Anda di halaman 1dari 9

(F05) Delirium

RSUD Arjawinangun
Nomor No Revisi: Halaman:
Dokumen:
Jl. By Pass Palimanan Jakarta
Km 2 No 1 Arjawinangun –
Kabupaten Cirebon 45162

Tlp: 0231 358335 Fax: 0231


359090

PANDUAN PRAKTEK Ditetapkan oleh:


KLINIK Tanggal Terbit :
Direktur RSUD Arjawinangun
(PPK)
1. PENGERTIAN
Kata “delirium” awalnya digunakan dalam dunia medis untuk menggambarkan
gangguan mental selama demam atau cedera kepala, kemudian berkembang menjadi
pengertian yang lebih luas, termasuk istilah “status konfusional akut”, “sindrom otak
akut”, “insufisiensi serebral akut”, “ensefalopati toksik-metabolik”. Seiring waktu,
istilah delirium berkembang untuk menjelaskan suatu kondisi akut transien, reversibel,
berfluktuasi, dan timbul pada kondisi medis tertentu.3

Delirium adalah sindrom bukan suatu penyakit dan memiliki banyak kausa yang
semuanya mengakibatkan pola gejala yang serupa berkaitan dengan tingkat kesadaran
dan gangguan kognitif pasien. Sebagian besar kausa delirium muncul dari luar sistem
saraf pusat, contohnya gagal ginjal atau hati. Delirium tetap merupakan gangguan klinis
yang kurang dikenali dan jarang didiagnosis

ETIOLOGI

Kausa utama delirium adalah penyakit susunan saraf pusat (seperti epilepsi), penyakit
sistemik (seperti gagal jantung), serta intoksikasi maupun keadaan putus obat dari zat
farmakologis atau toksik. Saat mengevaluasi pasien delirium, klinisi harus menganggap
bahwa obat apapun yang dikonsumsi pasien dapat terkait secara kausatif dengan

1
deliriumnya. Sindrom delirium hampir selalu disebabkan oleh satu atau lebih penyakit
sistemik atau serebral yang mempengaruhi fungsi otak.

Usia lanjut merupakan faktor risiko delirium yang paling umum pada pasien kondisi
kritis. Pada pasien ICU dan pembedahan, faktor risiko yang signifikan adalah usia lanjut
dan terkomorbiditas, penggunaan alkohol berlebih dan nilai APACHE II yang tinggi.
Pada pasien jantung yang dirawat di ICU, beberapa faktor risiko adalah usia lanjut dan
nilai Mini-Mental State Examination (MMSE) yang rendah.7

2. PATOFISIOLOGI
Delirium merupakan fenomena kompleks, multifaktorial, dan mempengaruhi berbagai
bagian sistem saraf pusat. Hipotesis terbaru menunjukkan defisiensi jalur kolinergik
dapat merupakan salah satu faktor penyebab delirium.5 Delirium yang diakibatkan oleh
penghentian substansi seperti alkohol, benzodiazepin, atau nikotin dapat dibedakan
dengan delirium karena penyebab lain. Pada delirium akibat penghentian alkohol terjadi
ketidakseimbangan mekanisme inhibisi dan eksitasi pada sistem neurotransmiter.
Konsumsi alkohol secara reguler dapat menyebabkan inhibisi reseptor NMDA (N-
methyl-D-aspartate) dan aktivasi reseptor GABA-A (gammaaminobutyric acid-A).
Disinhibisi serebral berhubungan dengan perubahan neurotransmiter yang memperkuat
transmisi dopaminergik dan noradrenergik, adapun perubahan ini memberikan
manifestasi karakteristik delirium, termasuk aktivasi simpatis dan kecenderungan
kejang epileptik. Pada kondisi lain, penghentian benzodiazepin menyebabkan delirium
melalui jalur penurunan transmisi GABA-nergik dan dapat timbul kejang epileptik.
Delirium yang tidak diakibatkan karena penghentian substansi timbul melalui berbagai
mekanisme, jalur akhir biasanya melibatkan defisit kolinergik dikombinasikan dengan
hiperaktivitas dopaminergik.6

