrasi glukosa darah melebihi ambang ginjal) dapat terjadi kehilangan cairan dan elektrolit dalam
jumlah yang besar.
a. Perubahan makrovaskuler
Penderita diabetes dapat mengakibatkan perubahan aterosklerosis pada arteri-arteri besar. Penderita
NIDDM mengalami perubahan makrovaskuler lebih sering daripada penderita IDDM. Insulin memainkan
peranan utama dalam metabolisme lemak dan lipid. Selain itu, diabetes dianggap memberikan peranan
sebagai faktor dalam timbulnya hipertensi yang dapat mempercepat aterosklerosis. Pengecilan lumen
pembuluh darah besar membahayakan pengiriman oksigen ke jaringan-jaringan dan dapat
menyebabkan ischemia jaringan, dengan akibatnya timbul berupa penyakit cerebro vascular, penyakit
arteri koroner, stenosis arteri renalis dan penyakit-penyakit vascular perifer.
b. Perubahan mikrovaskuler
Ditandai dengan penebalan dan kerusakan membran basal pembuluh kapiler, sering terjadi pada
penderita IDDM dan bertanggung jawab dalam terjadinya neuropati, retinopati diabetik.
1) Nefropati
Salah satu akibat dari perubahan mikrovaskuler adalah perubahan struktur dan fungsi ginjal. Empat jenis
lesi yang sering timbul adalah pyelonefritis, lesi-lesi glomerulus, arterisclerosis, lesi-lesi tubular yang
ditandai dengan adanya proteinuria yang meningkat secara bertahap sesuai dengan beratnya penyakit.
2) Neuropati
Diabetes dapat mempengaruhi saraf-saraf perifer, sistem syaraf otonom, medula spinalis atau sistim
saraf pusat.
Neuropati sensorik/neuropati perifer.
Lebih sering mengenai ekstremitas bawah dengan gejala parastesia (rasa tertusuk-tusuk, kesemutan
atau baal) dan rasa terbakar terutama pada malam hari, penurunan fungsi proprioseptif (kesadaran
terhadap postur serta gerakan tubuh dan terhadap posisi serta berat benda yang berhubungan dengan
tubuh) dan penurunan sensibilitas terhadap sentuhan ringan dapat menimbulkan gaya berjalan yang
terhuyung-huyung, penurunan sensibilitas nyeri dan suhu membuat penderita neuropati beresiko untuk
mengalami cedera dan infeksi pada kaki tanpa diketahui.
3) Retinopati diabetik
Disebabkan karena perubahan dalam pembuluh darah kecil pada retina selain retinopati, penderita
diabetes juga dapat mengalami pembentukan katarak yang diakibatkan hiperglikemi yang
berkepanjangan sehingga menyebabkan pembengkakan lensa dan kerusakan lensa.
a. Diet
Ditujukan pada pengaturan jumlah kalori dan KH yang dimakan setiap hari. Jumlah kalori yang
dianjurkan tergantung pada kebutuhan untuk mempertahankan mengurangi atau mencegah obesitas.
b. Latihan, berfungsi :
Jangan menggunakan sepatu yang sempit, karena luka sekecil apapun menimbulkan komplikasi yang
parah.
c. Obat
Bekerja dengan menstimulasi sel beta pankreas untuk melepaskan yang tersimpan.
2) Insulin
- Polifagia
- Polidipsi
- Mual, muntah
c. Pola eliminasi
- Poliuria
- Kurang olahraga
- Kram otot.
- Pusing/hipotensi.
- Nyeri abdomen.
- Pandangan kabur.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Hipoglikemi dan hiperglikemi berhubungan dengan tidak adekuatnya faktor insulin dan insulin yang
resisten.
b. Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan aliran daerah arterial.
g. Potensial terjadinya infeksi berhubungan dengan tingginya kadar gula dalam darah dan adanya luka post
operasi.
h. Resiko tinggi perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penurunan aliran darah serebral
yang disebabkan adanya aterosklerosis.
i. Resiko tinggi perubahan perfusi jaringan sistemik berhubungan dengan peningkatan tahanan perifer,
aterosklerosis.
