Anda di halaman 1dari 35

Sejarah Pembentukan Pancasila sebagai Ideologi dan Dasar Negara

Sejarah Pembentukan Pancasila sebagai Ideologi dan Dasar Negara - Pancasila adalah
ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata dari Sanskerta: pañca
berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman
kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.

Ideologi dan dasar negara kita adalah Pancasila. Pancasila terdiri dari lima sila. Lima
sendi utama (Sila) penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan
yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia, dan tercantum pada paragraf ke 4 Preambule (Pembukaan) UUD1 945.

Pancasila Sebagai Sejarah

Sejarah pembentukan pancasila erat kaitannya dengan Perjuangan bersenjata bangsa


Indonesia dalam mengusir penjajah, dalam hal ini Belanda dan jepang.

Penjajahan Belanda usai pada 8 Maret 1942, Sejak itu Indonesia diduduki oleh Jepang.
Namun Jepang tidak lama melakukan pendudukan di Indonesia. Karena Sejak tahun
1944, tentara Jepang mulai kesulitan dalam menghadapi tentara Sekutu.

Untuk mendapat simpati bangsa Indonesia agar bersedia membantu Jepang dalam
melawan tentara Sekutu, Jepang memberikan janji kemerdekaan kepada rakyat indonesia.
Janji ini diucapkan pada tanggal 7 September 1944 oleh Perdana Menteri Kaiso.

Oleh karena terus menerus terdesak, maka pada tanggal 29 April 1945 Jepang
memberikan janji kemerdekaan yang kedua kepada bangsa Indonesia, yaitu janji
kemerdekaan tanpa syarat yang dituangkan dalam Maklumat Gunseikan (Pembesar
Tertinggi Sipil dari Pemerintah Militer Jepang di Jawa dan Madura)

Dalam maklumat tersebut juga dimuat dasar pembentukan Badan Penyelidik Usaha-
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tugas BPUPKI adalah menyelidiki
dan mengumpulkan usul-usul untuk selanjutnya diberikan kepada pemerintah Jepang
untuk dapat dipertimbangkan bagi kemerdekaan Indonesia.

Keanggotaan BPUPKI dilantik pada tanggal 28 Mei 1945, dan mengadakan sidang
pertama BPUPKI pada tanggal 29 Mei 1945 sampai 1 Juni 1945. Dalam sidang pertama
ini yang dibicarakan khusus mengenai calon dasar negara untuk bangsa Indonesia setelah
merdeka nanti. Pada sidang pertama Ir. Soekarno dan Muhammad Yamin mengusulkan
calon dasar negara untuk Indonesia merdeka.
Muhammad Yamin (29 Mei 1945)

Muhammad Yamin memberikan usul mengenai dasar negara secara lisan yang terdiri atas
lima hal, yaitu:

1. Peri Kebangsaan

2. Peri Kemanusiaan

3. Peri Ketuhanan

4. Peri Kerakyatan

5. Kesejahteraan Rakyat

Selain itu Muhammad Yamin juga memberikan usul secara tertulis yang juga terdiri dari
lima hal, yaitu:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

2. Persatuan Indonesia

3. Rasa Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab

4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan /


Perwakilan

5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Bung Karno (1 Juni 1945)

Pada Tanggal 1 Juni 1945 Bung Karno (Ir. Soekarno) di depan Badan Penyelidik Usaha-
usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mengusulkan calon dasar negara
yang terdiri dari lima asas, oleh bung karno kelima asas tersebut diberi nama Pancasila,
inilah awal terbentuknya dasar negara Pancasila, yang kemudian pada tanggal tersebut
dikenang sebagai hari lahirnya Pancasila. 1 Juni menjadi tanggal yang sangat penting,
karena di situlah Pancasila telah lahir, dan inilah hari lahir dasar negara Indonesia. berikut
kelima asas yang diusulkan Bung Karno sebagai calon dasar negara:

1. Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia)

2. Internasionalisme (Perikemanusiaan)

3. Mufakat atau Demokrasi

4. Kesejahteraan Sosial

5. Ketuhanan yang Berkebudayaan


Kelima hal tersebut oleh Bung Karno diberi nama Pancasila. Kemudian Bung Karno
mengemukakan bahwa kelima sila tersebut dapat diperas menjadi Trisila, yaitu:

1. Sosio nasionalisme

2. Sosio demokrasi

3. Ketuhanan

Berikutnya tiga hal tersebut menurutnya juga bisa diperas lagi menjadi Ekasila yaitu
Gotong Royong.

Pancasila Sebagai Ideologi

Selesai sidang 1 BPUPKI, pada tanggal 1 Juni 1945 para anggota BPUPKI sepakat untuk
membentuk sebuah panitia kecil yang tugasnya adalah menampung usul yang masuk dan
memeriksanya serta melaporkan dalam sidang pleno BPUPKI. Tiap-tiap anggota diberi
kesempatan mengajukan usul secara tertulis paling lambat sampai dengan tanggal 20 Juni
1945. Adapun anggota panitia kecil ini terdiri dari 8 orang, yaitu:

Mr. Muh. Yamin


Ir. Soekarno
K.H. Wachid Hasjim
Ki Bagus Hadikusumo
M. Sutardjo Kartohadikusumo
R. Otto Iskandar Dinata
Mr. A.A. Maramis
Drs. Muh. Hatta

Kemudian Pada tanggal 22 Juni 1945 diadakan rapat gabungan antara Panitia Kecil,
dengan para anggota BPUPKI yang berada (berasal) di Jakarta. Hasil yang dapat dicapai
antara lain adalah dibentuknya sebuah Panitia Kecil Penyelidik Usul-Usul / Perumus
Dasar Negara, yang terdiri atas sembilan orang, yaitu:

Mr. Muh. Yamin


Ir. Soekarno
Mr. A.A. Maramis
Drs. Muh. Hatta
K.H. Wachid Hasyim
Mr. Ahmad Subardjo
Abikusno Tjokrosujoso
Abdul Kahar Muzakkir
H. Agus Salim

Panitia Kecil yang beranggotakan 9 orang ini pada tanggal tersebut juga melanjutkan
sidang dan berhasil merumuskan calon Mukadimah Hukum Dasar, yang kemudian lebih
dikenal dengan sebutan “Piagam Jakarta”.
Dalam sidang BPUPKI kedua, tanggal 10-14 juli 1945, Agenda sidang BPUPKI kali ini
membahas tentang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kewarganegaraan
Indonesia, rancangan Undang-Undang Dasar, ekonomi dan keuangan, pembelaan negara,
serta pendidengajaran. Pada persidangan BPUPKI yang kedua ini, anggota BPUPKI
dibagi-bagi dalam panitia-panitia kecil. Panitia-panitia kecil yang terbentuk itu antara lain
adalah: Panitia Pembelaan Tanah Air (diketuai oleh Raden Abikusno
Tjokrosoejoso), Panitia Perancang Undang-Undang Dasar (diketuai oleh Ir.
Soekarno) dan Panitia Ekonomi dan Keuangan (diketuai oleh Drs. Mohammad
Hatta).

Kemudian Pada tanggal 7 Agustus dibentuk PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan


Indonesia) yang menggantikan BPUPKI. Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah
tanpa syarat kepada Sekutu, dan sejak saat itu Indonesia kosong dari kekuasaan. Keadaan
tersebut dimanfaatkan oleh para pemimpin bangsa Indonesia, yaitu dengan
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945. Sehari
setelah proklamasi kemerdekaan PPKI menggelar sidang, dengan acara utama memilih
Presiden dan Wakil Presiden dan mengesahkan rancangan Hukum Dasar dengan
preambulnya (Pembukaannya).

Untuk pengesahan Pembukaan (Preambul), terjadi proses yang cukup panjang. Sebelum
mengesahkan Preambul (pembukaan), Bung Hatta terlebih dahulu mengemukakan bahwa
pada tanggal 17 Agustus 1945 sore hari, sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan, ada
utusan dari Indonesia bagian Timur yang menemuinya.

Inti dari pertemuan tersebut adalah, rakyat Indonesia bagian Timur mengusulkan agar
pada alinea keempat preambul, di belakang kata "ketuhanan" yang berbunyi "dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dihapus. Jika tidak
maka rakyat Indonesia bagian Timur lebih baik memisahkan diri dari Indonesia yang baru
saja diproklamasikan, hal tersebut karena mayoritas penduduk di indonesia bagian timur
beragama non-muslim.

Usul kemudian disampaikan oleh Muh. Hatta pada sidang pleno PPKI, khususnya kepada
para anggota tokoh-tokoh Islam, antara lain kepada KH. Wakhid Hasyim, Ki Bagus
Hadikusumo dan Teuku Muh. Hasan. Muh. Hatta kemudian berusaha meyakinkan tokoh
Islam, demi persatuan dan kesatuan bangsa indonesia.

Setelah dilakukan Musyarah dan Mufakat serta Oleh karena pendekatan yang intens dan
demi persatuan dan kesatuan, akhirnya dihapuslah kata "dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" di belakang kata Ketuhanan dan diganti dengan
"Yang Maha Esa".

Sejarah Pembentukan (Lahirnya) UUD 1945

UUD 1945 diresmikan menjadi undang-undang dasar negara oleh PPKI (Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 18-Agustus-1945. Namun Sejak 27 Desember
1949, di Indonesia berlaku Konstitusi RIS, dan sejak tanggal 17 Agustus 1950 di
Indonesia berlaku UUDS 1950. Kemudian pada Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kembali
memberlakukan UUD 1945, dengan dikukuhkan secara aklamasi oleh DPR pada tanggal
22 Juli 1959.

Pada periode 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali amendemen (perubahan), yang
mengubah susunan lembaga-lembaga dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.
berikut Sejarah Lahirnya UUD 1945 Negara Republik Indonesia secara lengkap
berdasarkan pembagian / periodesasi waktu terjadinya:

Sejarah Lahirnya UUD 1945 Negara Republik Indonesia

BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dibentuk pada


tanggal 29 April 1945 badan ini merupakan badan yang merancang konstitusi 1945.
Selama sesi pertama yang berlangsung pada 28 Mei - 1 Juni 1945, Pada saat itu Bung
Karno menyampaikan gagasan "Dasar Negara", yang ia beri nama Pancasila.

Pada tanggal 22 Juni 1945, 38 anggota BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang
terdiri dari 9 orang untuk merancang Piagam Jakarta yang akan menjadi naskah
Pembukaan UUD 1945. Setelah dihapusnya kata "dengan kewajiban menjalankan syariah
Islam bagi pemeluk-pemeluknya" kemudian naskah Piagam Jakarta dijadikan naskah
Pembukaan UUD 1945 yang kemudian diresmikan pada 18-Agustus-1945 oleh PPKI
(Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Pengesahan UUD 1945 ditetapkan oleh
KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) pada sidangnya tanggal 29 Agustus 1945.

Kemudian Naskah rancangan UUD 1945 dibuat pada saat Sidang Ke-2 BPUPKI tanggal
10-17 Juli 1945. dan Tanggal 18-Agustus-1945, PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.

Periode Diberlakukannya UUD 1945 (18-Agustus-1945 sampai 27-Desember-1949)

Dalam Periode 1945-1950, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena
Indonesia saat itu disibukkan oleh perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Kemudian
pada Maklumat Wakil Presiden Nomor X tanggal 16-Oktober-1945 mengatakan
bahwa kekuasaan legislatif diserahkan kepada KNIP, karena saat itu DPR dan MPR
belum terbentuk. Selanjutnya Pada 14-November-1945 dibentuk Kabinet Semi
Presidensial (Semi Parlementer) yang pertama, dimana peristiwa tersebut adalah
perubahan pertama dari sistem pemerintahan Indonesia terhadap UUD 1945.

Kabinet pada Periode 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949 sering terjadi
perubahan. Kabinet RI yang pertama terdiri dari 4 menteri negara dan 12 menteri
memimpin departemen. Namun kabinet ini dipimpin oleh Bung Karno.

