Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

System syaraf merupakan system yang paling kompleks terutama system syaraf
otak. Hal ini disebabkan otak merupakan organ yang berfungsi sebagai pusat control
aktifitas dalam tubuh manusia manusia. Tentunya banyak sekali penyakit manusai yang
berkaitan dengan organ otak, salah satunya ialah penyakit epilepsi. Epilepsi merupakan
salah satu penyakit neurologi tertua, dapat ditemukan pada semua umur dan dapat
menyebabkan mortalitas.
Epilepsi atau penyakit ayan merupakan manifestasi klinis berupa muatan listrik
yang berlebihan di sel-sel neuron otak berupa serangan kejang yang berulang. Lepasnya
muatan listrik yang berlebihan dan mendadak sehingga penerimaan serta pebgiriman
impuls dalam atau dari otak ke bagian-bagian dalam tubuh terganggu.
Dalam masyrakat penderita epilepsi sering dikucilkan. Padahal epilepsi bukan
termasuk penyakit yang menular, bukan penyakit jiwa, bukan penyakit yangdiakibatkan
“ilmu klenik” dan bukan pula penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Umumnya ayan
disebabkan oleh kerusakan otak dalam proses kelahiran, luka kelapa, pitam otak (stroke),
tumor otak, dan lain sebagainya.
B. Rumusan masalah
1. Apa definisi Epilepsi ?
2. Bagaimana Etiologi, Pathogenesis dan Epidemiologi epilepsi?
3. Bagaimana gejala epilepsi?
4. Bagaimana cara pencegahan epilepsi ?
5. Bagaimana pengobatan epilepsi ?

A. Tujuan penulisan
1. Untuk dapat mengetahui definisi epilepsi
2. Untuk dapat mengetahui Etiologi, Pathogenesis dan Epidemiologi epilepsi
3. Untuk dapat mengetahui gejala epilepsi.

2
4. Untuk dapat mengetahui cara pencegahan epilepsi
5. Untuk dapat mengetahui pengobatan epilepsi.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian epilepsi
Dalam Endang Mutiawati 2008, Epilepsi didefinisikan sebagai suatu gangguan atau
terhentinya fungsi otak secara periodic yang disebabkan oleh terjadinya pelepassan
muatan listrik secara berlebihan dan tidak teratur oleh sel otak dengan cara tiba-
tiba, sehingga penerimaan dan pengiriman impuls antara bagian otak dari otak
kebagian tubuh terganggu. Menurut Ramali 2005 “epilepsi atau yang lebih sering
dikenal dengan ayan adalah gangguan system saraf pusat yang disebabkan
pelepasaan muatan listrik sel saraf secara berulang-ulang, dengan gejala penurunan
kesadaran, gangguan motoric, sensorik dan metal, dengan atau tanpa kejang-
kejang”. Menurut harsono 2008, epilepsi merupakan gangguan susuanan saraf
pusat (SSP) yang dicirikan oleh terjadinya bangkitan (seizure, fit, attact, spell) yang
bersifat spontan dan berkala”
Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa epilepsi adalah suatu
manifestasi lepasnya muatan listrik yang berlebihan dan abnormal dari sel-sel saraf
otak yang spontan dan berkala ditandai dengan kejang kronik dengan serangan yang
berulang.

B. Etiologi
Pada epilepsi tidak ada penyebab tunggal. Banyak factor yang dapat mencederai
sel-sel saraf otak atau lintasan komunikasi antar sel otak. Apabila factor-faktor
tersebut tidak diketahui, maka epilepsi yang ada disebut epilepsi adiopatik. Sekitar
65% dari selurruh kasus epilepsi tidak diketahui factor penyebabnya (Harsono,
2008). Pada epilepsi idiopatik yang disebut juga epilepsi primer ini tidak ditemukan
kelainan pada jaringan otak, sehingga keseimbangan zat kimiawi dalam sel-sel
saraf pada jaringan otak yang abnormal.
Sedangkan epilepsi yang factor-faktor penyebabnya diketahui disebut dengan
epilepsi simtomatik. Pada epilepsi simtomatik yang disebut dengan epilepsi
skunder, gejalanya dapat berupa kelainan pada jaringan otak.
C. Epidemologi
Kejang merupakan kelainan neurologi yang paling sering terjadi pada anak, di
mana ditemukan 4 – 10 % anak-anak mengalami setidaknya satu kali kejang pada
16 tahun pertama kehidupan. Kematian dapat berhubungan langsung dengan
kejang, misalnya terjadi serangan yang tidak terkontrol dan diantara serangan
pasien tidak sadar atau jika terjadi cidera akibat kecelakaan atau trauma. Fenomena
kematian mendadak yang terjadi pada penderita epilepsy diasumsikan berhubungan
dengan aktivitas kejang dan kemungkinan besar karena disfungsi kardiorespirasi.
(Ginsberg, 2008)