3. Perencanaan Keperawatan
a. Hipoglikemi dan hiperglikemi berhubungan dengan tidak adekuatnya faktor insulin dan insulin yang
resisten.
- Kadar gula darah dalam batas normal : GDS < 140 mg/dl, Gula darah 2 jam PP < 200 mg/dl.
Intervensi :
Rasional : Untuk melihat atau indikasi terjadinya hipoglikemi bila makanan yang dihidangkan tidak habis.
3. Amati dan kaji tanda dan gejala hipo/hiperglikemi : pucat, keringat dingin, sakit kepala, gemetaran,
cenderung tidur,
Rasional : Reaksi insulin dapat terjadi secara tiba-tiba yaitu hipo/ hiperglikemi yang dapat berakibat fatal.
Rasional : Insulin meningkatkan pemasukan glukosa ke dalam sel dan menurunkan glukoneogenesis.
b. Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan aliran darah arterial.
Klien menunjukkan kesadaran tentang faktor-faktor keamanan/perawatan kaki yang tepat, permukaan
kulit utuh.
Intervensi :
1. Tinggikan kaki saat duduk di kursi, hindari periode penekanan yang lama pada kaki yang cedera.
2. Anjurkan pasien untuk menghindari baju atau kaos kaki yang ketat dan sepatu yang sempit.
Rasional : Gangguan sirkulasi dan penurunan sensasi nyeri dapat menyebabkan kerusakan jaringan.
3. Kaji tanda dehidrasi, pantau intake dan output cairan, anjurkan cairan peroral.
Rasional : Glukosuria dapat mengakibatkan dehidrasi yang menurunkan volume sirkulasi dan selanjutnya
mengakibatkan perubahan perfusi perifer.
Pengetahuan klien meningkat dalam waktu 1 hari dengan kriteria klien dapat menjelaskan kembali
tentang perawatan luka operasi, dan pencegahan-pencegahan yang harus dilakukan.
Intervensi :
1. Beri penjelasan dengan bahasa yang mudah dimengerti sesuai latar belakang pendidikan klien.
Tidak ada kemerahan di sekitar kulit, luka jahitan bersih dan tidak ada tanda-tanda infeksi.
Intervensi :
Rasional : Daerah operasi yang bersih dan kering mengurangi resiko infeksi sehingga mempercepat proses
penyembuhan luka.
Rasional : Mencegah infeksi silang dan mencegah transmisi infeksi bakterial pada luka operasi.
Nyeri berkurang dalam waktu 3 hari dengan kriteria ekspresi wajah tampak rileks, tidak kesakitan, klien
dapat beristirahat.
Intervensi :
1. Kaji keluhan dan karakteristik nyeri (intensitas dan lokasi) dan skala 0-10.
Klien tidak menunjukkan tanda-tanda dehidrasi ditandai dengan : mukosa lembab, TTV dalam batas
normal. TD. 120/80 mmHg, Sh. 36-37 oC.
Intervensi :
3. Kaji tanda-tanda hipovolemik glukosa darah kurang atau sama dengan 60 mg/dl.
Rasional : mendeteksi tanda hipoglikemia : pucat, takikardia, lapar, palpitasi, lemah, gemetar, pandangan kabur.
g. Potensial terjadinya infeksi berhubungan dengan tingginya kadar gula darah dengan adanya luka post
operasi.
Hasil Yang Diharapkan :
Intervensi :
Rasional : sirkulasi perifer bisa terjadi yang menempatkan klien pada resiko terjadinya kerusakan pada kulit dan
infeksi.