Kemudian Dalam kehidupan negara demokratis terbentuk banyak partai politik di


Indonesia. Sehingga dikeluarkan maklumat Pemerintah. kemudian kabinet berubah
menjadi kabinet parlementer. Perubahan kabinet ini dimaksud agar bangsa Indonesia
mendapat dukungan dari negara barat yang menganut paham demokrassi dan kabinet
parlementer (Sutan Syahrir menjadi Perdana Mentri I di Indonesia).

Periode Diberlakukanya Konstitusi RIS 1949 (27-Desember-1949 sampai 17-


Agustus-1950)

Pada saat itu pemerintah Indonesia menganut sistem parlementer. Bentuk pemerintahan
dan bentuk negara yaitu federasi negara yang terdiri dari negara-negara yang masing-
masing negara mempunyai kedaulatan sendiri untuk mengelola urusan internal. Ini
merupakan perubahan dari tahun 1945 yang mengamanatkan bahwa Indonesia merupakan
negara kesatuan.

Periode Diberlakukanya UUDS 1950 (17-Agustus-1950 sampai 5-Juli-1959)

Pada periode UUDS 1950 diberlakukan sistem Demokrasi Parlementer yang lebih dikenal
Demokrasi Liberal. Pada periode ini kabinet sering dilakukan pergantian, akibatnya
pembangunan tidak berjalan lancar, hal tersebut lantaran tiap partai lebih mengutamakan
kepentingan golongan atau partanyai. Setelah memberlakukan UUDS 1950 dan sistem
Demokrasi Liberal selama hampir 9 tahun, kemudian rakyat Indonesia sadar bahwa
UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak sesuai, hal tersebut karena tidak
cocok dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945 yang sesungguhnya.

Periode Diberlakukanya kembali UUD 1945 (5-Juli-1959 sampai 1966)

Karena situasi politik di Majelis Konstituante pada tahun 1959 yang panas dan banyak
kepentingan partai saling tarik ulur politik sehingga gagal menghasilkan sebuah konstitusi
baru, kemudian pada 5-Juli-1959, Bung Karno mengeluarkan Keputusan Presiden yang
satu itu memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai konstitusi, menggantikan Sementara
UUDS 1950 yang berlaku pada saat itu.

Pada saat itu, ada berbagai penyimpangan 1945, termasuk:

Presiden menunjuk Ketua dan Wakil Ketua DPR/MPR dan Mahkamah Agung
serta Wakil Ketua DPA sebagai Menteri Negara

MPRS menetapkan Bung Karno menjadi presiden seumur hidup.

Periode UUD 1945 masa Orde Baru (11-Maret-1966 sampai 21-Mei-1998)

Selama Orde Baru (1966-1998), Pemerintah berjanji akan melaksanakan UUD 1945 dan
Pancasila secara konsekuen dan murni. Akibatnya Selama Orde Baru, UUD 1945 menjadi
sangat “sakral”, di antara melalui sejumlah aturan:

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang referendum, yang merupakan


implementasi Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983.
Keputusan No. IV / MPR / 1983 mengenai Referendum yang antara lain
menyatakan bahwa seandainya MPR berkeinginan mengubah UUD 1945, terlebih
dahulu harus meminta masukan dari rakyat dengan mengadakan referendum.

Keputusan No. I / MPR / 1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan


untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan
amandemen terhadapnya

Masa (21-Mei-1998 sampai 19-Oktober-1999)

Pada masa ini dikenal masa transisi. Yaitu masa sejak Presiden Soeharto digantikan oleh
B.J.Habibie sampai dengan lepasnya Provinsi Timor Timur (Sekarang Timor Leste) dari
NKRI.

Periode Perubahan UUD 1945 (sampai Sekarang)

Salah satu permintaan Reformasi pada tahun 98 adalah adanya amendemen atau
perubahan terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan amandemen UUD 1945 antara
lain karena pada zaman Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (namun pada
nyataannya tidak di tangan rakyat), tetapi kekuasaan yang sangat besar malah ada pada
Presiden, hal tersebut karena adanya pasal-pasal yang terlalu "luwes" (yang dapat
menimbulkan multitafsir), dan kenyataan rumusan UUD 1945 mengenai semangat
penyelenggara negara yang belum didukung cukup ketentuan konstitusi.

Tujuan amandemen UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti
kedaulatan rakyat, tatanan negara, pembagian kekuasaan, HAM, eksistensi negara
demokrasi dan negara hukum, dll yang sesuai dengan perkembangan kebutuhan dan
aspirasi bangsa. Amandemen UUD 1945 mempunyai kesepakatan yaitu tidak merubah
Pembukaan UUD 1945, dan tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), juga memperjelas sistem pemerintahan presidensial.

Dalam periode 1999-2002, terjadi 4 kali amendemen UUD 1945 yang ditetapkan dalam
Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR yaitu:

Pada Sidang Umum MPR 1999, 14-21 Oktober 1999, Amandemen Pertama.

Pada Sidang Tahunan MPR 2000, 7-18 Agustus 2000, Amandemen Kedua.

Pada Sidang Tahunan MPR 2001, 1-9 November 2001, Amandemen Ketiga.

Pada Sidang Tahunan MPR 2002, 1-11 Agustus 2002, Amandemen Keempat.

HASIL AMANDEMEN UUD 1945

Amandemen Pertama
Perubahan ini meliputi 9 pasal, 16 ayat yang Ditetapkan pada tanggal 19-Oktober-1999,
yaitu:

Pasal 7: Tentang Pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden

Pasal 13 ayat 2 dan 3: Tentang Penempatan dan Pengangkatan Duta

Pasal 5 ayat 1: Tentang Hak Presiden untuk mengajukan RUU kepada DPR

Pasal 14 ayat 1: Tentang Pemberian Grasi dan Rehabilitasi

Pasal 15: Tentang Pemberian tanda jasa, gelar, serta kehormatan lain

Pasal 9 ayat 1 dan 2: Tentang Sumpah Presiden dan Wakil Presiden

Pasal 21: Tentang Hak DPR untuk mengajukan RUU

Pasal 14 ayat 2: Tentang Pemberian abolisi dan amnesty

Pasal 20 ayat 1-4: Tentang DPR

Pasal 17 ayat 2 dan 3: Tentang Pengangkatan Menteri

Amandemen Kedua

Perubahan ini tersebar dalam 7 Bab yang Ditetapkan tanggal 18-Agustus-2000, yaitu:

Bab IX A: Tentang Wilayah Negara

Bab VI: Tentang Pemerintahan Daerah

Bab XA: Tentang Hak Asasi Manusia (HAM)

Bab VII: Tentang Dewan Perwakilan Daerah (DPR)

Bab XV: Tentang Bahasa, Bendera, Lagu Kebangsaan dan Lambang Negara

Bab X: Tentang Penduduk dan Warga Negara

Bab XII: Tentang Pertahanan dan Keamanan

Amandemen Ketiga

Perubahan ini tersebar dalam 7 Bab yang Ditetapkan tanggal 9-November-2001, yaitu:

Bab II: Tentang MPR

Bab I: Tentang Bentuk dan Kedaulatan


Bab VIII A: Tentang BPK (Badan Pemeriksa keuangan)

Bab III: Tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara

Bab VII A: Tentang DPR

Bab V: Tentang Kementrian Negara

Bab VII B: Tentang Pemilihan Umum

Amandemen Keempat

Perubahan ini meliputi 19 pasal yang terdiri dari 31 butir ketentuan serta 1 butir yang
dihapuskan. yang Ditetapkan pada tanggal 10-Agustus-2002. Pada Amandemen keempat
ini ditetapkan bahwa:

UUD 1945 sebagaimana telah diubah merupakan UUD 1945 yang ditetapkan pada 18-
Agustus-1945 dan diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Perubahan tersebut diputuskan pada rapat Paripurna MPR RI ke-9 tanggal 18-Agustus-
2000 pada Sidang Tahunan MPR RI dan mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
pengubahan substansi pasal 16 serta penempatannya ke dalam Bab III tentang
"Kekuasaan Pemerintahan Negara". dan Bab IV tentang "Dewan Pertimbangan Agung"
dihapus.

Naskah Undang-Undang Dasar 1945

Sebelum amandemen, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh (16 bab, 37
pasal, 65 ayat (16 ayat berasal dari 16 pasal yang hanya terdiri dari 1 ayat dan 49 ayat
berasal dari 21 pasal yang terdiri dari 2 ayat atau lebih), 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2
ayat Aturan Tambahan), serta Penjelasan.

Setelah dilakukan 4 kali amandemen, UUD 1945 memiliki 16 bab, 37 pasal, 194 ayat, 3
pasal Aturan Peralihan, serta 2 pasal Aturan Tambahan.
Sejarah Pelaksanaan Pemilu di Indonesia dari Masa ke Masa (1955-2014)

Indonesia telah menyelenggarakan 11 kali pemilihan umum. Khususnya untuk pemilihan


anggota parlemen (baik pusat maupun daerah) digunakan jenis Proporsional, yang kadang
berbeda dari satu pemilu ke pemilu lain. Perbedaan ini akibat sejumlah faktor yang
mempengaruhi seperti jumlah penduduk, jumlah partai politik, trend kepentingan partai
saat itu, dan juga jenis sistem politik yang tengah berlangsung.

Sistem pemilu di Indonesia tidak terlepas dari fungsi rekrutmen dalam sistem politik.
Mengenai sistem pemilu, Norris mengatakan bahwa rekrutmen seorang kandidat oleh
partai politik tergantung pada sistem pemilu yang berkembang di sebuah negara. Di
Indonesia, pemilihan legislatif (DPR, DPRD I, dan DPRD II) memakai sistem
proporsional dengan daftar terbuka. Lewat sistem semacam ini, partai-partai politik
cenderung mencari kandidat yang populer sehingga punya elektabilitas yang tinggi di
mata para pemilih. Hal ini pula yang mendorong banyak artis (penyanyi, lawak, sinetron)
yang tergiur untuk bergabung ke dalam sebuah partai politik. Daftar terbuka
memungkinkan seorang kandidat mendapat contrengan lebih banyak ketimbang calon
lainnya dalam partai yang sama. Bagi partai politik, populernya seorang caleg membuat
pilihan pemilih terfokus kepada partainya ketimbang kepada partai-partai politik lain.

Di Indonesia pula, undang-undang pemilu yang terakhir mensyaratkan seluruh parpol


menyertakan minimal 30% kandidat perempuan. Hal ini membuka kemungkinan yang
lebih besar bagi perempuan untuk menjadi legislator. Namun, di sisi lain partai politik
sangat selektif terhadap caleg perempuan: Hanya caleg perempuan yang memenuhi
kriteria tertentu (akademik, populer, cantik) yang benar-benar masuk ke dalam 30%
kandidat partai mereka. Sehingga tingkat persaingan antar caleg perempuan juga besar
seperti antar caleg laki-laki.

Untuk mempersingkat wakti, berikut ini langsung saja akan kami paparkan tentang
sejarah perjalanan pemilihan umum di Indonesia dari waktu ke waktu serta hasil
pelaksanaannya :

Sejarah Pelaksanaan Pemilu 1955

Pemilu 1955 adalah pemilihan umum pertama yang diadakan oleh Republik Indonesia.
Pemilu ini merupakan reaksi atas Maklumat Nomor X/1945 tanggal 3 Nopember 1945
dari Wakil Presiden Moh. Hatta, yang menginstruksikan pendirian partai-partai politik di
Indonesia. Pemilu pun (menurut Maklumat) harus diadakan secepat mungkin. Namun,
akibat belum siapnya aturan perundangan dan logistik (juga ricuhnya politik dalam negeri
seperti pemberontakan), Pemilu tersebut baru diadakan tahun 1955 dari awalnya
direncanakan Januari 1946.

Landasan hukum Pemilu 1955 adalah Undan-undang Nomor 7 tahun 1953 yang
diundangkan 4 April 1953. Dalam UU tersebut, Pemilu 1955 bertujuan memilih anggota
bikameral, Anggota DPR dan Konstituante (seperti MPR). Sistem yang digunakan adalah
proporsional. Menurut UU nomor 7 tahun 1953 tersebut, terdapat perbedaan sistem
bilangan pembagi pemilih (BPP) untuk anggota konstituante dan anggota parlemen.
Perbedaan-perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:

Jumlah anggota konstituante adalah hasil bagi antara total jumlah penduduk
Indonesia dengan 150.000 dibulatkan ke atas.