D. Patofisiologi
System saraf merupakan communication network (jaringan komunikasi), otak
berkomunikasi dengan oragan-organ tubuh lain melalui sel-sel srafa (neuron). Pada
kondisi normal, impuls saraf dari otak secara elektrik dan dibawa neuro transmitter
seperti GABBA (gamma aminobutric acid glutamate) melalui sel-sel saraf ke organ
tubuh lainnya. Factor-faktor penyebab epilepsi diatas mengganggu system ini
sehingga menyebabkan ketidakseimbangan aliran listrik pada sel saraf dan
menimbulkan kejang yang merupakan salah satu ciri epilepsi. (Harsono, 2007)
Bangkitan epilepsi berasal dari sekelompok sel neuron yang abnormal di otak yang
melepas muatan secra berlebihan dan hipersinkron. Sekelompok sel ini yang
disebut focus epileptic. Lepas muatan ini kemudian menyebar melalui jalur-jalur
fisiologi anatomi dan melibatkan daerah sekitarnya. Serangan epilepsi terjadi
apabila proses eksitassi didalam otak lebih dominan dari pada proses inhibisi
(hambatan). Seperti kita ketahui bersama bahwa aktifitas neuron diatur oleh
konsentrasi ion di dalam ruangan ekstra seluler dan di dalam intraseluler dan oleh
gerakan masuk ion-ion menerobos membrane neuron. Pada kejadian epilepsi ion-
ion tersebut terkoordinasi baik sehingga dapat timbul loncatan muatan. Akibat dari
loncatan neuron yang tidak terkoordinasi dengan baik sekelompok neuron akan
mengalami abnormal depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan
potensial aksi secra cepat dan berulang-ulang. Cetusan listrik yang abnormal ini
kemudian mengajak neuron-neuron sekitarnya sehingga menimbulkan serangkaian
gerakan yang melibatkan otot dan menimbulkan kejang. Spasme otot terjadi
hamper pada semua bagian termasuk otot mulut sehingga penderita mengalami
ancaman permukaan pada lidah. Kelainan sebagian besar dari neuron otak yang
diakibatkan gangguan listrik juga mengakibatkan penurunan kesadaran tiba-tiba
sehingga beresiko cidera kerena benturan benda sekitar atau yang berbahaya seperti
api, listrik, atau benda lain. (Ryadi, 2009)

E. Gejala epilepsi
Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi epilepsi, yaitu :
1. Kejang parsial
Lesi yang teradapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari otak
atau satu hamisfer serbrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian tubuh
dan keadaan penderita umumnya masih baik.
a. Kejang parsial sederhana
Gejala yang timbul berupa kejang motoric fokal, fenomena halusinatorik,
psikoilusi atau emosiaonal kompleks. Pada kejang parsial sederhana,
kesadaran penderita masih baik.
b. Kejang parsial kompleks.
Gejala bervariasi dan hamper sama dengan kejang parsial sederhana, tetapi
yang paling lhass terjasi ialah penurunan kesadaran dan otomatisme.

2. Kejang umum
Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari otak atau
kedua hamisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan
kesadaran penderita umumnya menurun.
a. Kejang Absans
Hilangnya kesadaran sessat (beberapa detik) dan mendadak disertai
amnesia. Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau
halusinasi, sehingga sering tidak terdeteksi.
b. Kejang Atonik
Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota badan,
leher, dan badan. Durasi kejang bisa sangat singkat atau lebih lama.
c. Kejang Mioklonik
Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan singkat.
Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.
d. Kejang Tonik-Klonik
Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan cepat
dan total disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh otot. Mata
mengalami deviasi ke atas. Fase tonik berlangsung 10 - 20 detik dan diikuti
oleh fase klonik yang berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase tonik,
tampak jelas fenomena otonom yang terjadi seperti dilatasi pupil,
pengeluaran air liur, dan peningkatan denyut jantung.
e. Kejang Klonik
Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi kejang
yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.
f. Kejang Tonik
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering mengalami
jatuh akibat hilangnya keseimbangan.

F. Cara pencegahan epilepsi


Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk
pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan
obat antikonvulsi (konvulsi: spasma atau kekejangan kontraksi otot yang keras dan
terlalu banyak, disebabkan oleh proses pada system saraf pusat, yang menimbulkan
pula kekejangan pada bagian tubuh) yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera
kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program
yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu
tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi
akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita
dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau
hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada
otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin
selama kehamilan dan persalinan.
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan
program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti
konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari
rencana pencegahan ini.