Perubahan transmisi neuronal yang dijumpai pada delirium melibatkan berbagai


mekanisme, yang melibatkan tiga hipotesis utama, yaitu:6
1. Efek Langsung
Beberapa substansi memiliki efek langsung pada sistem neurotransmiter, khususnya
agen antikolinergik dan dopaminergik. Lebih lanjut, gangguan metabolik seperti
hipoglikemia, hipoksia, atau iskemia dapat langsung mengganggu fungsi neuronal dan
mengurangi pembentukan atau pelepasan neurotransmiter. Kondisi hiperkalsemia pada
wanita dengan kanker payudara merupakan penyebab utama delirium.

2
2. Inflamasi
Delirium dapat terjadi akibat gangguan primer dari luar otak, seperti penyakit inflamasi,
trauma, atau prosedur bedah. Pada beberapa kasus, respons inflamasi sistemik
menyebabkan peningkatan produksi sitokin, yang dapat mengaktivasi mikroglia untuk
memproduksi reaksi inflamasi pada otak. Sejalan dengan efeknya yang merusak neuron,
sitokin juga mengganggu pembentukan dan pelepasan neurotransmiter. Proses inflamasi
berperan menyebabkan delirium pada pasien dengan penyakit utama di otak (terutama
penyakit neurodegeneratif).

3. Stres
Faktor stres menginduksi sistem saraf simpatis untuk melepaskan lebih banyak
noradrenalin, dan aksis hipotalamuspituitariadrenokortikal untuk melepaskan lebih
banyak glukokortikoid, yang juga dapat mengaktivasi glia dan menyebab kan kerusakan
neuron.

GAMBARAN KLINIS

Gambaran inti delirium meliputi terganggunya kesadaran, seperti penurunan tingkat


kesadaran; terganggunya atensi, yang dapat mencakup berkurangnya kemampuan
memfokuskan, mempertahankan, atau mengalihkan atensi; hendaya dalam bingung
bidang fungsi kognitif lain, yang dapat bermanifestasi sebagai disorientasi (khususnya
terhadap waktu dan tempat) dan penurunan memori; awitan relative cepat (biasanya
dalam hitungan jam atau hari); durasi singkat (biasanya selama beberapa hari atau
minggu); dan seringkali fluktuasi keparahan serta menifetasi klinis lain yang nyata dan
tak dapat riramalkan terjadi sepanjang hari, kadang memburuk dimalam hari (senja),
dengan kisaran dari periode yang jelas hingga hendaya kognitif serta disorgganisasi
yang cukup parah.

Gambaran klinis terkait sering muncul dan dapat menjadi prominen. Gambaran tersebut
meliputi disorganisasi proses pikir (berkisar dari tangensialitas ringan hingga
inkoherensi nyata), gangguan presepsi seperti ilusi dan halusinasi, hiperaktivasi dan
hipoaktivitas psikomotor, gangguan siklus tidur-bangun (manifestasi yang sering
berupa tidur yang terfragmentasi dimalam hari, dengan atau tanda rasa kantuk di siang
hari), perubahan mood (dari iritabilita halus sampai disforia, ansietas, atau bahkan eforia

3
yang nyata), serta manifestasi lain dari fungsi neurologis yang terganggu, seperti
hiperaktivitas atau instabilitas otonom, hentakan mioklonik, dan disartria.
Elektroensefalogram (EEG) biasanya menunjukkan perlambatan difus aktivitas latar,
meski pasien dengan delirium akibat putus alkohol atau hipnotik-sedatif memiliki
aktivitas voltase-rendah yang cepat.