4. Discharge Planning
a. Memotivasi pasien untuk mematuhi diet yang sudah ditetapkan yakni rendah lemak, rendah glukosa,
tinggi serat sebagai cara efektif untuk mengendalikan lemak darah, gula darah dan kolesterol.
b. Menjelaskan tanda-tanda hipoglikemia (kadar gula darah turun) seperti mengantuk, bingung, lemas,
keringat dingin, mual, muntah.
c. Menjelaskan pentingnya merawat kaki dan mencegah luka seperti tidak memakai sepatu yang sempit,
harus memakai alas kaki, hindari kulit yang lembab.
- Anjurkan/jelaskan pada k lien dan keluarga untuk membersihkan kaki dengan sabun terutama di sela-
sela setiap jari.
- Potong kuku jari kaki mengikuti lekungan jari kaki, jangan memotong kuku berbentuk lurus pada tepinya
karena dapat menyebabkan tekanan pada jari-jari yang berdekatan.
- Hati-hati saat mengikir tepi kuku yang kasar untuk mencegah kerusakan kuku.
- Pakai kaos kaki yang terawat dari bahan yang berkualitas baik.
- Periksa sepatu setiap hari dari benda asing, bagian yang kasar.
PENGAMATAN KASUS
Pada pengamatan kasus, Tn. H, umur 70 tahun, agama Kristen, sudah menikah, dirawat di unit Lukas
P.K Sint Carolus, masuk tanggal 24-01-2005, dikirim oleh dokter praktek dengan diagnosa DM + Gangren
pada kaki kiri jari ke-3 dan 5, klien mengalami luka di kaki kiri sejak + 1 minggu sebelum masuk RS yang
menurut klien dikarenakan sewaktu musim banjir kemarin kakinya terkena air kotor dan klien merasa gatal-
gatal, yang tanpa disadari pada malam harinya sewaktu klien tidur kaki tersebut gatal dan klien
menggaruknya hingga lama kelamaan menjadi luka. Lalu klien berobat ke dokter praktek dan dianjurkan
untuk dirawat.
A. Pengkajian
Pada saat pengkajian klien dengan diagnosa medis post amputasi jari kaki kiri ke-3 dan 5 atas
indikasi DM + Gangren, klien menderita DM sejak + 3-4 tahun yang lalu, menurut pasien keluarganya
ada yang menderita DM yaitu neneknya. Selama klien didiagnosa DM, klien rajin kontrol ke dokter dan
mendapat therapi pengobatan yaitu Amaryl 1x1 mg sebelum makan pagi. Klien juga rajin kontrol ke
dokter tiap 1 bulan sekali, dan klien juga selalu memeriksa kadar gula darah tiap 1 minggu sekali di
rumah dengan menggunakan alatnya sendiri, sehingga menurut klien kadar gula darahnya selalu
terkontrol dan tidak pernah tinggi. Pasien juga mengeluh sering BAK pada malam hari. Pada saat
pengkajian tanggal 04-02-2005 pukul 08.30. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran
composmentis, terpasang infus Potacol 8 jam/kolf (15 tetes/menit) pada tangan kiri, klien bedrest
karena baru 1 hari post op dengan anestesi spinal, terpasang balutan dan ada rembesan sedikit pada
luka operasi. Hasil observasi tanda – tanda vital: TD : 150/90 mmHg, S : 370 C, N : 92 x/mnt, HR : 92
x/mnt, P : 18 x/mnt
Amaryl 1x1 mg AC
Panadol 3x1 tab
Fasorbid 3x5 mg
Tugesal 2x1
Pletaal 2x1
Biopres 1x8 mg
Tarivid 2x400 mg
Cedantron 3x8 mg
Hasil Arteriografi :
Aterosklerosis type pangkal a tibialis anterior, proximal, a peronea dan arcus pedis serta a. dorsalis
pedis, oklusi distal, a. dorsalis pedis sehingga tidak mengisi aa. digitalis 3-5 kolateral hampir tidak ada.
B. Diagnosa Keperawatan
Dari pengkajian di atas maka masalah keperawatan yang ditemukan yaitu :
C. Implementasi
Tindakan keperawatan yang diberikan berfokus pada masalah yaitu : memberikan penjelasan bila
duduk kaki ditinggikan, jangan melakukan penekanan yang lama pada kaki yang sakit, menjelaskan agar
memakai alas kaki dan jangan menggunakan alas kaki yang sempit, menjaga balutan agar tetap kering
dan bersih, menganjurkan agar minum obat secara teratur, kontrol gula darah dan check up ke dokter
secara rutin, mengajarkan tehnik relaksasi dan memberikan obat analgetik dan antibiotik.
D. Evaluasi
Setelah melakukan tindakan yang berhubungan dengan masalah klien mengatakan nyeri masih
ada dan sudah sedikit berkurang, rasa baal masih ada, klien mengerti dan dapat menjelaskan tentang
perawatan post operasi dan pencegahan yang harus dilakukan.
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
Selama melakukan pengamatan langsung pada Tn. H dengan diagnosa Diabetes Melitus +
Gangren Jari Kaki Kiri ke-3 dan 5 Post Amputasi di unit Lukas RS. Sint Carolus, penulis dapat
membandingkan antara kasus nyata dengan teori yang diterapkan dari pengkajian, pengangkatan
diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi keperawatan.
A. Pengkajian
Pada saat pengkajian penulis mendapatkan kesamaan penyebab dan gejala yang ditemukan pada
kasus ini adalah pasien dengan DM Tipe II dengan gejala pandangan kabur, rasa baal dan dingin pada
kaki, sering terbangun malam hari untuk BAK, merasa haus, luka sulit sembuh. Pasien menderita DM + 3-
4 tahun yang lalu.
B. Diagnosa Keperawatan
Masalah keperawatan yang ditemukan dan diangkat pada saat pengkajian sesuai dengan
diagnosa teori, yaitu :
C. Perencanaan Keperawatan
Perencanaan yang disusun pada kasus disesuaikan dengan keluhan-keluhan yang ada pada klien
yaitu perubahan perfusi jaringan perifer, kerusakan integritas kulit, ketidakefektifan, nyeri.
D. Implementasi
Perencanaan yang telah disusun sebagian besar sudah dilaksanakan diantaranya : mengobservasi
tanda-tanda vital, mengajarkan tehnik relaksasi, memberi penyuluhan tentang perawatan post operasi,
diet, pencegahan komplikasi, menjelaskan perawatan pentingnya kuku pendek.
E. Evaluasi
Saat pengkajian dan pelaksanaan klien cukup kooperatif dan atau bekerja sama dengan perawat :
saat evaluasi masalah nyeri sudah berkurang karena sudah mendapat therapi analgetik Tugesal 1 tab,
Bellatram 1 amp, pasien dapat menjelaskan kembali tentang penyakit DM, komplikasi, perawatan luka
dan diet yang harus dipatuhi.
BAB V
KESIMPULAN
Diabetes Melitus merupakan penyakit kronik yang mengakibatkan kurangnya produksi insulin
dengan adanya kelainan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Penyebab diabetes melitus
adalah antara lain genetik, obesitas, rusaknya sel beta langerhans, kurang aktivitas dan lingkungan. DM
terbagi atas DM Tipe I (IDDM) adalah dimana terjadi karena ketidakadekuatan insulin. DM Tipe II
(NIDDM) terjadi karena resisten insulin. Karakteristik gangguan metabolisme dalam tubuh adalah
peningkatan kadar glukosa dalam darah dengan tanda dan gejala yang sering yaitu poliphagia, polidipsia,
poliuria, kelelahan, dan bila ada luka sulit sembuh. Penyakit ini memiliki komplikasi yang serius, hal ini
dapat terjadi karena tidak terkontrol kadar gula darah dan kurangnya pengetahuan pasien dan keluarga
baik dalam pengobatan, diit maupun latihan.
Pada kasus Tn. H menderita DM Tipe II yaitu terjadi pada usia senja atau di atas usia 35 tahun dan
kurangnya aktifitas, Tn. H juga mengalami komplikasi dari DM yaitu pandangan kabur/katarak dan
gangren pada ekstremitas bawah (jari kaki kiri ke-3 dan ke-5). Tn. H menderita DM kurang lebih 3-4
tahun belakangan ini dan mendapat therapi Amaryl 1x1 mg pagi dan diminum secara rutin. Gangren
yang terjadi disebabkan karena setelah banjir 1 bulan yang lalu Tn. H merasa kaki gatal dan tanpa
disadari malam hari klien menggaruk kakinya sehingga menimbulkan luka. Prinsip utama dalam
pengobatan DM adalah mengikuti atau mematuhi diit yang dianjurkan, olahraga secara teratur sesuai
dengan usia dan pengobatan secara teratur. Oleh karena itu, sebagai perawat profesional diharapkan
mampu memotivasi, menambah pengetahuan pasien dan keluarga dalam hal-hal yang perlu
diperhatikan seperti di atas, sehingga komplikasi lebih lanjut dari DM dapat dicegah.
DAFTAR PUSTAKA
Black, Joyce M. M.S.N (1997). Medical Surgical Nursing : Clinical Management for Continuity of Care, (Fifth
Edition). Philadelphia : W.B. Saunders Company.
Brunner & Suddarth (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. (Edisi kedelapan). Jakarta : EGC.
Carpenito, Lynda Juall (2000). Diagnosa Keperawatan, (Edisi keenam). Jakarta : Penerbit EGC.
Ignatavicius, Donna D. (1991). Medical Surgical Nursing, A Nursing Process Approach W.B Saunders Company.
Luckman and Sorensens (1997). Medical Surgical Nursing, A Psychophysiology Approach. Fourth Edition. W.B.
Saunders.
Lewis, Sharon Mantik, R.N. FAAN (2000). Medical Surgical Nursing, (Fifth Edition), St. Louis, Missouri : Mosby
Inc.
Price, Sylvia Anderson, Ph.D, R.N (1995). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, (Edisi keempat),
Jakarta : EGC.
A. DEFINISI
Batu ginjal adalah batu yang terbentuk dan deposit mineral, umumnya
kalsium oksalat dan kalsium fosfat serta asam urat dan kristal-kristal lain yang
ditemukan sepanjang traktus urinarius.
B. ETIOLOGI
1. Faktor endogen: faktor genetik - famili pada hiperkalsium
2. Faktor eksogen: faktor lingkungan, pekerjaan, makanan, infeksi dan
kejenuhan, mineral dalam air minum
Teori terbentuknya batu
1. Teori inti matriks
Terbentuknya batu saluran kencing memerlukan adanya substansi
organik sebagai inti antara lain mukopolisakarida dan muhoprotein yang akan
mempermudah kristalisasi dan agregasi substansi pembentuk batu.
2. Teori super saturasi
Terjadinya kejenuhan substansi pembentukan batu dalam urin seperti
sistin, asam urat dan Ca. oksalat
3. Teori presipitasi
Perubahan pH pada urin akan mempengaruhi solubilitas substansi
dalam urin.
4. Teori berkurangnya faktor penghambat
Berkurangnya faktor penghambat seperti peptid fosfat, piropospat
Faktor eksogen yang mempengaruhi kalkuligenesis
1. Infeksi saluran kemih (ISK)
ISK dapat menyebabkan nekrosis jaringan ginjal dan akan menjadi inti
pembentukan batu saluran kencing.
20
2. Obstruksi dan statis urin
Obstruksi dan stasis urin akan mempermudah terjadinya infeksi
3. Jenis kelamin
Batu saluran kencing banyak terjadi pada pria
4. Ras
Banyak terjadi pada ras Afrika dan Asia
5. Air minum
Memperbanyak diuresis dengan cara banyak minum akan mengurangi
kemungkinan terbentuknya batu.
6. Pekerjaan
Kejadian meningkat pada orang yang bekerja lebih banyak duduk
C. MANIFESTASI KLINIK
Nyeri hebat di pinggang, mual, muntah, diaphoresis, cemas, hewaturi.
D. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Diagnosis batu saluran kencing dapat ditegakkan dengan beberapa cara,
yaitu:
1. Gambarkan klinis
2. Laboratorium
Pada pemeriksaan urine didapatkan hematuria, dan bila terjadi
obstruksi lama akan menyebabkan penurunan fungsi ginjal
3. Pielografi intravena
Dapat melihat besarnya batu, letaknya dan adanya tanda-tanda
obstruksi, terutama untuk batu yang tidak tembus sinar.
4. Sistoskopi
Dapat membantu pada keadaan yang meragukan di dalam bui-bui
5. Ultrasonografi
Dapat melihat bayangan batu baik di ginjal maupun di dalam bui-bui,
dan adanya tanda-tanda dostruksi urin
21
6. Pielografi retrograd
Dilakukan terutama pada jenis baru yang radiolusen
E. PENATALAKSANAAN MEDIK
Tujuan pengelolaan batu saluran kencing adalah:
1. Menghilangkan obstruksi
2. Mengobati infeksi
3. Menghilangkan rasa nyeri
4. Mencegah terjadinya gagal ginjal dan mengurangi kemungkinan terjadinya
rekurensi.
Untuk mencapai tujuan ini, langkah-langkah yang dapat diambil adalah:
1. Diagnosis yang tepat mengenai adanya batu, lokasi dan besarnya batu
2. Menentukan adanya akibat-akibat batu saluran kencing:
a. Rasa nyeri
b. Obstruksi disertai perubahan pada ginjal
c. Infeksi
d. Adanya gangguan fungsi ginjal
3. Menghilangkan obstruksi, infeksi dan rasa nyeri
4. Analisis batu
5. Mencari latar belakang terjadinya batu
6. Mengusahakan pencegahan terjadi rekurensi.
22
F. ANALISA DATA PRE OPERASI
NO DATA
PENYEBAB
MASALAH
KEPERAWATAN
1 DS:
- Klien mengatakan
nyeri di daerah
perut bagian
bawah tembus ke
belakang
DO:
- Klien tampak
meringis
- Klien tidak bisa
beristirahat
- Nyeri tekan pada
perut bagian
bawah
- Klien tampak
mengelus-elus
daerah perut
Konsentrasi Ca oksalat meningkat,
Ca fosfat menurun, asam urat
meningkat, absorbsi oksalat
berlebih, defisiensi sitrat, dehidrasi,
infeksi, statis urine, immolisasi,
terapi antasida, diamax, vit D,
laksatif (aspirin dosis tinggi)
↓
Batu ginjal
↓
Obstruksi
↓
Tekanan Hidrostatik meningkat
↓
Distensi pada piala ginjal serta
ureter proksimal
↓
Frekuensi/dorongan kontraksi
ureteral meningkat
↓
Trauma ginjal
↓
Pelepasan mediator nyeri
(bradikinin, serotonin, histamine)
↓
Saraf afferent NE
↓
Thalamus
↓
Saraf efferent
↓
Nyeri dipersepsikan
23
Nyeri
2 DS:
- Klien mengatakan
merasa susah
BAK, BAK tidak
lancar, sering BAK
terputus-putus
- Klien sering
merasa ingin BAK
tapi tidak bisa
keluar
DO:
- Distensi pada
abdomen bagian
bawah (daerah
sympisis)
- Hematuria
- Retensi urine
3 DS:
- Klien mengatakan
tidak tahu tentang
penyakitnya
karena munculnya
tiba-tiba, klien
tidak tahu
penyebabnya