G. Pengobatan epilepsi
Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan diberikan
obat antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan.
Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan menyebabkan masalah
dalam kepatuhan minum obat (compliance) seta beberapa efek samping yang
mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi, mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll.
Pada epilepsi umum sekunder, obat-obat yang menjadi lini pertama pengobatan
adalah karbamazepin dan fenitoin. Gabapentin, lamotrigine, fenobarbital,
primidone, tiagabine, topiramate, dan asam valproat digunakan sebagai pengobatan
lini kedua. Terapi dimulai dengan obat anti epilepsi garis pertama. Bila plasma
konsentrasi obat di ambang atas tingkat terapeutis namun penderita masih kejang
dan AED tak ada efek samping, maka dosis harus ditingkatkan. Bila perlu diberikan
gabungan dari 2 atau lebih AED, bila tak mempan diberikan AED tingkat kedua
sebagai add on (Wibowo 2001)
Fenitoin (PHT)
Fenitoin dapat mengurangi masuknya Na ke dalam neuron yang terangsang dan
mengurangi amplitudo dan kenaikan maksimal dari aksi potensial saluran Na peka
voltase fenitoin dapat merintangi masuknya Ca ke dalam neuron pada pelepasan
neurotransmitter.
Karbamazepin (CBZ)
Karbamazepin dapat menghambat saluran Na . Karbamazepin dapat
memperpanjang inaktivasi saluran Na .juga menghambat masuknya Ca ke dalam
membran sinaptik.
Fenobarbital (PB)
Fenobarbital adalah obat yang digunakan secara luas sebagai hipnotik, sedatif dan
anastetik. Fenobarbital bekerja memperkuat hambatan GABAergik dengan cara
mengikat ke sisi kompleks saluran reseptor Cl- pada GABAA. Pada tingkat selular,
fenobarbital memperpanjang potensial penghambat postsinaptik, bukan
penambahan amplitudonya. Fenobarbital menambah waktu buka jalur Cl- dan
menambah lamanya letupan saluran Cl- yang dipacu oleh GABA. Seperti fenitoin
dan karbamazepin, fenobarbital dapat memblokade aksi potensial yang diatur oleh
Na . Fenobarbital mengurangi pelepasan transmitter dari terminal saraf dengan cara
memblokade saluran Ca peka voltase.
Asam valproat (VPA)
VPA menambah aktivitas GABA di otak dengan cara menghambat GABA-
transaminase dan suksinik semialdehide dehidrogenase, enzim pertama dan kedua
pada jalur degradasi, dan aldehide reduktase. VPA bekerja pada saluran Na peka
voltase, dan menghambat letupan frekuensi tinggi dari neuron. VPA memblokade
rangsangan frekuensi rendah 3Hz dari neuron thalamus.
Gabapentin (GBP)
Cara kerja: mengikat pada reseptor spesifik di otak, menghambat saluran Na peka
voltase, dapat menambah pelepasan GABA.
Lamotrigin (LTG)
Cara kerja: Menghambat saluran Na peka voltase.
Topiramate (TPM)
Cara kerja: Menghambat saluran Na , menambah kerja hambat dari GABA.
Tiagabine (TGB)
Cara kerja: menghambat kerja GABA dengan cara memblokir uptake-nya. Selain
pemilihan dan penggunaan optimal dari AED, harus diingat akan efek jangka
panjang dari terapi farmakologik. Karbamazepin, fenobarbital, fenitoin, primidone,
dan asam valproat dapat menyebabkan osteopenia, osteomalasia, dan fraktur.
Fenobarbital dan primidone dapat menyebabkan gangguan jaringan ikat, mis frozen
shoulder da kontraktur Dupuytren. Fenitoin dapat menyebabkan neuropati perifer.
Asam valproat dapat menyebabkan polikistik ovari dan hiperandrogenisme.
(Wibowo, 2006)
DAFTAR PUSTAKA

Mutiawati, E. 2008. Epilepsi. Medicinus Scientific Journal of Pharmaceutical Development And


Medical Application Vol.21 No.4. Dexa Media Group. Jakarta

Ginsberg, Lionel. 2008. Neurologi edisi kedelapan Erlangga. Jakarta

Harsono. 2001. Epilepsi. Edisi pertama, Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Harsono. 2008. The Quality of Life of Epileptic Patients. Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti,
Universa Medicina, Jakarta.
Ramali, Ahmad. 2000. Kamus Kedokteran, Jakarta : PT. Djambata.

Riyadi, Sujono & Sukarmin 2009, Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi 1, Graha Ilmu,
Yogyakarta.

Wibowo, S., dan Gofir, A., 2006, Obat Antiepilepsi. Pustaka Cendekia Press. Yogyakarta

Wibowo, S., dan Gofir, A. 2001. Farmakoterapi dalam Neurologi, Salemba Medika. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai