Anda di halaman 1dari 13

LEMBAR KERJA MAHASISWA SISTEM IMUN

Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Fisiologi Hewan Dan Manusia


Yang dibimbing oleh Bapak Dr. Abdul Gofur, M.Si

Disusun Oleh:
Kelompok 6 / Offering I
Endah Retno Atdha Sari (170342615502)
Farida Ariyani (170342615518)
Muhammad Haidar Amrullah (130342615319)
Mega Berliana (170342615550)
Vina Rizkiana (170342615504)

The Learning University

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
November 2018
LEMBAR KEGIATAN MAHASISWA
SISTEM IMUN

Pertanyaan

1. Imunitas
a. Apa yang dimaksud dengan imunitas?
b. Bedakan antara imunitas aktif dan pasif!

2. Mekanisme sistem imun


a. Respon imun dibedakan menjadi innate immunity dan adaptive/aquired
immunity. Bagaimanakah perbedaan mekanisme antara keduanya?
b. Peradangan atau inflamasi adalah salah satu respon nonspesifik terhadap invasi
asing atau kerusakan jaringan. Bagaimanakah fisiologi terjadinya proses
peradangan akibat masuknya bakteri ke kulit yang rusak?

3. Sel B dan sel T


a. Jelaskan bagaimana perbedaan sel B dan sel T ditinjau dari proses pembentukan,
pematangan, dan penggunaannya!
b. Jelaskan macam-macam sel B dan sel T serta spesifikasi kerjanya!

4. Jalur respon imun


a. Imunitas protektif dihasilkan oleh kerjasama dua komponen sistem imun yang
terpisah tetapi saling bergantung (Innate immunity dan adaptive/aquired
immunity). Jelaskanlah secara umum bagaimana interaksi sinergistis (kerjasama)
yang terjadi antara keduanya!

5. Autoimunitas
Rheumatoid Arthritis (RA) merupakan penyakit autoimun yang merusak sinovium
(bagian dari sendi) yang berfungsi untuk memberikan nutrisi pelumas sendi supaya
sendi mudah bergerak. Gejala klinis biasanya ditandai dengan bengkak pada jari-jari
tangan, pergelangan tangan, kedua siku, bahu, lutut, pergelangan kaki. Selain bengkak
juga nyeri terutama pagi hari. Selain gejala nyeri sendi biasanya juga disertai demam,
nafsu makan menurun, berat badan menurun dan gejala anemia. Penyakit ini bila tidak
ditangani sedini mungkin akan menimbulkan kerusakan tulang sekitar sendi sehingga
menimbulkan kecacatan.
Uraikanlah mekanisme fisiologi penyebab penyakit RA.
Jawab:
1. Imunitas
a. Kemampuan tubuh untuk melindungi diri dari dirinya sendiri maupun dari virus,
bakteri, dan entitas penyebab penyakit lainnya dikenal sebagai kekebalan
(imunitas), dalam bahasa Latin immunis, berarti “dikecualikan”. Sistem
kekebalan manusia terdiri dari jaringan limfoid tubuh, sel-sel kekebalan, dan
bahan kimia (baik intraseluler dan disekresikan (ekstraseluler)) yang
mengkoordinasikan dan menjalankan fungsi kekebalan. Sebagian besar fungsi
kekebalan sangat bergantung pada komunikasi antar sel-ke-sel, khususnya
komunikasi lokal oleh sitokin dan contact-dependent-signalling (Silverthorn,
2013).
b. Imunitas yang didapat dapat dibagi menjadi imunitas aktif dan imunitas pasif.
Imunitas aktif terjadi ketika tubuh terkena patogen dan menghasilkan antibodi
sendiri. Imunitas aktif dapat terjadi secara alami, ketika patogen menyerang
tubuh, atau secara artifisial, seperti ketika kita diberikan kandungan vaksinasi
yang mematikan atau menonaktifkan patogen.
Imunitas pasif terjadi ketika kita memperoleh antibodi dibuat oleh organisme
lain. Pengalihan antibodi dari ibu ke janin di seluruh plasenta adalah salah satu
contoh. Injeksi yang mengandung antibodi salah satunya. Wisatawan yang pergi
ke luar negeri mungkin diinjeksi dengan gamma globulin (ekstraksi antibodi
yang diambil dari plasma manusia), tetapi imunitas pasif ini hanya berlangsung
selama tiga bulan karena injeksi protein yang terdegradasi dan dibersihkkan
melalui sirkulasi (Silverthorn, 2013).

2. Mekanisme sistem imun


a. Sistem imun bawaan (innate immune system) mencakup respons imun
nonspesifik tubuh yang langsung merespons saat terpapar agen yang
mengancam. Respon-respon nonspesifik ini adalah mekanisme pertahanan yang
melekat (innate or built-in) yang secara nonselektif bertahan terhadap material
asing atau abnormal jenis apa pun, bahkan pada paparan awal terhadapnya.
Respons semacam itu memberikan garis pertahanan internal pertama terhadap
berbagai ancaman, termasuk agen infeksi, iritasi kimia, dan cedera jaringan dari
trauma mekanis dan luka bakar. Setiap orang dilahirkan dengan mekanisme
respon imun bawaan yang sama, meskipun ada beberapa perbedaan genetik yang
halus (Sherwood, 2010). Peradangan, yang tampak pada kulit sebagai area
merah, hangat, dan bengkak, merupakan reaksi khas dari imunitas bawaan
(Silverthorn,2009).
Sistem imun yang adaptif, atau diperoleh (adaptive or acquired, immune
system) bergantung pada respons imun spesifik yang secara selektif ditargetkan
terhadap bahan asing tertentu yang telah memapari tubuh dan memiliki
kesempatan untuk mempersiapkan serangan yang ditujukan untuk
mengkarakterisasi musuh. Dengan demikian, sistem imun adaptif membutuhkan
lebih banyak waktu untuk teraktifkan dan menghadapi musuh spesifik saja
(Sherwood, 2010). Namun, dengan eksposur berulang, sistem kekebalan akan
mengingat paparan sebelumnya terhadap patogen dan bereaksi lebih cepat
(Silverthorn,2009).
Imunitas adaptif dapat dibagi menjadi cell-mediated immunity dan imunitas
humoral. Imunitas yang dimediasi sel menggunakan pensinyalan bergantung
pada kontak di mana reseptor sel imun berikatan dengan reseptor pada sel
targetnya. Imunitas humoral, juga dikenal sebagai kekebalan yang dimediasi
antibodi, menggunakan protein yang disekresi yang dikenal sebagai antibodi
untuk melakukan respon imun. (Istilah humoral, mengacu pada darah, berasal
dari sekolah kedokteran Hippocratic kuno, yang mengklasifikasikan cairan
tubuh menjadi empat cairan: darah, lendir, cairan hitam, dan empedu kuning)
(Silverthorn,2009).
b. Peradangan (inflamasi) mengacu pada rangkaian bawaan, nonspesifik dari
peristiwa yang saling terkait yang ditetapkan ke dalam gerakan sebagai respons
terhadap invasi asing, kerusakan jaringan, atau keduanya. Tujuan utama dari
peradangan adalah untuk membawa ke daerah fagosit yang diserang atau terluka
dan protein plasma yang dapat (1) mengisolasi, menghancurkan, atau
menonaktifkan invader; (2) membersihkan; dan (3) bersiap untuk penyembuhan
dan perbaikan selanjutnya. Respon peradangan secara keseluruhan sangat mirip
tidak peduli apa peristiwa yang memicunya (invasi bakteri, cedera kimia, atau
trauma mekanis), meskipun beberapa perbedaan halus dapat terlihat jelas,
tergantung pada agen berbahaya atau lokasi kerusakan. Urutan gambar peristiwa
berikut biasanya terjadi selama inflamasi. Sebagai contoh, yaitu masuknya
bakteri pada kulit yang rusak (Sherwood, 2010).

Gambar 1. Mekanisme bakteri masuk pada kulit yang rusak (Sherwood, 2010).

Mekanisme terjadinya inflamasi :


1. kulit yang rusak(terluka) menyebabkan bakteri, yang bereproduksi di tempat
luka. Makrofag penghuni aktif menelan patogen dan mengeluarkan sitokin dan
chemotaxis.
2. Sel mast teraktivasi dan melepaskan histamine
3. Histamin dan sitokin melebarkan pembuluh darah lokal dan memperlebar pori-
pori kapiler. Sitokin juga membuat dinding pembuluh darah lengket,
menyebabkan neutrofil dan monosit menempel.
4. Chemotaxins menarik neutrofil dan monosit, yang menekan antara sel-sel
dinding pembuluh darah, proses yang disebut diapedesis, dan bermigrasi ke situs
infeksi.
5. Monosit memperbesar makrofag. Makrofag dan neutrofil yang baru tiba
menelan patogen dan menghancurkannya (Sherwood, 2010).
Dengan demikian, pembengkakan yang akrab yang menyertai inflmasi adalah
hasil dari perubahan vaskular yang diinduksi histamin. Demikian juga, hasil
mencolok terkenal lainnya dari inflamasi, seperti kemerahan dan panas, sebagian
besar disebabkan oleh aliran aliran darah arteri hangat ke jaringan yang rusak
(radang berarti "membakarnya"). Nyeri disebabkan baik oleh distensi lokal di
dalam jaringan yang membengkak dan oleh efek langsung dari zat-zat yang
diproduksi secara lokal pada ujung reseptor neuron-neuron yang mensuplai area
tersebut. Karakteristik yang dapat diamati dari proses inflamasi (pembengkakan,
kemerahan, panas, dan rasa sakit) adalah kebetulan untuk tujuan utama perubahan
vaskular di daerah cedera-untuk meningkatkan jumlah fagosit leukositik dan
protein plasma penting di daerah tersebut. (Sherwood, 2010). Hasil dari inflamasi
ditunjukkan pada gambar dibawah sebagai berikut.

Gambar 2. Manifestasi Gross dan hasil dari inflamasi (Sherwood, 2010).


3. Sel B dan sel T
a. Baik limfosit B maupun limfosit T berasal dari sumsum tulang, namun hanya
limfosit B yang mengalami pemasakan pada sumsum tulang. Limfosit T
melakukan migrasi dari sumsum tulang menuju organ timus sebelum masak dan
mengalami pemasakan pada organ ini. Limfosit tersebut disebut limposit B dan
T, karena berturut-turut mengalami proses pemasakan pada bone marrow
(sumsum tulang) dan thymus (timus). Limfosit B aktif akan mengalami
diferensiasi primer menjadi sel khusus yang mensekresikan antibodi. Limfosit B
matang memasukkan molekul antibody ke dalam membrane sel mereka
sehingga antibody menjadi reseptor permukaan menandai anggota setiap klon.
Ketika klon sel B aktif sebagai respons terhadap paparan antigen, beberapa sel
berdiferensiasi menjadi sel plasma yang merupakan sel efektor untuk limfosit B.
Peran dari limfosit T adalah imunitas seluler yaitu mempertahankan tubuh dari
pathogen intraseluler. Sel T yang berikatan dengan sel yang menampilkan
fragmen antigen asing sebagai bagian dari kompleks histocom patibality (MHC)
pada permukaan limfosit T berkembang di kelanjar thymus dari sel precursor
yang belum matang yang bermigrasi. Limfosit B berkembang menjadi sel
plasma dan sel memori. Limfosit T dan sel NK atau Natural Killer menyerang
dan menghancurkan sel yang terinfeksi. Limfosit yang telah mengalami
pemasakan pada organ limfoid primer segera memasuki peredaran darah untuk
menuju organ limfoid sekunder (Silverthorn, 2009).
b. Sel B dapat berdiferensisasi menjadi sel B memori dan sel B plasma. Sel B
memori bertugas untuk menyimpan atau mengingat gen dari zat asing,
sedang sel B plasma bertugas menghasilkan antibodi. Sel B dilapisi oleh protein
yang disebut immunoglobulin. Protein ini spesifik terhadap antigen.
Immunoglobulin disebut juga antibodi. Jenis anti bodi yang bekerja di tubuh
meliputi : IgA, IgD, IgE, IgG, IgM. Mereka memiliki fungsi masing – masing
yang berbeda reseptornya. Respon kekebalan yang diperantarai oleh sel B
disebut Respon Humoral. Namun dalam respon ini sel B tidak bekerja sendiri.
Sel B akan dibantu oleh sel T helper. Sel T helper akan memanggil sel B untuk
datang dan berdiferensiasi membentuk sel B memori dan sel B plasma yang
menghasilkan antibody (Silverthorn, 2009).
Sel T dapat berdiferensiasi menjadi sel T helper dan sel T sitotoksik. Sel T
helper masih bisa berdiferensiasi menjadi sel T memori dan sel T
penekan (supressor). Sel T merupakan sel limfosit yang pertama kali
berinteraksi dengan zat asing. Hal ini terjadi karena sel T memiliki protein
permukaan yang disebut CD4 dan CD8. CD4 atau CD8 akan mengenali
keberadaan antigen. Sebab dia akan mengenali sel yang memiliki reseptor MHC
kelas 1 atau MHC kelas 2. Apabila sel T berinteraksi dengan sel yang tidak
memiliki MHC maka akan menganggap sel tersebut sebagai zat asing. Sehingga
sel T akan berdifensiasi dan menyerang zat asing tersebut. Respon kekebalan
spesifik yang hanya melibatkan sel T disebut kekebalan seluler. Pada
kekebalan ini sel T akan berdiferensiasi menjadi sel T helper dan sel T sitotoksik.
Sementara sel T sitotoksik menyerang antigen, sel T helper akan berdiferensiasi
menjadi sel T memori dan sel T penekan. Sel T sitoksik memiliki tugas untuk
menyerang antigen. Sel T memori akan mengingat kode genetik antigen tersebut.
Sel T penekan akan merespon sel T sitotoksik untuk menghentikan serangannya
jika zat asing berhasil di matikan. Apabila serangan zat asing sangat kuat
sehingga respon seluler tidak kuasa melawan, maka sel T helper akan memanggil
sel B untuk meminta bantuan. Situasi ini merubah respon seluler menjadi respon
humoral. Sehingga dibentuklah antibodi yang akan mematikan zat asing
(Silverthorn, 2009).

Gambar 3. Sel T, Sel B, dan Sel Limfosit (Reece et al, 2014).


4. Jalur respon imun
Kekebalan bawaan (innate immunity) merupakan imunitas bawaan dari lahir
yang merespon kekebalan tubuh terhadap invasi. Reseptor membran sel imun yang
memediasi atau menengahi kekebalan bawaan dan memiliki speci yang luas dalam
merespon berbagai sinyal molekuler yang unik dan umum untuk mikroorganisme
patogen, seperti komponen dinding sel bakteri (Silverthorn, 2009). Contoh dari
kekebalan bawaan adalah leukosit, yang berperan sebagai sel-sel makrofag yang
memfagosit bakteri dan benda-benda asing (Soewolo, 2000).
Kekebalan adaptif (acquired immunity) merupakan imunitas yang berawal
setelah kelahiran. Reseptor membran sel imun yang memediasi atau menengahi
kekebalan yang diperoleh dengan sangat spesifik dan dapat membedakan antara
patogen yang berbeda. Salah satu ciri kekebalan yang didapat adalah bahwa respon
imun spesifik terhadap paparan pertama patogen yang mungkin memerlukan waktu
berhari-hari. Namun, dengan eksposur berulang, sistem kekebalan mengingat
paparan sebelumnya terhadap patogen sehingga bereaksi lebih cepat (Silverthorn,
2009). Kekebalan ini belajar bagaimana melawan invader dengan menggerakkan
anggota-anggota sistem pertahanannya sehingga jumlahnya bertambah dan
melebihi kekuatan invader (Soewolo, 2000). Apabila pertahanan dari acquired
immunity mampu mengalahkan invader, maka sistem kekebalan yang diperoleh
akan mampu “mengingat” invader sehingga pada waktu lain sistem kebal akan
mencegah invader memperoleh tumpuan berpijak dengan cepat (Soewolo, 2000).
Respon imun nonspesifik atau bawaan dan respon spesifik atau imun yang
diperoleh saling berkaitan, dua respon imun tersebut saling berhubungan dari satu
proses. Respons bawaan adalah respons yang lebih cepat, tetapi tidak menargetkan
penyerang khusus. Hal ini diperkuat oleh respon yang diperoleh antigen-spesifik
yaitu kekebalan adaptif, yang memperkuat efikasi respon bawaan. Komunikasi dan
koordinasi di antara semua jalur kekebalan yang berbeda sangat penting untuk efek
perlindungan maksimal (Silverthorn, 2009). Contoh innate immunity adalah sel
fagosit (sel monosit, makrofag, dan neutrophil) yang mempunyai sejumlah peptide
antimikrobial dan protein yang mampu membunuh patogen, bukan hanya satu
patogen yang spesifik. Sebaliknya, adaptive immunity akan meningkat setelah
terpapar oleh patogen. Pada respon imun adaptif spesifik, sel limfosit (Sel T dan
Sel B) merupakan komponen dasar yang berperan penting, yakni mengindikasi
adanya respon imun yang spesifik. Sel T dan Sel B mampu mengenali struktur
spesifik patogen sehingga sistem imun mampu merespon lebih cepat dan efektif
ketika kembali terpapar oleh bahan patogen tersebut. Dengan demikian, respon
imun adaptif lebih spesifik untuk bahan patogen tertentu dan meningkat pada
paparan selanjutnya oleh antigen yang sama. Namun, keduanya bekerjasama pada
beberapa tahapan, (misalnya dengan melepas faktor sitokinin) untuk merusak
antigen penyerang (Sudiono, 2014).

5. Autoimunitas
Penyakit rheumatoid arthritis (RA) merupakan salah satu penyakit autoimun
berupa inflamasi arthritis pada pasien dewasa. Rasa nyeri pada penderita RA pada
bagian sinovial sendi, sarung tendo, dan bursa akan mengalami penebalan akibat
radang yang diikuti oleh erosi tulang dan destruksi tulang disekitar sendi hingga
dapat menyebabkan kecacata. Namun demikian, kebanyakan penyakit rematik
berlangsung kronis, yaitu sembuh dan kambuh kembali secara berulang-ulang
sehingga menyebabkan kerusakan sendi secara menetap pada penderita RA
(Chabib, 2016).
Rheumatoid arthritis akibat reaksi autoimun dalam jaringan sinovial yang
melibatkan proses fagositosis. Dalam prosesnya, dihasilkan enzim-enzim di dalam
sendi. Enzim-enzim tersebut selanjutnya akan memecah kolagen sehingga terjadi
edema, proliferasi membran sinovial dan akhirnya terjadi pembentukan pannus.
Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang.
Akibatnya adalah menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerak
sendi. Otot akan merasakan nyeri akibat serabut otot mengalami perubahan
degeneratif dengan menghilangnya kemampuan elastisitas beberapa bulan, bila
diraba akan terasa hangat, terjadi kemerahan dan terasa sakit/nyeri, bila sudah tidak
tertahan dapat menyebabkan demam dan terjadi berulang (Chabib, 2016).
RA pada umumnya sering di tangan, sendi siku, kaki, pergelangan kaki dan lutut.
Nyeri dan bengkak pada sendi dapat berlangsung dalam waktu terus-menerus dan
semakin lama gejala keluhannya akan semakin berat. Keadaan tertentu, gejala
hanya berlangsung selama beberapa hari dan kemudian sembuh dengan melakukan
pengobatan. Rasa nyeri pada persendian berupa pembengkakan, panas, eritema dan
gangguan fungsi merupakan gambaran klinis yang klasik untuk rheumatoid
arthritis. Persendian dapat teraba hangat, bengkak, kaku pada pagi hari berlangsung
selama lebih dari 30 menit.
Pola karakteristik dari persendian yang terkena adalah : mulai pada persendian
kecil di tangan, pergelangan, dan kaki. Secara progresif mengenai persendian, lutut,
bahu, pinggul, siku, pergelangan kaki, tulang belakang serviks, dan
temporomandibular. Adapun tanda dan gejala yang umum ditemukan atau sangat
serius terjadi pada lanjut usia yaitu: sendi terasa kaku pada pagi hari dan kekakuan
pada daerah lutut, bahu, siku, pergelangan tangan dan kaki, juga pada jari-jari,
mulai terlihat bengkak setelah mengurangi nyeri sendi dan bengkak, serta
meringankan kekakuan dan mencegah kerusakan sendi sehingga dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien meringankan gejala tetapi juga memperlambat
kemajuan penyakit. Penderita RA memulai pengobatan mereka dengan DMARDs
(Disease Modifying Anti-Rheumatic Drugs) seperti metotreksat, sulfasalazin dan
leflunomid (Chabib, 2016).
Respon antigen-antibodi yang berlebihan secara tidak sengaja menyebabkan
kerusakan sel-sel normal serta menyerang sel asing. Kompleks antigen-antibodi,
terbentuk sebagai respons terhadap invasi asing, dihilangkan oleh sel fagositik
setelah mempunyai membentuk strategi pertahanan nonspesifikasi. Jika sejumlah
besar kompleks ini terus diproduksi, fagosit tidak dapat membersihkan semua
kompleks imun yang terbentuk. Antigen-antibodi kompleks yang tidak dihapus
terus mengaktifkan sistem pelengkap. Jumlah yang berlebihan dari pelengkap yang
diaktifkan dan obat-obat inflamasi lainnya dapat "tumpah", merusak sel-sel normal
di sekitarnya serta sel-sel yang tidak diinginkan. Selain itu, perusakan tidak selalu
terbatas pada situs awal inflamasi. Kompleks antigen-antibodi dapat bersirkulasi
dengan bebas dan terperangkap di ginjal, persendian, otak, pembuluh kecil kulit,
dan di tempat lain, menyebabkan inflamasi luas dan kerusakan jaringan. Kerusakan
seperti yang dihasilkan oleh kompleks imun disebut sebagai penyakit kompleks
imun, yang dapat menjadi hasil yang rumit dari infeksi bakteri, virus, atau parasit.
Lebih parah, penyakit kompleks imun juga dapat berasal dari aktivitas inflmatory
yang berlebihan yang didorong oleh kompleks imun yang dibentuk oleh "self-
antigen" (protein yang disintesis oleh tubuh orang itu sendiri) dan antibodi yang
diproduksi secara salah terhadap mereka (Sherwood, 2010).
Terdapat tiga macam terapi farmakologi untuk mengobati RA, yaitu :
a. Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs (DMARDs), memiliki potensi untuk
mengurangi kerusakan pada sendi, mempertahankan integritas dan fungsi sendi
dan pada akhirnya mengurangi biaya perawatan dan meningkatkan produktivitas
pasien RA. Pemberian dalam dosis terapeutik yang penuh, obat-obat tersebut
akan memberikan efek anti inflamasi maupun analgesik.
b. Agen biologik, diberikan dengan infeksi bakterial yang serius aktif seperti
aktivasi hepatitis B dan aktivasi TB.
c. Kortikosteroid, diberikan dalam jangka waktu sesingkat mungkin dan dosis
rendah yang dapat mencapai efek klinis. Dikatakan dosis rendah jika diberikan
kortikosteroid setara prednison < 7,5 mg sehari dan dosis sedang jika diberikan
7,5 mg - 30 mg sehari. Selama penggunaan kortikosteroid harus diperhatikan
efek samping yang dapat ditimbulkannya seperti hipertensi, retensi cairan,
hiperglikemi, osteoporosis, katarak dan kemungkinan terjadinya aterosklerosis
dini (Chabib, 2016).