sehingga klien
bertanya tentang
penyakitnya
DO:
- Klien tampak tidak
paham dengan
kondisi
penyakitnya
- Klien bertanya
tentang
penyakitnya
Batu ginjal
↓
Obstruksi
↓
Penurunan reabsorbsi dan sekresi
turbulen
↓
Gangguan fungsi ginjal
↓
Penurunan produksi urine
Kurang pengetahuan
G. ANALISA DATA POST OPERASI
NO DATA
1 DS:
- Klien mengatakan
nyeri pada daerah
bekas operasi
DO:
- Klien tampak gelisah
PENYEBAB
Batu ginjal
↓
Tindakan operasi
↓
Adanya luka insisi bedah
↓
MASALAH
KEPERAWATAN
Nyeri
2 DS:
- Klien mengatakan
merasa cemas dengan
kondisi/ keadaan
penyakitnya
DO:
- Klien tampak gelisah,
cemas
- Ekspresi wajah
nampak tegang
- Tanda-tanda vital
dalam keadaan
abnormal
3 DS : -
DO:
- Nampak adanya luka
operasi yang dibalut
dengan verband
- Terpasang infus
- Terpasang kateter
- Terpasang drain
Incontinuitas jaringan kulit
↓
Jaringan mengeluarkan zat kimia
(bradikinin, serotonin, histamin)
↓
Saraf afferent NE
↓
Thalamus
↓
Saraf efferent
↓
Dipersepsikan
Hospitalisasi
↓
Kurang informasi
↓
Stressor bagi klien
↓
Cemas
25
Ansietas
Risiko tinggi
terhadap infeksi
H. RENCANA PERAWATAN PRE OPERASI
RENCANA ASUHAN
NO
DIAGNOSA KEPERAWATAN
KEPERAWATAN (TUJUAN,
KRITERIA RENCANA TINDAKAN)
26
T : Nyeri berkurang/teratasi
K : - Klien mengatakan nyeri
berkurang/hilang
- Ekspresi wajah tampak rileks
- Klien dapat mengontrol nyeri
dengan melakukan teknik napas
dalam.
I : - Kaji intensitas nyeri, lokasi dan
karakteristik nyeri.
- Atur posisi yang nyaman bagi
klien
- Anjurkan klien untuk relaksasi
dengan menarik napas dalam
- Ukur/observasi TTV
- Kolaborasikan pemberian
analgetik
T : Gangguan eliminasi urine, retensi
urine berkurang/teratasi
K : - Klien dapat BAK spontan
- Produksi urine kembali normal
30- 50 cc /jam
- Kandung kemih kosong saat
dipalpasi
I : - Monitor pemasukan dan
pengeluaran cairan dan catat
karakteristik urine
DO:
- Hematuria
- Retensi urine
- Distensi pada abdomen bagian
bawah (daerah sympisis)
NO
DIAGNOSA KEPERAWATAN
KEPERAWATAN (TUJUAN,
KRITERIA RENCANA TINDAKAN)
28
T : Nyeri hilang/berkurang dalam
jangka waktu 3 hari perawatan
K : - Nyeri berkurang/hilang
- Klien tampak rileks
- Tanda-tanda vital dalam batas
normal
I : - Kaji tingkat nyeri, perhatikan
lokasi, intensitas (skala 0 - 10)
- Observasi tanda-tanda vital
- Berikan tindakan kenyamanan
seperti perubahan posisi
- Ajarkan teknik latihan napas
dalam, pedoman imajinasi
- Penatalaksanaan analgetik sesuai
indikasi
T : Ansietas teratasi dalam jangka
waktu 3 hari perawatan
K : - Cemas berkurang/hilang
- Klien nampak tenang
I : - Buat hubungan saling percaya
dengan klien/orang terdekat
- Berikan informasi tentang
penyakitnya dan teknik
pengobatannya
- Dorong pasien/orang terdekat
untuk menyatakan masalah/
- Tanda-tanda vital dalam keadaan
abnormal