DIAGNOSIS
Sindrom etiologi Delirium yang tidak spesifik yang ditandai dengan gangguan
kesadaran dan perhatian, persepsi, pemikiran, memori, perilaku psikomotor, emosi, dan
siklus tidur-bangun yang terjadi secara bersamaan. Delirium dapat terjadi pada usia
berapa pun tetapi paling sering terjadi setelahnya usia 60 tahun. Keadaan mengigau
adalah sementara dan berfluktuasi intensitas; kebanyakan kasus sembuh dalam 4
minggu atau kurang. Delirium terjadi terutama ketika timbul dalam perjalanan penyakit
hati kronis, karsinoma, atau endokarditis bakteri subakut. Perbedaan yang kadang-
kadang dibuat antara delirium akut dan subakut adalah sedikit relevansi klinis; kondisi
ini harus dilihat sebagai sindrom kesatuan durasi variabel dan tingkat keparahan mulai
dari ringan hingga sangat berat. Keadaan mengigau dapat ditumpangkan pada, atau
berkembang menjadi, demensia.

Pedoman diagnostik:

 Gangguan kesadaran dan perhatian:


- Dari taraf kesadaran berkabut sampai dengan koma
- Menurunnya kemampuan untuk mengarahkan, memusatkan,
mempertahankan, dan mengalihkan perhatian
 Gangguan kognitif secara umum:
- Distorsi presepsi, ilusi dan halusinasi-seringkali visual
- Hendaya daya pikir dan pengertian abstrak, dengan atau tanpa waham
bersifat sementara, tetapi sangat khas terdapat inkoherensi yang ringan
- Hendaya daya ingat segera dan jangka pendek, namun daya ingat jangka
panjang relative masih utuh
- Disorientasi waktu, pada kasus yang berat, terdapat juga disorientasi
tempat dan orang

4
 Gangguan psikomotor
- Hipo- atau hiperaktivitas dan pengalihan aktivitas yang tidak terduga
dari satu ke yang lain
- Waktu bereaksi yang lebih panjang
- Arus pembicaraan yang bertambah atau berkurang
- Reaksi terperanjat meningkat
 Gangguan siklus tidur-bangun
- Insomnia atau pada kasus yang berat tidak dapat tidur sama sekali atau
terbaliknya silus bangun tidur; mengantuk pada siang hari
- Gejala yang memburuk pada malam hari
- Mimpi yang menganggu atau mimpi buruk, yang dapat berlanjut menjadi
halusinasi setalah bangun tidur
 Gangguan emosional
- Misalnya depresi, anxietas atau takut, lekas marah, euphoria, apatis, atau
rasa kehilangan akal

Onset biasanya cepat, perjalanan penyakitnya hilang-timbul sepanjang hari, dan


keadaan itu berlangsung kurang dari 6 bulan. Gambaran klinis di atas sangat khas
sehingga diagnosis delirium yang cukup menyakinkan dapat dilakukan bahkan jika
penyebab yang mendasari tidak jelas. Selain riwayat penyakit fisik atau otak yang
mendasari, bukti disfungsi serebral (misalnya elektroensefalogram abnormal, biasanya
tetapi tidak selalu menunjukkan perlambatan aktivitas latar belakang) mungkin
diperlukan jika diagnosis diragukan.

3. DIAGNOSIS BANDING

F00-F03 Sindrom organic lainnya, Demensia

F23 Gangguan psikotik akut dan sementara

F20 Skizofrenia dalam keadaan akut

F30-F39 gangguan afektif + “confusional features”

5
PEMERIKSAAN FISIK DAN LABORATORIUM

Delirim biasanya didiagnosis di bangsal rawat dan ditandai oleh awitan gejala yang
mendadak. Pemeriksaan status mental di bangsal rawat contohnya mini Mental State
Examination (MMSE) dapat digunakan untuk mendokumentasikan hendaya kognitif
serta untuk mendokumentasikan hendaya kognitif serta untuk memberikan landasan
untuk mengukur perjalanan klinis pasien. Pemeriksaan fisik sering menungkapkan
petunjuk penyebab delirium. Adanya penyakit fisik yang telah diketahui atau riwayat
trauma kepala atau ketergantungan alcohol atau zat lain membantu menegakkan
diagnosis.

Pemeriksaan laboratorium pasien delirium sebaiknya mencakup uji standard an


Pemeriksaan tambahan sesuai indikasi situasi klinis. Pada delirium, EEG secara
karakteristik menunjukkan perlambatan aktivitas secara umum dan dapat berguna untuk
memebedakan delirium denga depresi atau psikosis. EEG pasien delirium kadang-
kadang menunjukkan area hiperaktivitas fokal. Pada kasus jarang, mungkin sulit untuk
membedakan delirium terkait epilepsi dengan delirium terkait penyeab lain.

4. PENATALAKSANAAN TERAPI

Dalam mengobati delirium, tujuan utamnya adalah mengatasi penyebab yang


mendasari. Bila kodisi yang mendasari adalah keracunan antikolinergik, dapat
diindikasikan penggunaan fisostigmin salisilat (antilirium) 1 samapi 2 mg secara
intravena atau intramuscular, dengan dosis berulang dalam 15 sampa 30 menit. Tujuan
pengobatan lain juga penting adalah memberikan dukungan fisik, sensorik, dan
lingkungan. Dukungan fisik dibutuhkan agar pasien delirium tidak terjebak dalam
situasi yang dapat menyebabkan dapat mengalami kecelakaan. Pasien delirium
sebaiknya tidak mengalami deprivasi sensorik maupun dirangsang secara belebiha oleh
linkungan. Mereka biasanya akan terbantu dengan adanya teman atau saudara di rungan
yang sama atau pengasuh yang biasa mengasuh. Lukisan dan dekorasi yang familiar,
adanya jam dinding atau kalender, dan orientasi yang teratur terhadap orang, tempat,
dan waktu dapat membantu membuat pasien delirium merasa nyaman.

6
FARMAKOTERAPI

Dua gejala utama delirium yang mungkin memerlukan pengobatan farmakologis adalah
psikosis dan insomnia. Obat pilihan untuk psikosis adalah haloperidol, yaitu obat
antipsikotik golongan butiroferon. Bergantung kepada usia, berat badan, dan kondisi
fisik pasien, dosis awal dapat berkisar dari 2 sampai 10 mg yang diberikan secara
intramuscular diulang dalam satu jam bila pasien masih dalam teragitasi. Segera setelah
pasien tenang, pengobatan oral dalam bentuk konsentrat cair atau tablet harus dimulai.
Dua dosis oral perhari biasanya mencukupi dengan dua-pertiga dosis diberikan sebelum
tidur. Untuk mencapai efek terapeutik yang sama, dosis orang sebaiknya sekitar 1,5 kali
lebih tinggi dibandingkan dosis parenteral. Total dosis harian haloperidol yang efektif
dapat berkisar dari 5 sampai 50mg untuk sebagian besar pasien delirium. Droperidol
(inapsine) adalah butirofenon yang tersedeia sebagai alternatif bentuk intravena, meski
diperlukan pemantauan EEG ketat pada pengobatan jenis ini. Golongan fenotiazin
sebaiknya dihindari pada pasien delirium: obat tersebut dikaitkan dengan aktivitas
antikolinergik yang signifikan.

Insomnia paling baik diobati dengan golongan benzodiazepine yang memilikiwaktu


paruh pendek. Benzodiazepine dengan waktu paruh panjang dan berbiturat sebaiknya
dihindari kecuali bila digunakan sebagai pengobatan penyakit yang mendasari
(misalnya keadaan putus alcohol). Terdapat laporan kasus perbaikan atau remisi
keadaan delirium akibat penyakit medis yang menetap dengan terapi elektrokonvuldif
(ECT). Jika delirium disebabkan oleh nyeri hebat atau dyspnea, dokter sebaiknya tidak
menunda pemberian opioid untuk bentu efek analgesic maupun sedatifnya

PENCEGAHAN

Pencegahan delirium merupakan strategi paling efektif untuk mengurangi frekuensi dan
komplikasi. Obat-obatan seperti benzodiazepin atau antikolinergik dan pencetus lain
yang dikenal dapat menyebabkan delirium secara umum hendaknya dihindari.
Pencegahan yang sukses termasuk pendekatan multikomponen juga dapat dilakukan
untuk mengurangi faktor risiko. Karena delirium memiliki banyak penyebab, maka
pendekatan multikomponen merupakan yang paling efektif dan relevan secara klinis.
Yale Delirium Prevention Trial menunjukkan efektivitas protokol intervensi yang
menargetkan kepada 6 faktor risiko: reorientasi dan terapi untuk gangguan kognitif,

7
mobilisasi dini untuk mengatasi imobilisasi, pendekatan nonfarmakologik untuk
meminimalisir penggunaan obatobat psikoaktif, intervensi untuk mencegah gangguan
siklus tidur, metode komunikasi dan perlengkapan adaptif (seperti kacamata dan alat
bantu dengar) untuk gangguan penglihatan dan pendengaran, dan intervensi dini untuk
kekurangan cairan.1,2,4

5. EDUKASI

a. Lindungi pasien dan orang lain dari perilaku merusak diri

b. Hindari dari benda-benda berbahaya

c. Perawatan dengan pengawasan yang ketat

d. Dukungan dan peran serta keluarga

e. Maksimalkan rasa aman


6. PROGNOSIS

a. Prognosis delirium dapat diprediksi berdasarkan dari penyakit yang mendasarinya.

7. KEPUSTAKAAN

1. Inouye SK. Delirium in older persons. N Engl J Med. 2006; 354: 1157-65.
2. Wass S, Webster PJ, Nair BR. Delirium in the elderly: A review. Oman Med J.
2008; 23(3): 150-7.
3. Fong TG, Tulebaev SR, Inouye SK. Delirium in elderly adults: Diagnosis,
prevention and treatment. Nat Rev Neurol. 2009; 5(4): 210-20. doi:
10.1038/nrneurol.2009.24
4. Soejono CH. Sindrom delirium. In: Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I,
Simadibrata MK, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th ed.
Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 907-12.
5. Flinn DR, Diehl KM, Seyfried LS, Malani PN. Prevention, diagnosis, and
management of postoperative delirium in older adults. J Am Coll Surg. 2009;
209(2): 261-8. doi: 10.1016/j. amcollsurg.2009.03.008
6. Lorenzi S, Fusgen I, Noachtar S. Acute confusional states in the elderly-
diagnosis and treatment. Dtsch Arztebl Int. 2012; 109(21): 391-400.

8
7. Mattar I, Chan MF, Childs C. Risk factors for acute delirium in critically ill adult
patients: A systematic review. ISRN Critical Care 2013: 1-10. doi:
10.5402/2013/910125
8. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental
disorders. 5th ed. Arlington, VA: American Psychiatric Publishing; 2013.
9. Wei LA, Fearing MA, Sternberg EJ, Inouye SK. The confusion assessment
method: A systematic review of current usage. J Am Geriatr Soc. 2008; 56: 823-
30.
10. McNicoll L, Inouye SK. Delirium. In: Landefeld CS, Palmer RM, Johnson MA,
Johnston CB, Lyons WL, editors. Current geriatric diagnosis and treatment. 1st
ed. McGraw-Hill: New York; 2004.
11. Flaherty JH, Gonzales JP, Dong B. Antipsychotics in the treatment of delirium
in older hospitalized adults: A systematic review. J Am Geriatr Soc. 2011; 59:
269 76.
12. Campbell N, Boustani MA, Ayub A, Fox GC, Munger SL, Ott C, et al.
Pharmacological management of delirium in hospitalized adults- a systematic
evidence review. J Gen Intern Med. 2009;24(7): 848-53. doi: 10.1007/s11606-
009-0996-7
13. Witlox J, Eurelings LSM, de Jonghe JFM, Kalisvaart KJ, Eikelenboom P, van
Gool WA. Delirium in elderly patients and the risk of postdischarge mortality,
institutionalization, and dementia. JAMA. 2010; 304(4): 443-51.
14. Lima DP, Ochiai ME, Lima AB, Curiati JAE, Farfel JM, Filho WJ. Delirium in
hospitalized elderly patients and post-discharge mortality. Clinics 2010; 65(3):
251-5. doi: 10.1590/S1807-59322010000300003

Anda mungkin juga menyukai