Jumlah anggota konstituante di masing-masing daerah pemilihan adalah hasil bagi


antara total penduduk WNI di masing-masing wilayah tersebut dengan 150.000.
Jumlah anggota konstituante di masing-masing daerah pemilihan adalah bilangan
bulat hasil pembagian tersebut, seandainya kurang dari 6, dibulatkan menjadi 6.
Sisa jumlah anggota konstituante dibagikan antara daerah-daerah pemilihan
lainnya, seimbang dengan jumlah penduduk warganegara masing-masing;

Seandainya dengan cara poin ke dua di atas belum mencapai jumlah anggota
konstituante seperti di poin ke satu, kekurangan anggota dibagikan antara daerah-
daerah pemilihan yang mendapat jumlah anggota tersedikit, masing-masing 1,
kecuali daerah pemilihan yang telah mendapat jaminan 6 kursi itu

Penetapan jumlah anggota DPR seluruh Indonesia adalah total jumlah penduduk
Indonesia dibagi 300.000 dan dibulatkan ke atas.

Jumlah anggota DPR di masing-masing daerah pemilihan adalah hasil bagi antara
total penduduk WNI di masing-masing wilayah tersebut dengan 300.000. Jumlah
anggota DPR di masing-masing daerah pemilihan adalah bilangan bulat hasil
pembagian tersebut, Seandainya kurang dari 3, dibulatkan menjadi 3. Sisa jumlah
anggota DPR dibagikan antara daerah-daerah pemilihan lainnya, seimbang dengan
jumlah penduduk warganegara masing-masing.

Seandainya dengan cara poin ke lima di atas belum mencapai jumlah anggota DPR
seperti di poin ke empat, kekurangan anggota dibagikan antara daerah-daerah pemilihan
yang memperoleh jumlah anggota tersedikit, masing-masing 1, kecuali daerah pemilihan
yang telah mendapat jaminan 3 kursi itu.

Terdapat dua putaran pada pemilu 1955. Pertama untuk memilih anggota DPR pada
tanggal 29 September 1955. Kedua untuk memilih anggota Konstituante pada tanggal 15
Desember 1955. Pemilu untuk memilih anggota DPR diikuti 118 parpol atau gabungan
atau perseorangan dengan total suara 43.104.464 dengan 37.785.299 suara sah. Sementara
itu, untuk pemilihan anggota Konstituante, jumlah suara sah meningkat menjadi
37.837.105 suara.

Sejarah Pelaksanaan Pemilu 1971

Pemilu tahun 2971 merupakan Pemilu pertama pada masa pemerintahan Orde Baru.
Pemilu ini dilaksanakan tanggal 3 juli 1971 dengan menggunakan sistem gabungan.
Landasan operasional Pemilu tahun 1971 adalah Ketetapan MPRS Nomor. XLII /
MPRS/1968 (Perubahan dari Ketetapan MPRS Nomor XI/MPRS/1966), Undang Undang
Nomor 15 tahun 1969 tentang Pemilu dan Undang Undang Nomor 16 tahun 1969 tentang
Susunan Dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.

Pemilu 1971 ditujukan untuk memilih anggota DPR. Pemilu tahun 1971 menghasilkan
Golkar, NU, Parmusi, PNI, dan PSII Sebagai partai peraih suara terbanyak. Pemilu tahun
1971 sendiri dilaksanakan tanggal 3 Juli 1971. Pemilu ditujukan memilih 460 anggota
DPR dimana 360 dilakukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat sementara 100 orang
diangkat dari kalangan angkatan bersenjata dan golongan fungsional oleh Presiden.

Untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD digunakan sistem perwakilan berimbang
(proporsional) dengan stelsel daftar. Pemilu diadakan di 26 provinsi Indonesia. Rakyat
pemilih mencoblos tanda gambar partai. Untuk memilih anggota DPR daerah
pemilihannya adalah Daerah Tingkat I (provinsi) dan sekurang-kurangnya 400.000
penduduk memiliki satu orang wakil dengan memperhatikan bahwa setiap provinsi
minimal memiliki wakil minimal sejumlah daerah tingkat II (kabupaten/kota) di
wilayahnya. Setiap daerah tingkat II minimal punya satu orang wakil.

Dalam Pemilu 1971, total pemilih terdaftar sebesar 58.179.245 orang dengan suara sah
mencapai 54.699.509 atau 94% total suara. Dari total 460 orang anggota parlemen yang
diangkat presiden, 75 orang berasal dari angkatan bersenjata sementara 25 dari golongan
fungsional seperti tani, nelayan, agama, dan sejenisnya. Dari ke-25 anggota golongan
fungsional kemudian bergabung dengan Sekber Golkar sehingga kursi Golkar meroket
hingga ke angka 257 (dari 232 ditambah 25). Dari 460 orang anggota parlemen, jumlah
anggota berjenis kelamin laki-laki 426 dan perempuan 34 orang.

Sejarah Pelaksanaan Pemilu 1977

Dasar hukum Pemilu 1977 adalah Undang-undang No. 4 Tahun 1975. Pemilu ini
diadakan setelah fusi partai politik dilakukan pada tahun 1973. Sistem yang digunakan
pada pemilu 1977 serupa dengan pada pemilu 1971 yaitu sistem proporsional dengan
daftar tertutup. Pemilu 1977 diadakan secara serentak tanggal 2 Mei 1977. Pemilu 1977
ditujukan guna memiliki parlemen unicameral yaitu DPR di mana 360 orang dipilih lewat
pemilu ini sementara 100 orang lainnya diangkat oleh Presiden Suharto.

Persyaratan untuk ikut serta sebagai pemilih adalah berusia sekurangnya 17 tahun atau
pernah menikah, kecuali mereka yang menderita kegilaan, eks PKI ataupun organisasi
yang berkorelasi dengannya, juga narapidana yang terkena pidana kurung minimal 5
tahun tidak diperbolehkan ikut serta. Sementara itu, kandidat yang boleh mencalonkan
diri sekurang berusia 21 tahun, lancar berbahasa Indonesia, mampu baca-tulis latin,
sekurangnya lulusan SMA atau sederajat, serta loyal kepada Pancasila sebagai ideologi
negara. Voting dilakukan di 26 provinsi dengan sistem proporsional daftar partai (party
list system).
Jumlah pemilih yang terdaftar 70.662.155 orang sementara yang menggunakan hak
pilihnya 63.998.344 orang atau meliputi 90,56%. Sekber Golkar mendapat suara
39.750.096 (62,11%) dan memperoleh 232 kursi. PPP mendapat suara 18.743.491
(29,29%) dan memperoleh 99 kursi. PDI mendapat 5.504.757 suara (8,60%) dan
memperoleh 29 kursi. Sementara itu, kursi jatah ABRI adalah 75 kursi dan golongan
fungsional 25 kursi. Golongan fungsional lalu menggabungkan diri ke dalam sekber
Golkar sehingga kursi untuk Golkar bertambah menjadi 257 kursi. Anggota parlemen
laki-laki 426 orang sementara perempuan 34 orang (7,40%).

Sejarah Pelaksanaan Pemilu 1982

Pemilihan umum tahun 1982 dilakukan berdasarkan Undang-undang No. 2 tahun 1980.
Pemilu 1982 diadakan tanggal 4 Mei 1982. Tujuannya sama seperti Pemilu 1977 di mana
hendak memilih anggota DPR (parlemen). Hanya saja, komposisinya sedikit berbeda.
Sebanyak 364 anggota dipilih langsung oleh rakyat, sementara 96 orang diangkat oleh
presiden. Voting dilakukan di 27 daerah pemilihan berdasarkan sistem Proporsional
dengan Daftar Partai (Party-List System). Partai mendapatkan kursi berdasarkan
pembagian total suara yang didapat di masing-masing wilayah pemilihan dibagi electoral
quotient di masing-masing wilayah.

Jumlah total pemilih yang terdaftar dalam pemilu 1982 adalah 82.132.263 orang dengan
jumlah suara sah mencapai 74.930.875 atau 91,23%. Golkar mendapat 48.334.724 suara
(58,44%) sehingga berhak untuk mendapat 246 kursi parlemen. PPP mendapat
20.871.880 suara (25,54%) sehingga berhak untuk mendapat 94 kursi parlemen. PDI
mendapat 5.919.702 suara (7,24%) sehingga berhak mendapat 24 kursi parlemen.

Sedangkan anggota DPR yang diangkat Presiden Suharto berasal dari ABRI sejumlah 75
orang dan golongan fungsional sebanyak 21 orang. Golongan fungsional lalu bergabung
dengan Golkar sehingga kursi parlemen Golkar naik menjadi 267 kursi dan menjadi
sangat dominan. Dari 360 anggota parlemen, yang berjenis kelamin laki-laki sejumlah
422 dan perempuan 38 orang.

Sejarah Pelaksanaan Pemilu 1987

Pemilu 1987 dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Republik Indonesia pada
tanggal 23 April 1987 dengan menggunakan sistem Proporsional dengan varian Party-
List. Landasan operasional Pemilu tahun 1987 adalah Ketetapan MPR Nomor
III/MPR/1983, Undang - Undang Nomor 1 tahun 1985 dan Keputusan Presiden Nomor
70 tahun 1985.

Peserta Pemilu tahun 1987 sama dengan Pemilu 1982. Sebelum Pemilu 1987
dilaksanakan, pemerintah melalui Undang - Undang Nomor 3 tahun 1985 tentang Partai
Politik dan Golkar menetapkan bahwa Pancasila menjadi satu - satunya asas bagi setiap
partai politik dan Golkar, sehingga Partai Persatuan Pembangunan yang semula
berlambang Ka’bah diganti dengan lambang Bintang.
Tujuan pemilihan sama dengan pemilu sebelumnya yaitu memilih anggota parlemen atau
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Tingkat I Provinsi maupun DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya
seluruh Indonesia untuk Periode 1987 - 1992. Total kursi yang tersedia adalah 500 kursi.
Dari jumlah ini, 400 dipilih secara langsung dan 100 diangkat oleh Presiden Suharto.

Total pemilih yang terdaftar adalah sekitar 94.000.000 dengan total suara sah mencapai
85.869.816 atau 91,30%. Golkar mendapat 62.783.680 suara (73,16%) sehingga berhak
atas 299 kursi parlemen. PPP mendapat 13.701.428 suara (15,97%) sehingga berhak atas
61 kursi parlemen. PDI mendapat 9.384.708 suara (10,87%) sehingga berhak atas 40
kursi parlemen. Jumlah anggota parlemen dari ABRI yang diangkat Presiden Suharto
berjumlah 75 orang (kursi) sementara dari golongan fungsional 25 orang (kursi). Jumlah
anggota parlemen yang berjenis kelamin laki-laki adalah 443 sementara yang perempuan
57 orang. Sementara itu, jumlah anggota parlemen berusia 21-30 tahun adalah 5 orang,
31-40 tahun 38 orang, 41-50 tahun 173 orang, 51-60 tahun 213 orang, 61-70 tahun 70
orang, dan 71-80 tahun 1 orang.

Hasil Pemilu kali ini ditandai dengan melorotnya perolehan kursu PPP, yakni hilangnya
33 kursi dibandingkan Pemilu 1982, sehingga hanya memperoleh 61 kursi. Penyebab
merosotnya PPP antara lain karena tidak boleh lagi partai itu memakai asas Islam dan
diubahnya lambang dari Ka’bah kepada Bintang dan terjadinya penggembosan oleh
tokoh- tokoh unsur NU, terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Disisi lain Golkar mendapat tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi. PDI, yang
tahun 1986 dapat dikatakan mulai dekat dengan kekuasaan, sebagaimana diindikasikan
dengan pembentukan DPP PDI hasil Kongres 1986 oleh Menteri Dalam Negeri
Soepardjo Rustam, sukses menambah perolehan kursi secara signifikan dari 30 kursi pada
Pemilu 1982 menjadi 40 kursi di Pemilu 1987 ini.

Sejarah Pelaksanaan Pemilu 1992

Pemilu 1992 merupakan Pemilu kelima pada masa pemerintahan Orde Baru. Pemilu 1992
di laksanakan pada tanggal 9 Juni 1992 dengan menggunakan Sistem Pemilu seperti
pemilu sebelumnya yaitu Proporsional dengan varian Party-List. Landasan operasional
Pemilu 1992 adalah Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1988, Undang – Undang Nomor 1
tahun 1985 dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1990.

Pemilihan Umum ini diikuti 2 partai politik dan 1 Golongan Karya, yaitu :

Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

Partai Demokrasi Indonesia (PDI)

Golongan Karya (Golkar)


Sebagai Pemenang mayoritas hasil pemilihan umum ini adalah Golongan Karya.

Tujuan Pemilu 1992 adalah memilih secara langsung 400 kursi DPR. Total pemilih yang
terdaftar adalah 105.565.697 orang dengan total suara sah adalah 97.789.534. Untuk hasil
Pemilu 1992, Golkar mendapat 66.599.331 suara (68,10%) sehingga berhak atas 282
kursi parlemen. PPP mendapat 16.624.647 suara (17,01%) sehingga berhak atas 62 kursi
parlemen. PDI mendapat 14.565.556 suara (10,87%) sehingga berhak atas 56 kursi
parlemen. Presiden Suharto mengangkat 75 orang (kursi) untuk ABRI dan 25 orang
(kursi) untuk golongan fungsional.

Komposisi anggota DPR totalnya adalah 500 orang. Dari jumlah tersebut yang berjenis
kelamin laki-laki adalah 439 orang sementara perempuan 61 orang. Di sisi lain, kisaran
usia anggota DPR ini adalah 21-30 tahun 3 orang; 31-40 tahun 45 orang; 41-50 tahun 144
orang; 51-65 tahun 287 orang; dan di atas 65 tahun 21 orang.

Sejarah Pelaksanaan Pemilu 1997

Pemilu 1997 merupakan Pemilu terakhir di masa Presiden Suharto. Pemilu ini diadakan
tanggal 29 Mei 1997. Tujuan pemilu ini adalah memilih 424 orang anggota DPR. Sistem
pemilu yang digunakan adalah Proporsional dengan varian Party-List. Pada tanggal 7
Maret 1997, sebanyak 2.289 kandidat (caleg) telah disetujui untuk bertarung guna
memperoleh kursi parlemen.

Hasil Pemilu 1997 adalah Golkar mendapat 84.187.907 suara (74,51%) sehingga berhak
atas 325 kursi parlemen. PPP mendapat 25.340.028 suara (22,43%) sehingga berhak atas
89 kursi parlemen. PDI mendapat 3.463.225 suara (3,06%) sehingga berhak atas 11 kursi
parlemen. Anggota parlemen yang diangkat Presiden Suharto hanya dari ABRI saja yaitu
75 orang (kursi). Sehingga total anggota parlemen 500 orang.

Sejarah Pelaksanaan Pemilu 1999

Pemilu 1999 adalah pemilu pertama pasca kekuasaan presiden Suharto. Pemilu ini
diadakan di bawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie. Pemilu ini terselenggara di
bawah sistem politik Demokrasi Liberal. Artinya, jumlah partai peserta tidak lagi dibatasi
seperti pemilu-pemilu lalu yang hanya terdiri dari Golkar, PPP, dan PDI.

Sebelum menyelenggarakan Pemilu, pemerintahan B.J. Habibie mengajukan tiga


rancangan undang-undang selaku dasar hukum dilaksanakannya pemilu 1999, yaitu RUU
tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu, dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR, dan DPRD. Ketiga RUU ini diolah oleh Tim Tujuh yang diketuai Profesor
Ryaas Rasyid dari Institut Ilmu Pemerintahan. Setelah disetujui DPR, barulah pemilu
layak dijalankan. Pemilu 1999 diadakan berdasarkan Undang-undang Nomor 3 tahun
1999 tentang Pemilihan Umum. Sesuai pasal 1 ayat (7) pemilu 1999 dilaksanakan dengan
menggunakan sistem proporsional berdasarkan stelsel daftar dengan varian Roget.
Dalam pemilihan anggota DPR, daerah pemilihannya (selanjutnya disingkat Dapil)
adalah Dati I (provinsi), pemilihan anggota DPRD I dapilnya Dati I (provinsi) yang
merupakan satu daerah pemilihan, sementara pemilihan anggota DPRD II dapilnya Dati
II yang merupakan satu daerah pemilihan. Jumlah kursi anggota DPR untuk tiap daerah
pemilihan ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk Dati I dengan memperhatikan bahwa
Dati II minimal harus mendapat 1 kursi yang penetapannya dilakukan oleh KPU.

Undang-undang Nomor 3 tahun 1999 juga menggariskan bahwa jumlah kursi DPRD I
minimal 45 dan maksimal 100 kursi. Jumlah kursi tersebut ditentukan oleh besaran
penduduk.

Provinsi dengan jumlah penduduk hingga 3.000.000 jiwa mendapat 45 kursi.

Provinsi dengan jumlah penduduk 3.000.001 - 7.000.000 mendapat 55 kursi.

Provinsi dengan jumlah penduduk 5.000.001 - 7.000.000 mendapat 65 kursi.

Provinsi dengan jumlah penduduk 7.000.001 - 9.000.000 mendapat 75 kursi.

Provinsi dengan jumlah penduduk 9.000.001 - 12.000.000 mendapat 85 kursi.

Sementara itu, provinsi dengan jumlah penduduk di atas 12.000.000 mendapat 100
kursi.

Undang-undang juga mengamanatkan bahwa untuk Dati II (kabupaten/kota) minimal


mendapat 1 kursi untuk anggota DPRD I lewat penetapan KPU.

Dati II berpenduduk hingga 100.000 mendapat 20 kursi.

Dati II berpenduduk 100.001 - 200.000 mendapat 25 kursi.

Dati II berpenduduk 200.001 - 300.000 mendapat 30 kursi.

Dati II berpenduduk 300.001 - 400.000 mendapat 35 kursi.

Dati II berpenduduk 400.001 - 500.000 mendapat 40 kursi.

Sementara itu, untuk Dati II berpenduduk di atas 500.000 mendapat 45 kursi.

Setiap kecamatan minimal harus diwakili oleh 1 kursi di DPRD II. KPU adalah pihak
yang memutuskan penetapan perolehan jumlah kursi.

Jumlah partai yang terdaftar di Kementrian Hukum dan HAM adalah 141 partai,
sementara yang lolos verifikasi untuk ikut Pemilu 1999 adalah 48 partai. Pemilu 1999
diadakan tanggal 7 Juni 1999. Namun, tidak seperti pemilu-pemilu sebelumnya, Pemilu
1999 mengalami hambatan dalam proses perhitungan suara. Terdapat 27 partai politik
yang tidak bersedia menandatangani berkas hasil pemilu 1999 yaitu: PARI, PSP, PUMI,
SPSI, Murba, PID, PPI, PRD, PADI, PKM, PND, PUDI, PBN, Partai SUNI, PNBI, Partai
MKGR, PIB, PKD, PAY, Krisna, Partai KAMI, Masyumi, PNI Supeni, PBI, PDI, Partai
Keadilan dan PNU.

Karena penolakan 27 partai politik ini, KPU menyerahkan keputusan kepada Presiden.
Presiden menyerahkan kembali penyelesaian persoalan kepada Panitia Pengawas Pemilu
(selanjutnya disingkat Panwaslu. Rekomendasi Panwaslu adalah, hasil Pemilu 1999
sudah sah, ditambah kenyataan partai-partai yang menolak menandatangani hasil tidak
menyertakan point-point spesifik keberatan mereka. Sebab itu, Presiden lalu memutuskan
bahwa hasil Pemilu 1999 sah dan masyarakat mengetahui hasilnya tanggal 26 Juli 1999.

Masalah selanjutnya adalah pembagian kursi. Sistem Pemilu yang digunakan adalah
Proporsional dengan varian Party-List. Masalah yang muncul adalah pembagian kursi
sisa. Partai-partai beraliran Islam melakukan stembus-accord (penggabungan sisa suara)
menurut hitungan Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) hanya mendapat 40 dari 120 kursi.
Di sisi lain, 8 partai beraliran Islam yang melakukan stembus-accord tersebut mengklaim
mampu memperoleh 53 dari 120 kursi sisa.

Perbedaan pendapat ini lalu diserahkan PPI kepada KPU. KPU, di depan seluruh partai
politik peserta pemilu 1999 menyarankan voting. Voting ini terdiri atas dua opsi.
Pertama, pembagian kursi sisa dihitung dengan memperhatikan suara stembus-accord.
Kedua, pembagian tanpa stembus-accord. Hasilnya, 12 suara mendukung opsi pertama,
dan 43 suara mendukung opsi kedua. Lebih dari 8 partai melakukan walk-out.
Keputusannya, pembagian kursi dilakukan tanpa stembus-accord. Penyelesaian sengketa
hasil pemilu dan perhitungan suara ini masih dilakukan oleh badan-badan penyelenggara
pemilu karena Mahkamah Konstitusi belum lagi terbentuk.

Total jumlah suara partai yang tidak menghasilkan kursi 9.700.658 atau meliputi 9,17%
suara sah. Hasil ini diperoleh dengan menerapkan sistem pemilihan Proporsional dengan
Varian Roget. Dalam sistem ini, sebuah partai memperoleh kursi seimbang dengan suara
yang diperolehnya di daerah pemilihan, termasuk perolehan kursi berdasarkan the largest
remainder (sisa kursi diberikan kepada partai-partai yang punya sisa suara terbesar).

Perbedaan antara Pemilu 1999 dengan Pemilu 1997 ialah bahwa pada Pemilu 1999
penetapan calon terpilih berdasarkan pada rangking perolehan suara suatu partai di daerah
pemilihan. Jika sejak Pemilu 1971 calon nomor urut pertama dalam daftar partai otomatis
terpilih bila partai itu mendapat kursi, maka pada Pemilu 1999 calon terpilih ditetapkan
berdasarkan suara terbesar atau terbanyak dari daerah di mana seseorang dicalonkan.
Contohnya, Caleg A meski berada di urutan terbawah daftar caleg, jika dari daerahnya ia
dan partainya mendapatkan suara terbesar, maka dia-lah yang terpilih. Untuk penetapan
caleg terpilih berdasarkan perolehan suara di Daerah Tingkat II (kabupaten/kota), Pemilu
1999 ini sama dengan metode yang digunakan pada Pemilu 1971.
Dari total 500 anggota DPR yang dipilih, sebanyak 460 orang berjenis kelamin laki-laki
dan hanya 40 orang yang berjenis kelamin perempuan. Sebab itu, persentase anggota
DPR yang berjenis kelamin perempuan hanya meliputi 8% dari total.

Sejarah Pelaksanaan Pemilu 2004

Pemilihan Umun Indonesia 2004 adalah Pemilu pertama yang memungkinkan rakyat
untuk memilih Presiden secara langsung, dan cara pemilihannya benar – benar berbeda
dari Pemilu sebelumnya. Pemilu 2004 sekaligus membuktikan upaya serius mewujudkan
sistem pemerintahan Presidensil yang dipakai oleh pemerintah Indonesia. Pada Pemilu
ini, rakyat dapat memilih langsung Presiden dan Wakil Presiden (sebelumnya Presiden
dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR yang anggota - anggotanya dipilih melalui
Presiden).

Selain itu, pada pemilu ini pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tidak dilakukan secara
terpisah (seperti Pemilu 1999). Pada Pemilu ini, yang dipilih adalah pasangan calon
(pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden), bukan calon Presiden dan calon Wakil
Presiden secara terpisah. Landasan operasional Pemilu 2004 adalah:

Undang - Undang RI Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden


dan Wakil Presiden.

Undang - Undang RI Nomor 22 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis


Permusyawaratan Rakyat Daerah.

Undang - Undang RI Nomor 12 tahun 2003 tantang Pemilihan Umum Anggota


Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.

Sistem pemilu yang digunakan adalah Proporsional dengan Daftar Calon Terbuka.
Proporsional Daftar adalah sistem pemilihan mengikuti jatah kursi di tiap daerah
pemilihan. Jadi, suara yang diperoleh partai-partai politik di tiap daerah selaras dengan
kursi yang mereka peroleh di parlemen.

Pelaksanaan Pemilu tahun 2004 dilakukan dalam tiga tahap, yaitu sebagai berikut:

1. Pemilu Legislatif

Pemilu Legislatif adalah tahap pertama dari rangkaian tahapan Pemilu 2004. Pemilu
legislatif ini diikuti 24 Partai Politik, dan dilaksanakan pada tanggal 5 April 2004. Pemilu
ini bertujuan untuk memilih partai politik (sebagai persyaratan Pemilu Preside) dan
anggotanya untuk dicalonkan menjadi anggota DPR dan DPRD. Pemilu tahap pertama
juga ditujukan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Partai – Partai
Politik yang memperoleh suara lebih besar atau sama dengan tiga persen dapat
mencalonkan pasangan calonnya untuk maju ke tahap berikutnya, yaitu pada Pemilu
Presiden putaran pertama. Pemilu Legislatif tahun 2004 menempatkan kembali Golkar
sebagai peraih suara terbanyak disusul PDIP, PPP, Partai Demokrat, PKB, PAN, dan
PKS.

2. Pemilu Presiden Putaran Pertama

Setelah Pemilu Legislatif selesai, partai yang memiliki suara lebih besar atau sama
dengan tiga persen dapat mencalonkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya
untuk maju ke Pemilu Presiden Putaran Pertama. Apabila dalam Pemilu ini ternyata ada
pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen, maka pasangan calon itu
langsung diangkat menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Selebihnya, Pemilu Presiden
putaran kedua akan diselenggarakan dengan ua pasangan calon yang memperoleh suara
terbanyak. Pemilu prresiden putaran pertama 2004 ini diikuti oleh 5 pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden, dan diselenggarakan pada tanggal 5 Juli 2004.

Ada lima pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang dicalonkan di Pemilu
Presiden putaran pertama, yaitu :

H. Wiranto, SH. Dan Ir.H. Salahuddin Wahid (dicalonkan oleh Partai Golongan
Karya).

Hj. Megawati Soekarno Putri dan KH. Ahmad Hasyim Muzadi (dicalonkan dari
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan).

Prof. Dr.H.M. Amien Rais dan Dr.Ir.H. Siswono Yudo Husodo (dicalonkan oleh
Partai Amanat Nasional).

DR.H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs.H. Muhammad Jusuf Kalla


(dicalonkan oleh Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, dan Partai Persatuan dan
Kesatuan Indonesia).

Dr.H. Hamzah Haz dan H. Agum Gumelar, M.Sc. (dicalonkan oleh Partai
Persatuan Pembangunan).

Hasil Pemilu ini diumumkan pada tanggal 26 Juli 2004, dengan hasil ini masih perlu
diadakan Pemilu Presiden putaran kedua karena belum adanya pasangan calon yang
mendapatkan suara paling tidak 50 persen.

3. Pemilu Presiden Putaran Kedua

Sesuai hasil Pemilu Presiden putaran pertama di atas, yaitu belum ada pasangan calon
yang memperolehan suara lebih dari 50 persen, maka diadakanlah Pemilu Presiden
putaran kedua. Pasangan – pasangan calon yang mengikuti Pemilu Presiden putaran
kedua ini adalah dua pasangan calon dengan yang memperoleh suara terbanyak pada
Pemilu Presiden putaran pertama 2004 yang lalu. Pemilu ini diadakan pada tanggal 20
September 2004.
Hasil Pemilu Presiden putaran kedua telah dihitung dan diumumkan oleh KPU pada
tanggal 4 Oktober 2004 melalui Keputusan KPU Nomor 98/SK/KPU/2004. Pada putaran
kedua ini, pasangan DR.H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs.H. Muhammad Jusuf
Kalla berhasil memperoleh suara terbanyak mengalahkan pasangan Hj. Megawati
Soekarno Putri dan KH.Ahmad Hasyim Muzadi. Dengan demikian pasangan Susilo
Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla ditetapkan menjadi Presiden dan
Wakil Presiden RI menggantikan Presiden dan Wakil Presiden Hj. Megawati Soekarno
Putri dan Dr.H. Hamzah Haz. Pelantikannya sendiri dilaksanakan pada tanggal 20
Oktober 2004 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Sejarah Pelaksanaan Pemilu 2009

Pemilu 2009 dilaksanakan menurut Undang-undang Nomor 10 tahun 2008. Jumlah kursi
DPR ditetapkan sebesar 560 di mana daerah dapil anggota DPR adalah provinsi atau
bagian provinsi. Jumlah kursi di tiap dapil yang diperebutkan minimal tiga dan maksimal
sepuluh kursi. Ketentuan ini berbeda dengan Pemilu 2004.

Pemilihan Presiden

Pemilu Presiden tahun 2009 menggunakan Two Round System. Artinya, jika pada
putaran pertama tidak terdapat pasangan yang menang 50 plus 1 atau merata persebaran
suara di lebih dari setengah daerah pemilihan maka konsekuensinya harus diadakan
putaran kedua. Untungnya, dana negara tidak terbuang sia-sia karena pemilu Presiden
2009 ini cuma berlangsung satu putaran saja. Pilpres yang direkapitulasi oleh KPU pada
22 - 4 Juli 2009 ini diikuti oleh tiga pasang calon yaitu: Megawati-Prabowo, SBY-
Boediono dan Jusuf Kalla-Wiranto. Hasil Pilpres resmi KPU menghasilkan data berikut:

SBY-Boediono (73.874.562 atau 60,80%)

Megawati-Prabowo (32.548.105 atau 26,79%)

JK-Wiranto (15.081.814 atau 12.41%)

Dengan demikian, pasangan SBY-Boediono keluar sebagai pemenang Pemilihan Presiden


tahun 2009 dan sah untuk mengatur administrasi negara kesatuan Republik Indonesia dari
2009 hingga 2014.

Pemilihan Legislatif

Menurut Pasal 23 Undang-undang Nomor 10 tahun 2008, jumlah kursi untuk anggota
DPRD Provinsi minimal tiga puluh lima dan maksimal seratus kursi. Jumlah ini
ditentukan melalui perhitungan jumlah penduduk wilayah provinsi masing-masing
dimana:

provinsi berpenduduk minimal 1.000.000 mendapat alokasi 35 kursi.


provinsi berpenduduk 1.000.000–3.000.000 mendapat alokasi 45 kursi.
provinsi berpenduduk 3.000.000–5.000.000 mendapat alokasi 55 kursi.
provinsi berpenduduk 5.000.000–7.000.000 mendapat alokasi 65 kursi.
provinsi berpenduduk 7.000.000–9.000.000 mendapat alokasi 75 kursi.
provinsi berpenduduk 9.000.000–11.000.000 mendapat alokasi 85 kursi.
provinsi berpenduduk di atas 11.000.000 mendapat alokasi 100 kursi.

Selanjutnya pasal 24 undang-undang ini menyebutkan bahwa daerah pemilihan anggota


DPRD Provinsi adalah kabupaten atau kota atau gabungan kabupaten atau kota di mana
jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD provinsi sama dengan pemilu 2004.

Daerah pemilihan anggota DPRD kabupaten atau kota adalah kecamatan atau gabungan
kecamatan yang jumlahnya sama seperti pemilu 2004. Jumlah kursi DPRD kabupaten
atau kota paling sedikit 20 dan paling banyak 50 kursi, yang besaran kursinya ditentukan
oleh:

wilayah berpenduduk hingga 100.000 mendapat alokasi 20 kursi.


wilayah berpenduduk 100.000–200.000 mendapat alokasi 25 kursi.
wilayah berpenduduk 200.000–300.000 mendapat alokasi 30 kursi.
wilayah berpenduduk 300.000–400.000 mendapat alokasi 35 kursi.
wilayah berpenduduk 400.00–500.000 mendapat alokasi 40 kursi.
wilayah berpenduduk 500.000–1.000.000 mendapat alokasi 45 kursi.
wilayah berpenduduk > 1.000.000 mendapat alokasi 50 kursi.

Pemilihan DPD

Untuk pemilihan anggota DPD ditetapkan 4 kursi bagi setiap provinsi. Provinsi adalah
daerah pemilihan untuk anggota DPD. Dan dengan demikian dengan total provinsi
sejumlah 33, jumlah anggota DPD Indonesia adalah 132 orang.

Pemilu 2009 masih menggunakan sistem yang mirip dengan Pemilu 2004. Namun,
electoral threshold dinaikkan menjadi 2,5%. Artinya, partai-partai politik tatkala masuk
ke perhitungan kursi caleg hanya dibatasi bagi yang berhasil mengumpulkan komposisi
suara di atas 2,5%. Pemilu ini pun mirip dengan Pemilu 1999 di mana 48 partai ikut
berlaga dalam kompetisi dagang janji ini.

Sejarah Pelaksanaan Pemilu 2014

Pelaksanaan pemilu tahun 2014 terdiri dari pemilihan legislatif yang bertujuan untuk
memilih anggota DPR, DPRD, dan DPD, serta pemilihan presiden. Pemilihan Legislatif
dilakukan pada tanggal 9 April 2014 sedangkan Pemilihan Presiden dilakukan pada
tanggal 9 Juli 2014, bila hasilnya mengharuskan dua putaran, maka akan dilakukan di
bulan september 2014.

Pemilu tahun 2014 diselenggarakan berdasarkan:

Undang-Undang 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (mencakup pemilu kepala


daerah
Undang-Undang 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
Undang-Undang 27/2009 tentang Majelis Permusyarawatan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
Undang-Undang 2/2011 tentang Partai Politik
Undang-Undang 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum
Undang-Undang 8/2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

DPR terdiri dari 560 anggota yang berasal dari 77 daerah pemilihan berwakil majemuk
(multi-member electoral districts) yang memiliki tiga sampai sepuluh kursi per daerah
pemilihan (tergantung populasi penduduk dapil terkait) yang dipilih melalui sistem
proporsional terbuka. Ambang batas parlemen sebesar 3,5 persen berlaku hanya untuk
DPR dan tidak berlaku untuk DPRD. Sedangkan DPD memiliki 132 perwakilan, yang
terdiri dari empat orang dari masing-masing provinsi (dengan jumlah provinsi 33), yang
dipilih melalui sistem mayoritarian dengan varian distrik berwakil banyak (single non-
transferable vote, SNTV).

Untuk Pemilu 2014, UU 8/2012 mempertahankan diwajibkannya kuota minimal 30


persen calon perempuan untuk daftar calon yang diajukan dan satu calon perempuan
dalam setiap tiga calon secara berurutan dari awal daftar calon. Kedua ketentuan ini
sekarang memiliki ancaman sanksi jika gagal dipenuhi partai politik yang gagal
memenuhi kuota tersebut akan dicabut haknya sebagai peserta pemilu di daerah
pemilihan di mana kuota tersebut gagal dipenuhi.

Penyelenggara pemilihan umum yang berdasarkan undang-undang dilaksanakan oleh


KPU dan Bawaslu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) merupakan lembaga yang
bertanggung jawab mengawasi agar gugatan terkait pemilu ditujukan kepada badan yang
tepat dan diselesaikan secara benar, secara umum, pelanggaran bersifat kriminal dirujuk
kepada polisi dan pengadilan biasa, dan pelanggaran administrasi kepada KPU. UU
8/2012 tentang Pemilihan Umum Legislatif memberikan Bawaslu wewenang pemutusan
perkara dalam sengketa antara KPU dan peserta Pemilu.Putusan Bawaslu bersifat final
terkecuali untuk hal-hal terkait pendaftaran partai politik dan calon legislatif peserta
pemilu.