DAFTAR RUJUKAN
Chabib, L., Ikawati, Z., Martien, R., dan Ismail, H. 2016. Review Rheumatoid
Arthritis: Terapi Farmakologi, Potensi Kurkumin dan Analognya, serta
Pengembangan Sistem Nanopartikel. Jurnal Pharmascience, Vol 3, No.
1, Februari 2016, hal: 10 – 18.
Reece, J. B., Urry, L. A., Cain, M. L., Wasserman, S. A., Minorsky, P. V., &
Jackson, R. B. 2014. Campbell biology. Boston: Pearson.
Sherwood, L. 2010. Human Phiysiology : From Cells to Systems. Seventh Edition.
Department of Physiology and Pharmacology School of Medicine West
Virginia University : Brooks/Cole Cengage Learning
Silverthorn, D. U., Johnson, B. R. 2009. Human Physiology. San Fransisco: Pearson
Education, Inc., publishing as Pearson Benjamin Cummings.
Silverthorn, Dee Unglaub. 2013. Human Physiology: An Integrated Approach,
Sixth Edition. San Fransisco: Pearson Education, Inc., publishing as
Pearson Benjamin Cummings.
Soewolo. 2000. Fisiologi Manusia. Malang: FMIPA Universitas Negeri Malang.
Sudiono, J. 2014. Sistem Kekebalan Tubuh. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.

Anda mungkin juga menyukai