Sedangkan pelanggaran serius yang mempengaruhi hasil pemilu diajukan secara langsung
kepada Mahkamah Konstitusi. Ketentuan dalam UU 15/2011 mengatur bahwa Bawaslu
dan KPU adalah lembaga yang setara dan terpisah. Anggota Bawaslu dipilih oleh komite
seleksi yang sama dengan komite yang memilih anggota KPU. UU 15/2011 juga
menetapkan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). DKPP adalah dewan
etika tingkat nasional yang ditetapkan untuk memeriksa dan memutuskan gugatan
dan/atau laporan terkait tuduhan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU
atau Bawaslu.
Otonomi Daerah

Secara umum, pengertian otonomi daerah yang biasa digunakan yaitu pengertian otonomi
daerah menurut UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Dalam UU tersebut
berbunyi otonomi daerah merupakan hak, wewenang, serta kewajiban daerah otonom
guna mengurus dan mengatur sendiri urusan pemerintahan serta kepentingan
masyarakatnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dasar Hukum Pelaksanaan Otonomi Daerah

1. Undang Undang Dasar Tahun 1945 Amandemen ke-2 yang terdiri dari: Pasal 18
Ayat 1 - 7, Pasal 18A ayat 1 dan 2 dan Pasal 18B ayat 1 dan 2.
2. Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi
Daerah.
3. Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 mengenai Rekomendasi Kebijakan
dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
4. Undang Undang No. 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah.
5. Undang Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Daerah dan Pusat.

Prinsip Otonomi Daerah


1. Prinsip otonomi seluas-luasnya merupakan prinsip otonomi daerah
dimana daerah diberikan kewenangan dalam mengurus dan mengatur
semua urusan pemerintahan yang meliputi kewenangan semua bidang
pemerintahan, kecuali kewenangan terhadap bidang politik luar negeri,
moneter, keamanan, agama, peradilan, keamanan, serta fiskal nasional.
2. Prinsip otonomi nyata merupakan prinsip otonomi daerah dimana daerah
diberikan kewenangan dalam menangani urusan pemerintahan yang
berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang secara nyata sudah ada
dan dapat berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan
potensi dan ciri khas daerah.
3. Prinsip otonomi yang bertanggung jawab merupakan prinsip otonomi
yang dalam sistem penyelenggaraannya harus sesuai dengan tujuan dan
maksud dari pemberian otonomi, yang bertujuan untuk memberdayakan
daerahnya masing-masing dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Asas Otonomi Daerah

Penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada asas umum penyelenggaraan


negara yang meliputi:

1. Asas kepastian hukum yaitu asas yang mementingkan landasan peraturan


perundang-undangan dan keadilan dalam penyelenggaraan suatu negara.
2. Asas tertip penyelenggara yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan,
keserasian serta keseimbangan dalam pengendalian penyelenggara negara.
3. Asas kepentingan umum yaitu asas yang mengutamakan kesejahteraan
umum dengan cara aspiratif, akomodatif, dan selektif.
4. Asas keterbukaan yaitu asas yang membuka diri atas hak masyarakat
untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, serta tidak diskriminatif
mengenai penyelenggara negara dengan tetap memperhatikan
perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.
5. Asas proporsinalitas yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan
antara hak dan kewajiban.
6. Asas profesionalitas yaitu asas yang mengutamakan keadilan yang
berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
7. Asas akuntabilitas yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan
dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus bisa
dipertanggungjawabkan kepada rakyat atau masyarakat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi suatu negara sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
8. Asas efisiensi dan efektifitas yaitu asas yang menjamin terselenggaranya
kepada masyarakat dengan menggunakan sumber daya yang tersedia
secara optimal dan bertanggung jawab.

Adapun tiga asas otonomi daerah yang meliputi:

1. Asas desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintahan dari


pemerintah kepada daerah otonom berdasarkan struktur NKRI.
2. Asas dekosentrasi yaitu pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada
gubernur sebagai wakil pemerintah dan atau perangkat pusat daerah.
3. Asas tugas pembantuan yaitu penugasan oleh pemerintah kepada daerah
dan oleh daerah kepada desa dalam melaksanakan tugas tertentu dengan
disertai pembiayaan, sarana, dan prasarana serta sumber daya manusia
dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan
mempertanggungjawabkan kepada yang berwenang.
8 Pemberontakan di Indonesia yang Paling Membahayakan

Pemberontakan PKI di Madiun (PKI Musso) Tahun 1948

Membahas tentang pemberontakan PKI di Madiun / PKI Madium tidak bisa lepas dari
jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin tahun 1948. Mengapa kabinet Amir jatuh ? Jatuhnya
kabinet Amir disebabkan karena kegagalannya dalam Perundingan Renville yang dirasa
merugikan Indonesia. Setelah kabinet Amir Sjarifuddin jatuh karena tidak mendapat
dukungan lagi sejak disepakatinya Perjanjian Renville. Lalu dibentuklah kabinet baru
dengan Mohammad Hatta sebagai perdana menteri, namun Amir beserta kelompok-
kelompok sayap kiri lainnya tidak setuju dengan pergantian kabinet tersebut.

Untuk merebut kembali kedudukannya, pada tanggal 28 Juni 1948 Amir Syarifuddin
membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) Untuk memperkuat basis massa, FDR
membentuk organisasi kaum petani dan buruh. Pada tanggal 11 Agustus 1948, Setelah
Musso tiba dari Moskow. Amir dan FDR segera bergabung dengan Musso. Untuk
memperkuat organisasi, maka disusunlah doktrin bagi PKI. Doktrin itu bernama Jalan
Baru.

Oleh PKI daerah Surakarta dijadikan daerah kacau (wildwest). Sementara Madiun
dijadikan markas gerilya. Pada tanggal 18 September 1948, Musso memproklamasikan
berdirinya pemerintahan Soviet di Indonesia. Tujuannya untuk meruntuhkan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan menggantinya dengan negara komunis. Pada
waktu yang bersamaan, gerakan PKI dapat merebut tempat-tempat penting di Madiun.

Kemudian atas perintah Jenderal Sudirman, tentara berhasil menumpas gerakan ini. Sang
tokoh utama itu tewas sedangkan beberapa yang lain seperti Dipa Nusantara Aidit (DN.
Aidit) berhasil meloloskan diri.

Untuk menumpas pemberontakan PKI, TNI sebagai aparat pun tak diam saja dengan
gerakan membahayakan ini. pemerintah melancarkan operasi militer. Dalam hal ini peran
Divisi Siliwangi cukup signifikan. Di samping itu, Panglima Besar Jenderal Soedirman
memerintahkan Kolonel Sungkono di Jawa Timur dan Kolonel Gatot Subroto di Jawa
Tengah untuk mengerahkan pasukannya menumpas pemberontakan PKI di Madiun.
Dengan dukungan rakyat dari berbagai tempat, pada tanggal 30 September 1948, kota
Madiun berhasil direbut kembali oleh tentara Republik Indonesia. Pada akhirnya tokoh-
tokoh PKI seperti Lukman dan DN. Aidit melarikan diri ke Vietnam dan Cina. Sementara
itu, tanggal 31 Oktober 1948 Musso tewas ditembak. Sekitar 300 orang ditangkap oleh
pasukan Siliwangi pada tanggal 1 Desember 1948 di daerah Purwodadi, Jawa Tengah.

Dengan ditumpasnya pemberontakan PKI di Madiun, maka selamatlah bangsa dan negara
Indonesia dari ancaman kaum komunis yang bertentangan dengan ideologi Pancasila.
Penumpasan pemberontakan PKI dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri, tanpa bantuan
apa pun dari pihak asing. Dalam kondisi bangsa yang masih begitu sulit kala itu, ternyata
Republik Indonesia sanggup menumpas pemberontakan yang relatif besar oleh golongan
komunis dalam waktu singkat.
Pemberontakan Darul Islam (DI) dan Tentara Islam Indonesia (TII)

DI/TII dibentuk karena banyak pihak yang kecewa dengan kepemimpinan Presiden
Soekarno. Tujuan DI TII sendiri ialah mendirikan negara berbasis Islam dengan pimpinan
utamanya bernama Kartosuwiryo. Kelompok ini rupanya mendapat dukungan dari
banyak pihak, termasuk Aceh dan beberapa daerah lain yang bahkan menyatakan
bergabung dengan organisasi tersebut.

Dalam perkembangannya, DI TII menyebar hingga di beberapa wilayah, terutama Jawa


Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan dan Aceh. Untuk melindungi kereta api, Kavaleri
Kodam VI Siliwangi (sekarang Kodam III) mengawal kereta api dengan panzer tak
bermesin yang didorong oleh lokomotif uap D-52 buatan Krupp Jerman Barat. Panzer
tersebut berisi prajurit TNI yang siap tempur dengan senjata mereka. Bila ada
pertempuran antara TNI dan DI/TII di depan, maka kereta api harus berhenti di halte
terdekat. Pemberontakan bersenjata yang selama 13 tahun itu telah menghambat
pertumbuhan ekonomi masyarakat. Ribuan ibu-ibu menjadi janda dan ribuan anak-anak
menjadi yatim-piatu. Diperkirakan 13.000 rakyat Sunda, anggota organisasi keamanan
desa (OKD) serta tentara gugur. Anggota DI/TII yang tewas pun tak diketahui pasti
jumlahnya.

Pemerintah menganggap jika gerakan ini akan membahayakan stabilitas dan kedaulatan
negara. Oleh karenanya, negara pun mengeluarkan perintah untuk menumpas gerakan ini
agar tidak semakin merajalela. Kemudian setelah Kartosoewirjo ditangkap TNI dan
dieksekusi mati pada 1962, gerakan ini menjadi terpecah, namun tetap eksis secara diam-
diam meskipun dinyatakan sebagai organisasi ilegal oleh pemerintah Indonesia. Uniknya,
sosok Kartosoewirjo ini ternyata adalah sahabat dekat Bung Karno selama masih dalam
pengasuhan HOS Tjokroaminoto.

Pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)

Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia atau PRRI tercipta sebagai buah dari
protes masyarakat daerah yang merasakan ketidakadilan pemerintah pusat. Daerah
kecewa terhadap pemerintah pusat yang dianggap tidak adil dalam alokasi dana
pembangunan. Kekecewaan tersebut diwujudkan dengan pembentukan dewan-dewan
daerah seperti berikut.

Dewan Manguni di Sulawesi Utara yang dipimpin oleh Kolonel Ventje Sumual.

Dewan Garuda di Sumatra Selatan yang dipimpin oleh Letkol Barlian.

Dewan Gajah di Sumatra Utara yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolan.

Dewan Banteng di Sumatra Barat yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein.

Tanggal 10 Februari 1958 Ahmad Husein menuntut agar Kabinet Djuanda mengundurkan
diri dalam waktu 5 x 24 jam, dan menyerahkan mandatnya kepada presiden. Tuntutan
tersebut jelas ditolak pemerintah pusat. Setelah menerima ultimatum, maka pemerintah
bertindak tegas dengan memecat secara tidak hormat Ahmad Hussein, Zulkifli Lubis,
Dahlan Djambek dan Simbolon yang memimpin gerakan sparatis. Langkah berikutnya
tanggal 12 Februari 1958 KSAD A.H. Nasution membekukan Kodam Sumatra Tengah
dan selanjutnya menempatkan langsung di bawah KSAD. Pada tanggal 15 Februari 1958
Achmad Hussein memproklamasikan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia (PRRI). Dimana Mr. Syafruddin Prawiranegara diangkat sebagai perdana
menterinya.

Pemerintah pusat pun menganggap jika ini sebagai aksi membahayakan karena misi PRRI
adalah membentuk semacam pemerintahan tandingan. Belum lagi mereka didukung oleh
banyak pihak pula. Akhirnya TNI dikerahkan untuk memberantas gerakan ini dan
Indonesia sekali lagi aman dari pergolakan.

Pemberontakan Permesta

Proklamasi PRRI ternyata mendapat dukungan dari Indonesia bagian Timur. Gerakannya
dikenal dengan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Permesta dideklarasikan oleh
pemimpin sipil dan militer Indonesia bagian timur pada 2 Maret 1957 yaitu oleh Letkol
Ventje Sumual. Gerakan ini jelas melawan pemerintah pusat dan menentang tentara
sehingga harus ditumpas. Untuk menumpas gerakan Permesta, pemerintah melakuakan
operasi militer beberapa kali. Berikut ini operasi-operasi militer tersebut.

Komando operasi Merdeka yang dipimpin oleh Letkol Rukminto Hendraningrat.

Operasi Mena I yang dipimpin Letkol Pieters dengan sasaran Jailolo.

Operasi Mena II yang dipimpin Letkol Hunholz untuk merebut lapangan udara
Morotai.

Operasi Saptamarga I yang dipimpin Letkol Sumarsono, dengan tujuan menumpas


Permesta di Sulawesi Utara bagian Tengah.

Operasi Saptamarga II yang dipimpin Letkol Agus Prasmono dengan tujuan menumpas
Permesta di Sulawesi Utara bagian Selatan.

Operasi Saptamarga III yang dipimpin Letkol Magenda dengan tujuan menumpas
Permesta di kepulauan sebelah Utara Manado.

Operasi Saptamarga IV yang dipimpin Letkol Rukminto Hendraningrat, dengan tujuan


menumpas Permesta di Sulawesi Utara.

Ternyata Gerakan Permesta mendapat dukungan asing, terbukti dengan ditembak


jatuhnya pesawat militer di atas Ambon pada tanggal 18 Mei 1958 yang dikemudikan
oleh Alan Pope yang merupakan seorang warga negara Amerika Serikat.

Selain itu Presiden Taiwan Chiang Kai Shek pernah merencanakan untuk mengirimkan 1
skuadron pesawat tempur dan 1 resimen marinir untuk merebut Morotai bersama sama
dengan Permesta, namun Menteri Luar Negeri Taiwan Yen Kung Chau menentang
gagasan itu. karena khawatir Republik Rakyat Tiongkok akan ikut serta membantu
Pemerintah Pusat di Jakarta dan mungkin akan mempunyai alasan untuk mengintervensi
terhadap Taiwan. walaupun demikian. Taiwan sebelumnya memang sudah membantu
Permesta dengan mengirimkan persenjataan dan dua squadron pesawat tempur ke
Minahasa untuk Angkatan Udara Revolusioner, Namun setelah bantuan Taiwan tercium
Pemerintah Pusat. Bulan Agustus 1958, militer mengambil alih bisnis yang dipegang oleh
penduduk WNI asal Taiwan dan sejumlah surat kabar, sekolah ditertibkan. Meskipun
mendapat banyak dukungan dari pihak asing, pemberontakan Permesta dapat
dilumpuhkan sekitar bulan Agustus 1958, walaupun sisa-sisanya masih ada sampai tahun
1961.

Pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)

Gerakan Aceh Merdeka merupakan sebuah organisasi separatis yang memiliki tujuan
supaya daerah Aceh lepas dari Republik Indonesia. Konflik antara pemerintah dan GAM
yang diakibatkan perbedaan keinginan ini telah berlangsung sejak tahun 1976 dan
menyebabkan jatuhnya korban hampir sekitar 15.000 jiwa. Gerakan ini juga dikenal
dengan nama Aceh Sumatra National Liberation Front (ASNLF). GAM dipimpin oleh
Hasan di Tiro yang sekarang bermukim di Swedia dan memiliki kewarganegaraan
Swedia.

Secara umum Latar belakang terjadinya Pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka yang
paling jelas adalah Perbedaan budaya antara Aceh dan banyak daerah lain di Indonesia.
Disamping itu, banyak kebijakan sekuler dalam administrasi pada masa Presiden
Soeharto (Orde Baru) sangat tidak disukai di Aceh, di mana banyak tokoh Aceh tidak
menyukai kebijakan pemerintahan Orde Baru yang mempromosikan satu "budaya
Indonesia". Kemudian lokasi provinsi Aceh yang terletak di ujung Barat Indonesia
menimbulkan anggapan yang meluas di provinsi Aceh bahwa para pemimpin di Jakarta
yang jauh tidak mengerti dan memperhatikan masalah yang dimiliki Aceh serta tidak
bersimpati pada kebutuhan dan adat istiadat di Aceh yang berbeda.

Pada awalnya, GAM adalah sebuah organisasi yang diproklamirkan secara terbatas.
Deklarasi GAM yang dikumandangkan oleh Hasan di Tiro dilakukan secara diam-diam
disebuah kamp kedua yang bertempat di bukit Cokan, Pedalaman Kecamatan Tiro, Pidie.
Setahun kemudian, teks tesebut disebarluaskan dalam versi tiga bahasa; Inggris
Indonesia, dan Aceh. Penyebaran naskah teks proklamasi GAM ini terungkap ketika salah
seorang anggotanya ditangkap oleh polisi dikarena pemalsuan formulir pemilu di tahun
1977. Sejak itulah, pemerintahan orde baru mengetahui tentang pergerakan bawah tanah
di Aceh.

Serangan pertama GAM pada tahun 1977 dilakukan terhadap Mobil Oil Indonesia yang
merupakan pemegang saham PT Arun NGL, dimana PT Arun NGL adalah operator
ladang gas Arun yang berlokasi di Lhokseumawe, Aceh Utara. Pada saat itu jumlah
pasukan yang dimobilisasi oleh GAM sangatlah terbatas. Meskipun sudah ada
ketidakpuasan cukup besar di Aceh namun hal tersebut tidak mengundang partisipasi
aktif massa untuk mendukung GAM. Dalam pengakuan Hasan di Tiro sendiri, pada
awalnya hanya 70 orang yang bergabung dengannya dan mereka kebanyakan berasal dari
kabupaten Pidie, terutama dari desa di Tiro sendiri, yang bergabung karena loyalitas
pribadi kepada keluarga Hasan di Tiro, sementara sisanya bergabung karena faktor
kekecewaan pada pemerintah pusat.

Memburuknya kondisi keamanan di Aceh menyebabkan tindakan pengamanan keras


dilakukan pada tahun 2001-2002. Pemerintah Megawati pada tahun 2003 juga
meluncurkan operasi militer untuk mengakhiri konflik dengan GAM untuk selamanya
dan keadaan darurat diberlakukan di Provinsi Aceh. Pada November 2003 darurat militer
diperpanjang lagi selama 6 bulan karena GAM belum dapat dihancurkan sepenuhnya.
Menurut laporan Human Rights Watch akibat dari di adakannya darurat militer di Aceh
menyebabkan sekitar 100.000 orang mengungsi pada 7 bulan pertama darurat militer dan
beberapa pelanggaran HAM.

Konflik ini sebenarnya masih berlangsung pada akhir 2004, namu saat itu tiba-tiba
bencana Tsunami terjadi pada 24 Desember 2004 dan memporakporandakan segala
infrastruktur di provinsi Aceh, sehingga secara tidak langsung bencana alam terbesar
dalam sejarah Indonesia tersebut berhasil membekukan konflik yang terjadi di Aceh.

Pada 27 Februari 2005, pihak GAM dan pemerintah memulai tahap perundingan di
Vantaa, Finlandia. Marti Ahtisaari yang juga merupakan Mantan presiden Finlandia
berperan sebagai fasilitator. Pada 17 Juli 2005, setelah perundingan selama 25 hari, tim
perunding Indonesia berhasil mencapai kesepakatan damai dengan GAM di Vantaa,
Helsinki, Finlandia. Penandatanganan nota kesepakatan damai dilangsungkan pada 15
Agustus 2005. Proses perdamaian kemudia dipantau oleh sebuah tim yang bernama Aceh
Monitoring Mission (AMM) yang beranggotakan beberapa negara yang tergabung dalam
Uni Eropa serta lima negara ASEAN.

Berdasarkan perjanjian maka terciptalah kesepakatan bahwa dilakukannya pelucutan


senjata GAM dan Aceh akan menerima otonomi khusus di bawah Republik Indonesia
kemudian tentara non-organik (misal tentara beretnis non-Aceh) akan ditarik dari provinsi
Aceh (hanya menyisakan 25.000 tentara non-Aceh). Sebagai bagian dari perjanjian
tersebut, Uni Eropa menerjunkan 300 pemantau yang tergabung dalam Misi Pemantau
Aceh (Aceh Monitoring Mission). Misi mereka selesai pada tanggal 15 Desember 2006,
setelah suksesnya pemilihan daerah gubernur Aceh yang pertama.

Pemberontakan Gerakan Separatis Tragedi Nasional G 30 S/PKI Tahun 1965

PKI yang sempat ditumpas pada tahun 1948, perlahan kembali tumbuh subur dan makin
menyebar keberadaannya. Hal ini membuat mereka pun makin jumawa dan akhirnya jadi
sebuah organisasi besar. Tujuan mereka pun sama seperti PKI tahun 1948 yakni
membangun negara komunis di Indonesia.

Gerakan G30SPKI sendiri terjadi pada tanggal 30-September-1965 tepatnya saat malam
hari. Insiden G30SPKI masih menjadi perdebatan kalangan akademisi mengenai siapa
penggiatnya dan apa motif yang melatar belakanginya. Akan tetapi kelompok reliji
terbesar saat itu dan otoritas militer menyebarkan kabar bahwa insiden tersebut
merupakan ulah PKI yang bertujuan untuk mengubah unsur Pancasila menjadi ideologi
komunis.

Hingga pada puncaknya Pada tanggal 30 September 1965, PKI melakukan penculikan
terhadap Enam (6) jenderal senior TNI AD (Angkatan Darat). Tiga Jenderal yaitu: MT
Haryono, Ahmad Yani dan DI Panjaitan tewas di tempat. Sedangkan Tiga Jenderal
lainnya seperti Sutoyo Siswomiharjo, Soeprapto dan S. Parman di bawa oleh para
pemberontak dalam kondisi hidup.
Rencana kudeta ini berhasil pada awalnya, namun pemerintah tak tinggal diam dan
akhirnya melakukan serangan balasan. Aksi balasan untuk menumpas PKI dipimpin
Soeharto dan berhasil membuat PKI hanya tinggal sejarah saja.

Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka (OPM)

Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah sebuah gerakan nasionalis yang didirikan tahun
1965 yang bertujuan untuk mewujudkan kemerdekaan Papua bagian barat dari
pemerintahan Indonesia. Sebelum era reformasi, provinsi yang sekarang terdiri atas
Papua dan Papua Barat ini dipanggil dengan nama Irian Jaya.

OPM merasa bahwa mereka tidak memiliki hubungan sejarah dengan bagian Indonesia
yang lain maupun negara-negara Asia lainnya. Penyatuan wilayah ini ke dalam NKRI
sejak tahun 1969 merupakan buah perjanjian antara Belanda dengan Indonesia dimana
pihak Belanda menyerahkan wilayah tersebut yang selama ini dikuasainya kepada bekas
jajahannya yang merdeka, Indonesia. Perjanjian tersebut oleh OPM dianggap sebagai
penyerahan dari tangan satu penjajah kepada yang lain.

Pada tanggal 1 Juli 1971, Nicolaas Jouwe dan dua komandan OPM yang lain, Seth Jafeth
Raemkorem dan Jacob Hendrik Prai menaikkan bendera Bintang Fajar dan
memproklamasikan berdirinya Republik Papua Barat. Namun republik ini berumur
pendek karena segera ditumpas oleh militer Indonesia dibawah perintah Presiden
Soeharto.

Tahun 1982 Dewan Revolusioner OPM didirikan dimana tujuan dewan tersebut adalah
untuk menggalang dukungan masyarakat internasional untuk mendukung kemerdekaan
wilayah tersebut. Mereka mencari dukungan antara lain melalui PBB, GNB, Forum
Pasifik Selatan, dan ASEAN.

Namun belakangan ini rakyat papua semakin sadar bahwa gagasan papua merdeka
hanyalah omong kosong yang hanya dimanfaatkan para elit politik untuk mendapat
kekuasaan serta dimanfaatkan oleh negara-negara besar yang siap meng eksplorasi emas
yang dimiliki papua, lihat saja timor leste yang memisahkan diri dari indonesia, jadi apa
mereka sekarang ? tidak lebih dari dimanfaatkan australia semata.

Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)

Republik Maluku Selatan (RMS) adalah daerah yang diproklamasikan merdeka pada 25
April 1950 dengan maksud untuk memisahkan diri dari Negara Indonesia Timur (saat itu
Indonesia masih berupa Republik Indonesia Serikat). Namun oleh Pemerintah Pusat,
RMS dianggap sebagai pemberontakan dan harus segera ditumpas. Pulau-pulau terbesar
yang menjadi basis RMS adalah Pulau Seram, Ambon, dan Buru. Di Ambon RMS
dikalahkan oleh militer Indonesia pada November 1950, tetapi konflik di Pulau Seram
masih berlanjut sampai Desember 1963. Kekalahan di Ambon berujung pada
pengungsian pemerintah RMS ke Seram, Setelah RMS mengalami kekalahan di
indonesia kemudian RMS mendirikan pemerintahan dalam pengasingan di Belanda.
Di Belanda, Pemerintah RMS tetap menjalankan semua kebijakan Pemerintahan, seperti
Sosial, Politik, Keamanan dan Luar Negeri. Komunikasi antara Pemerintah RMS di
Belanda dengan para Menteri dan para Birokrat di Ambon berjalan lancar terkendali.
Keadaan ini membuat pemerintahan Sukarno tidak bisa berpangku tangan menyaksikan
semua aktivitas rakyat Maluku, sehingga dikeluarkanlah perintah untuk menangkap
seluruh pimpinan dengan semua jajarannya, sehingga pada akhirnya dinyatakanlah bahwa
Pemerintah RMS yang berada di Belanda sebagai Pemerintah RMS dalam pengasingan
Dengan bekal dokumentasi dan bukti perjuangan RMS.

Pemerintah Belanda mendukung kemerdekaan RMS, Namun di tahun 1978 terjadi


peristiwa Wassenaar, dimana beberapa elemen pemerintahan RMS melakukan serangan
terhadap Pemerintah Belanda sebagai protes terhadap kebijakan Pemerintah Belanda.
Oleh Press di Belanda dikatakanlah peristiwa itu sebagai teror yang dilakukan para aktifis
RMS di Belanda. Ada yang berpendapat serangan ini disebabkan karena pemerintah
Belanda menarik dukungan mereka terhadap RMS. Ada lagi yang menyatakan serangan
teror ini dilakukan karena pendukung RMS frustasi, karena Belanda tidak dengan
sepenuh hati memberikan dukungan kepada RMS.

Di antara kegiatan yang di lansir Press Belanda sabagai teror, adalah ketika di tahun 1978
kelompok RMS menyandera 70 warga sipil di gedung pemerintah Belanda di Assen-
Wassenaar. Selama tahun 70an, teror seperti ini dilakukan juga oleh beberapa kelompok
sempalan RMS, seperti kelompok Komando Bunuh Diri Maluku Selatan yang dipercaya
merupakan nama lain (atau setidaknya sekutu dekat) Pemuda Maluku Selatan Merdeka.
Kelompok ini merebut sebuah kereta api dan menyandera 38 penumpangnya di tahun
1975.

Pada saat Kerusuhan Ambon yang terjadi antara 1999-2004, RMS kembali mencoba
memakai kesempatan untuk menggalang dukungan dengan upaya-upaya provokasi, dan
bertindak dengan mengatas-namakan rakyat Maluku. Beberapa aktivis RMS telah
ditangkap dan diadili atas tuduhan kegiatan-kegiatan teror yang dilakukan dalam masa
itu, walaupun sampai sekarang tidak ada penjelasan resmi mengenai sebab dan aktor
dibalik kerusuhan Ambon.

Pada 29 Juni 2007 beberapa pemuda Maluku mengibarkan bendera RMS di hadapan
Presiden Susilo Bambang Yudhono pada hari keluarga nasional di Ambon. Mereka
menari tarian Cakalele seusai Gubernur Maluku menyampaikan sambutan. Para hadirin
mengira tarian itu bagian dari upacara meskipun sebenarnya tidak ada dalam jadwal.
Mulanya aparat membiarkan saja aksi ini, namun tiba-tiba para penari itu mengibarkan
bendera RMS. Barulah aparat keamanan tersadar dan mengusir para penari keluar arena.
Di luar arena para penari itu ditangkapi. Sebagian yang mencoba melarikan diri dipukuli
untuk dilumpuhkan oleh aparat.

Pada 24 April 2008 John Watilette perdana menteri pemerintahan RMS di pengasingan
Belanda berpendapat bahwa mendirikan republik merupakan sebuah mimpi di siang hari
bolong dalam peringatan 58 tahun proklamasi kemerdekaan RMS yang dimuat pada
harian Algemeen Dagblad yang menurunkan tulisan tentang antipati terhadap Jakarta
menguat.

Tujuan politik RMS sudah berlalu seiring dengan melemahnya keingingan


memperjuangkan RMS ditambah tidak adanya donatur atau negara asing yang menyuplai
pendanaannya, kini hubungan RMS dengan Maluku hanya menyangkut soal sosial
ekonomi.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau dalam bahasa inggris disebut United Nations
(UN) adalah organisasi internasional yang didirikan pada tanggal 24 Oktober 1945 untuk
mendorong kerjasama internasional.

Latar belakang dibentuknya PBB dimulai setelah Perang Dunia I (1914–1918). Pada 8
Januari 1918, Woodrow Wilson (Presiden Amerika Serikat) mengusulkan membentuk
Liga Bangsa-Bangsa (LBB) atau League of Nation. Usulan Woodrow Wilson tertuang
dalam 14 pasal (Wilson’s Fourteen Points). Sehingga pada 10 Juni 1920, terbentuklah
LBB di Versailles, Prancis. Adapun markas besarnya berada di Jenewa, Swiss.

Tujuan pembentukan LBB adalah memelihara perdamaian dunia. salah satu nya dengan
cara melucuti senjata pada negara konflik, mencegah perang melalui keamanan kolektif,
menyelesaikan permasalahan antara negara-negara melalui diplomasi dan negosiasi, serta
memperbaiki kesejahteraan hidup global. Sayangnya peranan LBB sebagai lembaga
pemelihara perdamaian dunia, tidak dapat terlaksana dengan baik.

Meskipun LBB dapat dikatakan gagal membawa perdamaian dunia, namun usaha untuk
mencapai perdamaian dunia terus dirintis kembali, salah satu nya oleh Presiden Amerika
Serikat Franklin Delano Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Sir Winston Churchill.
Mereka mengadakan pertemuan di atas kapal penjelajah Atlanta di lepas Pantai New
Foundland, Samudra Atlantik pada 14 Agustus 1941.

Pertemuan ini menghasilkan suatu deklarasi yang dikenal sebagai Piagam Atlantik
(Atlantic Charter) dimana didalamnya terdapat 8 poin penting, yaitu:

Pelucutan senjata di seluruh dunia pasca perang

Hak untuk menentukan nasib sendiri

Pengaturan sebuah wilayah harus sesuai dengan kehendak masyarakat bersangkutan

Tidak ada lagi wilayah yang dicari oleh Amerika Serikat atau Inggris

Memajukan kerjasama ekonomi dunia dan peningkatan kesejahteraan sosial

Pengurangan rintangan perdagangan

Kebebasan berkehendak dan bebas dari kekhawatiran

Menciptakan kebebasan di laut lepas


Selanjutnya, diadakan pertemuan-pertemuan susulan, antara lain di Moskow, Rusia
(1943), Dumbarton Oaks, Amerika Serikat (1944), dan Yalta, Ukraina (1945). Pada
pertemuan di Dumbarton Oaks, Washington, diikuti oleh Amerika Serikat, Rusia,
Prancis, Inggris dan Cina. Hasil pertemuan tersebut menyetujui dibentuknya organisasi
United Nations Organization atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Pada pertemuan lanjutan di San Fransisco (25 April–26 Juni 1945) dihasilkan Piagam
Perdamaian (Charter of Peace) yang kemudian digunakan sebagai Mukadimah Piagam
PBB. Pertemuan ini dihadiri oleh 50 negara, 282 delegasi yang terdiri atas 444 orang.
Akhirnya, secara resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa berdiri pada 24 Oktober 1945.

12 Peran Indonesia Dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

Indonesia menjadi salah satu negara yang dianggap memiliki peranan yang cukup penting
selama keanggotaannya dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa, Berikut 12 Peranan
Indonesia Dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

Dalam rangka menjaga perdamaian dunia

1. Sebagai anggota PBB, Indonesia berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika


yang menghasilkan Dasasila Bandung

2. Sebagai anggota PBB, Indonesia menjadi pelopor pencetusan ZOFTAN dan


SEANWFZ

3. Sebagai anggota PBB, Indonesia menjadi salah satu pemprakarsa berdirinya ASEAN
dan Gerakan Non Blok

4. Indonesia telah mengirimkan beberapa kontingen dalam rangka visi perdamaian dunia
seperti pengiriman kontingen Indonesia ke Lebanon Selatan, menyumbang lebih dari
1.000 personel pasukan yang tersebar di berbagai negara di dunia, serta pengiriman
beberapa kontingen pasukan Garuda di beberapa wilayan negara-negara di dunia,
misalnya
Mengirimkan Pasukan Garuda I (1957) sebagai pasukan pemelihara perdamaian PBB
untuk menyelesaikan Perang Arab-Israel

Mengirimkan Pasukan Garuda II dan III (1960) sebagai pasukan pemelihara


perdamaian PBB untuk menyelesaikan perang saudara di Kongo

Mengirimkan Pasukan Garuda XIV (1993) sebagai pasukan pemelihara perdamaian


PBB di Bosnia

Mengirim Pasukan Garuda XXVI-C2 (2010) sebagai pasukan pemelihara perdamaian


PBB di Lebanon Selatan

Sebagai pemimpin serta anggota tetap dibeberapa organisasi PBB

5. Pada tahun 1971, Indonesia yang diwakili oleh Adam Malik pernah ditunjuk untuk
menjadi presiden di Majelis Umum PBB.

6. Indonesia tiga kali terpilih menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB, yaitu
periode tahun 1974 – 1975, periode tahun 1995-1996, dan periode tahun 2007-2008.

7. Indonesia pernah terpilih 11 kali sebagai anggota Dewan ekonomi dan sosial PBB, 2
kali ditunjuk sebagai presiden dari Dewan Ekonomi dan Sosial PBB, serta 3 kali sebagai
wakil presiden dari Dewan tersebut.

8. Indonesia juga terpilih sebanyak 3 kali menjadi anggota Dewan Hak Asasi manusia
PBB dan satu kali ditunjuk sebagai wakil presiden dari Dewan tersebut, yaitu periode
tahun 2009-2010.

Memberikan Bantuan kemanusiaan di berbagai negara

9. Pada Tahun 1984, Indonesia mengirimkan Bantuan berupa beras melalui FAO yang
ditujukan untuk Ethiopia yang waktu itu dilanda bencana kelaparan.

10. Pada Tahun 1995, Sebagai anggota PBB Indonesia membantu dalam menampung
para pengungsi yang berasal dari Vietnam di pulau Galang

Membantu penyelesaian konflik diberbagai negara


11. Pada Tahun 1989, Sebagai anggota PBB Indonesia berhasil membantu menyelesaikan
konflik yang terjadi di kamboja

12. Sebagai anggota PBB, Indonesia berperan menjadi mediator atas penyelesaian konflik
yang terjadi antara Filiphina dan Moro National Front Liberation (MNFL) yang
menguasai Mindanau Selatan

Meskipun indonesia memiliki banyak peranan dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),


namun indonuseia juga pernah keluar dari keanggotaan PBB. Hal tersebut terjadi pada
tahun 1965 saat indonesia dipimpin oleh Presiden Soekarno, keluarnya indonesia dari
PBB didasari atas diterimanya malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan,
karena pada saat itu indonesia menganggap malaysia sebagai negara boneka bentukan
Inggris.

Anda mungkin juga menyukai